Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PRAKTEK FARMAKOTERAPI

SISTEM PERNAFASAN DAN PENCERNAAN


(DEF4272T)

DISUSUN OLEH KELOMPOK A4


ANGGOTA :
Margareta Puspita

(15070501111011)

Marika Mauludiyah

(145070500111007)

Mufarrohah Aziz

(135070507111017)

Nadia Khansa

(145070501111013)

Nilna Jauharatul K

(145070500111005)

Nuke Candra Destian

(145070500111021)

Rika Parasayu

(145070501111005)

Shanastasia Swastila

(145070507111011)

Siti Hartinah M

(145070501111031)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

1. DEFINISI

Alergi rinitis (AR) adalah gangguan umum yang sangat terkait dengan asma
dan konjungtivitas, yaitu penyakit inflamasi pada membran mukosa hidung terpapar
alergen yang di perantarai oleh IgE , ditandai dengan hidung gatal, bersin, pilek,
hidung tersumbat dan yang paling mengganggu mata gatal serta kemerahan dan berair
(Peter Small dan Harold Kim.2011). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its
Impact on Asthma) tahun 2007, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan
gejala bersin - bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
alergen yang diperantarai oleh IgE
2. EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat rhinitis alergi merupakan penyakit alergi terbanyak dan
menepati posisi ke-6 penyakit yang bersifat menahun (kronis). Rhinitis alergi juga
merupakan alasan ke-2 terbanyak kunjungan masyarakat ke ahli kesehatan
professional setelah pemeliharaan gigi. Angka kejadian rhinitis alergi mencapai 20%
(Cummings, 2005)
Di AS sekitar 20-40% pasien rhinitis alergi menderita asma bronchial
(Valovirta7).Sebaliknya 30-90% pasien asma bronchial memiliki gejala rhinitis alergi
sebelumnya. Dikutip dari Evans, penelitian dilakukan dari tahun 1965 sampai tahun
1984 di AS, didapatkan hasil yang hampir sama yaitu 38% pasien rhinitis alergi juga
memiliki gejala asma bronchial, atau sekitar 3-5% dari total populasi (Corren, 1998).
Menurut Internasional Study of Asthma and Allergies in Children (ISAAC,
2006), Indonesia bersama- sama dengan Negara Albina, Rumania, Georgia dan
Yunani memiliki prevalensi asma bronchial juga kurang dari 5%. Prevalensi rhinitis
tertinggi di Nigeria (lebih dari 35%), Paraguay (30-35%) dan Hongkong (25-30%)
(Bousquet, Cauwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop Group. WHO, 2001).
Di Indonesia, dikutip dari Sundaru menyatakan bahwa rhinitis alergi yang
menyertai asma atopi pada 55% kasus dan menyertai asma atopi dan non atopi pada
30,3% (Soetjibto, 1999)
Tipe rhinitis allergi dibagi menjadi yang bersifat musiman (seasonal) dan
parennial. Secara epidemiologi, kasus rhinitis allergi ini di Amerika Serikat telah
mempengaruhi sekitar 20-40 juta orang, dan insiden ini akan

terus meningkat,

diperkirakan 20% dari kasus seasonal, 40% dari kasus yang parennial, dan 40% dari
kasus campuran (Skoner, 2001).

3. ETIOLOGI
Rhinitis Alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi
genetik dalam

perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat

berperan pada ekspresi rinitis alergi. Penyebab alergi rinitis tersering adalah alergen
inhalan pada dewasa dan anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi
lain,seperti urtikaria dan gangguan pencernaan.penyebab alergi rinitis dapat berbeda
tergantung

dari

klasifikasi.

