PENDAHULUAN
Pada Bab pertama Pendahuluan berisi tentang latar belakang masalah, penjelasan
tentang produk halal, sertifikasi dan label halal produk di Indonesia, manfaat sertifikasi dan
label halal produk bagi konsumen dan produsen, penjelasan mengenai adanya potensi
kandungan bahan baku nonhalal pada produk makanan, minuman, obat-obatan dan
kosmetika, serta fenomena perilaku pembelian produk halal oleh konsumen muslim di
Indonesia. Di bab ini juga dijelaskan dasar penelitian terdahulu beserta perbedaan dan
pengembangannya, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian,
signifikansi penelitian, serta sistematika penulisan penelitian.
Kasus beredarnya produk nonhalal bukanlah hal baru di Indonesia. Di tahun 1988
masyarakat dikejutkan oleh hasil penelitian Dr. Tri Soesanto, dosen teknologi pangan
Universitas Brawijaya Malang, bersama sejumlah mahasiswanya yang menemukan 34 jenis
makanan dan minuman dipasaran yang mengandung lemak babi. Dalam perkembangannya,
dari hanya 34 jenis produk yang dinyatakan mengandung lemak babi, akibat rumor yang
meluas di masyarakat melebar menjadi ratusan, dan berimbas pula pada produk-produk yang
sebenarnya tidak mengandung bahan haram. Rumor beredarnya barang haram ini
mengakibatkan banyak pengusaha panik. PT. Food Specialties Indonesia, salah satu
perusahaan makanan olahan terbesar di Indonesia ketika itu, terpaksa mengeluarkan dana
hingga Rp 340 juta untuk mengiklankan diri bahwa produknya tidak haram. Sekjen
Departemen Agama saat itu, Tarmizi Taher, bersama tim MUI (Majelis Ulama Indonesia)
secara demonstratif minum susu di pabrik Dancow di Pasuruan untuk meredam keresahan
masyarakat. Yang terkena dampak sebenarnya bukan hanya produsen makanan dan rumah
tangga berskala nasional saja, tetapi juga industri kecil dan rumah tangga karena produk
mereka turut diboikot oleh konsumen muslim. Angka penjualan industri kecil dan rumah
tangga menurun drastis, akibatnya tidak hanya pada skala mikro, tetapi sudah mencapai
skala makro dimana ekonomi nasional ketika itu menjadi terguncang (Cha, 2008).
Ajaran Islam memandang bahwa bumi dan segala isinya adalah amanah Allah
kepada manusia sebagai khalifah dimuka bumi agar dipergunakan sebaik-baiknya untuk
kesejahteraan umat. Untuk mencapai kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat, Allah telah
memberikan petunjuk melalui para rasul-Nya yang meliputi segala hal yang dibutuhkan
manusia yang berlandaskan pada aspek akidah, akhlak dan syariah. Akidah dan akhlak
sebagai suatu sistem hidup bersifat konstan, artinya tidak mengalami perubahan meskipun
berbeda waktu , sedangkan syariah senantiasa berubah sesuai dengan kebutuhan dan taraf
peradaban manusia yang berbeda-beda (Antonio, 2006:38).
Kewajiban umat muslim untuk hanya mengkonsumsi produk halal adalah bagian dari
akidah, akhlak dan syariah. Akidah menekankan pada keyakinan atau keimanan kepada
Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan yang Maha Tinggi. Untuk mendapatkan ridha-Nya,
seorang muslim yang yakin dan beriman kepada Allah akan memilih mengkonsumsi produk
halal demi mempertahankan hidupnya sesuai batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh
Allah. Akhlak menekankan pada upaya seorang muslim untuk berakhlak mulia dalam
menjalankan kehidupannya sehari-hari dimana dengan mengkonsumsi produk halal, seorang
muslim akan memiliki akhlakul karimah (perilaku terpuji) serta terhindar dari akhlak
madzmumah (perilaku tercela). Syariah menekankan pada pelaksanakan ibadah dan
muamalah yang baik dan benar dengan memahami pokok-pokok hukum Islam dan tata cara
pelaksanaannya untuk kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam aspek
ibadah, manfaat utama mengkonsumsi produk halal adalah agar mendapat ridha Allah SWT
dan terhindar dari kehinaan di muka bumi. Sedangkan dalam aspek muamalah,
mengkonsumsi produk halal bermanfaat untuk menjaga kesehatan jasmani dan rohani demi
memperoleh keselamatan hidup di dunia dan akhirat.
