PHAROS
Setelah ada 38 laporan kasus terkait efek samping serius yang timbul akibat penggunaan
Albothyl, oleh profesional kesehatan , per 15 Februari 2018 izin edar produk albothyl ditarik
oleh BPOM karena tidak sesuai ketentuan. Kasus Albothyl kali ini, tentunya dianggap sangat
serius karena berkaitan dengan keselamatan pasien. Dalam 38 laporan kasus tersebut
menunjukkan bahwa adanya efek samping Albothyl yang malah memperparah sariawan yang
diderita pasien dan menyebabkan infeksi. Produsen yang dianggap tidak serius dengan keamanan
produknya dan juga regulator yang dianggap tidak cermat dalam mengevaluasi produk sebelum
Albothyl yang beredar di pasaran saat ini mengandung zat bernama Policresulen dengan
konsentrasi 36%. Policresulen adalah senyawa asam organik (polymolecular organic acid) yang
diperoleh dari proses kondensasi formalin (formaldehyde) dan senyawa meta-cresolsulfonic acid.
Policresulen yang diaplikasikan pada sariawan akan menyebabkan jaringan pada sariawan
menjadi mati. Itulah alasan kenapa saat albothyl digunakan pada sariawan akan terasa sangat
perih, namun kemudian rasa perih hilang dan sakit pada sariawan pun tidak lagi terasa. Jadi
sebenarnya policresulen ini tidak mengobati sariawan melainkan mematikan jaringan yang sakit
atau rusak tersebut. Ketika jaringan sariawan sudah mati, maka tubuh akan melakukan regenerasi
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengeluarkan surat rekomendasi hasil rapat kajian
keamanan pasca pemasaran kepada PT. Pharos Indonesia. Surat tersebut merekomendasikan
kepada PT. Pharos untuk menarik satu di antara produknya dari pasaran yaitu Albothyl. Albothyl
baru diketahui dapat membahayakan konsumen lantaran policresulen dalam bentuk sediaan obat
luar konsentrat 36% ternyata tak didukung bukti ilmiah dapat menyembuhkan sariawan. Selain
itu, policresulen dalam bentuk sediaan obat luar konsentrat 36% membahayakan bila digunakan
Albothyl selain sebagai obat sariawan selama ini juga dikenal sebagai antiseptik yang digunakan
untuk proses pembedahan. Penarikan obat bebas terbatas ni mengagetkan masyarakat karena
Albothyl sudah banyak digunakan dan dipercaya mampu menyembuhkan sariawan. Akan tetapi,
BPOM selama dua tahun terakhir menerima laporan dari profesional kesehatan yang menangani
pasien dengan iritasi dan chemical burn pada mucosa oral karena penggunaan Albothyl yang
akibatnya sariawan justru semakin parah. BPOM dinilai lalai dalam melindungi hak konsumen
untuk mendapatkan jaminan kemanaan akan obat yang konsumen gunakan. kasus temuan bahan
berbahaya dalam Abothyl adalah hal yang bisa saja terjadi walaupun obat tersebut sudah
diberikan izin edar. dalam dunia kefarmasian obat dapat dipasarkan bila sudah melawati uji
praklinis (efektivitas dan keamanaan pada hewan) dan uji klinis (efektivitas dan keamanaan pada
manusia). Uji klinis memiliki empat tahapan, dan tahap yang terakhir adalah post marketing
surveillance, yaitu pemantauan efektivitas dan keamaan suati obat ketika sudah dipasarkan pada
masyarakat.
Hal ini menunjukkan bahwa bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen berupa
pengembalian uang atau perawatan kesehatan seperti yang tertera dalam Pasal 19 ayat (2)
jawaban hukum BPOM ialah dengan menarik izin peredaran obat Albothyl dan memberikan
sudut pandang ekonomi yaitu perusahaan di untungkan tetapi banyak orang yang di rugikan dan
perusahaan tidak memenuhi dari prinsip dari etika bisnis yaiu prinsip kejujuran. Perusahaan tidak
terbuka dan memenuhi syarat-syarat bisnis dan mengenyampingkan aspek kesehatan konsumen
Kesimpulan :
Banyaknya kasus pelanggaran di dalam etika berbisnis membuat kita sadar bahwa masih banyak
nya produsen-produsen nakal yang hanya memikirkan materi tanpa memikirkan dampak apa
yang telah diperbuat, pemerintah seharusnya lebih teliti terhadap pengawasan peredaran barang-
barang yang beredar dan harus lolos uji seleksi. Dan untuk masyarakat kita mengajak untuk