Anda di halaman 1dari 4

AJINOMOTO: HALAL ATAU HARAM?

Edisi 15 - 21 Januari 2001


diakses 21 Mei 2016 pukul 14.23

AKAL sehat kita benar-benar diuji oleh kasus Ajinomoto. Satu merek bumbu masak ternyata
bisa membuat seluruh negeri seperti "terbakar". Polisi sibuk menangkap pemimpin pabrik
dan menahan mereka di sel—termasuk seorang warga negara Jepang (yang kini sudah
dibebaskan). Pabrik yang sudah 30 tahun berdiri di Mojokerto pun disegel seminggu.
Buruhnya berhenti bekerja. Di pasar, kegiatan meledak. Ribuan ton bumbu masak ini
ditarik—sementara penyedap merek lain juga sibuk menambah stoknya. Demonstrasi
merebak. Ada yang mendukung langkah Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang
mengharamkan Ajinomoto, ada pula yang menuduh lembaga itu disisipi kepentingan bisnis.

Urusan makin ramai ketika Istana mendadak ikut berbicara soal penyedap cap mangkuk
merah ini. Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan Ajinomoto halal. Ia mengaku
mendapat masukan dari beberapa laboratorium, termasuk Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT). Sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat langsung "menyerang"
Presiden. Dan "pertempuran" Istana versus Senayan seperti mendapat amunisi baru. Apa
boleh buat, urusan penyedap yang hanya satu-dua jumput masuk ke mangkuk sup kita itu
sementara membuat kita lupa bahwa otak peledakan bom di malam Natal masih ha-ha-hi-hi
entah di mana, Tommy Soeharto belum tertangkap, utang konglomerat yang triliunan rupiah
belum terbayar, dan krisis ekonomi kedua masih "mengintip" di depan sana.

Soal yang "membakar" negeri ini bermula dari kegiatan kecil: masa berlaku label halal
Ajinomoto habis, Desember 2000 lalu, dan MUI menguji ulang kehalalan produk itu.
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetik (LPPOM) MUI—bekerja sama
dengan Institut Pertanian Bogor—dibentuk setelah terjadi kisruh lemak babi di sejumlah
merek mi, susu, dan kecap pada 1988. Lembaga nonprofit ini—karena stafnya bekerja
sukarela dan hanya menerima honor ketika menguji suatu produk—memasang tarif ratusan
ribu rupiah sampai maksimum Rp 2 juta untuk setiap produk yang diujinya. Hasil
rekomendasi LPPOM dibawa ke MUI untuk kemudian diteruskan kepada Direktorat Jenderal
Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan. Lembaga terakhir itulah yang
menerbitkan label halal.
Dalam masalah Ajinomoto, yang dipersoalkan adalah porcine (enzim dari pankreas babi)
yang digunakan dalam rangkaian produksinya. Proses produksi itu diawali dengan pemakaian
enzim porcine sebagai katalisator (bahan perantara yang gunanya memudahkan reaksi kimia)
untuk menghidrolisis protein kedelai menjadi bactosoytone (satu jenis protein rantai pendek).
Sebagai bahan perantara, tentu saja enzim porcine tidak ikut menjadi bagian
daribactosoytone. Nah, bactosoytone itu dipakai sebagai nutrisi untuk mengembangbiakkan
mikroba. Selanjutnya, mikroba dipakai dalam proses fermentasi tetes tebu menjadi
monosodium glutamat (MSG). Melalui proses pemurnian, didapat bentuk kristal dan itulah
MSG yang siap dilempar ke pasar.

Sampai di sini, secara kimiawi sebenarnya jelas bahwa hasil akhir MSG itu tidak lagi
mengandung enzim porcine ataupun bactosoytone—dan hal ini diakui Direktur LPPOM
MUI, Prof. Aisyah Girindra, dan Dirjen Departemen Kesehatan H.M. Sampurno. Tapi, dari
sisi pandangan agama (fikih), pendapat terbelah tiga. Ada yang berpendapat MSG itu haram.
Dasarnya, bahan pangan yang dalam prosesnya bercampur dan memanfaatkan bahan yang
berasal dari babi, walaupun kemudian dipisahkan, tetap haram dikonsumsi. Ada yang
berpendapat halal karena produk akhir yang dikonsumsi bebas babi. Pendapat ketiga, pilihan
diserahkan kepada keyakinan umat Islam, mau mengonsumsi atau tidak.

Lalu, kepada siapa kita harus berpihak? Jika harus memilih, majalah ini berpihak kepada
konsumen, apa pun agamanya. Bagi umat Islam, persoalan utama adalah bagaimana
menjamin bahan makanan yang dikonsumsinya bebas barang haram. Dan kasus Ajinomoto
membuktikan bahwa pemberian label halal oleh Departemen Kesehatan dan MUI belum
memberikan jaminan itu. Apa yang harus dilakukan? Umat Islam harus membangun
laboratorium yang memadai untuk meneliti pangan, obat, dan kosmetik dengan staf yang
cukup andal (dan cukup gajinya).