Hal ini sejalan dengan metodologi Tawhidy String Relations (TSR) yang
dikemukakan oleh Choudhury (2006) yang menjelaskan bahwa tema hubungan sosial dalam
Islam sangat terkait dengan pesan utama dalam alQuran tentang ke-Esaan Allah, dimana
pengetahuan yang ada dalam alQuran memiliki kebenaran mutlak dan mencakup segala
kehidupan secara komprehensif. AlQuran diimplementasikan ke dalam perilaku nyata
Rasulullah SAW berupa Hadist yang menjadi sumber ilmu pengetahuan berikutnya.
AlQuran dan Hadist kemudian diturunkan ke dalam sistem dunia yang berlangsung dalam
Indonesia yang berpenduduk 237 juta jiwa dimana 85 persennya muslim merupakan
potensi pasar yang sangat besar bagi produk halal. Umumnya masyarakat mengenal produk
halal terbatas hanya pada makanan saja. Padahal jika dikaji lebih jauh, masih banyak
produk-produk halal lain seperti layanan perbankan dan keuangan syariah, sekolah, rumah
sakit, hotel, apartemen, salon, restoran, supermarket/ retailer, distributor, pergudangan/
warehouse, jasa pengiriman barang/ transporter, rumah pemotongan hewan, dan sebagainya
10
11
12
Dalam sistem perdagangan internasional masalah sertifikasi dan label halal mendapat
perhatian besar baik dalam rangka memberikan perlindungan terhadap konsumen umat
Islam di seluruh dunia maupun sebagai strategi dalam menghadapi tantangan globalisasi
terkait diberlakukannya sistem pasar bebas, seperti dalam kerangka ASEAN - AFTA,
NAFTA, ACFTA, Masyarakat Ekonomi Eropa, Organisasi Perdagangan Internasional
(WTO), dan lain-lain. Sistem perdagangan internasional sudah lama mengenal ketentuan
halal dalam CODEX yang didukung oleh organisasi internasional berpengaruh antara lain
WHO, FAO, dan WTO. Negara-negara produsen akan mengekspor produknya ke negara-
negara berpenduduk Islam seperti Indonesia. Dalam perdagangan internasional, sertifikasi
dan label halal telah menjadi salah satu instrumen penting untuk mendapatkan akses pasar
dan memperkuat daya saing produk domestik negara-negara anggota di pasar internasional
(Abadi dan Tim, 2011: 5-6).
Di Malaysia, kegiatan semacam sertifikasi halal telah dikembangkan sejak 1971.