Beberapa

pasien

sensitif

terhadap

beberapa

alergen.Alergen yang menyebabkan alergi rinitis musiman biasanya berupa serbuk


sari atau jamur.Alergi rinitis perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau,
terdapat

dua

spesies

utama

tungau

yaitu

dermatophagoides

farinae

dan

dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan


binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta
sprai tempat tidur,suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang
tinggi merupakan faktor resiko untuk tumbuhnya jamur.berbagai pemicu yang bisa
berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya

asap

rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca
(Snow,J B.at al.2003)
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:

Allergen inhalan, yang masuknya bersama dengan udara pernapasan,misalnya

debu runah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
Alergen ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya

susu, telur, coklat,ikan,dan udang.


Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan

penisilin atau sengatan lebah.


Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan

atau tusukan, misalnya

mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.

4. PATOFISIOLOGI
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 faseyaitu
immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC)
yangberlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late

phaseallergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4
jamdengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan
dapatberlangsung 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses,
antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul
HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histo compatibility
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel
penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1)yang akan mengaktifkan Th0
untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akanmenghasilkan berbagai sitokin
seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di
permukaan sel limfosit B,sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan
memproduksi imunoglobulin E(IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan
dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator)
sehingga kedua sel inimenjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan
sel mediator yangtersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen
yang sama,maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi
degranulasi(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya
mediatorkimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain
histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin
D2(PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet
Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GMCSF(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang
disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). Histamin akan merangsang
reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung
dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet
mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin
merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa
hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons initidak
berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapaipuncak 6-8 jam

setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel
inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil danmastosit di mukosa hidung
serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony
Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 padasekret hidung. Timbulnya gejala
hiperaktif atau hiper responsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan
mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),
Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic
Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor
non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang,
perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono,
2008).
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus.Terdapat jugapembesaran ruang
interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil
pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.Gambaran yang ditemukan terdapat
pada saat serangan.Diluar keadaan serangan,mukosa kembali normal.Akan tetapi
serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama
kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan
hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya
antigen asing ke dalam tubuhterjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:
a) Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
b) Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah
sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan.Bila
Agberhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai.Bila Ag masih ada, atau
memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut
menjadi respon tersier.
c) Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh
tubuh.

Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi
anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik,tipe 3 atau reaksi
kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity).

5. TERAPI NON-FARMAKOLOGI
Penyakit alergi disebabkan oleh mediator kimia seperti histamin yang dilepaskan oleh
sel mast yang dipicu oleh adanya ikatan alergen dengan IgE spesifik yang meleka
pada reseptornya di permukaan sel tersebut. Tujuan pengobatan rinitis alergi adalah( ):
a) Mengurangi gejala akibat paparan alergen, hiperreaktifitas nonspesifik dan
inflamasi.
b) Perbaikan kualitas hidup penderita sehingga dapat menjalankan aktifitas
sehari-hari.
c) Mengurangi efek samping pengobatan.
d) Edukasi penderita untuk meningkatkan ketaatan berobat dan kewaspadaan
terhadap penyakitnya. Termasuk dalam hal ini mengubah gaya hidup seperti
pola makanan yang bergizi, olahraga dan menghindari stres.
e) Mengubah jalannya penyakit atau pengobatan kausal.
6. TE
Untuk mencapai tujuan pengobatan rinitis alergi, dapatdiberikan obat-obatan
sebagaiberikut(Cumming, 2005):
a. Antihistamin
Secara garis besar dibedakan atas antihistamin H1 klasik dan antihistamin H1
golongan baru. Antihistamin H1 klasik seperti Diphenhydramine, Tripolidine,
Chlorpheniramine dan lain-lain.Sedangkan antihistamine generasi baru seperti
Terfenadine, Loratadine, Desloratadine dan lainlain. Desloratadine memiliki
efektifitas yang sama dengan montelukast dalam mengurangi gejala rhinitis

yang disertai dengan asma. Levocetirizine yang diberikan selama 6 bulan


terbukti mengurangi gejala rinitis alergi persisten dan meningkatkan kualitas
hidup pasien rinitis alergi dengan asma (Cauwenberge, 2007)
b. Dekongestan hidung
Obat-obatan dekongestan hidung menyebabkan vasokonstriksi karena efeknya
pada reseptor-reseptor-adrenergik.

