Anda di halaman 1dari 2

"amorfati" vandalism terpampang di tembok terminal penuh pedagang kaki lima, mengadu nasib dalam

keringat yang mencair membasahi tubuh kepala keluarga. Pak ayi berdiri tepat menghadap tulisan besar
yang di tulis oleh pilok merah bergambar samurai, kaleng nya masih ada di sisi kanan bawah tembok.
"Amorfati" ia terus melihat tanpa tau apa arti dari kata itu. diam untuk beberapa saat untuk Kemudian
pergi menghiraukannya merapihkan dagangan yang hari ini baru terjual satu botol aqua dan dua
bungkus tahu. Berjalan menjemput menghampiri bus bus yang datang dari entah darimana,
memijakkan kaki di alas bus dan berdoa

"Duh gusti, semoga orang orang di bus ini mempunyai uang banyak dan sudi membeli daganganku".

Bus melaju, pak ayi menjajakan dagangan yang di gendong nya

"Yang aus yang aus yang aus"

Sembari berjalan menuju ujung bus, nihil tak seorangpun penumpang melirik dagangannya, pak ayi
kembali menuju ruang supir, dengan lengan yang menggantung pada besi atap bus, memandangi
jalanan bus sepanjang perjalanan menuju tempat tujuannya, maksudnya tujuan pak ayi, yaitu fly over fly
over yang biasanya di jadikan rute tempat peralihan naik dan turun bus kebanyakan pedagang kaki lima.
Terik matahari menembus kaca bus, memancarkan silau pada pak ayi yang sedari tadi terus saja
melamun seperti itu. Matanya melukiskan kekhawatiran biaya persalinan istrinya yang hamil tua.

"Apakah anaku akan melihat bapaknya yang putus asa di perjalanan bus antar kota demi mengusahakan
ia untuk keluar dan menyaksikan dunia?"

Pak ayi bertanya lirih dalam hati, menyeka keringat dengan handuk pemberian istri kesayangan. Handuk
biru kecil yang terlukis doa doa sujud istri tercinta, handuk kecil yang akan menjelma sebagai saksi tangis
anak pertamanya.

Bus melaju kencang menembus kerikil jalanan, hari ini lengang, pak ayi berdoa untuk macet, entah dosa
atau tidak ia tidak memikirkannya. Di kepalanya hanya senyum kecil menyimpul dari bibir mungil buah
hati pertamanya. Sampailah bus di tempat pemberhentian, yaitu tempat pemberhentian untuk
mengangkut dan menurunkan pedagang kaki lima. Baik hati supir untuk sekedar berhenti dan
melanjutkan perjalannya lagi. Banyak doa di sampaikan untuknya.

Pak ayi turun dan lagi lagi merapihkan dagangannya, bertemu dengan teman teman seprofesinya yang
tentu mempunyai kerisauan kerisauannnya sendiri sendiri. Pak ayi duduk duduk untuk menyulut rokok
dan bercerita tentang rezeki yang hari ini kering. Asapnya menyatu dengan debu jalanan, juga asap
knalpot kendaraan yang berlalu lalang. Tidak habis satu batang bus selanjutnya tiba, pak ayi dan
beberapa kawannya segera berdiri untuk lari ke pinggir jalan. Dibukannya lagi pintu bus yang dimata pak
ayi adalah pintu pintu rezeki, pak ayi mulai menjajakan dagangannya, kawan kawannya pun begitu. Kali
ini ia mengucap syukur atas lakunya beberapa botol minuman dingin dan manisan mangga buatan
istrinya. Kali ini ia tidak turun di pemberhentian kaki lima, kali ini ia meneruskan perjalanannaya menuju
gang ber gapura merah untuk pulang memeluk dan bercerita kepada istrinya, juga kepada anak dalam
kandungannya.
Ini mobil kesekian yang di tumpanginnya seharian tadi, sampailah ia di tempat yang dimaksud, tidak lupa
mengucapkan terimakasih kepada supir dan kenek yang juga sama sepertinya mencari uang di jalan. Di
langkahkan kaki yang kian waktu kian terkuras kekuatannya, menyusuri jalan setapak dengan
gendongangan dagangan di pundak juga pinggiran sungai yang penuh sampah. sampai di gubuk kecil
yang bukan punya mereka yang setiap bulannya harus menyetor uang sekian dan sedemikian rupa. Di
temuinya bidadari rindu dengan pelukan penuh hangat, mengecup perut yang ia yakin itu adalah pipi
anak tercinta. Sambil berbisik mesra bahwa

"esok akan lebih gembira. Dan kau akan baik baik saja nak, berjanjilah"

Anda mungkin juga menyukai