Anda di halaman 1dari 12

CLINICAL SCIENCE SESSION

*Kepaniteraan Klinik Senior/ G1A218068/ April 2019


**Pembimbing/ dr. Lusiana Herawati Yamin, Sp. THT-KL

SINDROM HIDUNG KOSONG DAN RHINITIS


ATROFI
Mentari Ginting, S.Ked *
dr. Lusiana Herawati Yamin, Sp. THT-KL**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN THT-KL
RSUD RADEN MATTAHER JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019
LEMBAR PENGESAHAN
CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)

SINDROM HIDUNG KOSONG DAN RHINITIS ATROFI

Disusun oleh:
Mentari Ginting , S.Ked

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN THT-KL RSUD RADEN MATTAHER JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI/RSUD. RADEN MATTAHER PROV. JAMBI

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Pada April 2019

Pembimbing

dr. Lusiana Herawati Yamin, Sp. THT-KL

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
izin dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Clinical Science
Session yang berjudul “SINDROM HIDUNG KOSONG DAN RHINITIS
ATROFI” ini.
Penulisan Clinical Science Session ini dibuat dan disusun untuk
memenuhi dan melengkapi syarat menjalani kepaniteraan klinik senior di bagian
THT-KL RSUD Raden Mattaher Jambi. Dalam pembuatan dan penulisan Clinical
Science Session ini, penulis banyak menerima bantuan oleh berbagai pihak, baik
berupa saran, masukan, bimbingan, dorongan dan motivasi secara moril, serta data
maupun informasi. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan
ucapan terima kasih kepada dr. Lusiana Herawati Yamin, Sp. THT-KL atas
bimbingan yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan Clinical Science
Session ini serta kepada semua pihak yang telah membantu.
Sepenuhnya penulis menyadari laporan ini masih jauh dari sempurna dan
masih banyak memiliki kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat diharapkan untuk memperbaiki dan menyempurnakan
penulisan laporan ini. Terlepas dari segala kekurangan yang ada, semoga laporan
ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima
kasih

Jambi, April 2019

Penulis

3
SINDROM HIDUNG KOSONG DAN RHINITIS ATROFI
Kena Shah, DO; Juan Guarderas. MD; Guha Krishnawamy, MD

Pengantar
Hidung tersumbat, gangguan di hidung, dan rasa sesak nafas adalah
masalah yang biasa ditangani ahli alergi. Meskipun dalam banyak kasus keluhan-
keluhan tersebut merupakan akibat dari rhinitis (alergi atau vasomotor), beberapa
kelainan lain perlu dipertimbangkan. Diantara kelainan tersebut adalah rhinitis
atrofi dan sindrom hidung kosong (ENS). Istilah ENS pertama kali digunakan
oleh Eugene Kern dan Monika Stenkvist di Mayo Clinic pada tahun 1994.1 ENS,
istilah yang saat ini digunakan, mengacu pada sebuah gangguan yang berkaitan
dengan gejala-gejala yang muncul dari hilangnya jaringan hidung iatrogenik dan
secara radiologis sering tampak dengan kekurangan struktur anatomi hidung
normal (Gambar 1A dan B).1 Kondisi ini berkembang berbulan-bulan hingga
bertahun-tahun pada sebagian kecil pasien yang menjalani reseksi konka dan hasil
dari atrofi jaringan hidung yang progresif.2 Terdapat kemiripan antara ENS dan
gangguan yang disebut rhinitis atrofi, dan literature pun sering menyebabkan
kekeliruan.

Rhinitis Atrofi
ENS perlu dibedakan dari gangguan berikut, rhinitis atrofi (ozena),
sindrom rhinosinusitis kronik, krusta adheren yang tebal, bau busuk, dan
sumbatan hidung (Tabel 1). Baik rhinitis atrofi primer maupun sekunder telah
dijelaskan, bahwa rhinitis atrofi sekunder sering diikuti dengan bedah trauma,
inflamasi granulamatosa, atau iradiasi. Bila Biopsi hidung dilakukan maka akan
menunjukkan atrofi kelenjar, endarteritis obliterans, dan infiltrasi sel yang
inflamasi.1,3 Sumbatan paradoksikal (perasaan hidung tersumbat ataupun obstruksi
walaupun rongga hidung besar), kekeringan, dan ditemukannya pengerasan,
seperti pada ENS. Kekeringan dan pengerasan kulit menunjukkan hilangnya
fungsi kelenjar dan pelembapan udara yang masuk. Rinitis atrofi dapat menjadi
penyakit yang melumpuhkan, dan pasien dapat menjadi cacat oleh gejala

