Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

FITOTERAPI LANJUT
FITOTERAPI PADA GANGGUAN ORGAN TELINGA, HIDUNG DAN
OTOFARING

Disusun Oleh :

Nama: Alfathir Dimas Sutansyah (1508010039)

Ardiana Marsha (1508010070)

Rosiana Sofia Anggraeni (1508010089)

Reza Aditya A. (1508010135)

Mayriska Nurrianingsih (1508010142)

Husna Nurdina Rana (1508010146)

Yuda Anzas Mara (1508010152)

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

2018
PENYAKIT PADA HIDUNG
A. Rhinitis Alergi
1. Pengertian Rhinitis Alergi
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan allergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
allergen spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). Definisi menurut WHO ARIA (Allergic
Rhinitis And Its Impact on Asthma) adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-
bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar allergen yang
diperantarai oleh Ig E.
Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA
(Allergic Rhinitis And Its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi :
a. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari
4 minggu.
b. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4
minggu.

2. Etiologi Rhinitis Alergi


Dapat dibagi menjadi 2 faktor, antara lain :
a. Faktor spesifik
1) Faktor genetik (bawaan)
2) Alergen inhalan (dewasa) :alergenyang masuk bersama dengan udara
pernafasan, misalnyadebu rumah,serbuk sari, tungau, serpihan epitel dari bulu
binatang serta jamur.
3) Alergen ingestan (anak-anak) :yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,
misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang.
4) Kelembapan udara yang tinggi.
b. Faktor nonspesifik
Asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan
perubahan cuaca.
3. Patofisiologi Rhinitis Alergi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses,
antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul
HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel
penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan
Th0untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin
seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE).
IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di
permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi
aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama,
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia
yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating
Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte
Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai
Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf
Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak
berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam
setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel
inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung
serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony
Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala
hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic
Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase
(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik
dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca
dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang
interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil
pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat
pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi
serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama
kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan
hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.
4. Gejala Klinis Rhinitis Alergi
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang.
Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila
terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme
fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap
patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat
dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin patologis (Soepardi, Iskandar,
2004). Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak
air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung,mata, telinga,
faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang – garis
hitam melintang pada tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung
ke atas (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang dapat muncul
kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair.
Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam
dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi membran
timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii.
Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan
limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara (Bousquet,
Cauwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop Group. WHO, 2001). Gejala lain yang
tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan
pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah
dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur (Harmadji, 1993).
5. Fitoterapi
Menurut buku Natural Standard Herbal Pharmacotheraphy, fitoterapi yang
dapat digunakan untuk mengatasi penyakit rhinitis alergi, antara lain :
1) Butterbur (Petasites hybridus)
 Grade : B (Good scientific evidence)
 Mekanisme Aksi : ekstrak butterbur diperoleh dari rimpang, akar dan daun
tumbuhan tersebut. Kandungan dari ekstrak butterbur salah satunya adalah
seskuiterpen (isopetasin, oxopetasin, dan petasin) yang dipercaya memiliki
senyawa aktif yang memiliki aksi farmakologi. Beberapa penelitian
menyarankan petasin adalah senyawa aktif yang paling besar aktivitas
farmakologinya.Petasin mampu menghambat aktivitas lipooksigenase dan
downregulation pembentukan leukotrien. Isopetasin dan oxopetasin ester di
dalam butterbur dilaporkan mampu menghambat pembentukan leukotrien,
menghambat siklooksigenase (COX-2) dan prostaglandin E2 (PGE2).
 Scientific Evidence of Effectiveness : Studi preklinis dilaporkan bahwa
ekstrak butterbur memiliki aksi sebagai antiiflamasi dan penghambat
pembentukan leukotrien, dalam pencegahan rhinitis alergi eksaserbasi pada
individu yang rentan. Perbandingan antara butterbur dengan fexofenadine
(Allegra) dan cetirzine (Zyrtec), dilaporkan memiliki efikasi yang sama.
 Dosis: 50 mg butterbur (Petalodex, standardized yang mengandung 7,5 mg
petasin dan isopentasin dalam tablet yang berukuran 50 mg) digunakan 2
kali sehari
2) Ephedra (Ephedra sinica)
 Grade : C (Unclear or conflicting scientific evidence).
 Mekanisme aksi : ephedra telah digunakan secara tradisional sebagai
dekongestan dan untuk pengobatan asma. Senyawa primer dari ephedra
adalah efedrin dan pseudoefedrin, yaitu alkaloid dari tumbuhan yang
memiliki mekanisme aksi sebagai bronkodilator. Efek bronkodilatasi yang
terjadi adalah karena relaksasi otot polos bronkus karena stimulasi beta-2
reseptor.
 Scientific Evidence of Effectiveness : Randomized Control Trial (RCT)
dilakukan dengan cara 1% ephedrine saline nasal wash (larutan pencuci
hidung) digunakan untuk mengobati rhinitis alergi. Efek yang dilaporkan
dari studi tersebut terjadi 2-4 minggu
 Dosis : belum diketahui.

