DISUSUN OLEH :
PEMBIMBING :
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
status status asmatikus. Pasien yang terlambat mendapatkan perawatan medis,
khususnya perawatan dengan steroid sistemik memiliki resiko kematian yang
besar.
Definisi
Status asmatikus adalah suatu serangan eksaserbasi akut asma yang tidak
responsif dengan pengobatan asma pada umumnya yaitu dengan pemberian
nebulasi B agonis (bronkodilator) sebanyak 3 kali tetapi tidak memberikan respon
yang baik. Serangan pada status asmatikus dapat terjadi dari yang ringan sampai
yang berat tergantung dari tingkat obstruksi pada bronkus yang disebabkan oleh
bronkokonstriksi, sekresi mukus dan inflamasi pada saluran pernapasan.
Semuanya itu dapat menyebabkan gejala berupa sesak napas, retensi dari
karbondioksida, hipoksemia dan kegagalan pernapasan.
Asma adalah penyakit peradangan saluran nafas kronik yang ditandai oleh
peran dari banyak sel dan elemen seluler. Peradangan ini berhubungan dengan
hiperesponsif jalan nafas yang menimbulkan episode berulang kali berupa mengi,
pendek nafas, sesak dada dan batuk yang terutama terjadi pada malam hari atau
dini hari1.
Definisi yang paling banyak diterima secara luas adalah hasil panel
National Istitute of Health (NIH) – National Heart, Lung and Blood Institute
(NHLBI). Menurut NHLBI asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran nafas
di mana banyak sel berperan terutama sel mast, eosinophil, limposit T, makrofag,
neutrophil dan sel epitel5.
Asma adalah sindrom yang ditandai oleh obstruksi aliran udara yang
bervariasi baik secara spontan maupun dengan pengobatan spesifik. Peradangan
saluran napas kronis menyebabkan hiperresponsif napas ke berbagai pemicu, yang
menyebabkan aliran udara obstruksi dan gejala pernafasan termasuk sesak dan
mengi.
3
Epidemiologi
Data World Health Organization (WHO) menunjukkan data yang serupa
bahwa prevalensi asma bronkial diperkirakan sebanyak lebih dari 339 juta orang
menderita Asma di seluruh dunia pada tahun 2016. Menurut perkiraan WHO, ada
417.918 kematian akibat asma di tingkat global dan 24,8 juta disebabkan Asma
pada tahun 2016. Di negara berkembang angka kematian asma mencapai lebih 8%
(WHO,2011). Prevalensi asma pada orang dewasa sekitar 9,5%, sedangkan
menurut jenis kelamin sebanyak 9,7% pada perempuan dan 7,2% pada laki-laki.
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang, sedangkan angka kasus asma
masih cukup tinggi. Di Indonesia, provinsi dengan prevalensi asma tertinggi
adalah Provinsi Sulawesi Tengah dengan persentase 7,8%, sedangkan Jawa
Tengah menempati peringkat 17 yakni sebesar 4,3% (Depkes RI,2013).
Etiologi
1. Ekstrinsik (alergik)
Tipe asma ini merupakan jenis asma yang ditandai dengan reaksi alergi
oleh karena faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga,
bulu binatang, obat-obatan (antibiotik dan aspirin) dan spora jamur. Asma
ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik
terhadap alergi. Paparan terhadap alergi akan mencetuskan serangan asma.
Gejala asma umumnya dimulai saat kanak-kanak.
2. Intrinsik (idiopatik atau non alergik)
Tipe asma ini merupakan jenis asma yang ditandai dengan adanya reaksi
non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak
diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi
saluran pernapasan, emosi dan aktivitas. Serangan asma ini menjadi lebih
berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang
4
menjadi bronkitis kronik dan emfisema. Pada beberapa pasien, asma jenis ini
dapat berkembang menjadi asma gabungan. Bentuk asma ini biasanya dimulai
pada saat dewasa (usia > 35 tahun).
3. Asma gabungan
Jenis asma ini merupakan bentuk asma yang paling umum dan sering
ditemukan. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergi maupun
bentuk idiopatik atau nonalergik.
