Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

PENANGANAN STATUS ASMATIKUS

DISUSUN OLEH :

Tamara Julia Hannesto 112019117

PEMBIMBING :

dr. Benyamin Paulus Octavianus, Sp.P

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CENGKARENG

PERIODE 07 FEBRUARI – 16 APRIL 2022

1
BAB I

PENDAHULUAN

Status asmatikus adalah kegawatdaruratan medis dimana gejala asma tidak


membaik pada pemberian bronkodilator inisial di unit gawat darurat. Biasanya,
gejala muncul beberapa hari setelah infeksi virus di saluran napas, diikuti pajanan
terhadap allergen atau iritan, atau setelah beraktivitas saat udara dingin.
Seringnya, pasien telah menggunakan obat-obat anti inflamasi. Pasien biasanya
mengeluh rasa berat di dada, sesak napas yang semakin bertambah, batuk kering
dan mengi juga penggunaan beta-agonis yang meningkat (baik inhalasi maupun
nebulisasi) sampai hitungan menit.

Asma adalah penyakit saluran napas kronik dan merupakan masalah


kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia. Asma
dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivitas, akan tetapi dapat bersifat
menetap dan mengganggu aktivitas bahkan kegiatan harian hal inilah yang
menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas dan kualitas hidup
dimasyarakat.
Dalam tiga puluh tahun terakhir terjadi peningkatan prevalensi asma
terutama di Negara-negara maju. kenaikan prevalensi asma di Asia seperti
Singapura, Taiwan, Jepang atau Korea Selatan juga mencolok. Kasus asma
meningkat insidennya secara dramatis selama lebih dari lima belas tahun, baik di
Negara berkembang maupun di Negara maju. Beban global untuk penyakit ini
semakin meningkat. Dampak buruk asma meliputi penurunan kualitas hidup,
produktivitas yang menurun, ketidakhadiran di sekolah, peningkatan biasa
kesehatan, resiko perawatan di rumah sakit bahkan kematian.

Prevalensi dan severity kasus asma semakin meningkat, sejalan dengan


peningkatan kasus asma yang membutuhkan perawatan rumah sakit dan kematian
akibat status asmatikus. Status asmatikus biasanya lebih sering terjadi pada
kelompok dengan sosioekonomi yang rendah, karena kurangnya pengetahuan dan
tidak pernah memeriksakan diri ke rumah sakit sehingga meningkatkan resiko

2
status status asmatikus. Pasien yang terlambat mendapatkan perawatan medis,
khususnya perawatan dengan steroid sistemik memiliki resiko kematian yang
besar.

Definisi

Status asmatikus adalah suatu serangan eksaserbasi akut asma yang tidak
responsif dengan pengobatan asma pada umumnya yaitu dengan pemberian
nebulasi B agonis (bronkodilator) sebanyak 3 kali tetapi tidak memberikan respon
yang baik. Serangan pada status asmatikus dapat terjadi dari yang ringan sampai
yang berat tergantung dari tingkat obstruksi pada bronkus yang disebabkan oleh
bronkokonstriksi, sekresi mukus dan inflamasi pada saluran pernapasan.
Semuanya itu dapat menyebabkan gejala berupa sesak napas, retensi dari
karbondioksida, hipoksemia dan kegagalan pernapasan.

Asma adalah penyakit peradangan saluran nafas kronik yang ditandai oleh
peran dari banyak sel dan elemen seluler. Peradangan ini berhubungan dengan
hiperesponsif jalan nafas yang menimbulkan episode berulang kali berupa mengi,
pendek nafas, sesak dada dan batuk yang terutama terjadi pada malam hari atau
dini hari1.
Definisi yang paling banyak diterima secara luas adalah hasil panel
National Istitute of Health (NIH) – National Heart, Lung and Blood Institute
(NHLBI). Menurut NHLBI asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran nafas
di mana banyak sel berperan terutama sel mast, eosinophil, limposit T, makrofag,
neutrophil dan sel epitel5.
Asma adalah sindrom yang ditandai oleh obstruksi aliran udara yang
bervariasi baik secara spontan maupun dengan pengobatan spesifik. Peradangan
saluran napas kronis menyebabkan hiperresponsif napas ke berbagai pemicu, yang
menyebabkan aliran udara obstruksi dan gejala pernafasan termasuk sesak dan
mengi.

