Anda di halaman 1dari 3

TUGAS

PERKEMBANGAN OBAT

PERBANDINGAN PENGEMBANGAN OBAT


DI INDONESIA DENGAN KUBA

NAMA : SRI WAHYUNINGSIH, S.Farm.,Apt


DOSEN : Prof.Dr. JASON MERARI, Apt.

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2018
Industri farmasi di Indonesia sebenarnya cukup kuat. Industri ini tumbuh
mengesankan meski belakangan ini menghadapi berbagai tantangan di antaranya penyesuaian
diri terhadap sistem layanan kesehatan yang mulai menerapkan jaminan sosial (BPJS).
Industri farmasi yang besar, seperti Kalbe Farma, Dexa Medika, dan Sanbe Farma, telah
mempunyai laboratorium penelitian yang lengkap juga tenaga peneliti yang andal dan
tampaknya juga didukung dana yang lumayan besar. Kalbe Farma lebih mengutamakan
bidang sel punca dan kanker, Dexa mencoba menghasilkan obat yang dapat digunakan
masyarakat, serta Sanbe juga mengembangkan bioteknologi untuk diagnosis penyakit,
termasuk kanker.
Di sejumlah universitas juga telah dilakukan penelitian obat, tetapi penelitian tersebut
biasanya belum lengkap dari ide awal sampai dikembangkan menjadi obat yang siap
dipasarkan. Penelitian obat baru sebenarnya memerlukan waktu yang lama sekitar 10 tahun
dengan biaya penelitian ratusan miliar rupiah. Kenapa begitu mahal dan lama? Proses
penemuan obat baru merupakan suatu rangkaian yang amat panjang dan lama. Mulai dari
skrining molekul, penelitian pada hewan coba, penelitian pada manusia sehat, penelitian pada
orang sakit jumlah terbatas, penelitian kepada penderita dengan jumlah lebih besar, serta
penelitian lanjutan. Setelah dinyatakan bermanfaat dan efek sampingnya dapat ditoleransi
melalui uji klinik, obat tersebut sebelum dapat dipasarkan harus didaftarkan kepada Badan
Pengawas Obat dan Makanan. Badan ini bertugas menjaga agar obat yang diedarkan
bermanfaat dan efek sampingnya minimal tidak merugikan masyarakat. Pendaftaran obat di
Badan POM juga memerlukan waktu biasanya satu sampai dua tahun. Dengan gambaran
tersebut, dapat dibayangkan minat untuk menemukan obat baru di Indonesia masih akan
terkendala waktu dan biaya. Kalau begitu apa yang sekarang dilakukan oleh universitas dan
industri obat?
Biasanya di Indonesia kita baru mengadakan sebagian penelitian dari proses
pengembangan obat yang panjang tersebut. Penelitian yang banyak dilakukan adalah
penelitian uji klinik, baik yang tingkatnya nasional maupun bekerja sama dengan negara lain.
Obat yang diproduksi di negara Barat jika bermanfaat untuk populasi Barat masih harus
diteliti manfaat, efek sampingnya, serta dosisnya untuk orang Indonesia. Penelitian ini sudah
sering dilakukan.
Beberapa industri farmasi, seperti Kalbe Farma, melakukan pengembangan bersama
(codevelopment) dengan industri obat atau lembaga penelitian di luar negeri. Pengembangan
bersama ini termasuk dalam pembiayaan penelitian. Jika berhasil dipasarkan bersama, sudah
tentu mereka yang ikut dalam pengembangan akan mendapat keuntungan. Perkembangan
yang menarik adalah di bidang vaksin. Kita boleh bangga dengan Biofarma yang perannya
dalam industri vaksin di negara berkembang amat menonjol. Biofarma telah mengekspor
produknya ke puluhan negara sehingga 70% pendapatannya dari ekspor dan hanya 30% dari
pemasaran vaksin di dalam negeri.
Kebijakan pemerintah saat ini mengutamakan dalam penggunaan vaksin yang
dibiayai pemerintah (program pemerintah) harus diproduksi di dalam negeri (Biofarma).
Melalui kebijakan ini, Biofarma dipacu untuk mampu memproduksi berbagai vaksin yang
dibutuhkan di Indonesia yang sebagian besar bekerja sama dengan industri atau lembaga
penelitian di luar negeri. Biofarma sedang dan sebagian telah menyiapkan produksi vaksin
Morbilli Rubella, Pneumokok, dan beberapa vaksin lain yang akan digunakan untuk program
pemerintah di masa datang. Sementara penelitian vaksin flu burung merupakan penelitian
jangka panjang dan sekarang baru berhasil pada tahap awal. Bagaimana agar penelitian
farmasi dapat digalakkan? Pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang berpihak bagi
kepentingan lembaga penelitian dan industri farmasi nasional. Sebagai contoh, di Kuba
semua layanan kesehatan di Kuba harus menggunakan produk nasionalnya. Jika tak ada, baru
boleh menggunakan produk impor. Di Indonesia perusahaan nasional masih harus bersaing
dengan perusahaan multinasional.
Begitu pula Badan POM harus menjaga fungsinya melindungi masyarakat. Obat
produk dalam negeri atau impor dalam registrasi harus memenuhi syarat-syarat yang sama.
Potensi pengembangan obat yang besar memang dalam kelompok obat alami yang sudah
lama digunakan di negeri kita. Karena sudah lama dipakai masyarakat, obat-obat tersebut
dianggap aman. Tinggal mencari zat aktifnya agar obat tersebut masuk dalam kelompok obat
fitofarmaka sehingga dapat indikasi dan dosisnya menjadi jelas. Beberapa perusahaan obat
telah mengembangkan fitofarmaka dan obat tersebut telah dipasarkan di Indonesia. Sehingga,
perusahaan farmasi perlu didorong untuk mengembangkan produk fitofarmaka ini.
Badan POM juga perlu membina agar penggunaan obat alami tidak dipasarkan
sebagai obat kanker, kencing manis, dan sebagainya, padahal obat tersebut belum dibuktikan
bermanfaat untuk indikasi tersebut. Masyarakat dapat mendorong tumbuhnya industri farmasi
kita dengan mengutamakan pemakaian obat produk nasional. Obat yang telah terdaftar di
Badan POM telah diseleksi dengan ketat sehingga manfaatnya dapat diyakini. Secara
perlahan kita berharap kita akan semakin mandiri dalam bidang farmasi dan di masa depan
mampu menemukan obat baru.

Anda mungkin juga menyukai