Fakto Resiko
1. Faktor host
Genetik
Gender
Obesitas
2. Faktor lingkungan
a. Alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah,
kucing, alternaria/jamur)
b. Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)
c. Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang,
makanan laut, susu sapi, telur)
d. Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-
blocker dll)
e. Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll)
f. Ekspresi emosi berlebih
g. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif.
h. Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
i. Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika
melakukan aktivitas tertentu
j. Perubahan cuaca.
5
Patofisiologi
Mekanisme Asma
6
diikuti aktivasi dari sel dan pelepasan berbagai mediator ( histamin dan
heparin ) serta mediator lain (prostaglandin, leukotrin, faktor aktifasi trombosit-
PAF dan bradikinin ). Terjadi efek langsung berupa bronkokonstriksi dan
peningkatan hiperesponsif bronkus. Pelepasan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan
IL6 mengaktifasi limfosit T dan B, yang merangsang sel mastosit dan menarik
eosinofil, sehingga meningkatkan proses inflamasi. Respon lambat terjadi 4-12
jam setelah paparan antigen, berupa dilatasi vaskuler dan peningkatan
permiabilitas kapiler, pembentukkan edema dan akumulasi sel radang. Akibat
adanya aktifasi, sel eosinofil melepaskan berbagai mediator (eosinophilic
cation protein-ECP, leukotrin, prostaglandin, histamin ) yang menimbulkan
bronkokonstriksi dan perpanjagan hiperesponsif bronkus. Sekresi sitokin seperti
IL3, IL4, IL5 lebih lanjut menimbulkan inflamasi yang berkelanjutan 9. Dengan
demikian proses inflamasi kronik yang kompleks pada asma ditandai oleh
adanya sel radang dan elemen seluler, perubahan struktur saluran nafas dan
peningkatan mediator.
7
Reaksi inflamasi pada saluran nafas menimbulkan penyempitan yang
ireversibel pada saluran nafas ( airway remodeling ) akibat fibrosis subepitelial,
hipertrofi otot polos saluran nafas, penebalan pembuluh darah dan hipersekresi
mukus. Hal ini merupakan langkah terakhir terjadinya gejala dan perubahan
fisiologik saluran nafas pada asma, yaitu berupa kontraksi otot polos,
edema, penebalan dinding dan hipersekresi mukus. Hiperesponsif ini bersifat
responsif secara parsial terhadap obat.
Gambar 2. Hiperaktivasi
8
Gambar 3. Asthmatic airway
KLASIFIKASI
Tabel 1. Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis
Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal paru
I. Intermiten
Bulanan APE 80%
* Gejala < 1x/minggu * 2 kali sebulan * VEP1 80% nilai prediksi
* Tanpa gejala di luar APE 80% nilai terbaik
serangan * Variabiliti APE < 20%
* Serangan singkat
II. Persisten
Ringan Mingguan APE > 80%
* Gejala > 1x/minggu, * > 2 kali sebulan * VEP1 80% nilai prediksi
tetapi < 1x/ hari APE 80% nilai terbaik
* Serangan dapat * Variabiliti APE 20-30%
mengganggu aktiviti
dan tidur
III. Persisten
Sedang Harian APE 60 – 80%
* Gejala setiap hari * > 1x / * VEP1 60-80% nilai
* Serangan mengganggu seminggu prediksi
aktiviti dan tidur APE 60-80% nilai terbaik
*Membutuhkan * Variabiliti APE > 30%
bronkodilator
setiap hari
IV. Persisten
Berat Kontinyu APE 60%
* Gejala terus menerus * Sering * VEP1 60% nilai prediksi
* Sering kambuh APE 60% nilai terbaik
* Aktiviti fisik terbatas * Variabiliti APE > 30%
9
Baru-baru ini, GINA mengajukan klasifikasi asma berdasarkan tingkat
kontrol asma dengan penilaian meliputi gejala siang, aktivitas, gejala malam,
pemakaian obat pelega dan eksaserbasi. GINA membaginya kedalam asma
terkontrol sempurna, asma terkontrol sebagian, dan asma tidak terkontrol.