Efek vasokonstriksi terjadi dalam

10menit, berlangsung selama 1 sampai 12 jam. Pemakaian topikal sangat


efektif menghilangkan sumbatan hidung, tetapi tidak efektif untuk
keluhanbersin dan rinore. Pemakaiannya terbatas selama 10 hari. Kombinasi
antihistamin dan dekongestan oral dimaksud untuk mengatasi obstruksi hidung
yang tidak dipengaruhi oleh antihistamin.
c. Kortikosteroid
Pemakaian sistemik kadang diberikan peroral atau suntikan sebagai depo
steroid intramuskuler. Data ilmiah yang mendukung relative sedikit dan tidak
ada penelitian komparatif mengenai cara mana yang lebih baik dan
hubungannyadengan dose response. Kortikosteroid oral sangat efektif dalam
mengurangi gejala rhinitis alergi terutama dalam episode akut. Efek samping
sistemik dari pemakaian jangka panjang kortikosteroid sistemik baik
peroralatau parenteral dapat berupa osteoporosis, hipertensi, memperberat
diabetes, supresi dari hypothalamic-pituitary-adrenal axis,obesitas, katarak,
glukoma,cutaneous striae. Efek samping lainyang jarang terjadi diantaranya
sindrom

Churg-Strauss.

Pemberian

kortikosteroid

sistemik

dengan

pengawasan diberikan pada kasus asma yang disertai tuberkulosis, infeksi


parasit, depresi yang berat dan ulkus peptikus. Pemakaian kortikosteroid
topikal(intranasal) untuk rinitis alergi seperti Beclomethason dipropionat,
Budesonide, Flunisonide acetate fluticasone dan Triamcinoloneacetonide
dinilai lebih baik karena mempunyai efek antiinflamasi yang kuat dan
mempunyai afinitas yang tinggi pada reseptornya, serta memiliki efek samping
sitemik yang lebih kecil. Tapi pemakaian dalam jangka waktu yang lama dapat
menyebabkan mukosa hidung menjadi atropi dan dapat memicu tumbuhnya
jamur (Dhingra, 2009)
d. Antikolinergik
Perangsangan saraf parasimpatis menyebabkan vasodilatasi dan sekresi
kelenjar.Antikolinergik menghambat aksi asetilkolin pada reseptor muskarinik
sehingga mengurangi volume sekresi kelenjar dan vasodilatasi. Ipratropium

