Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN KASUS KE-1

TOXOPLASMIC ENSEPHALITIS (TE)


PADA PASIEN SIDA

Oleh :

dr. Murdia
2007601020003
Periode Februari
2021

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-I


ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2021
LEMBAR PERSETUJUAN

LAPORAN KASUS KE-1

TOXOPLASMIC ENSEPHALITIS (TE)


PADA PASIEN SIDA

Oleh :

dr. Murdia
2007601020003
Periode Februari
2021

Supervisor

Assoc.Prof.Dr.dr.Kurnia F Jamil, Sp.PD, KPTI, FINASIM


TOXOPLASMIC ENSEPHALITIS (TE) PADA PASIEN SIDA

Abstrak
Infeksi virus HIV menyebabkan deplesi CD4 yang berat sehingga mengakibatkan
terganggunya keseimbangan respon sel T, dan imunodefisiensi yang progresif. Respon
imunitas tubuh yang semakin menurun menjadikan pasien SIDA lebih mudah untuk
mengalami infeksi opoertunistik, salah satunya adalah Toxoplasmic ensephalitis.
Toksoplamosis merupakan suatu penyakit kegawatdaruratan neurologi disebabkan oleh
infeksi T. gondii yang bila dideita oleh pasien imunosupresi seperti SIDA dapat menjadi
reaktif dan menimbulkan manifestasi klinis. Toxoplasmic Ensephalitis (TE) dialami oleh 30-
40% pasien yang tidak mendapat profilaksis toxoplasmosis pada HIV. Suatu studi
melaporkan bahwa infeksi toksoplasma pada system saraf terjadi pada 30-70% pasien SIDA.
Pentingnya penegakan diagnosis segera serta pemberian terapi yang tepat untuk mencapai
outcome pasien yang lebih baik. Laporan kasus ini menjelaskan seorang laki-laki berusia
muda dengan keluhan tidak mau bicara dan terkesan menarik diri dari lingkungan, pasien
juga penurunan nafsu makan. Selain itu, pasien memiliki sariawan dimulut dan memiliki
riwayat berhubungan seks bebas. Dari pemeriksaan fisik ditemukan adanya candidiasis oral,
pemeriksaan reflek fisiologis yang meningkat dan pemeriksaan Babinski yang poitif pada
kaki kanan. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil rapid test HIV reaktif, IgG
toksoplasma positif dan gambaran CT-Scan kepala yang sesuai dengan gambaran
Toxoplasmic ensephalitis pada pasien SIDA. Pasien diberikan kotrimoksazole dan
klindamisin sebagai terapi toksoplasmosis yang dialami.

Kata Kunci : Toxoplasmic ensephalitis, SIDA, imunokompromais

I. PENDAHULUAN
Infeksi virus HIV menyebabkan deplesi CD4 yang berat, karena berkurangnya sel T
mermori yang sangat banyak di awal kemudian diikuti dengan aktivasi sistem imun kronik,
menyebabkan terganggunya keseimbangan respon sel T, dan imunodefisiensi yang
progresif. Serokonversi pada infeksi HIV menimbulkan berbagai manifestasi klinis yang
dapat muncul bertahun-tahun setelah infeksi sehingga akhirnya menjadi SIDA dan berakhir
dengan kematian.1
Respon imunitas tubuh yang semakin menurun menjadikan pasien SIDA lebih mudah
untuk mengalami infeksi opoertunistik. Pasien SIDA sering mengalami berbagai koinfeksi
intrakranial. Salah satunya adalah Toxoplasmic Esephalitis (TE). Toksoplamosis merupakan
suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh T. gondii yang pada umumnya infeksi pathogen
ini bersifat asimtomatik pada pasien imunokompeten.Namun, pada pasien dengan
imunosupresi seperti SIDA, infeksi parasit tersebut dapat menjadi reaktif dan menimbulkan
manifestasi klinis. Infeksi pathogen ini umumnya terjadi akibat konsumsi daging yang tidak
dimasak dengan baik atau air yang terkontaminasi oleh ookista atau bradizoit T.Gondii, atau
infeksi vertikal melalui plasenta.2
Toxoplasmic ensephalitis (TE) merupakan suatu kegawatdaruratan neurologi pada
pasien SIDA. Toxoplasmic encephalitis (TE) dialami oleh 30-40% pasien yang tidak
mendapat profilaksis toxoplasmosis pada HIV. Suatu studi melaporkan bahwa infeksi
toksoplasma pada system saraf terjadi pada 30-70% pasien SIDA dan bahkan ditemukan
adanya kelainann neuropatologik pada 90% spesimen post mortem yang diperiksa.2 Otak
merupakan organ yang paling terinfeksi oleh pathogen ini. Infeksi susunan saraf pusat (SSP)
adalah penyebab utama kematian pada psien SIDA. Jumlah CD4+ yang kurang dari 100 sel/µ
memudahkan pasien SIDA untuk mengalami koinfeksi tersebut terutama pada pasien yang
tidak mendapat profilaksis. Penegakan diagnosis secara dini dan tatalakana yang tepat dapat
mengurangi angka kematian pasien SIDA yang mengalami Toxoplasmic encephalitis (TE).3,4

