Anda di halaman 1dari 3

Kekuasaan untuk Melindungi Profesinya

Mungkinkah ada permainan politik? Hmmm bicara soal politik bukan hanya sekadar politik partai ya
sobat, namun politik dalam arti yang luas.

Bicara soal AKI atau Accute Kidney Injury desease atau gagal ginjal akut yang sedang ramai membuat
masyarakat panik. Berkaca kepada kasus kematian anak karena AKI di Gambia, Afrika ini WHO telah
menjelaskan bahwa telah terjadi keracunan masal yang menyebabkan AKI ini. Penyebabnya
disebutkan karena adanya kontaminasi bahan dasar obat yakni etilen glikol dan di etilen glikol dalam
sediaan sirup. WHO telah melarang penggunaan kedua bahan tersebut dalam formulasi sediaan obat
oral. Keracunan kedua bahan ini pernah terjadi sebelumnya di Panama, sebuah perusahaan bahan
baku memproduksi dan menjual etilon glikol yang dalam bea cukai nya saat penerimaan di negara
pengimpor tertulis sebagai gliserin. Walhasil perusahaan farmasi tersebut menggunakannya sebagai
bahan pembuatan suspensi. Jika kita bicara soal tekstur kedua bahan tersebut (etilen glikol dan di
etilen glikol) memang mirip dengan bahan obat yakni gliserin yang memang digunakan dalam
formulasi sediaan obat oral. Penggunaan etilen glikol dan di etilen glikol secara oral memang dapat
menyebabkan kerusakan pada ginjal, karena kedua bahan tersebut toksik untuk organ ginjal bukan
hanya anak namun juga pada orang dewasa. Keracunan etilen glikol pada ginjal terjadi pada 24-72
jam setelah menelan. Keracunan dikarenakan efek langsung dari asam glikolat yang bersifat
sitotoksik. Etilen glikol dalam tubuh dengan bantuan enzim alkohol dehydrogenase sebagai
katalisator di metabolisme menjadi glikoaldehida. Glikoaldehida ini kemudian diubah menjadi asam
glikolat didalam tubuh dan dimetabolisme menjadi asam oksalat. Asam oksalat akan berikatan
langsung dengan kalsium membentuk kristal kalsium oksalat dan terdeposit pada organ yang dapat
menyebabkan kerusakan organ seperti otak, jantung, ginjal, dan paru-paru. Akumulasi kalsium
oksalat pada ginjal menyebabkan kerusakan ginjal yang mengakibatkan oliguria dan anuria serta
kegagalan ginjal akut karena sifatnya yang nefrotoksik (Brent, 2001; Anggraeni, 2013).

Kasus yang terjadi di Gambia, Afrika ini WHO menjelaskan bahwa adanya kontaminasi etilen glikol
dan di etilen glikol pada produk sediaan sirup yang dibuat oleh perusahaan farmasi di India. BPOM RI
telah menjelaskan bahwa perusahaan tersebut tidak ada atau tidak terdaftar di Indonesia dan
produknya pun tidak beredar di Indonesia.

Kemudian pada kasus AKI yang terjadi di Indonesia, pas bebarengan dengan kasus di Gambia ini. Lalu
apakah kesimpulannya diakibatkan oleh hal yang sama? Belum tentu. Produk sediaan obat sirup di
Indonesia yang telah dikonsumsi puluhan tahun terbukti aman-aman saja, lantas kenapa kemudian
mendapatkan issue negatif? Seharusnya penyebab dari AKI yang terjadi di Indonesia ini patut
ditelaah terlebih dahulu sebelum memberikan pernyataan yang membuat publik khawatir. Karena
jika AKI yang terjadi di Indonesia akibat sediaan obat sirup, seharusnya sudah terjadi sejak lama,
bukan waktu dekat ini karena dalam waktu dekat BPOM juga menjelaskan tidak ada perubahan
formulasi yang menjadi mengandung kedua bahan tersebut. Setelah BPOM memberikan pernyataan
keamanan sediaan sirup di Indonesia, lantas kemudian ketua IDAI memberikan pernyataan yang
membuat masyarakat banyak salah paham dan salah mengartikan, alhasil membuat klarifikasi dan
kemudian muncullah keputusan dari Kemenkes RI yang seolah melindungi ketua IDAI tersebut.
Padahal sebelum adanya pernyataan dari ketua IDAI yang membuat keresahan itu, pernyataan dari
BPOM sudah release dan Kemenkes tidak komentar apapun. Kedua instansi tersebut sebetulnya
punya tupoksinya masing-masing. Tugas melakukan penelitian dan memberikan pernyataan tentang
keamanan sebetulnya adalah tugas BPOM. Namun demi melindungi profesi mengorbankan yang lain
(bisa dibilang begitu sih). Hal serupa pernah terjadi di tahun 2000an, kesalahan pemberian obat yang
dilakukan oleh seorang oknum di salah satu Rumah Sakit di Indonesia. Namun kasus tersebut
tenggelam begitu saja dan mengkambinghitamkan perusahaan farmasi, karena adanya dukungan
dan perlindungan dari pihak atas. Selalu dan lagi yang menjadi kambing hitam adalah industri
farmasi, rugi berapa banyak ya kira-kira mereka karena surat keputusan tersebut? Meski hanya
sementara, dampaknya juga ke karyawan hingga buruh pabrik. Surat klarifikasi dari mereka benar-
benar tidak di gubris dan tidak dijadikan pertimbangan untuk membuat keputusan yang sementara
itu, demi melindungi satu orang ribuan orang terkena dampaknya. Beginilah kapitalis, selama dirinya
dan sesamanya aman maka tidak masalah. Adakah peran negara disaat darurat seperti ini? Hadeeeh
-_-

