Anda di halaman 1dari 7

NAMA : SITI ALFANDA MAKMUR

NIM : 821417011
KELAS : A-S1 FARMASI 2017
TUGAS : FARMAKOTERAPI II

KASUS A
R.G., seorang wanita berusia 49 tahun, datang dengan keluhan
pembengkakan kelenjar getah bening dan demam sesekali dan keringat malam
selama sebulan terakhir. Pemeriksaan fisik menunjukkan limfadenopati serviks,
supraklavikula, dan inguinalis. Nilai-nilai laboratorium normal dengan
pengecualian anemia ringan (Hgb, 11 g / dL) dan peningkatan LDH. Antibodi dan
antigen permukaan HIV dan hepatitis B adalah negatif. Biopsi eksisi kelenjar
getah bening supraklavikula dan imununofenotip mengkonfirmasi metabolik
DLBCnon - limfoma Hodgkin (NHL). Sitometri aliran positif untuk penanda
permukaan CD10, CD19, dan CD20. Biopsi sumsum tulangnya negatif untuk
limfoma.
Pertanyaan
1. Seberapa umumkah NHL, dan apa saja tanda dan gejala RG, dan apa
tahapannya?
2. R.G. berkonsultasi dengan ahli hematologi dan memilih untuk menerima
kombinasi kemoterapi yang terdiri dari cyclophosphamide, doxorubicin,
vincristine, dan prednisone dengan rituximab (R-CHOP) setiap 21 hari
selama enam siklus. Dia kemudian akan dirujuk ke ahli onkologi radiasi
untuk menentukan apakah dia akan menerima manfaat tambahan dari terapi
radiasi. Apakah R-CHOP dianggap sebagai terapi awal standar? Apa efek
samping yang mungkin terjadi pada R.G.
3. R.G. memiliki terapi CR to R-CHOP yang ditunjukkan oleh studi pemulihan
yang dilakukan setelah siklus pengobatan ketiga dan keenamnya, dan tidak
menerima terapi radiasi setelah R CHOP. Setiap 3 bulan, ia melakukan
pemeriksaan lanjutan untuk kekambuhan penyakit. Pada kunjungan tindak
lanjut selama 15 bulan, ia memiliki bukti radiografik mengenai penyakit
yang kambuh di perutnya. Pilihan pengobatan apa yang tersedia untuk R.G.
pada saat ini?
4. Bagaimana perbedaan perlakuan untuk NHL yang sangat agresif?
Jawaban
1. a. Seberapa umumkah NHL?
Kanker merupakan salah satu penyakit pembunuh terbesar di dunia.
Kanker tidak hanya menyerang orang dewasa, tetapi anak-anak juga dapat
beresiko terkena kanker. Kanker adalah penyakit proliferasi sel-sel tumor
yang mempengaruhi pertumbuhan sel normal, dimana terdapat gen
pengativasi tumor yang menyebabkan proliferasi sel tidak terkendali jika
ditransmisikan ke sel normal dan dapat mempengaruhi fungsi fisik dan
sosial dalam waktu yang lama (Muscari, 2005).
Limfoma merupakan istilah umum untuk berbagai tipe kanker darah
yang muncul dalam sistem limfatik yang menyebabkan pembesaran kelenjar
getah bening. Jumlah kasus limfoma sebenarnya masih rendah jika
dibandingkan dengan penyakit kanker lainnya, namun demikian pada
perkembangannya jumlah kasus limfoma terus meningkat dengan cepat
setiap tahunnya. Sekitar satu juta orang didunia menderita limfoma, dan
terdapat sekitar seribu orang didiagnosis menderita limfoma setiap harinya
(Kemenkes RI, 2015).
Limfoma Non-Hodgkin (juga dikenal sebagai kanker kelenjar getah
bening, LNH, atau kadang-kadang ganya limfoma) adalah kanker yang
dimulai di sel yang disebut limfosit, yang merupakan bagian dari sistem
kekebalan tubuh. Faktor risiko kanker kelenjar getah bening belum
diketahui secara pasti, namun peningkatan angka kejadiannya berhubungan
dengan usia, jenis kelamin, genetik, riwayat penyakit terdahulu,
transplantasi organ , dan paparan bahan kimia (American Cancer Society,
2013)
Limfoma non-Hodgkin (NHL) adalah salah satu kanker paling umum
di Amerika Serikat, yang merupakan sekitar 4% dari semua kanker. NHL
dapat terjadi pada semua usia. Faktanya, ini adalah salah satu kanker yang
lebih umum di kalangan anak-anak, remaja, dan dewasa muda. Pada anak-
anak 2 hingga usia 14 tahun, kebanyakan limfoma adalah limfoma non-
Hodgkin, dengan sekitar 500 dari kanker yang didiagnosis di Amerika
Serikat setiap tahun. Namun jika semua anak dan remaja hingga usia 19
tahun dimasukkan, jumlah limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin hampir
sama, dan ada sekitar 800 kasus NHL yang didiagnosis setiap tahun. Kasus
NHL lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan.