II. KASUS
Seorang lak-laki usia 32 tahun suku Aceh datang dengan keluhan tidak mau bicara
yang sudah dialami sejak ±2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien tidak mau
berkomunikasi dan terkesan menarik diri. Pasien berbicara dan sedikit melakukan gerakan
tubuh dengan gerakan yang lambat. Tidak ada kejadian yang tertentu yang membuat pasien
seperti jatuh yang membentur kepala, tertabrak, terkejut atau depresi sebelumnya. Pasien
juga tampak lemas. Bedasarkan keterangan keluarga pasien terlihat lemas karena dalam
beberapa hari kebelakang makan hanya sedikit. Mual dan muntah tidak dikeluhkan. Buang
air besar dan buang air kecil normal seperti biasanya. Bedasarkan anamnesis pasien
diketahui pernah melakukan hubungan seksual sebanyak 3 kali bersama pacar yang
merupakan seorang guru dan telah memiliki pasangan sebelumnya. Status HIV pacar pasien
tidak diketahui. Tidak ada riwayat pemakaian narkoba suntik sebelumnya. Pasien
sebelumnya telah dirawat di RSUD Zubir mahmud selama 4 hari denga observasi febris
susp.SIDA dan stomatitis aftosa.
Status present dijumpai sensorium kompos mentis, tekanan darah 109/67 mmHg,
frekuensi nadi 59 kali/menit, irama regular, frekuensi nafas 20 kali/menit dan suhu 36,7 oC.
Dari pemeriksaan fisik pasien dalam kondisi stabil. Dari pemeriksaan orofaring tampak ada
nya oral ulcer yang berada pada tepi lidah. Tidak tampak kelainan pada pemeriksaan fisik
thorax (paru dan jantung) dan abdomen. Tidak ditemukan pula danya pembesaran kelenjar
getah bening. Pemeriksaan neurologis didapatkan kekuatan motorik normal. Hasil
laboratorium menunjukkan peningkatan laju endap darah (LED) 23mm/jam. Bedasarkan
hasil pemeriksan rapid HIV dengan 3 metode menunjukkan hasil positif.
Selama menjalani masa perawatan pasien mengalami kejang satu kali dengan badan
kaku seluruh tubuh dan pasien tidak sadarkan diri selama kejang. Kejang terjadi selama ±5
menit. Pasca kejang pasien tertidur dan ±10 menit kemudian sadar kembali. Selain itu,
pasien juga mengalami ruam kemerahan pada wajah dan tersa gatal dan disertai dengan
hiperpigmentasi pada tungkai bawah. Pasien juga mengalami kelemahan anggota tubuh
sebelah kanan. Dari hasil foto thorax didapatkan corakan bronkovaskular yang meningkat
dan kardiomegali. Hasil CT-Scan kepala kontras dan non-kontras, ditemukan adanya lesi
solid berkapsul, berbatas sebagian tidak tegas dengan ukuran 2,1x2,8x2,3 cm di corona
radiata kiri.hingga basal ganglia kiri dengan perifocal edema disekitarnya yang dengan
pemberian kontras tampak rim contrast enhancement.
Pasien didiagnosis sebagai 1) Toksoplasma Ensefalitis, 2) SIDA stadium IV Pasien
diberikan terapi diet makanan biasa 1700 kkal/hari, terapi oral berupa Atrivia 1x1 tablet,
kotrimoksazole 2x960 mg, Klindamisin 4x600 mg, dan Isoniazid 1x300 mg.