3) Stinging Nettle (Urtica dioica)


 Grade : C (Unclear or conflicting scientific evidence).
 Mekanisme aksi : kandungan polisakarida di dalam stinging nettle
menunjukkan aktivitas antiinflamasi dan imunnomudulator. Isolat
polisakarida dari fraksi ekstrak air stinging nettle menstimulasi proliferasi
sel T-limfosit atau dipengaruhi sistem komplementer. Fraksi yang larut air
dari ekstak daun stinging nettle menunjukkan penghambatan leokotrien dan
sintesis prostaglandin, menurunkan TNF-a dan IL-1B pada lipopolisakarida-
stimulated human di dalam darah, menghambat nuclear factor kappa B.
 Scientific Evidence of Effectiveness : Beberapa tahun belakangan, preparasi
freeze-dried dari Urtica dioca diresepkan oleh dokter untuk mengobati
rhinitis alergi.
 Dosis : 600 mg freeze-dried nettle digunakan untuk 1 minggu untuk
mengobati gejala.

B. RHINOSUNISITIS
1. Pengertian Sinusitis
Gangguan fungsi hidung dapat berupa kehilangan kemampuan mencium,
ketidakmampuan untuk mencium , ketidakmampuan untuk menyaring atau
membersihkan udara, atau masalah melembabkan udara inspirasi. Sinusitis, dikenal
juga sebagai rhinosinusitis, adalah pembengkakan dari sinus ( terdapat 6 sinus, 3 di
kiri dan 3 di kanan). Dapat disebabkan oleh infeksi, alergi, atau masalah-masalah
auto imunitas. Jika disebabkan oleh virus, biasanya akan sembuh dengan sendirinya
dalam 10 hari. Sinusitis berasal dari akar Bahasa Latinnya, akhiran umum dala
kedpkteran it is berarti peradangan karena itu sinusitis adalah suatau perdangan sinus
pranasal. Di sekitar rongga hidung terdapat empat sinus, yaitu sinus maksilaris
(terletak di pipi), sinus etmoidalis (kedua mata), sinus frontalis ( terletak di dahi) dan
sinus sfenoidalis ( terletak di belakang dahi). Sinusitis adalah peradangan, atau
pembengkakan, dari jaringan yang melapisi sinus, biasanya sinus berisi udara, tetapi
ketika sinus tersumbat dan berisi cairan, kuman ( bakteri, virus, dan jamur) dapat
berkembang dan menyebabkan infeksi. Sinusitis sfenoidalis menimbulkan nyeri
oksipital. Nyeri sinus diperberat oleh segala sesuatu yang meningkatkan tekanan di
dalam sinus. Jadi pasien akan mneghindari membungkuk, batuk, bersin, atau
membuang ingus.
Secara klinis sinusitis dibagi atas berbagai jenis, termasuk:
a. Sinusitis akut : sebuah kondisis mendadak seperti gekala pilek, hidung
tersumbat dan nyeri wajah yang tidak hilang setelah 10 hari sampai 14 hari.
Sinusitis akut biasanya berlangsung 4 minggu atau kurang.
b. Sinusitis subakut : sebuah peradangan yang berlangsung 4 sampai 8 minggu.
c. Sinusitis kronis : suatu kondisi yang ditandai dengan gejala radang sinus yang
berlangsung 8 minggu atau lebih.
d. Sinusitis berulang : beberapa serangan dalam setahun.

2. Patofisiologi
Sinus paranasal terbentuk sebagai evaginasi membran mukosa meatus nasalis.
Lapisan mukosa sinus paranasal sama dengan lapisan mukosa hidung. Sinus
maksila dan etmoid mulai berkembang selama kehamilan. Sinus frontalis mulai
berkembang pada usia 1-2 tahun, bersamaan dengan sinus sfenoid, maka tidak akan
terlihat secara radiologis sampai usia 5-6 tahun.

Tiga faktor utama berperan pada fisiologi sinus paranasal adalah ostium yang
terbuka, silia yang berfungsi efektif dan pengeluaran sekret yang normal. Retensi
sekret dalam sinus paranasal dapat diakibatkan oleh obstruksi ostium, penurunan
jumlah atau fungsi silia atau produksi yang berlebihan atau berubahnya viskositas
sekret, diikuti dengan infeksi sekunder sehingga terjadi peradangan mukosa sinus
paranasal. Variasi faktor lokal, regional atau sistemik bisa menimbulkan obstruksi
kompleks osteomeatal. Faktor lokal dan regional meliputi deviasi septum, polip
nasal, variasi anatomis seperti atresia koana atau konka bulosa, benda asing, edema
yang berhubungan dengan peradangan virus, bakteri, alergi maupun radang selaput
hidung non alergi. Faktor sistemik seperti sindrom diskinesia silia, cystic fibrosis
dan defisiensi imunologis.

Faktor paling sering yang menyebabkan terjadinya sinusitis adalah ISPA yang
disebabkan oleh virus. Bagaimana infeksi virus dapat menyebabkan sinusitis masih
belum jelas, namun diperkirakan respon peradangan terhadap virus menyebabkan
tertutupnya sinus, pertukaran oksigen menjadi terganggu, sehingga memicu
tumbuhnya bakteri dan timbul infeksi. Gerakan silia pada mukosa sinus menjadi
sangat terganggu sehingga timbul penumpukan sekret dan penebalan mukosa sinus.