4
kronisnya, gejala yang tak ada hentinya dan keterbatasan aliran udara. Endoskopi
menunjukkan tidak adanya sebagian atau keseluruhan dari konka inferior dan /
atau konka media dalam kebanyakan kasus. Analisis histopatologis dari biopsi
jaringan menunjukkan hasil yang khas, termasuk atrofi kelenjar serosa dan lendir,
hilangnya silia dansel goblet, dan infiltrasi sel inflamasi sporadik.1,3 Infeksi
bakteri yang umum terjadi, membedakan gangguan ini dari ENS, dan kultur
hidung sering menghasilkan organisme patogen, termasuk Klebsiella ozaenae,
spesies Staphylococcus, Proteus mirabilis, dan Escherichia coli. CT-Scan dari
sinus paranasal menunjukkan berbagai kelainan, termasuk penebalan mukosa
sinus, pembesaran rongga hidung, dan rusaknya tulang dari konka inferior dan /
atau media. Penatalaksanaan meliputi irigasi saline hidung, antibiotik, dan teknik
pembedahan yang mengembalikan fungsi mukosa hidung dan mempersempit
jalan napas dengan menggunakan berbagai implan.

Sindrom Hidung Kosong


ENS biasanya berkembang setelah reseksi konka dan dibagi menjadi 3
subtipe.ENS konka inferior (ENS-IT) mengacu pada ENS yang ditemui setelah
reseksi jaringan konka inferior. Ini merupakan subtipe yang paling umum dan
mungkin berkembang pada 20% (diperkirakan) pasien yang menjalani operasi
konka inferior.1 Scheithauer,4 di sisi lain, memperkirakan insiden sebanyak 16%
terjadi setelah operasi konka inferior. Pada pasien-pasien ini, kombinasi dari
reseksi jaringan dengan operasi dan regenerasi saraf yang buruk telah
dihipotesiskan sebagai kontributor pada perkembangan sindrom.1 Biasanya, pasien
datang dengan hidung paradoksal yang tersumbat, kekeringan, dan pengerasan
kulit berbulan-bulan atau bertahun-tahun setelah operasi, yang kadang-kadang
sulit untuk dibedakan dari rhinitis atrofi. ENS konka media (ENS-MT), walaupun
jauh lebih sering terjadi setelah operasi konka inferior, dapat berkembang.pada
pasien setelah eksisi konka media.1,5 Insiden ENS setelah reseksi konka media
tidak diketahui. Gejala hidung tersumbat dapat disertai dengan rasa sakit pada
hidung, yang dianggap sekunder akibat perubahan aliran udara hidung di atas
mukosa yang menutupi ganglion sphenopalatina.1,6 ENS gabungan merujuk pada

5
pasien yang pernah reseksi jaringan konka inferior dan media. Kelumpuhan dan
gejala yang parah kemungkinan terjadi bersamaan dengan hilangnya sensasi
penciuman, dengan beberapa depresi yang berkembang disebabkan sifat gejala
yang sulit diatasi. Turbinektomi media lebih sering dilakukan pada pasien
rinosinusitis dengan poliposis, ketika ada penyakit seperti papilloma terbalik atau
ketika akses ke ostium sinus maksilaris terbatas. Turbinektomi inferior
diindikasikan pada pasien dengan obstruksi jalan napas menetap atau hipertrofi
konka yang belum merespon terapi medis.Turbinektomi luas juga dapat terjadi
pada pasien dengan sakit kepala sinus yang sulit diatasi, pasien dengan tumor
ganas, dan kadang-kadang selama operasi hipofisis transsfenenoid.