3
Epidemiologi
Data World Health Organization (WHO) menunjukkan data yang serupa
bahwa prevalensi asma bronkial diperkirakan sebanyak lebih dari 339 juta orang
menderita Asma di seluruh dunia pada tahun 2016. Menurut perkiraan WHO, ada
417.918 kematian akibat asma di tingkat global dan 24,8 juta disebabkan Asma
pada tahun 2016. Di negara berkembang angka kematian asma mencapai lebih 8%
(WHO,2011). Prevalensi asma pada orang dewasa sekitar 9,5%, sedangkan
menurut jenis kelamin sebanyak 9,7% pada perempuan dan 7,2% pada laki-laki.
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang, sedangkan angka kasus asma
masih cukup tinggi. Di Indonesia, provinsi dengan prevalensi asma tertinggi
adalah Provinsi Sulawesi Tengah dengan persentase 7,8%, sedangkan Jawa
Tengah menempati peringkat 17 yakni sebesar 4,3% (Depkes RI,2013).

Etiologi

Menurut Somantri (2008), berdasarkan etiologinya, asma bronkial dapat


diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu:

1. Ekstrinsik (alergik)
Tipe asma ini merupakan jenis asma yang ditandai dengan reaksi alergi
oleh karena faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga,
bulu binatang, obat-obatan (antibiotik dan aspirin) dan spora jamur. Asma
ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik
terhadap alergi. Paparan terhadap alergi akan mencetuskan serangan asma.
Gejala asma umumnya dimulai saat kanak-kanak.
2. Intrinsik (idiopatik atau non alergik)

Tipe asma ini merupakan jenis asma yang ditandai dengan adanya reaksi
non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak
diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi
saluran pernapasan, emosi dan aktivitas. Serangan asma ini menjadi lebih
berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang

4
menjadi bronkitis kronik dan emfisema. Pada beberapa pasien, asma jenis ini
dapat berkembang menjadi asma gabungan. Bentuk asma ini biasanya dimulai
pada saat dewasa (usia > 35 tahun).

3. Asma gabungan

Jenis asma ini merupakan bentuk asma yang paling umum dan sering
ditemukan. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergi maupun
bentuk idiopatik atau nonalergik.

Fakto Resiko

Secara umum faktor resiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:

1. Faktor host
Genetik
Gender
Obesitas

2. Faktor lingkungan
a. Alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah,
kucing, alternaria/jamur)
b. Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)
c. Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang,
makanan laut, susu sapi, telur)
d. Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-
blocker dll)
e. Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll)
f. Ekspresi emosi berlebih
g. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif.
h. Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
i. Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika
melakukan aktivitas tertentu
j. Perubahan cuaca.

5
Patofisiologi

Genetik. Penelitian menunjukkan banyak gen yang terlibat pada


pathogenesis asma, dan gen yang berbeda terdapat pada etnik yang
berkelainan. Diketahui 4 kelompok pengaruh gen yang utama yang berkaitan
dengan predisposisi asma yaitu terhadap produksi IgE spesifik ( atopi ), ekspresi
hipersponsif, produksi mediator inflamasi seperti sitokin, kemokin, growth
factor, dan penentu rasio antara respon imun Th1 dan Th2 ( menurut teori
hipotesis higienis ). Analisa keluarga asma mendapat adanya daerah kromosom
yang terkait dengan kepekaan asma, misalnya kecendrungan peningkatan
kadar IgE total dengan hiperesponsif bronkus, dan gen yang mengatur
hiperesponsif bronkus yang terletak dekat lokus mayor yang mengatur kadar total
IgE pada kromosom 5q. Penelitian saat ini masih terus berlanjut. Terdapat pula
gen yang terkait dengan respon terhadap terapi asma. Misalnya variasi gen yang
mengkode β adrenoreceptor terkait dengan respon yang berbeda terhadap β 2 
agonist. Terdapat pula gen lain yang bersifat responsif terhadap kortikosteriod
dan penghambat leukotriene.

