Anda di halaman 1dari 12

KLIPING SEJARAH

“ Peristiwa Sejarah Pada Masa Setelah Kemerdekaan Tentang Usaha


Untuk Mempersatukan Bangsa Indonesia, Baik Ancaman Dari luar
maupun dari dalam “

DI Susun Oleh :

Yara Syahquita
VA
SDN Jakasampurna X
Kota Bekasi

2020
Peristiwa sejarah pada masa setelah kemerdekaan tentang
usaha untuk mempersatukan bangsa Indonesia, baik
ancaman dari luar maupun dari dalam

1. Sejarah dan Makna Peringatan Hari Pahlawan 10 November


Peringatan Hari Pahlawan 10 November untuk mengingat pertempuran
Surabaya yang terjadi pada 1945.Peristiwa tersebut diawali insiden perobekan Bendera
Merah Putih Biru di atas Hotel Yamato pada 19 September 1945.

Kemudian Presiden Soekarno memerintahkan untuk gencatan senjata pada 29


Oktober 1945. Pertempuran kembali pecah pada 30 Oktober 1945. Saat itu rakyat
Surabaya bersama para pejuang bertempur melawan tentara Inggris. Pada
pertempuran tersebut, jumlah kekuatan tentara sekutu sekitar 15.000 pasukan.

Sekitar 6000 rakyat Indonesia pun gugur dalam pertempuran di Surabaya itu.
Pertempuran tersebut terjadi selama tiga minggu. Pertempuran Surabaya pada 10
November 1945 itu pun ditetapkan sebagai Hari Pahlawan melalui Keppres Nomor 316
tahun 1959 pada 16 Desember 1959.

Keputusan itu ditetapkan oleh Presiden Soerkarno. Kala itu Soekarno


memutuskan juga menetapkan hari nasional bukan hari libur. Salah satunya yakni Hari
Pahlawan 10 November.

Berdasarkan buku Bung Tomo, Hidup dan Mati Pengobar Semangat Tempor 10
November karya Abdul Waid pertempuran itu dipicu dengan sejumlah hal.

Peristiwa itu bermula setelah terjadinya kekalahan Jepang, kemudian rakyat dan
pejuang Indonesia berupaya keras mendesak para tentara Jepang untuk menyerahkan
semua senjatanya kepada Indonesia.

Sejarah Hari Pahlawan:


Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, situasi Indonesia belum stabil, saat itu
Indonesia masih bergejolak terutama antara rakyat dan tentara asing. Hari Pahlawan 10
November merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah negara Republik
Indonesia. Karena pada 10 November 1945 terjadi pertempuran besar
pascakemerdekaan, yang dikenal juga sebagai pertempuran Surabaya.

Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945,


pemerintah mengeluarkan maklumat yang menetapkan mulai 1 September 1945
bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan di seluruh wilayah Indonesia.
Gerakan pengibaran bendera tersebut meluas ke seluruh daerah-daerah, salah
satunya di Surabaya. Pada pertengahan September, tentara Inggris mendarat di Jakarta dan
mereka berada di Surabaya pada 25 September 1945.

Tentara Inggris tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies)
datang bersama dengan tentara NICA (Netherlands Indies Civil Administration).Tugas
mereka adalah melucuti tentara Jepang dan memulangkan mereka ke negaranya,
membebaskan tawanan perang yang ditahan oleh Jepang, sekaligus mengembalikan
Indonesia kepada pemerintahan Belanda sebagai negara jajahan.

Hal ini memicu kemarahan warga Surabaya, mereka menganggap Belanda menghina
kemerdekaan Indonesia dan melecehkan bendera Merah Putih. Mereka protes dengan
berkerumun di depan Hotel Yamato dan meminta bendera Belanda diturunkan lalu kibarkan
bendera Indonesia.

Pada 27 Oktober 1945, perwakilan Indonesia berunding dengan pihak Belanda dan
berakhir meruncing, karena Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian
dalam ruang perundingan tersebut. Hingga mengakibatkan Ploegman tewas dicekik oleh
Sidik di Hotel Yamato pun terjadi ricuh.

