Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN KASUS

Sepsis Pada Anak

Disusun Oleh :
Dita Ayu Pertiwi, S.Ked
FAB 118 065

Pembimbing :
dr.Widia Hitayani

Disusun Untuk Memenuhi Sebagai Syarat Dalam Mengikuti


Program Pendidikan Profesi Rehabilitasi Medik dan Emergency Medicine
Fakultas Kedokteran UPR/RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya
Tahun 2019

1
BAB I

PENDAHULUAN

Sepsis adalah penyakit yang umum di perawatan intensif dimana hampir 1/3 pasien
yang masuk ICU adalah sepsis. Sepsis merupakan satu di antara sepuluh penyebab kematian
di Amerika Serikat. Angka kejadian sepsis meningkat secara bermakna dalam dekade lalu.
Telah dilaporkan angka kejadian sepsis meningkat dari 82,7 menjadi 240,4 pasien per
100.000 populasi antara tahun 1979 – 2000 di Amerika Serikat dimana kejadian Savere
Sepsis berkisar antara 51 dan 95 pasien per 100.000 populasi.1
Sepsis masih merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak.
Berdasarkan studi yang telah dilakukan, mortalitas akibat sepsis telah berkurang dimana
mortalitas akibat sepsis sekarang ialah sekitar 10%. 2 Namun, sepsis berat masih merupakan
penyebab utama kematian pada anak dimana lebih dari 4.300 anak meninggal setiap tahunnya
karena sepsis (7% dari semua kematian pada anak). Biaya perawatan akibat sepsis
diperkirakan mencapai $1.97 biliar dalam setahun.2,3
Dalam waktu yang bersamaan angka kematian sepsis turun dari 27,8% menjadi
17,9%. Jenis kelamin, penyakit kronis, keadaan imunosupresi, infeksi HIV dan keganasan
merupakan faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya sepsis. Beberapa kondisi
tertentu seperti gangguan organ secara progresif, infeksi nosokomial dan umur yang lanjut
juga berhubungan dengan meningkatnya risiko kematian. Angka kematian syok septik
berkurang dari 61,6% menjadi 53,1%. Turunnya angka kematian yang diamati selama dekade
ini dapat disebabkan karena adanya kemajuan dalam perawatan dan menghindari komplikasi
iatrogenik.1,4
Sejak 2002 The Surviving Sepsis Campaign telah diperkenalkan dengan tujuan awal
meningkatkan kesadaran dokter tentang mortalitas Severe sepsis dan memperbaiki hasil
pengobatan. Hal ini dilanjutkan untuk menghasilkan perubahan dalam standar pelayanan
yang akhirnya dapat menurunkan angka kematian secara bermakna.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

 PRIMARY SURVEY ( An. M)


a. Vital Sign
- Denyut nadi : 142 kali/menit, reguler, lemah, isi kurang.
- RR : 30 kali/menit
- Suhu : 38,6 oC
b. Air way : Tidak ada tanda sumbatan jalan nafas
c. Breathing : Spontan, 30 kali/menit, abdomino-torakal, pergerakan toraks simetris,
retraksi (-)
d. Circulation : Nadi: 142 kali/menit, reguler, lemah, volume kurang, akral hangat,
CRT <2”
e. Disability :
Consciousness : anak dalam keadaan sadar, menangis kuat.
Dehydration : anak tampak lemah, turgor <2”
 Evaluasi Masalah : kasus ini termasuk dalam priority sign yaitu pasien demam dengan
takikardi, tampak lemah, dan kesakitan.
 Penanda warna : Kuning
 Tatalaksana awal : tata laksana awal pada pasien ini adalah ditempatkan di ruangan
bedah dan diberikan terapi cairan.

