Anda di halaman 1dari 58

BAB I.

PENDAHULUAN

Pada Bab pertama Pendahuluan berisi tentang latar belakang masalah, penjelasan
tentang produk halal, sertifikasi dan label halal produk di Indonesia, manfaat sertifikasi dan
label halal produk bagi konsumen dan produsen, penjelasan mengenai adanya potensi
kandungan bahan baku nonhalal pada produk makanan, minuman, obat-obatan dan
kosmetika, serta fenomena perilaku pembelian produk halal oleh konsumen muslim di
Indonesia. Di bab ini juga dijelaskan dasar penelitian terdahulu beserta perbedaan dan
pengembangannya, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian,
signifikansi penelitian, serta sistematika penulisan penelitian.

1.1. Latar Belakang Masalah

Kasus beredarnya produk nonhalal bukanlah hal baru di Indonesia. Di tahun 1988
masyarakat dikejutkan oleh hasil penelitian Dr. Tri Soesanto, dosen teknologi pangan
Universitas Brawijaya Malang, bersama sejumlah mahasiswanya yang menemukan 34 jenis
makanan dan minuman dipasaran yang mengandung lemak babi. Dalam perkembangannya,
dari hanya 34 jenis produk yang dinyatakan mengandung lemak babi, akibat rumor yang
meluas di masyarakat melebar menjadi ratusan, dan berimbas pula pada produk-produk yang
sebenarnya tidak mengandung bahan haram. Rumor beredarnya barang haram ini
mengakibatkan banyak pengusaha panik. PT. Food Specialties Indonesia, salah satu
perusahaan makanan olahan terbesar di Indonesia ketika itu, terpaksa mengeluarkan dana
hingga Rp 340 juta untuk mengiklankan diri bahwa produknya tidak haram. Sekjen
Departemen Agama saat itu, Tarmizi Taher, bersama tim MUI (Majelis Ulama Indonesia)
secara demonstratif minum susu di pabrik Dancow di Pasuruan untuk meredam keresahan
masyarakat. Yang terkena dampak sebenarnya bukan hanya produsen makanan dan rumah
tangga berskala nasional saja, tetapi juga industri kecil dan rumah tangga karena produk
mereka turut diboikot oleh konsumen muslim. Angka penjualan industri kecil dan rumah
tangga menurun drastis, akibatnya tidak hanya pada skala mikro, tetapi sudah mencapai
skala makro dimana ekonomi nasional ketika itu menjadi terguncang (Cha, 2008).

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
Kasali (1998) menjelaskan, kurangnya pengetahuan pemasar tentang bagaimana
mengatasi rumor yang berkembang di masyarakat pada tahun 1988 turut menimbulkan
ketidakstabilan ekonomi dan politik di Indonesia. Rumor lemak babi yang berkembang telah
membuat panik masyarakat dan produsen makanan di Indonesia, karena bagi masyarakat
muslim sebagai kalangan mayoritas, halal haramnya makanan merupakan permasalahan
yang sensitif, meskipun pada kenyataannya sebagian besar pemasar lebih memilih untuk
tidak melakukan tindakan apapun dalam menanggapi rumor tersebut. Citra positif
perusahaan pada dasarnya dapat memperlemah atau mengurangi rumor yang berkembang,
namun respon masyarakat tidak hanya dipengaruhi reputasi perusahaan semata, tetapi juga
pesan dan alasan yang disampaikan perusahaan dalam usaha menyangkal rumor tersebut,
misalnya melalui pernyataan-pernyataan di media massa oleh asosiasi produsen yang
didukung pakar teknologi pangan terkenal dan instansi pemerintah terkait yang turut
menginformasikan pesan-pesan atau alasan-alasan yang jelas dan relevan untuk
mengalihkan persepsi masyarakat agar lebih bijak dalam menanggapi rumor sebelum
mengetahui kebenarannya. Menurut Kasali (1998), semakin penting rumor itu bagi subyek
atau suatu masyarakat, semakin besar pula pengaruh psikologinya, apalagi yang berkaitan
dengan konsep keagamaan.
Pada tanggal 1 Juni 2009, Kepala Badan POM (Pengawasan Obat dan Makanan)
ketika itu, Husniah Rubiani Thamrin Akib, mengumumkan ditemukannya DNA babi pada
empat produk dendeng sapi kemasan dengan merek Dua Daun Cabe, Brenggolo, Brenggolo
Giling, dan Dua Dinar Bandung, di salah satu gerai Carrefour di Bandung. Label halal yang
melekat dikemasan produk dinyatakan palsu. Produk yang sama kemungkinan beredar juga
di cabang Carrefour lain di luar Bandung, di toko-toko serba ada, dan di pasar-pasar
tradisional lainnya (Nel, 2009). Patria (2001) menjelaskan, masyarakat Indonesia
sebelumnya juga pernah dikejutkan dengan dikeluarkannya Fatwa MUI tanggal 16
Desember 2000 yang menyatakan produk MSG Ajinomoto haram karena menggunakan
bahan pendukung bacto soytone yang mengandung enzim babi. PT. Ajinomoto mengaku
telah mengganti polypeptone yang biasa diekstrasi dari daging sapi dengan bactosoytone
yang diekstrasi dari daging babi karena lebih ekonomis untuk produk MSG yang diproduksi
sejak bulan Juni hingga 23 November 2000. Menurut PT. Ajinomoto, secara ilmiah ekstrasi
daging babi yang digunakan hanyalah sebagai medium dan tidak berhubungan dengan
produk akhir. Meskipun secara ilmiah enzim babi itu tidak terbawa pada produk akhir

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
Ajinomoto, namun menurut MUI karena adanya pemanfaatan (intifa') zat haram dalam
proses produksi, maka produk akhirnya pun tetap haram. Ketika informasi mengenai
ketidakhalalan produk MSG Ajinomoto tersebut menyebar, masyarakat secara serempak
berhenti mengkonsumsi, membeli atau menjual produk tersebut, bahkan tukang baso
keliling dan warung-warung di kampung sekalipun tidak lagi mau menggunakan atau
menjual produk tersebut dan tanpa ragu menggantinya dengan produk lain yang jelas
kehalalannya. Menyikapi hal ini, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian
Perdagangan RI, memutuskan untuk menarik seluruh produk MSG Ajinomoto dari pasaran.
Guna meredam keresahan masyarakat, PT.Ajinomoto akhirnya menyampaikan permohonan
maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia melalui siaran pers nasional serta mengumumkan
penarikan produk MSG Ajinomoto secara serentak di seluruh Indonesia yang jumlahnya
mencapai 10 ribu ton. Setelah proses penarikan selesai, stok baru hanya akan dipasarkan
setelah mendapat sertifikat halal yang baru dari MUI. Akibat kasus ini, PT.Ajinomoto
terpaksa memberi ganti-rugi pedagang total hingga Rp 55 milyar (Patria, 2001).
Pada akhir tahun 2012 lalu, masyarakat Jakarta kembali dihebohkan oleh adanya
kasus pengoplosan daging sapi dengan daging celeng (babi hutan) di tempat penggilingan
daging sapi di Pasar Cipete Jakarta Selatan. Tersangka, Eka Prasetia, mengaku sudah tiga
tahun lamanya melakukan praktek curang ini demi meraup keuntungan besar. Ia
menghabiskan rata-rata 20 kg daging celeng setiap hari. Campuran daging yang sudah
digiling halus dijual langsung ke pelanggan yang kebanyakan pedagang bakso. Setelah
polisi menggelar operasi pasar bersama Badan POM, Suku Dinas Peternakan, dan PD Pasar
Jaya, belakangan ditemukan produk bakso olahan yang mengandung daging babi telah
beredar luas disejumlah pasar, salah satunya adalah produk bakso kemasan dengan merek
“Planitaria 56”. Di Jakarta Selatan ditemukan lima sampel bakso yang mengandung babi.
Para penjualnya adalah korban Eka. Eka kini mendekam di tahanan Kepolisian Resor
Jakarta Selatan. Ia dijerat diantaranya dengan pasal pengelabuan pada Undang-Undang No.8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan diancam hukuman 5 tahun penjara dan
denda Rp 1 miliar. (Pertiwi dan Putri dalam Koran Tempo, 20/12/2012: A2).
Setelah berita kasus pengoplosan daging celeng di Pasar Cipete tersebar di media,
Kepala Dinas Peternakan, Pertanian dan Perikanan Kota Depok, Zalfinus Irwan mengaku,
pihaknya sudah lebih dulu menemukan kasus serupa di Depok. Namun, kasus itu ia
tindaklanjuti secara diam-diam dengan alasan tidak ingin menciptakan keresahan di tengah

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
masyarakat. Sama seperti di Pasar Cipete, para pelaku hanyalah penjual, bukan pemasok
(Tirta dan Syailendria dalam Koran Tempo, 21/12/2012:C2). Dari tiga orang tersangka
pelaku yang ditangkap di Depok, terungkap bahwa pasokan daging babi yang ditemukan di
Depok berasal dari Cipete. Pelaku menyuplai daging babi ke Depok melalui pemasok untuk
kemusian dijual kembali berupa bakso. Di Jakarta Utara, dari sembilan pasar yang tersebar
di enam kecamatan berhasil mengumpulkan 92 sampel dimana dari 30 sampel ada satu
sampel yang terindikasi positif mengandung daging babi (Mardianingsih dalam Republika,
21/12/2012:10). Temuan beredarnya daging sapi yang dioplos dengan daging babi di
beberapa daerah di Jakarta dan Depok membuat omzet pedagang bakso anjlok hingga 50
persen. Ketua Umum Asosiasi Pedagang Mi dan Bakso Indonesia (Apmiso)
mengungkapkan, rata-rata omzet pedagang bakso turun dari Rp 300 ribu menjadi Rp 150
ribu per hari. Untuk mengatasi agar tak semakin buruk, Apmiso bekerjasama dengan
pemerintah daerah menggelar inspeksi mendadak di sejumlah tempat penggilingan daging.
Turunnya omzet pedagang bakso memaksa pedagang mengurangi pesanan daging, akibatnya
turut berimbas pada turunnya omzet pedagang daging sapi. Tholib, pedagang daging sapi di
Pasar Kemirimuka Beiji Depok mengaku, rata-rata omzetnya turun dari Rp 3 juta menjadi
Rp 1 juta per hari (Murdianingsih dalam Republika, 21/12/2012:10).
Sementara itu, Kepolisian Daerah Metro Jaya pada 20 Desember 2012 juga
mendapat laporan tentang dijualnya sepatu yang terbuat dari kulit babi. Sang pelapor adalah
Winarto, seorang karyawan di satu badan usaha milik daerah di Jakarta. Ia dan temannya,
Beni membeli sepasang sepatu merek Kickers yang didiskon 50% di pusat perbelanjaan di
bilangan Senayan. Belakangan Beni menyadari bahwa pada sepatu yang ia beli terdapat
tulisan pig skin lining yang berdampingan dengan label halal MUI. Ia lalu menghubungi
MUI untuk mengklarifikasi label halal itu. Setelah diteliti, MUI menyampaikan kebenaran
laporan tersebut (Hafil dalam Republika, 21/12/2012: 1). MUI menegaskan bahwa pihaknya
tidak pernah dan tidak akan pernah memberikan rekomendasi atau sertifikasi halal untuk
produk yang jelas-jelas haram atau najis seperti sepatu yang terbuat dari kulit babi. MUI
kemudian meminta produsen sepatu itu untuk menarik produknya dari pasar. Mengacu pada
banyaknya pengaduan masyarakat, MUI meyakini bahwa di pasaran banyak produk gunaan
berbahan kulit babi yang tidak diinformasikan secara jelas oleh pedagang atau pemilik
merek. Seirng dengan derasnya kran impor atas produk gunaan dari luar, terutama dari Cina,
maka potensi beredarnya produk gunaan berbahan kulit babipun semakin besar, padahal

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
menurut syariat (hukum) Islam, babi dan turunannya adalah haram dikonsumsi dan najis
digunakan sebagai barang gunaan (Mahmud, 2013a:7).
Ketua MUI, Ma‟ruf Amin mengaku, lembaganya kesulitan mengawasi halal-
tidaknya produk-produk makanan, minuman, obat-obatan, kosmetika dan produk-produk
gunaan lain yang beredar di pasaran. Karena pengajuan sertifikat halal di Indonesia masih
bersifat sukarela, pihaknya hanya bisa melakukan kontrol terhadap produsen yang telah
mengajukan sertifikasi halal MUI saja. Menurutnya, pengawasan terhadap proses produksi
merupakan wewenang pemerintah, MUI hanya melakukan audit, melakukan sertifikasi, lalu
mengawasi produsen yang telah mengajukan sertifikasi halal MUI tersebut. Senada dengan
itu, Kepala Badan POM (Pengawas Obat dan Makanan), Lucky S.Slamet mengatakan, tugas
lembaganya hanya melakukan razia terhadap produk pangan dalam bentuk olahan yang
tidak layak dikonsumsi, seperti produk olahan makanan dan minuman dalam kemasan yang
kadaluarsa. Sedangkan untuk bahan pangan yang belum diolah, seperti daging sapi, fungsi
Badan POM hanya menjadi sistem pendukung bagi instansi terkait. Lucky menjelaskan,
pengawasan terhadap produk segar seperti daging dilakukan Badan POM bersama Dinas
Pemerintah yang merupakan sektor terdepan untuk pengawasan (Savitri dkk. dalam Koran
Tempo, 20/12/2012: A7). Menurut Damhuri (Republika, 21/12/2012:10), fungsi
pengawasan rutin dan inspeksi mendadak kurang berjalan efektif di Indonesia. Bahkan
kegiatan inspeksi mendadak ini biasanya baru dijalankan oleh instansi pemerintah terkait
jika ada kasus yang muncul. Tragisnya, pemerintah dan otoritas ulama tidak mampu berbuat
apa-apa kecuali reaktif dan terkejut. Akibat kejahatan peredaran produk nonhalal di
masyarakat tidak hanya berdampak ekonomis, tetapi juga mengganggu ke-Islaman
konsumen muslim. Hendaknya pemerintah dan instansi terkait bersama MUI segera
membuat aksi-aksi yang mendidik terkait hal ini. Pedagang kecil dan menengah harus
diedukasi perihal makanan sehat, halal, aman dan tidak merugikan konsumen. Produsen
harus diawasi ketat dalam proses produksi. Penyelidikan rutin dan inspeksi mendadak
diperlukan setiap waktu untuk mengetahui ada tidaknya produsen atau pedagang yang
berlaku curang.
Setifikasi halal yang diterbitkan MUI memang belum sepenuhnya efektif dalam
memberikan perlindungan kepada umat Islam karena hanya bersifat sukarela. Dengan
adanya Undang-Undang Jaminan Produk Halal (JPH) akan menjadi payung hukum yang
kuat untuk memberikan mandat kepada pemerintah dalam mengatur kehahalan produk.

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
Sejak diajukan tahun 2008, Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal ( RUU JPH)
hingga kini masih diproses di Komisi VIII DPR yang rencananya akan segera disahkan pada
akhir tahun 2013. MUI berharap pembuatan sertifikasi halal bagi pelaku usaha tak lagi
bersifat sukarela, tetapi wajib. Persoalan ini memang masih menjadi ganjalan bagi
pengesahan RUU JPH. Ketua Panja RUU JPH, Ledia Hanifa Amaliah mengatakan,
masyarakat perlu memperoleh jaminan bahwa produk yang mereka konsumsi halal.
Pemerintah sudah seharusnya mendorong pengusaha menjamin kehalalan produknya. Ia
berpendapat, sangatlah wajar bila konsumen muslim mempermasalahkan soal kehalalan
produk karena terkait dengan keyakinan agama (Nursalikah dalam Republika, 4/9/2013: 25).
Persoalan halal haramnya suatu produk bersifat sangat sensitif karena menyangkut
persoalan iman dan kepercayaan individual dimana adalah wajar bila di Indonesia yang
mayoritas masyarakatnya beragama Islam, kasus ketidakhalalan produk dapat menimbulkan
reaksi keras dan berpotensi menimbulkan gejolak yang berpengaruh pada aspek sosial,
politik dan ekonomi. Triharja (2003) telah melakukan penelitian untuk mengetahui seberapa
besar masyarakat muslim di Indonesia memperhatikan produk halal, dan jawaban secara
kualitatif adalah sangat besar. Triharja (2003) bersama Lembaga Pengkajian Pangan, Obat
dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) dan Yayasan Halalan Thoyyiban
melakukan penelitian dengan mewawancarai secara acak masyarakat di daerah Jakarta,
Depok dan Bogor sebanyak 500 responden. Untuk mengetahui seberapa besar umat Islam
Indonesia memperhatikan produk halal untuk kebutuhannya sehari-hari, hasil survey
penelitian menunjukkan 87% masyarakat mempertimbangkan kehalalan produk sebelum
membelinya, 4% tidak mempertimbangkan dan 9% tidak tahu. Masyarakat yang menjawab
mempertimbangkan, mengaku bahwa halal selalu menjadi pertimbangan utama sebelum
membeli produk. Untuk pertanyaan seberapa besar keaktifan masyarakat dalam mencari
informasi atau keterangan kehalalan suatu produk, dari 500 responden, 63% aktif mencari
informasi halal, 23% tidak dan 14% tidak tahu. Pada kenyataannya, produk-produk di
pasaran baru sekitar 20%-nya saja yang sudah mendapat sertifikat halal dari MUI sehingga
masyarakat menghadapi kesulitan dalam memilih produk yang dijamin halal. Dari 500
responden, 78% membutuhkan adanya info dan daftar produk halal yang up to date. Ketika
ditanya apakah setuju label halal wajib dipasang pada kemasan produk, masyarakat
memberikan respon, 91% sangat setuju adanya label halal pada setiap kemasan. Sementara
sisanya 9% menyatakan setuju. Ini menunjukkan label halal adalah satu-satunya ciri untuk

