Anda di halaman 1dari 12

SEORANG PASIEN DENGAN LIMFOMA NON HODGKIN DAN

ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN

Dyah Peni Puspitasari


Merlyna Savitri

Pendahuluan
Limfoma Non Hodgkin (LNH) adalah salah satu jenis dari Limfoma Maligna
(LM) selain Limfoma Hodgkin (LH) yang pada dasarnya adalah sel limfosit yang
berada pada salah satu tingkat deferensiasinya dan berproliferasi secara banyak.
Sebagian besar keganasan limfoid (80-85%) berasal dari sel B, limfosit T dan amat
jarang dari sel NK (natural killer cell). Tidak seperti LH, LNH lebih sulit diprediksi
dan predileksi ekstra nodalnya jauh lebih luas (Sedana, 2015). Prevalensi LNH sangat
meningkat dibandingkan 20 tahun yang lalu. Pada tahun 2010, LNH dinyatakan
sebagai kanker terbanyak keenam dan penyebab kematian kedelapan akibat kanker
(Dehghani, 2015). LNH lebih banyak ditemukan pada penderita berusia 65-74 tahun
dengan median umur saat terdiagnosis adalah 67 tahun (National cancer Institute,
2017). Laki-laki mempunyai prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan perempuan.
Hal ini dnyatakan pada beberapa penelitian salah satunya penelitian dari Yasmeen, et
al., tahun 2019 yang menyatakan prevalensi LNH pada laki-laki 66,7% dan perempuan
33,33%.
Anemia sangat umum ditemukan pada penderita kanker. Namun anemia lebih
sering ditemui pada penderita limfoma dan multiple myeloma. Pada penderita limfoma,
anemia telah terbukti menjadi suatu faktor prognostik independen dengan hasil terapi
yang buruk dan peningkatan mortalitas. Selain itu anemia juga menurunkan kualitas
hidup penderita limfoma dengan menyebabkan kelelahan, sesak nafas, komplikasi
kardiovaskular, gangguan kognitif, dan penurunan status performa (Yasmeen, 2019;
Ghosh, 2013). Sebuah studi di Pakistan melaporkan, meskipun angka kejadian LNH
lebih banyak pada laki-laki tetapi anemia lebih sering terjadi pada perempuan. Hal ini
dikaitkan dengan wanita usia produktif yang masih mengalami menstruasi (Morrow,
2002). Ada banyak faktor yang menyebabkan anemia pada penderita dengan gangguan
limfoproliferatif, yaitu anemia penyakit kronis, anemia defisiensi besi, defisiensi
nutrisi, anemia hemolitik autoimun, infiltrasi sumsum tulang, dan perdarahan (Ghosh,
2013). Pada sebuah penelitian didapatkan hasil prevalensi anemia terbanyak pada
penderita limfoma, yaitu 33,1% berupa anemia penyakit kronis, diikuti dengan
infiltrasi sumsum tulang (27,17%), anemia defisiensi besi (7,6%), anemia defisiensi B
12 (1,6%), dan anemia hemolitik autoimun (0,54%) (Yasmeen, 2019). Anemia

Laporan Kasus Departemen-SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair-RSUD Dr. Soetomo


Surabaya, 8 Juli 2020
1
hemolitik autoimun merupakan salah satu anemia yg jarang ditemukan pada limfoma
dengan prevalensi antara 0,13% dan 2,1% (Vacrocy, 2002). Hubungan antara anemia
hemolitik autoimun dan LNH sudah banyak dilaporkan baik sel B dan T. Namun secara
patogenesis hubungan keduanya masih banyak kontroversi (Sallah, 2000). Anemia
hemolitik autoimun dapat dikaitkan dengan penyakit limfoproliferatif seperti limfoma
Hodgkin atau non-Hodgkin, namun kejadiannya jarang terjadi (Chauhan, 2012).
Berikut ini akan disajikan sebuah laporan kasus seorang pasien LNH dengan anemia
hemolitik auotimun.