Seorang Menteri seharusnya mengayomi masyarakat karena mereka adalah kaki tangan pemerintah,
bukan menggunaan kekuasaan mereka demi kepentingan pribadi atau profesi dan tidak melihat
dampak yang ditimbulkan kedepannya. BPOM sedang sibuk menelaah untuk proses tindak lanjut
yakni penelitian terhadap sediaan yang dihimbau oleh Kemenkes. Karena bagaimanapun Kemenkes
diatas BPOM (jabatannya), keputusan Kemenkes lah yang dianggap lebih benar dan lebih tepat
dibandingkan BPOM. Namun, tiba-tiba muncul pernyataan dari Wamenkes terkait hasil obat yang
terkontaminasi. Pertanyaannya, metode analisa dan alat analisis yang digunakan apa? Jika bicara
soal ilmiah, maka seharusnya ada bukti ilmiah, tidak lalu memberikan pernyataan tanpa bukti ilmiah.
Harus ada pers untuk menyatakan hasilnya secara details. Padahal analisis itu membutuhkan waktu
yang lumayan, mulai dari kajian metode hingga sampling dan alat yang tepat digunakan. Seharusnya
pemberitahuan seperti ini (hasil analisa) dilakukan oleh BPOM bukan Wamenkes sendiri tanpa
BPOM.

Penyalahgunaan kekuasaan seringkali terjadi di sistem kapitalis, kekuasaan dijadikan sebagai alat
untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan mendukung sesama meski merugikan orang lain. Ketakutan
akan hilangnya tenaritas di masyarakat membuat kapitalistik menggunakan kekuasaan dan
kewenangan mereka untuk melindungi tenaritas dan memenuhi tujuan mereka. Selama ada uang
maka aman. Itulah negeri kapitalis, tanda tangan satu orang membungkam semua fatwa. Hasilnya
masyarakat yang dirugikan lagi, mereka khawatir dan kalang kabut tentunya, membuat semakin fatal
akibatnya. Kita akan mencoba analisa kedepan, setelah kasus ini maka akan ada trauma diantara
masyarakat terkait sediaan obat bentuk sirup/suspensi/elixir/emulsi. Seharusnya tidak dilakukan
himbauan ataupun pernyataan yang membuat masyarakat menjadi panik, khawatir dan takut yang
kemudian timbul trauma. Karena masyarakat pasti akan bertanya kenapa? Dan setelah mereka tahu,
di kemudian hari setelah himbauan sementara ini dihilangkan maka masyarakat akan ber asumsi
bahwa obat oral dalam bentuk cair ini berbahaya bisa menyebabkan kerusakan ginjal dan kematian.
Padahal semua obat dan makanan di filtrasi di glomerulus ginjal, namun tidak semua menyebabkan
kerusakan pada ginjal. Lalu dengan asumsi masyarakat yang trauma tersebut apakah bisa
kembalikan kepercayaan kembali? Tidak mudah, karena kita ketahui bersama masyarakat tidak
semuanya mendapatkan pendidikan yang sama (iya karena sistem kapitalis tidak menjamin
pendidikan yang sama untuk semua warganya). Apakah jika anaknya sakit karena dengan trauma
tersebut kemudian tidak memberikan obat atau justru salah memberikan obat dalam bentuk yang
lain namun tidak sesuai dosis dan aturan? Bahaya juga kan? Apakah ini sebetulnya konspirasi agar
siapapun yang sakit harus pergi ke dokter dengan mengeluarkan biaya yang lebih (karena kesehatan
di negeri kapitalis tidak dijamin) padahal biasanya bisa swamedikasi dengan aman tanpa merogoh
kocek lebih dalam?

Semua sudah ada tupoksi dan kemampuannya masing-masing. Tidak seharusnya mengambil
kewenangan profesi lain demi keuntungan pribadi. Contoh saja, pendidikan kefarmasian atau
tentang obat-obatan hanya didapatkan mereka yang belajar di institusi kefarmasian yang belajar dan
menguasai semua tentang obat-obatan dari awal belum jadi obat hingga berubah jadi bentuk lain.
Seharusnya edukasi atau pemberian obat dilakukan oleh ahli tersebut (farmasi) bukan yang lain.
Contoh lain diagnosa, itu adalah ilmunya kedokteran maka yang berhak melakukan diagnosa adalah
dokter. Kesalahan penggunaan wewenang sebenarnya tidak akan terjadi jika sistem yang digunakan
adalah Islam bukan kapitalis yang berpegang kepada kebebasan. Di dalam Islam, menggunakan
kewenangan diluar kemampuan/keilmuan maka pasti akan mendapatkan sanksi karena
membahayakan umat. Dalam bidang kesehatan, Islam menjamin kesehatan setiap rakyatnya,
gratisss!!! Jadi, tenaga kesehatan tidak akan sampai melakukan tindakan diluar keahliannya demi
cuan, karena cuan didapatkan dari negara tanpa dzalim. Mau nanya kok bisa gratis?? Ya iya dong,
kan semua pembiayaan dan gaji tenaganya dari Baitul Mal, hartanya dari kekayaan negara. Seperti
minerba itu punya negara dikelola negara, hasilnya untuk rakyat tuh tadi.

Anda mungkin juga menyukai