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
memudahkan masyarakat dalam membeli produk halal. Jadi pelabelan halal pada kemasan
produk yang sudah mendapat sertifikat halal menjadi suatu keharusan. Triharja (2003)
menyimpulkan bahwa tingkat kepedulian dan perhatian masyarakat terhadap informasi
produk halal cukup tinggi dan sebagian besar masyarakat mengandalkan label halal untuk
memastikan produk yang dibelinya itu halal.
Hasil penelitian Triharja (2003) tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian
sebelumnya yang dilakukan lembaga riset Fronteir (2001), dimana sebanyak 57.9%
konsumen selalu memperhatikan label halal ketika membeli, 86% menginginkan
pencatuman label halal diwajibkan. Bila mendapatkan makanan yang tidak berlabel halal,
66.2% konsumen memilih mencari alternatif lain sebagai pengganti dan 40.6% konsumen
bersedia membayar lebih mahal untuk produk halal. Menurut Apriyantono (2003), meskipun
tingkat kepedulian dan perhatian masyarakat terhadap informasi produk halal cukup tinggi,
banyak kalangan di masyarakat yang menilai kurangnya kontrol pemerintah dalam
mengawasi produk halal yang beredar di pasar. Sebagian besar konsumen mengandalkan
label halal untuk memastikan produk yang dibeli itu halal. Meningkatnya kesadaran
masyarakat akan pentingnya label halal merupakan tantangan yang harus direspon oleh
pemerintah dan pelaku usaha di Indonesia. Meskipun kebijakan di Indonesia tidak
mewajibkan pelaku usaha untuk mencantumkan label halal pada kemasan produk dan
pengajuan sertifikasi halal hanya bersifat sukarela, namun banyak pelaku usaha yang
menyadari bahwa produk halal memiliki keunggulan tersendiri, dari segi keamanan dan
potensi pasar, baik di dalam negeri maupun untuk alasan ekspor.
Di Amerika, tidak sedikit peternak yang mencium peluang bisnis daging bersertifikat
halal. Rumah pemotongan bersertifikat halal mulai tumbuh menjamur. Seorang peternak di
Maryland bernama Joe Cole telah menyadari peluang bisnis pemotongan daging halal di
Amerika. Cole beralih dari rumah pemotongan konvensional menjadi rumah pemotongan
hewan bersertifikat halal dan mulai mempekerjakan ahli memotong hewan dari Pakistan.
Salah seorang konsumen Cole bernama Said Hagar Farhat mengaku senang dengan
kecenderungan positif bisnis daging halal di Amerika. Farhat yakin bisnis ini bisa
berkembang pesat. Farhat menilai setiap muslim di Amerika mengidamkan kemudahan
mencari daging halal tanpa harus bersusah payah memotong sendiri. Di Prancis dan Inggris,
umat Islam yang menetap di dua negara tersebut mulai dimanjakan dengan keberadaan
produk halal lainnya. Sebuah restoran cepat saji terkenal di Prancis bahkan mulai

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
mengekspansi produk halal di setiap gerainya. Berdasarkan data jurnal halal di Kuala
Lumpur, dalam 10 tahun terakhir, pasar makanan halal dunia sudah bernilai sekitar 632
miliar dolar AS per tahunnya. Menurut perhitungan majalah Time, nilai pasar makanan halal
dunia itu setara dengan 16 persen dari total industri makanan di seluruh dunia (Sasongko
dan Rachman, 2010).
Menurut Girindra (2001), dalam menghadapi globalisasi ekonomi, labelisasi halal
makin diperlukan untuk menangkis saingan dari luar. Pasar dalam negeri sudah dibanjiri
oleh produk luar negeri yang berlabel halal, sementara produk-produk Indonesia yang
diekspor ke beberapa negara yang berpenduduk mayoritas muslim tidak dapat diterima
karena tidak mencantumkan label halal. Jaminan kehalalan resmi dari lembaga yang
dipercaya jelas dikehendaki pasar negar-negara Islam dan masyarakat muslim dunia yang
berjumlah lebih dari seperempat penduduk bumi (1 milyar). Selama ini banyak produk-
produk Indonesia yang terhambat menembus pasar tersebut karena masih diragukan
kehalalannya. Kondisi ini menimbulkan kecenderungan bagi produsen untuk mendirikan
pabrik di Malaysia dan Singapura untuk sekedar memperoleh sertifikat dan label halal dari
pemerintah yang bersangkutan. Dengan diberlakukannya era persaingan bebas seperti AFTA
2003, CODEX Allimentarius Commission (Standarisasi dan Regulasi Produk Makanan di
antara negara-negara ASEAN) yang didukung WHO dan WTO telah memberlakukan dan
mencantumkan ketentuan halal (Girindra, 2001).
Adanya label halal pada kemasan produk tidak hanya dapat memberikan ketentraman
batin bagi konsumen muslim, tetapi juga ketenangan berproduksi bagi produsen. Maraknya
kasus produk nonhalal yang beredar di Indonesia memaksa masyarakat muslim di negeri ini
untuk lebih berhati-hati dalam memilih produk sebelum memutuskan untuk membeli atau
mengkonsumsinya, salah satunya dengan cara melihat label halalnya. Ajaran Islam
mewajibkan umatnya untuk hanya mengkonsumsi produk halal. Islam sangat
memperhatikan kebaikan, kesehatan dan kesejahteraan umatnya dimana salah satu hal yang
dapat mempengaruhi keadaan tubuh manusia baik langsung maupun tidak langsung adalah
makanan dan minuman. Makanan dan minuman yang halal dan thayyib (baik) bermanfaat
bagi kesehatan tubuh dan kehidupan manusia. Oleh karena itu, masalah makanan dan
minuman mendapat perhatian besar dalam Islam.

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
1.2. Mengkonsumsi Produk Halal Dalam Pandangan Islam

Ajaran Islam memandang bahwa bumi dan segala isinya adalah amanah Allah
kepada manusia sebagai khalifah dimuka bumi agar dipergunakan sebaik-baiknya untuk
kesejahteraan umat. Untuk mencapai kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat, Allah telah
memberikan petunjuk melalui para rasul-Nya yang meliputi segala hal yang dibutuhkan
manusia yang berlandaskan pada aspek akidah, akhlak dan syariah. Akidah dan akhlak
sebagai suatu sistem hidup bersifat konstan, artinya tidak mengalami perubahan meskipun
berbeda waktu , sedangkan syariah senantiasa berubah sesuai dengan kebutuhan dan taraf
peradaban manusia yang berbeda-beda (Antonio, 2006:38).
Kewajiban umat muslim untuk hanya mengkonsumsi produk halal adalah bagian dari
akidah, akhlak dan syariah. Akidah menekankan pada keyakinan atau keimanan kepada
Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan yang Maha Tinggi. Untuk mendapatkan ridha-Nya,
seorang muslim yang yakin dan beriman kepada Allah akan memilih mengkonsumsi produk
halal demi mempertahankan hidupnya sesuai batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh
Allah. Akhlak menekankan pada upaya seorang muslim untuk berakhlak mulia dalam
menjalankan kehidupannya sehari-hari dimana dengan mengkonsumsi produk halal, seorang
muslim akan memiliki akhlakul karimah (perilaku terpuji) serta terhindar dari akhlak
madzmumah (perilaku tercela). Syariah menekankan pada pelaksanakan ibadah dan
muamalah yang baik dan benar dengan memahami pokok-pokok hukum Islam dan tata cara
pelaksanaannya untuk kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam aspek
ibadah, manfaat utama mengkonsumsi produk halal adalah agar mendapat ridha Allah SWT
dan terhindar dari kehinaan di muka bumi. Sedangkan dalam aspek muamalah,
mengkonsumsi produk halal bermanfaat untuk menjaga kesehatan jasmani dan rohani demi
memperoleh keselamatan hidup di dunia dan akhirat.
Hal ini sejalan dengan metodologi Tawhidy String Relations (TSR) yang
dikemukakan oleh Choudhury (2006) yang menjelaskan bahwa tema hubungan sosial dalam
Islam sangat terkait dengan pesan utama dalam alQuran tentang ke-Esaan Allah, dimana
pengetahuan yang ada dalam alQuran memiliki kebenaran mutlak dan mencakup segala
kehidupan secara komprehensif. AlQuran diimplementasikan ke dalam perilaku nyata
Rasulullah SAW berupa Hadist yang menjadi sumber ilmu pengetahuan berikutnya.
AlQuran dan Hadist kemudian diturunkan ke dalam sistem dunia yang berlangsung dalam

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
kehidupan manusia secara terus menerus melalui proses pembelajaran yang disebut dengan
shuratic process. Shuratic process menunjukkan adanya proses interaktif, integratif dan
pengalaman pembelajaran yang evolusioner, yang timbul dari interrelasi hukum Islam
dengan sistem dunia yang bersifat konsultatif dan dinamis, yang berlangsung terus menerus
hingga hari akhir. Dengan kata lain, sistem Islam selalu mengaitkan antara dunia dan akhirat
secara terintegrasi (Harahap, 2008), termasuk masalah mengkonsumsi produk halal yang
bagi umat Islam bertujuan untuk mendapatkan keselamatan hidup di dunia dan akhirat.
Menurut Husaini (2013:19), tujuan pengamalan ajaran-ajaran agama pada
hakekatnya didasari oleh konsep ilahiah. Konsep ilahiah dalam Islam tertera jelas dalam
pondasi dasar Islam yaitu rukun iman dan rukun Islam sebagai aspek keimanan dan ibadah
dalam kaitan hubungan manusia dengan Tuhannya (hablumminallah). Dari konsep ilahiah
inilah lalu dijabarkan konsep-konsep lainnya seperti konsep tentang manusia, kenabian,
alam dan lain-lain sebagai aspek muamalah dalam kaitan hubungan manusia dengan sesama
(hablumminannas). Sejalan dengan fungsi dan keyakinan manusia menurut ajaran Islam,
maka perilaku seorang muslim yang diharapkan adalah manusia yang memiliki perilaku
hablumminallah dan hablumminannas, yang tercermin dari pengetahuannya yang mendalam
tentang syariat Islam serta upayanya dalam menjalankan syariat tersebut, termasuk
diantaranya mengkonsumsi produk halal dimana keputusan seorang muslim untuk
mengkonsumsi produk halal semata-mata bertujuan untuk memperoleh keselamatan hidup di
dunia dan di akhirat sebagai konsekuensi dari pengetahuan, keimanan dan pengamalan
ajaran-ajaran agama Islam yang dianutnya.

1.3. Produk, Sertifikasi, Dan Label Halal Di Indonesia

1.3.1. Produk Halal

Indonesia yang berpenduduk 237 juta jiwa dimana 85 persennya muslim merupakan
potensi pasar yang sangat besar bagi produk halal. Umumnya masyarakat mengenal produk
halal terbatas hanya pada makanan saja. Padahal jika dikaji lebih jauh, masih banyak
produk-produk halal lain seperti layanan perbankan dan keuangan syariah, sekolah, rumah
sakit, hotel, apartemen, salon, restoran, supermarket/ retailer, distributor, pergudangan/
warehouse, jasa pengiriman barang/ transporter, rumah pemotongan hewan, dan sebagainya

10

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
yang dikelola berbasis syariah Islam berlandaskan alQuran dan Hadits. Dalam
pengelolaannya, produk jasa halal mengedepankan aspek kejujuran, etika dan moralitas,
melarang adanya praktek riba (bunga), gharar (ketidak jelasan), maisir (judi) dan segala-
sesuatu yang dilarang (haram) menurut syariat Islam. Sedangkan produk halal berupa
barang fisik seperti makanan, minuman, obat-obatan, kosmetika, wadah atau kemasan
produk, pakaian, tinta, kertas, dan masih banyak lagi. Karakteristik yang melekat pada
produk halal adalah produk yang thayib atau baik, bersih, tidak mengandung barang najis
(kotor) maupun yang diharamkan seperti babi, bangkai, darah, khamr (minuman yang
memabukkan ) dan binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah SWT.
Di Indonesia, produk-produk jasa keuangan, perbankan dan bisnis halal yang
berbasis syariah Islam telah berkembang cukup pesat. Hal ini tidak terlepas dari dukungan
Dewan Syariah Nasional sebagai elemen kelembagaan penting yang berperan sentral dalam
mengontrol pengelolaan produk-produk jasa halal agar sesuai dengan syariah Islam.
Sedangkan untuk produk halal berupa barang fisik seperti makanan, minuman, obat-obatan,
kosmetika dan lainnya, sudah ada Lembaga Pengkajian Pangan, Obat dan Kosmetika
Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) yang berwenang mengeluarkan sertifikat halal.
Setiap produk yang telah bersertifikat halal MUI berhak mencantumkan label halal pada
kemasannya, dengan terlebih dahulu mengajukan proses perizinan pencatuman label dan
informasi produk pada kemasan melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM).
Disamping berwenang mengeluarkan sertifikat halal dan perizinan pencantuman label halal
pada kemasan produk, LPPOM MUI dan Badan POM juga bertugas membantu instansi
pemerintah terkait mengawasi serta mengontrol peredaran produk-produk berlabel halal
MUI di pasaran, khususnya produk pangan, obat-obatan, kosmetika dan produk-produk
gunaan lainnya yang telah bersertifikat halal MUI.
Seringkali orang menganggap bahwa produk halal dan kosher adalah dua hal yang
sama, padahal keduanya berasal dari dua terminologi yang berbeda dari dua keyakinan yang
berbeda pula. Kosher adalah istilah agama Yahudi yang menurut hukum Talmud kemudian
menjadi hukum agama Yahudi. Pengertian kosher menurut Yahudi adalah hewan yang boleh
dimakan, sedangkan lawannya adalah trefa, yaitu hewan yang tidak boleh dimakan. Kosher
melarang adanya babi dalam bahan makanan dan minuman dan hewan seperti sapi, domba,
kambing, dan lain-lain, harus disembelih dengan menggunakan pisau tajam dan tidak boleh
dimatikan dengan cara dipukul atau diterkam binatang buas. Meskipun kosher dan halal

11

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
mirip, namun keduanya berbeda. Ada barang yang diharamkan dalam Islam yang masuk
kategori kosher, yaitu minuman anggur (wine) dan daging yang meskipun disembelih namun
tidak menyebut nama Allah. Disisi lain, ada pula makanan yang dihalalkan dalam Islam,
tetapi trefa (tidak kosher) menurut Yahudi, seperti kelinci, unggas liar, ikan yang tidak
bersirip, kerang, dan lain-lain. Oleh karena itu, maka nyatalah bahwa halal dan kosher tidak
sama (Sari, 2010).
Menurut Direktori LPPOM MUI (2013) produk halal artinya segala jenis produk
yang tidak tergolong jenis yang dilarang atau diharamkan. Produk halal adalah produk yang
memenuhi syariat kehalalan sesuai dengan syariat Islam, yaitu :
1. Tidak mengandung babi atau produk-produk yang berasal dari babi serta tidak
menggunakan alkohol sebagai ingredient yang sengaja ditambahkan.
2. Daging yang digunakan berasal dari hewan halal yang disembelih menurut tata cara
syariat Islam.
3. Semua bentuk minuman yang tidak beralkohol.
4. Semua tempat penyimpanan, penjualan, pengolahan, pengelolaan serta tempat
transportasi tidak digunakan untuk babi atau barang tidak halal lainnya, harus terlebih
dahulu dibersihkan dengan tata cara yang diatur menurut syariat Islam.
Selain itu, di dalam Islam makanan yang halal adalah makanan yang thayib, yaitu
makanan yang baik, bersih, sehat, bergizi, aman dan berkualitas. Sedangkan makanan yang
diharamkan adalah: bangkai, darah, babi, hewan yang disembelih dengan nama selain Allah,
hewan bertaring, bercakar (untuk menerkam), binatang buas, binatang berbahaya, berbisa,
beracun, menjijikkan, binatang yang hidup di dua alam (air dan darat), dan khamr (minuman
yang memabukkan). Sebenarnya apa yang diharamkan Allah SWT untuk dimakan
jumlahnya sangat sedikit. Selebihnya, apa yang ada di muka bumi ini pada dasarnya adalah
halal, kecuali yang dilarang secara tegas dalam alQuran dan Hadits. Namun perkembangan
teknologi telah menciptakan aneka produk olahan yang kehalalannya diragukan. Banyak
dari bahan-bahan haram tersebut yang dimanfaatkan sebagai bahan baku, bahan tambahan
atau bahan penolong pada berbagai produk olahan karena dianggap lebih ekonomis.
Akibatnya kehalalan dan keharaman sebuah produk seringkali menjadi tidak jelas atau
syubhat (meragukan dan tidak jelas status kehalalannya). Berdasarkan hal tersebut diatas,
maka Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia menyimpulkan bahwa semua produk olahan
pada dasarnya adalah syubhat. Oleh karena itu diperlukan kajian dan penelaahan sebelum

12

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
menetapkan status halal haramnya suatu produk. Hal ini dilakukan untuk menentramkan
batin umat Islam dalam mengkonsumsi suatu produk (Direktori LPPOM MUI, 2013).

1.3.2. Sertifikasi Halal

Dalam sistem perdagangan internasional masalah sertifikasi dan label halal mendapat
perhatian besar baik dalam rangka memberikan perlindungan terhadap konsumen umat
Islam di seluruh dunia maupun sebagai strategi dalam menghadapi tantangan globalisasi
terkait diberlakukannya sistem pasar bebas, seperti dalam kerangka ASEAN - AFTA,
NAFTA, ACFTA, Masyarakat Ekonomi Eropa, Organisasi Perdagangan Internasional
(WTO), dan lain-lain. Sistem perdagangan internasional sudah lama mengenal ketentuan
halal dalam CODEX yang didukung oleh organisasi internasional berpengaruh antara lain
WHO, FAO, dan WTO. Negara-negara produsen akan mengekspor produknya ke negara-
negara berpenduduk Islam seperti Indonesia. Dalam perdagangan internasional, sertifikasi
dan label halal telah menjadi salah satu instrumen penting untuk mendapatkan akses pasar
dan memperkuat daya saing produk domestik negara-negara anggota di pasar internasional
(Abadi dan Tim, 2011: 5-6).
Di Malaysia, kegiatan semacam sertifikasi halal telah dikembangkan sejak 1971.
Pada 1994, Malaysia yang mempunyai penduduk muslim sebesar 65 persen dari total
populasi (26 juta), mulai memperkenalkan sertifikasi dan label halal yang dikeluarkan oleh
Bahagian Hal Ehwal Islam. Saat ini sertifikasi halal ditangani oleh Jabatan Kemajuan Islam
Malaysia, lembaga resmi pemerintah yang bekerja dalam bidang dakwah (langsung di
bawah Perdana Menteri Malaysia). Divisi yang khusus menangani sertifikasi halal adalah
Divisi Poros Halal yang berfungsi melakukan bimbingan, pengawasan, dan penetapan halal
produk-produk pangan dan sembelihan di Malaysia. Di Singapura, yang penduduk
muslimnya lebih minoritas, pengaturan halal bahkan sudah dimulai sejak 1968. Sertifikasi
halal di Singapura dilakukan oleh Majelis Ulama Islam Singapura (MUIS) di bawah
Kementerian Pembangunan Masyarakat. Dalam urusan sertifikasi halal, MUIS bekerja sama
dengan Singapore Institute of Standard and Industrial Research. Secara normatif, masalah
halal di Singapura diatur dalam The Administration of Muslim Law Act (AMLA), yang
berlaku sejak 1968. Pelanggaran terhadap aturan ini adalah pidana, yaitu pidana denda
sebesar 10.000 dolar Singapura dan atau pidana kurungan selama 12 bulan. Di Australia,

13

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
yang jumlah penduduk muslimnya hanya 1,8 persen dari total populasi, lembaga yang
menangani masalah halal adalah Perwakilan Umat Islam se-Australia (AFIC) dan sebuah
perusahaan swasta Halal Certificate Service Itd (HCS). Di Amerika, lembaga yang
mengawasi peredaran produk halal diantaranya adalah Islamic Food and Nutrition Council
of America (IFANCA). Badan ini bersifat independen yang bertugas mensosialisasikan
produk halal serta penyembelihan sesuai syariat Islam. Lembaga ini telah mengeluarkan
sertifikat halal sejak 1990 (Abadi dan Tim, 2011: 91-92).
Di Indonesia, lembaga yang diberi kewenangan melakukan sertifikasi halal adalah
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI)
yang didirikan tanggal 6 Januari 1989. Ditahun-tahun pertamanya, sesuai dengan amanah
Majelis Ulama Indonesia, LPPOM MUI mencoba membenahi berbagai masalah mengenai
makanan yang terkait dengan kehalalannya agar dapat menentramkan konsumen muslim
khususnya dan konsumen Indonesia pada umumnya serta para produsen secara keseluruhan.
Lembaga ini berulang kali mengadakan seminar, diskusi dengan para pakar seperti pakar
ilmu syari‟ah, dan melakukan berbagai kunjungan yang bersifat studi banding. Pada awal
tahun 1994 barulah LPPOM MUI mengeluarkan sertifikat halal yang pertama. Sertifikat
halal dikeluarkan oleh MUI setelah melalui proses audit oleh para ahli di berbagai disiplin
ilmu dan dikaji oleh Komisi Fatwa yang menguasai bidang syari‟ah, ulumul Qur‟an dan
hadits. Melalui sertifikasi halal, MUI telah memberikan jaminan produk halal (Abadi dan
Tim, 2011: 55-56).
Sertifikasi halal dilakukan melalui langkah-langkah berikut ini (Direktori Halal
Indonesia dalam Abadi dan Tim, 2011: 14-16):
1. Penetapan Kehalalan Produk
a. Melakukan kegiatan audit (pemeriksaan) meliputi pengkajian dokumen asal usul
bahan, audit di lapangan, mengkaji hasil audit dalam forum rapat tim ahli.
b. Mengembangkan mekanisme kontrol dalam menjamin konsistensi dan kesinambungan
produk halal dengan cara mewajibkan perusahaan yang disertifikasi halal untuk
menerapkan Sistem Jaminan Halal.
c. Melakukan pengkajian syar‟i terhadap temuan hasil audit.
d. Menetapkan fatwa kehalalan suatu produk yang dikeluarkan dalam bentuk sertifikat
halal (fatwa tertulis).