Mekanisme Asma 

Imunopatogenesis. Akibat adanya faktor perangsangan dan pencetus ini


terjadi reaksi imun tipe I, II, III dan IV yang diikuti reaksi mediator, inflamasi,
kerusakan jaringan dan gejala klinik. Disebutkan bahwa pada 85% pasien
inflamasi dimulai oleh IgE ( asma alergi ) dan sisanya oleh proses yang
independen terhadap IgE ( asma non alergi ). Pada atopi paparan awal
terhadap antigen menimbulkan sensitisasi. Antigen-presenting cell ( APC ) seperti
makrofag menelan antigen dan mempresentasikannya kepada sel T ( Th0 ) yang
kemudian mengalami diferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 mengeluarkan
sitokin antara lain IL4 dan IL13 yang menyebabkan sel B memproduksi IgE yang
spesifik untuk antigen tersebut. Pada respon dini akibat adanya paparan
selanjutnya menimbulkan reaksi Ag-Ab pada permukaan sel mastosit, yang

6
diikuti aktivasi dari sel dan pelepasan berbagai mediator ( histamin dan
heparin ) serta mediator lain (prostaglandin, leukotrin, faktor aktifasi trombosit-
PAF dan bradikinin ). Terjadi efek langsung berupa bronkokonstriksi dan
peningkatan hiperesponsif bronkus. Pelepasan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan
IL6 mengaktifasi limfosit T dan B, yang merangsang sel mastosit dan menarik
eosinofil, sehingga meningkatkan proses inflamasi. Respon lambat terjadi 4-12
jam setelah paparan antigen, berupa dilatasi vaskuler dan peningkatan
permiabilitas kapiler, pembentukkan edema dan akumulasi sel radang. Akibat
adanya aktifasi, sel eosinofil melepaskan berbagai mediator (eosinophilic
cation protein-ECP, leukotrin, prostaglandin, histamin ) yang menimbulkan
bronkokonstriksi dan perpanjagan hiperesponsif bronkus. Sekresi sitokin seperti
IL3, IL4, IL5 lebih lanjut menimbulkan inflamasi yang berkelanjutan 9. Dengan
demikian proses inflamasi kronik yang kompleks pada asma ditandai oleh
adanya sel radang dan elemen seluler, perubahan struktur saluran nafas dan
peningkatan mediator.

Gambar 1. Proses Imunologis

7
Reaksi inflamasi pada saluran nafas menimbulkan penyempitan yang
ireversibel pada saluran nafas ( airway remodeling ) akibat fibrosis subepitelial,
hipertrofi otot polos saluran nafas, penebalan pembuluh darah dan hipersekresi
mukus. Hal ini merupakan langkah terakhir terjadinya gejala dan perubahan
fisiologik saluran nafas pada asma, yaitu berupa kontraksi otot polos,
edema, penebalan dinding dan hipersekresi mukus. Hiperesponsif ini  bersifat
responsif secara parsial terhadap obat.

Gambar 2. Hiperaktivasi

8
Gambar 3. Asthmatic airway

KLASIFIKASI
Tabel 1. Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis 
          
Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal paru
I. Intermiten      
Bulanan APE   80%
  * Gejala < 1x/minggu *  2 kali sebulan * VEP1  80% nilai prediksi
* Tanpa gejala di luar    APE  80% nilai    terbaik
    serangan *  Variabiliti APE < 20%
* Serangan singkat
 
II. Persisten      
Ringan Mingguan APE > 80%
  * Gejala > 1x/minggu,  * > 2 kali sebulan * VEP1  80% nilai prediksi
    tetapi < 1x/ hari      APE  80% nilai terbaik
* Serangan dapat * Variabiliti APE 20-30%
   mengganggu aktiviti  
   dan tidur
 
III. Persisten      
Sedang Harian APE 60 – 80%
  * Gejala setiap hari * > 1x / * VEP1  60-80% nilai
* Serangan mengganggu seminggu prediksi
   aktiviti dan tidur    APE 60-80% nilai terbaik
*Membutuhkan    * Variabiliti APE  > 30%
   bronkodilator  
   setiap hari  
 
IV. Persisten      
Berat Kontinyu APE  60%
  * Gejala terus menerus * Sering * VEP1  60% nilai prediksi
* Sering kambuh     APE  60% nilai terbaik
* Aktiviti  fisik terbatas * Variabiliti APE > 30%
 
 

9
Baru-baru ini, GINA mengajukan klasifikasi asma berdasarkan tingkat
kontrol asma dengan penilaian meliputi gejala siang, aktivitas, gejala malam,
pemakaian obat pelega dan eksaserbasi. GINA membaginya kedalam asma
terkontrol sempurna, asma terkontrol sebagian, dan asma tidak terkontrol.

