(APOTEKER CILIK)
APOTEKER CILIK
(APOCIL JABAR)
MENGENAL OBAT SEJAK DINI
Dengan memanjatkan Puji Syukur Kehadirat Allah SWT dan atas Rahmat serta
HidayahNya, pada akhirnya kami dapat menyusun Modul Apoteker Cilik (APOCIL) Jawa
Barat dengan maksud untuk membakukan kegiatan Apoteker Cilik di wilayah Jawa Barat.
Terimakasih diucapkan kepada seluruh pihak terkait yang telah berperan dalam
membantu penyusunan Modul Apoteker Cilik (APOCIL) Jawa Barat khususnya PC IAI Kota
Sukabumi.
Permohonan maaf disampaikan kepada semua pihak terutama kepada Ketua Pusat
Ikatan Apoteker Indonesia apabila dalam penyusunan Modul Apoteker Cilik (APOCIL)
Jawa Barat ini masih terdapat kekurangan dan kekeliruan. Mudah-mudahan semua pihak
dapat memaklumi serta dapat memberikan masukan untuk perbaikan dan kesempurnaan di
masa yang akan datang.
Demikian kata pengantar ini kami sampaikan, semoga Modul Apoteker Cilik
(APOCIL) Jawa Barat ini dapat berguna dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan
Apoteker di Jawa Barat dan mengenalkan Profesi Apoteker dan informasi obat sejak dini
kepada anak-anak di seluruh wilayah Jawa Barat.
Setidaknya ada dua jenis obat yang beredar di Indonesia yakni obat tradisional dan
obat sintesis. Obat tradisional adalah obat dari alam berupa bahan atau ramuan bahan
bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau
campuran dari bahan tersebut yang secara turun-temurun telah digunakan untuk
pengobatan. Sedangkan obat sintesis merupakan obat yang sering dikenal seperti obat
generik, obat generik bermerek, obat keras, psikotropika dan narkotika. Kurangnya
pengetahuan dan kesadaran mengenai obat menimbulkan penyalahgunaan dan
penggunaan tidak tepat.
Dari kedua jenis obat tersebut, obat sintesislah dengan prevelensi penyalahgunaannya
relatif tinggi. Obat-obat psikotropika dan narkotik paling umum disalahgunakan.
Penyitaan barang bukti narkoba pada tahun 2017 sebanyak 4,7 ton mengalami
peningkatan jika dibandingkan pada tahun 2016 sebanyak 3,6 ton. Berdasarkan data
BNN tahun 2017 menyebutkan sebanyak 58.365 orang tersangka akibat terjerat
penyalahgunaan narkoba.
Menurut data pusat penelitian kesehatan Universits Indonesia sebanyak 27,32 persen
penyalahgunaan narkoba di Indonesia berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa.
Kurangnya pengetahuan berakibat pada penggunaan salah, penggunaan irasional,
sumber memperoleh obat dan presepsi yang salah mengenai obat. Hal ini tentu saja
akan berdampak buruk bagi masyarakat, obat yang seharusnya dapat menyembuhkan
malah justru dapat bersifat toksik bagi tubuh bahkan mematikan. Opini yang
berkembang di masyarakat saat ini, apabila sakit cukup dengan membeli obat di
apotek atau toko obat, serta tidak perlu ke dokter. Hal ini sudah dianggap biasa dan
membudaya. Sehingga implikasi kesalahan penggunaan pun cukup besar. Kesalahan
penggunaan obat di masyarakat umumnya terletak pada penggunaan dosis, 2 kali
dosis (dosis belebih), waktu meminum obat, dan kesalahan penyimpanan obat.
Menurut penelitian Pictogram, Unit Drug Tools & Parent Medication Erorr
menyebutkan 80 persen orangtua memberikan kesalahan dosis obat pada anaknya, 12
persen memberikan kesalahan dengan memberikan dosis berlebih dan 8 persen
kesalahan pada jadwal waktu minum obat. Pengetahuan masyarakat tentang
penyimpanan obat secara umum juga masih belum baik, terbukti sebanyak 35,2
persen rumah tangga menyimpan obat; 36 persen menyimpan obat keras; 28 persen
menyimpan antibiotik yang didapat tanpa adanya resep dokter dan 45 persen
menyimpan obat sisa (Riskesdas 2013). Kurangnya pemahaman masyarakat
menyebabkan menggunakan antibiotik tanpa supervisi tenaga kesehatan.