10
Tabel 3. Klasifikasi asma menurut derajat serangan
Manifestasi Klinis
11
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa asma tidak terdiagnosis di seluruh
dunia, disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan
beratnya penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik
sehingga penderita tidak merasa perlu berobat ke dokter. Diagnosis asma didasari
oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa
berat di dada dan variabilitas yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik
cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan
pengukuran faal paru terutama reversibiltas kelainan faal paru akan lebih
meningkatkan nilai diagnostik.
DIAGNOSIS
RIWAYAT PENYAKIT / GEJALA :
Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
Gejala berupa batuk, sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
Respons terhadap pemberian bronkodilator
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :
Riwayat keluarga (atopi)
Riwayat alergi / atopi
Penyakit lain yang memberatkan
Perkembangan penyakit dan pengobatan
12
PEMERIKSAAN FISIK
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat
normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah
mengi pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar
normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan
jalan napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema
dan hipersekresi dapat menyumbat saluran napas; maka sebagai kompensasi
penderita bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi
menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan
menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi.
Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa.
Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang
sangat berat yang sudah terjadi impending respiratory failure, tetapi biasanya
disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi
dan penggunaan otot bantu napas.
FAAL PARU
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah diterima
secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan
arus puncak ekspirasi (APE).
Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital
paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang
standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita
sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kooperasi penderita. Untuk
mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang
reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio
VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.
13
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75%
atau VEP1 < 80% nilai prediksi.
Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 15% secara spontan, atau setelah
inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian
bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid
(inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis asma.
Menilai derajat berat asma.
14
sebelumnya, bukan nilai prediksi normal; kecuali tidak diketahui nilai terbaik
penderita yang bersangkutan.
Diagnosis Banding
Bila menemukan keluhan batuk sesak, mengi salah satu kelainan yang
perlu dipikirkan adalah obstruksi saluran nafas atas8. Diagnosis banding
asma5
Kategori Kriteria
3.8 Penatalaksanaan
Oksigen
15
Oksigenasi digunakan untuk membantu mengkoreksi ventilasi dan perfusi.
Bisa diberikan menggunakan nasal kanul atau face mask. Jika terjadi
hipoksemia yang signifikan, nonbreathing mask bisa digunakan untuk
memberikan sebanyak-banyaknya 98% oksigen. Tujuan pemberian
oksigen adalah untuk mencapai saturasi oksigen 93-95%.
Kortikosteroid
16
Efeknya secara umum adalah untuk mengurangi inflamasi akut maupun
kronik, menurunkan gejala asma, memperbaiki aliran udara, mengurangi
hiperresponsivitas saluran napas, mencegah eksaserbasi asma, dan
mengurangi remodelling saluran napas. Kortikosteroid terdiri dari
kortikosteroid inhalasi dan sistemik.
Kortikosteroid inhalasi
17
glukokortikosteroid inhalasi. Tidak ada data yang menunjukkan terjadi
tuberkulosis paru pada penderita asma malnutrisi dengan steroid inhalasi,
atau terjadi gangguan metabolisme kalsium dan densiti tulang.
Kortikosteroid sistemik
Antikolinergik
18
Obat-obat antikolinergik menyebabkan bronkodilatasi dengan
menghalangi reseptor muskarinik di otot polos jalan nafas, sehingga
menurunkan tonus vagal. Ipratorium adalah derivat sintetis dari atropin
yang ditambahkan pada obat inhalasi. Indikasi pemberian Ipratorium
adalah pengobatan bronkokontriksi pada pasien dengan PPOK. Pada
pasien dengan asma, Ipratorium kurang efektif dibandingkan dengan β2
agonis. Dibandingkan dengan efek bronkodilator yang cepat dihasilkan
oleh β2 agonis, onset efek bronkodilator oleh Ipratorium adalah 15-30
menit, walaupun efeknya habis dalam 4-6 jam.
Kita harus menilai keadaan awal pasien saat masuk, melakuan penilaian awal
pada airway, breathing, and circulation. Penanganan serangan asma berat:
19
7. Dosis steroid intrvena 0,5-1 mg/kgBB/hari.
8. Nebulisasi β- agonis + antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam,
jika dengan 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian
dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam.