III. DISKUSI
Telah dirawat seorang laki-laki usia 32 tahun di bangsal penyakit dalam pria
RSUDZA Banda Aceh dengan Toxoplasmic ensephalitis (TE) dengan SIDA stadium IV.
Diagnosis SIDA pada pasien ini ditegakkan bedasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Data yang menunjang dalam penegakan diagnosis SIDA
stadium IV pada pasien tersebut adalah adanya eluhan berupa lemas, tidak nafsu makan dan
adanya riwayat demam yang hilang timbul serta adanya bercak putih dalam rongga mulut.
Selain itu, dari anamnesis juga didapatkan bahwa pasien memiliki berhubungan seks bebas
bersama pacar yang tidak diketahui status HIV sebelumnya dan tanpa menggunakan kondom.
Pada pemeriksaan fisik orofaring ditemukan adanya sariawan pada rongga mulut (candidiasis
oral). Selain itu, pada pemeriksaan fisik dermatologi ditemukan adanya ruam kemerahan
berskuama yang terasa gatal pada daerah wajah yang kemudian didiagnosis sebagai
dermatitis seboroik. Nelwan menyebutkan bahwa gejala klinis infeksi HIV dapat berupa diare
kronik, penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan, demam berkepanjangan yang
dapat hilang timbul, nafsu makan menurun, keluhan dirongga mulut dan saluran makan atas
serta pembesaran kelenjar getah bening. Kelainan dikulit berupa dermatitis seboroik, popular
pruritic eruptions dan herpes zoster juga dapat ditemui sebagai gejala klinis infeksi HIV. 5
Pada laporan perkembangan HIV-AIDS dan PIMS di Indonesia Triwulan IV tahun 2017
jumlah orang yang terinfeksi HIV yang dilaporkan sebanyak 14.640 orang dimana faktor
risiko penularan HIV secara heteroseksual mencaai 22% dimana perilaku seks yang tidak
menggunakan kondom memiliki hubungan terhadap kejadian infeksi (p <0,0001).6
Kemudian pasien dilakukan pemeriksaan rapid test HIV dengan 3 metode dan dari
ketiga metode tersebut didapatkan hasil rektif. Pemeriksaan laboratorium untuk menetapkan
adanya infeksi HIV dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu; pemeriksaan mencari adanya
virus HIV pada tubuh penderita dan pemeriksaan serologik yang bertujuan untuk mendeteksi
adanya antibodi HIV dalam darah. Pemeriksaan serologik saat ini yang sering digunakan
untuk menentukan adanya infeksi virus HIV adalag rapid test dan Enzyme Immunoassay
(EIA). Rapid test HIV memegang peranan penting dalam membantu diagnosis dini secara
cepat, dan tidak membutuhkan sarana yang rumit dan mahal sehingga status infeksi dapat
ditentukan dengan cepat dan terapi dapat segera diberikan. Rapid test. Hasil dinyatakan
positif apabila ditemukan hasil reaktif pada A1, A2 dan A3.7
Imunitas yang sangat rendah akibat infeksi HIV memudahkan pasien untuk
mengalami berbagai infeksi oportunistik. Infeksi oportunistik yang sering terjadi pada pasien
SIDA dapat melibatkan berbagai organ lain seperti paru, saluran cerna dan otak. Infeksi
oportunistik yang sering melibatkan otak adalah Toxoplasmic encephalitis (TE) yang sering
menyebabkan space occupying brain lesion pada pasien SIDA. Toxoplasmic Ensephalitis
(TE) dialami oleh 30-40% pasien yang tidak mendapat profilaksis toxoplasmosis pada HIV.
Suatu studi melaporkan bahwa infeksi toksoplasma pada system saraf terjadi pada 30-70%
pasien SIDA dan bahkan ditemukan adanya kelainann neuropatologik pada 90% specimen
post mortem yang diperiksa.8,9
Ketika T.Gondii masuk kedalam tubuh melalui makanan atau air yang terkontaminasi