I. IDENTITAS
Nama : An.M
Usia : 1 tahun 3 bulan
BB : 8 kg
Agama : Kristen Protestan
Alamat : PT. Mulia Sawit Agro Lestari
Tanggal Periksa : 10 Desember 2019

3
II. ANAMNESIS (alloanamnesis didapatkan dari ibu dan tante pasien)
Keluhan utama : Paha kanan bengkak sejak 1 minggu SMRS
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang dengan keluhan paha kanan bengkak sejak 1 minggu SMRS dan pasien
rewel karena tampak kesakitan. Awalnya ± 3 minggu yang lalu pasien terserempet
ban mobil dan kemudian pasien tidak dapat berjalan. Pasien dibawa orangtua nya
untuk dipijat, setelah 2 minggu, pasien bisa berjalan. 2 hari kemudian, paha kanan
pasien membengkak dan disertai demam tinggi. Demam terus menerus dan orangtua
pasien masih belum membawa pasien berobat. 3 hari SMRS, pada paha kanan pasien
yang bengkak tampak lubang kecil yang mengeluarkan nanah dan bengkak semakin
membesar. Selama sakit 1 minggu SMRS, pasien tidak mau makan, hanya minum
ASI. Pasien terus menerus rewel dan menangis, pasien menangis semakin kuat saat
paha kanan pasien disentuh atau digerakkan.
Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat kejang disangkal.
Pasien tidak pernah seperti ini sebelumnya.
Riwayat penyakit keluarga :
Keluarga pasien tidak pernah sakit yang sama sebelumnya.
III. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum : tampak sakit berat, kesadaran: compos mentis, GCS: eye (4),
verbal (5), motorik (6).
2. Tanda-tanda vital : denyut nadi: 142 kali/menit, reguler, lemah, isi kurang, suhu
38,6oC, RR: 30 kali/menit.
3. Kulit : turgor <2”, kelembapan kurang, pucat (+), sianosis (-)
4. Mata : cojungtiva anemis (+)/(+), sklera ikterik (-), pupil isokor, diameter pupil
2mm/2mm, RCL (+/+), RCTL (+/+).
5. Leher : perbesaran KGB (-)
6. Toraks : Simetris, retraksi (-), fremitus taktil normal simetris, sonor, vesikuler
+/+, ronkhi (-/-), wheezing (-/-), ictus cordis tidak terlihat dan teraba pada SIC V
midclavicula sinistra, S1-S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-).
7. Abdomen : Datar, supel, bising usus (+) normal, timpani, heparlien tidak teraba
membesar, shifting dulness (-).
8. Ekstremitas : akral hangat, CRT <2”, udema (-)

4
9. Status lokalis : pada kanan tampak bengkak, permukaan tampak kemerahan,
diameter ± 12 cm, terdapat lubang kecil berdiameter 1 cm, nanah (+).
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil laboratorium :
Hb: 7,7 g/dl, Hct: 26%, MCV 56,1 fl, MCH 16,6 pg, MCHC 29,6 g/dl, trombosit:
568.000/uL, leukosit 21.170/uL, neutrofil 12.640/uL, limfosit 5.610/uL, monosit
2.150/uL, eusinofil 680/uL, basofil 90/uL, GDS: 115 mg/dl, ureum 28 mg/dl,
kreatinin 0,60 mg/dl, antigen HbS Ag (-).
Foto Femur Dextra

Tidak ditemukan adanya fraktur. Dislokasi pada caput femur sulit dievaluasi.
V. DIAGNOSIS
- Abses femur dekstra
- Sepsis
- Anemia
VI. PENATALAKSANAAN
- Konsul ke bagian Bedah, advice :
Infus D5% ¼ NS 10 tpm
Injeksi Ceftriaxone 2 x 400 mg (IV)
Infus paracetamol 4 x 100 mg (IV)
Puasa jam 00.00
VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

5
BAB III
PEMBAHASAN

Sepsis merupakan suatu keadaan dimana infeksi dalam tubuh mencetuskan kaskade
inflamasi yang dikenal dengan istilah systemic inflammatory response syndrome (SIRS).
SIRS merupakan kaskade inflamasi yang terjadi karena sistem imun tubuh host tidak dapat
mengatasi infeksi.5 Infeksi merupakan suatu keadaan dimana ditemukan adanya
mikroorganisme dan respons imun tetapi belum disertai dengan adanya gejala klinis. Bila
ditemukan gejala klinis maka digunakan istilah penyakit infeksi. 6 Infeksi dapat berupa infeksi
bakteri, riketsia, fungi, virus, maupun protozoa. Infeksi dapat bersifat sistemik (bakteriemia,
fungiemia, atau viremia) maupun lokal (meningitis, pneumonia, atau pielonefritis).
Systemic inflammatory response syndrome (SIRS) adalah pasien yang memiliki dua
atau lebih kriteria sebagai berikut :