Pada 1994, Malaysia yang mempunyai penduduk muslim sebesar 65 persen dari total
populasi (26 juta), mulai memperkenalkan sertifikasi dan label halal yang dikeluarkan oleh
Bahagian Hal Ehwal Islam. Saat ini sertifikasi halal ditangani oleh Jabatan Kemajuan Islam
Malaysia, lembaga resmi pemerintah yang bekerja dalam bidang dakwah (langsung di
bawah Perdana Menteri Malaysia). Divisi yang khusus menangani sertifikasi halal adalah
Divisi Poros Halal yang berfungsi melakukan bimbingan, pengawasan, dan penetapan halal
produk-produk pangan dan sembelihan di Malaysia. Di Singapura, yang penduduk
muslimnya lebih minoritas, pengaturan halal bahkan sudah dimulai sejak 1968. Sertifikasi
halal di Singapura dilakukan oleh Majelis Ulama Islam Singapura (MUIS) di bawah
Kementerian Pembangunan Masyarakat. Dalam urusan sertifikasi halal, MUIS bekerja sama
dengan Singapore Institute of Standard and Industrial Research. Secara normatif, masalah
halal di Singapura diatur dalam The Administration of Muslim Law Act (AMLA), yang
berlaku sejak 1968. Pelanggaran terhadap aturan ini adalah pidana, yaitu pidana denda
sebesar 10.000 dolar Singapura dan atau pidana kurungan selama 12 bulan. Di Australia,
13
14
15
16
17
Gambar 1.1
Diagram Alir Proses Sertifikasi Halal
18
19
20
21
22
Bagi konsumen muslim, manfaat sertifikasi dan label halal utamanya adalah untuk
mendapat kepastian dan jaminan bahwa suatu produk tidak mengandung sesuatu yang tidak
halal. Namun bukan hanya menjamin kehalalan kandungan produknya saja, tetapi juga
menjamin bahwa proses produksi yang dilakukan sudah sesuai dengan syariat Islam
sehingga produk tersebut aman untuk dikonsumsi atau digunakan (Bangkalan, 2013).
Dengan demikian, sertifikasi dan label halal produk memberikan kepastian bagi konsumen
muslim untuk dapat beribadat sesuai ajaran agamanya. Berdasarkan alQuran dan hadits
sebagai landasan utama hukum Islam dijelaskan bahwa bagi setiap muslim yang menjaga
dirinya untuk hanya mengkonsumsi atau menggunakan produk yang terjamin kehalalannya,
akan mendapat perlindungan dari Allah, bersinar agamanya, terjaga keimanan dan
ketaqwaannya kepada Allah, doa-doanya dikabulkan, memperoleh ketenangan jiwa, terjaga
kesehatan jasmani dan rohaninya, mulia akhlaknya, mampu menjalin hubungan yang
23
24
Gambar 1.2.
Label Halal MUI
LPPOM : 0000000000000
3. Untuk produk pangan olahan hasil industri kecil, lihat apakah ada nomor PIRT (Pangan
Indistri Rumah Tangga) atau nomor pendaftaran SP (Sertifikat Penyuluhan) yang
diberikan kepada pengusaha kecil dengan modal terbatas yang pengawasan diberikan
oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kodya, sebatas penyuluhan, jika ada perhatikan apakah
ada label halal MUI-nya. Jika, maka terjamin kehalalannya. Untuk produk ini konsumen
diminta lebih berhati-hati karena tidak sedikit pengusha kecil yang mencantumkan label
halal pada kemasan produknya meskipun belum memiliki sertifikat halal MUI. Hal ini
kerap terjadi karena kekurangpahaman pengusaha kecil tentang ketentuan sertifikasi dan
pencantuman label halal yang berlaku di Indonesia. Konsumen sebaiknya
menanyakannya langsung ke penjual atau jika meragukan sebaiknya dihindari.
4. Daftar produk halal yang telah memiliki sertifikat halal resmi dari MUI dan berhak
mencantumkan label halal pada kemasan produknya dapat dilihat di Jurnal Halal atau di
website LPPOM MUI (http://www.halalmui.org/newMUI/index.php/main/ ceklogin_
halal/produk_halal_masuk/1309).
25
Menurut Sugijanto, Ketua Umum LPPOM MUI Jawa Timur dalam seminar nasional
Kehalalan Pangan 2010 di Jember , manfaat sertifikasi dan label halal produk bagi produsen
terletak pada aspek moral dan aspek bisnis. Pada aspek moral, merupakan bentuk
pertanggungjawaban produsen kepada konsumen. Sedangkan pada aspek bisnis, merupakan
sarana pemasaran yang dapat meningkatkan kepercayaan dan kepuasan konsumen
(Cardilach, 2012). Dengan kata lain, sertifikasi dan label halal produk dapat meningkatkan
peluang bisnis, kepercayaan dan loyalitas konsumen, baik di dalam maupun di luar negeri.