Kasus
Seorang penderita Tn. S, 44 tahun, berjenis kelamin laki-laki, suku Jawa,
menikah, bertempat tinggal di Tulungagung, Jawa Timur datang ke Poli POSA
Hematologi Onkologi Medik dr. Soetomo pada tanggal 9 Juli 2019 dengan keluhan
utama badan mudah lelah dan capai sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit
(SMRS).
Dari anamnesis didapatkan keluhan mudah lelah dan capai sejak 1 minggu
SMRS. Pasien merasa mudah lelah dan capai bila digunakan aktivitas sehari-hari
seperti bertani ataupun berjalan jauh. Sesak disangkal, ngongsrong disangkal, berdebar
disangkal dan demam disangkal. Mual dan muntah ada sebanyak 2x berupa makanan
yang dimakan. Makan dan minum pasien dirasa tidak berkurang. Buang air besar dan
buang air kecil pasien tidak ada keluhan. Perdarahan gusi, mimisan atau pun buang air
besar seperti petis disangkal.
Riwayat pasien mengeluhkan benjolan di leher sebelah kiri sejak bulan Juni
2018. Benjolan berukuran diameter 1cm. Tidak ada keluhan nyeri pada benjolan.
Keluhan keringat malam ada, penurunan berat badan ada, gatal-gatal ada, namun tidak
ada sumer-sumer. Oleh pasien diperiksakan di RS Tulungagung dan kemudian pasien
dirujuk ke RS dr. Soetomo. Biopsi dilakukan pada bulan Oktober dengan hasil biopsi
didapatkan potongan jaringan kelenjar getah bening (KGB) dengan arsitektur
terganggu dengan pertumbuhan tumor yang tersusun diffuse, terdiri dari proliferasi sel-
sel anaplastik, inti bulat relatif monoton, kromatin kasar, sitoplasma sempit, berukuran
kecil-sedang, mitosis 18/10 HPF kesan non Hodgkin lymphoma. Setelah biopsi
benjolan semakin membesar dan muncul benjolan baru di leher, ketiak dan
selangkangan. Pemeriksaan imunohistokimia didapatkan CD3 positif pada membran
sel tumor, CD20 negatif pada sel tumor, positif pada limfosit matur, K167 index
proliferasi 80% dengan kesimpulan non Hodgkin lymphoma, T cell type, high grade.
Januari 2019 pasien dilakukan kemoterapi CHOP dan dilakukan sebanyak 4 siklus
hingga bulan April 2019 namun benjolan tetap membesar. Mei 2019 pasien memulai

2
kemoterapi ICE. Pada kemoterapi ICE kedua, 15 Juni 2019 dosis dinaikan dan benjolan
dirasakan semakin mengecil. Riwayat darah tinggi dan kencing manis disangkal.
Riwayat kencing manis, darah tinggi dan keganasan dalam keluarga disangkal.
Pasien tinggal di Tulungagung bersama istri dan 2 anaknya. Pasien sehari-hari bekerja
membuka toko di rumah dan bertani.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kondisi umum cukup, dengan GCS 456,
tekanan darah 110/80, nadi 92x/menit, pernapasan 18x per menit, dan suhu aksila 37oC.
Pada pemeriksaan kepala leher didapatkan konjungtiva anemis, tidak didapatkan
ikterus, dyspnea ataupun sianosis, didapatkan pembesaran kelenjar getah bening di
colli D/S. Teraba massa multiple di colli sinistra berdiameter 1-6cm, konsistensi padat
kenyal, warna kulit normal, mobile, tidak nyeri tekan. Teraba massa multipel di colli
dextra berdiameter 1-2cm, konsistensi padat kenyal, warna kulit normal, mobile, tidak
nyeri tekan. Pada pemeriksaan thorax jantung didapatkan S1, S2 tunggal tanpa disertai
adanya suara tambahan murmur maupun gallop. Pada pemeriksaan paru didapatkan
suara nafas vesikuler pada kedua lapang paru, tidak didapatkan rhonki maupun
wheezing. Teraba massa soliter di axilla sinistra berdiameter 2cm, konsistensi padat
kenyal, warna kulit normal, mobile, tidak nyeri tekan. Pada pemeriksaan abdomen
supel, bising usus normal tidak didapatkan hepatomegali dan splenomegali. Pada
pemeriksaan ekstremitas didapatkan akral hangat dan CRT<2 detik. Teraba massa
multipel di inguinalis sinistra berdiameter 1,5-3cm, konsistensi padat kenyal, warna
kulit normal, mobile, tidak nyeri tekan. Teraba massa multipel di inguinalis dextra
berdiameter 1-2cm, konsistensi padat kenyal, warna kulit normal, mobile, tidak nyeri
tekan.
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 5,8g/dL, RBC 1,96x106/uL,
HCT 18,1%, MCV 92,3fL, MCH 29,6pg, MCHC 32,7g/dL, WBC 1390/uL, Eo 1,7%,
Baso 0%, Neut 59,7%, Lymph 25,9%, Mono 13,7%, PLT 130000/uL. Pasien
didagnosis dengan LNH colli D/S T cell type high grade CD3+ stadium IIIB post
CHOP IV post ICE II day 25 partial response dan ESO grade IV. Pasien direncanakan
untuk dilakukan pemeriksaan darah lengkap post transfusi dan konsul divisi
hematologi onkologi untuk dosis kemoterapi. Pasien diberikan terapi diet TKTP 2100
kkal/hari, transfusi PRC 2 kolf/hari, injeksi Metoclopramid 10mg tiap 8jam dan injeksi
Ranitidin 50mg tiap 12jam.
Pada hari perawatan ketiga keluhan mual muntah dan demam tidak ada. Pasien
belum dapat ditransfusi dan didapatkan laporan bank darah autocontrol 2+, mayor 1+
dan minor 2+. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kondisi umum cukup, dengan GCS
456, tekanan darah 110/80, nadi 102x/menit, pernapasan 16x per menit, dan suhu aksila
36,7oC. Pada pemeriksaan fisik didapatkan anemis pada konjungtiva. Pada

