Anda di halaman 1dari 12

HUKUM BISNIS

(JUAL BELI)

ANGGOTA:
ABIDIN HIDAYATULLAH (119020514)
FATUH ROHMAN ALFAJAR (119020506)
IRFAN SAEFUDIN ANSYORI (119020509)

FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
TAHUN AKADEMIK 2019/2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................................................2
TENTANG JUAL BELI...............................................................................................................................3
A. PENGERTIAN JUAL BELI..................................................................................................................3
B. METODE PEMBAYARAN DALAM TRANSAKSI JUAL BELI.................................................................4
C. WANPRESTASI DAN GANTI RUGI...................................................................................................4
D. FORCE MAJEURE DAN MASALAH RESIKO......................................................................................6
E. JUAL BELI MENURUT HUKUM ISLAM.............................................................................................9
F. KESIMPULAN................................................................................................................................11
TENTANG JUAL BELI

A. PENGERTIAN JUAL BELI

Jual beli dalam bahasa Inggris disebut dengan “Sale and Purchase” atau dalam bahasa
Belanda disebut “Koop en Verkoop” merupakan sebuah kontrak / perjanjian. Yang
dimaksudkan dengan Jual Beli adalah suatu kontrak dimana satu pihak mengikat dirinya
untuk menyrahkan suatu benda, sedangkan pihak lainnya yang disebut dengan pihak pembeli
mengikatkan dirinya untuk membayar harga dari benda tersebut yang telah disepakati
bersama. Pada setiap jual beli setidak-tidaknya terdapat dua belah pihak yaitu pihak penjual
yang mempunyai kewajiban menyerahkan barang objek jual beli, dan pihak pembeli yang
berkewajiban membayar harga pembelian.

Sumber hukum dari kontrak jual beli adalah sebagai berikut :

1. Kitab undang-undang hukum perdata buku ketiga (3) tentang perikatan.

2. Undang-undang pertanahan sepanjang menyangkut dengan jual beli tanah.

3. Hukum adat setempat terhadap jual beli yang tekait dengan masyarakat adat.

4. Yurisprudensi

5. Perjanjian internasional sejauh yang menyangkut dengan jual beli internasional.

6. Kebiasaan perdagangan baik nasional maupun internasional.

7. Doktrin atau pendapat ahli.


B. METODE PEMBAYARAN DALAM TRANSAKSI JUAL BELI

Pembayaran harga yang telah disepakati bersama merupakan kewajiban pihak pembeli dalam
suatu kontrak jual beli. Pembayaran dapat dilakukan dengan menggunakan cara pembayaran
sebagai berikut :

1. Cara pembayaran tunai seketika

2. Cara pembayaran dengan cicilan / kredit

3. Cara pembayaran dengan menggunakan kartu kredit

4. Cara pembayaran dengan menggunakan kartu debit

5. Cara pembayaran dengan menggunakan cek

6. Cara pembayaran dengan dasar konsinyasi

C. WANPRESTASI DAN GANTI RUGI

Wanprestasi dalam suatu kontrak, biasanya meliputi :

1. Wanprestasi berupa tidak memenuhi prestasi;

2. Wanprestasi berupa terlambat memenuhi prestasi;

3. Wanprestasi berupa tidak sempurna memenuhi prestasi

Wanprestasi bagi pembeli adalah ketika pembeli tidak melakukan kewajibannya sesuai
dengan kontrak yang telah disepakati, antara lain karena tidak melakukan kewajiban
utamanya dalam membayar harga barang yang telah dibelinya tersebut.
Wanprestasi bagi pihak penjual diantaranya sebagai berikut :

1. Tidak menyerahkan barang yang menjadiobjek jual beli yang diatur dalam kontrak jual
beli.

2. Pemilikan/penggunaan barang yang menjadi objek jual beli tidak aman bagi pembeli.

3. Ada cacat tersembunyipada benda yang menjadi objek jual beli tersebut.

Adapun komponen – komponen ganti rugi adalah sebagai berikut :

1. Biaya

2. Rugi (Dalam arti yang sempit)

3. Bunga

Salah satu model ganti rugi dari jual beli adalah model ganti rugi ekspektasi, yaitu yang
diganti adalah “hilangnya keuntungan yang diharapkan” dari jual beli tersebut akibat tidak
dilakukannya prestasi oleh pihak lain. Ganti rugi model ekspektasi ini akan berbeda antara
penjual dan pembeli.