1. Suhu >38oC atau <36oC


2. Denyut jantung >90 kali/menit
3. Respirasi >20 kali/menit atau PaCO2 <32 mmHg
4. Hitung leukosit >12.000/mm3 atau >10% sel imatur (band)

Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui (ditentukan dengan
biakan positif terhadap organisme dari tempat tersebut). Definisi dari sepsis berat sendiri
ialah suatu keadaan sepsis yang disertai oleh disfungsi organ. Bila dibiarkan tanpa tatalaksana
maka pasien dengan sepsis berat dapat jatuh kedalam keadaan syok septik. 5 Carcillo et al.
mendefiniskan syok septik pada populasi pediatrik sebagai takikardia (takikardia mungkin
tidak terdapat pada pasien dengan hipotermia) dengan tanda gangguan perfusi berupa denyut
nadi perifer yang lemah dibandingkan denyut jantung, gangguan kesadaran, capillary refill
time (CRT) lebih dari 2 detik, ekstremitas lembab dan dingin, atau penurunan urine output
pada anak dengan infeksi.7

Definisi dari sepsis, infeksi, SIRS, sepsis berat, serta syok septik telah disusun oleh
para pakar dalam bidang sepsis baik dewasa maupun anak dari 5 negara berbeda (Canada,
France, Netherlands, United Kingdom, dan United States) pada tahun 2002 dan
dipublikasikan dalam bentuk consensus conference pada tahun 2005. Consensus conference
dibuat untuk memberikan batasan yang dapat digunakkan sebagai kriteria diagnosis sepsis
pada populasi anak. Batasan ini perlu dibuat karena gambaran sepsis pada populasi dewasa

6
dan anak berbeda dipengaruhi oleh perubahan fisiologis tumbuh kembang pada anak. Dalam
consensus conference populasi anak dibagi dalam berbagai kategori (tabel 1).2

Tabel 1. Kategori Populasi Anak berdasarkan Umur.2


Definisi atau batasan untuk sepsis dan SIRS pada populasi anak (tabel 2) merupakan
modifikasi dari batasan sepsis dan SIRS pada populasi dewasa. Perbedaan utama ialah untuk
menegakkan diagnosis SIRS pada anak harus didapatkan abnormalitas suhu tubuh dan
abnormalitas hitung leukosit (dimana pada populasi dewasa SIRS sudah dapat ditegakkan
bila ditemukan takikardia dan takipnue saja). Selain itu kriteria numerik sebagai batasan
untuk parameter denyut jantung, laju pernapasan, hitung leukosit, dan tekanan darah
dibedakan berdasarkan umur anak; disesuaikan dengan nilai normal anak yang berhubungan
dengan fisiologi anak yang berbeda-beda tergantung dari umur anak (tabel 3).2

Tabel 2. Definisi SIRS, Infeksi, Sepsis, Sepsis Berat, dan Syok Septik.2

7
Tabel 3. Batasan Nilai Normal Tanda Vital dan Hitung Leukosit Berdasarkan Umur.2
Pada kasus ini pasien datang dengan keluhan paha kanan bengkak yang mengeluarkan
nanah disertai demam tinggi sejak 1 minggu SMRS. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda
vital takikardi, takipnea, suhu febris, conjungtiva tampak anemis dan kulit tampak pucat.
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan leukositosis dan anemia. Diagnosis sepsis pada
anak ini ditegakkan dengan adanya gejala klinis berupa demam (suhu >38oC), takikardi (>140
kali/menit), takipnea (RR >30 kali/menit) dan peningkatan leukosit yaitu sebesar 21.170/uL
serta ditemukan adanya tempat infeksi yaitu abses pada paha kanan pasien.
Adapun faktor risiko terjadinya sepsis pada anak ialah sebagai berikut:
 Prematuritas 6
 Anak dengan usia diantara 3 bulan sampai 3 tahun 5
 Anak dengan cedera yang serius (seperti luka bakar yang luas) 5,6
 Anak dengan penyakit yang serius (seperti keganasan, galaktosemia, sindroma
nefrotik, kecanduan obat intravena, infeksi gonokokus pada traktus urinarius) 5,6
 Anak yang sedang menjalani terapi antimikroba jangka panjang 5
 Anak dengan gizi buruk atau malnutrisi 5,6
 Anak dengan penyakit yang kronik 5
 Anak yang immunocompromised (pasien pasca transplantasi, anak yang
mendapat obat-obatan kemoterapi, anak yang mendapat kortikosteroid, dan anak
dengan defisiensi sistem imun: anak yang menderita agamaglobulinemia,
neutropenia dengan imunosupresi, anemia bulan sabit, severe combined
immunodeficiency syndrome, HIV-AIDS, asplenia, defisiensi komplemen, atau
neutrophil chemotactic factor defect) 5,6

