Anda di halaman 1dari 9

“Analisa Kasus

pelanggaran Bisnis Albothyl “PT Pharos”

Diajukan untuk Tugas Mata Pengelolaan Resiko Bisnis


Dosen Pengampu Andi Rusni, M.M.

DISUSUN OLEH :

BELLA RAMADANI PUTRI


17.01.031.022

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS TEKNOLOGI SUMBAWA 2019
DAFTAR ISI

a. halaman cover.................................................................................................. 1
b. surat pernyataan............................................................................................... 2
c. kata pengantar................................................................................................. 3
d. Daftar isi.......................................................................................................... 4
e. kasus pelanggaran Bisnis Albothyl “PT Pharos”...................................................5
f. analisis..............................................................................................................6
g. kesimpulan.......................................................................................................7
h. daftar pustaka...................................................................................................9
i. surat pernyataan................................................................................................10

\
Kasus
pelanggaran Bisnis Albothyl “PT Pharos”

Obat6 dan Makanan (BPOM) pada Kamis (15/2/2018) meminta masyarakat menghentikan
pemakaian produk Albothyl yang didistribusikan oleh PT Pharos, Indonesia.
BPOM turut menginstrusikan kepada PT Pharos Indonesia untuk menarik obat tersebut dari
pasaran. Albothyl dihentikan sementara izin edarnya hingga indikasi yang diajukan disetujui
oleh BPOM. Ini berarti, Albothyl dilarang dipakai sebagai hemostatik dan antiseptik saat
pembedahan; serta penggunaan pada kulit, telinga, hidung, dan tenggorokan(THT), sariawan,
dan gigi. Keputusan tersebut diambil BPOM setelah mendapat 38 aduan dari profesional
kesehatan tentang efek samping penggunaan Albothyl.
.
"Kami menghormati keputusan Badan POM yang membekukan izin edar Albothyl hingga
ada persetujuan perbaikan indikasi," tulis Ida Nurtika, Direktur Komunikasi PT Pharos
Indonesia, pada Jumat (16/2/2018) di Jakarta. PT Pharos Indonesia akan segera menarik
produk Albothyl dari seluruh wilayah Indonesia. Pihaknya juga akan terus berkoordinasi
dengan BPOM. Merek Albothyl sendiri, sebut Ida dalam suratnya, merupakan lisensi dari
Jerman yang telah dibeli oleh perusaahan Takeda, Jepang. Albothyl telah diedarkan di
Indonesia selama lebih dari 35 tahun.
Dari kasus penarikan produk Albothyl ini dari pasaran, tentunya sangat memprihatinkan
mengingat banyaknya pasien yang telah dirugikan. Tapi kita tidak perlu juga saling
menyalahkan dan mempertanyakan kompetensi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
Berkaca dari kasus Thalidomide, penarikan produk obat karena efek samping yang muncul
meskipun produk tersebut sudah lama beredar di pasaran sangat mungkin terjadi.
Dari kasus diatas terlihat bahwa perusahaan melakukan pelanggaran etika bisnis dilihat dari
sudut pandang ekonomi yaitu perusahaan di untungkan tetapi banyak orang yang di rugikan
dan perusahaan tidak memenuhi dari prinsip dari etika bisnis yaiu prinsip kejujuran.
Perusahaan tidak terbuka dan memenuhi syarat-syarat bisnis dan Mengenyampingkan aspek
kesehatan konsumen dan membiarkan penggunaan zat berbahaya dalam produknya.
Banyaknya kasus pelanggaran di dalam etika berbisnis membuat kita sadar bahwa masih
banyak nya produsen produsen nakal yang hanya memikirkan materi tanpa memikirkan
dampak apa yang telah diperbuat, pemerintah seharusnya lebih teliti terhadap pengawasan
peredaran barang barang yang beredar dan harus lolos uji seleksi. Dan untuk masyarakat kita
mengajak untuk selalu peduli terhadap apa yang di nilai kurang baik.
Sebaiknya badan pengawas obat dan makanan lebih memperhatikan kembali dan tidak
kecolongan kembali atas kasus yang dinilai merugikan banyak pihak ini, dan selalu tegas dan
menindak oknum nakal nakal tersebut, untuk masyarakat harus lebih selektif dalam pemilihan
barang, untuk yang faham akan bidang nya lebih terbuka dalam membagi informasi berkaitan
dengan apa yang di ketahui nya, saling berbagi manfaat dan ilmu.
Dalam satu bulan terakhir ini sudah ada 3 produk yang izin edarnya ditarik oleh BPOM
karena tidak sesuai ketentuan. Dimulai dari Viostin dan Enzyplex tanggal 5 Februari lalu
karena terbukti mengandung DNA babi, kini Albothyl pun dibatalkan izin edarnya per
tanggal 15 Februari setelah ada 38 laporan kasus terkait efek samping serius yang timbul
akibat penggunaan Albothyl, oleh profesional kesehatan dalam dua tahun terakhir ini.
Pada kasus Viostin dan Enzyplex, boleh dikatakan levelnya tidak sampai membahayakan
pasien. Hanya tidak sesuai dengan ketentuan pelabelan produk, mengingat Indonesia adalah
negara mayoritas Muslim sehingga produk yang mengandung babi harus mengikuti ketentuan
khusus, seperti yang pernah saya jelaskan dalam artikel saya sebelumnya.
Tapi untuk kasus Albothyl kali ini, tentunya dianggap sangat serius karena berkaitan dengan
keselamatan pasien. Dalam 38 laporan kasus tersebut menunjukkan bahwa adanya efek
samping Albothyl yang malah memperparah sariawan yang diderita pasien dan menyebabkan
infeksi (noma like lession).
Kejadian ini sedikit banyak menimbulkan pertanyaan dari masyarakat dan kalangan profesi
kesehatan. Siapa yang salah? Produsen yang dianggap tidak serius dengan keamanan
produknya atau regulator yang dianggap tidak cermat dalam mengevaluasi produk sebelum
memberikan Nomor Izin Edar.
Perlu diketahui bahwa kualitas dan keamanan setiap produk obat maupun makanan yang
beredar di Indonesia dikontrol oleh BPOM atau disebut juga post-market surveillance. Post-
market surveillance ini biasanya dilakukan dengan cara sampling (mengambil contoh produk
langsung dari pasaran untuk diuji di laboratorium). Dan cara samplingini bisa dilakukan
secara rutin (misalnya menjelang akhir tahun atau Idul Fitri) maupun secara mendadak jika
diduga ada yang tidak sesuai ketentuan.
Namun tentunya, kontrol tidak hanya dilakukan oleh pihak regulator (dalam hal ini BPOM