Sejumlah warga ingin masuk ke hotel, tetapi Hariyono dan Koesno Wibowo yang
berhasil merobek bagian biru bendera Belanda sehingga bendera menjadi Merah Putih.
Kemudian pada 29 Oktober, pihak Indonesia dan Inggris sepakat menandatangani gencatan
senjata. Namun keesokan harinya, kedua pihak bentrok dan menyebabkan Brigadir Jenderal
Mallaby, pimpinan tentara Inggris, tewas tertembak hingga mobil yang ditumpanginya
diledakan oleh milisi.

Melalui Mayor Jenderal Robert Mansergh, pengganti Mallaby, ia mengeluarkan


ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia bersenjata
harus melapor serta meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan.

Tak hanya itu, mereka pun meminta orang Indonesia menyerahkan diri dengan
mengangkat tangan di atas dengan batas ultimatum pada pukul 06.00, 10 November 1945.
Ultimatum tersebut membuat rakyat Surabaya marah hingga terjadi pertempuran 10
November.

Perang antar kedua kubu berlangsung sekitar tiga minggu. Tokoh perjuangan yang
menggerakkan rakyat Surabaya antara lain Sutomo, K.H. Hasyim Asyari, dan Wahab
Hasbullah.
Makna Hari Pahlawan :

Kisah perjuangan rakyat Indonesia sebelum dan pascakemerdekaan muncul dalam


buku sejarah pelajaran sekolah mulai dari SD hingga SMA. Kisah tersebut tak hanya
menunjukkan sejarah negara, melainkan juga mengajarkan keteladanan kepada anak-anak
Indonesia, seperti kejujuran, kegigihan, pantang menyerah, dan melakukan kewajiban dan
hak.

Untuk bisa mengenalkan makna Hari Pahlawan kepada mereka dari kehidupan
sehari-hari. Seperti mempertahankan kemerdekaan dengan belajar tekun, meraih prestasi di
bidang yang diminati, menolong teman yang sedang kesusahan, dan membiasakan untuk
mengucapkan terima kasih, maaf, serta tolong kepada orang lain.

Dokumentasi :

a. Profile Bung Tomo

b. Mobil Jendral Mallabi


2. Sejarah 24 Maret: Terjadinya Peristiwa Bandung Lautan Api, yang Membuat
Bandung Terbakar Hangus
Hari ini 74 tahun yang lalu, tepatnya pada 24 Maret 1946 kobaran api dari
pemukiman warga dan sejumlah bangunan di kota Bandung yang sengaja dibakar
dan peristiwa itu, kini kita kenal sebagai Bandung Lautan Api.

Revolusi merebak di berbagai daerah sejak Agustus 1945. Para pemuda


bergerak, melucuti serdadu Jepang yang kalah di beberapa daerah. Bandung Lautan
Api merupakan salah satu rangkaian kobaran revolusi itu.

Revolusi juga berlangsung membabi buta. Di Depok, Jakarta, dan Bandung,


segala hal berbau Belanda menjadi korban amuk massa. Itulah masa orang-orang
Belanda ketakutan terhadap pribumi. Periode itu dikenal sebagai “Masa Bersiap”.

Peristiwa Bandung Lautan Api itu bermula ketika Belanda dan Sekutu datang
ke Bandung tanggal 12 Oktober 1945. Mereka ingin merebut kembali wilayah-
wilayah Indonesia dengan cara melucuti senjata Tentara Keamanan Rakyat (TKR),
laskar-laskar pejuang, milisi Indonesia, tentara Jepang dan membebaskan tawanan
Eropa Belanda.

Kehadiran sekutu di Kota Kembang ini mendapat sambutan kurang ramah


dari para pejuang. Sejumlah pertempuran sempat terjadi diantaranya peretmpuran
Cihargeulis, Sukajadi, Pasirkaliki, viaduct (jembatan di atas jalan) dan balai kereta api.

Geram dengan sikap rakyat Bandung yang enggan meletakan senjata, tentara
sekutu di bawah komando Kolonel McDonald memberi ultimatumnya yang kedua
pada tanggal 23 Maret 1946 agar Bandung selatan segera dikosongkan oleh milisi
serta rakyat sipil.

Sebetulnya seruan itu telah jauh-jauh hari digembar-gemborkan oleh Belanda


dan Sekutu melaui selebaran kertas yang jatuhkan oleh pesawat Dakota milik RAF
(Angkatan Udara Kerajaan Inggris), yang berisi: “Para ekstrimis Indonesia harus
mengosongkan Bandung selambat-lambatnya pada 24 Maret 1946, jam 24.00 dan
mundur sejauh 11 km dari tanda kilometer nol”.

