Oleh:
LAPORAN KASUS II
OLEH:
dr. Dolly Jazmi
210710602009
2
BAB I
PENDAHULUAN
Astrocytoma merupakan sebuah tumor yang berasal dari sel astrosit, salah
satu jenis sel glia pada serebrum yang berbentuk bintang. Astrocytoma merupakan
glioma yang paling sering ditemukan, dimana biasanya terjadi pada otak dan
terkadang pada medulla spinalis. Kejadian tumor glial mencapai sekitar 60% dari
tumor-tumor pada otak. Astrocytoma pilositik biasanya ditemukan pada pasien
berusia kurang dari 20 tahun, sementara itu pasien pada usia 30-40 tahun lebih sering
ditemukan dengan low grade astrocytoma, yang berkontribusi pada seperempat kasus
orang dewasa. Angka insidensi glioma yang terstandardisasi-usia yaitu 4,7/100.000
person-years1.
Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan sebuah retrovirus dengan
selubung virus (amplop) yang memiliki 2 salinan genom RNA berantai tunggal, yang
diklasifikasikan menjadi HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 dapat ditemukan secara global dan
bersifat lebih virulen daripada HIV-2. HIV merupakan virus yang menyebabkan
terjadinya acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) pada stadium akhir penyakit
HIV. AIDS biasanya dicirikan dengan adanya infeksi oportunistik dan tumor, yang
biasanya bersifat fatal bila tidak diterapi. Estimasi jumlah orang yang didiagnosis
HIV/AIDS per 2016 berkisar 36,7 juta orang di seluruh dunia. Faktor risiko yang
diasosiasikan dengan infeksi HIV yaitu laki-laki yang melakukan hubungan seks
sesama jenis, aktivitas seksual tidak terproteksi, penggunaan obat suntik, transmisi
vertikal, dan riwayat transfusi darah atau produk darah2.
Pasien yang terinfeksi HIV lebih terpredisposisi untuk mengalami kompikasi,
baik infeksius maupun noninfeksius. Penggunaan antiretroviral therapy (ART)
berkontribusi dalam penurunan kejadian infeksi oportunistik dan memperpanjang
angka harapan hidup pasien. Hal ini berpengaruh pada meningkatnya kejadian
keganasan yang termasuk ke dalam non-AIDS-defining malignancies (NADM).
Hampir 40-60% pasien dengan AIDS akan mengalami gangguan neurologis, dimana
3
sekitar 10% pasien dengan AIDS ditemukan memiliki kanker otak. Walaupun
mayoritas tumor-tumor pada sistem saraf pusat ini adalah limfoma, tumor-tumor
4
5
glioma juga dapat ditemukan. Insidensi tumor glial pada Sistem Saraf Pusat (SSP)
yaitu 0,05% dimana massa fokal lainnya berkisar hingga 6%3,4.
Hubungan antara infeksi HIV dan tumor glioma seperti astrocytoma belum
dimengerti secara baik. Tingginya insidensi keganasan pada pasien yang telah
diterapi ARV mengindikasikan bahwa inkompetensi imun saja tidak secara jelas
melatarbelakangi perkembangan dan progresi tumor glioma. Infeksi HIV mendukung
perkembangan sel glia melalui beberapa faktor yang meliputi pengaktivan onkogen,
perusakan pertahanan imun, dan pembentukan faktor-faktor pertumbuhan dan sitokin
yang dapat menginduksi terjadinya astrocytosis3,4.
Kasus ini kami laporkan seorang laki-laki berusia 32 tahun yang terinfeksi
HIV dengan koinsidensi astrocytoma. Mengingat potensi perkembangan penyakit
yang cepat, penting untuk dilakukan penegakan diagnosis serta tatalaksana yang cepat
dan tepat untuk memperpanjang harapan hidup pada pasien HIV dengan koinsidensi
astrocytoma.