3
pemeriksaan thorax jantung didapatkan S1, S2 tunggal tanpa disertai adanya suara
tambahan murmur maupun gallop. Pemeriksaan paru didapatkan suara nafas vesikuler
pada kedua lapang paru tidak didapatkan rhonki maupun wheezing. Pada pemeriksaan
abdomen supel, bising usus normal, tidak didapatkan hepatomegali dan splenomegali.
Pada pemeriksaan ekstremitas didapatkan akral hangat dan CRT<2 detik. Terdapat
pembesaran kelenjar getah bening colli dextra et sinistra, axilla sinistra dan inguinalis
dextra et sinistra. Pasien didiagnosis dengan LNH colli D/S T cell type high grade
CD3+ stadium IIIB post CHOP IV post ICE II day 27 partial response dan suspek krisis
hemolitik. Pasien direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan darah lengkap serial,
retikulosit, bilirubin total dan direk, SGOT, SGPT, BUN, SK, procalcitonin, albumin,
serum elektrolit, hapusah darah tepi, dan Coomb’s test. Pasien diberikan terapi
tambahan injeksi Methylprednison 125mg tiap 8jam selama 3 hari.
Pada hari perawatan keempat keluhan mual muntah, demam, sesak, dan
berdebar tidak ada. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kondisi umum cukup, dengan
GCS 456, tekanan darah 110/70, nadi 100x/menit, pernapasan 16x per menit, dan suhu
aksila 36,8oC. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan perubahan. Dari pemeriksaan
laboratorium didapatkan Hb 5,8g/dL, RBC 1,99x106/uL, HCT 19,1%, MCV 96fL,
MCH 29,1pg, MCHC 30,4g/dL, WBC 2050/uL, Eo 2,9%, Baso 0%, Neut 61%, Lymph
19%, Mono 17,1%, PLT 157000/uL, Retikulosit 9,65%, SGOT 17U/L, SGPT 16U/L,
albumin 3,7g/dL, bilirubin total 0,9mg/dL, bilirubin indirek 0,68mg/dL, BUN 4mg/dL,
SK 0,62mg/dL, natrium 143mmol/l, kalium 3,5mmol/l, chloride 103mmol/l, dan
procalcitonin 0,12. Hasil hapusan darah tepi didapatkan eritrosit: normokromik
normositik anisopoikilositosis (mikrosit, makrosit, tear drop cell, ovalosit), sel
polikromasia (+), normoblast (+); leukosit: kesan jumlah menurun, didominasi
neutrofil segmen, imatur granulosit (-), atypical limfosit (+), blast (-); trombosit: kesan
jumlah normal, giant platelet (+); kesan: anemia normokromik normositik
anisopoikilositosis, leukopenia. Pasien didiagnosis dengan LNH colli D/S T cell type
high grade CD3+ stadium IIIB post CHOP IV post ICE II day 28 partial response
dengan suspek krisis hemolitik dan neutropenia. Pasien direncanakan untuk dilakukan
pemeriksaan darah lengkap evaluasi. Pasien diberikan terapi tambahan injeksi GCSF 1
ampul subkutan.
Pada hari perawatan ketujuh pasien tidak ada keluhan. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan kondisi umum cukup, dengan GCS 456, tekanan darah 110/80, nadi
88x/menit, pernapasan 20x per menit, dan suhu aksila 36,7oC. Pada pemeriksaan fisik
tidak didapatkan perubahan. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 7,4g/dL,
RBC 2,43x106/uL, HCT 24,3%, MCV 100fL, MCH 30,5pg, MCHC 30,5g/dL, WBC
4690/uL, Eo 0%, Baso 0,2%, Neut 81,7%, Lymph 11,5%, Mono 6,6%, PLT

