Anda di halaman 1dari 34

 Seiring kencangnya hembusan angin

liberalisasi, pasar domestik bakal terus


kebanjiran produk asing. Menyusul dominasi
produk makanan dan minuman, produk-
produk farmasi asing pun diprediksi segera
mengepung konsumen tanah air.
 Itu semua dipicu kebijakan pemerintah yang
bakal mengeluarkan industri farmasi dari
Daftar Negatif Investasi (DNI), sehingga
produsen asing diizinkan menguasai 100%
saham industri farmasi.
 Selama ini, berdasarkan Perpres No. 111/2007,
asing hanya boleh menguasai saham industri
farmasi hingga 75%. Itu pun dengan ketentuan
yang sangat ketat. Bila kelak liberalisasi industri
farmasi sudah berjalan, bisa dibayangkan betapa
sulitnya posisi perusahaan-perusahaan farmasi
nasional ikut bersaing.
 Apalagi kekuatan modal perusahaan asing jelas
jauh lebih kuat. Pemerintah diminta membuat
peraturan lain untuk melindungi kelangsungan
perusahaan farmasi lokal.
 Peran asing di Indonesia memang tidak bisa
dianggap enteng. Pasalnya, separuh pangsa
pasar obat nasional kini telah dikuasai asing.
Kalau ditambah dengan 10 perusahaan lokal
berskala besar, hampir 80% pasar obat dikuasai
oleh sekitar 45 perusahaan farmasi asing dan
lokal.
 Artinya, sekitar 90 perusahaan farmasi lokal
harus memperebutkan 20% pasar obat nasional.
Persaingan ini bakal kian ketat dengan dicoretnya
industri farmasi dari DNI. Maka, wajar jika era
liberalisasi dianggap sebagai ancaman bagi
farmasi lokal.
Kondisi industri farmasi nasional sekarang ini terasa sangat
timpang. Betapa tidak, dengan hanya 196 pabrik obat, jumlah
distributornya (PBF-Pedagang Besar Farmasi) ada sebanyak
2.250, yang berarti 1 pabrik obat rata-rata berhadapan
dengan 11 distributor, ditambah lagi 1 distributor (PBF)
berhadapan dengan 2,3 apotek. Ketimpangan tersebut
bagaikan sebuah piramid terbalik, dimana untuk mencapai
skala ekonomi atau efisiensi, seharusnya jumlah distributor
nasional jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah pabriknya.
Dengan begitu, akan diperoleh rasio dimana 1 distributor
obat dapat melayani puluhan pabrik, tidak seperti sekarang
ini dimana 1 pabrik obat dilayani oleh beberapa puluh
distributor. Kondisi ini pula yang justru menjadikan PBF lokal,
terutama yang tidak memiliki bentuk kerjasama, misalnya
sebagai ‘distributor tunggal’ atau ‘sub distributor’, tidak lagi
mampu bersaing.
Berdasarkan regulasi pemerintah, setiap pabrik
obat dalam mendistribusikan produk obatnya
harus menggunakan jalur PBF. Saat ini
jumlahnya sudah mencapai 2.250 distributor.
Sedang jumlah retailer-nya: sekitar 5.695
apotek dan 5.513 toko obat – besar dan kecil.
Selain itu, dari 196 perusahaan farmasi, sekitar
60 pabrik obat menguasai lebih dari 80% total
pasar, sedangkan 20% sisanya diperebutkan
oleh 140 parik obat lainnya. Dari jumlah itu
perbandingan antara perusahaan lokal dan
multinasional masih 60 berbanding 40.
Gambaran ini menunjukkan betapa lemahnya
persaingan industri farmasi di Indonesia,
termasuk lemahnya skala ekonomi
distributornya, sehingga tak heran bila harga
obat di Indonesia bisa begitu MAHAL.....
Dibukanya pasar AFTA (ASEAN Free Trade Area),
yang merupakan harmonisasi perdagangan di
kawasan ASEAN, ternyata masih menyisakan
persyaratan, seperti pelaksanaan current GMP
(c-GMP), diharuskan adanya penelitian terhadap
BA-BE Studies (Bio-Availability_Bio-Equivalent)
untuk obat-obat tertentu yang akan dipasarkan
di negara-negara ASEAN. Hal itu boleh jadi
akan memberikan, baik peluang maupun
ancaman, bagi industri farmasi di Indonesia.
Rekayasa genetik memberikan kepada ilmuwan
di industri farmasi suatu alat baru untuk lebih
mempercepat pemahaman mereka tentang
genetik dan mekanisme suatu penyakit. Dengan
alat yang sama dapat dilakukan identifikasi
target molekul pada virus dan bakteri yang
menjadi penyebab penyakit infeksi. Metoda
baru ini pada kenyataannya memiliki presisi
yang tinggi sehingga dapat mempercepat
pengobatan.