Tabel 3. Tingkat Kontrol Asma menurut GINA

Karakteristik Kontrol Penuh Terkontrol Tidak


Sebagian Terkontrol
(Semua
Kriteria) (Salah satu/minggu)
Gejala harian Tidak ada >2x/ ≥3
Keterbatasan (≤2x/mgg) mgg Gambaran
asma terkontrol
Aktivitas Tidak ada Ada sebagian ada
Gejala Tidak ada Ada dalam setiap
nokturnal/terban minggu
gun karena asma
Kebutuhan pelega
Tidak ada >2x/mgg
Fungsi paru 1x/
(≤2x/mgg) <80%prediksi/nilai
(APE/VEP1) mgg
terbaik
Normal
Eksaserbasi ≥1/tahun
Tidak ada

10
Tabel 3. Klasifikasi asma menurut derajat serangan

Manifestasi Klinis

11
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa asma tidak terdiagnosis di seluruh
dunia, disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan
beratnya penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik
sehingga penderita tidak merasa perlu berobat ke dokter. Diagnosis asma didasari
oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa
berat di dada dan variabilitas yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik
cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan
pengukuran faal paru terutama reversibiltas kelainan faal paru akan lebih
meningkatkan nilai diagnostik.

Riwayat penyakit atau gejala : 

1. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan.


2. Gejala berupa batuk berdahak, sesak napas, rasa berat di dada.
3. Gejala timbul/memburuk terutama malam/dini hari.
4. Diawali oleh factor pencetus yang bersifat individu.
5. Responsif terhadap pemberian bronkodilator.

DIAGNOSIS 
RIWAYAT PENYAKIT / GEJALA :
                Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
                Gejala berupa batuk, sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
                Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
                Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
                Respons terhadap pemberian bronkodilator
 
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :
                Riwayat keluarga (atopi)
                Riwayat alergi / atopi
                Penyakit lain yang memberatkan
                Perkembangan penyakit dan pengobatan
 

12
PEMERIKSAAN FISIK
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat
normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah
mengi pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar
normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan
jalan napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema
dan hipersekresi dapat menyumbat saluran napas; maka sebagai kompensasi
penderita bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi
menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan
menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi.
Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa.
Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang
sangat berat yang sudah terjadi impending respiratory failure, tetapi biasanya
disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi
dan penggunaan otot bantu napas.

FAAL PARU

Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah diterima
secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan
arus puncak ekspirasi (APE).
 
Spirometri
          Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital
paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang
standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita
sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kooperasi penderita. Untuk
mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang
reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio
VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.
 

13
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
                Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75%
atau VEP1 < 80% nilai prediksi.
                Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1  15% secara spontan, atau setelah
inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian
bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid
(inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis asma.
                Menilai derajat berat asma.

Arus Puncak Ekspirasi (APE)


          Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau
pemeriksaan yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow
meter (PEF meter) yang relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari plastik
dan mungkin tersedia di berbagai tingkat layanan kesehatan termasuk puskesmas
ataupun instalasi gawat darurat. Alat PEF meter relatif mudah digunakan/
dipahami baik oleh dokter maupun penderita, sebaiknya digunakan penderita di
rumah sehari-hari untuk memantau kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE
dengan ekspirasi paksa membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang jelas.
   
Manfaat APE dalam diagnosis asma
                Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE  15% setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau
respons terapi kortikosteroid (inhalasi/oral, 2 minggu)
                Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti
APE harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan menilai
derajat berat penyakit
 
Nilai APE tidak selalu berkorelasi dengan parameter pengukuran faal paru lain, di
samping itu APE juga tidak selalu berkorelasi dengan derajat berat obstruksi. Oleh
karenanya pengukuran nilai APE sebaiknya dibandingkan dengan nilai terbaik

14
sebelumnya, bukan nilai prediksi normal; kecuali tidak diketahui nilai terbaik
penderita yang bersangkutan.
 