Sekitar 2% dari semua NHL terjadi pada anak-anak dan remaja. Secara
keseluruhan, risiko NHL pada anak meningkat seiring bertambahnya usia.
Dapat terjadi pada usia berapa saja tetapi tidak umum pada anak-anak yang
lebih muda dari 3 tahun (American Cancer Society, 2018).
Angka kejadian limfoma non hodgkin di Indonesia belum diketahui
dengan pasti. Beberapa pusat pendidikan/ pelayanan kesehatan melaporkan
berbagai kasus dengan insidens bervariasi. Pada penelitian selama 5 tahun
(1996- 2000) di Bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga/ RSUD dr. Soetomo Surabaya didapatkan insidens LNH pada
berbagai tempat di kepala dan leher. Limfoma nasofaring ditemukan 15
kasus (12 pria, 3 wanita) semuanya jenis LNH. Limfoma maligna pada
daerah sinonasal dengan gambaran histopatologi menyerupai suatu
undifferentiated epidermoid karsinoma nasofaring sebanyak 5 kasus (2 pria
dan 3 wanita) pada cavum nasi, semuanya jenis LNH. Sebanyak 31 kasus
limfoma maligna (14 pria, 17 wanita) pada derah tonsil dan orofaring
(cincin waldeyer). Jumlah ini merupakan 39,2 % dari seluruh tumor ganas
tonsil. Limfoma maligna primer pada tulang rahang, didapatkan 10 kasus
LNH; 5 berasal dari mandibula dan 5 berasal dari maxilla. Limfoma
maligna primer dari kelenjar tiroid umumnya jenis MALT limfoma
ditemukan 3 kasus (1 pria, 2 wanita). Limfoma maligna pada kelenjar getah
bening leher, ditemukan 20 kasus limfoma primer (19 kasus LNH, 1 kasus
LH). Laki-laki dan wanita dengan proporsi yang hampir sama.
Bagian THT-KL FKUI-RSCM Jakarta melaporkan sejumlah kasus
keganasan di bidang THT-KL selama tahun 1990-2001, hanya disebutkan
limfoma maligna sebanyak 265 kasus (13,2 %); kedua terbanyak setelah
karsinoma nasofaring sebanyak 1247 kasus (62,13 %).
b. Tanda dan gejala
Gejala yang sering ditemukan pada penderita limfoma pada umumnya
non-spesifik, diantaranya yaitu Penurunan berat badan >10% dalam 6 bulan
, Demam 38 derajat C >1 minggu tanpa sebab yang jelas, Keringat malam
banyak, Cepat lelah, Penurunan nafsu makan, Pembesaran kelenjar getah
bening yang terlibat, Dapat pula ditemukan adanya benjolan yang tidak
nyeri di leher, ketiak atau pangkal paha (terutama bila berukuran di atas 2
cm); atau sesak napas akibat pembesaran kelenjar getah bening mediastinum
maupun splenomegali (Shankland et al, 2012).
Tiga gejala pertama harus diwaspadai karena terkait dengan prognosis
yang kurang baik, begitu pula bila terdapatnya Bulky Disease (KGB
berukuran > 6-10 cm atau mediastinum >33% rongga toraks).2 Menurut
Lymphoma International Prognostic Index, temuan klinis yang
mempengaruhi prognosis penderita LNH adalah usia >60 tahun, keterlibatan
kedua sisi diafragma atau organ ekstra nodal (Ann Arbor III/IV) dan
multifokalitas (>4 lokasi)
Berdasarkan kasus di atas, R.G memiliki beberapa gejala yang dialami
seperti keluhan pembengkakan kelenjar getah bening dan demam sesekali
dan keringat malam selama sebulan terakhir. Immunophenotyping kelenjar
getah beningnya menandakan adanyai limfoma DLBC. Selain itu,
Pemeriksaan fisik menunjukkan limfadenopati serviks, supraklavikula, dan
inguinalis. Berdasarkan tanda dan gejala tersebut R.G digolongkan memiliki
sifat agresif, Neoplasma sel B yang matang (KodaKimble & Young’s.
2011).
c. Tahapan
Flowcytometry untuk R.G. positif untuk penanda permukaan CD10,
CD19, dan CD20, yang konsisten dengan limfoma DLBC, sejenis limfoma
agresif. Berdasarkan staging Ann Arbor Sistem, R.G. memiliki penyakit
stadium IIIB lanjut karena adanya kelenjar getah bening di kedua sisi
diafragma dan gejala B (demam dan keringat malam). R.G. memiliki LDH
tinggi dan penyakit stadium lanjut, yang berhubungan dengan kelangsungan
hidup yang lebih rendah. Kemudian NHL dari R.G ini juga berkembang 2
kali lebih pesat karena faktor usia dimana usianya >60 tahun sehingga status
kelangsungan hidup yang menurun. Pasien dengan penyakit stadium IIIB
umumnya dirawat dengan kemoterapi sistemik (Koda-Kimble & Young’s.
2011).