bromida, yang merupakan turunan atropin secara topikal dapat mengurangi


hidung tersumbat atau bersin
e. Natrium Kromolin
Digolongkan pada obat-obatan antialergi yang baru.Mekanisme kerja belum
diketahui secara pasti. Mungkin dengan cara menghambat penglepasan
mediator dari sel mastosit, atau mungkin melalui efek terhadap saluran ion
kalsium dan klorida.
f. Imunoterapi
Imunoterapi dengan alergen spesifik digunakan bila upaya penghindaran
alergen dan terapi medikamentosa gagal dalam mengatasi gejala klinis rinitis
alergi. Terdapat beberapa cara pemberian imunoterapi seperti injeksi subkutan,
pernasal, sub lingual, oral dan lokal. Pemberian imunoterapi dengan
menggunakan ekstrak alergen standar selama 3 tahun, terbukti memiliki efek
preventif pada anak penderita asma yang disertai seasonal rhinoconjunctivitis
mencapai 7 tahun setelah imunoterapi dihentikan (Niggeman, 2007)
7. KASUS
Ny. AA umur 35 tahun BB 48 kg, TB 157 cm siang ini datang ke apotek untuk
membeli obat influenza. Ny.AA mengeluhkan rhinorea dan sneeze sudah 2 hari.
Badan terkadang demam kalo malam hari. Ny.AA 1 minggu ini bekerja sebagai
pemetik biunga melati untuk produksi teh celup di Desa Kutasari Tegal. Awalnya dia
bekerja di pabrik bulu mata perusahan KoreaDia bekerja pukul 03.00 06.00
WIB.Jarak rumah ke kebun 3 km dan ditempuh dengan berjalan kaki.Ny.AA pernah
menderita asma namun sudah 1 tahun ini tidak pernah kambuh.
Pertanyaan
1. Menurut pendapat anda Ny. AA terserang penyakit apa? Jelaskan etiologinya !
2. Jelaskan patofisiologi penyakit Ny. AA !
3. Pengobatan dini yang dapat diberikan untuk kondisi Ny. AA adalah antihistamin
non sedative. Jelaskan dosis, interval dan pemakaian, mekanisme reaksi dan efek
sampingnya !
4. Apabila Ny. AA menderita sesak saat bernafas dan muncul konjungtivitis pada
mata, apa yang harus dilakukan olehnya ?
5. Menurut pendapat anda perlukah pemberian terapi Immunoterapy untuk Ny.AA?
Jelaskan !
6. KIE apakah yang perlu diberikan untuk Ny.AA ?
8. PEMBAHASAN KASUS
1. Menurut pendapat anda Ny. AA terserang penyakit apa? Jelaskan etiologinya !
Penyakit yang diderita oleh Ny. AA adalah Rhinitis (rhino= hidung, itis=
inflamasi) Allergi. Hal ini dikarenakan manifestasi klinik yang dialami oleh

Ny. AA sesuiai dengan manifestasi klinik rhinitis allergy yaitu rhinorea


(banyak mucus yang mengalir) dan sneeze yang sudah berlangsung selama 2
hari ( intermittent karena kurang dari seminggu dan tidak mengganggu
aktivitas). Selain itu dilihat dari lingkungannya, lingkungan Ny. AA bekerja
sesuai dengan lingkungan yang bias menyebabkan rhinitis karena mengandung
allergen rhinitis yaitu tempat kerja memetik bunga yang banyak terdapat
serbuk sari.
2. Jelaskan patofisiologi penyakit Ny. AA !
Pertama allergen masuk hidung karena terhirup menyebabkan sel makrofag
mengeluarkan

Antigen

Persisting

Cell

(APC).Selanjutnya

APC

ini

menyebabkan sel T helper mengaktifkan sel reseptor yang mengeluarkan


Imunoglobulin E (Ig E). Kemudian Ig E memicu sel mast mengalami
sitotoksik yang akhirnya menginfeksi diri sendiri sehingga pecah dan
mengeluarkan mediator inflamasi seperti Prostaglandin (PG), Interleukin (IL),
histamine, tryptase,kinnin dan lain-lain. Mediator inflamasi inilah yang
kemudian menyebabkan gejala- gejala klinis yang dialami pasien pada Rhinitis
allergy, misalkan mediator histamine menyebabkan gatal, rhinorea, bersin dan
obstruksi untuk memblok allergen H1 dan H2.

3. Pengobatan dini yang dapat diberikan untuk kondisi Ny. AA adalah


antihistamin non sedative
Jelaskan dosis, interval dan pemakaian, mekanisme reaksi dan efek
sampingnya !
Karena pasien masih tergolong mild persisten maka dipilih obat loratadin jika
diinginkan pasien masih bisa menjalankan rutinitas dan pekerjaannya seharihari,

tetapi

apabila

diinginkan

pasien

istirahat

maka

Chlorphenamine Maleat (CTM).