BAB II
KASUS
Seorang laki laki berusia 32 tahun asal dari Bireuen, rujukan dari RSUD Pidie
Jaya, datang ke Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin (RSUDZA) tanggal
28 Juni 2022 dengan dengan penurunan kesadaran sejak 3 hari sebelum masuk rumah
sakit. Pasien masih dapat membuka mata saat dipanggil, namun sulit diajak
berkomunikasi. Menurut anamnesis yang didapat dari keluarga, keluhan penurunan
kesadaran terjadi secara perlahan, keluarga tidak mengetahui riwayat kejang, trauma
kepala, nyeri kepala, dan keluarga menyangkal adanya muntah. Pasien dikatakan
keluarga mengeluhkan demam sejak 2 bulan terakhir, bersifat terus menerus dengan
suhu yang tidak terlalu tinggi, turun dengan pemberian obat. Batuk dikeluhkan
sesekali, tidak berdahak. Sesak napas disangkal. Riwayat berkeringat malam hari
tidak diketahui.
Selanjutnya keluarga menerangkan bahwa pasien juga mengeluhkan adanya
sariawan di rongga mulut disertai nyeri menelan sejak 1 bulan terakhir, yang
membuat pasien kehilangan nafsu makan. Pasien dikatakan mengeluhkan penurunan
berat badan >10 kg dalam 1 tahun terakhir. Pasien juga pernah mengeluhkan adanya
benjolan di leher kanan yang tidak nyeri serta adanya bintik-bintik kemerahan yang
gatal, tetapi keluarga tidak mengetahui sudah berapa lama keluhan tersebut ada.
Terdapat juga riwayat BAB cair selama 2 bulan terakhir, dimana frekuensi, volume,
dan konsistensi tidak diketahui secara pasti. Riwayat BAK tidak diketahui.
Menurut keterangan keluarga, pasien tinggal sendiri di luar kota sejak 9 tahun
terakhir dan tidak berhubungan harmonis dengan saudara-saudaranya. Sepengetahuan
keluarga, pasien sering bepergian ke Banda Aceh, Medan, Jakarta, hingga ke
Malaysia, namun tidak diketahui dengan pasti pekerjaan dan aktivitas pasien sebelum
sakit. Keluarga pasien tidak mengetahui riwayat minum alkohol ataupun penggunaan
narkoba jarum suntik oleh pasien. Keluarga juga menyatakan bahwa pasien memiliki
kecenderungan menyukai sesama jenis. Pasien berobat menggunakan asuransi
kesehatan BPJS.
6
7
motorik kesan lateralisasi sinistra dengan refleks fisiologis +4/+3, refleks patologis
babinski (+), sensoris belum dapat dinilai, otonom belum dapat dinilai.
Hasil pemeriksaan laboratorium yang dilakukan di RSUDZA pada tanggal 28
Juni 2022 hingga 12 Juli 2022 disimpulkan sebagai anemia berat normokromik
normositer (7,4), neutrofilia (89%), peningkatan enzim transaminase (SGOT 82),
hipoalbuminemia sedang (2,6), leukosituria (25-50 LPB), hematuria mikroskopis (5-
10 LPB), bilirubinuria, serta hasil reaktif pada pemeriksaan HIV 3 metode. Pada
pemeriksaan evaluasi darah rutin tanggal 11 Juli 2022 dengan pansitopenia (Hb 9,9 ,
Leukosit 1.800, Trombosit 88.000mm), neutrofilia (83%). Pada pemeriksaan EKG
tanggal 29 Juni 2022, didapatkan irama sinus, kecepatan denyut jantung 84x/menit,
normoaxis. Pada pemeriksaan chest x-ray tanggal 1 Juli 2022, didapatkan CTR 59%
dan tampak paru dengan infiltrat pada bagian tengah paru kiri dengan kesan
pneumonia. Pada tanggal 7 Juli 2022, dilakukan pemeriksaan CT scan kepala dengan
kontras dan didapatkan Lesi hipodens tentacle pada hemisphere serebri kanan dan
kiri, sulci dan gyri normal, tak tampak deviasi mid line struktur dengan kesimpulan
low grade astrocytoma.