LPPOM bisa saja dimanfaatkan jika semua kalangan Islam setuju. Dengan dana yang cukup
dari masyarakat, lembaga ini bisa aktif meneliti produk yang beredar di masyarakat, dan tidak
"menunggu bola" seperti sekarang ini. Bahkan, secara berkala, lembaga ini perlu mengecek
mendadak produk yang sudah berlabel halal. Ajinomoto pernah berkonsultasi soal
penggantian enzim yang dipakai beberapa waktu lalu—dan kabarnya secara informal
disarankan agar tak memakai enzim babi—toh, urusan ini baru "terbongkar" setelah masa
label halalnya perlu diperpanjang. Jika kredibilitas (dan kejujuran) lembaga itu cukup baik di
mata umat, tentulah konsumen muslim yang baik akan taat kepada fatwanya. Tanpa minta
sokongan politik pemerintah—misalnya cap halal dari Departemen Kesehatan—pun umat
akan mengikuti sikap lembaga itu.

Kasus pemakaian lemak babi dalam produk penyedap rasa yang diproduksi PT Ajinomoto
indonesia sangatlah memperihatinkan karena etika bisnis perusahaan sangatlah buruk, bisnis
dan moral tidak saling berhubungan. Etika dan moralitas yang berlaku tidak digunakan dalam
menjalankan bisnis perusahaan, sehingga kegiatan bisnis yang dilakukan menyimpang dan
membuat rugi konsumen dan perusahaan. perusahaan hanya mementingkan keuntungan
dibandingkan moral perusahaan, mungkin perusahaan ini beranggapan jika memperhatikan
moral perusahaan akan berada diposisi tidak menguntungan dikondisi persaingan yang ketat.

PT Ajinomoto Indonesia dalam menjalankan kegiatan bisnisnya seharusnya mempunyai


budaya perusahaan atau corporate culture, agar kegiatan yang dilakukan perusahaan dari
generasi ke generasi menganut prinsip - prinsip etika bisnis supaya perusahaan berjalan
dengan baik dan tidak menyimpang. Prinsip-prinsip etika bisnis tersebut diantaranya :
 Prinsip kejujuran, PT Ajinomoto seharusnya transparan akan komposisi atau
kandungan yang dipakai produk tersebut agar semua pihak mengetahui dan dapat memilih
mana yang baik dikonsumsi dan mana yang tidak baik.
 Prinsip otonomi, langkah penarikan produk penyedap rasa yang memakai lemak babi
adalah keputusan yang benar dan dapat dipertanggung jawabkan.
 Prinsip keadilan, setiap konsumen mempunyai keyakinan agama masing-masing dan
norma yang berlaku didalamnya, ada yang memperbolehkan dan tidak memperbolehkan
suatu zat. Seperti agama islam yang mengharamkan babi dan diagama lain yang
memperbolehkan babi, sebaiknya PT Ajinomoto tidak memakai lemak babi dalam produknya
agar semua konsumen muslin atau non muslim dapat menggunakan penyedap rasa tersebut.
 Prinsip saling menguntungkan (mutual benefit principle), jika produk yang diproduksi
tidak layak itu akan membuat kerugian bagi konsumen, PT Ajinomoto tidak memperhatiakan
hal tersebut dalam kegiatan bisnisnya sehingga banyak yang dirugikan.
 Prinsip integritas moral, saat kasus seperti ini sudah terjadi meski produk telah ditarik
dari peredaran dan ganti rugi sudah diberikan namun tetap saja nama baik perusahaan jadi
buruk dimata konsumen.
Jadi, meskipun betapa sulitnya menjalankan usaha untuk dapat memperoleh keuntungan
sangat penting mempunyai dan menghayati etika bisnis, norma dan moralitas serta penerapan
prinsip-prinsip etika bisnis supaya terbentuk stakeholder paradigma yang baik.

 Kesimpulan
Dari keterangan kasus perusahaan ajinomoto, dapat disimpulkan bahwa kasus ini termasuk
kedalam jenis resiko reputasi,karena kesalahan dari manajemen perusahaan ajinomoto
tersebut.Sebenarnya Ajinomoto sudah mengantungi sertifikat ‘halal’ dari MUI. Namun itu
hanya berlaku dua tahun, dan berakhir sejak Juni 2000. Setelah tanggal itu, pihak Ajinomoto
tak melakukan pemeriksaan lagi ke MUI. Mereka malah mengubah bahan bakunya, yang
ditengarai MUI mengandung ekstrak lemak babi. Karena kesalahan itulah konsumen
Indonesia yang mayoritas islam, jadi takut untuk menggunakan produk ajinomoto,yaitu
bumbu masak.Namun untuk menghilangkan keresahan dan menjaga ketenangan masyarakat
dalam mengkonsumsi produk Ajinomoto maka pihaknya akan menarik secara serentak di
seluruh Indonesia produk MSG Ajinomoto dan meminta maaf akan kejadian ini. PT
Ajinomoto terpaksa harus memberi ganti-rugi pedagang dengan total nilai sebesar Rp 55
milyar.

 Saran
Belajar dari kasus ajinomoto, sebaiknya kita sebagai konsumen harus jeli dalam
memperhatikan produk- produk yang akan digunakan, terutama yang bersetifikat halal.
Berbagai pihak jangan memperkeruh permasalahan tersebut dengan berbagai
pendapat yang membingungkan masyarakat. Yang terpenting, aparat hukum dapat secepatnya
menyelesaikan kasus ini sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Bagi pemerintah, harus mengadakan pengawasan yang ketat dan meningkatkan
pengawasan terhadap produk,sesuai dengan prosedur yang telah distandarisasi SNI dan
berlebel kan “ halal “ .

Anda mungkin juga menyukai