4
158000/uL. Pasien didiagnosis dengan LNH colli D/S T cell type high grade CD3+
stadium IIIB post CHOP IV post ICE II day 31 partial response dan suspek anemia
hemolitik. Pasien direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan darah lengkap evaluasi
dan Coomb’s test menunggu hasil. Pasien diberikan terapi injeksi Methylprednison
62,5mg tiap 8jam selama 3 hari.
Pada hari perawatan kedelapan pasien tidak ada keluhan. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan kondisi umum cukup, dengan GCS 456, tekanan darah 110/70, nadi
90x/menit, pernapasan 16x per menit, dan suhu aksila 36,8oC. Pada pemeriksaan fisik
tidak didapatkan perubahan. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil Coomb’s
test: indirect coomb’s test positif, direct coomb’s test positif, dan auto control positif.
Pasien didiagnosis dengan LNH colli D/S T cell type high grade CD3+ stadium IIIB
post CHOP IV post ICE II day 32 partial response dan AIHA. Pasien direncanakan
untuk dilakukan pemeriksaan darah lengkap evaluasi dan bilirubin total dan direk
evaluasi. Pasien tidak ada perubahan terapi.
Pada hari perawatan kesepuluh pasien tidak ada keluhan. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan kondisi umum cukup, dengan GCS 456, tekanan darah 110/70, nadi
90x/menit, pernapasan 16x per menit, dan suhu aksila 36,5oC. Pada pemeriksaan fisik
tidak didapatkan perubahan. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 9,9g/dL,
RBC 3,09x106/uL, HCT 31,8%, MCV 102,9fL, MCH 32pg, MCHC 31,1g/dL, WBC
7400/uL, Eo 0%, Baso 0,1%, Neut 84,8%, Lymph 9,3%, Mono 5,8%, PLT 211000/uL,
bilirubin total 0,56mg/dL, dan bilirubin indirek 0,44mg/dL. Pasien didiagnosis akhir
dengan LNH colli D/S T cell type high grade CD3+ stadium IIIB post CHOP IV post
ICE II day 34 partial response dan AIHA. Pasien direncanakan untuk perawatan
poliklinis. Pasien diberikan terapi Ranitidin 1 tablet tiap 12jam dan Methylprednison
16mg tiap 8jam.

Pembahasan
LNH adalah salah satu jenis LM dimana sel limfosit yang berada pada salah
satu tingkat deferensiasinya dan berproliferasi secara banyak (Sedana, 2015).
Sedangkan beberapa jurnal mengataan LNH adalah keganasan tipe heterogen yang
mempunyai berbagai tanda, gejala, komplikasi, morfologis, dan jenis imunohistokimia
yang dapat melibatkan hampir semua bagian tubuh (Dehghani, 2015; Gaman, 2017).
Penyebab pasti dari LM masih belum diketahui dengan jelas. Walaupun demikian
bukti-bukti epidemiologi, serologi dan histologi menyatakan bahwa faktor infeksi
terutama infeksi virus diduga memegang peranan penting sebagai etiologi. Pada LNH
didapatkan banyak klasifikasi histologis. Perkembangan terakhir klasifikasi yang