2. R-CHOP merupakan terapi lini pertama/terapi awal untuk pasien limfoma
karena berdasarkan literatur terapi ini merupakan standar perawatan
Amerika Serikat untuk pasien limfoma DLBC yang baru didiagnosis berusia
60 hingga 80 tahun. Namun RCHOP merupakan pengobatan standar untuk
R.G. karena dia menderita penyakit stadium IIIB lanjut. R.G seharusnya
dievaluasi dasar tentang EF dan dilakukan penilaian rutin untuk periferal
neuropati yang disebabkan oleh vincristine (Koda-Kimble & Young’s.
2011).
Efek samping yang mungkin terjadi karena pemeberian infus rituximab
antara lain demam dan menggigil. Gejala lain yang mungkin terjadi
diantaranya mual, urtikaria, pruritus, bronkospasme, angioedema, dan
hipotensi. Sehingga perawatan suportif juga dibutuhkan untuk R.G dari
pengobatan antiemetik, pelunak tinja, dan mungkin filgrastim untuk
mencegah demam dan neutropenia (Koda-Kimble & Young’s. 2011)
Reaksi ini umumnya terjadi dalam 30 menit hingga 2 jam dari awal
pemberian infus (biasanya untuk dosis pertama) dan dan beresolusi infus
diperlambat atau terganggu. Efek samping yang kurang umum terjadi
kerena pemakaian rituximab adalah tumor lisis sindrom, yang terjadi
sebagian besar pada pasien dengan jumlah sel CD20-positif dan tinggi
(Rathore B, Kadin ME,2010).
3. Pengobatan yang dapat diberikan yaitu dengan adanya kemoterapi dosis
tinggi dan diikuti oleh autologous HCT terapi ini memang harus
dipertimbangkan untuk pasien yang kambuh setelah dilakukan kemoterapi
konvensional. Rejimen kemoterapi diberikan sebelum HCT hal untuk
memastikan penyakit ini sensitif untuk terapi sitotoksik tambahan. Regimen
menggunakan non-crossresistant agen seperti ifosfamide, carboplatin, dan
etoposide (ICE) dengan atau tanpa rituximab; deksametason, sitarabin, dan
cisplatin (DHAP) dengan atau tanpa rituximab; dan etoposide,
methylprednisolone, cytarabine, dan cisplatin (ESHAP) dengan atau tanpa
rituximab. Pasien yang sebelumnya melakukan terapi konvensional dan
menunjukkan penyakit kemosensitif saat kambuh memiliki hasil terbaik dari
autologous HCT. Alogenik HCT dapat dipertimbangkan bagi pasien yang
tidak dapat menerima terapi untuk HCT autologous. Berdasarkan kasus
diatas R.G. menerima tiga siklus R-ICE kemoterapi, dimana penyakitnya
sangat responsif maka dari itu jumlah sel-sel induk selama terapi
dikumpulkan untuk HCT autologous (Koda-Kimble & Young’s. 2011).
4. NHL yang sangat agresif, seperti limfoblastik atau limfoma Burkitt,
berkembang sangat cepat dan biasanya bermetastasis ke SSP. Mayoritas
pasien dewasa dapat disembuhkan dengan terapi kombinasi agresif.
Regimen seperti R-CHOP mungkin tidak cukup intensif untuk mencegah
perkembangan antara siklus terapi. Oleh karena itu, rejimen yang mirip
dengan yang digunakan untuk SEMUA digunakan karena mereka
memberikan paparan kemoterapi yang lebih intensif secara terus menerus.
Regimen siklofosfamid hyperfractionated, vincristine, doxorubicin, dan
deksametason, bergantian dengan metotreksat dosis tinggi dan sitarabin,
memiliki tingkat CR 91%. Rejimen ini harus termasuk profilaksis SSP
dengan metotreksat intratekal atau sitarabin. Pasien-pasien ini berada pada
risiko yang meningkat untuk TLS dan harus diobati dengan allopurinol,
hidrasi IV yang kuat, dan elektrolit (Koda-Kimble & Young’s. 2011).
DAFTAR PUSTAKA
American Cancer Society. 2013. Non-Hodgkin Lymphoma. Atlanta: American
Cancer society
Kemenkes. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI; 2015.
Koda-Kimble & Young’s. 2011. Applied Therapeutics The Clinical Use of Drugs,
10th ed. Pennsylvania, United States of America
Muscari, Mary E. 2005. Keperawatan Pediatrik Edisi 3.Alih bahasa Alfrina.
Jakarta : EGC
Rathore B, Kadin ME. 2010. Hodgkin’s lymphoma therapy: past, present, and
future. Expert Opin Pharmacother
Shankland KR, Armitage JO, Hancock BW. NonHodgkin lymphoma. Lancet
2012; 380: 848–857
ACS. (2018). The American Cancer Facts and Figures of the 2018. American
Cancer Society, (No. 500818 Rev.6/18), 1–76. Retrieved from cancer.org,
1.800.227.2345 1.866.228.4327 TTY

Anda mungkin juga menyukai