Organisme yang sering ditemukan pada sinusitis anak, biasanya sama seperti
yang ditemukan pada otitismedia seperti Streptococcus pneumonae,
Staplyllococcus pyogenes, Haemoplylus influenzae dan Moraxella catharalis.10,11
Pada kasus kronis, Staplyllococcus pnemonial, Streptococcus haemolyticus dan
bakteri anaerob sering
ditemukan(Rinaldi et al.,2016).

3. Gejala Klinik
Gejala utama adalah hidung tersumbat, sekresi hidung atau postnasal drip,
nyeri / tekanan wajah atau sakit kepala, dan kehilangan / pengurangan bau. Oleh
karena itu, selain dampak sosio-ekonomi, ARSmenyebabkan pengurangan besar
kualitas hidup bagi individu.

4. Fitoterapi
Nama Tanamn : Cyclamen europaeum
 Grade : A
 Mekanisme Aksi : Akar mengandung glikosida triterpen yang dikenal sebagai
saponin dan peneliti di Universitas Padua di Italia telah menemukan bahwa
ekstrak umbi dari Cyclamen menunjukkan aktivitas yang menjanjikan saat diuji
tikus dan tikus. Para peneliti telah mengisolasi dan mengidentifikasi berbagai
glikosida dan telah dibawa lebih lanjut dalam studi in vitro mengukur anti-
inflamasi sifat ekstrak cyclamen. Mereka berkonsentrasi terutama pada aktivitas
saponin yang baru diisolasi yang disebut repandoside. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa repandoside adalah salah satu dari beberapa saponin yang
memang memediasi respon inflamasi dengan mempengaruhi perilaku makrofag
manusia (Mohammed et al., 2018)
Menurut (Lopatinet al., 2018), fraksi saponin dari CE menstimulasi sekresi
nasoparanasal. Ketika dikirim ke rongga hidung, CE dengan fraksi saponinnya
menyebabkan iritasi pada ujung saraf trigeminal di mukosa hidung melalui jalur
kolinergik, yang menyebabkan keluarnya eksudat sinus inflamasi yang cepat dan
melimpah melalui hidung dan dekongesti berikutnya berlangsung sekitar 30
menit. Saponin juga memiliki efek osmotik langsung dan mampu menstimulasi
pembersihan mukosiliar dengan memicu sekresi lendir. Aplikasi CE
meningkatkan mikrosirkulasi di mukosa hidung dan melebarkan pembuluh darah
yang menyuplai kelenjar lender.
Hasil penelitian Lopatin (2018) menunjukkan bahwa dalamAcute
Exacerbation Chronic Rhinosinusitis(AECR) keparahan moderat, terapi CE
dalam monoterapi atau ditambahkan ke antibiotik oral menginduksi peningkatan
peringanan gejala dan mencegah kekambuhan CRS jangka panjang dibandingkan
untuk antibiotik dalam monoterapi. Dengan demikian, intranasal CE mungkin
dipertimbangkan sebagai alternatif terapi antibiotik standar dalam pengobatan
AECR non-berat dan berpotensi membantu mengurangi biaya penyakit.
Baikuntuk mengurangi penyalahgunaan antibiotik dan peningkatan
konsekuensinya resistensi antibiotik.

 Scientific Evidence of Effectiveness : Percobaan pada pasien ARS


menunjukkan bahwa Cyclamen mengurangi gejala, meningkatkan waktu
transportasi mukosiliar, meningkatkan angka kesembuhan, meningkatkan
waktu untuk resolusi gejala, membaikindeks kualitas hidup fisik dan sosial
yang berfungsi, sama berkhasiatnya dengan antibiotik standar / mukolitik
/pengobatan dekongestan / antihistamin, dan mengurangi nyeri wajah dan
edema / sekresi lendir dan meningkatkankepuasan pasien dibandingkan
dengan plasebo tanpapeningkatan efek samping.
 Dosis : nasal spray dengan volume 0,13 mL yang mengandungCyclamen 2,6
mgper lubang hidung. Pemakaian satu kali sehari selama 7 hari.
 Contoh produk : Nasodren
PENYAKIT PADA OTOFARING

A. Disfungsi Otofaring (disfungsi tabung eustachian)


1. Definisi

Gambar 1.1 Tuba eustachius


Tuba Eustachius adalah saluran yang menghubungkan rongga telinga tengah
dengan nasofaring. Tuba Eustachius terdiri atas tulang rawan pada dua pertiga ke arah
nasofaring dan sepertiganya terdiri atas tulang. Pada anak, tuba lebih pendek, lebih
lebar dan kedudukannya lebih horizontal dari tuba orang dewasa. Panjang tuba
dewasa 37.5 mm dan pada anak di bawah 9 bulan adalah 17.5 mm. Disfungsi tuba
eustachian adalah sindrom dengan konstelasi tanda dan gejala yang menunjukan
disregulasi tekanan di telinga tengah. Disfungsi tuba eustachian yang tidak segera
ditangani dapat mengarah kepada timbulnya otitis media.