5
banyak dipakai dan diterima di banyak pusat kesehatan adalah International Working
Formulation (IWF) dan REAL/WHO (Sedana, 2015).
Manifestasi klinis LNH sangat bervariasi, yang paling umum meliputi: demam,
keringat malam, penurunan berat badan, gatal-gatal, anoreksia, dan limfadenopati
terutama daerah servikal (78,1%), inguinal (65,6%), aksiler (46,6%), mediastinal
(21,8%), dan mesenterial (6,2%) dengan ukuran yang bervariasi dan berikatan dengan
jaringan ikat tetapi mudah untuk digerakan di bawah kulit. Beberapa pasien mungkin
datang dengan keterlibatan ekstranodal yang paling sering dijumpai adalah ke hepar,
pleura, paru-paru dan sumsum tulang. Selain itu dapat pula ditemukan splenomegali,
nyeri tulang dan kelelahan. Namun terkadang didapatkan pasien yang tidak
menunjukan gejala dan terdiagnosa LNH saat melakukan pemeriksaan yang lain
(Dehghani, 2015; Sedana, 2015).
Pemeriksaan yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis LNH dimulai
dengan anamnesa. Anamnesa mengenai keluhan pembesaran kelenjar dan keluhan
sistemik berupa demam, penurunan berat badan, keringat malam dan gatal-gatal.
Pemeriksaan fisik dengan mencari adanya pembesaran kelenjar getah bening diseluruh
tubuh, cincin waldeyer, pembesaran organ ekstra limfatik, pembesaran organ seperti
hepatomegali, splenomegali yang sering terjadi pada LNH. Pemeriksaan radiologi
meliputi foto thorax PA/lateral, tomografi mediasinum, limfografi kedua tungkai
bawah, USG limfonodi. Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan darah
lengkap, tes faal hati termasuk SGOT, SGPT, alkali fosfatase, LDH, albumin, dan
elektroforese protein. Tes faal ginjal termasuk urin lengkap, BUN, serum kreatinin,
asam urat dan elektrolit namun semua pemeriksaan ini tidak spesifik. Untuk
menegakkan diagnosis sebaiknya dilakukan biopsi eksisi/biopsy terbuka, hal ini perlu
agar dapat dilakukan pemeriksaan histopatologi dan pemeriksaan imunohistokimia
untuk panel limfoma (antara lain CD3 untuk limfosit, CD14 untuk monosit, CD19,
CD20 dan CD22 untuk limfosit B) (Sedana, 2015).
Untuk menentukan stadium penyakit atau menentukan luasnya penyebaran
penyakit dipakai staging menurut symposium penyakit Hodgkin di Ann Arbor yaitu
Rye staging yang disempurnakan oleh kelompok dari Standford University yang
ditetapkan pada symposium tersebut (Tabel 1) (Sedana, 2015).
Pilihan terapi bergantung pada beberapa hal, antara lain: tipe limfoma (jenis
histologi), stadium, sifat tumor (indolen/agresif), usia, dan keadaan umum pasien.
Modalitas terapi yang dapat diberikan adalah kemoterapi, radioterapi, terapi biologi
lain seperti interferon, dan transplantasi sel stem autologus. Pemilihan terapi terbagi
menjadi LNH indolen, LNH agresif, LNH high grade, LNH relaps dan refrakter
primer. Pada LNH high grade non bulky stadium IA dan IIA, dengan keterlibatan

6
ekstranodal dapat diterapi dengan regimen yang mengandung doxorubicin minimal 3
siklus dilanjutkan dengan redioterapi. Sedangkan untuk stadium I-II (bulky), III dan IV
diterapi dengan CHOP siklus lengkap (Sedana, 2015). Pilihan utama regimen
kemoterapi untuk T sel LNH adalah CHOP yang terdiri dari Cyclophosphamide,
Doxorubicin atau Hydroxydaunorubicin, Vincristine atau Oncovin, Prednisolone
(NICE, 2016).

Tabel 1. Stadium Klinik dari Limfoma Maligna Menurut Ann Arbor (Sedana, 2015)
Stadium Kelenjar Organ yang Terserang
I I Tumor terbatas pada kelenjar getah bening disatu region
IE Bila mengenai satu organ ekstra limfatik/ekstra nodal
II II Tumor mengenai dua region kelenjar getah bening disatu sisi diafragma
IIE Satu organ ekstra limfatik disertai kelenjar getah bening disatu sisi diafragma
IIS Limpa disertai kelenjar getah bening disatu sisi diafragma
IIES Keduanya
III III Tumor mengenai kelenjar getah bening didua sisi diafragma
IIIE Satu organ ekstra limfatik disertai kelenjar getah bening didua sisi diafragma
IIIS Limpa disertai kelenjar getah bening didua sisi diafragma
IIIES Keduanya
IV IV Penyebaran luas pada kelenjar getah bening dan organ ekstra limfatik
Masing-masing stadium masih dibagi lagi menjadi dua subklasifikasi A dan B:
A. Bila tanpa keluhan
B. Bila terdapat keluhan sistemik sebagai berikut:
1. Panas badan yang tidak jelas sebabnya, sering kambuh dengan suhu di atas 38°C
2. Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam kurun waktu 6 bulan
3. Keringat malam dan gatal-gatal