Diagnosis Banding

Bila menemukan keluhan batuk sesak, mengi salah satu kelainan yang
perlu dipikirkan adalah obstruksi saluran nafas atas8. Diagnosis banding
asma5 

Kategori Kriteria

Penyakit penyebab sesak berulang PPOK, penyakit jantung coroner, GERD,


gagal jantung kongestif, emboli paru

Penyakit yang menimbulkan batuk Rhinitis, sinusitis, otitis, bronkiektasis

Penyakit yang sering menimbulkan PPOK, bronkiolitisobliterans,cystic


obstruksi saluran nafas fibrosis

Tabel 3. Diagnosis banding asma

3.8 Penatalaksanaan

Menurut guidelines yang didapatkan dari GINA 2021, National Asthma


Education and Prevention Program (NAEPP) of America Expert Panel,
penanganan atau perawatan terhadap seseorang dengan asma termasuklah rawat
jalan yang intensif dengan medikasi dan intervensi lingkungan. Rawat inap di
rumah sakit merupakan suatu kagagalan dalam penanganan pasien rawat jalan.
Penanganan pasien dengan status asmatikus adalah seperti berikut:2

 Oksigen

15
Oksigenasi digunakan untuk membantu mengkoreksi ventilasi dan perfusi.
Bisa diberikan menggunakan nasal kanul atau face mask. Jika terjadi
hipoksemia yang signifikan, nonbreathing mask bisa digunakan untuk
memberikan sebanyak-banyaknya 98% oksigen. Tujuan pemberian
oksigen adalah untuk mencapai saturasi oksigen 93-95%.

 Beta2-agonis short acting

Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan


prokaterol yang telah beredar di Indonesia. Pemberian dapat secara
inhalasi atau oral, pemberian secara inhalasi mempunyai onset yang lebih
cepat dan efek samping yang minimal.
Merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan sangat bermanfaat
sebagai praterapi pada exercise-induced asthma,untuk dosis penggunaan
obat sebagai berikut :
• Salbutamol : - Oral 3-4 x 4mg / hari
- Inhalasi aerosol (DPI/MDI) : 100-200 mcg (1-2
hirupan)
• Fenoterol : Inhaler 100 mcg/semprot
• Terbutaline : 1-2 tablet yang diberikan 2-3 kali sehari. (1 tablet=
2,5mg)

Efek sampingnya adalah rangsangan kardiovaskular, tremor otot


rangka dan hipokalemia. Pemberian secara inhalasi jauh lebih sedikit
menimbulkan efek samping daripada oral. Dianjurkan pemberian
inhalasi, kecuali pada penderita yang tidak dapat/mungkin
menggunakan terapi inhalasi.

 Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah agen anti inflamasi yang paling potensial dan


merupakan anti inflamasi yang secara konsisten efektif sampai saat ini.

16
Efeknya secara umum adalah untuk mengurangi inflamasi akut maupun
kronik, menurunkan gejala asma, memperbaiki aliran udara, mengurangi
hiperresponsivitas saluran napas, mencegah eksaserbasi asma, dan
mengurangi remodelling saluran napas. Kortikosteroid terdiri dari
kortikosteroid inhalasi dan sistemik.

 Kortikosteroid inhalasi

Steroid inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma persisten (ringan


sampai berat). Steroid inhalasi ditoleransi dengan baik dan aman pada
dosis yang direkomendasikan. Pada tabel 1.
Tabel 1. Dosis Kortikosteroid inhalasi 6

Efek samping steroid inhalasi adalah efek samping lokal seperti


kandidiasis orofaring, disfonia dan batuk karena iritasi saluran napas atas.
Semua efek samping tersebut dapat dicegah dengan penggunaan spacer,
atau mencuci mulut dengan berkumur-kumur dan membuang keluar
setelah inhalasi. Absorpsi sistemik tidak dapat dielakkan, terjadi melalui
absorpsi obat di paru. Risiko terjadi efek samping sistemik bergantung
kepada dosis dan potensi obat yang berkaitan dengan biovailibiliti,
absorpsi di usus, metabolisme di hati (first-pass metabolism), waktu paruh
berkaitan dengan absorpsi di paru dan usus; sehingga masing-masing obat
steroid inhalasi berbeda kemungkinannya untuk menimbulkan efek
sistemik. Penelitian menunjukkan budesonid dan flutikason propionate
mempunyai efek sistemik yang rendah dibandingkan beklometason
dipropionat dan triamsinolon. Risiko efek sistemik juga bergantung sistem
penghantaran. Penggunaan spacer dapat menurunkan bioavailabiliti
sistemik dan mengurangi efek samping sistemik untuk semua

17
glukokortikosteroid inhalasi. Tidak ada data yang menunjukkan terjadi
tuberkulosis paru pada penderita asma malnutrisi dengan steroid inhalasi,
atau terjadi gangguan metabolisme kalsium dan densiti tulang.