2. Patofisiologi
a. Tuba terbuka abnormal
Tuba terbuka abnormal ialah tuba terus menerus terbuka, sehingga udara
masuk ke telinga tengah waktu respirasi. Umumnya idiopatik tetapi dapat juga
disebabkan oleh hilangnya jaringan lemak di sekitar mulut tuba sebagai akibat
turunnya berat badan yang hebat. Gangguan neurologis yang dapat menyebabkan
atrofi otot (misalnya, stroke, multiple sclerosis, penyakit motor neuron) juga
mungkin terlibat.Pembentukan adhesi dalam nasofaring sehingga tuba terbuka dalam
jangka waktu yang lama atau justru sebaliknya.
b. Palatoskisis

Palatoskisis adalah malformasi yang disebabkan oleh gagalnya prosesus nasal


median dan maksilaris untuk menyatu selama perkembangan embrionik. Pada
palatoskisis terjadi gangguan abnormalitas perkembangan dari otot-otot yang
mengontrol pembukaan dan penutupan tuba eustachius dimana sfingter pada muara
tuba Eustachii bekerja kurang baik. Sehingga akan memungkinkan terjadinya
obstruksi tuba yang menyebabkan infeksi ke telinga tengah pada anak dengan
palatoskisis.

c. Obstruksi tuba

Obstruksi tuba umumnya terjadi karena otitis media, baik dalam bentuk
barotrauma, otitis media supuratif, maupun otitis media non supuratif. Sebab lain
terjadinya obstruksi tuba eustachius adalah adanya tekanan yang tiba-tiba di bagian
hujung sistem tuba eustachius. Hal ini dapat digambarkan seperti di bawah. Ini
menunjukkan bahwa cairan telinga tidak akan berjalan sehingga tekanan negative
diberikan perlahan-lahan pada tuba eusatachius. Namun begitu, jika tekanan negative
diberikan secara tiba-tiba, akan terjadi obstruksi istmus tuba secara tiba-tiba. Kejadian
ini disebut locking phenomenon.
Gambar. Gambaran locking phenomenon

3. Etiologi
a. Gangguan neurologis yang dapat menyebabkan atrofi otot
b. Infeksi salauran pernapasan atas
c. Rinitis alergi
d. Hipertrofi adenoid
e. Perubahan tekanan udara diluar secara cepat
f. Edema di nasofaring

4. Tanda dan gejala


a. Telinga terasa penuh dengan tekanan atau merasa penuh.
Hal ini disebabkan karena adanya ketidaksetimbgan antara tekanan di dalam
telinga dan diluar.
b. Kehilangan/gangguang fungsi pendengaran dalam waktu tertentu.
Penderita akan mengalami gangguang pendengaran yang diawali dengan fungsi
pendengaran yang kurang baik, misalnya suara yang terdengar kecil.
c. Rasa sakit di dalam telinga (otolagia).
Hal ini biasanya terjadi akibat timbulnya edema yang berakibat obstruksi atau
inflamasi akibat yang diawali infeksi pada telinga bagian tengah.
d. Terdengar bunyi “clicking” atau “popping” di dalam telinga.
Bunyi ini terjadi akibat kontraksi ritmik dari otot-otot palatum yang terjadi secara
periodik.

5. Fitoterapi
a. Minyak bawan putih (Allium sativum)
 Grade : D (very low evidence)
 Mekanisme aksi : Allicin sebagai antibakteri, imuno stimulan dan
memberikan aktifitas antioksidan. Pada disfungsi tuba eustachius akibat
infeksi saluran napas atas dan bakteri otitis media , allicin dilaporkan
memiliki efek antibakterial spektrum luas dengan mekanisme menghambat
secara total sintesis RNA bakteri.
 Sebagai imunostimulan, allicin dapat meningkatkan sistem imun tubuh untuk
melawan virus dan bakteri yang akan menginfeksi pernapasan bagian atas dan
yang akan berkembang menjadi otitis media.
 Dosis : belum diketahui
Mampu menghambat pertumbuhan bakteri dengan baik pada
konsentrasi 70 -10%

b. Olive oil (Olea europaea)


 Grade : C (low evidence)
 Meknisme aksi : hydroxytyrosol, tyrosol, dan oleuropein sebagai antioksidan
yang akan meningkatkan sistem imun tubuh.
 Oleocanthal sebagai antinflamasi akan menghambat enzim COX 1 dan COX
2 shingga mampu mencegah inflamasi pada edema nasofaring dan obstruksi
tuba.
 Dosis : 40 g/hari untuk laki-laki dan 30 g/hari untuk perempuan selama 7 -14
hari

c. Sambiloto (Andrographis paniculata)