Pada pasien kami dapatkan benjolan di leher sebelah kiri sejak bulan Juni
2018. Keluhan keringat malam ada, penurunan berat badan ada, gatal-gatal ada,
namun tidak ada sumer-sumer. Dari hasil biopsy dan imunohitokimia didapatkan non
Hodgkin lymphoma, T cell type, high grade. Sehingga pasien didiagnosa dengan LNH
colli D/S T cell type high grade CD3+ stadium IIIB. Januari 2019 pasien dilakukan
kemoterapi CHOP dan dilakukan sebanyak 4 siklus hingga bulan April 2019 namun
benjolan tetap membesar. Mei 2019 pasien memulai kemoterapi ICE I namun benjolan
tidak mengecil. Pada kemoterapi ICE II dosis dinaikan dan benjolan dirasakan
semakin mengecil.
Anemia sering dijumpai pada pasien limfoma yang dapat diamati sebelum
pasien mulai kemoterapi dan juga tanpa adanya keterlibatan sumsum tulang. Ada
banyak faktor yang menyebabkan anemia pada pasien dengan gangguan
limfoproliferatif, termasuk efek samping obat, anemia penyakit kronis, anemia akibat
kekurangan zat besi, defisiensi nutrisi, anemia hemolitik autoimun (AIHA), infiltrasi
sumsum tulang dan perdarahan (Yasmeen, 2019).
AIHA merupakan salah satu anemia yg jarang ditemukan pada limfoma dengan
prevalensi antara 0,13% dan 2,1% (Vacrocy, 2002). AIHA adalah anemia yang
disebabkan oleh penghancuran eritrosit oleh antibodi terhadap antigen membran sel

7
darah merah pasien sendiri (autologous). Penderita AIHA umumnya datang dengan
keluhan lelah, sakit kepala, berdebar, nyeri dada, keluhan gagal jantung, dan iskemia
dari susunan syaraf pusat. Sedangkan pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai anemia,
ikterus, splenomegali, ulkus kronik pada kaki, dan gejala klinik akibat penyakit dasar
seperti leukemia, limfoma atau pun SLE (Sedana, 2015; Valent, 2008).
Diagnosis AIHA harus ditegakkan secara bertahap. Pada langkah pertama,
harus dibuktikan bahwa anemia yang ada pada pasien benar anemia hemolitik. AIHA
biasanya normositik, atau makrositik yang disebabkan oleh retikulositosis atau akibat
defisiensi folat. Biasanya, ada tanda anisocytosis (peningkatan red cell distribution
width). Spherocytes dapat terlihat pada hapusan darah tepi. Parameter laboratorium lain
yang menunjukkan hemolisis meliputi berkurangnya haptoglobin serum (penanda
penghacuran sel darah merah) dan peningkatan jumlah retikulosit (sebagai tanda
peningkatan eritropoiesis yang reaktif). Temuan khas lainnya adalah peningkatan
bilirubin indirek, urobilinogen dalam urin, dan kadar laktat dehidrogenase (LDH).
Langkah kedua adalah diferensiasi imun- atau non-imun anemia hemolitik. Hal Ini
paling baik dilakukan dengan uji antiglobulin direk (DAT, tes Coombs). Ketika DAT
positif untuk immunoglobulin dan/atau fragmen komplemen pada pasien dengan
tanda-tanda tipikal anemia hemolitik (langkah pertama), diagnosis AIHA biasanya
dapat ditegakkan. Langkah diagnostik selanjutnya adalah identifikasi tipe antibodi.
Terdapat empat jenis antibodi dapat dideteksi pada pasien AIHA yaitu, warm
autoantibody, cold autoantibody, mixed cold and warm autoantibodies, dan drug
immune hemolytic anemia. Yang paling umum adalah tipe warm autoantibody (75% -
90%) dimana autoantibody akan aktif secara maksimal pada suhu tubuh 37°C. Langkah
terakhir adalah mendefinisikan apakah AIHA adalah penyakit idiopatik (primer) atau
diakibatkan penyakit yang mendasarinya (sekunder) (Alwi, 2015; Valent, 2008).
Prevalensi AIHA pada non-CLL pasien tipe LNH dilaporkan berkisar antara
0,13% dan 2,1%, dan bahkan lebih rendah pada pasien dengan penyakit Hodgkin
(0,19% –2%). WA-AIHA diamati dalam berbagai subtipe limfoma Non Hodgkin,
seperti hairy-cell leukaemia, follicular lymphoma, marginal cell lymphoma, atau
diffuse large cell lymphoma, tetapi sejauh ini belum pernah dilaporkan pada pasien
mantle cell lymphoma. Anemia hemolitik pada LNH umumnya terkait dengan
penyakit aktif (Valent, 2008). Proses pembentukan immunoglobulin (Ig) dan segmen
gen reseptor sel T dalam DNA limfosit prekursor tidak hanya memungkinkan
pembentukan sejumlah besar gen lengkap, tetapi juga berpotensi untuk pembentukan
limfosit autoreaktif (Gambar 1). Di sebagian besar individu, klon autoreaktif ini
selanjutnya dinonaktifkan atau dihapus dari kekebalan tubuh oleh mekanisme
apoptosis, sementara pada beberapa orang yang memiliki kecenderungan tetap

