(15070501111011)
Marika Mauludiyah
(145070500111007)
Mufarrohah Aziz
(135070507111017)
Nadia Khansa
(145070501111013)
Nilna Jauharatul K
(145070500111005)
(145070500111021)
Rika Parasayu
(145070501111005)
Shanastasia Swastila
(145070507111011)
Siti Hartinah M
(145070501111031)
1. DEFINISI
Alergi rinitis (AR) adalah gangguan umum yang sangat terkait dengan asma
dan konjungtivitas, yaitu penyakit inflamasi pada membran mukosa hidung terpapar
alergen yang di perantarai oleh IgE , ditandai dengan hidung gatal, bersin, pilek,
hidung tersumbat dan yang paling mengganggu mata gatal serta kemerahan dan berair
(Peter Small dan Harold Kim.2011). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its
Impact on Asthma) tahun 2007, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan
gejala bersin - bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
alergen yang diperantarai oleh IgE
2. EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat rhinitis alergi merupakan penyakit alergi terbanyak dan
menepati posisi ke-6 penyakit yang bersifat menahun (kronis). Rhinitis alergi juga
merupakan alasan ke-2 terbanyak kunjungan masyarakat ke ahli kesehatan
professional setelah pemeliharaan gigi. Angka kejadian rhinitis alergi mencapai 20%
(Cummings, 2005)
Di AS sekitar 20-40% pasien rhinitis alergi menderita asma bronchial
(Valovirta7).Sebaliknya 30-90% pasien asma bronchial memiliki gejala rhinitis alergi
sebelumnya. Dikutip dari Evans, penelitian dilakukan dari tahun 1965 sampai tahun
1984 di AS, didapatkan hasil yang hampir sama yaitu 38% pasien rhinitis alergi juga
memiliki gejala asma bronchial, atau sekitar 3-5% dari total populasi (Corren, 1998).
Menurut Internasional Study of Asthma and Allergies in Children (ISAAC,
2006), Indonesia bersama- sama dengan Negara Albina, Rumania, Georgia dan
Yunani memiliki prevalensi asma bronchial juga kurang dari 5%. Prevalensi rhinitis
tertinggi di Nigeria (lebih dari 35%), Paraguay (30-35%) dan Hongkong (25-30%)
(Bousquet, Cauwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop Group. WHO, 2001).
Di Indonesia, dikutip dari Sundaru menyatakan bahwa rhinitis alergi yang
menyertai asma atopi pada 55% kasus dan menyertai asma atopi dan non atopi pada
30,3% (Soetjibto, 1999)
Tipe rhinitis allergi dibagi menjadi yang bersifat musiman (seasonal) dan
parennial. Secara epidemiologi, kasus rhinitis allergi ini di Amerika Serikat telah
mempengaruhi sekitar 20-40 juta orang, dan insiden ini akan
terus meningkat,
diperkirakan 20% dari kasus seasonal, 40% dari kasus yang parennial, dan 40% dari
kasus campuran (Skoner, 2001).
3. ETIOLOGI
Rhinitis Alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi
genetik dalam
berperan pada ekspresi rinitis alergi. Penyebab alergi rinitis tersering adalah alergen
inhalan pada dewasa dan anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi
lain,seperti urtikaria dan gangguan pencernaan.penyebab alergi rinitis dapat berbeda
tergantung
dari
klasifikasi.
Beberapa
pasien
sensitif
terhadap
beberapa
dua
spesies
utama
tungau
yaitu
dermatophagoides
farinae
dan
asap
rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca
(Snow,J B.at al.2003)
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
debu runah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
Alergen ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
4. PATOFISIOLOGI
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 faseyaitu
immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC)
yangberlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late
phaseallergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4
jamdengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan
dapatberlangsung 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses,
antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul
HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histo compatibility
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel
penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1)yang akan mengaktifkan Th0
untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akanmenghasilkan berbagai sitokin
seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di
permukaan sel limfosit B,sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan
memproduksi imunoglobulin E(IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan
dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator)
sehingga kedua sel inimenjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan
sel mediator yangtersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen
yang sama,maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi
degranulasi(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya
mediatorkimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain
histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin
D2(PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet
Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GMCSF(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang
disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). Histamin akan merangsang
reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung
dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet
mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin
merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa
hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons initidak
berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapaipuncak 6-8 jam
setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel
inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil danmastosit di mukosa hidung
serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony
Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 padasekret hidung. Timbulnya gejala
hiperaktif atau hiper responsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan
mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),
Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic
Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor
non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang,
perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono,
2008).
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus.Terdapat jugapembesaran ruang
interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil
pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.Gambaran yang ditemukan terdapat
pada saat serangan.Diluar keadaan serangan,mukosa kembali normal.Akan tetapi
serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama
kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan
hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya
antigen asing ke dalam tubuhterjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:
a) Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
b) Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah
sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan.Bila
Agberhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai.Bila Ag masih ada, atau
memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut
menjadi respon tersier.
c) Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh
tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi
anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik,tipe 3 atau reaksi
kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity).