 Grade : A (Strong scientific evidence)
 Mekanisme aksi : Andrografolid sebagai senyawa lakton diterpen dilaporkan
memiliki aktivitas imunostimulan dan bakteriostatik terhadap streptococus
mutans oleh glukosiltransferase dan inhibisi lektin pengikat glukan.
 Dosis : ekstrak andrografis standar Ekstrak anrografis standar yang
mengandungn48 hingga 60 mg andrografolida, dibagi menjadi 3 – 4 dosis
harian. Menurut penelitian pada anak usia 4 sampai 11 tahun, penggunaan 2
tablet (kurang lebih 30 mg andrografolida dan deoxyandrografolida) diminum
3 kali sehari selama 10 hari, dapat memperbaiki gejala infeksi dan dapat
ditoleransi.
d. Dan fitoterapi yang ada di rinitis alergi.
PENYAKIT PADA TELINGA
A. OTITIS MEDIA (Infeksi Telinga)
1. Definisi
Otitis Media (OM) adalah peradangan telinga tengah, termasuk membran timpani
(gendang telinga). OM bakteri akut terjadi ketika cairan yang dihasilkan dari pilek,
alergi, atau infeksi saluran pernapasan atas berkembang di belakang membran timpani.
ruang di belakang membran ini biasanya steril; namun, jika bakteri ada dalam cairan
yang terakumulasi, ini dapat menyebabkan terhalangnya tabung kustachian (tabung kecil
yang menghubungkan telinga ke belakang hidung).
Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas seperti radang
tenggorokan atau pilek yang menyebar ke telinga tengah lewat saluran Eustachius.1 Saat
bakteri melalui saluran Eustachius, mereka dapat menyebabkan infeksi di saluran
tersebut sehingga terjadi pembengkakan di sekitar saluran, tersumbatnya saluran, dan
datangnya sel-sel darah putih untuk melawan bakteri. Sel-sel darah putih akan
membunuh bakteri dengan mengorbankan diri mereka sendiri. Sebagai hasilnya
terbentuklah nanah dalam telinga tengah. Selain itu pembengkakan jaringan sekitar
saluran Eustachius menyebabkan lendir yang dihasilkan sel-sel di telinga tengah
terkumpul di belakang gendang telinga. Ada 5 stadium OMA berdasarkan pada
perubahan mukosa telinga tengah, yaitu:
a. Stadium Oklusi Stadium ini ditandai dengan gambaran retraksi membran timpani
akibat tekanan negatif telinga tengah. Membran timpani kadang tampak normal atau
berwarna suram.
b. Stadium Hiperemis Pada stadium ini tampak pembuluh darah yang melebar di
sebagian atau seluruh membran timpani, membran timpani tampak hiperemis disertai
edem.
c. Stadium Supurasi Stadium ini ditandai edem yang hebat telinga tengah disertai
hancurnya sel epitel superfisial serta terbentuknya eksudat purulen di kavum timpani
sehingga membran timpani tampak menonjol (bulging) ke arah liang telinga luar.
d. Stadium Perforasi Pada stadium ini terjadi ruptur membran timpani sehingga nanah
keluar dari telinga tengah ke liang telinga.
e. Stadium Resolusi Pada stadium ini membran timpani berangsur normal, perforasi
membran timpani kembali menutup dan sekret purulen tidak ada lagi. Bila daya tahan
tubuh baik atau virulensi kuman rendah maka resolusi dapat terjadi walaupun tanpa
pengobatan.

2. Etiologi
a. Lingkungan
Hubungan penderita OM dan faktor sosial ekonomi belum jelas, tetapi mempunyai
hubungan erat antara penderita dengan OM dan sosioekonomi, dimana kelompok
sosioekonomi rendah memiliki insiden yang lebih tinggi. Tetapi sudah hampir dipastikan
hal ini berhubungan dengan kesehatan secara umum, tempat tinggal yang padat.
b. Genetik
Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakah insiden OMSK
berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai faktor genetik. Sistem
sel-sel udara mastoid lebih kecil pada penderita otitis media, tapi belum diketahui apakah
hal ini primer atau sekunder.
c. Infeksi
Otitis media akut bisa disebabkan oleh bakteri dan virus. Bakteri yang paling sering
ditemukan adalah Streptococcus pneumaniae, diikuti oleh Haemophilus influenza,
Moraxella catarrhalis, Streptococcus grup A, dan Staphylococcus aureus. Beberapa
mikroorganisme lain yang jarang ditemukan adalah Mycoplasma pneumaniae, Chlamydia
pneumaniae, dan Clamydia tracomatis.
Virus yang sering sebagai penyebab OMA adalah respiratory syncytial virus. Selain
itu bisa disebabkan virus parainfluenza (tipe 1,2, dan 3), influenza A dan B, rinovirus,
adenovirus, enterovirus, dan koronavirus. Penyebab yang jarang yaitu sitomegalovirus dan
herpes simpleks. Infeksi bisa disebabkan oleh virus sendiri atau kombinasi dengan bakteri
lain.

3. Patofisiologi
Otitis media akut terjadi karena terganggunya faktor pertahanan tubuh. Sumbatan pada
tuba Eustachius merupakan faktor utama penyebab terjadinya penyakit ini. Dengan
terganggunya fungsi tuba Eustachius, terganggu pula pencegahan invasi kuman ke dalam
telinga tengah sehingga kuman masuk dan terjadi peradangan. Gangguan fungsi tuba
Eustachius ini menyebabkan terjadinya tekanan negatif di telingah tengah, yang
menyebabkan transudasi cairan hingga supurasi. Pencetus terjadinya OMA adalah infeksi
saluran pernafasan atas (ISPA). Beberapa faktor lain mungkin juga berhubungan dengan
terjadinya penyakit telinga tengah, seperti alergi, disfungsi siliar, penyakit hidung dan/atau
sinus, dan kelainan sistem imun.