Mendapat ultimatum tersebut para pejuang Bandung yang tergabung dalam


TRI (Tentara Republik Indonesia), laskar-laskar, dan ribuan rakyat lainnya geram dan
dengan tegas menolak menyerahkan tanah tumpah darah kepada Belanda.

Terkait ultimatum itu, Pemerintah Republik Indonesia melaui Perdana


Menteri Sutan Sjahrir dan Komandan Divisi III TRI, Kolonel AH Nasution,
menyarankan agar para pejuang Bandung memenuhi ultimatum Sekutu.
AH. Nasution sempat bicara soal opsi mempertahankan atau menyerahkan
kota Bandung pada Perdana Menteri Sutan Syahrir. Syahrir begitu pesimistis akan
kekuatan TKR, yang baru berganti nama menjadi TRI pada 26 Januari 1945. Bagi
Syahrir, TRI tak akan bisa menghadapi Tentara Sekutu. Senjata TRI sangat sedikit.
Syahrir yang tak suka kekerasan dan tak suka melihat darah, menekan Nasution
untuk menerima ultimatum agar Bandung dikosongkan.

Syahrir berusaha membebaskan Indonesia dari tekanan militer negara


Adidaya Inggris dengan menampilkan wajah Republik Indonesia sebagai
pemerintahan yang beradab dan cinta damai. Syahrir pun ikut melobi agar Jenderal
Inggris mau meminjamkan 100 truk untuk mengeluarkan orang-orang Indonesia dari
Bandung. Tawaran truk itu ditolak Kolonel Nasution.

Karena sejatinya, Nasution dan para perwira lainnya enggan menyerahkan


Bandung. Namun, dia harus taat apa kata perdana menteri. Sebagai perwira
profesional, dengan pengalaman di KNIL juga, sudah seharusnya Nasution tunduk
pada apa kata pemerintah. Nasution lalu melakukan rapat bersama pimpinan militer
Indonesia lainnya. Mereka sepakat tidak mempermudah kehadiran Tentara Sekutu di
Bandung.

Perintah Syahrir sebagai Perdana Menteri tetap ditaati, tetapi diputuskan


bahwa akan ada Operasi pembakaran Bandung. Dan ini dikatakan sebagai operasi
“bumihangus”. Keputusan untuk membumihanguskan kota Bandung diambil lewat
musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3), yang dilakukan di
depan seluruh kekuatan perjuangan pihak Republik Indonesia, tanggal 23 Maret
1946.

Hasil musyawarah itu lalu diumumkan oleh Kolonel Abdul Haris Nasution
sebagai Komandan Divisi III TRI. Ia juga memerintahkan evakuasi Kota Bandung. Lalu,
hari itu juga, rombongan besar masyarakat Bandung mengalir. Pembakaran kota
berlangsung malam hari sambil para penduduknya pergi meninggalkan Bandung.

Pembumihangusan jadi jalan tengah bagi Nasution. Dia dan orang Indonesia
lainnya keluar dari Bandung, seperti perintah Syahrir tapi dengan membakar kota
yang ditinggalkannya itu. Perintah Syahrir ditaati dan Bandung dibiarkan lepas begitu
saja karena sudah jadi lautan api. Itu lebih baik ketimbang menyerahkan Kota
Bandung begitu saja pada Tentara Sekutu. Sekutu tidak boleh dapat manfaat apapun
dari kota Bandung karena sudah terbakar

Dan pembakaran Bandung mulai dilaksanakan dini hari pada 24 Maret 1946.
Rakyat sipil akan langsung diungsikan hari itu juga. Namun, ada yang memulai sejak
pukul 21.00 tanggal 23 Maret 1946. Gedung pertama yang dibakar adalah Bank
Rakyat. Lalu sekitar Banceuy, Cicadas, Braga dan Tegallega pun dibakar. Asap pun
membumbung tinggi, hingga terlihat di luar kota.
Di dalam kondisi genting ini, tentara Inggris juga menyerang sehingga
pertempuran sengit tidak terhindarkan. Pertempuran terbesar berlangsung di Desa
Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung. Di tempat inilah adanya gudang amunisi
besar milik Tentara Sekutu.