Gambar 1.Radiologi (CT-Scan) (A) dan nasoendoskopi (B) menemukan sindrom


hidung kosong. Rongga hidung terbuka dengan hilangnya konka ditemukan pada
pasien ini.Pasien sering mengeluhkan sumbatan hidung ''paradoks'', obstruksi, dan
rasa sesak. Fisiologi hidung normal (C) dan diasumsikan terjadi perubahan pada
sindrom hidung kosong (D) yang menyebabkan gejala klinis bersama penyakit.
Panah putih pada A dan B menunjukkan jaringan yang hilang dan rongga hidung
yang terbuka.

6
Mekanisme patofisiologi
Mekanisme patofisiologis ENS masih belum jelas, dan banyak hipotesis
yang telah diajukan. Skema proses fisiologis hidung normal dan respons
menyimpang yang terlihat pada ENS ditunjukkan pada gambar 1. Humidifikasi
dan pemanasan udara yang masuk, aktivitas mukosiliar, dan penghilangan bahan
partikulat adalah fungsi hidung yang sangat penting yang sangat terganggu pada
kondisi gangguan seperti rhinitis atrofi dan ENS.4 Diasumsikan bahwa
turbinektomi menyebabkan hilangnya reseptor sensorineural yang merupakan hal
penting untuk rasa sakit dan sensasi suhu.2,4 Kehilangan jaringan konka dan
pembesaran rongga hidung juga dapat menyebabkan aliran udara yang berubah
dan bergolak, sedangkan kurangnya humidifikasi dan penghancuran kelenjar
menyebabkan kekeringnya dan kerasnya mukosa.1,4 Mekanisme tambahan dibahas
pada gambar 1C dan D dan melibatkan perubahan fungsi resistensi saluran napas
1,2,7
hidung. Resistensi jalan nafas hidung dianggap penting untuk menjaga
bronkiolus tetapp terbuka dan dengan demikian untuk meningkatkan ventilasi dan
pertukaran gas. Efek-efek ini juga menurunkan tekanan intrathoracic,
menghasilkan peningkatan aliran balik vena, aliran darah paru, dan curah jantung.
Perubahan aspek fisiologis ini dapat menyebabkan dispnea, sumbatan paradoks,
dan rasa sesak napas, seperti yang dibahas sebelumnya.1,2,5 Reseksi radikal dari
konka dapat memperkecil area permukaan yang distimulasi oleh pendinginan
mukosa. Reseksi parsial bagian anterior konka dapat menyebabkan hilangnya
fungsi katup dan menyebabkan ENS. Dayal et al8 menggunakan model simulasi 3
dimensi dan operasi virtual untuk menunjukkan bahwa resistensi saluran napas
hidung menurun sementara aliran udara meningkat. Mereka juga menemukan
bahwa operasi konka inferior keseluruhan menyebabkan peningkatan yang lebih
besar dalam aliran udara hidung tetapi juga mengganggu kapasitas pendingin
udara hidung lebih banyak daripada dengan reseksi konka media, yang mungkin
menjelaskan perbedaan dalam insiden ENS setelah operasi konka inferior vs
konka media.Meskipun gejalanya adalah sekunder akibat perubahan fungsi
fisiologis hidung normal setelah kehilangan jaringan konka, mekanisme
neuropsikiatrik mungkin juga berperan. Dengan demikian, pasien-pasien ini

7
mengalami insiden yang lebih tinggi dari sindrom fungsional lainnya, seperti
fibromyalgia, migrain, dan sindrom iritasi usus besar.9

Tabel 1 Perbedaan Rhinitis Alergi, Rhinitis Atrofi dan Sindrom Hidung


Kosong
Fitur Rhinitis Alergi Rhinitis Atrofi Sindrom Hidung
Kosong
Definisi Penyakit Kelainan inflamasi Sumbatan hidung
inflamasi IgE atrofi dengan paradoks setelah
hilangnya konka operasi konka;
dan jaringan penyaki
mukosa tiatrogenic
Krusta - Tebal, adheren ++
Hidung kering - ++ +++
Bau busuk - +++ -
Anosmia - +++ ; kehilangan Hiposmia /
olfaktori, nyeri, anosmia
suhu reseptor?
Dyspnea / Sesak -, kecuali ada - +++
asma
Sumbatan +++ +++ paradoks +++ paradoks
hidung (pembesaran (pembesaran
rongga hidung) rongga hidung)
Depresi - - ++
Etiologi atopi; genetik Trauma primer atau Iatrogenik
sekunder, radiasi, sekunder pada
pembedahan atau operasi konka
penyakit
granulamatosa
Infeksi - Klebsiella ozaenae, -
spesies
Staphylococcus,
Proteus mirabilis,
dan Escherichia
coli
Histopatologi Infiltrasi sel Atrofi kelenjar Hilangnya konka

