“PRODUK BIOSIMILAR”
PT. EBI
KELOMPOK 3
Oleh :
Kiki Tjong (20180103110)
Laila Karani (20180103073)
Nurmayanti (20180103105)
dr.Vivi Lianawati (20180103129)
Yanti (20180103
MAGISTER MANAJEMEN
UNIVERSITAS ESA UNGGUL JAKARTA
T.A 2018-2019
LATAR BELAKANG
Ginjal merupakan salah satu organ dalam tubuh yang mempunyai peran vital dan tak
tergantikan. Meski begitu masih banyak yang tidak menyadari bahwa setiap saat akan selalu
ada penyakit yang dapat merusak ginjal, sampai pada akhirnya jatuh dalam kondisi gagal
ginjal. Secara sederhana gagal ginjal merupakan kondisi dimana ginjal tidak lagi dapat
menjalankan fungsi normalnya sehingga menyebabkan gangguan fungsi tubuh. Fungsi ginjal
normal antara lain membuang zat yang berbahaya/racun dari dalam tubuh, mengatur
keseimbangan cairan, memproduksi sejumlah hormon, serta mengatur keseimbangan asam
basa dan elektrolit dalam tubuh.
Gagal ginjal sendiri terbagi menjadi dua, yakni Penyakit Ginjal Kronik (PGK), dan
juga Gagal Ginjal Akut. PGK merupakan kondisi dimana terdapat penurunan fungsi ginjal
akibat berbagai sebab. Penurunan fungsi itu biasanya terjadi secara perlahan namun progresif
dan irreversible berlangsung lebih dari tiga bulan, hingga pada suatu waktu ginjal pun tidak
dapat menjalankan fungsinya. Sedangkan gagal ginjal akut kemunculannya bersifat
mendadak, umumnya dapat membaik kembali seperti sedia kala, namun jika tidak ditangani
dengan tepat akan berakhir menjadi PGK.
Di bawah ini adalah data pasien baru dan pasien aktif hemodialis dari tahun 2007 –
2017 yang diambil dari Indonesian Renal Registry, 2017
Dari data tersebut dapat kita lihat bahwa jumlah pasien baru terus meningkat dari tahun ke
tahun. Pasien baru adalah pasien yang pertama kali menjalani dialisis pada tahun 2017
sedangkan pasien aktif adalah seluruh pasien baik pasien baru tahun 2017 maupun pasien
lama dari tahun sebelumnya, yang masih menjalani HD rutin dan masih hidup sampai
dengan tanggal 31 Desember 2017. Pada tahun 2017 pasien aktif meningkat tajam dari yang
berjumlah 52.835 orang di tahun 2016 menjadi 77.892 orang di tahun 2017.
Minimnya informasi masyarakat tentang penyakit ginjal juga menjadi penyebab lain.
Dengan sifat PGK yang tanpa gejala di stadium awal, membuat masyarakat baru menyadari
dirinya menderita gagal ginjal saat sudah stadium akhir. Alhasil, penanganan lebih lanjut
harus dilakukan, termasuk salah satunya dengan terapi pengganti fungsi ginjal yaitu
dialisis/cuci darah, meliputi hemodialisis, peritoneal dialisis, dan transplantasi ginjal
(cangkok ginjal). Untuk kali ini kita akan membahas mengenai hemodialisis.
Di Indonesia, hemodialisis merupakan jenis terapi yang paling banyak digunakan oleh
penderita gagal ginjal (Indonesian Renal Registry, 2017), namun di sisi lain sebagian besar
orang masih menganggap hemodialisis adalah hal yang menakutkan. Hemodialisis dianggap
sebuah ‘vonis’ yang mematikan. Padahal hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Faktanya,
justru bila tidak dilakukan (salah satunya) hemodialisis pada penderita PGK stadium akhir,
harapan hidup penderita PGK akan semakin pendek.
Terapi hemodialis mulai berkembang pesat di Indonesia seiring dengan pemberlakuan
program BPJS Kesehatan yang memastikan peserta Jaminan Kesehatan Nasional – Kartu
Indonesia Sehat (JKN-KIS) memperoleh pelayanan cuci darah sesuai ketentuan yang berlaku.
Menurut data dari BPJS Kesehatan, pada tahun 2017 terdapat 3.657.691 prosedur dialis yang
dijamin BPJS Kesehatan dengan total biaya sebesar 3,1 triliun rupiah. Di bawah ini adalah
data biaya kesehatan yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan selama tahun 2014 – 2016,
termasuk di dalamnya penyakit gagal ginjal.