14

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
2. Penelitian dan Pengkajian Ilmiah
a. Melakukan penelitian dan pengkajian serta pengujian kehalalan suatu produk melalui
laboratorium.
b. Menjawab secara rutin permasalahan yang diajukan oleh perusahaan/ industri dalam
pengembangan suatu produk.
c. Menetapkan standarisasi metoda pengujian laboratorium terhadap suatu produk
berkerjasama dengan laboratorium lembaga penelitian dan Perguruan Tinggi.
3. Standar dan Pelatihan
a. Mengembangkan standar tata cara produksi produk halal, sistem jaminan halal, standar
persetujuan lembaga sertifikasi halal dan standar kompetensi auditor.
b. Melakukan pelatihan calon auditor halal bekerjasama dengan Pemerintah.
c. Melakukan pelatihan auditor halal internal perusahaan baik dalam maupun luar negeri
secara berkala dalam menyusun strategi dan teknik implementasi Sistem Jaminan
Halal.
4. Organisasi dan Kelembagaan
a. Melakukan koordinasi dan kerjasama dengan lembaga teknis terkait baik pemerintah
maupun swasta dalam pelaksanaan sertifikasi dan labelisasi halal, diantaranya
Kementerian Agama RI, Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI, Kementerian
Peindustrian RI, Kementerian Pertanian RI, dan Kementerian Koperasi dan UKM,
Pemerintah Daerah serta Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam.
b. Melakukan koordinasi dengan Badan Karantina RI dalam pengawasan masuknya
produk asal hewan ke dalam wilayah RI.
c. Membangun jaringan dan membina Lembaga Sertifikasi Halal Luar Negeri agar
memenuhi persyaratan sertifikasi halal MUI (Saat ini standar MUI telah dipercaya
menjadi referensi lembaga sertifikasi halal dunia).
d. MUI telah bekerjasama dengan 41 (empat puluh satu) lembaga sertifikasi halal luar
negeri dari 18 negara di dunia tersebar di Asia, Eropa, Amerika maupun Australia.
LPPOM MUI juga menjadi pemimpin di lembaga halal dunia (World Halal Council).
Seiring dengan perkembangan kebutuhan, tugas-tugas LPPOM MUI antara lain
(Abadi dan Tim, 2011: 59):
1. Melaksanakan program MUI untuk memeriksa kehalalan makanan, obat-obatan dan
kosmetika yang beredar, baik produk domestik atau impor.

15

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
2. Mengajukan hasil pemeriksaan dan pengkajian itu secara terperinci kepada Komisi Fatwa
MUI sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan status hukum kehalalan produk.
3. Mengadakan berbagai kegiatan untuk menjalin kerjasama dengan instansi-instansi
pemerintah dan swasta, dalam dan luar negeri, serta melaksanakan tugas lainnya yang
diberikan oleh MUI.
4. Bersama-sama dengan dewan Pimpinan MUI membentuk dan mengembangkan LPPOM
MUI Daerah.
Tata cara pelaksanaan audit halal atau pemeriksaan produk halal mencakup hal-hal
berikut (Abadi dan Tim, 2011: 59):
a. Manajemen produsen dalam menjamin kehalalan produk (Sistem Jaminan Halal).
b. Pemeriksaan dokumen-dokumen spesifikasi yang menjelaskan asal-usul bahan,
komposisi dan proses pembuatannya dan/atau sertifikat halal pendukungnya, dokumen
pengadaan dan penyimpanan bahan, formula produksi serta dokumen pelaksanaan
produksi halal secara keseluruhan.
c. Observasi lapangan yang mencakup proses produksi secara keseluruhan mulai dari
penerimaan bahan, produksi, pengemasan dan penggudangan serta penyajian untuk
restoran/catering/outlet.
d. Keabsahan dokumen dan kesesuaian secara fisik untuk setiap bahan harus terpenuhi.
e. Pengambilan contoh dilakukan untuk bahan yang dinilai perlu.
Bagi perusahaan yang ingin mendaftarkan Sertifikasi Halal ke LPPOM MUI, baik
industri pengolahan (pangan, obat, kosmetika), Rumah Potong Hewan (RPH), restoran/
katering, maupun industri jasa (distributor, warehouse, transporter, retailer) harus
memenuhi Persyaratan Sertifikasi Halal yang tertuang dalam Buku HAS 23000, berisi
tentang kriteria sistem jaminan halal serta kebijakan dan prosedur pengajuan sertifikasi
produk. Dari website LPPOM MUI (www.halalmui.org) rinciannya adalah sebagai berikut:
1. Kriteria Sistem Jaminan Halal (SJH)
Perusahaan bebas untuk memilih metode dan pendekatan yang diperlukan dalam
menerapkan SJH, asalkan dapat memenuhi 11 kriteria berikut ini :
1) Kebijakan Halal: Manajemen Puncak harus menetapkan Kebijakan Halal dan
mensosialisasikan kebijakan halal kepada seluruh pemangku kepentingan (stake
holder) perusahaan.

16

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
2) Tim Manajemen Halal: Manajemen Puncak harus menetapkan Tim Manajemen
Halal yang mencakup semua bagian yang terlibat dalam aktivitas kritis dan memiliki
tugas, tanggungjawab dan wewenang yang jelas.
3) Pelatihan dan Edukasi: Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis pelaksanaan
pelatihan. Pelatihan harus dilaksanakan minimal setahun sekali atau lebih sering jika
diperlukan dan harus mencakup kriteria kelulusan untuk menjamin kompetensi
personel.
4) Bahan: Bahan tidak boleh berasal dari: Babi dan turunannya, Khamr (minuman
beralkohol), Turunan khamr yang diperoleh hanya dengan pemisahan secara fisik,
Darah, Bangkai, dan Bagian dari tubuh manusia.
5) Produk: Merek/nama produk tidak boleh menggunakan nama yang mengarah pada
sesuatu yang diharamkan. Produk retail dengan nama yang beredar di Indonesia
harus didaftarkan seluruhnya untuk sertifikasi.
6) Fasilitas Produksi: Lini produksi dan peralatan pembantu tidak boleh digunakan
secara bergantian untuk menghasilkan produk halal dengan yang mengandung babi
atau turunannya.
7) Prosedur Tertulis Aktivitas Kritis: Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis
mengenai pelaksanaan aktivitas kritis (seleksi bahan baru, pembelian bahan,
pemeriksaan bahan datang, produksi, dan lain-lain), disesuaikan dengan proses
bisnis perusahaan yang menjamin semua bahan, produk, dan fasilitas produksi yang
digunakan memenuhi kriteria.
8) Kemampuan Telusur (Traceability): Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis
untuk menjamin kemampuan telusur produk yang disertifikasi berasal dari bahan
yang disetujui dan dibuat di fasilitas produksi yang memenuhi kriteria fasilitas
produksi.
9) Penanganan Produk yang Tidak Memenuhi Kriteria: Perusahaan harus mempunyai
prosedur tertulis untuk menangani produk yang terlanjur dibuat dari bahan dan pada
fasilitas yang tidak memenuhi kriteria.
10) Audit Internal: Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis audit internal
pelaksanaan SJH yang dilakukan secara terjadwal setidaknya enam bulan sekali.
Hasil audit internal disampaikan ke pihak yang bertanggung jawab terhadap setiap

17

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
kegiatan yang diaudit dan pihak ke LPPOM MUI dalam bentuk laporan berkala 6
bulan sekali.
11) Kaji Ulang Manajemen: Manajemen Puncak harus melakukan kajian terhadap
efektifitas pelaksanaan SJH satu kali dalam satu tahun atau lebih sering jika
diperlukan. Hasil evaluasi harus disampaikan kepada pihak yang bertanggung jawab
untuk setiap aktivitas.

Gambar 1.1
Diagram Alir Proses Sertifikasi Halal

Sumber: website LPPOM MUI, 2013 (www.halalmui.org)

18

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
2. Kebijakan Dan Prosedur Sertifikasi Halal
Kebijakan dan prosedur harus dipenuhi oleh perusahaan yang mengajukan sertifikasi
halal. Secara Umum Prosedur Sertifikasi Halal adalah sebagai berikut :
a) Perusahaan yang mengajukan sertifikasi, baik pendaftaran baru, pengembangan
(produk/ fasilitas) dan perpanjangan, dapat melakukan pendaftaran secara online.
melalui website LPPOM MUI (www.halalmui.org) atau www.e-lppommui.org.
b) Mengisi data pendaftaran berupa status sertifikasi (baru/ pengembangan/
perpanjangan), data Sertifikat halal, status SJH (jika ada) dan kelompok produk.
c) Membayar biaya pendaftaran dan biaya akad sertifikasi halal.
d) Mengisi dokumen yang dipersyaratkan dalam proses pendaftaran sesuai dengan
status pendaftaran (baru/pengembangan/perpanjangan) dan proses bisnis (industri
pengolahan, RPH, restoran, dan industri jasa), diantaranya Manual SJH, Diagram
alir proses produksi, data pabrik, data produk, data bahan dan dokumen bahan yang
digunakan, serta data matrix produk.
e) Setelah selesai mengisi dokumen yang dipersyaratkan, mengacu diagram alir proses
sertifikasi halal pada Gambar 1.1, maka tahap selanjutnya adalah pemeriksaan
kecukupan dokumen hingga penerbitan sertifikat halal.
Untuk pemeriksaan produk yang hendak disertifikasi halal, LPPOM MUI didukung
oleh para auditor halal yang bertugas melakukan pemeriksaan produk dari sisi kandungan,
proses produksi, penyimpanan, hingga pendistribusiannya. Auditor adalah pencari fakta
aspek teknologi melalui proses audit. Auditor LPPOM MUI berperan sebagai wakil ulama
dan saksi untuk melihat dan menemukan fakta kegiatan produksi halal di perusahaan.
Mereka terdiri dari tenaga ahli dari berbagai bidang ilmu, termasuk ahli pangan, ahli kimia,
pertanian, biologi, fisika, dan kedokteran hewan yang tersebar di Pusat dan Daerah.
Sedangkan pemeriksaan dari aspek syariah dilakukan oleh Komisi Fatwa MUI, yaitu salah
satu komisi dalam MUI yang bertugas memberikan nasehat hukum Islam dan ijtihad untuk
menghasilkan suatu hukum Islam terhadap persoalan-persoalan yang sedang dihadapi umat
Islam. Sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh MUI merupakan fatwa tertulis dari lembaga
yang memiliki kompetensi dalam memberikan fatwa. Keanggotaan komisi fatwa mewakili
seluruh organisasi Islam yang ada di Indonesia. Terdiri dari para ahli di bidang syari‟ah,
dakwah, ulumul Qur‟an, dan ulumul hadits. Hingga kini, setidaknya ada 45 lembaga halal
dunia yang menentukan standar kehalalannya merujuk kepada acuan LPPOM MUI, antara

19

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
lain negara-negara ASEAN, Kanada, Inggris, Belanda, Belgia, Turki, Jepang dan Amerika
Serikat (Abadi dan Tim, 2011:60-61). Dengan berbekal sertifikat halal MUI, produsen dapat
mengajukan proses perizinan pencantuman label halal ke Badan POM, dan setelah disetujui,
baru produsen berhak mencantumkan label halal pada kemasan produknya.

1.3.3. Label Halal

Di Indonesia, pengaturan mengenai label pangan diatur dalam Undang-Undang No.


7 Tahun 1996 tentang Pangan (UU Pangan) yang menggariskan bahwa label pangan adalah
setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya,
atau bentuk lain yang disertakan pada pangan dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada atau
merupakan bagian kemasan pangan. Sedangkan label halal adalah keterangan atau tanda
yang tercantum pada kemasan produk, sebagai bagian tertentu dari produk, atau tempat
tertentu yang dinyatakan halal, yang menjadi bukti tanda sah jaminan produk tersebut halal
untuk dimakan, diminum, dipakai, atau digunakan (Abadi dan Tim, 2011: 13). Pemberian
label pada kemasan produk bertujuan agar masyarakat memperoleh informasi yang benar
dan jelas atas setiap produk yang dikemas, baik menyangkut asal, keamanan, mutu,
kandungan gizi, maupun keterangan lain yang diperlukan. Sedangkan pemberian label halal
pada kemasan produk ditujukan untuk melindungi masyarakat khususnya yang beragama
Islam agar terhindar dari mengkonsumsi produk yang tidak halal.
Label halal dijadikan sebagai tanda yang memudahkan konsumen untuk memilih
produk-produk pangan yang akan dikonsumsinya sesuai dengan keyakinan agama Islam
yang dianutnya. Dalam Penjelasan Pasal 30 ayat (2) butir e UU Pangan dinyatakan bahwa
keterangan halal pada suatu produk pangan sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang
mayoritas memeluk agama Islam. Namun, pencantuman label halal baru merupakan
kewajiban apabila setiap orang yang memproduksi pangan dan atau memasukan pangan ke
wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakan bahwa pangan yang bersangkutan
adalah halal bagi umat Islam. Pencantuman label halal ini dimaksudkan agar masyarakat
terhindar dari mengkonsumsi pangan yang tidak halal/ haram (Prasetyo, 2013).
Pencantuman label halal pada makanan kemasan dalam negeri (MD) harus seizin
Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) RI. Sedang untuk bahan pangan milik
industri rumah tangga (P-IRT), pencantuman label halalnya harus seizin Balai Pengawas
Obat dan Makanan (Balai POM) Provinsi. Pada prakteknya, produsen menengah besar yang

20

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
akan mengajukan permohonan pencantuman label halal wajib mendaftarkan produknya ke
Badan POM untuk kemudian diaudit oleh petugas tim gabungan dari Badan POM, LPPOM
MUI dan Kementerian Agama. LPPOM MUI mengaudit kehalalan bahan dan proses
produksi. Badan POM melakukan audit penerapan Cara Produksi Makanan yang Baik
(CPMB), mutu dan keamanannya. Sedangkan Kementerian Agama melakukan audit dalam
hal pertanggungjawaban halal dan layanan karyawan muslim. Hasil audit kemudian
dirapatkan di LPPOM MUI lalu dibawa ke Komisi Fatwa MUI untuk diperiksa kembali.
Sertifikat halal akan dikeluarkan oleh MUI berdasarkan hasil komisi fatwa. Berdasarkan
sertifikat halal yang dikeluarkan oleh LPPOM MUI inilah kemudian Badan POM akan
mengizinkan produsen mencantumkan label halal pada kemasan produknya (Tanty, 2013).
Pelaksanaan pencantuman label halal pada kemasan produk makanan, minuman,
obat-obatan dan kosmetika dinilai sangat penting karena memberi kepastian bagi umat Islam
bahwa produk yang dikonsumsi terjamin kehalalannya. Upaya pemerintah dalam
memberikan jaminan produk halal bagi umat Islam di Indonesia terwujud dengan
ditandatanganinya Piagam Kerja Sama antara Menteri Kesehatan, Menteri Agama dan Ketua
Umum Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 21 Juni 1996 tentang Pelaksanaan
Pencantuman Tulisan Halal Pada Makanan. Pengaturan mengenai label halal lebih lanjut
diatur dengan Surat Keputusan (SK) MenKes No.82/Menkes/SK/1996 tentang Pencantuman
Tulisan Halal Pada Label Makanan, dan Perubahan SK MenKes No.924/MenKes/SK/1996,
SK Dirjen POM HK 00.06.3.02345 tanggal 2 September 1996 tentang Tata Cara
Pencantuman Tulisan Halal Pada Label Makanan, serta SK Kepala Badan POM No.HK
00.05.23.0131 tanggal 13 Januari 2003 tentang Pencantuman Asal Bahan Tertentu,
Kandungan Alkohol dan Batas Kedaluwarsa Pada Penandaan Label Obat, Obat Tradisional,
Suplemen Makanan dan Pangan (Prasetyo, 2013).
Dasar dari kebijaksanaan pengaturan pencantuman label halal adalah memberikan
ketentraman dan kepastian halal, tidak menambah beban harga bagi konsumen, bermutu,
aman, dan bersifat sukarela. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pangan,
baik mulai dari cara memproduksinya sampai dengan mengedarkannya mengatur bahwa
pihak pelaku usaha atau produsen dapat secara sukarela mencantumkan label halal pada
setiap kemasan produk yang diproduksinya. Dalam Pasal 34 UU Pangan disebutkan bahwa
setiap orang yang menyatakan halal dalam label atau iklan pangan bertanggungjawab atas
kebenaran pernyataan tersebut. Kebenaran pernyataan halal dalam label atau iklan tentang