Rupanya, pejuang Indonesia Muhammad Toha serta Ramdan, dua anggota


milisi BRI (Barisan Rakjat Indonesia) memperoleh misi penghancurkan gudang
amunisi itu. Muhammad Toha berhasil meledakkan gudang senjata itu dengan
dinamit. Walau demikian, kedua milisi itu turut terbakar di dalam gudang besar yang
diledakkannya itu.

Awalnya, staf pemerintahan kota Bandung merencanakan untuk tetap


berada di dalam kota. Akan tetapi, untuk keselamatan mereka, maka pukul 21.00 itu,
mereka juga turut dalam rombongan yang dievakuasi dari Bandung. Dan sekitar
pukul 24.00, Bandung kosong dari masyarakat serta TRI. Sementara, api masih
membubung membakar kota, hingga Bandung menjadi lautan api.

Strategi operasi bumihangus ini merupakan strategi yang tepat karena


kekuatan TRI serta milisi rakyat memanglah tak sebanding dengan kekuatan pihak
Sekutu serta NICA yang besar. Sesudah peristiwa Bandung Lautan Api tersebut, lalu
TRI bersama dengan milisi rakyat melakukan perlawanan dari luar Bandung lewat
cara bergerilya.

Cerita heroik terkait dengan bumi hangus kota Bandung oleh Nasution dan
kawan-kawan itu belakangan melahirkan lagu perjuangan Halo Halo Bandung, yang
masih diperdebatkan siapa penciptanya. Sementara kisah Mohamad Toha dan
kawannya Ramdan yang jadi martir dalam peledakan gudang mesiu Tentara Sekutu,
difilmkan Usmar Ismail dengan judul: Toha Pahlawan Bandung Selatan

Jejak-jejak perjuangan mempertahankan Bandung masih ada hingga kini.


Mereka hadir sebagai pengingat atas jasa para pejuang yang tidak rela Bandung
jatuh ke tangan penjajah
Dokumentasi :
3. Peristiwa Puputan Margana
Perang Puputan Margarana merupakan sebuah perang kemerdekaan yang
puncaknya meletus pada 20 November 1946. Perang Puputan Margarana terjadi di
Margarana yang terletak di utara Kota Tabanan, Bali antara pasukan Indonesia
melawan Belanda.

Perang Puputan Margarana merupakan sebuah perang kemerdekaan yang


puncaknya meletus pada 20 November 1946. Perang Puputan Margarana terjadi di
Margarana yang terletak di utara Kota Tabanan, Bali antara pasukan Indonesia
melawan Belanda

Pasukan Indonesia dipimpin oleh Kepala Divisi Sunda Kecil Letkol I Gusti
Ngurah Rai yang membawahi pasukan Ciung Wanara. Istilah Perang Puputan dipakai
karena peperangan tersebut dilakukan sampai pada titik darah penghabisan.

Kata puputan sendiri mengandung makna moral, karena dalam ajaran agama
Hindu, kematian seorang prajurit dalam kondisi seperti itu adalah sebuah
kehormatan bagi keluarganya.

Akhirnya, I Gusti Ngurah Rai dan sekitar 96 pasukannya gugur, sedangkan di


pihak sekutu sekitar 400 orang tewas dalam Perang Puputan Margarana itu.

Untuk mengenang peristiwa itu, di bekas arena pertempuran itu kini didirikan
Tugu Pahlawan Taman Pujaan Bangsa.
Setiap 20 November juga diperingati sebagai hari Perang Puputan Margarana. 

Latar Belakang

Pada intinya, Perang Puputan Margarana di Bali dilatarnelakangi oleh hasil


Perundingan Linggarjati antara Belanda dan Indonesia.
Salah satu isi hasil Perundingan Linggarjati adalah Belanda mengakui secara
de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan meliputi Jawa, Sumatera, dan
Madura.
Setelah itu, Belanda sudah harus meninggalkan daerah de facto itu paling
lambat 1 Januari 1946.Itu artinya, Bali tidak termasuk ke dalam bagian Republik
Indonesia. Hal itu melukai hati rakyat Bali yang kemudian memicu perlawanan.

Selain itu, Perang Puputan Margarana juga dipicu oleh penolakan Letkol I


Gusti Ngurah Rai yang saat itu menjadi Kepala Divisi Sunda Kecil
terhadap Belanda untuk mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT).
Pada 2 dan 3 Maret 1946, Belanda mendaratkan sekitar 2.000 pasukannya
di Bali. Tujuan Belanda adalah ingin menyatukan Bali dengan wilayah Negara
Indonesia Timur (NIT) lainnya.