5. TERAPI NON-FARMAKOLOGI
Penyakit alergi disebabkan oleh mediator kimia seperti histamin yang dilepaskan oleh
sel mast yang dipicu oleh adanya ikatan alergen dengan IgE spesifik yang meleka
pada reseptornya di permukaan sel tersebut. Tujuan pengobatan rinitis alergi adalah( ):
a) Mengurangi gejala akibat paparan alergen, hiperreaktifitas nonspesifik dan
inflamasi.
b) Perbaikan kualitas hidup penderita sehingga dapat menjalankan aktifitas
sehari-hari.
c) Mengurangi efek samping pengobatan.
d) Edukasi penderita untuk meningkatkan ketaatan berobat dan kewaspadaan
terhadap penyakitnya. Termasuk dalam hal ini mengubah gaya hidup seperti
pola makanan yang bergizi, olahraga dan menghindari stres.
e) Mengubah jalannya penyakit atau pengobatan kausal.
6. TE
Untuk mencapai tujuan pengobatan rinitis alergi, dapatdiberikan obat-obatan
sebagaiberikut(Cumming, 2005):
a. Antihistamin
Secara garis besar dibedakan atas antihistamin H1 klasik dan antihistamin H1
golongan baru. Antihistamin H1 klasik seperti Diphenhydramine, Tripolidine,
Chlorpheniramine dan lain-lain.Sedangkan antihistamine generasi baru seperti
Terfenadine, Loratadine, Desloratadine dan lainlain. Desloratadine memiliki
efektifitas yang sama dengan montelukast dalam mengurangi gejala rhinitis
Churg-Strauss.
Pemberian
kortikosteroid
sistemik
dengan
Antigen
Persisting
Cell
(APC).Selanjutnya
APC
ini
tetapi
apabila
diinginkan
pasien
istirahat
maka
: 10 mg oral
Interval
Pemakaian
bias
dipilih
Mekanisme reaksi
:-
Chlorphenamine Maleat
Dosis
: 4 mg (oral)
Interval
: 24 jam
Pemakaian
Mekanisme reakis
satu autocoid yang berpotensi dan mengkontribusi timbulnya bermacammacam gejala secara luas pada jaringan. CTM sebagai antihistamin berperan
dalam memblok histamine agar tidak bias bertemu reseptor dan menimbulkan
munculnya gejala. CTM melalui barier darah otak sehingga menimbulkan
sedative.
Efek Samping
rasa
kantuk,
hipotensi,
agranulocytosis,
4. Apabila Ny. AA menderita sesak saat bernafas dan muncul konjungtivitis pada
mata, apa yang harus dilakukan olehnya ?
Hal pertama yang harus dilakukan oleh pasien adalah periksa ke dokter
kembali untuk memastikan apa pemicu dari semakin bertambah parahnya
penyakit rhinitis yang dideritanya, apakah disebabkan karena riwayat
penyakitnya dulu, ataukah karena efek samping dari obat. Setelah ke dokter
ada kemungkinan obat akan diganti dengan nasal steroid seperti fluticasone
( 2 spray (100 mg) sekali sehari) dan tambahan antihistamin optalmic H-1
semakin parah maka pasien segera periksa ke dokter. Kalau terjadi tanda shock
dan sesak nafas parah, lemas, segera konsultasi ke dokter.
Pada kasus Ny. AA diberikan medikasi pertama yaitu antihistamin
yang telah disarankan (loratadine) dengan catatan obat harus diminum sesuai
resep dan kalau bisa saat bekerja beliau sebisa mungkin menggunakan masker
untuk mengurangi masuknya alergen dalam tubuh.
KIE lainnya yang dapat diberikan kepada Ny AA adalah mengenai
kebiasaan dan lingkungan seperti diusahakan untuk menutup pintu dan jendela
rumah saat musim penyerbukan, dan setiap selesai bekerja sebaiknya baju
yang dipakai langsung dicuci dan mandi dengan mencuci rambut dengan
shampo untuk menghindari paparan alergen.
KIE mengenai kelanjutan terapi apabila terjadi konjungtivitas dan
sesak nafas juga dapat dilakukan dengan memberi KIE agar Ny AA mulai
mengurangi aktivitas kerja beliau dan diberi kombinasi obat antihistamin dan
nasal steroid yang harus digunakan sesuai resep apabila terjadi konjungtivitas
dan sesak nafas. Selain itu juga pasien juga harus diberitahu kegunaan dan
efek samping masing-masing obat, diberikan informasi bahwa obat golongan
steroid yang digunakan saat konjungtivitas dan sesak nafas manfaatnya baru
benar-benar dirasakan setelah beberapa lama pemakaian, sehingga diperlukan
kesabaran dalam pemakaiannya.