Perusahaan farmasi dengan belanja R&D yang besar dan
konsisten, pada kenyataannya menjadi pemimpin industri
. Hal ini karena intensitas R&D mempunyai relevansi
dengan pertumbuhan penjualan. Dalam tahun 1995,
industri farmasi global menunjukkan peningkatan
penjualan 9,7% per tahun dengan kenaikan harga pada
tingkat sedang.
 Achilladelis dan Antonakis (2001) dalam studinya
menyimpulkan bahwa terdapat hubungan/korelasi antara
level belanja R&D dengan kemampuan inovasi . Dalam
kasus industri farmasi, Amerika Serikat, Switzerland,
Jerman, Inggris dan Perancis memberikan kontribusi
lebih dari 80% inovasi dan mereka mengekspor lebih dari
60% perdagangan farmasi dunia.
Sejalan dengan meningkatnya belanja R&D pada
industri farmasi, penjualan global produk farmasi
juga meningkat dalam jumlah yang signifikan. Pada
tahun 1975 penjualan pasar farmasi dunia tercatat
US$ 30 miliar, tahun 1995 meningkat menjadi US$
250 miliar dan tahun 2005 meningkat lagi menjadi
US$ 602 miliar. Demikian juga pasar Amerika
Serikat mengalami kenaikan yang cukup besar.
Pada tahun 1975 total penjualan di Amerika Serikat
tercatat hanya US$ 6,5 miliar tahun 1995
meningkat menjadi US$ 30 miliar dan tahun 2005
meningkat menjadi US$ 265 miliar. Dewasa ini
Amerika Serikat, Eropa dan Jepang merupakan
pasar farmasi terbesar di dunia.
Dari profil tersebut di atas terlihat top 20
perusahaan farmasi menguasai market share
lebih dari 50% dan top 60 perusahaan
mengontrol pasar sekitar 84%. Ini berarti lebih
dari 140 perusahaan hanya memiliki market
share 16%. Fakta ini menunjukkan bahwa
sebagian besar perusahaan manufaktur farmasi
Indonesia beroperasi pada skala kecil.
Area persaingan perusahaan farmasi domestik
Indonesia adalah pada pasar branded generik
dan obat generik. Perkembangan pasar obat
bebas (OTC) di Indonesia juga cukup tinggi dari
tahun ketahun. Market share obat OTC di
Indonesia di dominasi oleh perusahaan farmasi
domestik. Meskipun hanya bergerak pada
segmen branded generik, top 10 perusahaan
farmasi di Indonesia sebagain besar adalah
perusahaan-perusahaan domestik, seperti
terlihat pada gambar di atas.
Industri farmasi di kawasan ASEAN mempunyai
pertumbuhan yang cukup baik, meskipun
masing-masing memiliki pola pertumbuhan
yang relatif berbeda dalam konteks industri
farmasi domestiknya. Dibandingkan dengan
negara-negara ASEAN lainnya, Indonesia
memiliki industri farmasi domestik yang paling
kuat dan market size yang paling besar.
Dibandingkan dengan populasi, meski
pertumbuhan pasar farmasi Indonesia cukup
baik – market size Indonesia masih kurang
proporsional dibandingkan dengan negara-
negara ASEAN lainnya. Hal ini disebabkan
tingkat konsumsi obat per kapita Indonesia
masih terendah di ASEAN.
Ada dua paradigma teknologi baru yang berpengaruh radikal terhadap
industri farmasi, yaitu teknologi informasi dan komunikasi (information
and communication technologies/ICT) dan bioteknologi. Dalam hal R&D, ICT
memungkinkan mekanisasi dan automasi penemuan obat dan proses
pengembangannya. Dengan Combinatiorial Chemistry dapat dilakukan
sintesa molekul yang lebih massal yang dikontrol oleh robot komputer.
Dengan menggunakan teknologi ini permutasi dan kombinasi ”building
block” kimia dapat dilakukan secara cepat, mencapai ratusan ribu senyawa
tiap minggu. Dengan metoda yang lama hanya menghasilkan beberapa
ratus senyawa kimia. Kombinasi dari Combinatorial Chemistry dan High
Throughput Screening (HTS) dapat meningkatkan 7 kali lipat dalam
pengujian (test) senyawa kimia untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai
obat penemuan baru. Pada saat yang sama telah dikembangkan program
komputer yamg dapat menunjukkan (display) tiga dimensi ”images of
molecules” ketika dirotasi dan juga memberikan representasi dinamik dari
potesi reaksi antara obat dengan enzim tertentu. Selain itu komputer juga
dapat menunjukkan manipulasi dari ”sites of biochemical action” dan
prediksi tentang toksisitas dan khasiat (efficacy) dari struktur kimia
termaksud serta efek biologiknya.