21

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
pangan tidak hanya dapat dibuktikan dari segi bahan baku pangan, bahan tambahan pangan
atau bahan bantu lain yang digunakan dalam memproduksi pangan, tetapi mecakup pula
proses pembuatannya. Dalam UU Pangan ditetapkan bahwa keterangan halal pada label
harus dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia, angka arab dan huruf latin dalam
bentuk yang jelas sehingga dengan mudah dimengerti oleh masyarakat. Penggunaan istilah
asing dapat dilakukan sepanjang tidak ada padanannya, tidak dapat diciptakan padanannya,
atau digunakan untuk kepentingan perdagangan pangan ke luar negeri. Setiap orang dilarang
mengganti, melabel kembali, atau menukar tanggal bulan dan tahun kadaluarwa pangan
yang diedarkan. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) No. 8 Tahun
1999, pengaturan mengenai labelisasi halal antara lain terdapat pada Bab IV mengenai
Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha, yaitu Pasal 8 ayat (1) huruf h yang
menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang
dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana
pernyataan. Dalam hal ini, pemerintah juga harus melindungi masyarakat terhadap produksi
dan peredaran makanan yang tidak memenuhi syarat, terutama dari segi mutu, kesehatan,
keselamatan, dan keyakinan agama. Hal ini ditegaskan pengaturannya dalam Instruksi
Presiden No. 2 Tahun 1991 tentang Peningkatan Pembinaan dan Pengawasan Produksi dan
Peredaran Makanan Olahan (Prasetyo, 2013).
Label halal tidak begitu saja dapat dicantumkan oleh pihak produsen karena harus
melewati proses sertifikasi halal terlebih dahulu agar dapat memberikan kepastian, jaminan
dan ketentraman batin kepada masyarakat Indonesia yang mayoritasnya muslim, sehingga
menunjang kelancaran dan kestabilan pembangunan nasional sekaligus menjamin dan
memberi kepastian kepada pihak produsen dalam menjalankan usahanya.Pencantuman label
halal jika dilihat dari sudut kepentingan pelaku usaha dapat dijadikan ajang peningkatan
promosi produk karena label halal merupakan cara yang efektif memberikan rasa aman,
nyaman dan ketenangan bagi konsumen muslim baik di Indonesia maupun di dunia karena
jika aspek kehalalan terpenuhi bukan hanya syariatnya saja yang terpenuhi tetapi juga aspek
kesehatan dari produk itu sendiri. Islam menganjurkan umatnya untuk meninggalkan semua
hal yang bersifat ragu-ragu (syubhat). Tanpa label halal, suatu produk dikategorikan sebagai
barang yang meragukan. Jadi dalam hal ini diharapkan moralitas dari pihak produsen untuk
memberikan perlindungan yang baik terhadap konsumen dengan bentuk kerelaan produsen
dalam mencantumkan label halal bagi produk yang dipasarkan. Dengan demikian, konsumen

22

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
menjadi lebih nyaman dan terhindar dari rasa khawatir, mengingat bahwa bagi umat Islam
kehalalan pangan sangatlah prinsipil karena berkaitan dengan keyakinan agamanya
(Prasetyo, 2013). Adapun manfaat sertifikasi dan label halal bagi konsumen dan produsen
akan lebih lanjut akan dijelaskan pada sub bab berikut ini.

1.3.4. Manfaat Sertifikasi Dan Label Halal

Lukmanul Hakim, Direktur Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan


Kosmetika (LPPOM) MUI, pada acara Simposium Makanan Halal Internasional ke-1
tanggal 8 Mei 2013 di Tokyo mengungkapkan, sertifikasi dan label halal bukan hanya
bermanfaat bagi umat muslim saja, tetapi untuk kemakmuran dan kebahagiaan manusia
secara keseluruhan. Masyarakat perlu memahami sepenuhnya maksud mendasar dari
sertifikasi dan label halal produk. Pertimbangan pencatuman label halal didasari unsur sains
teknologi dan unsur kepercayaan yaitu berupa fatwa yang dikeluarkan oleh para alim ulama.
Produk yang telah berlabel halal tidak lagi menjadi kabur atau berada di daerah abu-abu
karena sudah ada kepastian halalnya sehingga aman dikonsumsi atau digunakan (Susilo,
2013). Manfaat sertifikasi dan label halal pada dasarnya dapat dilihat dari dua sudut pandang
utama, yaitu manfaat bagi konsumen dan manfaat bagi produsen.

1.3.4.1. Manfaat Bagi Konsumen

Bagi konsumen muslim, manfaat sertifikasi dan label halal utamanya adalah untuk
mendapat kepastian dan jaminan bahwa suatu produk tidak mengandung sesuatu yang tidak
halal. Namun bukan hanya menjamin kehalalan kandungan produknya saja, tetapi juga
menjamin bahwa proses produksi yang dilakukan sudah sesuai dengan syariat Islam
sehingga produk tersebut aman untuk dikonsumsi atau digunakan (Bangkalan, 2013).
Dengan demikian, sertifikasi dan label halal produk memberikan kepastian bagi konsumen
muslim untuk dapat beribadat sesuai ajaran agamanya. Berdasarkan alQuran dan hadits
sebagai landasan utama hukum Islam dijelaskan bahwa bagi setiap muslim yang menjaga
dirinya untuk hanya mengkonsumsi atau menggunakan produk yang terjamin kehalalannya,
akan mendapat perlindungan dari Allah, bersinar agamanya, terjaga keimanan dan
ketaqwaannya kepada Allah, doa-doanya dikabulkan, memperoleh ketenangan jiwa, terjaga
kesehatan jasmani dan rohaninya, mulia akhlaknya, mampu menjalin hubungan yang

23

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
harmonis dengan sesama manusia, turut serta memelihara kelangsungan hidup hewan,
tumbuhan, alam dan manusia secara keseluruhan. Pembahasan mendalam mengenai
landasan hukum halal dan manfaatnya bagi umat Islam berdasarkan alQuran dan hadits
tersebut di atas akan dijelaskan lebih lanjut pada sub bab berikutnya.
Penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam, tentu sangat berkepentingan
mengetahui halal tidaknya suatu produk. Pemerintah Indonesia sudah seharusnya memberi
perhatian besar terhadap jaminan kehalalan produk dalam rangka melindungi konsumen
muslim. Hal ini adalah bentuk kewajiban negara untuk melindungi segenap bangsa dan
seluruh tumpah darah Indonesia serta mewujudkan kesejahteraan umum. Hal ini juga
sebagai wujud jaminan negara dalam rangka memberikan kemerdekaan kepada tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agama dan beribadat sesuai ajaran agama dan kepercayaannya itu
(Abadi dan Tim, 2011:19). Alserhan (2011:115) menjelaskan bahwa pada dasarnya pasar
produk halal terdiri dari pasar untuk konsumen muslim dan non musim. Karenanya,
sertifikasi dan labelisasi halal tidak hanya bermanfaat untuk melindungi konsumen muslim
saja, tetapi juga bagi konsumen nonmuslim yang ingin memastikan bahwa produk yang
dikonsumsinya telah terjamin kebersihannya, menyehatkan, berkualitas dan aman
digunakan, karena dengan adanya sertifikasi dan label halal akan mempermudah konsumen,
apapun agamanya, untuk memperoleh informasi menyangkut bahan baku dan kualitas
produk, kandungan gizi serta keterangan lain yang dibutuhkan konsumen ketika memilih
dan menentukan produk mana yang benar-benar terjamin kebersihannya, sehat, berkualitas,
aman dan telah melalui proses produksi yang baik dan benar, sesuai dengan yang dibutuhkan
dan diinginkan konsumen.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan konsumen sebelum membeli produk pangan:
1. Teliti terlebih dahulu apakah produk pangan olahan telah mencantumkan nomor MD
(nomor pendaftaran Merek Dagang yang diberikan Badan POM untuk produk pangan
olahan lokal yang diproduksi di dalam negeri). Jika sudah, teliti apakah ada label halal
MUI-nya (lihat Gambar 1.2). Jika ada maka kehalalannya sudah terjamin karena untuk
dapat mencantumkan label halal pada kemasan produk, produsen harus terlebih dahulu
mendapatkan sertifikat halal dari MUI. Jika tidak ada label halal MUI-nya berarti
kehalalannya belum terjamin.
2. Untuk produk impor, lihat apakah sudah memiliki nomor ML pada kemasannya (nomor
pendaftaran Merek dagang Luar negeri yang diberikan Badan POM untuk produk pangan

24

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
olahan yang berasal dari luar negeri/ import, baik produk yang dikemas langsung maupun
yang dikemas ulang untuk dipasarkan di Indonesia). Jika sudah, perhatikan bahasa yang
digunakan dalam kemasan, jika berbahasa Indonesia maka perhatikan label halal MUI-
nya. Jika ada maka kehalalannya sudah terjamin. Jika bukan, perhatikan dari negara mana
label halal itu dikeluarkan. Untuk mengetahui daftar lembaga sertifikasi halal dunia mana
yang telah diakui standarnya oleh LPPOM MUI dan seperti apa label halalnya bisa dicek
di website LPPOM MUI (http://www.halalmui.org/newMUI/index.php/main/ go_ to_
section/7/43/page). Jika tidak ada label halalnya, konsumen harus berhati-hati karena
kehalalannya belum terjamin.

Gambar 1.2.
Label Halal MUI

LPPOM : 0000000000000

3. Untuk produk pangan olahan hasil industri kecil, lihat apakah ada nomor PIRT (Pangan
Indistri Rumah Tangga) atau nomor pendaftaran SP (Sertifikat Penyuluhan) yang
diberikan kepada pengusaha kecil dengan modal terbatas yang pengawasan diberikan
oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kodya, sebatas penyuluhan, jika ada perhatikan apakah
ada label halal MUI-nya. Jika, maka terjamin kehalalannya. Untuk produk ini konsumen
diminta lebih berhati-hati karena tidak sedikit pengusha kecil yang mencantumkan label
halal pada kemasan produknya meskipun belum memiliki sertifikat halal MUI. Hal ini
kerap terjadi karena kekurangpahaman pengusaha kecil tentang ketentuan sertifikasi dan
pencantuman label halal yang berlaku di Indonesia. Konsumen sebaiknya
menanyakannya langsung ke penjual atau jika meragukan sebaiknya dihindari.
4. Daftar produk halal yang telah memiliki sertifikat halal resmi dari MUI dan berhak
mencantumkan label halal pada kemasan produknya dapat dilihat di Jurnal Halal atau di
website LPPOM MUI (http://www.halalmui.org/newMUI/index.php/main/ ceklogin_
halal/produk_halal_masuk/1309).

25

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
1.3.4.2. Manfaat Bagi Produsen

Menurut Sugijanto, Ketua Umum LPPOM MUI Jawa Timur dalam seminar nasional
Kehalalan Pangan 2010 di Jember , manfaat sertifikasi dan label halal produk bagi produsen
terletak pada aspek moral dan aspek bisnis. Pada aspek moral, merupakan bentuk
pertanggungjawaban produsen kepada konsumen. Sedangkan pada aspek bisnis, merupakan
sarana pemasaran yang dapat meningkatkan kepercayaan dan kepuasan konsumen
(Cardilach, 2012). Dengan kata lain, sertifikasi dan label halal produk dapat meningkatkan
peluang bisnis, kepercayaan dan loyalitas konsumen, baik di dalam maupun di luar negeri.
Sertifikasi dan label halal produk membuka peluang ekspor yang sangat luas, baik ke
negara-negara muslim maupun ke seluruh penjuru dunia. Ketika sertifikat halal yang
dimiliki produsen dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi halal yang diakui dunia seperti
LPPOM MUI, produk tersebut telah menjadi produk global yang memiliki keunggulan
kompetitif yang akan membuka peluang diterimanya produk-produk tersebut ke dalam
komunitas konsumen produk halal di seluruh dunia.
Manfaat bagi produsen yang telah mensertifikasi dan melabelisasi halal produknya
antara lain adalah:
1. Memberikan ketenangan dalam berproduksi
2. Memberikan jaminan halal yang dapat menentramkan konsumen
3. Meningkatkan kepercayaan konsumen
4. Meningkatkan loyalitas konsumen
5. Meningkatkan citra produk
6. Memiliki keunggulan kompetitif
7. Memiliki unic selling product
8. Luasnya peluang pemasaran di pasar domestik dengan target pasar utama 202 juta
penduduk muslim di Indonesia
9. Meningkatkan market share produk lokal halal yang masih sangat luas di Indonesia
10. Biaya sertifikasi halal di Indonesia yang tergolong terjangkau menjadikannya aset yang
berharga dan menguntungkan dengan biaya investasi yang terjangkau
11. Berpeluang mengekspansi pasar ke negara-negara muslim di dunia

26

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
12. Berpeluang mengekspansi pasar secara global mengingat demand produk halal tidak
hanya berasal dari konsumen muslim, tetapi juga konsumen non muslim di dunia yang
telah mengakui kebaikan dan kelebihan produk halal
13. Mendukung peningkatan pasar produk halal di tingkat nasional dan global
Produsen produk halal Indonesia yang berjumlah ratusan ribu perusahaan sangat
berkesempatan menembus pasar produk halal dunia dengan target 1,4 milyar penduduk
muslim dan jutaan konsumen nonmuslim lainnya yang memiliki demand tinggi terhadap
produk halal. Produk halal berpeluang besar dipasarkan ke 57 negara yang tergabung dalam
the Organization of the Islamic Conference (OIC) yang beranggotakan 50 negara muslim
dan 7 negara lain yang meskipun bukan negara muslim tetapi memiliki jumlah penduduk
muslim yang cukup besar seperti Rusia yang 15 persen penduduknya adalah muslim. Nilai
transaksi ekspor impor negara-negara tersebut saat ini bernilai USD 2.4 triliun yang tidak
hanya terkait dengan perdagangan minyak, tetapi juga berbagai produk industri dan jasa
berbasis produk halal lainnya (Alserhan, 2011:17-18). Di pasar Eropa, makanan halal saat
ini telah mencapai nilai sekitar USD 66 miliar, mencakup daging, makanan segar dan beku.
Sedangkan di tingkat global nilainya mencapai USD 634 milliar. Nilai tersebut lebih tinggi
dari sebelumnya yang mencapai USD 580 miliar. Hal ini menunjukkan bahwa nilai
transaksi produk halal dunia mengalami kenaikan lebih dari tujuh persen setiap tahunnya.
Wakil Presiden Eksekutif Nestle, Van Dijk, dalam sebuah Forum Halal Dunia yang
berlangsung pada pertengahan 2012 lalu mengungkapkan bahwa bisnis makanan halal dunia
akan tumbuh 20-25 persen dalam satu dekade mendatang (Mahmud, 2013b:13).
Pasar produk halal di Prancis menggeliat pesat seiring dengan meningkatnya jumlah
penduduk muslim Prancis yang mencapai hampir 5 juta jiwa. Pasar produk halal Prancis
diperkirakan akan semakin meningkat 10-15 persen per tahun. Geliat tersebut semakin
mencapai klimaksnya disepanjang bulan Ramadhan dimana sejumlah supermarket
berlomba-lomba menyediakan produk halal. Supermarket Cora misalnya, menawarkan
produk susu, rempah-rempah, permen, lasagna beku, dan daging halal. Direktur supermarket
Cora, Mathias Michnenaud mengatakan, saat ini Cora mencerminkan keragaman pembeli
yang salah satunya umat Islam. Menurut kepala perusahaan riset pasar Solis berbasis di
Paris, Abbas Bendali mengatakan, pemasok besar dan supermarket saling berebut memenuhi
permintaan konsumen muslim di bulan Ramadhan, mereka berlomba-lomba menawarkan
dan mempromosikannya selama Ramadhan. Mounira Ben Maamar, seorang eksekutif bisnis,

27

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
mengatakan satu decade lalu komunitas muslim Prancis hanya memiliki beberapa pilihan
ingin mencari produk halal. kini, telah banyak produsen produk halal yang membangun
bisnisnya senilai jutaan dolar dan mulai mengembangkan merek mereka sendiri (Nashrullah
dalam Republika, 15/11/2013:5). Di Amerika, tidak sedikit peternak yang memasarkan
daging bersertifikat halal. Joe Cole, seorang peternak di Maryland telah beralih dari rumah
pemotongan konvensional menjadi rumah pemotongan hewan bersertifikat halal dan mulai
mempekerjakan ahli memotong hewan dari Pakistan. Salah seorang konsumen Cole
bernama Said Hagar Farhat mengaku senang dan yakin bisnis daging halal di Amerika akan
berkembang pesat. Umat Islam yang menetap di Inggris juga mulai dimanjakan dengan
keberadaan produk halal lainnya. Sebuah restoran cepat saji terkenal di Prancis bahkan telah
mengekspansi produk halal di setiap gerainya (Sasongko dan Rachman, 2010).
Di Thailand, meskipun muslim adalah minoritas, tetapi kita bisa melihat begitu
banyak produk halal yang dijual di berbagai gerai yang dengan bangga memasang logo
Halal dan sertifikat Halal CICOT (Central Islamic Committee of Thailand). Logo halal yang
berbentuk belah ketupat itu tersebar dimana-mana menghiasi produk-produk unggulan
Thailand seperti keripik durian dan nangka, berbagai kukis dan makanan ringan lainnya.
Restoran halal pun ada di berbagai sudut dengan tanda yang jelas dan logo yang sama.
Kampanye halal ternyata tidak hanya sebatas tersebarnya logo dan sertifikat halal di gerai-
gerai toko dan produk-produk Thailand. Konsumen dapat dengan mudah bertanya langsung
kebagian informasi di hotel-hotel dan tempat-tempat wisata untuk mengetahui letak
restoran-restoran halal atau toko-toko yang menjual berbagai produk halal. Mereka akan
menjawab dengan sangat jelas dan lugas. Tak satupun petugas yang tidak tahu mengenai
produk halal. Mereka juga menyediakan katalog berisi daftar restoran halal di Bangkok dan
kota-kota lainnya yang diberikan secara cuma-cuma kepada pengunjung. Di Bangkok,
tempat-tempat strategis seperti BMK Mall yang menjadi langganan pelancong Indonesia dan
Timur Tengah juga menyediakan restoran halal dengan informasi yang mudah terlihat.
Dalam skala makro, Thailand bahkan telah mengekspor produk halalnya ke berbagai negara
dalam jumlah besar. Persyaratan halal yang kerap menjadi barrier bagi negara-negara
muslim berhasil dilewati dan dengan bangga mereka menggunakan isu halal sebagai titik
entry point ke berbagai negara muslim seperti negara-negara eks Soviet, Tjikistan,
Uzbekistan, Kazakstan dan Turkemistan yang mayoritas berpenduduk muslim (Wahid,
2012:30-31). Berdasarkan data the United Nations Population Funds, jumlah penduduk