Pasien didiagnosis dengan: 1) Penurunan kesadaran ec dd/ intracranial space
occupying lesion (low grade astrocytoma) dd sepsis dd ensefalitis toksoplasma; 2)
HIV stadium IV dengan IO candidiasis oral, diare kronis, neuro-AIDS, dan wasting
syndrome; 3) Pneumonia komunitas; 4) Infeksi saluran kemih; 5) Limfadenopati a. r.
coli bilateral ec dd/ limfoma maligna dd limfadenitis TB; 6) Perdarahan saluran cerna
bagian atas ec dd/ stress-related mucosal damage dd gastric ulcer; 7) Pansitopenia ec
dd/ drug-induced dd related to HIV infection; 8) Low grade astrocytoma ; 9)
Peningkatan kadar enzim hepar dengan jaundice ec dd/ related to HIV infection dd
sepsis dd drug induced; 10) Hipoalbuminemia sedang ec dd/ low intake dd sepsis.
Pasien ditatalaksana dengan terapi non farmakologi berupa tirah baring,
pemasangan NGT dan kateter urin, pemberian oksigen 4 lpm via nasal cannule, diet
sonde 6 x 200 cc/hari dengan diet ekstra putih telur, serta IVFD NaCl 0,9% 20 tpm.
Tatalaksana farmakologis pasien berupa IVFD Clinimix (cairan asam amino, glukosa,
elektrolit) 1000 cc/24 jam, IV ceftriaxone 1 g/12 jam, Telura (Tenovofir 300 mg +
9
Keadaan pasien semakin memburuk dimana pada tanggal 6 Juli 2022, pasien
didiagnosis dengan sepsis ec dd/ pneumonia dd urosepsis. Terapi IV meropenem 1
gr/8 jam ditambahkan pada daftar terapi pasien. Pada tanggal 13 Juli 2022, pasien
mengalami syok sepsis ec dd/ pneumonia dd urosepsis dan diterapi tambahan dengan
drip norepinefrin dengan dosis titrasi mulai 0,05 mcg/kgBB/jam. Pada tanggal 14 Juli
2022 pukul 00.30, pasien dinyatakan meninggal dengan penyebab kematian syok
sepsis.
BAB III
DISKUSI
11
gejala-gejala seperti penurunan berat badan >10%, diare kronis lebih dari 1
bulan, kandidiasis orofaringeal, TB paru, dan infeksi bakteri yang berat
lainnya. Terakhir, pada stadium keempat, atau disebutnya fase
12
13
Pada laporan kasus ini pasien merupakan seorang laki laki berusia 32
tahun, datang dengan dengan penurunan kesadaran sejak 3 hari sebelum
masuk rumah sakit. Pasien masih dapat membuka mata saat dipanggil,
namun sulit diajak berkomunikasi. Menurut anamnesis yang didapat dari
keluarga, keluhan penurunan kesadaran terjadi secara perlahan, pasien juga
mengeluhkan demam sejak 2 bulan terakhir, bersifat terus menerus dengan
suhu yang tidak terlalu tinggi, turun dengan pemberian obat. Batuk
dikeluhkan sesekali, tidak berdahak. Selanjutnya keluarga menerangkan
bahwa pasien juga mengeluhkan adanya sariawan di rongga mulut disertai
nyeri menelan sejak 1 bulan terakhir, yang membuat pasien kehilangan nafsu
makan. Pasien dikatakan mengeluhkan penurunan berat badan >10 kg dalam
1 tahun terakhir. Pasien juga pernah mengeluhkan adanya benjolan di leher
kanan yang tidak nyeri serta adanya bintik-bintik kemerahan yang gatal.