8
 Anak dimana dilakukan prosedur/ instrumentasi medik (seperti pemasangan
kateter intravena, kateter urin, intubasi endotrakeal, atau atrioventricular shunt;
dan dilakukan prosedur seperti pembedahan, continous peritoneal dialysis, dan
pemakaian katup jantung protesa) 5,6
Faktor resiko terjadinya sepsis yang didapatkan pada pasien ini adalah usia pasien di
antara 3 bulan – 3 tahun (usia pasien 1 tahun 3 bulan) dan adanya riwayat cedera yang serius
pada pasien ini (riwayat diserempet mobil).
Pasien ini juga terdiagnosis sebagai anemia defisiensi besi karena pada pemeriksaan
fisik ditemukan conjungtiva anemis, kulit pasien tampak pucat dan kadar MCV, MCH dan
MCHV pada pasien ini menurun.
Anemia defisiensi besi yaitu anemia yang disebabkan kekurangan besi untuk sintesis
hemoglobin (Hb), etiologi dari anemia ini dapat berupa karena peningkatan kebutuhan besi,
kekurangan masukan besi, atau akibat kehilangan darah.8
Prinsip tatalaksana dari suatu sepsis ialah early recognition/deteksi dini, early
antimicrobial therapy/pemberian antibiotika secara dini, serta early goal-directed
therapy/terapi tertuju lainnya secara dini. Tatalaksana dini ialah yang terbaik untuk mencegah
komplikasi daripada sepsis dan menurunkan angka mortalitas akibat sepsis. Administrasi
antimikroba secara dini dapat menurunkan angka mortalitas. Tujuan dari pemberian
antimikroba ialah untuk pengendalian dari infeksi. Pemilihan jenis antimikroba tergantung
dari faktor risiko pasien serta gejala klinis pasien. Pola resistensi bakteri juga perlu
dipertimbangkan dalam pemilihan jenis antimikroba.6,7,9 Beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan dalam pemilihan antimikroba ialah sebagai berikut:
 Neonatus: Diberikan ampisilin dan sefotaksim atau gentamisin. Ditambahkan
asiklovir bila dicuragai infeksi virus herpes simpleks.
 Anak (seringkali terjadi infeksi N. meningitides, S. pneumonia, atau Haemophilus
influenza): Diberikan terapi empiris antimikroba sefalosporin generasi ke-3
(seftriakson atau sefotaksim). Ditambahkan vankomisin bila dicurigai S. pneumonia
yang resisten atau infeksi S. aureus.
 Infeksi intra abdominal: Diberikan antimikroba untuk kuman-kuman anaerob seperti
metronidazol dan klindamisin.
 Infeksi kulit atau soft-tissue: Diberikan penisilin semisintetik atau vankomisin
ditambah dengan klindamisin.