28

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
muslim dunia diprediksikan akan mencapai lebih dari 1.6 milyar pada tahun 2015 dan
meningkat hingga 2.6 milyar penduduk ditahun 2050. Ini berarti 30 persen penduduk dunia
adalah muslim. Saat ini diperkirakan dua per tiga dari penduduk dunia di bawah usia 18
tahun adalah muslim (Temporal, 2011: 49).
Indonesia sendiri merupakan pasar terbesar produk halal di dunia. Sebagai negara
dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia tentu saja menjadikan konsumen muslim
Indonesia sebagai target pasar global yang besar dan potensial. Jumlah populasi muslim
Indonesia yang sangat besar mampu mengalahkan gabungan jumlah penduduk dari negara-
negara muslim lainnya seperti Malaysia (30 juta), Arab Saudi (28 juta), Uni Emirat Arab (4
juta), Turki (75 juta), dan Kuwait (3 juta). Sedangkan jumlah penduduk muslim Indonesia
hampir mencapai 220 juta dari 245 juta jiwa. Para produsen lokal yang mencapai ratusan
ribu perusahaan di Indonesia sebenarnya berpotensi besar memasarkan produk halal di
dalam negeri (Mahmud, 2013b: 14). Di Bali saja, meskipun penduduk muslim adalah
minoritas, banyak pengusaha-pengusaha makanan baik yang muslim maupun nonmuslim
telah mengajukan sertifikasi halal produknya ke MUI. Salah satunya adalah seorang
pengusaha yang telah belasan tahun mengelola usaha kuliner dengan resep warisan dari
orang tuanya. Tujuh tahun lalu, ia memutuskan untuk mensertifikasi halal produknya dan
hingga kini ia tetap konsisten menjaga kehalalan produknya sesuai dengan ketentuan MUI
meskipun ia sendiri beragama Kristen. Dalam tempo tujuh tahun, dari modal awal sekitar
Rp 150 juta, aset usahanya kini berkembang sangat besar hingga mencapai lebih dari Rp 7
miliar (Muchlis, 2012).
Tren produk halal di Indonesia memang menunjukkan peningkatan yang cukup
pesat. Hal ini nampak dari meningkatnya permintaan masyarakat atas produk halal dari
tahun ke tahun. Dari 70% di tahun 2009, meningkat hingga 92,2 % di tahun 2012. Dari
jumlah sertifikat halal yang dikeluarkan, hingga akhir tahun 2012 mencapai 97.903, dan per
ahir November 2013 telah mencapai 100.927 sertifikat dari 2.554 perusahaan (Hakim, 2013:
24). Namun meskipun secara prosentase dari tahun ke tahun produk yang bersertifikat halal
mengalami peningkatan, secara total angkanya masih cukup rendah. Rendahnya animo
pengusaha terhadap sertifikasi halal terbanyak ada di segmen UKM dan pedagang kecil.
Bakso misalnya, yang beberapa pecan lalu sempat membuat heboh masyarakat, di Jakarta
saja, jumlah pedagang bakso sebanyak 50.000 pedagang. Jumlah ini baru yang tercatat
sebagai anggota Apmiso (Asosiasi Pedangan Mie dan Bakso). Di luar Apmiso jumlahnya

29

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
bisa mencapai ratusan ribu. Dari jumlah tersebut secara nasional yang sudah mengantongi
sertifikasi halal baru sekitar 106 pedagang (Mahmud, 2013b: 14).
Rendahnya minat pedagang lokal melakukan sertifikasi halal menurut Lukmanul
Hakim, Direktur Eksekutif LPPOM MUI, disebabkan beberapa alasan. Pertama,
pamahaman dan kepedulian pedagang tentang halal masih sangat sederhana. Dalam persepsi
mereka, sepanjang tidak secara langsung menjual makanan bercampur daging babi/celeng,
maka produk yang mereka jual otomatis halal. Padahal seiring dengan perkembangan
teknologi, babi/celeng dan turunannya bisa merasuk ke hampor semua bahan pangan,
misalnya kecap, bumbu masak, minyak goreng, dan sebagainya. Kedua, sifat sertifikasi halal
masih voluntary (sukarela) sehingga tak ada kewajiban bagi pedagang untuk mengajukan
sertifikasi halal. Padahal, produk yang dikonsumsi secara massal seperti bakso dan daging,
semestinya diwajibkan untuk dilakukan sertifikasi halal. Selain itu, banyak Sistem Jaminan
Halal (SJH) sebagai salah satu prasyarat dilakukannya sertifikasi halal, yang masih belum
mampu dipenuhi oleh pedagang, seperti tempat penggilingan daging yang secara khusus
hanya untuk menggiling daging halal. Diperlukan peran pemerintah untuk melakukan
penertiban dan pembinaan kepada para pedagang karena menurut Lukman, bidang regulasi
dan tata niaga sudah barangtentu menjadi domain pemerintah (Mahmud, 2013b: 14).
Maraknya kasus produk nonhalal yang beredar di Indonesia mendorong masyarakat
muslim di negeri ini menjadi lebih berhati-hati dalam memilih produk sebelum memutuskan
untuk membeli atau mengkonsumsinya. Seiring dengan meningkatnya kesadaran konsumen
muslim Indonesia terhadap produk halal, diperlukan upaya serius pemerintah dalam hal
pengawasan produk halal di dalam negeri. Memang pengawasan produk-produk yang
beredar di masyarakat bukan perkara mudah dan memerlukan mekanisme pengaturan yang
jelas. Di Indonesia belum ada pasal pidana yang dapat menjerat tersangka kasus-kasus
beredarnya produk nonhalal. Kekosongan payung hukum ini membuat MUI tidak memiliki
wewenang untuk mengawasi semua produk pangan yang beredar di masyarakat, kecuali
yang bersertifikat halal MUI (Purwata dalam Republika, 20/12/2012: 1).
Sertifikasi dan label halal produk tidak hanya memberikan ketentraman batin bagi
konsumen muslim, tetapi juga ketenangan berproduksi bagi produsen. Sertifikasi halal yang
dikeluarkan MUI merupakan fatwa tertulis dari komisi fatwa yang diwakili oleh para ulama
dari seluruh organisasi Islam yang ada di Indonesia. Ketetapan halal melalui komisi fatwa
dalam proses sertifikasi halal terbukti mampu mendorong nilai tambah/ keunggulan produk

30

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
tersendiri sehingga berperan sebagai selling point di pasar domestik dan ekspor, terutama
untuk produk-produk yang dipasarkan di negeri-negeri dengan penduduk mayoritas muslim,
serta menjadi competitive advantage bagi para pengusaha lokal dalam menghadapi serbuan
produk impor di era perdagangan bebas saat ini.

1.4. Potensi Kandungan Bahan Baku Non Halal Pada Produk Makanan, Minuman,
Obat-obatan dan Kosmetika

Terbatasnya pengetahuan konsumen mengenai komposisi produk yang berpotensi


mengandung zat nonhalal diduga salah satunya karena tidak banyak media massa yang
membahas informasi kehalalan produk. Hanya sedikit konsumen yang mengetahui adanya
Jurnal Halal yang diterbitkan oleh LPPOM MUI setiap dua bulan sekali. Jurnal ini
membahas berbagai informasi aktual mengenai produk halal dan memuat daftar produk yang
telah memiliki sertifikat halal MUI. Daftar produk halal tersebut dibagi kedalam berbagai
kelompok, yaitu: kelompok daging dan daging olahan; rumah potong hewan; ikan dan
produk olahannya; susu, keju dan es krim; susu dan makanan bayi dan balita; bumbu-
bumbu; flavor; minyak, lemak dan emulsi; mie instan; makanan ringan; bakery dan bahan
roti; coklat dan permen; minuman dan bahan minuman; jamu; obat-obatan; vitamin;
kosmetik; kelompok restoran; sayuran dan olahannya; roti dan kue; bakery ingredient;
tepung-tepungan, pati-patian dan produk turunan atau olahannya; pemanis; ekstrak; selai dan
jelly; pembentuk gel; protein dan asam amino; suplement; es dan es cream; enzim; bahan
tambahan; telur; beras/ nasi; dan kelompok lain seperti tinta, kertas, kantong plastik, sabun
pembersih, tissue, arang dan lain-lain (LPPOM MUI, 2011). Dari daftar tersebut ternyata
banyak sekali produk makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetika serta produk lainnya
seperti tinta, kertas, kantong plastik, tissue, dan arang, yang berpotensi mengandung bahan
baku yang tidak halal.
Dewasa ini, perkembangan teknologi telah menciptakan aneka produk olahan yang
kehalalannya patut diragukan. Karena lebih ekonomis, banyak produk olahan yang
memanfaatkan bahan-bahan haram tersebut sebagai bahan baku, bahan tambahan ataupun
bahan penolong. Karena bercampur aduk dengan bahan yang diragukan kehalalannya
sebuah produk seringkali menjadi tidak jelas kehalalan dan keharamannyanya. Hal ini
menyebabkan berbagai macam produk olahan menjadi syubhat dalam arti meragukan dan

31

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
tidak jelas status kehalalannya (Direktori LPPOM MUI, 2013). Menurut Girindra (2001),
perkembangan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) yang makin pesat memungkinkan
adanya zat tambahan dalam memproses makanan yang bukan cuma dapat dibuat secara
kimiawi atau bioteknologi, tapi juga diekstraksi dari tanaman atau hewan. Disinilah
kemungkinan terjadinya perubahan makanan dari halal menjadi tidak halal. Sukar bagi
masyarakat membedakan produk mana yang halal dan mana yang haram, terutama jika
bahan tambahan yang digunakan berasal dari ekstraksi hewan tak halal, apalagi jika
makanan itu sudah mengalami proses setengah jadi ataupun sudah siap saji.
Dalam produk mi instan misalnya, menggunakan berbagai Bahan Tambahan Pangan
(BTP) yang berfungsi memperbaiki sifat dan bentuk pangan, antara lain pewarna, emulsifier,
antikempal, pengawet dan penyedap rasa. Pewarna annatto yang larut air perlu diwaspadai
karena biasanya menggunakan emulsifier yang dapat berasal dari turunan lemak nabati atau
hewani. Untuk kestabilan selama penyimpanan, pewarna tertentu juga dilapisi bahan salut
gelatin yang berasal dari kulit atau tulang hewan. Antikepal digunakan pada tepung terigu
atau produk berbentuk pupuk/ powder untuk mencegah terjadinya penggumpalan. Anti kepal
yang perlu diwaspadai adalah edible bone phosphate (E-542) yang berasal dari tulang
hewan, dan magnesium stearat (E-572) serta asam stearat (E-570) yang merupakan turunan
lemak. Jika berasal dari hewani, harus dipastikan berasal dari hewan halal (bukan babi) yang
disembelih sesuai syariat Islam. Pengawet dan penyedap rasa (flavor enhancer) yang perlu
diwaspadai jika dibuat dengan proses fermentasi yang harus dipastikan media fermentasinya
terbebas dari bahan haram dan najis (Haryono, Juli-Agustus 2010).
Untuk produk minuman berupa air mineral atau air putih dalam kemasan, tidak
banyak konsumen yang menyadari bahwa air putih dalam kemasan berpotensi tidak halal.
Hal ini sangat mungkin terjadi jika pada proses penyaringannya menggunakan media filter
berupa arang aktif yang berpotensi terbuat dari tulang babi. Arang aktif dapat berasal dari
tiga sumber, pertama dari tulang hewan, batu bara dan tanaman seperti tempurung kelapa,
serbuk gergajian atau dari kayu (Roswiem, Juli-Agustus 2010). Arang aktif ini digunakan
dalam proses penyaringan untuk menghilangkan warna dan bau pada air minum. Meskipun
tidak banyak, namun penggunaan tulang babi sebagai arang aktif masih dilakukan karena
harganya yang lebih murah. Jadi titik kritis keharamannya adalah tulang hewan. Menurut
Wakil Direktur LPOM MUI, Ir.Muti Arintawati, apapun yang berasal dari tulang hewan

32

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
kalau untuk dikonsumsi harus dipastikan berasal dari hewan halal dan disembelih sesuai
syariah, termasuk tulang di dalamnya (Mahmud, Juli-Agustus 2011).
Menurut Haryono (November-Desember 2009) air minum dalam kemasan juga perlu
memperhatikan bahan plastik yang digunakan, apakah sudah sesuai dengan tujuan
penggunaannya. Jenis plastiknya sendiri ada yang berwarna hijau atau biru transparan dan
ada pula yang tidak berwarna (putih transparan). Untuk air minum dalam kemasan botol
plastik yang digunakan adalah jenis polyethelene terephthalate (PET), sedangkan untuk air
minum dalam kemasan gelas plastik atau cup digunakan polypropylene (PP). Produk halal
tidak hanya isinya saja namun juga kemasannya. Ada alasan mengapa bahan kemasan
plastik perlu disertifikasi halal. Dalam pembuatannya, kemasan plastik sering ditambahkan
bahan lain seperti stabilizer dan antioksidan untuk melindungi proses aging dan oksidasi
sinar. Digunakan juga plasticizer untuk memperbaiki sifat plastik dan merubah melting
point, fillers untuk memperbaiki sifat mekanis dan terkadang permeabilitas terhadap gas.
Bahan lain juga seperti colorant, reinforcements sering juga ditambahkan dalam kemasan
plastik. Bahan-bahan penolong tersebut serta monomer kemasan plastik terkadang mampu
bermigrasi ke dalam produk makanan dan minuman yang dikemasnya sehingga ikut
dikonsumsi oleh konsumen. Dengan demikian kehalalan kemasan plastik juga perlu
dipertimbangkan (Cahyana, Maret-April 2011).
Untuk obat-obatan, menurut Roswiem dan Haryono (November-Desember 2009),
bahan baku obat memiliki titik kritis kehalalan sebab bisa berasal dari bahan haram dan najis
seperti babi, alkohol, organ manusia maupun bahan hewani lain yang tidak jelas asal
usulnya. Untuk itu perlu dikritisi kehalalan obat dari bentuk sediaannya. Untuk obat
berbentuk tablet perlu diwaspadai proses pembuatannya yang sering menggunakan bahan
magnesium stearat dan monogliserida yang berasal dari turunan lemak. Demikian juga
dengan obat berbentuk serbuk dan kaplet, penggunaan laktosa dalam proses produksi obat
serbuk mesti diperhatikan dimana enzim hewani dari babi bisa saja berperan dalam
pembuatan laktosa ini. Termasuk juga penggunaan bahan pewarna. Cangkang kapsulpun
perlu diperhatikan sebab sebagian besar bahan yang digunakan dalam proses pembuatan
kapsul mempergunakan gelatin yang bisa berasal dari tulang tulang maupun kulit hewan
seperti sapi, ikan ataupun babi. Sedangkan obat berbentuk cair atau liquid juga mesti
diperhatikan, terutama penggunaan etanol atau alkohol dan flavor (perasa) yang digunakan.
Sebab bisa saja flavor tersebut terbuat dari bahan penyusun dan dan pelarut yang tidak jelas

33

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
kehalalannya. Untuk obat berbentuk pil dan injeksi (suntik) juga sama, bahan penyusun obat
gliserin yang bisa saja berasal dari turunan lemak, temasuk juga penggunaan bahan gelatin
yang banyak digunakan. Demikian pula halnya penggunaan protein darah manusia dalam
obat injeksi. Etanol dan gliserin pun dapat digunakan dalam obat berbentuk suntik tersebut.
Contoh lain insulin yang bisa berasal dari pankreas babi atau lovenox (obat injeksi anti
penggumpalan darah) yang juga berasal dari babi. Oleh karena itu konsumen harus cermat
dalam memilih obat-obatan yang tidak hanya ingin mendapatkan kesembuhan semata namun
juga ridha dari Allah SWT.
Sedangkan untuk kosmetika seperti produk pasta gigi, dalam Dyah dkk. (2010)
dijelaskan bahwa pasta gigi termasuk produk kosmetika dimana menurut Peraturan Menkes
RI 1976 dan sesuai dengan Federal Food and Cosmetic Act 1958, pasta gigi adalah bahan
atau campuran bahan untuk digosokkan, direkatkan, dilekatkan, dituangkan, dipercikkan,
atau disemprotkan, dimasukkan dalam, digunakan pada badan manusia dengan maksud
membersihkan, memelihara, menambah daya tarik, dan mengubah rupa, dan tidak termasuk
golongan obat. Direktur Eksekutif LPPOM MUI, Lukmanul Hakim, mengatakan, titik kritis
keharaman dalam pasta gigi itu terkandung dalam bahan-bahannya. Pasta gigi mengandung
kalsium yang diperoleh dari tulang binatang, apakah babi atau binatang yang lain. Pasta gigi
juga mengandung flavor yang bisa berasal dari alkohol, bisa juga dari zat sejenis binatang
berang-berang. Agar masyarakat tidak salah memilih pasta gigi yang halal, terang
Lukmanul, mereka harus membeli pasta gigi yang telah memiliki sertifikat atau tanda halal.
Dari penjelasan di atas diketahui bahwa hewan babi dan turunannya sangat populer
digunakan sebagai bahan baku dalam produksi makanan, minuman, obat-obatan, kosmetika
serta produk gunaan lainnya seperti tas, sepatu, dompet, tinta dan lain-lain. Hal ini terutama
karena harganya yang ekonomis. Untuk mengetahui produk-produk apa saja yang berpotensi
mengandung bahan baku dari hewan babi dan turunannya dapat dilihat pada Gambar 1.3.

1.5. Fenomena Perilaku Pembelian Produk Halal di Indonesia

Dalam Bisnis Indonesia (Sihombing, 20/01/2011:6) diberitakan bahwa potensi pasar produk
halal dunia diperkirakan mencapai US$2,1 triliun per tahun, dimana, konsumsi makanan
halal diprediksi melebihi rata-rata per tahun yang mencapai US$666,7 miliar. Nadzri
Shamsudin kepada Bisnis Indonesia (Sihombing, 20/01/2011: 6) mengungkapkan bahwa

34

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
Gambar 1.3
35

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
menurut Trade Comissioner Malaysia External Trade Development Corporation,
pertumbuhan produk halal disokong oleh pertumbuhan penduduk muslim maupun
nonmuslim yang telah mempercayai kualitas produk halal. Produk halal yang dicari bukan
sekadar produk makanan, tetapi juga produk perbankan dan jasa logistik. Nadzri
menambahkan, saat ini setidaknya ada 11 negara dengan potensi pasar produk halal terbesar,
antara lain Indonesia, China, Uni Emirat Arab, Iran, Inggris, Prancis, Kazakstan, Mesir,
Afrika Selatan, Turki dan Amerika (lihat Tabel 1.1).