Terdapat juga riwayat BAB cair selama 2 bulan terakhir.
Komplikasi neurologis sering ditemukan pada pasien HIV/AIDS,
dimana sekitar 40-60% pasien dengan AIDS diprediksi akan mengalami
sekuel neurologis dalam perkembangan penyakitnya. Infeksi oportunistik
neurotropik seperti toxoplasmosis dan meningitis kriptokokus sering terjadi
pada keadaan imunokompromais. NeuroAIDS merupakan sebuah sindrom
yang berkembang dari kerusakan neuronal yang dikaitkan dengan HIV dan
terjadi akibat adanya sekresi protein virus dan respon inflamasi tubuh
terhadap protein tersebut. NeuroAIDS dapat bermanifestasi sebagai demensia,
neuropati sensoris, myelopati, kejang, dan meningitis aseptik 6,7.
Perkembangan pada tatalaksana HIV telah secara signifikan menurunkan
kejadian infeksi oportunistik dan meningkatkan angka harapan hidup. Namun
hal ini juga berakibat pada peningkatan populasi yang bertahan hidup cukup
panjang untuk mengalami kejadian-kejadian non-AIDS defining malignancies,
14
seperti glioma6,8. Saat ini, sekitar 10% pasien dengan AIDS juga didiagnosis
dengan tumor otak4.
Glioma adalah tumor primer pada otak dan medulla spinalis yang
paling agresif dan paling sering ditemukann pada populasi orang dewasa.
Astrocytoma dan glioblastoma multiforme (GBM) merupakan kelompok
glioma yang berasal dari sel-sel astrosit. Klasifikasi glioma yang mengacu
pada WHO Classification of Tumors of the Central Nervous System Tahun
2007 (Tabel 1) mempertimbangkan karakteristik morfologi dan
imunohistokimia jenis-jenis glioma dan berguna untuk mendiagnosis derajat
keparahan penyakit. Menggunakan klasifikasi ini, dideskripsikan 4 tingkat
keparahan glioma (grade I-IV). Tumor grade I atau astrocytoma pilositik
biasanya bersifat jinak dan dapat direseksi melalui tindakan bedah. Tumor
grade II atau disebut juga glioma difus, glioma low-grade atau infiltratif
meliputi astrocytoma, oligodendroglioma, serta oligoastrocytoma. Tumor
grade II ini merupakan tumor yang tumbuh lambat dan dapat berkembang
menjadi lebih agresif seiring waktu. Tumor grade III yaitu astrocytoma
anaplastik, oligodrendoglioma anaplastik, dan oligoastrocytoma anaplastic.
Tumor grade IV-GBM dicirikan sebagai fenotip yang cepat tumbuh dengan
adanya regio nekrotik dan perkembangan vaskular. Disebut sebagai GBM
primer bila GBM tumbuh de novo, sedangkan GBM sekunder bila
berkembang dari glioma dengan derajat yang lebih rendah. Klasifikasi
tersebut diperbaharui oleh WHO pada tahun 2016 untuk mempermudah
manajemen dan memprediksi kesintasan pasien (Tabel 2). Pada klasifikasi ini
juga ditambahkan beberapa perubahan genetik yang mendukung diagnosis9,10.
15
Hubungan antara infeksi HIV dan tumor glioma seperti astrocytoma belum
dimengerti secara baik. Efek stimulasi akibat infeksi HIV pada perkembangan tumor
glioma telah diasosiasikan dengan penurunan surveilans imun. Namun inkompetensi
imun saja tidak secara jelas melatarbelakangi perkembangan dan progresi tumor
glioma, menimbang bahwa insidensi keganasan pada pasien dengan HIV yang
diterapi dengan ARV masih tetap lebih tinggi dibandingkan individu tanpa HIV.