dan BBPOM) karena bisa dibayangkan bagaimana repotnya mereka mengontrol seluruh
produk yang beredar di Indonesia beserta seluruh fasilitas produksinya. Oleh sebab itu, peran
industri farmasi, profesional kesehatan di lapangan dan masyarakat awam juga diperlukan.
Caranya? Ya dengan melaporkan kejadian tidak diinginkan (baik yang serius maupun tidak
serius) yang timbul akibat penggunaan suatu obat atau yang dikenal dengan istilah
Farmakovigilans.
Farmakovigilans adalah seluruh kegiatan tentang pendeteksian, penilaian, pemahaman dan
pencegahan efek samping atau masalah lainnya terkait dengan penggunaan obat. Pelaporan
ini sifatnya bisa berupa Pelaporan spontan, Pelaporan Berkala Pasca Pemasaran (Periodic
Safety Update Report), Pelaporan studi keamanan pasca pemasaran, Pelaporan
publikasi/literatur ilmiah, Pelaporan tindak lanjut regulatori Badan Otoritas negara lain,
pelaporan tindak lanjut pemegang izin edar di negara lain, dan/atau Pelaporan dari
perencanaan Manajemen Resiko.
Analisis :
Dari kasus Albothyl ini, kita tentunya sangat prihatin atas banyaknya pasien yang telah
dirugikan. Tapi kita tidak perlu juga saling menyalahkan dan mempertanyakan kompetensi
pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Berkaca dari kasus Thalidomide, penarikan produk
obat karena efek samping yang muncul meskipun produk tersebut sudah lama beredar di
pasaran sangat mungkin terjadi.
Hal ini tentunya dipengaruhi faktor sensitivitas dan reaksi setiap orang yang berbeda terhadap
suatu obat. Farmakovigilans boleh dibilang tidak hanya dilakukan selama beberapa tahun
terhadap suatu obat setelah disetujui izin edarnya, melainkan selama produk tersebut beredar
di pasaran.
Dari kasus diatas terlihat bahwa perusahaan melakukan pelanggaran etika bisnis dilihat dari
sudut pandang ekonomi yaitu perusahaan di untungkan tetapi banyak orang yang di rugikan
dan perusahaan tidak memenuhi dari prinsip dari etika bisnis yaiu prinsip kejujuran.
Perusahaan tidak terbuka dan memenuhi syarat-syarat bisnis dan Mengenyampingkan aspek
kesehatan konsumen dan membiarkan penggunaan zat berbahaya dalam produknya. Albothyl
yang beredar di pasaran saat ini mengandung zat bernama Policresulen dengan konsentrasi
36%. Policresulen adalah senyawa asam organik (polymolecular organic acid) yang diperoleh
dari proses kondensasi formalin (formaldehyde) dan senyawa meta-cresolsulfonic acid.
Policresulen yang diaplikasikan pada sariawan akan menyebabkan jaringan pada sariawan
menjadi mati. Itulah alasan kenapa saat albothyl digunakan pada sariawan akan terasa sangat
perih, namun kemudian rasa perih hilang dan sakit pada sariawan pun tidak lagi terasa. Bagi
Anda yang pengalaman memakai obat ini mungkin akan menyaksikan sendiri sesaat setelah
albothyl digunakan sariawan akan menjadi berwarna putih dan kering. Jadi sebenarnya
policresulen ini tidak mengobati sariawan melainkan mematikan jaringan yang sakit atau
rusak tersebut. Ketika jaringan sariawan sudah mati, maka tubuh akan melakukan regenerasi
sel-sel baru sehingga sariawan menjadi sembuh.
 Risk Assesment
Dari kasus diatas terlihat bahwa perusahaan melakukan pelanggaran etika bisnis dilihat dari
sudut pandang ekonomi yaitu perusahaan di untungkan tetapi banyak orang yang di rugikan
dan perusahaan tidak memenuhi dari prinsip dari etika bisnis yaiu prinsip kejujuran.
Perusahaan tidak terbuka dan memenuhi syarat-syarat bisnis dan Mengenyampingkan aspek
kesehatan konsumen dan membiarkan penggunaan zat berbahaya dalam produknya.
Banyaknya kasus pelanggaran di dalam etika berbisnis membuat kita sadar bahwa masih
banyak nya produsen produsen nakal yang hanya memikirkan materi tanpa memikirkan
dampak apa yang telah diperbuat, pemerintah seharusnya lebih teliti terhadap pengawasan
peredaran barang barang yang beredar dan harus lolos uji seleksi. Dan untuk masyarakat kita
mengajak untuk selalu peduli terhadap apa yang di nilai kurang baik.
 Risk Identification
sudah ada 3 produk yang izin edarnya ditarik oleh BPOM karena tidak sesuai ketentuan.
Dimulai dari Viostin dan Enzyplex tanggal 5 Februari lalu karena terbukti mengandung DNA
babi, kini Albothyl pun dibatalkan izin edarnya per tanggal 15 Februari setelah ada 38
laporan kasus terkait efek samping serius yang timbul akibat penggunaan Albothyl, oleh
profesional kesehatan dalam dua tahun terakhir ini.
Pada kasus Viostin dan Enzyplex, boleh dikatakan levelnya tidak sampai membahayakan
pasien. Hanya tidak sesuai dengan ketentuan pelabelan produk, mengingat Indonesia adalah
negara mayoritas Muslim sehingga produk yang mengandung babi harus mengikuti ketentuan
khusus, seperti yang pernah saya jelaskan dalam artikel saya sebelumnya.
Tapi untuk kasus Albothyl kali ini, tentunya dianggap sangat serius karena berkaitan dengan
keselamatan pasien. Dalam 38 laporan kasus tersebut menunjukkan bahwa adanya efek
samping Albothyl yang malah memperparah sariawan yang diderita pasien dan menyebabkan
infeksi (noma like lession).
 Risk monitoring and evalution
Perlu diketahui bahwa kualitas dan keamanan setiap produk obat maupun makanan yang
beredar di Indonesia dikontrol oleh BPOM atau disebut juga post-market surveillance. Post-
market surveillance ini biasanya dilakukan dengan cara sampling (mengambil contoh produk
langsung dari pasaran untuk diuji di laboratorium). Dan cara samplingini bisa dilakukan
secara rutin (misalnya menjelang akhir tahun atau Idul Fitri) maupun secara mendadak jika
diduga ada yang tidak sesuai ketentuan.
Namun tentunya, kontrol tidak hanya dilakukan oleh pihak regulator (dalam hal ini BPOM
dan BBPOM) karena bisa dibayangkan bagaimana repotnya mereka mengontrol seluruh
produk yang beredar di Indonesia beserta seluruh fasilitas produksinya. Oleh sebab itu, peran
industri farmasi, profesional kesehatan di lapangan dan masyarakat awam juga diperlukan.
 Treats the risk
Sebaiknya badan pengawas obat dan makanan lebih memperhatikan kembali dan tidak
kecolongan kembali atas kasus yang dinilai merugikan banyak pihak ini, dan selalu tegas dan
menindak oknum nakal nakal tersebut, untuk masyarakat harus lebih selektif dalam pemilihan
barang, untuk yang faham akan bidang nya lebih terbuka dalam membagi informasi berkaitan
dengan apa yang di ketahui nya, saling berbagi manfaat dan ilmu.
Kesimpulan:

Banyaknya kasus pelanggaran di dalam etika berbisnis membuat kita sadar bahwa masih
banyak nya produsen produsen nakal yang hanya memikirkan materi tanpa memikirkan
dampak apa yang telah diperbuat, pemerintah seharusnya lebih teliti terhadap pengawasan
peredaran barang barang yang beredar dan harus lolos uji seleksi. Dan untuk masyarakat kita
mengajak untuk selalu peduli terhadap apa yang di nilai kurang baik. Farmakovigilans tidak
hanya dilaksanakan oleh industri farmasi tetapi juga didukung oleh masyarakat awam dan
profesional kesehatan di lapangan. Bagi masyarakat awam, jika menemukan atau mengalami
kejadian yang tidak diinginkan setelah mengkonsumsi suatu obat, bisa menghubungi
produsen dan melaporkan kejadian yang dialami (kecuali kejadian serius yang memerlukan
penanganan segera ke klinik atau rumah sakit). Biasanya produsen memiliki nomor kontak
layanan keluhan konsumen. Keluhan-keluhan ini akan ditindaklanjuti oleh bagian
Farmakovigilans di setiap perusahaan atau produsen.
Bagi profesional kesehatan lain, pelaporan ini bisa dilakukan dengan mengisi Form Kuning
(Formulir Pelaporan Efek Samping Obat) pada website e-meso.pom.go.id. Untuk kemudian
dikirimkan ke Pusat Farmakovigilans / MESO (Monitoring Efek Samping Obat) Nasional,
Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT Badan POM RI.