Tabel 1.1
Data Ekspor Produk Dan Jasa Halal Malaysia
Ke Negara-negara OKI (Organisasi Konferensi Islam)*
Makanan Olahan (RM 2,85 juta **) Obat-obatan Dan Farmasi (RM 175,3 juta)
Indonesia 25% Brunei Darussalam 43,4%
Irak 15,2% Nigeria 14,4%
Brunei Darussalam 8,6% Suriah 7,3%
Uni Emirat Arab 7,5% Iran 4,3%
Arab Saudi 6%
* Data 2009, dari total keseluruhan ekspor ke negara-negara OKI
**26,5% dari keseluruhan total ekspor makanan olahan
Sumber: Malaysia External Trade Development Corporation dalam Sihombing (Bisnis Indonesia, 20/01/11:; 6)

Nadzri mengungkapkan, salah satu pasar besar produk halal Malaysia adalah UK
(United Kingdom). Penduduk non muslim UK justru yang lebih banyak yang mencari
produk halal karena mereka yakin kebersihannya terjamin. Label halal di banyak negara
pada dasarnya adalah jaminan higienitas dan kualitas tinggi sehingga konsumen nonmuslim
di dunia juga mencari produk dengan label halal. Data The Third Industrial Master Plan
2006-2020, Ministry of International Trade and Industry (MITI) Malaysia menunjukkan
bahwa daya beli produk halal penduduk muslim Prancis (yang berdasarkan data Pew
Research Center Report of Mapping The Global Muslim Population, Oktober 2009,
berjumlah 3,554 juta jiwa) setara dengan daya beli produk halal penduduk muslim Indonesia
( 208,8 juta jiwa) ditambah Malaysia (16,6 juta jiwa), Filipina (4,7 juta jiwa), dan Thailand
(3,9 juta jiwa), lihat Tabel 1.2.
Besarnya daya beli masyarakat Prancis terhadap produk halal disebabkan oleh
meluasnya pangsa pasar produk halal di seluruh dunia yang tidak hanya terpaku pada nilai
ke-Islamannya saja, tetapi juga dipercaya telah melalui proses pembuatan dengan standar
yang baik sehingga lebih aman untuk dikonsumsi. Data yang sama (Tabel 1.2) mencatat,

36

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
sekitar 75% produk ayam asal Malaysia yang diekspor ke Prancis telah memiliki label halal,
dan tren positif juga tampak dari ekspor daging tanpa tulang asal Malaysia ke Brazil dengan
sertifikat halal yang mencapai 30%. Informasi berupa labelisasi halal pada kemasan produk
adalah salah satu strategi yang dapat digunakan produsen untuk memenuhi keinginan
konsumen akan makanan halal. Konsumen berhak tahu semua hal mengenai produk yang
dikonsumsinya sehingga mereka dapat menentukan pilihan produk yang mereka anggap
aman dan sesuai dengan pandangan hidup (atau ajaran agamanya) berdasarkan informasi
yang jelas.

Tabel 1.2
Fakta Pasar Produk Halal
1. Nilai pendapatan global produk halal per tahun US$2,1 triliun
2. Konsumsi makanan halal di seluruh dunia US$666,7 juta
3. Sekitar 75% impor daging ayam Prancis dari Malaysia adalah halal*
4. Hampir 30% ekspor daging sapi tanpa tulang Brazil adalah halal dengan Mesir dan Iran
sebagai pembeli utama***
5. Daya membeli muslim Prancis hampir sama dengan daya beli muslim Indonesia ditambah
Malaysia, Filipina dan Thailand*
6. Arab Saudi adalah pasar terbesar untuk produk food and beverages dan pasar produk
halalnya diperkirakan mencapai US$5 juta setiap tahunnya**
7. Penelitian menunjukkan 75% muslim Inggris menginginkan layanan perbankan yang
memenuhi syariah tetapi menguntungkan****
* The Third Industrial Master Plan 2006-2020, Ministry of International Trade and Industry Malaysia
** Malaysia External Trade Development Corporation (indikasi sebagai produk survei pasar)
*** Jurnal Halal, www.halaljournal.com
**** Spotlighting Europe's Muslim consumers – Euromonitor International
Sumber: Sihombing (Bisnis Indonesia, 20 Januari 2011: hal.6)

Menurut Lukmanul Hakim, Direktur LPPOM MUI dalam acara sarasehan


memperingati Milad ke-22 LPPOM MUI di Jakarta 6 Januari 2011 lalu, berdasarkan hasil
survei LPPOM MUI menunjukkan bahwa kepedulian masyarakat Indonesia terhadap
kehalalan produk meningkat dari hanya 70 persen di tahun 2009, naik menjadi sekitar 92.2
persen di tahun 2010. Sayangnya, kepedulian masyarakat yang meningkat ini tidak
diimbangi dengan jumlah produk yang bersertifikat halal. Menurut data LPPOM MUI pada
tahun 2009, produk bersertifikat halal di Indonesia berjumlah 10.550 produk, yang terdiri
dari produk makanan, minuman, obat-obatan, kosmetika serta kelompok lainnya seperti
tinta, kertas, kantong plastik, sabun pembersih, tissue, arang dan lain-lain yang mana sudah
termasuk produk nasional maupun impor. Meskipun jumlahnya meningkat 100 persen
menjadi 21.837 produk berlabel halal di tahun 2010, jumlah ini belum sebanding dengan
banyaknya produk yang teregistrasi di Badan POM dimana jumlah produk makanan saja

37

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
telah mencapai 113.515 produk, namun ternyata yang memiliki sertifikat halal MUI baru
berjumlah 41.695 produk atau hanya sekitar 36,7 persennya saja (Chalik dan Akbar, 2011).
Selain jumlah produk bersertifikat halal yang terbatas, kepedulian masyarakat
muslim di Indonesia pada produk halal yang tinggi, tidak diimbangi dengan daya belinya
terhadap produk halal tersebut. Berdasarkan data The Third Industrial Master Plan 2006-
2020 dari Ministry of International Trade and Industry (MITI) Malaysia (Sihombing dalam
Bisnis Indonesia, 20/01/2011:6) diketahui bahwa meskipun potensi pasar produk halal dunia
diperkirakan mencapai US$2,1 triliun per tahun dan konsumsi makanan halal diprediksi
mencapai US$666,7 juta, namun ternyata daya beli masyarakat muslim Indonesia terhadap
produk halal masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan masyarakat muslim Prancis.
Kendati jumlah penduduk muslim Indonesia mencapai 208,8 juta jiwa, sedangkan muslim
Prancis hanya 3,554 juta jiwa, ternyata daya beli produk halal masyarakat muslim Prancis
setara dengan daya beli masyarakat muslim di Indonesia ditambah Malaysia, Filipina, dan
Thailand. Direktur LPPOM MUI, Lukmanul Hakim, kepada Bisnis Indonesia (Sihombing
dalam Bisnis Indonesia, 20/01/2011:6) menjelaskan bahwa 50 persen dari produk impor
bersertifikasi halal yang dikeluarkan MUI merupakan produk asal China. Lukmanul menilai
China tampak serius menyikapi keberadaan sertifikasi halal yang ditetapkan MUI. ”Mereka
sadar Indonesia sebagai pasar halal terbesar di dunia." Berbanding terbalik dengan produk
China yang terbilang serius mengurusi sertifikasi halal, produsen produk-produk halal di
tanah air justru terbilang ogah-ogahan, dimana berdasarkan data terakhir MUI, hanya 36,7
persen produk yang teregistrasi memiliki sertifikat halal MUI.
Sedangkan menurut penelitian Mashudi (2011) mengenai konstruksi hukum dan
respon masyarakat terhadap sertifikasi halal produk yang merupakan studi socio-legal
terhadap peran LPPOM MUI dalam kaitannya dengan penerbitan sertifikat halal,
menunjukkan bahwa respon produsen dan konsumen terhadap sertifikasi halal produk
rendah atau negatif. Faktor penyebab rendahnya respon produsen adalah peraturan yang
tidak memberi kepastian, pengutamaan bisnis, dan kurangnya pengawasan. Faktor yang
menyebabkan rendahnya respon konsumen adalah keyakinan agama, rendahnya kemampuan
ekonomi, budaya dan geografis, serta adanya kesenjangan antara kognitif, afektif, dan
konatif yang menimbulkan adanya sikap prediposisi (mudah terpengaruh) dan pura-pura
(pseudo respons) responden. Kesenjangan ini mengakibatkan pelaku usaha memasang logo
halal tanpa dasar sertifikat halal.

38

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
Hasil penelitian Sukmawati (2006) pada produk kosmetik berlabel halal (Wardah)
mengemukakan bahwa meskipun terdapat 55% responden yang menyatakan ingin
menggunakan kosmetik berlabel halal, namun ternyata hanya 8% responden yang
menyatakan bahwa label halal adalah faktor terpenting dalam pembelian dan perpindahan
merek pada produk kosmetik. Bagi responden, faktor terpenting yang mendasari
dilakukannya pembelian dan perpindahan merek pada produk kosmetik adalah kecocokan
atau kinerja produknya. Dari penelitian tersebut didapatkan pula prediksi tentang pangsa
pasar produk kosmetik halal di Indonesia, yaitu hanya sebesar 11,85%. Dari penelitian
tersebut diketahui bahwa meskipun terdapat 56% responden yang menyadari adanya label
halal pada produk kosmetik, namun hanya 24% responden yang mengetahui bahwa
kosmetik berpotensi mengandung komposisi bahan baku yang tidak halal.
Dari penjelasan di atas secara umum dapat disimpulkan bahwa diduga meskipun
mengkonsumsi produk halal adalah wajib bagi umat Islam, namun ternyata bagi masyarakat
Indonesia yang hidup di negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, label
halal belum menjadi faktor terpenting dalam pembelian produk makanan, minuman, obat-
obatan dan kosmetika. Hal ini nampak dari: (1) cukup rendahnya daya beli masyarakat
muslim Indonesia terhadap produk halal jika dibandingkan dengan penduduk muslim
Prancis, (2) terbatasnya jumlah produk bersertifikat halal di Indonesia, dan (3) rendahnya
pengetahuan konsumen mengenai komposisi produk yang berpotensi mengandung zat
nonhalal. Hal inilah yang melatar belakangi dilakukannya penelitian ini.

1.6. Dasar Penelitian Terdahulu, Perbedaan Dan Pengembangannya

Selain dilatar belakangi penelitian Kasali (1998), Triharja (2003), Fronteir (2001),
Sukmawati (2006), dan data-data yang dikemukakan LPPOM MUI tahun 2009-2011 (dalam
Chalik dan Akbar, 2011), The Third Industrial Master Plan 2006-2020, Ministry of
International Trade and Industry (MITI) Malaysia, Malaysia External Trade Development
Corporation, Jurnal Halal LPPOM MUI, dan Europe's Muslim consumers-Euromonitor
International (Sihombing, Bisnis Indonesia 20/01/2011:6, lihat Tabel 1.2) yang telah
dikemukakan di atas, penelitian ini juga dilatarbelakangi oleh penelitian yang pernah
penulis lakukan sebelumnya (Aisyah, 2004) mengenai pengaruh labelisasi halal terhadap
keputusan pembelian konsumen yang mengaplikasikan Theory of Reasoned Action. Teori

39

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
ini pada dasarnya membahas kaitan antara sikap dan norma subyektif konsumen dengan
kecenderungan berperilaku atau behavioral intention konsumen untuk membeli produk
berlabel halal dimana obyek yang digunakan adalah produk mi instan berlabel halal yang
diproduksi oleh PT.Indofood Sukses Makmur Tbk., sebagai produsen mi instan terbesar di
Indonesia. Produk mi instan dipilih karena mi identik dengan makanan yang menggunakan
lemak babi, hal ini karena mi kerap kali dihubungkan dengan obyek lain yaitu restoran cina
atau chinese food (makanan cina) yang memang umumnya menjual makanan yang dimasak
dengan menggunakan lemak babi.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa sikap dan norma subyektif mempengaruhi
secara signifikan kecenderungan konsumen membeli produk berlabel halal. Hanya
konsumen beragama Islam saja yang memiliki nilai sikap dan norma subyektif terhadap
kecenderungan membeli produk berlabel halal, sedangkan pemeluk agama lainnya tidak,
dimana semakin tinggi tingkat orientasi atau kualitas keagamaan konsumen, maka semakin
tinggi pula kecenderungan konsumen membeli produk berlabel halal. Diketahui pula bahwa
perilaku kecenderungan membeli produk berlabel halal lebih tinggi pada konsumen wanita
ketimbang konsumen pria. Lalu semakin tua usia konsumen, semakin tinggi tingkat
pendidikan konsumen dan semakin besar pendapatan konsumen, maka semakin tinggi pula
kecenderungan konsumen membeli produk berlabel halal.
Pada penelitian sebelumnya (Aisyah, 2004), penulis hanya menganalisis kaitan
antara sikap dan norma subyektif terhadap kecenderungan konsumen membeli produk
berlabel halal, dimana obyek yang digunakan adalah produk mi instan Indofood saja.
Anggota populasi juga terbatas pada konsumen yang pernah membeli produk mi instan
Indofood di supermarket Alfa Retailindo, Jl. Juanda, Bekasi Timur saja yaitu sebanyak 150
responden. Pada penelitian kali ini penulis mencoba mengembangkan penelitian
sebelumnya dengan menganalisis pengaruh lingkungan eksternal konsumen yang terdiri dari
lingkungan keluarga, lembaga pendidikan formal, masyarakat (di wilayah tempat tinggal),
peer groups (kelompok teman sebaya), dan media massa, terhadap kecenderungan
konsumen membeli produk berlabel halal khusunya produk makanan, minuman, obat-obatan
dan kosmetika, yang dimediasi oleh perilaku religius konsumen.
Pada penelitian ini, responden dibatasi hanya konsumen yang beragama Islam saja
karena berdasarkan penelitian penulis sebelumnya (Aisyah, 2004), diketahui bahwa hanya
konsumen beragama Islam saja yang memiliki nilai sikap dan norma subyektif terhadap

40

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
kecenderung perilaku membeli produk berlabel halal, sedangkan pemeluk agama lainnya
tidak. Sampel yang digunakan adalah sebanyak 400 responden sesuai perhitungan populasi
penelitian dengan menggunakan rumus Slovin yang mewakili populasi konsumen muslim
khusunya dari kelompok usia remaja akhir (18-24 tahun) terutama dari kalangan mahasiswa
yang kuliah di perguruan tinggi Islam yaitu di Universitas Islam Negari (UIN) Syarif
Hidayatullah, dan yang kuliah di perguruan tinggi Umum yaitu di Universitas Trisakti.
Menurut Dariyo (2004:114), tingkah laku yang baik, keyakinan agama yang benar dan
kebiasaan menjalankan ajaran agama, sangat tergantung pada kebiasaan dan suasana
keagamaan yang dialami seseorang sejak kanak-kanak hingga menjelang dewasa.

Tabel 1.3
Tahap-tahap Perkembangan Sosialisasi Individu

Tahap Kesempatan Konfirmasi Kematangan Itegrasi Menemukan


Belajar Sosial Belajar Sosial Sosial Sosial Identitas Sosial
Usia Sejak lahir Praremaja Remaja Remaja akhir Dewasa
(8th) (>8-13th) (>13-18th) (>18-24th) (>24th)
Pengaruh Orang tua Orang tua dan Teman sebaya Teman sebaya Masyarakat
utama teman sebaya dan masyarakat
Pengaruh Minimal Tidak kuat Kuat Kuat Tidak Kuat
teman sebaya
Tahap transfer Fasilitas Makin kuat Berkurang Fasilitas Saling
berhubungan
Sumber: Dariyo (2004: 114)

Berdasarkan tahap-tahap perkembangan sosialisasinya (lihat Tabel 1.3), setiap


individu mulai mengalami proses kematangan sosial yang umumnya terbentuk sejak usia
remaja (13- <18 tahun). Pada usia remaja akhir atau menjelang dewasa (18-24 tahun),
seseorang telah mampu menentukan sikap, cara berfikir dan bertingkah laku, serta mampu
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Hal ini karena diusia remaja akhir (18-
24 tahun), setiap individu telah memiliki integrasi sosial yang mapan, baik dalam hal
keyakinan agamanya maupun kebiasaannya dalam menjalankan ajaran agamanya tersebut,
seperti kebiasaannya sebagai seorang muslim untuk memilih mengkonsumsi produk halal
sebagai wujud ketaatannya dalam menjalankan ajaran agama Islam yang ia anut.
Di era globalisasi saat ini yang sangat erat kaitannya dengan perkembangan
teknologi informasi (IT) khususnya dari komunitas pengguna internet dimana berdasarkan
data Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika
tahun 2012, pengguna internet di Indonesia telah mencapai 55 juta jiwa (42% dari total

41

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
penduduk Indonesia yang berjumlah 237,8 juta jiwa) dimana 44% penggunanya berusia di
bawah 24 tahun (Tulung, 2012). Perkembangan pesat teknologi informasi (IT) dan internet
di era globalisasi saat ini juga tidak terlepas dari peran media massa, terutama media
elektronik. Berdasarkan hasil survei Unicef tahun 2007 diketahui bahwa anak Indonesia
menonton televisi sebanyak 5 jam sehari atau 1.560 sampai 1.820 jam setahun. Sementara
jumlah jam belajar tidak lebih dari 1.000 jam setahun. Ketika sudah menginjak bangku
SMP, seorang anak rata-rata sudah menyaksikan siaran televisi selama 15.000 jam,
sedangkan waktu belajar di sekolah tidak lebih dari 11.000 jam (Nursyawal, Pikiran Rakyat,
25/8/2009). Dengan demikian usia remaja akhir adalah komunitas pengakses teknologi
informasi dan media massa khususnya internet dan televisi. Dipilihnya mahasiswa kelompok
usia remaja akhir (18-24 tahun) sebagai anggota populasi dalam penelitian ini adalah juga
karena mereka merupakan calon-calon orang tua atau generasi penerus bangsa dengan
peluang rentang nilai masa hidup pelanggan yang masih panjang sehingga menjadikannya
sebagai salah satu target pemasaran produk halal yang prospektif di era globalisasi saat ini.
Minimnya sosialisasi dari pemerintah termasuk oleh Badan POM dan LPPOM MUI,
serta kurangnya edukasi dari orang tua di lingkungan keluarga, guru-guru agama di
lingkungan sekolah, serta para ulama di lingkungan masyarakat, akan produk halal, diduga
turut melatarbelakangi rendahnya pengetahuan konsumen mengenai produk-produk yang
berpotensi mengandung zat nonhalal, sehingga ketika munculnya pemberitaan tentang
adanya kasus produk nonhalal yang beredar di pasaran, masyarakat muslim secara serempak
bertindak responsif. Sifat responsif masyarakat tersebut belum bisa menjawab seberapa
besar kepedulian masyarakat Indonesia yang mayoritasnya beragama Islam dalam
memperhatikan produk halal.