4. Gejala dan tanda


Gejala klinis yang ada pada OM, antara lain :
a. Telinga berair (otorrhoe)
Sekret bersifat purulen (kental, putih) atau mukoid (seperti air dan encer) tergantung
stadium peradangan. Sekret yang mukus dihasilkan oleh aktivitas kelenjar sekretorik
telinga tengah dan mastoid. Sekret yang dihasilkan tidak berbaubusuk yang sering kali
sebagai reaksi iritasi mukosa telinga tengah oleh perforasi membran timpani dan infeksi.
Keluarnya sekret biasanya hilang timbul. Meningkatnya jumlah sekret dapat disebabkan
infeksi saluran nafas atas atau kontaminasi dari liang telinga luar setelah mandi atau
berenang.
b. Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologi sangat hebat,
karena daerah yang sakit ataupun kolesteatom, dapat menghambat bunyi dengan efektif
ke fenestra ovalis.
c. Otalgia (nyeri telinga)
Keluhan nyeri dapat karena terbendungnya drainase pus. Nyeri merupakan tanda
berkembang komplikasi OMSK seperti Petrositis, subperiosteal abses atau trombosis
sinus lateralis.
d. Vertigo
Vertigo yang timbul biasanya akibat perubahan tekanan udara yang mendadak atau
pada panderita yang sensitif keluhan vertigo dapat terjadi hanya karena perforasi besar
membran timpani yang akan menyebabkan labirin lebih mudah terangsang oleh
perbedaan suhu.
Tanda klinis penyakit ini adalah :
a. Adanya Abses atau fistel retroaurikular.
b. Jaringan granulasi atau polip diliang telinga yang berasal dari kavum timpani.
c. Pus yang selalu aktif atau berbau busuk (aroma kolesteatom)
d. Foto rontgen mastoid adanya gambaran kolesteatom.

5. Fitoterapi
Menurut buku Natural Standart Herbal Pharmacotherapy, fitoterapi yang dapat
digunakan untuk mengatasi penyakit OM, antara lain :
a. Andrographis (Andrographis paniculata)
 Grade : A (strong scientific evidence) sebagai pengobatan
 Mekanisme aksi : Andrographolid, senyawa lakton diterpen, diyakini sebagai agen
aktif andrographis yang utama. ekstrak Andrographis paniculata telah dilaporkan
memiliki aktivitas bakteriostatik. Telah dibuktikan dengan aktivitas antimikroba
terhadap streptococcus mutans oleh glukosiltransferase dan inhibisi lektin pengikat
glukan.
 Sebagai aktivasi immunosimulan. Andrographis dapat menurunkan insiden terjadinya
infeksi saluran napas bagian atas yang berkembang menjadi OM.
 Dosis : beberapa produk pasaran terstandar mengandung 4 % andrgrapholide. Salah
satu produk herbal tunggal extrak SHA-10, mengandung 5,25 mg andrographolid dan
deoxyandrographolid per tablet. Ekstrak andrografis standar yang mengandung 48
hingga 60 mg unsur andrografolida, dibagi menjadi tiga atau empat dosis harian.
Menurut penelitian pada anak usia 4 sampai 11 tahun, penggunaan 2 tablet (kurang
lebih 30 mg andrographolid dan deoxyandrographolid), diminum 3 kali sehari selama
10 hari, dapat memperbaiki gejala infeksi dan dapat ditoleransi.