 Kortikosteroid sistemik

Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan digunakan


sebagai pengontrol pada keadaan asma persisten berat (setiap hari atau
selang sehari), tetapi penggunaannya terbatas mengingat risiko efek
sistemik. Steroid inhalasi jangka panjang lebih baik daripada steroid oral
jangka panjang. Jangka panjang lebih efektif menggunakan steroid inhalasi
daripada steroid oral. Jika steroid oral terpaksa harus diberikan misalnya
pada keadaan asma persisten berat yang dalam terapi maksimal belum
terkontrol (walau telah menggunakan paduan pengoabatan sesuai berat
asma), maka dibutuhkan steroid oral selama jangka waktu tertentu.
Beberapa hal yang harus dipertimbangkan saat memberi steroid oral :

• gunakan prednison, prednisolon, atau metilprednisolon karena


mempunyai efek mineralokortikoid minimal, waktu paruh pendek dan
efek striae pada otot minimal bentuk oral, bukan parenteral
• penggunaan selang sehari atau sekali sehari pagi hari
Efek samping sistemik penggunaan glukokortikosteroid oral/ parenteral
jangka panjang adalah osteoporosis, hipertensi, diabetes, supresi aksis
adrenal pituitari hipotalamus, katarak, glaukoma, obesiti, penipisan kulit,
striae dan kelemahan otot. Perhatian dan supervisi ketat dianjurkan pada
pemberian steroid oral pada penderita asma dengan penyakit lain seperti
tuberkulosis paru, infeksi parasit, osteoporosis, glaukoma, diabetes,
depresi berat dan tukak lambung. Glukokortikosteroid oral juga
meningkatkan risiko infeksi herpes zoster. Pada keadaan infeksi virus
herpes atau varisela, maka glukokortikosteroid sistemik harus dihentikan.

 Antikolinergik

18
Obat-obat antikolinergik menyebabkan bronkodilatasi dengan
menghalangi reseptor muskarinik di otot polos jalan nafas, sehingga
menurunkan tonus vagal. Ipratorium adalah derivat sintetis dari atropin
yang ditambahkan pada obat inhalasi. Indikasi pemberian Ipratorium
adalah pengobatan bronkokontriksi pada pasien dengan PPOK. Pada
pasien dengan asma, Ipratorium kurang efektif dibandingkan dengan β2
agonis. Dibandingkan dengan efek bronkodilator yang cepat dihasilkan
oleh β2 agonis, onset efek bronkodilator oleh Ipratorium adalah 15-30
menit, walaupun efeknya habis dalam 4-6 jam.

Manajemen Status Asmatikus

Status asmatikus didefinisikan sebagai suatu keadaan bronkospasme yang


tidak ada perubahan, walaupun sudah diberikan terapi awal, mengancam
keselamatan jiwa. Pengobatan kasus emergensi yang paling efektif untuk status
asmatikus adalah dengan mengulang pemberian β2 agonis dengan inhalasi dengan
dosis inhalasi yang diukur.

Kita harus menilai keadaan awal pasien saat masuk, melakuan penilaian awal
pada airway, breathing, and circulation. Penanganan serangan asma berat:

1. Bila dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak menunjukkan respon


(poor renponse), yaitu gejala dan tanda serangan masih ada (penilaian ulang
sesuai pedoman) pasien harus dirawat inap.
2. Oksigen diberikan sejak awal saat atau diluar nebulisasi.
3. Dipasang jalur parenteral dan dilakukan foto thoraks.
4. Bila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti napas, pasien harus
langsung dirawt di ruang intensif. Pada pasien dengan serangan berat dan
ancaman henti napas, foto toraks harus langsung dibuat untuk mendeteksi
komplikasi pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum.
5. Jika ada dehidrasi dan asidosis, diatasi dnegan pemberian cairan intravena dan
koreksi terhadap asidosis.
6. Steroid intravena diberikan secara bolus, tiap 6-8 jam.