8
inflamasi; lender; hilangnya dan jaringan
inflamasi; edema; sel goblet dan silia; mukosa; tidak ada
hiperplasi sel Infiltrasi sel inflamasi
goblet inflamasi
Tatalaksana Steroid nasal, Nasal hygiene, Nasal hygiene;
antihistamin, irigasi; antibiotic; irigasi; implantasi
antagonis obati penyakit bedah
leukotrin, utama; terapi
imunoterapi alergi bedah; implantasi

Presentasi Klinis
Istilah ENS pada awalnya digunakan untuk menggambarkan temuan
radiologis pada pasien setelah reseksi bedah jaringan konka. Penegakan diagnosis
membutuhkan kecurigaan klinis yang kuat dan menunjukkan bagian hidung yang
nyata secara luas pada pasien dengan sumbatan hidung. Mukosa tampak pucat,
kering, dan berkerak. Temuan tidak adanya konka inferior dan media mendukung
diagnosis.
Pasien seperti diatas mungkin datang ke ahli alergi dengan sejumlah
gejala, termasuk hidung tersumbat, penurunan kemampuan merasakan aliran
udara, kekeringan pada hidung dan pengerasan kulit. Pada beberapa pasien,
hiposmia, epistaksis, dan dyspnea/sesak napas mungkin merupakan gejala yang
paling dominan.1,5,10 Pada pasien, penting untuk menyingkirkan adanya asma atau
disfungsi pita suara karena gangguan ini dapat terjadi bersamaan. Spirometri dan
pemeriksaan loop volume aliran dapat membantu dalam hal ini. Memiliki
penyakit hidung dapat menyebabkan kemarahan, frustrasi, dan ketidakmampuan
untuk berkonsentrasi (disebut sebagai nasal aprosexia) atau melakukan kegiatan
yang berhubungan dengan pekerjaan, menghasilkan manifestasi psikosomatik lain
yang mengganggu. 7 Skor The Beck Inventory Depression II and the Beck Anxiety
Index seringkali abnormal, dan dalam penelitian oleh Lee dan rekannya,11 nilai
abnormal indeks ini memprediksi hasil yang lebih baik dari operasi. Kondisi
wanita lebih buruk sebelum operasi pada The Beck Inventory Depression II andthe
Beck Anxiety Index dan semakin membaik pasca operasi. Pasien dengan kondisi

9
yang tidak dapat dioperasi, yang menolak pembedahan lebih lanjut, atau yang
pembedahannya dikontraindikasikan dapat diberikan konseling, terapi perilaku
kognitif, dan terapi antidepresan.9
Modifikasi The Houser dari bentuk Sino-Nasal Outcome Test tradisional
mencakup 5 pertanyaan tambahan tentang kekeringan hidung, kesulitan bernafas,
tercekik, merasa bahwa "hidung terlalu terbuka," dan adanya pengerasan kulit
hidung.6,7 Pemeriksaan hidung menunjukkan kekeringan, krusta, dan fossa nasal
yang besar dan paten, yang kontras dengan rasa sumbatan paradoks dan dispnea
yang terlihat seperti terjadi pada pasien. Temuan endoskopi hidung pada pasien
dengan ENS ditunjukkan pada gambar 1A dan contoh CT-Scan pada gambar 1B.
Panah tebal pekat pada Gambar 1A menunjukkan pelebaran yang signifikan dari
saluran hidung dan hilangnya jaringan konka, yang dianggap sebagai
patognomonik dari penyakit ini (terutama dalam keadaan hidung tersumbat atau
obstruksi).
Aspek penting yang membedakan ENS dari rhinitis alergi dan rhinitis
atrofi dirangkum dalam tabel 1. Diagnosis terutama didasarkan pada konstelasi
tanda dan gejala yang disebutkan di atas pada pasien dengan riwayat turbinektomi
atau operasi hidung-sinus.1,2,7,12 Tes lain yang kadang-kadang direkomendasikan
untuk diagnosis adalah tes kapas.7 Kapas yang dibasahi isotonik salin ditempatkan
di rongga hidung selama 20 hingga 30 menit, dan perubahan gejala konsisten
dengan diagnosis dan menunjukkan keberhasilan intervensi bedah.2,7 Tidak ada
perbedaan pada usia, jenis kelamin, atau ras yang memprediksi perkembangan
gangguan ini. Pada penyakit ini, tidak jelas apakah faktor hormonal atau
neuroimunologis yang memiliki peran. Rinitis alergi dapat terjadi pada usia
berapa pun, dengan prevalensi lebih tinggi pada usia muda. Rinitis atrofi lebih
mungkin didiagnosis pada pasien lanjut usia, terutama mereka yang tinggal di
iklim yang lebih kering. ENS juga cenderung lebih sering didiagnosis pada
populasi yang berusia lebih tua.