1.7. Permasalahan Dan Pertanyaan Penelitian

1.7.1. Permasalahan Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas, maka disusunlah permasalahan penelitian berikut:


1. Potensi pasar produk halal dunia sangat besar. Menurut data The Third Industrial
Master Plan 2006-2020 dari Ministry of International Trade and Industry (MITI)
Malaysia, diperkirakan mencapai US$2,1 triliun per tahun dan konsumsi makanan

42

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
halal mencapai US$666,7 miliar (Sihombing dalam Bisnis Indonesia, 20/01/2011:6).
Menurut perhitungan majalah Time, nilai pasar makanan halal dunia itu setara
dengan 16 persen dari total industri makanan di seluruh dunia (Sasongko dan
Rachman, 2010).
2. Halal haramnya makanan merupakan permasalahan yang sangat sensitif bagi
masyarakat Indonesia yang 85%-nya muslim karena menyangkut masalah syariat
agama. Kasus beredarnya produk nonhalal di era 80-an sangat mengejutkan
masyarakat, banyak perusahaan dari skala nasional, menengah, industri kecil dan
rumah tangga merugi dan gulung tikar karena diboikot konsumen muslim.
Beredarnya produk nonhalal dipasaran yang mengakibatkan kerugian bagi banyak
pihak terus berulang beberapa kali hingga masa sekarang. Hal ini tidak hanya
berdampak pada terguncangnya perekonomian nasional tetapi juga berpotensi
menimbulkan gejolak yang berpengaruh pada aspek sosial dan politik.
3. Dari beberapa penelitian terdahulu menunjukkan adanya hasil penelitian tentang
perilaku konsumen terhadap pembelian produk berlabel halal yang saling bertolak
belakang. Diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Menurut penelitian Triharja (2003), terdapat 87% masyarakat yang selalu
menjadikan halal sebagai pertimbangan utama sebelum membeli produk, 4%
tidak mempertimbangkan, dan 9% tidak tahu. Terdapat 63% masyarakat yang
aktif mencari informasi halal ketika membeli, 23% tidak, dan 14% tidak tahu.
78% masyarakat membutuhkan adanya informasi dan daftar produk halal yang
up to date. Ada 91% masyarakat yang sangat setuju jika label halal wajib
dicantumkan pada kemasan produk dan sisanya 9% menyatakan setuju.
b. Menurut penelitian Fronteir (2001), terdapat 57.9% konsumen yang selalu
memperhatikan label halal ketika membeli, 86% menginginkan pencatuman
label halal diwajibkan, dan bila mendapatkan makanan yang tidak berlabel halal
maka 66.2% konsumen memilih mencari alternatif lain sebagai pengganti, serta
terdapat 40.6% konsumen yang bersedia membayar lebih mahal demi
mendapatkan produk berlabel halal.
c. Menurut penelitian Kasali (1998), semakin penting rumor itu bagi subyek atau
masyarakat, maka semakin besar pula pengaruh psikologinya, apalagi yang
berkaitan dengan konsep keagamaan.

43

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
d. Data LPPOM MUI menunjukkan bahwa tingkat kepedulian masyarakat
Indonesia terhadap kehalalan produk meningkat dari hanya 70% di tahun 2009,
naik menjadi sekitar 92.2% di tahun 2010 (Direktur LPPOM MUI, Lukmanul
Hakim dalam Chalik dan Akbar, 2011).
Penelitian dan data di atas bertolak belakang dengan penelitian dan data berikut ini:
a. Menurut penelitian Mashudi (2011) mengenai konstruksi hukum dan respon
masyarakat terhadap sertifikasi produk halal yang merupakan studi socio-legal
terhadap peran LPPOM MUI dalam kaitannya dengan penerbitan sertifikat halal,
menganalisis bahwa respon produsen dan konsumen terhadap sertifikasi halal
rendah atau negatif. Faktor penyebab rendahnya respon produsen adalah karena
peraturan yang tidak memberi kepastian, pengutamaan bisnis, dan lemahnya
pengawasan. Faktor yang menyebabkan rendahnya respon konsumen adalah
karena keyakinan agama, rendahnya kemampuan ekonomi, faktor budaya dan
geografis, serta adanya kesenjangan antara kognitif, afektif, dan konatif yang
menimbulkan adanya sikap prediposisi (mudah terpengaruh) dan pura-pura
(pseudo respons) pada diri responden. Kesenjangan ini berdampak pula pada
pemasang label/ logo halal yang tidak didasari kepemilikan sertifikat halal oleh
pelaku usaha.
b. Menurut penelitian Sukmawati (2006), terdapat 55% konsumen yang
menyatakan ingin menggunakan kosmetik berlabel halal, namun hanya 8%
konsumen yang menyatakan bahwa label halal adalah faktor terpenting dalam
pembelian dan perpindahan merek pada produk kosmetik. Pangsa pasar produk
kosmetik halal di Indonesia diprediksi hanya sebesar 11,85%. Meskipun terdapat
56% konsumen yang menyadari adanya label halal pada produk kosmetik,
namun hanya 24% responden yang benar-benar mengetahui bahwa kosmetik
berpotensi mengandung komposisi bahan baku nonhalal.
c. Data The Third Industrial Master Plan 2006-2020, Ministry of International
Trade and Industry Malaysia menunjukkan bahwa daya beli penduduk muslim
Perancis yang hanya 3,554 juta jiwa lebih besar dibanding daya beli penduduk
muslim Indonesia yang berjumlah 208,8 juta jiwa lebih, ditambah, penduduk
muslim Malaysia, Filipina dan Thailand (Sihombing dalam Bisnis Indonesia,
20/01/2011:6).

44

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
d. Data LPPOM MUI menunjukkan bahwa sebanyak 50% produk impor
bersertifikat halal MUI adalah produk asal China dan hanya 36,7% produk lokal
yang beredar dipasaran dan telah teregistrasi, yang memiliki sertifikasi halal
MUI. Dari 113.515 produk makanan teregistrasi Badan POM saja, yang
memiliki sertifikat halal MUI hanya 41.695 produk (Lukmanul Hakim, Direktur
LPPOM MUI dalam Sihombing, Bisnis Indonesia, 20/01/2011:6).
4. Dari satu sisi menurut Islam, kewajiban umat muslim mengkonsumsi produk halal
adalah bagian dari sistem kehidupan manusia yang didasari oleh tiga komponen
terpenting, yaitu akidah, akhlak dan syariah. Aspek akidah menekankan bahwa
seorang muslim yang meyakini kebesaran Allah akan memilih mengkonsumsi
produk halal demi mempertahankan hidupnya dengan batasan yang telah ditetapkan
oleh Allah. Aspek akhlak menekankan bahwa seorang muslim yang terbiasa
mengkonsumsi produk halal, dirinya akan terhindar dari akhlak madzmumah
(tercela). Aspek syariah menekankan pada pelaksanaan ibadah dan muamalah
(perilaku hablumminallah dan hablumminannas) yang baik dan benar dengan
mengaplikasikan perilaku hanya mengkonsumsi produk yang halal dalam
kehidupannya sehari-hari sebagai salah satu wujud ketaatannya dalam menjalankan
syariat Islam secara sempurna/ kaaffah (Antonio, 2006:39). Hal ini sejalan dengan
teori Tawhidi String Relation (TSR) yang memandang adanya proses interaktif,
integratif dan pengalaman pembelajaran evolusioner yang timbul dari interrelasi
antara hukum Islam yang berasal dari alQuran dan Hadits dengan sistem kehidupan
manusia yang mengaitkan antara kehidupan dunia dengan kehidupan di akhirat,
dimana manusia yang memiliki perilaku yang baik akan tercermin dari
pengetahuannya yang mendalam tentang syariat Islam dan upayanya dalam
menjalankan syariat tersebut, termasuk dalam hal keputusannya untuk membeli dan
mengkonsumsi produk halal yang semata-mata bertujuan untuk memperoleh
keselamatan di dunia dan akhirat (Choudhury, 2006 dan Harahap, 2010).
5. Belum ada penelitian tentang perilaku konsumen yang menggunakan model
perspektif Islam terutama konsep Islam sebagai suatu sistem kehidupan manusia
yang sempurna (Islam as a comprehensive way of live) dan Tawhidi String Relation
(TSR) metodologi. Dengan meneliti pengaruh lingkungan eksternal di lingkungan
keluarga, lembaga pendidikan formal, masyarakat, peer groups dan media massa,

45

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
terhadap kecenderungan membeli produk berlabel halal, yang dimediasi perilaku
religius konsumen yang terdiri dari perilaku hablumminallah (perilaku keimanan
dan ibadah) dan perilaku hablumminannas (perilaku muamalah), maka akan dapat
dibuktikan secara empirik, lingkungan eksternal dan perilaku religius mana yang
paling dominan mempengaruhi kecenderungan konsumen membeli produk berlabel
halal. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada pemerintah
dan pihak-pihak terkait lainnya sehubungan dengan upaya meningkatkan daya beli
masyarakat Indonesia terhadap produk berlabel halal.

1.7.2. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan penelitian di atas, maka disusun


pertanyaan penelitian (research question) sebagai berikut:
1. Apakah kelima lingkungan eksternal mempengaruhi secara signifikan dan positif
terhadap perilaku hablumminallah (perilaku keimanan dan ibadah) konsumen, yang
dirinci menjadi:
1.1. Apakah lingkungan keluarga mempengaruhi secara signifikan dan positif terhadap
perilaku hablumminallah konsumen?
1.2. Apakah lingkungan lembaga pendidikan formal mempengaruhi secara signifikan
dan positif terhadap perilaku hablumminallah konsumen?
1.3. Apakah lingkungan masyarakat (di wilayah tempat tinggal) mempengaruhi secara
signifikan dan positif terhadap perilaku hablumminallah konsumen?
1.4. Apakah lingkungan peer groups (kelompok teman sebaya) mempengaruhi secara
signifikan dan positif terhadap perilaku hablumminallah konsumen?
1.5. Apakah lingkungan (aspek) media massa mempengaruhi secara signifikan dan
positif terhadap perilaku hablumminallah konsumen?
2. Apakah kelima lingkungan eksternal dan perilaku hablumminallah mempengaruhi
secara signifikan dan positif terhadap perilaku hablumminannas (perilaku muamalah)
konsumen, yang dirinci menjadi:
2.1. Apakah lingkungan keluarga mempengaruhi secara signifikan dan positif terhadap
perilaku hablumminannas konsumen?

46

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
2.2. Apakah lingkungan lembaga pendidikan formal mempengaruhi secara signifikan
dan positif terhadap perilaku hablumminannas konsumen?
2.3. Apakah lingkungan masyarakat mempengaruhi secara signifikan dan positif
terhadap perilaku hablumminannas konsumen?
2.4. Apakah lingkungan peer groups mempengaruhi secara signifikan dan positif
terhadap perilaku hablumminannas konsumen?
2.5. Apakah lingkungan (aspek) media massa mempengaruhi secara signifikan dan
positif terhadap perilaku hablumminannas konsumen?
2.6. Apakah perilaku hablumminallah mempengaruhi secara signifikan dan positif
terhadap perilaku hablumminannas konsumen?
3. Apakah kelima lingkungan eksternal, perilaku hablumminallah (perilaku keimanan dan
ibadah) dan hablumminannas (perilaku muamalah) mempengaruhi secara signifikan dan
positif terhadap kecenderungan konsumen membeli produk berlabel halal, yang dirinci
menjadi:
3.1. Apakah lingkungan keluarga mempengaruhi secara signifikan dan positif terhadap
kecenderungan konsumen membeli produk berlabel halal?
3.2. Apakah lingkungan lembaga pendidikan formal mempengaruhi secara signifikan
dan positif terhadap kecenderungan konsumen membeli produk berlabel halal?
3.3. Apakah lingkungan masyarakat mempengaruhi secara signifikan dan positif
terhadap kecenderungan konsumen membeli produk berlabel halal?
3.4. Apakah lingkungan peer groups mempengaruhi secara signifikan dan positif
terhadap kecenderungan konsumen membeli produk berlabel halal?
3.5. Apakah lingkungan (aspek) media massa mempengaruhi secara signifikan dan
positif terhadap kecenderungan konsumen membeli produk berlabel halal?
3.6. Apakah perilaku hablumminallah mempengaruhi secara signifikan dan positif
terhadap kecenderungan konsumen membeli produk berlabel halal?
3.7. Apakah perilaku hablumminannas mempengaruhi secara signifikan dan positif
terhadap kecenderungan konsumen membeli produk berlabel halal?
4. Apakah kelima lingkungan eksternal memiliki pengaruh tidak langsung terhadap
perilaku hablumminannas (muamalah), melalui perilaku hablumminallah (perilaku
keimanan dan ibadah) konsumen, yang dirinci menjadi:

47

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
4.1. Apakah lingkungan keluarga memiliki pengaruh tidak langsung terhadap perilaku
hablumminannas, melalui perilaku hablumminallah konsumen?
4.2. Apakah lingkungan lembaga pendidikan formal memiliki pengaruh tidak langsung
terhadap perilaku hablumminannas, melalui perilaku hablumminallah konsumen?
4.3. Apakah lingkungan masyarakat memiliki pengaruh tidak langsung terhadap
perilaku hablumminannas, melalui perilaku hablumminallah konsumen?
4.4. Apakah lingkungan peer groups memiliki pengaruh tidak langsung terhadap
perilaku hablumminannas, melalui perilaku hablumminallah konsumen?
4.5. Apakah lingkungan (aspek) media massa memiliki pengaruh tidak langsung
terhadap perilaku hablumminannas, melalui perilaku hablumminallah konsumen?
5. Apakah kelima lingkungan eksternal dan perilaku hablumminallah (keimanan dan
ibadah) memiliki pengaruh tidak langsung terhadap kecenderungan membeli produk
berlabel halal, melalui perilaku hablumminannas (perilaku muamalah) konsumen yang
dirinci menjadi:
5.1. Apakah lingkungan keluarga memiliki pengaruh tidak langsung terhadap
kecenderungan membeli produk berlabel halal, melalui perilaku hablumminallah
dan hablumminannas konsumen?
5.2. Apakah lingkungan lembaga pendidikan formal memiliki pengaruh tidak langsung
terhadap kecenderungan membeli produk berlabel halal, melalui perilaku
hablumminallah dan hablumminannas konsumen?
5.3. Apakah lingkungan masyarakat memiliki pengaruh tidak langsung terhadap
kecenderungan membeli produk berlabel halal, melalui perilaku hablumminallah
dan hablumminannas konsumen?
5.4. Apakah lingkungan peer groups memiliki pengaruh tidak langsung terhadap
kecenderungan membeli produk berlabel halal, melalui perilaku hablumminallah
dan hablumminannas konsumen?
5.5. Apakah lingkungan (aspek) media massa memiliki pengaruh tidak langsung
terhadap kecenderungan membeli produk berlabel halal, melalui perilaku
hablumminallah dan hablumminannas konsumen?
5.6. Apakah perilaku hablumminallah memiliki pengaruh tidak langsung terhadap
kecenderungan membeli produk berlabel halal, melalui perilaku hablumminannas
konsumen?

48

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
6. Apakah terdapat perbedaan kondisi aspek sosial keagamaan di kelima lingkungan
eksternal, perilaku hablumminallah (keimanan dan ibadah), perilaku hablumminannas
(muamalah), dan kecenderungan membeli produk berlabel halal, antara kelompok
konsumen berlatar belakang pendidikan Islam dengan kelompok konsumen berlatar
belakang pendidikan Umum, yang dirinci menjadi:
6.1. Apakah terdapat perbedaan kondisi aspek sosial keagamaan di lingkungan keluarga
antara konsumen berlatar belakang pendidikan Islam dengan Umum?
6.2. Apakah terdapat perbedaan kondisi aspek sosial keagamaan di lingkungan lembaga
pendidikan formal antara konsumen berlatar belakang pendidikan Islam dengan
Umum?
6.3. Apakah terdapat perbedaan kondisi aspek sosial keagamaan di lingkungan
masyarakat tempat tinggal antara konsumen berlatar belakang pendidikan Islam
dengan Umum?
6.4. Apakah terdapat perbedaan kondisi aspek sosial keagamaan di lingkungan peer
groups antara konsumen berlatar belakang pendidikan Islam dengan Umum?
6.5. Apakah terdapat perbedaan kondisi aspek sosial keagamaan pada media massa yang
diakses oleh konsumen berlatar belakang pendidikan Islam dengan Umum?
6.6. Apakah terdapat perbedaan perilaku hablumminallah (keimanan dan ibadah) antara
konsumen berlatar belakang pendidikan Islam dengan Umum?
6.7. Apakah terdapat perbedaan perilaku hablumminannas (muamalah) antara
konsumen berlatar belakang pendidikan Islam dengan Umum?
6.8. Apakah terdapat perbedaan kecenderungan membeli produk berlabel halal antara
konsumen berlatar belakang pendidikan Islam dengan Umum?

1.8. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:


1. Menganalisis apakah secara langsung:
1.1 Lingkungan keluarga mempengaruhi secara signifikan dan positif terhadap perilaku
hablumminallah konsumen.
1.2 Lingkungan lembaga pendidikan formal mempengaruhi secara signifikan dan positif
terhadap perilaku hablumminallah konsumen.

49

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
1.3 Lingkungan masyarakat mempengaruhi secara signifikan dan positif terhadap
perilaku hablumminallah konsumen.
1.4 Lingkungan peer groups mempengaruhi secara signifikan dan positif terhadap
perilaku hablumminallah konsumen.
1.5 Lingkungan (aspek) media massa mempengaruhi secara signifikan dan positif
terhadap perilaku hablumminallah konsumen.
2. Menganalisis apakah secara langsung:
2.1 Lingkungan keluarga mempengaruhi secara signifikan dan positif terhadap perilaku
hablumminannas konsumen.
2.2 Lingkungan lembaga pendidikan formal mempengaruhi secara signifikan dan positif
terhadap perilaku hablumminannas konsumen.
2.3 Lingkungan masyarakat mempengaruhi secara signifikan dan positif terhadap
perilaku hablumminannas konsumen.
2.4 Lingkungan peer groups mempengaruhi secara signifikan dan positif terhadap
perilaku hablumminannas konsumen.
2.5 Lingkungan (aspek) media massa mempengaruhi secara signifikan dan positif
terhadap perilaku hablumminannas konsumen.
2.6 Perilaku hablumminallah mempengaruhi secara signifikan dan positif terhadap
perilaku hablumminannas konsumen.
3. Menganalisis apakah secara langsung:
3.1 Lingkungan keluarga mempengaruhi secara signifikan dan positif terhadap
kecenderungan konsumen membeli produk berlabel halal.
3.2 Lingkungan lembaga pendidikan formal mempengaruhi secara signifikan dan positif
terhadap kecenderungan konsumen membeli produk berlabel halal.
3.3 Lingkungan masyarakat mempengaruhi secara signifikan dan positif terhadap
kecenderungan konsumen membeli produk berlabel halal.
3.4 Lingkungan peer groups mempengaruhi secara signifikan dan positif terhadap
kecenderungan konsumen membeli produk berlabel halal.
3.5 Lingkungan (aspek) media massa mempengaruhi secara signifikan dan positif
terhadap kecenderungan konsumen membeli produk berlabel halal.
3.6 Perilaku hablumminallah mempengaruhi secara signifikan dan positif terhadap
kecenderungan konsumen membeli produk berlabel halal.