Apabila pihak penjual yang melakukan wanprestasi, maka ganti rugi ekspektasi akan
mengambil formulasi sbb :

1. Formulasi pembelian dari pihak ketiga

Dikenal dengan cover formula, dimana besarnya kerugian dihitung dengan pengurangan
dharga untuk mendapatkan barang yang sama dari pihak ketiga. Ganti ruginya dihitung
dengan cara harga barang dalam hal membeli barang yang sama dari pihak ketiga dikurangi
harga dalam kontrak ditambah biaya-biaya yang dikeluarkan dan dikurangi biaya-biaya yang
tidak jadi dikeluarkan.

2. Formulasi harga pasar


Dengan formulasi market price ini pihak pembeli membeli barang dari pihak ketiga; jadi
yang menjadi pedoman bukan harga pembelian kembali tetapi harga pasar. Kerugian yang
harus diganti dalam formula ini adalah harga pasar dikurangi harga kontrak ditambah biaya
dan dikurangi biaya yang tidak jadi dikeluarkan.

Jika Pembeli yang melakukan Wanprestasi maka formulasi ganti rugi yang berbentuk
ekspektasi adalah sebagai berikut :

1. Formula pembayaran harga barang,

Yang dimaksud dengan formula pembayaran harga barang (price action) adalah
bahwa harga barang seperti yang diperjanjikan dimintakan dari pembeli, sehingga sebagai
konsekuensinya barang tersebut harus diserahkan kepada pembeli tersebut atau dipaksaka
untuk diterima oleh si pembeli.

2. Formula penjualan kembali,

Yang dimaksud dengan hal ini (resale formula) ganti rugi diberikan kepada pihak
penjual dengan perhitungan berupa selisih antara harga kontrak dengan harga penjualan
kembali dari barang yang bersangkutan.

3. Formula harga pasar,

Yang dimaksudkan adalah suatu ganti rugi dihitung dengan cara harga dalam kontrak
dikurangi dengan harga pasar dari barang tersebut. Dalam hal ini barang tetap berada pada
tangan si penjual.

4. Formula kehilangan keuntungan,

Dengan formula ini (lost profit), harga dalam kontrak dikurangi modal/biaya produksi
dan dikurangi lagi biaya-biaya yang telah dikeluarkan.

D. FORCE MAJEURE DAN MASALAH RESIKO


Force Majeure adalah suatu keadaan dimana pihak debitur dalam suatu kontrak
terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga
pada saat dibuatnya kontrak tersebut, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat
dipertanggung jawabkan kepada debitur sementara debitur juga tidak mempunyai itikad
buruk.

Maksudnya bahwa peristiwa yang menyebabkan Force Majeure tersebut tidak


termasuk dalam asumsi dasar (basic assumption) dari para pihak sewaktu membuat kontrak
tersebut. Contoh dari hal – hal yang menyebabkan terjadinya Force Majeure adalah
banjir/bah, angin puting beliung, gempa bumi, demo mogok buruh dan lain-lain.Dalam hal
terhalangnya prestasi pembeli atau penjual karena hal-hal seperti tersebut diatas, maka dalam
hal ini berlakulah ketentuan tentang force majeure.

Ketentuan hukum yang umum tentang force majeure menentukan tidak ada satu orang
pun dapat dimintakan pertanggung jawaban hukumnya ketika terjadi suatu peristiwa yang
menyebabkan force majeure tersebut karena kejadian-kejadian tadi diluar kesalahan dan
kewenangan para pihak.

Yang menjadi persoalan hukum, siapakah yang menanggung resiko dari force
majeure tersebut? Berbeda dengan sistem pengaturan resiko dalam kontrak lain pada
umumnya, maka hukum tentang jual beli (menurut KUH Perdata) dengan tegas ditentukan
bahwa begitu kontrak jual beli sudah ditanda tangani, maka resiko sudah beralih kepada
pihak pembeli meskipun barang belum diserah terimakan.