Sertifikasi dan label halal produk membuka peluang ekspor yang sangat luas, baik ke
negara-negara muslim maupun ke seluruh penjuru dunia. Ketika sertifikat halal yang
dimiliki produsen dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi halal yang diakui dunia seperti
LPPOM MUI, produk tersebut telah menjadi produk global yang memiliki keunggulan
kompetitif yang akan membuka peluang diterimanya produk-produk tersebut ke dalam
komunitas konsumen produk halal di seluruh dunia.
Manfaat bagi produsen yang telah mensertifikasi dan melabelisasi halal produknya
antara lain adalah:
1. Memberikan ketenangan dalam berproduksi
2. Memberikan jaminan halal yang dapat menentramkan konsumen
3. Meningkatkan kepercayaan konsumen
4. Meningkatkan loyalitas konsumen
5. Meningkatkan citra produk
6. Memiliki keunggulan kompetitif
7. Memiliki unic selling product
8. Luasnya peluang pemasaran di pasar domestik dengan target pasar utama 202 juta
penduduk muslim di Indonesia
9. Meningkatkan market share produk lokal halal yang masih sangat luas di Indonesia
10. Biaya sertifikasi halal di Indonesia yang tergolong terjangkau menjadikannya aset yang
berharga dan menguntungkan dengan biaya investasi yang terjangkau
11. Berpeluang mengekspansi pasar ke negara-negara muslim di dunia
26
27
28
29
30
1.4. Potensi Kandungan Bahan Baku Non Halal Pada Produk Makanan, Minuman,
Obat-obatan dan Kosmetika
31
32
33
Dalam Bisnis Indonesia (Sihombing, 20/01/2011:6) diberitakan bahwa potensi pasar produk
halal dunia diperkirakan mencapai US$2,1 triliun per tahun, dimana, konsumsi makanan
halal diprediksi melebihi rata-rata per tahun yang mencapai US$666,7 miliar. Nadzri
Shamsudin kepada Bisnis Indonesia (Sihombing, 20/01/2011: 6) mengungkapkan bahwa
34
Tabel 1.1
Data Ekspor Produk Dan Jasa Halal Malaysia
Ke Negara-negara OKI (Organisasi Konferensi Islam)*
Makanan Olahan (RM 2,85 juta **) Obat-obatan Dan Farmasi (RM 175,3 juta)
Indonesia 25% Brunei Darussalam 43,4%
Irak 15,2% Nigeria 14,4%
Brunei Darussalam 8,6% Suriah 7,3%
Uni Emirat Arab 7,5% Iran 4,3%
Arab Saudi 6%
* Data 2009, dari total keseluruhan ekspor ke negara-negara OKI
**26,5% dari keseluruhan total ekspor makanan olahan
Sumber: Malaysia External Trade Development Corporation dalam Sihombing (Bisnis Indonesia, 20/01/11:; 6)
Nadzri mengungkapkan, salah satu pasar besar produk halal Malaysia adalah UK
(United Kingdom). Penduduk non muslim UK justru yang lebih banyak yang mencari
produk halal karena mereka yakin kebersihannya terjamin. Label halal di banyak negara
pada dasarnya adalah jaminan higienitas dan kualitas tinggi sehingga konsumen nonmuslim
di dunia juga mencari produk dengan label halal. Data The Third Industrial Master Plan
2006-2020, Ministry of International Trade and Industry (MITI) Malaysia menunjukkan
bahwa daya beli produk halal penduduk muslim Prancis (yang berdasarkan data Pew
Research Center Report of Mapping The Global Muslim Population, Oktober 2009,
berjumlah 3,554 juta jiwa) setara dengan daya beli produk halal penduduk muslim Indonesia
( 208,8 juta jiwa) ditambah Malaysia (16,6 juta jiwa), Filipina (4,7 juta jiwa), dan Thailand
(3,9 juta jiwa), lihat Tabel 1.2.