8
berkembang perlahan-lahan di organ limfoid perifer. Pada fase kedua, faktor genetik
seperti disregulasi BCL-2 atau C-myc gen pada pasien dengan follicular center atau
limfoma Burkitt, masing-masing, dapat menyebabkan aktivasi sel dorman. Langkah
ketiga dalam proses produksi autoantibodi ini mungkin adalah hasil dari kegagalan
dalam interaksi Fas/Fas-ligan atau dalam stimulasi jalur bersama sel B atau T yang
menyebabkan ekspansi klon sel T malignan yang dapat mempengaruhi subpopulasi
sel-B untuk menghasilkan antibodi terhadap sel darah merah. Demikian pula halnya
dengan kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh sel penekan T dan produksi sitokin
tertentu yang berlebihan dikombinasi oleh disregulasi pada jalur apoptosis dapat
menyebabkan pembentukan antibodi penghasil sel B malignan terhadap sel
hematopoietik. Kegagalan dalam menghilangkan sel autoreaktif ini atau kerusakan
dalam mekanisme yang mencegah ekspansi sel tersebut dapat menyebabkan beberapa
manifestasi autoimun. Karena itu, tidak mengherankan jika pasien dengan tumor pada
sistem kekebalan tubuh seperti LNH sel B atau T berisiko mengembangkan antibodi
terhadap sel hematopoietik atau jaringan lain (Sallah, 2000).

Gambar 1. Proses Pembentukan Autoantibodi Pada Pasien dengan LNH Sel B atau T
(Sallah, 2000)

Terapi pada AIHA adalah kortikosteroid, splenektomi, sitostatik


imunosupresif, transfuse darah, terapi hormonal, immunoglobulin intravena, dan
plasmafaresis. Terapi sangat tergantung dari penyebab penyakitnya sehingga diagnosis
yang akurat menjadi dasar sebelum terapi yang tepat diberikan. Terapi lini pertama
yang penting pada WA-AIHA adalah kortikosteroid dengan dosis prednisone 1
mg/kgBB/hari dibagi beberapa dosis, selama 14 hari apabila memberikan respon yang

9
baik (Hb normal, retikulosit normal) diteruskan 14 hari kemudian dosis diturunkan
perlahan-lahan sampai dosis paling kecil tanpa tanda-tanda hemolisis. Untuk
mengurangi efek samping kortikosteroid sebaiknya menggunakan methyl prednisolon
dengan dosis 3 x 16 mg/hari. Apabila dengan kortikosteroid tidak memberikan respon
setelah pemberian selama 14 hari dosis kortikosteroid diturunkan kemudian distop
(Ashariati, 2015).
Pada pasien kami dapatkan keluhan anemia dengan laporan bank darah
autocontrol 2+, mayor 1+ dan minor 2+. Hasil laboratorium yang menunjang Hb
5,8g/dL, RBC 1,99x106/uL, HCT 19,1%, MCV 96fL, MCH 29,1pg, MCHC 30,4g/dL,
WBC 2050/uL, Eo 2,9%, Baso 0%, Neut 61%, Lymph 19%, Mono 17,1%, PLT
157000/uL, retikulosit 9,65%, bilirubin total 0,9mg/dL, bilirubin direk 0,22mg/dL.
Hasil hapusan darah tepi didapatkan eritrosit: normokromik normositik
anisopoikilositosis (mikrosit, makrosit, tear drop cell, ovalosit), sel polikromasia (+),
normoblast (+); leukosit: kesan jumlah menurun, didominasi neutrofil segmen, imatur
granulosit (-), atypical limfosit (+), blast (-); trombosit: kesan jumlah normal, giant
platelet (+); kesan: anemia normokromik normositik anisopoikilositosis, leukopenia.
Coomb’s test: indirect coomb’s test positif, direct coomb’s test positif, dan auto control
positif. Kemudian pasien diberikan terapi berupa methyl prednisolon 3 x 125 mg/hari
selama 3 hari dan dturunkan hingga 3 x 16 mg/hari dengan hasil Hb dari 5,8 menjadi
9,9 g/dL.