Di saat yang sama, Letkol I Gusti Ngurah Rai sedang berada di Yogyakarta


untuk melakukan konsultasi dengan markas besar TRI. Belanda kemudian
membujuk I Gusti Ngurah Rai supaya bersedia bekerja sama membentuk NIT. Namun
ajakan tersebut ditolak dengan tegas oleh I Gusti Ngurah Rai, bahkan ia bertekad
melakukan perlawanan terhadap Belanda. (2)

Awal Peristiwa

Pada sekitar pertengahan November 1946, I Gusti Ngurah Rai kemudian


memberikan perintah kepada pasukannya yang bernama Ciung Wanara untuk
melucuti persenjataan polisi NICA yang menduduki Kota Tabanan. Perintah tersebut
terlaksana tiga hari kemudian, persisnya pada 19 November 1946.

Pada operasi tersebut, pasukan Ciung Wanara berhasil menguasai detasemen


polisi NICA di Tabanan serta merebut puluhan senjata lengkap sekaligus dengan
artilerinya. Setelah itu, pasukan Ciung Wanara kembali ke Desa Adeng, Marga,
Tabanan. Tak pelak, peristiwa itu memicu amarah Belanda.

Pada 20 November 1946, Belanda mengerahkan seluruh pasukannya yang


tersebar di seluruh wilayah Bali dan Lombok untuk mengisolasi Desa Adeng-Marga.
Belanda juga mendatangkan pesawat pengebomnya dari Makassar untuk
menghadapi pasukan I Gusti Ngurah Rai.

Menjelang siang, sekitar pukul 09.00 sampai 10.00 WITA, pasukan Ciung


Wanara baru menyadari bahwa mereka dalam posisi terkepung oleh
serdadu Belanda. Enggan menyerah, aksi tembak-tembakan pun tidak terelakkan.

Puncak Peristiwa
Sebenarnya sebelumnya I Gusti Ngurah Rai sempat mencium
pergerakan Belanda dan langsung memindahkan pasukannya ke Desa Marga.
Mereka menyusuri wilayah ujung timur Pulau Bali, termasuk melintasi Gunung
Agung. Namun upaya itu dapat diendus Belanda yang kemudian berhasil mengejar
pasukan Ciung Wanara.

Dalam pertempuran itu, pasukan Ciung Wanara sebenarnya sempat berahasil


memukul mundur pasukan Belanda.Namun ternyata pertempuran belum selesai,
sebab bala bantuan pasukan Belanda datang dengan jumlah lebih besar.
Tidak hanya itu, mereka juga dilengkapi dengan persenjataan yang lebih
modern, termasuk pesawat tempur. Situasi akhirnya berbalik, pasukan I Gusti
Ngurah Rai justru terdesak karena kekuatan pasukan yang tidak seimbang.

Menjelang malam, pertempuran tak kunjung usai. Pasukan Belanda kian


brutal menyerbu pasukan Ciung Wanara dengan Meriam dan bom dari pesawat
tempur. Hingga akhirnya pasukan Ciung Wanara di bawah I Gusti Ngurah
Rai terdesak di wilayah terbuka di area persawahan dan ladang jagung di kawasan
Kelaci, Desa Marga.

Dalam kondisi terdesak itulah I Gusti Ngurah Rai kemudian mengeluarkan


instruksi Puputan atau pertempuran habis-habisan sampai titik darah penghabisan.
Dalam pandangan pejuang Bali itu, lebih baik berjuang sebagai kesatria daripada
jatuh ke tangan musuh.

Akhirnya pada 20 November 1946 malam, I Gusti Ngurah Rai gugur bersama


pasukannya. Peristiwa itu kemudian dicatat sebagai peristiwa Puputan Margarana,
sebuah sejarah penting tonggak perjuangan rakyat Indonesia.

Kekalahan pasukan I Gusti Ngurah Rai itu kemudian semakin memperlancar


usaha Belanda untuk mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT). Beruntung, usaha itu
kembali gagal setelah Indonesia kembali menjadi negara kesatuan pada 1950.
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, Perang Puputan Margarana membuat I
Gusti Ngurah Rai dan 69 anggota pasukannya gugur. Sedangkan di kubu lawan,
sekitar 400 orang tewas dalam peperangan itu. 
Dokumentasi

Anda mungkin juga menyukai