Bioteknologi modern dimulai pada awal tahun
1970-an dengan dua terobosan biologi molekuler.
pertama adalah penemuan peneliti dari Universitas
California tentang DNA yang dapat dibelah,
direkombinasi dan dimasukkan pada gen asing
yang karenanya dapat merubah sifatnya/character
(recombinant DNA atau rDNA). Terobosan kedua
terjadi di Inggris; para ilmuwan mengembangkan
teknik untuk ”fusing and multiplying cells
(hybidomas). Dengan menggunakan metioda
rekombinan DNA gen dari mikro organisma
termasuk ragi dapat direprogram untuk
memproduksi protein yang berguana (contohnya
insulin).
Sebagian besar (lebih dari 90%) kebutuhan bahan baku obat
Indonesia masih diimpor terutama dari RRC, India dan beberapa
Negara Eropa. Bagi Indonesia tidak mudah untuk mengembangkan
industri bahan baku obat karena industri kimia dasar di Indonesia
belum berkembang . Implikasinya bila akan memproduksi bahan
baku obat maka Indonesia harus mengimpor bahan antara
(intermediate substances) dengan harga yang mahal yang
menyebakan produk akhir bahan baku obat tidak kompetitif bila
dibandingkan dengan harga bahan baku impor. (Saat ini impor
bahan baku obat dikenakan bea masuk berkisar 0 - 5%). Sementara
itu jenis bahan baku obat yang diperlukan oleh industri farmasi
Indonesia lebih dari 1.300 item dengan kuantum relatif tidak besar.
Sebagian besar item bahan baku tersebut sangat tidak ekonomis
untuk diproduksi hanya untuk memenuhi pasar Indonesia.
Sementara RRC dan India mampu mengekspor ke pasar dunia
dengan harga yang relatif murah. Di Asia hanya 4 negara yang
mempunyai kemampuan memproduksi bahan baku obat dengan
pemasaran ekspor yang besar yaitu China, India, Jepang dan Korea
Selatan.
R&D industri farmasi Indonesia tidak feseable untuk diarahkan pada penemuan obat-
obat molekul baru (new chemical entity/NCE). Kendala utamanya adalah besarnya
biaya penelitian yang dapat mencapai lebih dari US$ 300 juta untuk setiap NCE. R&D
industri farmasi Indonesia dapat diarahkan terutama untuk pengembangan new
delivery system (NDS) dan penelitian obat herbal.. NDS yang sangat mungkin
dikembangkan adalah teknologi pelepasan lambat (sustain released) untuk obat
tertentu. Pengembangan obat herbal ke arah fito farmaka (dilakukan uji klinis
lengkap) mempunyai prospek yang sangat baik. Sebagai contoh Ekstrak Curcuma
xanthoriza (Ekstrak Temu Lawak) yang telah dipisahkan minyak atsirinya (essential oil)
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh UGM ternyata dapat menurunkan LDL
Cholesterol pada manusia sebanyak 26% dengan penggunaan selama satu bulan.
Khasiat ini dapat disejajarkan dengan Lipitor yang diproduksi oleh Pfizer yang
mempunyai penjualan global US$ 7 miliar per tahun. Demikian pula ekstrak Meniran
(Phylantus ninuri) berdasarkan hasil uji klinis yang telah dilakukan ternyata
berkhasiat untuk memperbaiki sistem imunitas. Sebagai fito farmaka, obat herbal ini
sudah dipasarkan dengan nilai penjualan yang cukup besar. Masalah utama dari obat
herbal ini adalah standarisasi yang harus dimulai pada waktu budidaya, pemanenan
dan seluruh mata rantai produksi. Standarisasi budidaya diperlukan untuk menjaga
agar kandungan bahan aktif tanaman obat relatif konstan.
R & D industri farmasi tidak harus dilakukan sendiri
oleh perusahaan farmasi. Perusahaan farmasi dapat
melakukan aliansi dan kolaborasi dengan lembaga
penelitian di perguruan tinggi/universitas. Korean
Green Cross – perusahaan produk biologi (vaksin)
Korea berkembang pesat karena melakukan
kerjasama R&D dengan universitas. Demikian pula
Peking University melakukan aliansi stratejik
dengan perusahaan farmasi mendirikan
manufactur farmasi bio teknologi yang beroperasi
secara komersial.
Untuk menstimulir ekspor farmasi semestinya
Pemerintah mempunyai paket insentif ekspor
termasuk akses permodalan dengan interest
rate yang kompetitif. Di Malaysia bunga bank
untuk working capital maupun investasi sekitar
6%, sedangkan di Indonesia masih di atas `12%.
Ini merupakan salah satu faktor yang menjadi
kendala industri farmasi karena cost of capital
di Indonesia yang lebih mahal di banding
dengan negara-negara ASEAN lainnya.

Anda mungkin juga menyukai