9
 Sepsis nosokomial: Diberikan sefalosporin generasi ke-3 atau ke-4 (cefepime atau
ceftazidin) yang sifatnya antipsuedomonas atau antimikroba golongan penisilin yang
efektif untuk kuman gram negatif seperti piperasilin-tazobaktam atau karbamapenem
ditambah dengan aminoglikosida (gentamisin atau tobramisin). Pada pasien dengan
alat bantu yang berada dalam tubuh, ditemukan kokus gram positif pada darah, atau
dicurigai infeksi S. aureus yang resisten terhadap metisilin dapat ditambahkan
vankomisin selain antimikroba yang telah disebutkan.
 Pasien immunocompromized: Sama seperti sepsis nosokomial. Ditambahkan
antifungal amfoterisin B atau flukonazol untuk tatalaksana infeksi jamur secara
empirik.
 Area yang endemis terhadap tick atau dicurigai infeksi rikettsia: Tambahkan
doksisiklin kepada regimen antimikroba yang sudah disebutkan diatas.
 Toxic shock syndrome: Diberikan penisilin dan klindamisin. Dapat ditambahkan
vankomisin bila dicurigai infeksi Staphylococcus aureus yang resisten terhadap
metisilin.3,5,9
IDAI merekomendasikan pemberian antibiotika inisial setelah diagnosis sepsis
ditegakkan. Antibiotika yang dipilih harus mempunyai spektrum luas yang bisa mengatasi
bakteri gram positif dan bakteri gram negatif yang sering menyebabkan sepsis. Bila nanti
sudah didapatkan hasil biakan atau uji kepekaan, jenis antibiotika dapat dirubah atau
dipertahankan sesuai dengan hasil dan respons klinis pasien. 6 Pada fase inisial, antibiotika
yang dapat diberikan berupa:
 Ampisilin 200 mg/kgBB/hari diberikan IV dibagi dalam 4 dosis + aminoglikosida
(garamisin 5-7 mg/kgBB/hari diberikan IV atau netilmisin 5-6 mg/kgBB/hari
diberikan IV dibagi dalam 2 dosis)
 Ampisilin 200 mg/kgBB/hari diberikan IV dibagi dalam 4 dosis + sefotaksim 100
mg/kgBB/hari diberikan IV dibagi dalam 3 dosis
 Metronidazol dan klindamisin diberikan untuk kuman enterik Gram negatif anaerob
(bila dicurigai kuman penyebab anaerob karena ditemukan fokus infeksi di rongga
abdomen, rongga panggul, rongga mulut, atau daerah rektum).6
Pada pasien ini diberikan penatalaksanaan berupa pemasangan IV line dengan
pemberian terapi cairan berupa infus D5% ¼ NS sebanyak 10 tpm. Kebutuhan cairan pada
pasien ini yaitu dengan berat 8 kg, menggunakan rumus 100-50-20 untuk kebutuhan perhari

10
nya adalah sebanyak 800cc/24jam, sehingga kebutuhan cairan pasien perjam adalah
33cc/jam, oleh karena itu diperlukan tetesan infus sebanyak 8-10 tpm.9
Pada pasien ini belum dilakukan pemeriksaan kultur pada tempat terjadinya infeksi.
Pemeriksaan kultur bertujuan untuk mengetahui etiologi dari sepsis dan sebagai acuan untuk
pemberian antibiotik yang cocok dengan bakteri penyebab infeksi. Sehingga pada pasien ini,
bila memungkinkan hendaknya dilakukan kultur. Selagi menunggu hasil biakan dan uji
kepekaan, pemberian antibiotika inisial diberikan setelak ditegakkannya diagnosis sepsis.
Pada pasien ini untuk fase insial, diberikan antibiotik berspektrum luas yaitu golongan
cephalosphorin yaitu ceftriaxone dengan dosis 400 mg/12 jam. Dosis pemberian ceftriaxone
sendiri yaitu 50-100mg/kgBB/hari dibagi menjadi 2 dosis. Pasien ini juga diberikan
paracetamol 4x100 mg (IV) dengan tujuan sebagai terapi simptomatik yaitu mengobati
keluhan demam dan juga sebagai analgetik untuk pasien ini. Paracetamol merupakan
golongan acetaminofen, yang merupakan pilihan utama untuk mengurangi gejala nyeri
tingkat ringan hingga sedang, dimana cara kerja paracetamol sebagai analgetik yaitu dengan
mempengaruhi prostaglandin. Paracetamol bekerja dengan cara memblokade produksi
prostaglandin.
Pasien ini juga dilakukan tindakan perawatan abses di IGD dan dilakukan penutupan
lubang pada paha pasien yang mengeluarkan nanah luka dengan menggunakan kassa streril
yang diberi antibiotik metronidazol. Pasien dikonsultasikan kebagian bedah, sehingga
penatalaksaan abses femur lebih lanjut pada pasien ini ditatalaksana berdasarkan advice dari
dokter spesialis bedah.
Penatalaksanaan anemia defisiensi besi yaitu dengan pemberian preparat besi sampai
kadar Hb normal, dilanjutkan sampai cadangan besi terpenuhi. Besi dapat diberikan secara
oral maupun parenteral berupa besi elemental dengan dosis pemberian 3-5 mg/kg dibagi
menjadi 2 dosis. Evaluasi pengobatan dinilai dengan pemeriksaan Hb dengan retikulosit
seminggu sekali. Indikasi transfusi hanya jika kadar Hb <6 g/dl atau Hb ≥6 g/dl jika disertai
lemah, gagal jantung, infeksi berat, atau akan menjalani operasi. Pada pasien ini harusnya
diberikan transfusi sebab terdapat keadaan pasien yang lemah dan mengalami infeksi berat.
Pasien ini hendaknya dirawat bersama bagian/spesialis anak.