19
7. Dosis steroid intrvena 0,5-1 mg/kgBB/hari.
8. Nebulisasi β- agonis + antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam,
jika dengan 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian
dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam.
9. Aminofilin diberikan secara intravena dengan ketentuan sebagai berikut:
- Jika pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberikan aminofilin
dosis awal (inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam D5% atau NaCl
sebanyak 20 ml, diberikan dalam 20-30 menit.
- Jika pasien telah mendapat aminofilin sebelumnya (kurang dari 4 jam),
dosis yng diberikan adalah setengah dosis inisial.
- Sebaiknya kadar aminofilin dalam darah diukur dan dipertahankan sebesar
10-20 mcg/ml.
- Selanjutnya, aminofilin dosisi rumatan diberikan sebesar 0,5-1
mg/kgBB/jam.
- Jika telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6 jam,
sampai dengan 24 jam.
10. Steroid dan aminofilin diganti dengan pemberian per oral.
11. Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan
dibekali obat β-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama
24-48 jam. Selain itu, steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik
rawat jalan dalam 24-48 jam untuk evaluasi ulang tata laksana.
12. Ancaman henti napas, hipoksemia tetap terjadi walaupun sudah diberi oksigen
(kadar PaO2 < 60 mmHg dan atau PaCO2 > 45 mmHg). Pada ancaman henti
napas diperlukan ventilasi mekanik.

Tindak lanjut bila terjadi kegagalan terapi

a. Asidosis respiratorik

 Ventilasi diperbaiki
 Pemberian Na Bikarbonat

20
b. Hipoksia berat ( PaO2 < 50 mmHg )

 Pemberian O2 4- 6 L/m dengan ventilasi mask


c. Gagal napas akut

 alat bantu napas ( ventilator mekanik )


syarat :
 apneu
 kenaikan PaCO2 > 5 mmHg / jam disertai asidosis . respiratorik
akut
 Nilai absolut PaCO2 > 50 mmHg disertai asidosis . respiratorik
akut
 Hipoksia refrakter walau sudah diberi O2

Atau dapat mengikuti algoritma penatalaksanaan menurut GINA 2021:

21
Dan penatalaksanaan asma menurut PDPI 2021

Tingkat keparahan Phase


asma eksaserbasi
UGD Rawat inap

Ringan – sedang  Highdose ICS sebagai Melanjutkan terapi


fisrt line treatment dengan high dose ICS
 Budesonide: 3 x 1
dalam satu jam

22
pertama Budesonide: 1-2 mg
dikombinasikan
2x/hari
dengan SABA
Alternatif: kortikosteroid
sistemik

Berat  Highdose ICS sebagai


fisrt line treatment
 Budesonide: 3 x 1
dalam satu jam
pertama
dikombinasikan
dengan SABA
Alternatif: kortikosteroid
sistemik atau sebagai tambahan

Pasien yang dirawat di rumah sakit2

 Indikasi dirawat di ICU

o Kesadaran dan sensoris terganggu

o Penggunaan terapi beta-agonis inhalasi

o Pasien kelelahan

o Kemasukan udara atau inspirasi yang menurun mendadak

o Peningkatan PCO2 walaupun dengan pengobatan

o Adanya faktor resiko

o Kondisi pasien tidak membaik walaupun terapi mencukupi

 Indikasi untuk intubasi dan ventilasi mekanis

o Apnea atau respiratory arrest

23
o Kesadaran menurun

o Impending respiratory failure, ditandai dengan peningkatan PCO2


dan kelelahan/capek, penurunan pergerakan udara, dan penurunan
kesadaran

o Hipoksemia signifikan, yang berespon buruk atau tidak berespon


kepada terapi oksigen tambahan

 Kateter arteri yang menetap (indwelling arterial catheters): tindakan


memasang kateter arteri bisa digunakan untuk memonitor tekanan darah
yang berterusan, dan untuk mengambil sampel untuk analisa gas darah
arteri pada pasien dengan ventilasi mekanis. Gas darah dimonitor untuk
menilai respon pasien terhadap ventilasi mekanis.

Pasien yang dirawat jalan1,2

 Follow-up pasien yang dirawat jalan dan perawatan yang berterusan


terhadap pasien yang pernah dirawat di ICU karena status asmatikus yang
parah adalah sangat penting untuk mengoptimalkan hasil jangka panjang
dan kualitas hidup dan meminimalkan episode eksaserbasi asma parah.

 Antara yang penting dan harus diperhatikan adalan obat-obatan untuk


diambil di rumah, seperti anti-inflamasi. Kortikosteroid sekarang dianggap
sebagai salah satu terapi utama untuk pengobatan maintenance terhadap
asma. Ada studi mengatakan bahwa penggunaan anti-inflamasi yang
kurang berhubungan dengan asma yang lebih parah. Ini karena terjadinya
remodeling dari salur pernafasan, dan perubahan dari proses inflamasi
pada tubuh yang persisten.