Loratadine
Dosis

: 10 mg oral

Interval

: satu kali sehari (24 jam)

Pemakaian

: diminum sehari satu kali setelah makan

bias

dipilih

Mekanisme reaksi

: antagonis H1 reseptor menghambat histamine,

sehingga pada otot polos H1 antagonis reseptor menghambat efek


vasokonstriksi dari histamine dan memediasi efek vasodilator oleh reseptor
H1. Pada alergi antihistamin menghambat histamine yang memicu terjadinya
symptom, sehingga symptom bias berkurang sedikit demi sedikit. Loratadin
tidak menyebabkan kantuk karena tidak melewati barier darah otak.Loratadin
juga bertindak sebagai antikolinergik.
Efek samping

:-

Chlorphenamine Maleat
Dosis

: 4 mg (oral)

Interval

: 24 jam

Pemakaian

: sehari satu kali satu tablet

Mekanisme reakis

: selama reaksi hipersensitivitas, histamine adalah salah

satu autocoid yang berpotensi dan mengkontribusi timbulnya bermacammacam gejala secara luas pada jaringan. CTM sebagai antihistamin berperan
dalam memblok histamine agar tidak bias bertemu reseptor dan menimbulkan
munculnya gejala. CTM melalui barier darah otak sehingga menimbulkan
sedative.
Efek Samping

rasa

kantuk,

hipotensi,

agranulocytosis,

thrombocytopenia, pancytopenia, dan aplastic anaemia

4. Apabila Ny. AA menderita sesak saat bernafas dan muncul konjungtivitis pada
mata, apa yang harus dilakukan olehnya ?
Hal pertama yang harus dilakukan oleh pasien adalah periksa ke dokter
kembali untuk memastikan apa pemicu dari semakin bertambah parahnya
penyakit rhinitis yang dideritanya, apakah disebabkan karena riwayat
penyakitnya dulu, ataukah karena efek samping dari obat. Setelah ke dokter
ada kemungkinan obat akan diganti dengan nasal steroid seperti fluticasone
( 2 spray (100 mg) sekali sehari) dan tambahan antihistamin optalmic H-1

seperti levocabastine ( satu tetes dua kali sehari ). Levocabastine merupakan


obat antihistamin H-1 dan merupakan obat alergi konjungtivitis. Nasal steroid
berguna untuk mengurangi dan mengatasi sesak nafas yang terjadi dengan
bekerja sebagai penekan inflamasi dengan mengurangi pelepasan mediator
inflamasi, menekan kemotaksis neutrofil, mengurangi edema intraseluler, dan
menghambat reaksi pelepasan fase lambat dari mast sel.
5.

Menurut pendapat anda perlukah pemberian terapi Immunoterapy untuk Ny.AA?


Jelaskan !
Belum perlu terapi Immunoterapi, karena Ny.AA menderita alergi
rhinitis yang diduga disebabkan oleh paparan alergen inhalan musiman dari
serbuk sari bunga melati diperkebunan teh tempatnya bekerja dan masa
kambuh penyakit Ny.AA ini baru 2 hari masih tergolong ringan (karena gejala
yang dikeluhkan 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu, dengan keluhan
yang tidak menggangu aktivitas) sehingga belum perlu pemberian terapi
immunoterapi. Pemberian immunoterapi tidak perlu karena penggunaan
immunoterapi hanya jika terapi farmakologi tidak berhasil, sehingga pasien
dianjurkan melakukan terapi farmakologi terlebih dahulu. Selain itu efek dari
immunoterapi dengan farmakologi juga tidak jauh beda. Selain itu harga
immunoterapi juga mahal sehingga akan memberatkan pasien yang notabene
seorang pemetik bunga.selain itu yang dialami pasien ini adalah musiman jadi
sangat disayangkan jika menggunakan immunoterapi yang mahal.
6. KIE apakah yang perlu diberikan untuk Ny.AA ?
KIE yang dapat diberikan