B. OTOMIKOSIS
1. Definisi

Otomikosis adalah infeksi pada kanalis akustikus eksterna yang disebabkan oleh
jamur Otomokosis merupakan salah satu kondisi yang sering dihadapi oleh dokter umum
ataupun dokter ahli Telinga Hidung dan Tenggorok (THT). Otomikosis jarang
mengancam kehidupan, tetapi menjadi tantangan bagi tenaga medis dan menyebabkan
rasa frustasi bagi pasien oleh karena memerlukan pengobatan dan tindak lanjut jangka
panjang, serta tingkat kekambuhan yang cukup tinggi. Otomikosis dan infeksi lain yang
disebabkan oleh jamur lebih sering terjadi pada daerah yang beriklim tropis dan subtropis
seperti halnya negara Indonesia.2 Insidensi otomikosis yang semakin meningkat
berhubungan dengan berbagai macam faktor predisposisi diantaranya penggunaan
antibiotik tetes telinga yang luas dan tidak perlu, penggunaan antibiotik sistemik
spektrum luas, iklim lembab, pembersihan serumen yang berlebihan, trauma lokal,
instrumentasi telinga, dan pasien dengan kondisi immuno compromized.
2. Etiologi
Berbagai spesies jamur telah diidentifikasi sebagai penyebab otomikosis. Aspergillus
spp dan Candida spp adalah jamur patogen tersering yang menyebabkan otomikosis.
Aspergillus spp adalah organisme penyebab dominan otomikosis di daerah tropis dan
subtropis.
Faktor predisposisi terjadinya otitis eksterna, dalam hal ini otomikosis, meliputi
ketiadaan serumen, kelembaban yang tinggi, peningkatan temperature, dan trauma lokal,
yang biasanya sering disebabkan oleh kapas telinga ( cotton buds ) dan alat bantu dengar.
Serumen sendiri memiliki pH yang berkisar antara 4-5 yang berfungsi menekan
pertumbuhan bakteri dan jamur. Olah raga air misalnya berenang dan berselancar sering
dihubungkan dengan keadaan ini oleh karena paparan ulang dengan air yang
menyebabkan keluarnya serumen, dan keringnya kanalis auditorius eksternus. Bisa juga
disebabkan oleh adanya prosedur invasif pada telinga. Predisposisi yang lain meliputi
riwayat menderita eksema, rhinitis allergika, dan asthma.
Infeksi ini disebabkan oleh beberapa spesies dari jamur yang bersifat saprofit,
terutama Aspergillus niger. Agen penyebab lainnya meliputi A. flavus, A. fumigatus,
Allescheria boydii, Scopulariopsis, Penicillium, Rhizopus, Absidia, dan Candida Spp.
Sebagai tambahan, otomikosis dapat merupakan infeksi sekunder dari predisposisi
tertentu misalnya otitis eksterna yang disebabkan bakteri yang diterapi dengan
kortikosteroid dan berenang.

3. Patofisiologi
Otomikosis berkaitan dengan histologi dan fisiologi kanalis auditorius eksternus. Pada
interior resesus timpani, bagian medial sampai isthmus cenderung mengumpulkan sisa
keratin dan serumenm dan merupakan area yang sulit dibersihkan. Terdapat 4 proses
yang dapat menyebabkan infeksi pada liang telinga yaitu obstruksi serumen yang
menyebabkan retensi air, hilangnya serumen akibat pembersihan yang berlebih atau
terpapar air terus menerus, trauma, dan perubahan pH di permukaan liang telinga luar.
Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi kemunculan otomikosis seperti faktor sistemik
(gangguan imunitas, penggunaan kortikosteroid, sitostatika, dan neoplasia), riwayat otitis
bakterial, OMSK, dan mastoidektomi radikal sebelumnya. Dermatomikosis di area tubuh
lain juga dapat menjadi faktor predisposisi, karena kemungkinan jamur di bagian tubuh
terinokulasi ke liang telinga luar dan menyebabkan otomikosis. Retensi air menyebabkan
peningkatan kelembapan di permukaan liang telinga luar sehingga jamur dapat mudah
berproliferasi dan tingginya kelembaban juga dapat mengabrasi epitel sehingga mudah
diinvasi oleh jamur. Hilangnya serumen akibat pembersihan telingan yang berlebihan
atau karena terlalu sering terbilas air juga menghilangkan serumen yang memiliki fungsi
proteksi dari jamur dan organisme lainnya sehingga invasi oleh jamur patogen mudah
terjadi di liang telinga luar. Trauma dan perubahan pH juga menyediakan kondisi terbaik
untuk jamur berkembang biak di permukaan kulit liang telinga luar. Invasi hifa dan
spora dari jamur patogen pada kulit liang telinga luar menyebabkan proses peradangan
yang ditandai dengan nyeri, panas, eritema, dan gatal. Hifa yang tumbuh di dalam liang
telinga juga menyebabkan rasa penuh dan tidak nyaman di dalam telinga.

4. Gejala dan Tanda

Gejala otitis eksterna dengan otomikosis sulit dibedakan. Akan tetapi, pruritus
merupakan gejala yang paling sering didapati pada otomikosis, diikuti dengan rasa tidak
nyaman, penurunan pendengaran, tinnitus, rasa penuh di telinga, otalgia, dan discharge.
Hasil otoskopi seringkali menunjukkan adanya miselia, membantu menegakkan
diagnosis. Liang telinga luar dapat tampak eritem dan debris jamur dapat tampak putih,
abu-abu, atau hitam. Pasien pada umumnya telah berusaha mengobati dengan antibakteri
topikal tetapi tidak mengalami perbaikan. Karakteristik pemeriksaan fisik berbeda pada
tiap jamur. Pada Aspergillus dapat dijumpai hifa dan spora yang tampak menonjol ke
liang telinga sedangkan Candida, karena merupakan bentuk ragi dan bercampur serumen
sehinggal tampak kekuningan. Oleh sebab itu lebih sulit mendiagnosis otomikosis akibat
Candida daripada Aspergillus melalui pemeriksaan fisik saja.