Besarnya daya beli masyarakat Prancis terhadap produk halal disebabkan oleh
meluasnya pangsa pasar produk halal di seluruh dunia yang tidak hanya terpaku pada nilai
ke-Islamannya saja, tetapi juga dipercaya telah melalui proses pembuatan dengan standar
yang baik sehingga lebih aman untuk dikonsumsi. Data yang sama (Tabel 1.2) mencatat,
36
Tabel 1.2
Fakta Pasar Produk Halal
1. Nilai pendapatan global produk halal per tahun US$2,1 triliun
2. Konsumsi makanan halal di seluruh dunia US$666,7 juta
3. Sekitar 75% impor daging ayam Prancis dari Malaysia adalah halal*
4. Hampir 30% ekspor daging sapi tanpa tulang Brazil adalah halal dengan Mesir dan Iran
sebagai pembeli utama***
5. Daya membeli muslim Prancis hampir sama dengan daya beli muslim Indonesia ditambah
Malaysia, Filipina dan Thailand*
6. Arab Saudi adalah pasar terbesar untuk produk food and beverages dan pasar produk
halalnya diperkirakan mencapai US$5 juta setiap tahunnya**
7. Penelitian menunjukkan 75% muslim Inggris menginginkan layanan perbankan yang
memenuhi syariah tetapi menguntungkan****
* The Third Industrial Master Plan 2006-2020, Ministry of International Trade and Industry Malaysia
** Malaysia External Trade Development Corporation (indikasi sebagai produk survei pasar)
*** Jurnal Halal, www.halaljournal.com
**** Spotlighting Europe's Muslim consumers – Euromonitor International
Sumber: Sihombing (Bisnis Indonesia, 20 Januari 2011: hal.6)
37
38
Selain dilatar belakangi penelitian Kasali (1998), Triharja (2003), Fronteir (2001),
Sukmawati (2006), dan data-data yang dikemukakan LPPOM MUI tahun 2009-2011 (dalam
Chalik dan Akbar, 2011), The Third Industrial Master Plan 2006-2020, Ministry of
International Trade and Industry (MITI) Malaysia, Malaysia External Trade Development
Corporation, Jurnal Halal LPPOM MUI, dan Europe's Muslim consumers-Euromonitor
International (Sihombing, Bisnis Indonesia 20/01/2011:6, lihat Tabel 1.2) yang telah
dikemukakan di atas, penelitian ini juga dilatarbelakangi oleh penelitian yang pernah
penulis lakukan sebelumnya (Aisyah, 2004) mengenai pengaruh labelisasi halal terhadap
keputusan pembelian konsumen yang mengaplikasikan Theory of Reasoned Action. Teori
39
40
Tabel 1.3
Tahap-tahap Perkembangan Sosialisasi Individu
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif yang dapat
membantu meningkatkan pemasaran produk-produk berlabel halal di Indonesia, melalui
konsep pemasaran strategis yang mengedukasi masyarakat, baik muslim maupun non
muslim, dalam rangka meningkatkan kepedulian dan pemahaman masyarakat akan
keunggulan produk-produk berlabel halal. Dengan mengetahui lingkungan eksternal
keagamaan mana yang mempengaruhi secara signifikan kecenderungan konsumen membeli
produk berlabel halal, khususnya poduk makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetika
yang berlabel halal, serta mengetahui ada tidaknya perbedaan kecenderungan membeli
antara konsumen berlatar belakang pendidikan Islam dengan Umum, diharapkan dapat
membantu lembaga sertifikasi halal LPPOM MUI pada khususnya, dan instansi-instansi
terkait lainnya seperti Badan POM, Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan,
52
53
54
55
56
57
58