 Untuk eksaserbasi akut disarankan untuk menggunakan bronkodilator.

24
 Perubahan atau kontrol terhadap lingkungan juga perlu pada pasien
dengan asma yang berhubungan dengan alergi yang berkaitan dengan
lingkungan.

Komplikasi

Komplikasi yang bisa terjadi termasuk:

1. Cardiac arrest

2. Gagal nafas atau respiratory arrest

3. Hipoksemia dengan cedera susunan saraf pusat yang hipoksik dan iskemik

4. Pneumothoraks atau pneumomediastinum

5. Toksisitas dari obat-obatan

Prognosis

Mortalitas akibat asma jumlahnya kecil. Gambaran yang paling akhir


menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang
jumlahnya kira-kira 10 juta penduduk. Angka kematian cenderung meningkat di
pinggiran kota dengan fasilitas kesehatan terbatas. 9
Informasi mengenai perjalanan klinis asma menyatakan bahwa prognosis
baik ditemukan pada 50–80% pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan
dan timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang masih menderita asma 7–
10 tahun setelah diagnosis pertama bervariasi dari 26–78% dengan nilai rata-rata
46%, akan tetapi persentase anak yang menderita ringan dan timbul pada masa
kanak-kanak. Jumlah anak yang menderita asma penyakit yang berat relatif berat
(6 –19%). Prognosis pada pasien dengan status asmatikus pada umumnya baik
apabila dilakukan penanganan yang tepat dan cepat.

25
KESIMPULAN

Asma adalah penyakit paru obstruktif, difus dengan hiperreaktivitas jalan


napas terhadap berbagai rangsangan dan tingginya tingkat reversibilitas proses

26
obstruktif, yang dapat terjadi secara spontan atau sebagai akibat pengobatan. Juga
dikenal sebagai penyakit jalan napas reaktif, kompleks asma mungkin mencakup
bronkitis mengi, mengi akibat virus, dan asma terkait atopik.

Status asmatikus adalah salah satu kegawatdaruratan medis yang sering


terjadi pada praktik sehari-hari. Status asmatikus merupakan serangan asma yang
terus-menerus dan berlangsung beberapa hari serta berat dan tidak dapat datasi
dengan obat-obatan. Gejala yang timbul bersifat akut dan harus segera ditangani
dengan cepat dan tepat sebelum terjadi komplikasi lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA
1. Megan Stapleton, PharmD, Amanda Howard-Thompson. Smoking and
Asthma: JABFM May–June Vol. 24 No. 3; 2011. p.313-322.

27
2. WHO (World Health Organization, 20 May 2020). Fact about Asthma.
Diunduh dari: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/asthma/ .
3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia; 2013.
4. Perhimpunan dokter paru Indonesia. Pedoman diagnosis &
penatalaksanaan asma di Indonesia. Diunduh dari:
https://puskespemda.net/download/konsensus-asma-perhimpunan-dokter-
paru-indonesia/.
5. Pynn MC, Thornton CA, Davies GA. Asthma pathogenesis. Pulmo RJ.
2012; 21(2): 11–17.
6. GINA. Pocket Guide for Astma Assessment and Management. 1st Ed.
GINA commitee; 2021. Diunduh dari
https://ginasthma.org/wp-content/uploads/2021/05/GINA-Pocket-Guide-
2021-V2-WMS.pdf.
7. Jurnal respiratori. Imunopatogenesis Asma. Resti Yudhawati, Desak Putu
Agung Krisdanti Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi,
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo, Vol. 3
No. 1 Januari 2017
8. Maranatha D, Wibisono M Jusuf, Winariani, et al. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Paru. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi:
FK Unair-RSUD dr Soetomo S Kay AB. Asthma and inflammation. J
Allergy Clin Immunol 1991;5:893-910.
9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma : Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksaan di Indonesia. Balai Penerbit FKUI : Jakarta, 2004.
10. Robbins dkk. Buku Ajar Patologi II. Edisi 4. Alih Bahasa : Staf pengajar
Laboratorium Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta, 1995.
11. Zahorik KJ, Busse WW. Chronic asthma. Hall JB, Corbridge TC,
Rodrigo C, Rodrigo GJ, Acute Asthma. Singapore: McGraw-Hill, 2000 :
232-45urabaya; 2010. hal. 63.

28
29

Anda mungkin juga menyukai