oleh ookista didalam usus T.Gondii akan berubah menjadi takizoit. Takizoit akan bermigrasi
menembus epitel usus halus dan masuk kedalam sirkulasi. 10 Patogenesis toxoplasma pada
pasien imunokompromise seperti SIDA dipengaruhi oleh banyak hal diantaranya penurunan
CD4+, kegagalan produksi IL-12, IL-2 dan IFN-ɤ dan aktivitas sitotoksik limfosit T yang
menurun. Sel yang yang terinfeksi oleh virus HIV dapat menghambat pembentukan IL-12
dan IFN- ɤ sehingga pada pasien SIDA akan lebih rentan mengalami infeksi toksoplasmosis.
Kadar IFN- ɤ yang berkurang pada pasien SIDA juga dapat memicu terjadinya reaktivasi dari
toxoplasmosis kronik sehingga pada pasien imnunokmpromais dapat bersifat simtomatik.
Selain itu, Infeksi T.Gondii juga dapat mengaktivasi endothelium yang menghasilkan
molekul adhesi sepert ICAM-1, VCAM-1 yang dapat mempengaruhi permabilitas sawar
darah otak sehingga dapat ditembus oleh pathogen ini dan menimbulkan manifestasi
neurologik. 11,12
Pasien dalam kasus ini datang dengan keluhan tidak dapat berkomunikasi dengan
orang disekitar, tampak bingung dan terkesan menarik diri. Gerakan tubuh dan bicara pasien
sedikit dan lambat serta tidak dapat melakukan instruksi yang diberikan. Selain itu, selama
masa perawatan didapatkan pasien kejang selama ±5 menit dimana badan kaku seluruh tubuh
dan pasien tertidur pasca kejang. Pasien juga memiliki riwayat demam dan dirawat dirumah
sakit Zubir Mahmud sebelumnya. Keluhan yang dirasakan oleh pasien merupakan
manifestasi adanya gangguan intraserebri berupa disfungsi motorik dan kognitif. Lebih dari
50% pasien TE dengan SIDA memiliki manifestasi intraserebral dan gangguan motorik
akibat infeksi dari T. Gondii. Maka dari itu, gejala-gejala yang sering terjadi pada pasien TE
dengan HIV adalah sakit kepala (38-93%), defisit neurologi fokal (22-80%), demam (35%-
88%), mental confusion (15%-52%), kejang (19%-58%), perubahan perilaku dan
psikomotorik (37%-42%), cranial nerve palsy (12%-28%), ataxia (2%-30%) dan gangguan
penglihatan (8%-19%).4 Selain itu, yostilla (2018) juga menyebutkan bahwa gejala klinis
yang sering ditemui pada pasien TE adalah gangguan status mental (75%), demam (10-72%),
kejang (33%), sakit kepala (56%) dan gangguan neurologis fokal (60%). 8 Keluhan pasien
yang tidak mau bicara, gerakan sedikit dan lambat serta tidak dapat mengikuti instruksi yang
diberikan merupakan ciri khas defisit lesi pada ganglia basalis. Basal ganglia berperan dalam
berbagai fungsi motorik termasuk ekspresi emosi serta integarasi impuls sensorik dan
motorik dan fungsi kognitif. Fungsi utama pada ganglia basalis menyangkut inisiasi dan
fasilitasi gerakan volunter dan supresi simultan dari pengaruh involunter. Defisit khas pada
bagian ini dapat menimbulkan gangguan gerakan kompleks seperti defisiensi gerakan
(hipokinesia) atau gerakan berlebihan (hiperkinesia, korea, atetosis dan balismus) atau
abnormalitas tonus otot seperti distonia.13
Bedasarkan pemeriksaan fisik neurologi pada pasien ditemukan adanya reflek
fisiologis yang meningkat (+2) dan reflek patologis Babinski positif di sebelah kanan.
Upper Motor Neuron merupakan lengkung motorik yang menurun dari korteksi serebral dan
batang otak. Reflek fisiologis yang meningkat menandakan adanya kerusakan pada sistem