50

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
3.7 Perilaku hablumminannas mempengaruhi secara signifikan dan positif terhadap
kecenderungan konsumen membeli produk berlabel halal.
4. Menganalisis apakah :
4.1 Lingkungan keluarga memiliki pengaruh tidak langsung terhadap perilaku
hablumminannas, melalui perilaku hablumminallah konsumen.
4.2 Lingkungan lembaga pendidikan formal memiliki pengaruh tidak langsung terhadap
perilaku hablumminannas, melalui perilaku hablumminallah konsumen.
4.3 Lingkungan masyarakat memiliki pengaruh tidak langsung terhadap perilaku
hablumminannas, melalui perilaku hablumminallah konsumen.
4.4 Lingkungan peer groups memiliki pengaruh tidak langsung terhadap perilaku
hablumminannas, melalui perilaku hablumminallah konsumen.
4.5 Lingkungan (aspek) media massa memiliki pengaruh tidak langsung terhadap
perilaku hablumminannas, melalui perilaku hablumminallah konsumen.
5. Menganalisis apakah :
5.1 Lingkungan keluarga memiliki pengaruh tidak langsung terhadap kecenderungan
membeli produk berlabel halal melalui perilaku hablumminallah dan
hablumminannas konsumen.
5.2 Lingkungan lembaga pendidikan formal memiliki pengaruh tidak langsung terhadap
kecenderungan membeli produk berlabel halal melalui perilaku hablumminallah dan
hablumminannas konsumen.
5.3 Lingkungan masyarakat memiliki pengaruh tidak langsung terhadap kecenderungan
membeli produk berlabel halal melalui perilaku hablumminallah dan
hablumminannas konsumen.
5.4 Lingkungan peer groups memiliki pengaruh tidak langsung terhadap kecenderungan
membeli produk berlabel halal melalui perilaku hablumminallah dan
hablumminannas konsumen.
5.5 Lingkungan (aspek) media massa memiliki pengaruh tidak langsung terhadap
kecenderungan membeli produk berlabel halal melalui perilaku hablumminallah dan
hablumminannas konsumen.
5.6 Perilaku hablumminallah memiliki pengaruh tidak langsung terhadap kecenderungan
membeli produk berlabel halal melalui perilaku hablumminannas konsumen.

51

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
6. Menganalisis apakah:
6.1 Terdapat perbedaan kondisi aspek sosial keagamaan dilingkungan keluarga antara
konsumen berlatar belakang pendidikan Islam dengan Umum.
6.2 Terdapat perbedaan pada kondisi aspek sosial keagamaan dilingkungan lembaga
pendidikan formal antara konsumen berlatar belakang pendidikan Islam dengan
Umum.
6.3 Terdapat perbedaan kondisi aspek sosial keagamaan dilingkungan masyarakat antara
konsumen berlatar belakang pendidikan Islam dengan Umum.
6.4 Terdapat perbedaan kondisi aspek sosial keagamaan dilingkungan peer groups antara
konsumen berlatar belakang pendidikan Islam dengan Umum.
6.5 Terdapat perbedaan kondisi aspek sosial keagamaan pada media massa yang diakses
oleh konsumen berlatar belakang pendidikan Islam dengan Umum.
6.6 Terdapat perbedaan perilaku hablumminallah antara konsumen berlatar belakang
pendidikan Islam dengan Umum.
6.7 Terdapat perbedaan perilaku hablumminannas antara konsumen berlatar belakang
pendidikan Islam dengan Umum.
6.8 Terdapat perbedaan kecenderungan membeli produk berlabel halal antara konsumen
berlatar belakang pendidikan Islam dengan Umum.

1.9. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif yang dapat
membantu meningkatkan pemasaran produk-produk berlabel halal di Indonesia, melalui
konsep pemasaran strategis yang mengedukasi masyarakat, baik muslim maupun non
muslim, dalam rangka meningkatkan kepedulian dan pemahaman masyarakat akan
keunggulan produk-produk berlabel halal. Dengan mengetahui lingkungan eksternal
keagamaan mana yang mempengaruhi secara signifikan kecenderungan konsumen membeli
produk berlabel halal, khususnya poduk makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetika
yang berlabel halal, serta mengetahui ada tidaknya perbedaan kecenderungan membeli
antara konsumen berlatar belakang pendidikan Islam dengan Umum, diharapkan dapat
membantu lembaga sertifikasi halal LPPOM MUI pada khususnya, dan instansi-instansi
terkait lainnya seperti Badan POM, Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan,

52

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Koperasi dan UKM,
Kementerian Peternakan, Pemerintah Daerah, Lembaga Perlindungan Konsumen dan Ormas
Islam, untuk merumuskan konsep dan menjalankan strategi yang tepat dalam rangka
mensosialisasikan produk berlabel halal kepada masyarakat, baik secara langsung melalui
kegiatan kampanye (promosi) below the line berupa pelatihan, seminar, ceramah agama,
pameran, perlombaan dan lain-lain di sekolah-sekolah hingga perguruan tinggi, pasar, mall
dan pusat-pusat perbelanjaan lainnya, perkantoran, masjid/musholla, tempat-tempat
pengajian, majelis taklim, kantor instansi pemerintah seperti kelurahan, puskesmas, pos
yandu dan lainnya, serta kegiatan kampanye (promosi) above the line berupa kegiatan
sponsorship dan periklanan di berbagai media cetak maupun elektronik, khususnya televisi
dan internet.
Diharapkan dengan meningkatnya pemahaman dan kepedulian konsumen terhadap
kehalalan produk, akan dapat meningkatkan daya beli masyarakat Indonesia terhadap
produk berlabel halal, yang secara tidak langsung akan turut mendorong para pelaku usaha
di Indonesia untuk mensertifikasi dan melabelisasi halal produk-produknya. Selain itu,
dibutuhkan pula berbagai kegiatan sosialisasi dan edukasi yang lebih intensif oleh lembaga
dan instansi pemerintah terkait guna mendorong para pelaku usaha agar mulai
memanfaatkan layanan sertifikasi halal sebagai salah satu upaya strategis dalam rangka
menghadapi era globalisasi yang sangat kompetitif, terutama untuk menangkis pesaing-
pesaing dari luar negeri dengan menyamakan atau bahkan meningkatkan kualitas produk-
produk Indonesia yang terjamin kehalalannya. Dengan memiliki sertifikat halal MUI yang
diakui tidak hanya di dalam negeri tetapi juga di dunia internasional, para pengusaha lokal
berpeluang memasarkan produknya ke seluruh masyarakat muslim di dunia yang berjumlah
lebih dari seperempat penduduk bumi (1 milyar jiwa).
Disamping itu, dengan meningkatnya daya beli beli masyarakat terhadap produk
berlabel halal, diharapkan tidak hanya meningkatkan kesadaran para pelaku usaha di tingkat
industri atau pengusaha besar saja tetapi juga para pelaku usaha mikro, kecil dan menengah
(UMKM). Karenanya, diperlukan kerjasama yang baik antara LPPOM MUI dengan
Kementerian Koperasi dan UKM pusat yang didukung pula oleh Dinas Koperasi dan UKM
pemerintah daerah setempat, lembaga-lembaga sosial masyarakat dan lainnya, guna
menyusun serta melaksakan berbagai program binaan dan pengabdian masyarakat dalam
rangka memfasilitasi pengadaan proses sertifikasi dan labelisasi halal bagi UMKM yang

53

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
akan membantu meningkatkan daya saing UMKM baik di pasar lokal maupun di pasar
internasional.
Secara sosial dan akademik diharapkan penilitian ini dapat turut menggugah
kesadaran para orang tua, lembaga pendidikan formal melalui partisipasi aktif dari para
guru/dosen, pimpinan dan karyawan, serta para ulama/ pemuka agama maupun tokoh-tokoh
masyarakat lainnya, untuk bersama-sama dengan lembaga pemerintahan terkait (LPPOM
MUI, Badan POM, Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, Kementerian Koperasi
dan UKM, Kementerian Peternakan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian,
bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan, Kementerian Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Dalam Negeri, Pemerintah Daerah), Lembaga
Perlindungan Konsumen dan Ormas Islam, untuk secara aktif melakukan sosialisasi dan
edukasi yang intensif mengenai produk berlabel halal kepada seluruh anggota keluarga, anak
didik, tetangga dan masyarakat melalui pendidikan formal maupun non formal, kampanye
(promosi) below the line dan above the line, agar dapat membantu meningkatkan gerakan
sertifikasi dan labelisasi halal di Indonesia yang akan mendorong para pelaku usaha
memberikan jaminan, kepastian dan ketentraman batin kepada konsumen di Indonesia.

1.10. Signifikansi Penelitian

Berdasarkan data dan berbagai penelitian terdahulu, keinginan masyarakat untuk


mengkonsumsi produk berlabel halal cukup tinggi, namun hal ini bertolak belakang dengan
rendahnya daya beli masyarakat muslim Indonesia terhadap produk berlabel halal terutama
jika dibandingkan dengan penduduk muslim Perancis yang hanya berjumlah 3,554 juta jiwa
yang daya beli produk halalnya setara dengan daya beli penduduk muslim di Indonesia yang
berjumlah 208,8 juta jiwa, ditambah penduduk muslim Malaysia, Filipina, dan Thailand
(Sihombing, Bisnis Indonesia, 20/01/2011:6). Meskipun kepedulian masyarakat Indonesia
terhadap kehalalan produk dari tahun ke tahun terus meningkat (mencapai 92,2%), namun
secara kuantitatif belum memberikan dampak perubahan yang signifikan terhadap
bertambahnya jumlah produk yang bersertifikat halal di Indonesia, dimana baru 36,7% saja
yang telah bersertifikat halal dari seluruh produk yang beredar di pasaran dan teregistrasi di
Badan POM (Lukmanul Hakim, Direktur LPPOM MUI dalam Chalik dan Akbar, 2011).

54

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
Oleh karena itu, penelitian ini penting dilakukan karena banyak studi-studi tentang
perilaku konsumen terhadap produk halal yang masih mengabaikan variabel-variabel yang
dalam pandangan Islam dijadikan variabel utama dalam menganalisis perilaku manusia.
Metode yang digunakan untuk menggambarkan hubungan dan pengaruh antar variabel
selama ini hanya menggunakan hubungan searah dan masih menggunakan analisis statis
yang umumnya digunakan untuk melihat sebab akibat dalam jangka pendek, padahal proses
pembentukan perilaku manusia yang terkait dengan keputusan pembelian konsumen
bukanlah suatu proses yang pendek karena berkembang dan terbentuk dari suatu proses yang
panjang dan membutuhkan waktu yang lama.
Penelitian ini bermaksud meneliti lebih jauh apakah kecenderungan konsumen
muslim membeli produk berlabel halal di Indonesia dipengaruhi oleh lingkungan
eksternalnya, yaitu kondisi aspek sosial keagamaan di lingkungan keluarga, lembaga
pendidikan formal, masyarakat, peer groups (kelompok teman sebaya) dan media massa,
yang dalam perspektif Islam dimediasi oleh perilaku religius konsumen. Sedangkan perilaku
religius adalah perilaku hablumminallah yaitu perilaku keimanan dan ibadah konsumen
muslim dalam hubungan dengan Tuhannya, dan perilaku hablumminannas yaitu perilaku
muamalah konsumen muslim terhadap diri sendiri, sesama manusia dan alam sekitar.
Kelima lingkungan eksternal merupakan variabel independent yang diduga mempengaruhi
variabel dependent kecenderungan membeli produk berlabel halal, baik secara langsung
maupun tidak langsung, yang dimediasi oleh perilaku hablumminallah (keimanan dan
ibadah) dan hablumminannas (mualamah) konsumen sebagai variabel intervening. Variabel
intervening berada di antara variabel stimulus/ independent yang diduga akan memodifikasi
variabel respon/ dependent. Penelitian ini juga didasari oleh metodologi Tawhidi String
Relations (TSR) dengan analisis dinamis yang memperlihatkan hubungan antar variabel
yang saling mempengaruhi.
Melihat variabel yang akan diuji dan metode yang digunakan dalam penelitian ini
diharapkan dapat mengemukakan hal-hal baru yang selama ini belum terungkap dalam
studi-studi konvensional. Penelitian ini bersifat eksplanatori/ penjelasan untuk membuktikan
keterkaitan antara variabel yang bersifat kausal. Obyek dalam penelitian ini adalah produk
berlabel halal khususnya produk makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetika. Untuk
makanan dipilih produk makanan dalam kemasan mi instan Indofood (merek Indomie,
Supermie, Sarimie dan Pop Mie). Untuk minuman dipilih produk air minum dalam kemasan

55

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
(amdk) merek Aqua. Untuk obat-obatan dipilih produk obat batuk sirup merek Nelco
Spesial, dan untuk kosmetika dipilih produk perawatan tubuh (toiletries) khususnya pasta
gigi merek Pepsodent. Mi instan Indofood, amdk Aqua dan pasta gigi Pepsodent adalah
merek yang dikenal luas oleh masyarakat Indonesia dan telah lama menjadi market leader,
sedangkan obat batuk sirup Nelco Spesial merupakan produk obat batuk cair pertama di
Indonesia yang telah mencantumkan label halal pada kemasan produknya. Produk-produk
tersebut telah memiliki sertifikat halal MUI dan telah memiliki izin pencatuman label halal
pada kemasan produknya yang dikontrol dan diawasi oleh Badan POM.
Untuk menganalisis pengaruh kelima lingkungan eksternal terhadap kecenderungan
membeli produk berlabel halal yang dimediasi perilaku religius konsumen, penelitian ini
memilih anggota populasi dari kelompok remaja akhir (usia 18-24 tahun), terutama
mahasiswa yang kuliah di dua lokasi perguruan tinggi yang berbeda yaitu di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan di Universitas Trisakti, karena
pertimbangan adanya perbedaan karakteristik sosial budaya dan keagamaan antara lembaga
pendidikan formal berbasis Islam dengan lembaga pendidikan formal berbasis Umum.
Dengan membagi lokasi penelitian menjadi dua lembaga pendidikan fomal tertinggi yang
berbeda karakteristik sosial budaya dan keagamaannya, penelitian ini akan dapat
menganalisis sejauh mana perbedaan kecenderungan membeli antara kelompok konsumen
berlatar belakang pendidikan Islam dengan kelompok konsumen berlatar belakang
pendidikan Umum terhadap produk berlabel halal.

1.11. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan disertasi ini adalah sebagai berikut:


Bab I Pendahuluan menjelaskan tentang latar belakang masalah, produk, sertifikasi
dan labal halal di Indonesia yang membahas tentang definisi produk halal, ketentuan
sertifikasi halal dan pencantuman label halal produk di Indonesia, manfaat sertifikasi dan
label halal bagi konsumen dan produsen, serta adanya potensi kandungan bahan baku non
halal pada produk makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetika di pasaran. Bab ini juga
menjelaskan tentang fenomena perilaku pembelian produk halal di Indonesia, penelitian
terdahulu, permasalahan dan pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian,
signifikansi penelitian, serta sistematika penulisan penelitian.

56

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
Bab II Landasan Teori berisi pembahasan tentang perilaku manusia secara umum
dan perilaku konsumen secara khusus, serta faktor-faktor eksternal dan internal yang
mempengaruhinya. Pada bab ini dijelaskan berbagai landasan teori tentang kecenderungan
berperilaku konsumen dalam perspektif marketing konvensional. Sedangkan dari perspektif
Islam dibahas tentang religiusitas, perilaku religius dan tingkat religiusitas, serta konsep
perilaku manusia dalam perspektif Tawhidy String Relations. Dilanjutkan dengan
pembahasan mendalam mengenai pengembangan teori penelitian yang didukung landasan-
landasan teori dan penelitian-penelitian terdahulu tentang lingkungan ekternal khususnya
yang terkait dengan kondisi aspek sosial keagamaan di kelima lingkungan eksternal
(lingkungan keluarga, lembaga pendidikan formal, masyarakat, peer groups dan media
massa), perilaku religius berupa perilaku hablumminallah (keimanan dan ibadah) dan
perilaku hablumminannas (muamalah), yang diawali dengan pembahasan mengenai dasar
hukum halal, makna dan konsep dasar penggunaan istilah perilaku hablumminallah dan
hablumminannas, serta kaitannya dengan keutamaan mengkonsumsi produk halal bagi umat
Islam. Dilanjutkan dengan penjelasan berbagai landasan teori tentang perilaku konsumen
dan kecenderungan konsumen membeli produk berlabel halal, kerangka pikir penelitian dan
pengembangan hipotesa penelitian.
Bab III Metodologi Penelitian, membahas tentang metode dan sifat penelitian,
teknik pengumpulan data, teknik pengambilan sampel dan jumlah sampel. Dilanjutkan
dengan definisi operasional variabel, dimensi dan indikator variabel serta pengukurannya,
mekanisme pengujian instrumen penelitian berupa uji validitas dan uji reliabilitas,
penjelasan sistematis tentang teknik analisis Structural Equation Model (SEM) yang
digunakan dalam pengujian hipotesa, kriteria uji kesesuaian model, uji validitas konstruk
dan kesahihan konvergen, serta rincian hipotesa yang akan diuji.
Bab IV Analisa dan Hasil, diawali dengan penjelasan tentang kriteria dan sebaran
responden, hasil uji beda dan analisanya. Dilanjutkan dengan hasil uji kesesuaian model,
hasil uji validitas konstruk dan kesahihan konvergen, serta hasil uji hipotesa berikut
analisanya secara mendalam, baik tentang faktor apa saja yang mempengaruhi perilaku
hablumminallah (keimanan dan ibadah), perilaku hablumminannas (muamalah) dan
kecenderungan konsumen membeli produk berlabel halal secara langsung, maupun faktor-
faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi perilaku hablumminannas melalui perilaku
hablumminallah, dan faktor-faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi

57

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.
kecenderungan konsumen muslim membeli produk berlabel halal melalui perilaku
hablumminannas. Analisa hasil uji hipotesa dipaparkan secara mendalam yang didukung
oleh berbagai landasan teori dan penelitian terdahulu.
Bab V Simpulan, tidak hanya memaparkan tentang simpulan penelitian, tetapi juga
menjelaskan tentang keterbatasan penelitian, implikasi teoritik, implikasi managerial, dan
rekomendasi penelitian berikutnya. Dan pada bagian akhir disajikan daftar pustaka berikut
lampiran penelitian.

58

PENGARUH LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP KECENDERUNGAN MEMBELI PRODUK BERLABEL HALAL


YANG DIMEDIASI PERILAKU RELIGIUS KONSUMEN, Muniaty Aisyah
Artikel ini di-digitalisasi oleh Perpustakaan-Universitas Trisakti, 2015, telp. 5663232 ext. 8112, 8113, 8114, 8151, 8194.

Anda mungkin juga menyukai