ARIA -World Health Organisation Initiative, Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma.
2007. Journal Allergy Clinical Immunology : S147-S276.
Bateman ED, Hurd SS, Barnes PJ, Bousquet J, Drazen JM, et al. (2008) Global strategy for
asthma management and prevention: GINA executive summary. Eur Respir J 31: 143178.
Bousquet J, Cauwenberge P V., Khaltaev N., 2001. ARIA workshop group.World Health
organisation initiative, allergic rhinitis and its impact on asthma.J allergy clinical
immunol : S147-S276.
Corren J, The impact of allergic rhinitis on bronchial astma, J Allergy Clin Imunonol 1998;
101: 352-6
Cauwenberge PV, Watelet JB, Zele TV et al. Does Rhinitis Lead to Asthma?.Journal of
Rhinology. 2007, vol 45
Cummings CW. Allergic Rhinitis. In: Cummings CW, Flint PW et al editors. Otolaryngology
Head and Neck Surgery, 4th Ed Vol 1. Philadelphia: Elsevier; 2005.
Dhingra PL. Allergic Rhinitis. In: Disease of Ear, Nose and Throat, 4th Edition. Noida:
Elsivier; 2009.
Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono, N, 2008. Alergi Hidung dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher.Edisi keenam. Jakarta: FKUI
National Asthma Education and Prevention Program (2007) Expert Panel Report 3 (EPR-3):
Guidelines for the Diagnosis and Management of Asthma-Summary Report 2007. J
Allergy Clin Immunol 120: S94-S138.
Niggemann LJ, Ferdousi SD, et al. Spesific immunotherapy has long-term preventive effect of
seasonal and perennial asthma: 10- years follow-up on the PAT study. Allergy Journal
2007; 62: 943-8
Peter Small.Harold Kim.2011.Allergi,ashms dan clinical immunology.doi:10.1186/17101492-7-s1-s3
Skoner, David P. 2001.
Detection, and Diagnosis. Journal Allergy Clin Immunol. Vol 108: S2-8. Department
of Pediatrics and Otolaryngology, University of Pittsburgh School of Medicine, and
Childrens Hospital of Pittsburgh. Pittsburgh.
Snow,J B.,Ballenger, J J.2003.Allergi Rinitis.IN:Ballengers Otorhinolaryngology Head and
Neck Surgery Edition 9th.Spain:BC Decker;708-731
Soetjibto D, Mangubkusumo E.Rhinitis Alergi, Sinutsitas dan Asma, Dalam: Simposium
Update Rhinitis Alergi. Jakarta, 10 April 1999
Thompson AK, Juniper E, Meltzer EO (2000) Quality of life in patients with allergic rhinitis.
Ann Allergy Asthma Immunol 85: 338-347.
Manifestasi klinik
Banyak kondisi lain yang berhubungan dengan rhinitis alergi termasuk asma ,
konjungtivitis alergi dan dermatitis atopik (Thompson AK, 2000 ) . Asma
didefinisikan sebagai penyakit peradangan kronis dari saluran udara yang ditandai
dengan batuk terus-menerus atau paroksismal , dada sesak , mengi dan sesak napas
(National Asthma Education and Prevention Program 2007). Hyperresponsiveness
napas umumnya terkait dengan obstruksi aliran udara yang luas di paru-paru dan
terjadi dengan paparan alergen atau iritan (Bateman ED,2008). Gejala khas
memburuk di malam hari dan biasanya mereda secara spontan atau dengan
pengobatan tertentu (Bateman ED,2008). Sebuah riwayat penyakit atopik lain ,
rhinitis alergi adalah sangat membantu dalam mengidentifikasi pasien dengan asma .
Pemicu umum yang harus diidentifikasi meliputi tungau debu , kecoa , bulu binatang ,
jamur , serbuk sari , olahraga dan paparan asap tembakau atau udara dingin (National
Asthma Education and Prevention Program 2007) . Komorbiditas lain yang dapat
memperburuk asma termasuk tidur gangguan pernapasan , penyakit gastroesophageal
reflux dan penyakit paru obstruktif kronik (National Asthma Education and
Prevention Program 2007). Pemeriksaan fisik pada pasien asma bisa biasa-biasa saja
tetapi dapat mencakup tingkat variabel mengi , menunjukkan obstruksi aliran udara .
Pencarian secara serentak untuk fitur penyakit atopik lainnya ( yaitu eksim , hidung
konka hipertrofi atau edema mukosa ) harus dicari (Bateman ED,2008). Gejala lain
ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata
gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Tandatanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring.Tanda hidung
termasuk lipatan hidung melintang garis hitam melintang pada tengah punggung
hidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat
(allergic
salute),
pucat
dan
edema
mukosa
hidung
yang
dapat
muncul