Selai daripada itu, penentuan siapa yang akan menanggung resiko juga harus dilihat
dari bentuk penyerahan benda yaitu apakah dengan tegas ditentukan ahwa beda tersebut
diterima pembeli ditempat pembeli misalnya sehingga kewajiban pengangkutan barang,
termasuk kewajiban menanggung resiko jika barang hilang ditengah jalan, menjadi tanggung
jawab penjual.
Subyek Jual-Beli

1) Konsumen

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup
lain dan tidak untuk diperdagangkan. Di dalam kepustaaan ekonomi dikenal istilah konsumen
akhir dan konsumen antara yaitu: konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari
suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu
produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya.

mendefinisikan konsumen sebagai “setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun
makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Definisi ini sesuai dengan pengertian
bahwa konsumen adalah end user atau pengguna terakhir konsumen disini merupakan
pembeli barang dan jasa.

2) Pelaku Usaha

Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha baik yang berbentuk
badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik diri sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi di
antaranya: perusahaan, BUMN, koperasi, importer, pedagang dan lain-lain.7

Obyek Jual-Beli Pada hukum perlindungan konsumen yang termasuk obyek jual-

beli sebagai berikut:

1) Barang adalah setiap benda baik berwujud atau tidak berwujud baik bergerak atau tidak
bergerak dapat dihabiskan maupun tidak dihabiskan yang dapat untuk diperdagangkan,
dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen;

2) Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi
masyarakat untuk dimanfaatkan konsumen baik pengertian barang dan jasa ini tidak dibatasi
oleh undang-undang misalnya jasa dalam bidang kesehatan atau medis pendidikan baik
secara umum maupun agama, konsultasi, dan lain-lain.

E. Jual-Beli Menurut Hukum Islam

1. Pengertian Jual-Beli

Secara etimologi, jual beli berarti al-mubadalah (saling tukar menukar/barter).


Sedangkan secara terminologi, jual beli yaitu sebagai berikut:

Sebagaimana yang dikutip oleh Qomarul Huda, menurut Taqiyuddin adalah saling tukar
menukar harta (barang) oleh dua orang

untuk dikelola (ditasyarafkan) dengan cara ijab dan qabul sesuai dengan syara‟.Sebagaimana
yang dikutip oleh Mardani, menurut Sayid Sabiq jual beli adalah tukar menukar harta dengan
jalan suka sama suka (an-taradhin). Atau memindahkan kepemilikan dengan adanya
penggangtian, dengan prinsip tidak melanggar syariah.Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah, ba‟i adalah jual beli antara benda dengan benda, atau pertukaran antara benda
dengan barang. Dalam bukunya, Labib menyebutkan Jual beli adalah menukarkan suatu harta
benda dengan alat pembelian yang sah (uang)

atau dengan harta benda yang lain dan keduanya menerima harta untuk dibelanjakan dengan
ikrar penyerahan dan jawab penerimaan (ijab qabul) menurut cara tertentu yang sudah diatur
oleh syarat.

2. Rukun Jual-Beli

Menurut jumhur ulama rukun jual beli ada empat, yaitu:

a. Penjual,b. Pembelic. Shighad, dan

d. Ma‟qud „alaih (objek akad).

4. Syarat Jual-Beli

Ada empat syarat yang harus dipenuhi dalam akad jual beli, yaitu:

a. Syarat Terjadinya Akad (In‟iqad)


Syarat in‟iqad adalah syarat yang harus terpenuhi agar akad jual beli dipandang sah menurut
syara‟. Apabila syarat ini tidak dipenuhi, maka akad jual beli menjadi batal.

a) Syarat „Aqid Penjual (musytari) dan pembeli (ba‟i) didasarkan pada satu nama yang asli,
al-aqid. „Aqid harus mempunyai syarat-syarat:

1) Harus orang yang mumayiz, yakni orang yang mampu memahami akibat
perjanjian dalam perdagangan.