5. Fitoterapi
b. Larutan Cuka Apel (Vinegar)
 Grade : A (strong scientific evidence) sebagai pengobatan
 Mekanisme aksi : Larutan Cuka Apel, diyakini sebagai agen aktif anti jamur yang
utama. Larutan Cuka Apel telah dilaporkan memiliki aktivitas anti jamur. Telah
dibuktikan dengan aktivitas anti jamur terhadap Aspergillus niger, Aspergillus flavus,
Candida albicans, dan Non Candida. Aktivitas antijamur dari cuka apel dikaitkan
dengan kandungan asam malat, asam asetat, serta zat aktif lain yang belum
teridentifikasi. Asam asetat mempunyai dua efek terhadap sel jamur, yang pertama
adalah menyebabkan pemisahan sel jamur dengan dinding kanalis akustikus eksterna
tempat dimana sel jamur menempel, yang kedua adalah mengganggu keseimbangan
asam basa sehingga menyebabkan kematian sel jamur, dan menghambat proliferasi sel
jamur.
 Sebagai aktivas anti jamur. Cuka Apel dapat menurunkan insiden terjadinya infeksi
saluran telinga bagian dalam yang berkembang menjadi otomikosis.
 Dosis : didapatkan bahwa larutan cuka apel (5%) menunjukkan efek antijamur yang
signifikan. Pemberian terapi cuka apel dilakukan dengan cara diteteskan pada telinga
yang 3x sehari masing-masing 5 tetes. Setelah itu dipasangkan tampon pada telinga
pasien
DAFTAR PUSTAKA

Bosquet, J., Cauwenberge, P.V., Khaltaev, N. 2001. ARIA workshop group, world health
organization initiative, allergic rhinitis and its impact on asthma. J Allergy Clin
Immunol : S147-S276.
Burnside, John W dan Thomas J. McGlynn. 1995. Diagnosis Fisik, Ed. 17. Alih Bahasa :
Henny Lukmanto. Jakarta : EGC.

Harmadji, S. 1993. Gejala dan Diagnosa Penyakit Alergi THT. Dalam : Kumpulan
Makalah Kursus Penyegar Alergi Immunologi di Bidang THT. Bukit Tinggi.
Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono, N. 2008. Alergi Hidung dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telingga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi Keenam. Jakarta:
FKUI.

LOPATIN, A.S., IVANCHENKO, O.A., SOSHNIKOV, S.S., MULLOL, J., 2018. L’estratto
di Cyclamen europaeum per via intranasale implementa l’effetto degli antibiotici orali
nel trattamento delle riacutizzazioni delle rinosinusiti croniche: studio osservazionale
in vivo (CHRONOS). Acta Otorhinolaryngologica Italica 115–123.
https://doi.org/10.14639/0392-100X-1342

Mikaili P, Maadirad S & Moloudizargari M. 2013. Therapeutic uses and pharmacological


properties of Garlic, Shallot and their Biological Active Compounds. Iran J Basic
Med. 16 (10). pp: 1031-48

Munilson, J., Edward, Y., dan Yolazenia. 2011. Penatalaksanaan otitis media akut. Fakultas
kedokteran uneversitas andalas. Padang

Mohammed, G.J., Hameed, I.H., Kamal, S.A., 2018. Anti-inflammatory Effects and Other
Uses of Cyclamen Species: A Review. Indian Journal of Public Health Research &
Development 9, 206. https://doi.org/10.5958/0976-5506.2018.00210.3
Nursiah, S., 2003. Pola kuman aerob penyebab OMSK dan kepekaan terhadap beberapa
antibiotika di bagian THT FK USU/ RSUP.H.Adam Malik Medan. Fakultas
kedokteran uneversitas sumatra utara.

Rinaldi, R., Lubis, H.M., Daulay, R.M., Panggabean, G., 2016. Sinusitis pada Anak. Sari
Pediatri 7, 244. https://doi.org/10.14238/sp7.4.2006.244-8
Roy, S., et al. 2010. Phytochemical analysis of Andrographis paniculata extract and its
antimicrobial activity.

Schilder., et al.2015. Eustachian tube dysfunction: consensus statement on definition, types


clinical presentation and diagnosis.Published by John Wiley & Sons Ltd Clinical
Otolaryngology 40, 407–41

Seamon, E., Ulbricht, C. 2010. Natural Standard Herbal Pharmacotherapy. Elsevier, hal
200-386.
Soepardi E, Iskandar N. 2004. Telingga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi Kelima.
Jakarta: FKUI.
Sulaiman, E., et al.(2015). Potensi Larutan Cuka Apel pada Penderita Otomikosis. Journal of
Medicine and Health, Volume 1(2): 143-155
Von Pirquet,G. 1986. Allergy. Jerman : Munchen Med. Wschr. 1475.

Teschner magnus.2016. Evidence and evidence gaps in the treatment Of Eustachian tube
dysfunction and otitis media : a Review. MS Current Topics in Otorhinolaryngology -
Head and Neck Surgery 2016, Vol. 15, ISSN 1865-1 011

Waterman emily, Brian Lockwood.2007. Active Components and Clinical Applications of


Olive Oil. Alternative Medicine Review Volume 12, Number 4

Wustrow TP; Otovowen Study Group. Alternative versus conventional Treatment strategy in
uncomplicated acute otitis mediain children: a prospective, open,controlled parallel-
group comparison. Int J Clin Pharmacol Ther. 2004 Feb;42(2):110-9

Anda mungkin juga menyukai