10
Tatalaksana
Pencegahan sangat penting karena begitu penyakit terjadi, tatalaksana
menjadi terbatas. Evaluasi yang cermat tentang perlunya turbinektomi dan
penggunaan strategi alternatif untuk meminimalkan kehilangan jaringan dan
memungkinkan pemulihan mekanisme fisiologis hidung dengan cepat sangat
penting. Evaluasi menyeluruh untuk alergi dan faktor-faktor reversibel lainnya
untuk pembengkakan konka dan peradangan oleh seorang ahli alergi dapat
mengarah pada penemuan faktor-faktor yang dapat diobati secara medis dan
menghindari kebutuhan untuk turbinektomi radikal. Meskipun kejadian sindrom
setelah turbinektomi rendah, hal ini dapat menjadi sumber kecacatan yang hebat
bagi pasien dan frustrasi bagi dokter.3,4 Pendekatan alternatif yang telah
digunakan untuk mengurangi kejadian ENS termasuk operasi laser, kauterisasi
listrik, turbinektomi parsial, turbinoplasti submukosa, dan reseksi submukosa
dengan teknik khusus, termasuk pembedahan frekuensi radio.2 Evaluasi
neuropsikologis yang cermat diperlukan sebelum operasi karena efek kegagalan
bedah pada kesehatan psikologis pasien.2 Dalam tinjauan sistematis, Leong13
menyimpulkan bahwa pembedahan tidak hanya meningkatkan gejala ENS tetapi
juga gejala hidung, fungsi tidur, dan kondisi psikopatologis.13 Pada beberapa
pasien, peningkatan terbesar diamati pada gejala yang berhubungan dengan ENS
dan dalam status psikologis pasien.
Manajemen medis termasuk pelembab mukosa, hidrasi menggunakan
saline atau pelumas berbasis minyak, peningkatan asupan cairan, penutupan
lubang hidung intermiten (untuk mempertahankan kelembaban), penggunaan
bebas pelembab dingin, dan rejimen agresif irigasi salin hidung.5 Untuk pasien
dengan gejala somatik, terapi perilaku kognitif dapat membantu, dan penggunaan
antidepresan dengan teliti baru dapat melengkapi terapi.9 Pendekatan multidisiplin
dengan ahli alergi, ahli bedah telinga, hidung, dan tenggorokan, dan psikiater
mungkin diperlukan pada beberapa pasien untuk menangani penyakit yang sulit
ini.. Pendekatan bedah biasanya dicoba hanya setelah percobaan yang memadai
dari manajemen medis, konseling, dan edukasi yang gagal menghasilkan
perbaikan.7 Konsep umum di balik intervensi bedah adalah mengembalikan fungsi

11
fisiologis hidung, dan bedah rekonstruksi konka telah dilaporkan menggunakan
berbagai bahan yang ditanamkan.1,5,7 Teknik ini berada di luar ruang lingkup
tinjauan saat ini tetapi cukup ditinjau dalam literatur.

12

Anda mungkin juga menyukai