2) Harus mampu menguasai hartanya;

3) Harus bebas memilih, tidak bertindak berdasarkan paksaan, pengaruh orang lain,
penipuan, dan curang.

b) Syarat Akad (Ijab dan Qabul)

Syarat akad yang sangat penting adalah bahwa qabul harus sesuai dengan ijab, dalam arti
pembeli menerima apa yang di ijab kan oleh penjual. Apabila terjadi perbedaan antara qabul
dan ijab, misalnya pembeli menerima barang yang tidak sesuai dengan yang dinyatakan oleh
penjual, maka akad jual beli tidak sah

.c) Syarat Tempat AkadSyarat yang berkaitan dengan tempat akad adalah ijab dan qabul
harus terjadi dalam satu majelis. Apabila ijab dan qabul berbeda majelisnya, maka akad jual
beli tidak sah.21

d) Syarat Ma‟qud „Alaih (Objek Akad)Syarat yang harus dipenuhi oleh objek akad (ma‟qud
„alaih)

adalah sebagai berikut:

1) Bersih barangnya. Adapun yang dimaksud dengan bersih barangnya adalah


barang yang diperjual-belikan bukanlah benda yang dikualifikasi sebagai benda
najis, atau yang digolongkan sebagai benda yang diharamkan.

2) Barang yang dijual harus maujud (ada). Oleh karena itu, tidak sah jual beli barang
yang tidak ada (ma‟dum) atau yang dikhawatirkan tidak ada.

3) Barang yang dijual harus mal mutaqawwim. Pengertian mal mutaqawwim adalah
setiap barang bisa dikuasai secara langsung dan boleh diambil manfaatnya dalam
keadaan ikhtiyar. Dengan demikian, tidak sah jual beli mal yang ghair
mutaqawwim, seperti babi, darah, dan bangkai.
4) Barang yang dijual harus barang yang sudah dimiliki.

5) Barang yang dijual harus bisa diserahkan pada saat dilakukannya akad jual beli

Secara global akad jual beli harus terhindar dari enam macam:

a. Ketidakjelasan (jahalah)

b. Pemaksaan (al-ikrah)

c. Pembatasan dengan waktu (at-tauqit)

d. Penipuan (gharar)

e. Kemudaratan (dharar)

f. Syarat-syarat yang merusak

Syarat yang fasid apabila terdapat dalam akad mu‟awadhah maliyah, seperti jual beli,
atau ijarah, akan menyebabkan akadnya fasid, tetapi tidak dalam akad-akad lain, seperti akad
tabarru‟ hibah dan wasiat) dan akad nikah. Dalam akad-akad ini syarat yang fasid tersebut
tidak berpengaruh sehingga akadnya tetap sah.

Syarat Kelangsungan Jual Beli (Syarat Nafadz)Untuk kelangsungan jual beli diperlukan dua
syarat sebagai berikut:

1) Kepemilikan atau kekuasaan;

2) Pada benda yang diju1al (mabi‟) tidak terdapat hak orang lain.

F. KESIMPULAN

Jual beli adalah dua kata yang saling berlawanan, namun masing-masing sering
digunakan untuk arti kata yang lain secara bergantian. Oleh sebab itu, masing-masing dalam
akad transaksi disebut sebagai pembeli dan penjual. Akan tetapi bila disebutkan secara
umum, yang terbetik dalam hak adalah bahwa kata penjual diperuntukkan kepada orang yang
mengeluarkan barang dagangan. Sementara pembeli adalah orang yang mengeluarkan
bayaran. Penjual adalah yang mengeluarkan barang miliknya. Sementara pembeli adalah
orang yang menjadikan barang itu miliknya dengan kompensasi pembayaran.

Islam memandang jual beli merupakan sarana tolong menolong antar sesama
manusia. Orang yang sedang melakukan transaksi jual beli tidak dilihat sebagai orang yang
sedang mencari keuntungan semata, akan tetapi juga dipandang sebagai orang yang sedang
membantu saudaranya. Bagi penjual, ia sedang memenuhi kebutuhan barang yang dibutuhkan
pembeli. Sedangkan bagi pembeli, ia sedang memenuhi kebutuhan akan keuntungan yang
sedang dicari oleh penjual. Atas dasar inilah aktifitas jual beli merupakan aktifitas mulia, dan
Islam memperkenankannya.

Anda mungkin juga menyukai