Studi telah menunjukkan bahwa beberapa sel glial dapat memiliki kemampuan untuk
menekan infeksi HIV dengan mensekresi molekul yang menginhibisi penempelan
HIV pada sel target, sementara beberapa sel glial lain tidak. Sel target HIV yang
dominan pada otak yaitu mikroglia dan makrofag, sementara sel-sel lain seperti
astrosit, oligodendrosit, neuron, dan sel mikrovaskular biasanya bersifat resistan4,11.
Infeksi HIV mendukung perkembangan sel glia melalui beberapa faktor yang
meliputi pengaktivasian onkogen, perusakan pertahanan imun, dan pembentukan
faktor-faktor pertumbuhan dan sitokin yang dapat menginduksi terjadinya
astrocytosis, atau sebuah peningkatan jumlah astrosit yang abnormal akibat adanya
16
destruksi neuron di sekitarnya. Pasien yang diterapi dengan ARV juga dapat
membentuk aktivasi imun kronis yang berkontribusi terhadap progresi kanker dengan
menstimulasi produksi spesies nitrogen dan oksigen reaktif, sehingga menunjang
proliferasi sel, bersamaan dengan meningkatnya sekresi kemokin dan sitokin pro-
karsiogenik3,4.
Selain itu, sel tumor dapat terekspos secara langsung dengan protein-
protein HIV seperti gp120, yang mana dapat disekresikan oleh mikroglia dan
astrosit yang terinfiltrasi dan terinfeksi. HIV dipercaya masuk dan
mengeinfeksi sistem saraf pusat melalui interaksi antara envelope protein
gp120 dan reseptor CCR5 dan CXCR4 yang diekspresikan pada makrofag,
tetapi beberapa neuron dan astrosit diperkirakan diperkirakan juga
mengekspresikan protein-protein tersebut yang berujung pada infeksi pada
sel-sel tersebut. Sel-sel GBM juga dapat mengekspresikan CXCR4 dan CCR5
dan aktivasi reseptor-reseptor ini diketahui mendukung kesintasan sel dan
progresi siklus sel12. Sehingga, meskipun beberapa sel resistan terhadap
infeksi HIV, sel-sel glioma dapat berinteraksi dengan HIV envelope protein
gp120 dan interaksi ini mendukung adanya proliferasi sel dan pertumbuhan
tumor4,13.
inhibitor (PI) untuk tatalaksana HIV juga dapat memberikan manfaat sebagai
terapi tambahan untuk tumor, mengingat PI mendukung inhibisi VEGF dan
menurunkan angiogenesis in vivo. Meski dengan terapi multifokal yang
agresif, median survival time setelah diagnosis ini masih berkisar 12 bulan.14
18
BAB V.
DAFTAR PUSTAKA
2. Vaillant AAJ, Gulick PG. HIV Disease Current Practice. In: StatPearls
[Internet] [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534860/
5. Parekh BS, Ou C yih, Fonjungo PN, Kalou MB, Rottinghaus E, Puren A, et al.
Diagnosis of Human Immunodeficiency Virus Infection. Clin Microbiol Rev.
2019;32(1):1–55.
6. Choy W, Lagman C, Lee SJ, Bui TT, Safaee M, Yang I. Impact of Human
Immunodeficiency Virus in the Pathogenesis and Outcome of Patients with
Glioblastoma Multiforme. Brain Tumor Res Treat. 2016;4(2):77.
19
a Case Series and Review of Published Studies. Clin Oncol [Internet].
2009;21(8):591–7. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.clon.2009.04.006
10. Komori T. The 2016 WHO classification of tumours of the central nervous
system: The major points of revision. Neurol Med Chir (Tokyo).
2017;57(7):301–11.
14. Oliveira VCM de, Gomes T, Ferreira LCL, Damian MM, Silva VMFQ, Araujo
JR, et al. Glioblastoma Multiforme in an HIV-Infected Patient : An
Unexpected Diagnosis. J Int Assoc Provid AIDS Care. 2014;13(5):411–3.
20