kepada Ny. AA adalah dengan

memberitahukan apabila beliau kemungkinan mengalami rhinitis alergi dan


bukan flu biasa serta dijelaskan bahwa penyebab rhinitis alergi itu adalah
alergen inhalan musiman berupa serbuk bunga melati, sehingga diharapkan
secara non-medikasi Ny.AA dapat lebih waspada agar tidak lagi terpapar
alergen tersebut misalnya dengan menggunakan masker saat bekerja. KIE
untuk medikasinya sendiri yaitu dengan menjelaskan cara pengkonsumsian
obat yang benar, nama obat dan kegunaannya,cara pemakaiannya dan cara
kerja obat, efek samping obat, dan regimen obat, jika gejala tetap muncul atau

semakin parah maka pasien segera periksa ke dokter. Kalau terjadi tanda shock
dan sesak nafas parah, lemas, segera konsultasi ke dokter.
Pada kasus Ny. AA diberikan medikasi pertama yaitu antihistamin
yang telah disarankan (loratadine) dengan catatan obat harus diminum sesuai
resep dan kalau bisa saat bekerja beliau sebisa mungkin menggunakan masker
untuk mengurangi masuknya alergen dalam tubuh.
KIE lainnya yang dapat diberikan kepada Ny AA adalah mengenai
kebiasaan dan lingkungan seperti diusahakan untuk menutup pintu dan jendela
rumah saat musim penyerbukan, dan setiap selesai bekerja sebaiknya baju
yang dipakai langsung dicuci dan mandi dengan mencuci rambut dengan
shampo untuk menghindari paparan alergen.
KIE mengenai kelanjutan terapi apabila terjadi konjungtivitas dan
sesak nafas juga dapat dilakukan dengan memberi KIE agar Ny AA mulai
mengurangi aktivitas kerja beliau dan diberi kombinasi obat antihistamin dan
nasal steroid yang harus digunakan sesuai resep apabila terjadi konjungtivitas
dan sesak nafas. Selain itu juga pasien juga harus diberitahu kegunaan dan
efek samping masing-masing obat, diberikan informasi bahwa obat golongan
steroid yang digunakan saat konjungtivitas dan sesak nafas manfaatnya baru
benar-benar dirasakan setelah beberapa lama pemakaian, sehingga diperlukan
kesabaran dalam pemakaiannya.

ARIA -World Health Organisation Initiative, Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma.
2007. Journal Allergy Clinical Immunology : S147-S276.
Bateman ED, Hurd SS, Barnes PJ, Bousquet J, Drazen JM, et al. (2008) Global strategy for
asthma management and prevention: GINA executive summary. Eur Respir J 31: 143178.

Bousquet J, Cauwenberge P V., Khaltaev N., 2001. ARIA workshop group.World Health
organisation initiative, allergic rhinitis and its impact on asthma.J allergy clinical
immunol : S147-S276.
Corren J, The impact of allergic rhinitis on bronchial astma, J Allergy Clin Imunonol 1998;
101: 352-6
Cauwenberge PV, Watelet JB, Zele TV et al. Does Rhinitis Lead to Asthma?.Journal of
Rhinology. 2007, vol 45
Cummings CW. Allergic Rhinitis. In: Cummings CW, Flint PW et al editors. Otolaryngology
Head and Neck Surgery, 4th Ed Vol 1. Philadelphia: Elsevier; 2005.
Dhingra PL. Allergic Rhinitis. In: Disease of Ear, Nose and Throat, 4th Edition. Noida:
Elsivier; 2009.
Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono, N, 2008. Alergi Hidung dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher.Edisi keenam. Jakarta: FKUI
National Asthma Education and Prevention Program (2007) Expert Panel Report 3 (EPR-3):
Guidelines for the Diagnosis and Management of Asthma-Summary Report 2007. J
Allergy Clin Immunol 120: S94-S138.
Niggemann LJ, Ferdousi SD, et al. Spesific immunotherapy has long-term preventive effect of
seasonal and perennial asthma: 10- years follow-up on the PAT study. Allergy Journal
2007; 62: 943-8
Peter Small.Harold Kim.2011.Allergi,ashms dan clinical immunology.doi:10.1186/17101492-7-s1-s3
Skoner, David P. 2001.