saraf pusat bagian UMN. Kerusakan pada daerah tersebut akan menghasilkan peningkatan
reflek (hiperreflek) dengan cara mengurangi hambatan tonik pada segmen medulla spinalis.
Pemeriksaan reflek fisiologis dilakukan bersamaan dengan patologis, reflek patologis akan
muncul apabila ditemukan adanya lesi pada UMN.14 Reflek patologis tersebut muncul akibat
perluasan area refleksogenik pada jaras UMN sehingga memunculkan reflek patologis yang
positif pada pemeriksaan. Reflek patologis lebih mudah terlihat melalui pemeriksaan reflek
babinksi.15
Hasil laboratorium menunjukkan adanya penurunan hematokrit (hematokrit= 41%),
penurunan neutrofil batang (0%), peningkatan monosit 14% dan peningkatan laju endap
darah (LED) 23mm/jam. Yustilla menyebutkan bahwa pemeriksaan laboratorium tidak ada
yang spesifik kecuali limfositosis, peningkatan LED atau peningkatan transaminase. 2 Hasil
dari pemeriksaan antibodi toksoplasma menunjukkan hasil IgG (+) dan IgM (-). Hasil ini
sejalan dengan studi kasus yang dilaporkan oleh Soleimani (2015) dan Yustilla (2018)
dimana hasil IgG pasien yang dilaporkan juga positif. Sekitar 97%-100% pasien HIV positif
dengan TE memiliki anti Toksoplasma IgG yang positif. IgG dapat muncul pada 1-2
minggu pertama setelah infeksi, mencapai puncaknya sekitar 1-2 bulan dan menghilang
dalam beberapa tahun atau bahkan menetap seumur hidup. IgG positif mengindikasikan
bahwa pasien telah terinfeksi dan saat ini mengalami reaktivasi T.Gondii. Namun hanya
saja pemeriksaan IgG tidak dapat membedakan infeksi akut tau infeksi kronik. Hasil IgM
positif dapat muncul segera setelah infeksi dan menghilang dengan cepat. Dalam beberapa
kasus IgM dapat terdeteksi kembali >12 bulan setelah mengalami gejala, sehingga hasil
serum IgM yang positf tidak terlalu bermakna.1,2
Hasil CT-Scan kepala non-kontras pada pasien ditemukan adanya lesi solid berkapsul,
berbatas sebagian tidak tegas dengan ukuran 2,1x2,8x2,3 cm di korona radiata kiri.hingga
basal ganglia kiri dengan perifocal edema disekitarnya yang dengan pemberian kontras
tampak ring contrast enhancement. Modalitas radiologi yang dapat dilakukan untuk menilai
adanya TE dapat berupa CT-Scan dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Sekitar 80%
pasien SIDA yang telah terdeteksi dengan IgG T.Gondii yang positif dan gambaran cincin
multiple (multiple ring enhancement) pada CT-scan kepala merupakan Toxoplasmic
ensephalitis.8 Hasil CT-scan pada kasus pada pasien TE menunjukkan gambaran multiple
enhancing lesion.15 Namun, dari bebrapa hasil CT-scan pada kasus TE yang dilaporkan oleh
Wang e.al memiliki lesi tunggal pada CT-Scan. Oliveira et.al (2016) dalam studinya juga
menyebutkan bahwa sebanyak 41,5% pasien SIDA dengan TE memiliki lesi tunggal pada
hasil CT-scan kepala. Kemudian ditindaklanjuti dengan pemeriksaan MRI apabila pada hasil
CT-Scan ditemukan lesi tunggal (soliter). Hal tersebut diperlukan untuk mencari lesi-lesi lain
yang tidak tampak pada CT-scan. 8 Pemakaian kontras diperlukan untuk memperjelas
gambaran adanya lesi Toxoplasmic ensephalitis pada otak, karena karena setelah pemberian
zat kontras lesi akan menyerap zat kontras dan akan membentuk gambaran cincin dengan
dinding tipis. Perifokal edema juga dapat ditemukan dalam beberapa lesi TE. Lokasi
predileksi tersering adalah daerah thalamus, corticomedullary junction dan basal ganglia. 3,9