Biaya sebesar 3,1 triliun rupiah yang dikeluarkan BPJS Kesehatan untuk pasien
dialisis hanya berupa biaya tindakan di mana tarif di RS kelas C berkisar di Rp 450.000,-
sampai dengan Rp 600.000,- dan jika menggunakan tarif INA CBGs, yaitu tarif yang dihitung
dalam 1 paket, BPJS Kesehatan membayar sebesar Rp 900.000 dan sebesar Rp 1.300.000,-
untuk RS kelas A. Biaya – biaya tersebut di luar dari biaya obat yang harus ditanggung
sendiri oleh pasien. Kehadiran BPJS Kesehatan juga mendorong pertumbuhan industri
farmasi di Indonesia. Adapun jumlah pemain farmasi dapat dilihat dari grafik di bawah ini :
Sumber : farmasiindustri.com
Tidak semua provinsi di Indonesia memiliki industri farmasi. Dari total 174 industri
farmasi yang ada di Indonesia, industri farmasi terbanyak berada di Provinsi Jawa Barat,
yaitu sebanyak 63 industri farmasi disusul Provinsi Jawa Timur sebanyak 34 industri farmasi.
Provinsi DKI Jakarta sendiri berada di peringkat ke-3 industri farmasi terbanyak di Indonesia,
yaitu berjumlah 26 industri farmasi. Dan dari 174 industri farmasi, kepemilikannya terbagi
menjadi 3, yaitu BUMN, Milik TNI dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang
persentasenya dapat dilihat pada diagram di bawah ini :
Sumber : farmasiindustri.com
Dari total 174 industri farmasi, Kalbe Farma menjadi industri farmasi terbesar di
Indonesia dengan pangsa pasar 6,17% di tahun 2016 disusul oleh Sanbe Farma di posisi
kedua dengan pangsa pasar 5,92% dan Dexa Medica di posisi ketiga Dexa Medica dengan
pangsa pasar 3,82%. Berikut ranking pasar farmasi nasional yang dapat dilihat pada tabel di
bawah ini:
Sumber : farmasiindustri.com
Kehadiran BPJS Kesehatan yang tidak mengcover semua jenis obat tentu saja menjadi
peluang bagi industri farmasi. Menurut IMS Health Prescription Pharmaceutical YTD 12,
2014, segmentasi pasar farmasi terbagi menjadi 2, yaitu obat bebas sebesar 41% dan obat
resep sebesar 59% di mana obat resep ini terbagi lagi menjadi Generik Bermerek dan Produk
Lisensi serta Generik Tidak Bermerek. Total penjualan obat generik sendiri pada tahun 2014
mencapai 3.207 miliar rupiah di seluruh Indonesia dengan persentase obat lisensi sebesar
28,3%, obat generik bermerk sebesar 57,1%, dan obat generik tidak bermerk sebesar 14,6%.
Akan tetapi, obat generik yang diproduksi melalui sintetis kimiawi tentu akan lebih
sulit dicerna oleh tubuh yang kemudian dalam jangka panjang akan memberikan efek yang
tidak baik bagi tubuh. Perkembangan teknologi kedokteran telah memberikan banyak
harapan baru bagi manusia. Bioteknologi sebagai salah satu cabang ilmu yang berkembang
dalam 10 tahun terakhir memberi andil cukup besar dalam penyediaan produk biologi, salah
satunya produk Biosimilar.
Biosimilar dibuat dari pengembangan produk biologik yang berasal dari makhluk
hidup, bisa berupa jaringan, sel, DNA atau protein dari makhluk hidup itu sendiri. Karena
terbuat dari bahan-bahan makhluk hidup, efek biosimilar diyakini lebih mudah dicerna. Saat
ini produk Biosimilar yang ada di Indonesia adalah produk impor dari luar negeri. Beberapa
pemain produk Biosimilar antara PT Kalbe Farma melalui produknya yang bernama Hemapo,
PT Daewoong dengan produknya yang bernama Epodion dan PT Combiphar dengan nama
produknya Eporon. PT EBI melihat adanya peluang pasar produk Biosimilar di Indonesia,
sehingga PT EBI memutuskan untuk memproduksi sendiri Biosimilar secara lokal.