MESO yang dilakukan di Indonesia, bekerja sama dengan WHO-Uppsala Monitoring Center
(Collaborating Center for International Drug Monitoring) yang bertujuan untuk memantau
semua efek samping obat yang dijumpai pada penggunaan obat. Hasil semua evaluasi yang
terkumpul akan digunakan sebagai materi untuk melakukan re-evaluasi atau penilaian
kembali pada obat yang telah beredar untuk selanjutnya menerapkan tindakan pengamanan
yang diperlukan.
Daftar Pustaka
https://www.kompasiana.com
https://muhammadmaulanablog.wordpress.com/2018/03/05/contoh-kasus-dalam-etika-
bisnis/
SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : BELLA RAMADANI PUTRI
NIM : 17.01.031.022
Program studi : Manajemen
Fakultas : Fakultas Ekonomi Dan Bisnis

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas Menganalisa kasus dengan berjudul :
“ Kasus pelanggaran Bisnis Albothyl “PT Pharos”

Yang di buat untuk melaksanakan tugas individu dari mata kuliah pengelolaan resiko bisnis
dengan dosen pengampu Bapak Andi Rusni, M.M.

Dengan ini, saya menyatakan tugas resume ini hasil karya saya sendiri dan bukan
merupakan hasil plagiat/menjiplak karya tugas orang lain.

SUMBAWA Kamis 28 November 2019


Yang Bertandatangan

BELLA RAMADANI PUTRI


NIM : 17.01.031.022

Anda mungkin juga menyukai