Gambar hasil CT-Scan kepala pasien menunjukkan lesi dengan ring enhancement dan
perifokal edema

Standar baku emas TE ditegakkan melalui pemeriksaan histopatologi dari jaringan


biopsi otak. Namun, tindakan ini jarang dilakukan karena dapat meningkatkan morbiditas.
Literatur lain menyebutkan bahwa pemeriksaan biopsi otak dapat dilakukan jika tidak terjadi
perbaikan klinis setelah pemberian terapi empiris selama 10-14 hari. Karena umumnya
perbaikan gejala neurologis dapat dicapai pada hari ke-14 pada 91% kasus apabila terapi
empiris diberikan dengan tepat.1,9
Pemberian terapi kotrimoksazole dan clindamycin pada pasien dalam kasus ini
merupakan bagian dari terapi TE. Kasus TE merupakan kasus kegawatdaruratan neurologi
pada SIDA. Saat ini hampir 80-90% pasien TE yang menerima terapi antitoxoplasmosis
menunjukkan perbaikan klinis dan radiologis. Regimen terapi lini pertama pada TE adalah
pirimetamin dan sulfadiazin. Namun, kotrimoksazole dapat diberikan sebagai alternatif terapi
pada TE. Kotrimoksazol bekerja dengan menghambat proliferasi T. Gondii dan
mengahancurkan pathogen melalui penghambatan jalur metabolisme folat. Obat tersebut
dapat menghambat enzim dihydrofolate reductase dan dihydropteroate synthase sehingga
mengahambat sintesis tetrahydrofolate yang merupakan bahan baku dari sintesis DNA
T.Gondii. Kotrimoksazole memiliki kemampuan inhibisi yang sangat selektif terhadap enzim
reductase dihydrofolate T.Gondii sehingga toksisitas hematologi kotrimoksazole lebih rendah
dibandingkan pirimetamin. Klindamisin, lincomycin juga dapat menghambat T.Gondii
melalui mekanisme yang belum diketahui secara jelas. Dosis kotrimoksazole yang digunakan
adalah 2x960 mg (160 mg thrimetophrim + 800 sulfametoksazole) sedangkan klindamysin
diberikan 4x600 mg selama 3-6 minggu. Prednison dapat diberikan dengan dosis
1,5mg/kg/hari selama 2-3 minggu yang kemudian dosisnya diturunkan secara bertahap bila
ditemukan adanya efek massa pada otak atau bila terjadi edema serebri difusa.2,8,16
Sedangkan Atrivia diberikan sebagai terapi antiretroviral dan Isoniazid sebagai terapi
profilaksis TB. Risiko infeksi TE pada pasien SIDA semakin tinggi bila nilai CD4+ <200
sel/mm3 bahkan setiap pengurangan 50 sel CD4+ akan meningkatkan risiko TE sebesar 30%.
Namun, setelah terapi antiretroviral diperkenalkan, saat ini risiko dan mortalitas TE menurun
secara drastis akibat perbaikan dari sitem imun. 2,16,17 Sebanyak 8,6% pasien TB adalah pasien
SIDA dan 64% pasien SIDA memiliki koinfeksi TB. Pada suatu studi metanalisis di Ethiopia,
pemberian terapi preventif isoniazid pada pasien SIDA dapat menekan angka kejadian TB
hingga 74% bahkan 91% pada pemberian 12 bulan.18
Untuk mencegah terjadinya kasus TE pada pasien SIDA dapat diberikan terapi
profilaksis primer pada pasien yang memiliki hasil serologi IgG positif toksoplasma dengan
hitung sel T CD4+ <100 sel/mm3 atau <200 sel/mm3 bila telah muncul manifestasi koinfeksi
lainnya. Umumnya regimen terapi pilihan yang diberikan adalah kotrimoksazol dengan dosis
960 mg (160 mg trimethoprim + 800 sulfametoksazol) per 12 jam. Profilaksis primer dapat
dihentikan bila hitung CD4 >200sel/mm3 dan bertahan selama 3 bulan. 1,2,15 Profilaksis
sekunder diberikan untuk mencegah rekurensi dari infeksi toksoplasma. Sekitar 30% pasien
SIDA mengalami toksoplamosis berulang akibat minimnya kepatuhan terhadap profilaksis
sekunder toksoplamosis. Salah satu regimen terapi yang direkomendasikan adalah
kotrimoksazol. Profilaksis sekunder dapat dihentikan jika pasien menunjukkan perbaikan
klinis yang ditandai dengan hilangnya manifestasi klinis toksoplasmosis dan adanya
perbaikan dari imunitas tubuh pasien yang ditandai dengan meningkatnya CD4 >200 sel/mm 3
yang menetap selama 3 bulan.2,16,19,20