11
BAB IV
KESIMPULAN

Telah dilaporkan seorang anak laki-laki, An.M, usia 1 tahun 3 bulan, datang dengan
keluhan bengkak pada paha kanan disertai demam yang terjadi sejak 1 minggu SMRS.
Bengkak pada paha kanan memberat sejak 3 hari SMRS disertai keluarnya nanah. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan takikardia, reguler, lemah, volume kurang, takipnea,
conjungtiva anemis, dan kulit tampak pucat. Dari status lokalis didapatkan ukuran bengkak
pada paha kanan pasien berdiameter 12 cm, permukaan tampak kemerahan, terdapat lubang
kecil berdiameter 1 cm, nanah (+). Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik maupun
pemeriksaan penunjang tersebut didapatkan pasian terdiagnosis Abses femur dekstra dengan
sepsis dan anemia. Tatalaksana yang diberikan sudah tepat yaitu dikonsultasikan ke bagian
bedah, terapi cairan, pemberian antibiotik dan analgetik. Saran untuk kasus ini, yaitu
perawatan bersama dengan bagian/spesialis anak untuk tatalaksana anemia pada pasien ini.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Hurtado FJ, Buroni M, Tenzi J. Sepsis: Clinical approach, evidence-based at the


bedside. In: Gallo A, et al, editors. Intensive and Cri! cal Care Medicine. Springer-
Verlag Italia, 2011; p. 299-309.
2. Goldstein B, Giroir B, Randolph A, Members of the International Consensus
Conference on Pediatric Sepsis. International pediatric sepsis consensus conference:
Definitions for sepsis and organ dysfunction in pediatrics. Pediatr Crit Care Med
2010; 6(1): 2-8.
3. Guzman-Cottrill J, Nadel S, Goldstein B. The Systemic Inflammatory Response
Syndrome (SIRS), Sepsis, and Septic Shock. Principles and Practice of Pediatric
Infectious Diseases. 3rd ed. In: Long SS, Pickering LK, Prober CG; editors.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011.
4. Nguyen B, et al. Severe sepsis and septic shock: Review of the literature and
emergency. Department management guidelines. Annals of Emergency Medicine.
2010; 48(1): 28-54.
5. Enrione MA, Powell KR. Sepsis, Septic Shock, and Systemic Inflammatory Response
Syndrome. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed. In: Kliegman RM, Behrman RE,
Jenson HB, Stanton BF; editors. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2009. p.1094-9.
6. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Sepsis dan Syok Septik. Buku
Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. 2nd ed.Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2008. p.358-63.
7. Carcillo JA, Fields AI, Task Force Committee Members. Clinical practice variables
for hemodynamic support of pediatric and neonatal patients in septic shock. Crit Care
Med 2012; 30: 1365-78.
8. Garna H, Nataprawira H.anemia defisiensi besi. Dalam: pedoman diagnosis dan terapi
ilmu kesehatan anak. Edisi ke-4. Bandung: FK-UNPAD; 2010. p.283-4
9. Fisher RG, Boyce TG. Moffet’s Pediatric Infectious Diseases: A Problem-Oriented
Approach. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2011. p.354-62.

13

Anda mungkin juga menyukai