Kesimpulan
Telah dilaporkan kasus seorang laki-laki usia 44 tahun dengan LNH dan AIHA.
Pada kasus ini pasien telah diberikan terapi lini pertama kortikosteroid methyl
prednisolon yang memperbaiki keluhan anemia pada pasien. Satu minggu post KRS,
pasien kontrol ke poli Onkologi Medik dr. Soetomo untuk dilakukan kemoterapi
lanjutan ICE III. Hingga laporan kasus ini dibuat pasien masuk rumah sakit kembali
post kemoterapi ICE III day 50 pasien datang dirujuk dari RSUD Tulungagung dengan
keluhan sesak selama 7 hari SMRS dan didapatkan hasil laboratorium Hb 1,5, leukosit
700 dan platelet 14000. Dari hasil anamnesa dan penunjang pasien didiagnosa dengan
krisis aplastik + AIHA + LNH colli D/S T cell type high grade CD3+ stadium IIIB post
CHOP IV post ICE III day 50.

DAFTAR PUSTAKA
Alwi I, Salim S, Hidayat R, Kurniawan J, Tahapary DL, 2015. Anemia Hemolitik. In:
Alwi I, Salim S, Hidayat R, Kurniawan J, Tahapary DL (eds) Penatalaksanaan

10
di Bidang Ilmu Penyakit Dalam Panduan Praktis Klinis. Interna Publishing; pp
461-469.
Ashariati A, 2015. Anemia Hemolitik Autoimun. In: Tjokroprawiro A, Setiawan PB,
Effendi C, Santoso D, Soegiharto G (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi-2. Airlangga University Press; pp 369-374.
Bolukbas F, Kutluturkan S, 2014. Symptoms and Symptom Clusters in Non Hodgkin’s
Lymphoma Patients in Turkey. Asian Pac J Cancer Prev; 15: 7153-7158.
Chauhan L, Pandure MM, Ghosh DK, 2012. Autoimmune Hemolytic Anemia
Associated with Non-Hodgkin’s Lymphoma: A Pathological Dilemma. Int J
Stud Res; 2 (1): 32-35.
Dehghani M, Haddadi S, Vojdani R, 2015. Signs, Symptoms and Complications of
Non-Hodgkin’s Lymphoma According to Grade and Stage in South Iran. Asian
Pac J Cancer Prev; 16 (8): 3551-3557.
Gaman MA, Papoi A, Gaman AM, 2017. Pathophysiological Mechanisms Involved in
The Development of Anemia in Patients with Non-Hodgkin’s
Lymphoma. Haematologica; June 2017.
Ghosh J, Singh RK, Saxena R, Gupta R, Vivekanandan S, Sreenivas V, et al, 2013.
Prevalence and Aetiology of Anemia in Lymphoid Malignancies. Natl Med J
India; 26 (2): 79-81.
Morrow TJ, Volpe S, Gupta S, Tannous RE, Fridman M, 2002. Anemia of Cancer in
Intermediate-grade Non-Hodgkin’s Lymphoma. Southern Med J; 95 (8): 889-
896.
National Cancer Institute, 2017. Cancer stat facts: non-Hodgkin lymphoma.
NICE, 2016. Non-Hodgkin's lymphoma: diagnosis and management, NICE guideline:
methods, evidence and recommendations. Tersedia di
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK374283/pdf/Bookshelf_NBK37428
3.pdf.
Sallah S, Sigounas G, Vos P, Wan JY, Nguyen NP, 2000. Autoimmune Hemolytic
Anemia in Patients with Non-Hodgkin's Lymphoma: Characteristics and
Significance. Annals of Oncology; 11: 1571-1577.
Sedana, MP, 2015. Limfoma Maligna. In: Tjokroprawiro A, Setiawan PB, Effendi C,
Santoso D, Soegiharto G (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi-2.
Airlangga University Press; pp 400-408.
Valent P, Lechner K, 2008. Diagnosis and Treatment of Autoimmune Haemolytic
Anaemias in Adults: A Clinical Review. Wien Klin Wochenschr; 120/5–6:
136–151.

11
Varoczy L, Gergely L, Zeher M, Szegedi G, Illes A, 2002. Malignant Lymphoma
Associated Autoimmune Diseases – A Descriptive Epidemiological Study.
Rheumatol Int; 22: 233–237.
Yasmeen T, Ali J, Khan K, Siddiqui N, 2019. Frequency and Causes of Anemia in
Lymphoma Patients. Pak J Med Sci; 35 (1): 61-65.
Zelenetz AD, Abramson JS, Advani RH, et al, 2011. Non-Hodgkin’s Lymphomas. J
Natl Compr Canc Netw; 9: 484-560.

12

Anda mungkin juga menyukai