KESIMPULAN

Toxoplasmic ensephalitis (TE) merupakan infeksi oportunistik pada sistem saraf yang sering
dialami oleh pasien SIDA. Infeksi ini dapat terjadi akibat reaktivasi pathogen toksoplasma
pada pasien imunokompromais seperti SIDA. Toxoplasmic encephalitis (TE) merupakan
kasus kegawatdaruratan neurologi yang membutuhkan penanganan yang cepat dan tepat agar
didapatkan hasil terapi yang memuaskan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Baratloo A, Hashemi B, Rouhipor A, harountunian P, Mahdlou M. Review of


Toxoplasmic encephalitis in HIV Infection; a Case Study. Arch Neurosci. 2014. P.1-5).
2. Yuliawati I, Nasronudin. Pathogenesis, Diagnostic and Management of Toxoplasmosis.
Indonesian Journal of Tropical and Infectious Disease. Vol.5 2015. P.100-6),
3. Wang H, Zhang Q, Shi Y, Li R, Wang S, Sun J,et.al. The imaging diagnostic criteria of
SIDA-related cerebral toxoplasmosis in China. Radiology of Infectious Disease.
2020.p.1-6 ),
4. (Wang ZD, wang SC, Liu HH, Ma HY, Li ZY, Wei F, et.al. Prevalence and burden of
Toxoplama Gondii, infections in HIV-infected people: a systematic review and meta-
analysis, Lancet HIV. 2017.p.177-88),
5. Nelwan E J, Wisaksana R. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed.6. Interna
Publishing. P.910-1).
6. Kemenkes RI. Strategi Komunikasi Penanggulangan HIV dan SIDA di Indonesia,
Jakarta: Direktorat Jendral P2PL Kemenkes RI.
7. Kemenkes RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.15. 2015. P.11-8.
8. Yostilla, Armen A. Toxoplasmosis cerebri pada HIV SIDA. Jurnal Kesehatan Andalas.
2015. P.96-9
9. Oliveira G B, Lopes da S M, Batista W L, Carolina da C C, Brandao F E C, Maria de M
Z, et.al. Cerebral Toxoplasmosis in patients with acquired immune deficiency syndrome
in the neurological emergency department of a tertiary hospital. Clinical Neurology and
Neurosurgery. 2016. P.5-14.
10. Koshy A, Harris T H, Lodoen M B. Cerebral Toxoplasmosis. Dalam: Toxoplasma
Gondii. Elsevier. 2020. P.1043-73
11. Graham A K, Fong C, Naqvi A, Lu J. Toxoplasmosis of the central nervous system:
Manifestations vary with immune response. Journal of the Neurological Sciences.2020.
p.1-13.
12. Lees A, Hurwitz B. Testing The Reflexes. 2019. The British Medical Journal;
366:14830.
13. Bahr M, Frotscher M. Duus’ Topical Diagnosis in neurology: anatomy, physiology,
signs, symtoms. Thieme. 2019.
14. Campell WW, Barohn RJ. Pathologic Reflexes. DeJong’s The Neurology Exam.Ed 8 th
Philadelpia. Wolter Kluer. 20202.p1134-64
15. Soleimani A, Bairami A. Cerebral toxoplasmosis in a patient leads to diagnosis of SIDA.
The Asian Pacific Journal of Tropicak Disease. 2015. P.1-2
16. Vidal J E. HIV-Related Cerebral Toxoplasmosis Revisited: Cerebral toxoplamosis
revisited current concepts and controversies of an old disease.2019.p.1-20.
17. Nguyen I, urbancyzk k, Mtui E, Li S. Intracranial CNS Infections: A Literature review
and radiology case studies. 2019.p.1-30.
18. Geremew D, Endalamaw A, Negash M, et.al. The protective effect of Isoniazid
preventive therapy on tuberculosis incidence among HIV positive patients receiving
ART in Ethiopian settings: A meta-analysis. BMC Infect Dis. 2019.
19. Conolly MP, Haritsma G, Hernandez AV, Vidal JE. Sytematic review and meta-analysis
of secondary prophylaxis for preventive of HIV-related toxoplasmic encephalitis relapse
usisng thrimetoprim-sulfametoxazole,pathog Glob Health. 2017.p. 327-31
20. Jameson JL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser DL. Longo DL, Loscalzo J. Toxoplasmosis
Dalam: Harrison’s Manual of Medicine. Mc Graw Hill. 2020.p. 618-20.

Anda mungkin juga menyukai