9. Aminofilin diberikan secara intravena dengan ketentuan sebagai berikut:
- Jika pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberikan aminofilin
dosis awal (inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam D5% atau NaCl
sebanyak 20 ml, diberikan dalam 20-30 menit.
- Jika pasien telah mendapat aminofilin sebelumnya (kurang dari 4 jam),
dosis yng diberikan adalah setengah dosis inisial.
- Sebaiknya kadar aminofilin dalam darah diukur dan dipertahankan sebesar
10-20 mcg/ml.
- Selanjutnya, aminofilin dosisi rumatan diberikan sebesar 0,5-1
mg/kgBB/jam.
- Jika telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6 jam,
sampai dengan 24 jam.
10. Steroid dan aminofilin diganti dengan pemberian per oral.
11. Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan
dibekali obat β-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama
24-48 jam. Selain itu, steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik
rawat jalan dalam 24-48 jam untuk evaluasi ulang tata laksana.
12. Ancaman henti napas, hipoksemia tetap terjadi walaupun sudah diberi oksigen
(kadar PaO2 < 60 mmHg dan atau PaCO2 > 45 mmHg). Pada ancaman henti
napas diperlukan ventilasi mekanik.
a. Asidosis respiratorik
Ventilasi diperbaiki
Pemberian Na Bikarbonat
20
b. Hipoksia berat ( PaO2 < 50 mmHg )
21
Dan penatalaksanaan asma menurut PDPI 2021
22
pertama Budesonide: 1-2 mg
dikombinasikan
2x/hari
dengan SABA
Alternatif: kortikosteroid
sistemik
o Pasien kelelahan
23
o Kesadaran menurun
24
Perubahan atau kontrol terhadap lingkungan juga perlu pada pasien
dengan asma yang berhubungan dengan alergi yang berkaitan dengan
lingkungan.
Komplikasi
1. Cardiac arrest
3. Hipoksemia dengan cedera susunan saraf pusat yang hipoksik dan iskemik
Prognosis
25
KESIMPULAN
26
obstruktif, yang dapat terjadi secara spontan atau sebagai akibat pengobatan. Juga
dikenal sebagai penyakit jalan napas reaktif, kompleks asma mungkin mencakup
bronkitis mengi, mengi akibat virus, dan asma terkait atopik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Megan Stapleton, PharmD, Amanda Howard-Thompson. Smoking and
Asthma: JABFM May–June Vol. 24 No. 3; 2011. p.313-322.
27
2. WHO (World Health Organization, 20 May 2020). Fact about Asthma.
Diunduh dari: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/asthma/ .
3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia; 2013.
4. Perhimpunan dokter paru Indonesia. Pedoman diagnosis &
penatalaksanaan asma di Indonesia. Diunduh dari:
https://puskespemda.net/download/konsensus-asma-perhimpunan-dokter-
paru-indonesia/.
5. Pynn MC, Thornton CA, Davies GA. Asthma pathogenesis. Pulmo RJ.
2012; 21(2): 11–17.
6. GINA. Pocket Guide for Astma Assessment and Management. 1st Ed.
GINA commitee; 2021. Diunduh dari
https://ginasthma.org/wp-content/uploads/2021/05/GINA-Pocket-Guide-
2021-V2-WMS.pdf.
7. Jurnal respiratori. Imunopatogenesis Asma. Resti Yudhawati, Desak Putu
Agung Krisdanti Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi,
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo, Vol. 3
No. 1 Januari 2017
8. Maranatha D, Wibisono M Jusuf, Winariani, et al. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Paru. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi:
FK Unair-RSUD dr Soetomo S Kay AB. Asthma and inflammation. J
Allergy Clin Immunol 1991;5:893-910.
9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma : Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksaan di Indonesia. Balai Penerbit FKUI : Jakarta, 2004.
10. Robbins dkk. Buku Ajar Patologi II. Edisi 4. Alih Bahasa : Staf pengajar
Laboratorium Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta, 1995.
11. Zahorik KJ, Busse WW. Chronic asthma. Hall JB, Corbridge TC,
Rodrigo C, Rodrigo GJ, Acute Asthma. Singapore: McGraw-Hill, 2000 :
232-45urabaya; 2010. hal. 63.
28
29