Pengetahuan yang keliru pada masyarakat dan banyaknya masyarakat yang membeli
antibiotik secara bebas tanpa resep dokter memicu terjadinya masalah resistensi
antibiotik. Adanya obat keras dan antibiotika untuk swamedikasi (tanpa resep) juga
mengindikasikan penggunaan obat yang irasional. Seharusnya obat sisa resep (obat
keras/antibiotik) secara umum tidak boleh disimpan karena dapat menyebabkan
penggunaan salah atau disalah gunakan atau rusak/kadaluarsa.
Persepsi masyarakat mengenai obat juga masih rendah khususnya terhadap obat
generik. Sebanyak 32 persen rumah tangga di Indonesia mengetahui obat generik hal
ini menunjukan sebanyak 68 persen tidak mengetahui obat generik. Dari 32 persen
hanya 43 persen mempunyai persepsi yang benar tehadap obat generik (obat generik
mempunyai berkhasiat sama dengan obat bermerek). Sangat ironi karena Jaminan
Kesehatan Nasional merujuk pada penggunaan obat generik. Promosi mengenai obat
menjadi urgen karena hanya 60 persen mengetahui obat generik yang diperoleh dari
tenaga kesehatan (Riskesdas 2013). Latar belakang penyebab terjadinya masalah
penggunaan obat bersifat kompleks karena berbagai faktor ikut berperan.
Berdasarkan data SLOAD 2001 36% anak usia 10-14 tahun di Amerika Serikat
menggunakan obat secara independen, dan menurut data Geissler tahun 2000 19%
anak di Kenya bisa melakukan swamedikasi tanpa sepengetahuan orang tua. Dan di
Indonesia sendiri prilaku anak dalam menyimpan obat sebanyak 14,7% pernah
menyimpan obat sebagai alat permainan, 10,1% pernah menyimpan obat dirumah
tanpa sepengetahuan orang tua dan dalam hal mendapatkan obat sebanyak 11,5%
pernah membeli obat bebas tanpa sepengetahuan orang tua, 31,4% pernah mengambil
obat tanpa disuruh orang tua. Dalam hal membuang obat, sebanyak 35,6% pernah
membuang obat sembarangan serta dalam hal menggunakan obat sebanyak 47,1%
tidak selalu menunggu orang tua saat akan minum obat, 47,5% pernah minum obat
tanpa didampingi orang tua.
Penyalahgunaan obat pada anak menurut data BNN tahun 2015 umur terendah
menggunakan pada umur 10 tahun dan rata rata 13 tahun. dari tahun 2011 sampai
tahun 2016 anak bermasalah narkoba sebanyak 0,83% - 1,5% sesuai data KPAI tahun
2017.
Permasalahan seputar penggunaan obat pada dasarnya merupakan tugas utama dari
dunia farmasi dengan subjek utamanya adalah apoteker. Apoteker sebagai salah satu
tenaga kesehatan telah diakui eksistensinya di Indonesia melalui Peraturan Pemerintah
No.51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. Rendahnya pemahaman
masyarakat tentang penggunaan obat yang benar boleh jadi merupakan implikasi dari
rendahnya distribusi apoteker di masyarakat, terutama di praktek komunitas seperti di
apotek dan Puskesmas. Untuk itu menjadi urgen dan butuh perhatian lebih terkait
informasi seputar obat bagi masyarakat.
Sebuah gerakan baru boleh jadi penting untuk membangun pengetahuan dan mindset
sadar obat kepada masyarakat. Melihat kondisi tersebut perlu penyadaran sejak dini
mengenai penggunaan obat salah satunya dengan menanamkan pengetahuan dan
mindset sadar obat yang benar terhadap anak ataupun pelajar karena tidak dimungkiri
pelajar juga menjadi bagian dari penyalahgunaan. Sebab anak adalah aset/generasi
penerus bangsa yang butuh pendidikan yang layak. Menilik peran dan eksistensi
Apoteker di dunia kesehatan, tidak lepas dari upaya pencitraan profesi Apoteker sejak
dini melalui program Apoteker Cilik yang diperkenalkan terutama pada siswa
tingkat dasar.