Identifikasi Masalah
A. Solusi
1. Keunggulan Kompetitif (Competitive Advantage)
Produk R memiliki beberapa keunggulan kompetitif dibandingkan dengan produk
EPO kompetitor sebagai berikut :
a) Harga
Dari segi harga : menunjukkan produk R 3000 IU Rp 85.000,- per Pre Filled
Syringe (PFS) lebih ekonomis dibandingkan produk EPO kompetitor dimana
Hemapo 3000 IU Rp 93.500,- per PFS ; Epodion 3000 IU Rp 98.000,- per PFS
; Eporon 3000 IU Rp 90.000,- per PFS.
b) Studi Klinik Komparabilitas
Untuk menjamin kualitas, kemurnian dan efikasi sebagai salah satu syarat
regulasi dari BPOM, produk R sudah dilakukan studi klinik komparabilitas di
Malaysia dan Indonesia. Di Indonesia, produk R sebagai produk EPO pertama
yang melakukan studi klinik komparabilitas dengan hasil akhir sebanding
efektivitas dan kualitasnya dengan produk Biologi Inovator (produk luar).
Selain itu, produk R juga sudah membuktikan kestabilannya mempertahankan
nilai Hb (Hemoglobin) normal pada pasien PGK (Penyakit Ginjal Kronik).
Selanjutnya akan dilakukan studi klinik untuk keamanan penggunaan jangka
panjang yaitu terhadap reaksi imunogenisitas.
c) Pabrik lokal
Untuk mendukung program pemerintah menghadapi AFTA (ASEAN Free
Trade Area) dimana industri farmasi lokal diharapkan untuk memproduksi
produk Biosimilar secara lokal tanpa mengurangi kualitas, efikasi dan
keamanan serta terjangkau dari segi biaya, PT. E.B.I sudah memiliki pabrik
sendiri yang akan beroperasional pada tahun 2021 dengan nilai investasi
sekitar 500 milyar.
2. Solusi
a. Produksi Lokal :
Dimulai dari bahan baku sampai produk jadi yang siap dipasarkan. Saat ini
masih mengimpor produk R dari Cina dengan perkiraan COGS sekitar
USD 3,1 per Pre Filled Syringe (PFS) nett sampai produk tiba di
Indonesia. Sedangkan estimasi COGS produksi lokal sekitar USD 2,1 per
PFS (catatan : data COGS bersifat “RAHASIA” sehingga tidak dapat
ditampilkan secara detail).
b. Profitable
b. Produk Biosimilar
Produk Biosimilar merupakan tiruan dari produk biologis yang sudah habis masa
patennya (data BPOM), namun tidak identik. Persamaan tersebut meliputi
regulasi, proses produksi, kualitas, keamanan, kemurnian dan efektivitas.
Sedangkan istilah Biosimilar menurut badan kesehatan dunia (WHO) merupakan
produk bioterapetik yang memiliki kesamaan dengan produk originator yang
sudah memiliki ijin beredar baik dalam kualitas, keamanan dan efektivitas.
Produk Biosimilar berasal dari protein yang diproduksi oleh sel yang dimodifikasi
secara genetik. Hal ini yang membedakan produk Biosimilar dengan produk awal
yang telah beredar.
C. Visi Misi
VISI
MISI
a. Mengembangkan produk Biosimilar yang berkualitas, aman dan efektif.
b. Memproduksi produk Biosimilar secara lokal sesuai dengan standar GMP (Good
Manufacturing Practice) dan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik).
c. Mendukung pemerintah untuk meningkatkan standar kualitas kesehatan
masyarakat Indonesia.
d. Mendukung program pemerintah untuk menyediakan produk-produk Biosimilar
yang ekonomis dan terjangkau.
e. Melakukan studi klinik lokal untuk menjamin kualitas, mutu, efikasi dan
keamanan produk Biosimilar yang diproduksi layak untuk digunakan oleh
konsumen.
f. Membekali sumber daya manusia dengan pelatihan-pelatihan yang dibutuhkan
untuk meningkatkan kompetensinya.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://eprints.stainkudus.ac.id/1811/7/07%20BAB%20IV.pdf
2. http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/192263-[_Konten_]-Konten
%20E2474.pdf
3. http://www.biotek.lipi.go.id/index.php/publication/berita/biotek-dalam-berita/1552-
erythropoietin-epo-dari-ragi-dan-barley