Allergic Rhinitis: Definition, Epidemiology, Pathophysiology,

Detection, and Diagnosis. Journal Allergy Clin Immunol. Vol 108: S2-8. Department
of Pediatrics and Otolaryngology, University of Pittsburgh School of Medicine, and
Childrens Hospital of Pittsburgh. Pittsburgh.
Snow,J B.,Ballenger, J J.2003.Allergi Rinitis.IN:Ballengers Otorhinolaryngology Head and
Neck Surgery Edition 9th.Spain:BC Decker;708-731
Soetjibto D, Mangubkusumo E.Rhinitis Alergi, Sinutsitas dan Asma, Dalam: Simposium
Update Rhinitis Alergi. Jakarta, 10 April 1999

Thompson AK, Juniper E, Meltzer EO (2000) Quality of life in patients with allergic rhinitis.
Ann Allergy Asthma Immunol 85: 338-347.

Manifestasi klinik
Banyak kondisi lain yang berhubungan dengan rhinitis alergi termasuk asma ,
konjungtivitis alergi dan dermatitis atopik (Thompson AK, 2000 ) . Asma
didefinisikan sebagai penyakit peradangan kronis dari saluran udara yang ditandai
dengan batuk terus-menerus atau paroksismal , dada sesak , mengi dan sesak napas
(National Asthma Education and Prevention Program 2007). Hyperresponsiveness
napas umumnya terkait dengan obstruksi aliran udara yang luas di paru-paru dan
terjadi dengan paparan alergen atau iritan (Bateman ED,2008). Gejala khas
memburuk di malam hari dan biasanya mereda secara spontan atau dengan
pengobatan tertentu (Bateman ED,2008). Sebuah riwayat penyakit atopik lain ,
rhinitis alergi adalah sangat membantu dalam mengidentifikasi pasien dengan asma .
Pemicu umum yang harus diidentifikasi meliputi tungau debu , kecoa , bulu binatang ,
jamur , serbuk sari , olahraga dan paparan asap tembakau atau udara dingin (National
Asthma Education and Prevention Program 2007) . Komorbiditas lain yang dapat
memperburuk asma termasuk tidur gangguan pernapasan , penyakit gastroesophageal
reflux dan penyakit paru obstruktif kronik (National Asthma Education and
Prevention Program 2007). Pemeriksaan fisik pada pasien asma bisa biasa-biasa saja
tetapi dapat mencakup tingkat variabel mengi , menunjukkan obstruksi aliran udara .
Pencarian secara serentak untuk fitur penyakit atopik lainnya ( yaitu eksim , hidung
konka hipertrofi atau edema mukosa ) harus dicari (Bateman ED,2008). Gejala lain
ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata
gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Tandatanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring.Tanda hidung
termasuk lipatan hidung melintang garis hitam melintang pada tengah punggung
hidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat
(allergic

salute),

pucat

dan

edema

mukosa

hidung

yang

dapat

muncul

kebiruan.Lubang hidung bengkak.Disertai dengan sekret mukoid atau cair.Tanda di


mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah
mata (allergic shiner).Tanda pada telinga termasuk retraksi membran timpani atau
otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii.Tanda faringeal

termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid.Tanda


laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara (Bousquet, Cauwenberge,
Khaltaev, ARIA Workshop Group.WHO, 2001).
9. Immunoterapi
a. Definisi
Imunoterapi alergi adalah pemberian berulang alergen spesifik yang sudah
diketahui, pada keadaan atau penyakit yang diperantarai imunoglobulin E, yang
bertujuan sebagai pencegahan dan perlindungan dari gejala alergi dan reaksi
b.

inflamasi yang berhubungan dengan pajanan alergen.