Atas dasar itulah Apoteker Cilik hadir membawa perubahan mindset mengenai
pengetahuan dan kesadaran tentang obat ke arah yang lebih maju. Langkah ini juga
dapat menekan penyalahgunaan obat di kalangan pelajar bahkan menghilangkan. Hal
ini senada dengan harapan Menteri Kesehatan RI yang menyatakan perlunya
dilakukan upaya kesehatan berbasis masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat di
berbagai bidang guna peningkatan penggunaan obat rasional. Secara tidak langsung
Apoteker Cilik akan bersinergi dengan Dokter Kecil sehingga dapat mengenalkan
profesi apoteker. Mindset masyarakat mengenaitanya obat tanya Apoteker dapat
terwujud.
Apoteker Cilik ini dapat membantu peran Apoteker dan pemerintah mengingat masih
rendahnya rasio apoteker yang masih rendah. Pendidikan tentang obat kepada anak
melalui Apoteker Cilik dirasa pun sangat baik diterapkan untuk menjadi bekal
pengetahuan. Ke depannya jika dilaksanakan secara holistik terintegrasi akan menjadi
investasi bagi bangsa dan negara Indonesia dalam menyongsong bonus demografi di
tahun 2030-an. Melalui apoteker cilik yang diajarkan tentang obat sehingga dapat
menjadi pusat informasi bagi masyarakat yang selama ini kurang memahami tentang
peran apoteker dalam penggunaan obat.
1.2 Definisi
Apoteker Cilik adalah siswa dan / atau anak usia Sekolah Dasar yang telah
mendapatkan edukasi, pengenalan dan pelatihan kefarmasian dasar dari tenaga Profesi
Apoteker.
3.6 Atribut
1. Jas praktik Apoteker : dikenakan oleh Apoteker fasilitator dan anggota yang telah
mengikuti pelatihan sebagai tutor
2. Pin “Apoteker Cilik” dikenakan oleh siswa SD yang sudah disiapkan oleh PC IAI
3. Spanduk/banner dipasang disekitar lokasi kegiatan dengan design sebagaimana
terlampir
4. Alat peraga dan permainan yang disiapkan oleh PD/PC sesuai kebutuhan dan
kondisi yang ada
5. Lagu jingle Apoteker Cilik
a. Lagu apoteker cilik ciptaan Umy Qalsum S.Si., Apt kepala seksi
kefarmasian dinas kesehatan kabupaten polewali mandar, Sulawesi Barat
3.9 Evaluasi
Evaluasi dilakukan dengan menggunakan pre-test dan post-test pada saat kegiatan,
serta memberikan kuesioner yang diisi oleh Guru atau Orang Tua.
4.1 Simpulan
Program Kegiatan Apoteker Cilik dapat memberikan pengetahuan kefarmasian dan
pengetahuan kesehatan dasar lainnya kepada anak Usia Sekolah Dasar sehingga mampu
meningkatkan kewaspadaan anak usia sekolah dasar terhadap penggunaan obat yang baik
dan benar.
4.2 Saran
Program kegiatan Apoteker Cilik (Apocil) dapat dilaksanakan di seluruh Sekolah Dasar
di seluruh wilayah Jawa Barat dengan dukungan pihak-pihak terkait.
Penyusun
CP.
Fachrizal, Ssi.,Apt (08129400367)
Tanti Oktriana, S.Farm.,Apt.,M.Farm (081321053544)
Lampiran 2.
Lirik lagu
5 – O (versi Sunda)
By. Catleya Febrinella, S.Si.,MM.,Apt (Ketua PD IAI Jawa Barat 2018-2022)
------------
Lampiran 4.
Lirik lagu
DaGuSiBu
By. Bambang Nurhidayat Susilo, S.Farm.,Apt (IAI Kab.Bangka Barat)
Dapatkan/
Gunakan/
Simpan/
Buang/
Dengan benar
Dapatkan/
Gunakan/
Simpan/
Buang/
Dengan benar
(2x)