Mekanisme Kerja Imunoterapi Alergi
Atopi adalah peningkatan sensitivitas sebagai hasil peningkatan antibodi IgE
spesifik terhadap alergen lingkungan yang umum seperti tungau, serbuk sari atau
bulu hewan. Pajanan berulang terhadap alergen secara bermakna akan
meningkatkan prevalensi alergi seperti asma.
Penyakit alergi/atopi ditandai dengan infiltrasi eosinofil dan sel T helper
2 (Th-2) ke mukosa bronkus, peningkatan antibodi IgE spesifik dalam sirkulasi,
uji kulit positif dengan menggunakan alergen yang umum dan hipereaktivitas
bronkus. Melalui Interleukin-4 (IL-4) dan IL-13, sel B akan distimulasi untuk
menghasilkan IgE dan melalui IL-5 akan terjadi pertumbuhan, diferensiasi dan
mobilisasi eosinofil ke saluran pernapasan pada pajanan ulang terhadap alergen.
Interleukin-13 berperan sebagai regulator respons inflamasi dengan menghambat
aktivasi dan penglepasan sitokin inflamasi.Mekanisme kerja imunoterapi terhadap
asma atopi masih merupakan hipotesis.
Efek imunologis yang terjadi setelah pemberian imunoterapi adalah
sebagai berikut:
1. Antibodi penghalang
Imunoterapi akan menginduksi IgG spesifik alergen (IgG4) yang berperan
sebagai antibodi penghalang yang bersaing dengan IgE untuk berikatan dengan
alergen. Sejumlah studi mengemukakan bahwa terbukti ada hubungan antara
pengurangan gejala alergi dengan jumlah IgG serum
2. Penurunan IgE

Penurunan secara bertahap IgE spesifik alergen pada pemberian imunoterapi,


walau pada awalnya terjadi peningkatan. Respons Th 2 terhadap alergen akan
dihambat dan menginduksi respons Th 1 dengan peningkatan interferon (IFN-)
dan IL-12. Perubahan fungsi ini akan mempengaruhi produksi IgE, pematangan
populasi sel, penglepasan mediator oleh sel mast dan basofil. Akhirnya penurunan
IgE akan menurunkan respons alergi.
3. Modulasi sel mast dan basofil
Imunoterapi memodulasi fungsi sel mast dan basofil sehingga terjadi penurunan
penglepasan mediator walaupun terdapat IgE spesifik pada permukaannya. Efek
ini ditunjukkan dengan penurunan penglepasan histamin pasca imunoterapi
setelah pajanan alergen spesifik yang didahului oleh penurunan IgE spesifik atau
peningkatan IgG spesifik.
4. Peningkatan aktivitas limfosit T supresor
Imunoterapi akan mengubah jaringan kerja pengaturan sel oleh karena
peningkatan aktivitas limfosit T supresor. Produksi IgE, pematangan sel mast,
aktifasi makrofag, penglepasan mediator oleh sel mast dan basofil akan berkurang
dan mempengaruhi mekanisme alergi.
c. Indikasi Dan Kontraindikasi
Menurut panduan Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA)
yang dirumuskan oleh 34 ahli yang bertemu pada bulan Desember 1999 di
Jenewa, indikasi imunoterapi adalah untuk penyandang rhinitis atau asma
alergi yang disebabkan oleh alergen spesifik. Alergen yang diberikan tersebut
telah dijamin efektivitas dan keamanannya melalui penelitian klinis.9
Imunoterapi juga diindikasikan sebagai profilaksis untuk pasien yang sensitif
terhadap alergen selama musim pollen atau perrenial.
Kontraindiikasi imunoterapipada asma adalah sebagai berikut:
1. Keadaan imunodefisiensi yang berat
2. Keganasan
3. Kelainan psikiatri yang berat

4. Pasien tidak patuh


5. Pasien mengalami efek samping yang berat yang berulang selama terapi
6. Asma berat yang tidak terkontrol dengan farmakoterapi
7. Keadaan hamil sebaiknya tidak dimulai imunoterapi, akan tetapi bila
imunoterapi telah dilakukan sebelum kehamilan, maka dapat diteruskan.

Anda mungkin juga menyukai