Anda di halaman 1dari 10

BPOM Hentikan Peredaran Albothyl,

Pelanggaran Etika Berbisnis?


8 April 2019 18:11 Diperbarui: 8 April 2019 18:20 1 0 0

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada Kamis (15/2/2018) meminta masyarakat
menghentikan pemakaian produk Albothyl yang didistribusikan oleh PT Pharos, Indonesia.

BPOM turut menginstrusikan kepada PT Pharos Indonesia untuk menarik obat tersebut dari
pasaran. Albothyl dihentikan sementara izin edarnya hingga indikasi yang diajukan disetujui oleh
BPOM. Ini berarti, Albothyl dilarang dipakai sebagai hemostatik dan antiseptik saat
pembedahan; serta penggunaan pada kulit, telinga, hidung, dan tenggorokan(THT), sariawan,
dan gigi. Keputusan tersebut diambil BPOM setelah mendapat 38 aduan dari profesional
kesehatan tentang efek samping penggunaan Albothyl.

Selama dua tahun terakhir, masyarakat mengeluhkan timbulnya efek samping seperti sariawan
yang membesar dan berlubang, hingga timbulnya infeksi. Kandungan policresulen dalam
Albothyl menjadi pemicu munculnya efek samping tersebut.

Selain PT Pharos Indonesia, BPOM juga menyuruh industri farmasi lain untuk menarik produk
yang juga menggunakan policresulen dalam bentuk sediaan cairan obat luar konsentrat dari
peredaran.

Menanggapi berita tersebut, PT Pharos Indonesia selaku pemegang izin edar Albothyl akan
mengikuti instruksi dari BPOM. Melalui surat resmi yang diterima Kompas.com, PT Pharos
Indonesia menyatakan kesediaan untuk menarik produk Albothyl dari pasaran.

"Kami menghormati keputusan Badan POM yang membekukan izin edar Albothyl hingga ada
persetujuan perbaikan indikasi," tulis Ida Nurtika, Direktur Komunikasi PT Pharos Indonesia,
pada Jumat (16/2/2018) di Jakarta. PT Pharos Indonesia akan segera menarik produk Albothyl
dari seluruh wilayah Indonesia. Pihaknya juga akan terus berkoordinasi dengan BPOM. Merek
Albothyl sendiri, sebut Ida dalam suratnya, merupakan lisensi dari Jerman yang telah dibeli oleh
perusaahan Takeda, Jepang. Albothyl telah diedarkan di Indonesia selama lebih dari 35 tahun.

Dari kasus penarikan produk Albothyl ini dari pasaran, tentunya sangat memprihatinkan
mengingat banyaknya pasien yang telah dirugikan. Tapi kita tidak perlu juga saling menyalahkan
dan mempertanyakan kompetensi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Berkaca dari kasus
Thalidomide, penarikan produk obat karena efek samping yang muncul meskipun produk
tersebut sudah lama beredar di pasaran sangat mungkin terjadi.

Dari kasus diatas terlihat bahwa perusahaan melakukan pelanggaran etika bisnis dilihat dari
sudut pandang ekonomi yaitu perusahaan di untungkan tetapi banyak orang yang di rugikan dan
perusahaan tidak memenuhi dari prinsip dari etika bisnis yaiu prinsip kejujuran. Perusahaan tidak
terbuka dan memenuhi syarat-syarat bisnis dan Mengenyampingkan aspek kesehatan konsumen
dan membiarkan penggunaan zat berbahaya dalam produknya

Banyaknya kasus pelanggaran di dalam etika berbisnis membuat kita sadar bahwa masih banyak
nya produsen produsen nakal yang hanya memikirkan materi tanpa memikirkan dampak apa
yang telah diperbuat, pemerintah seharusnya lebih teliti terhadap pengawasan peredaran barang
barang yang beredar dan harus lolos uji seleksi. Dan untuk masyarakat kita mengajak untuk
selalu peduli terhadap apa yang di nilai kurang baik.

Sebaiknya badan pengawas obat dan makanan lebih memperhatikan kembali dan tidak
kecolongan kembali atas kasus yang dinilai merugikan banyak pihak ini, dan selalu tegas dan
menindak oknum nakal nakal tersebut, untuk masyarakat harus lebih selektif dalam pemilihan
barang, untuk yang faham akan bidang nya lebih terbuka dalam membagi informasi berkaitan
dengan apa yang di ketahui nya, saling berbagi manfaat dan ilmu.

Sumber Refrensi : https://www.kompasiana.com/rizqi19958/5cab2c793ba7f750693aebd2/bpom-


hentikan-peredaran-albothyl-pelanggaran-etika-berbisnis
Pelanggaran etika bisnis pada albothyl oleh perusahaan PT. PHAROS
Dalam satu bulan terakhir ini sudah ada 3 produk yang izin edarnya ditarik oleh BPOM karena tidak
sesuai ketentuan. Dimulai dari Viostin dan Enzyplex tanggal 5 Februari lalu karena terbukti mengandung
DNA babi, kini Albothyl pun dibatalkan izin edarnya per tanggal 15 Februari setelah ada 38 laporan
kasus terkait efek samping serius yang timbul akibat penggunaan Albothyl, oleh profesional kesehatan
dalam dua tahun terakhir ini.

Pada kasus Viostin dan Enzyplex, boleh dikatakan levelnya tidak sampai membahayakan pasien. Hanya
tidak sesuai dengan ketentuan pelabelan produk, mengingat Indonesia adalah negara mayoritas Muslim
sehingga produk yang mengandung babi harus mengikuti ketentuan khusus, seperti yang pernah saya
jelaskan dalam artikel saya sebelumnya.

Tapi untuk kasus Albothyl kali ini, tentunya dianggap sangat serius karena berkaitan dengan
keselamatan pasien. Dalam 38 laporan kasus tersebut menunjukkan bahwa adanya efek samping
Albothyl yang malah memperparah sariawan yang diderita pasien dan menyebabkan infeksi (noma like
lession).

Kejadian ini sedikit banyak menimbulkan pertanyaan dari masyarakat dan kalangan profesi kesehatan.
Siapa yang salah? Produsen yang dianggap tidak serius dengan keamanan produknya atau regulator
yang dianggap tidak cermat dalam mengevaluasi produk sebelum memberikan Nomor Izin Edar.

Perlu diketahui bahwa kualitas dan keamanan setiap produk obat maupun makanan yang beredar di
Indonesia dikontrol oleh BPOM atau disebut juga post-market surveillance. Post-market surveillance ini
biasanya dilakukan dengan cara sampling (mengambil contoh produk langsung dari pasaran untuk diuji
di laboratorium). Dan cara samplingini bisa dilakukan secara rutin (misalnya menjelang akhir tahun atau
Idul Fitri) maupun secara mendadak jika diduga ada yang tidak sesuai ketentuan.

Namun tentunya, kontrol tidak hanya dilakukan oleh pihak regulator (dalam hal ini BPOM dan BBPOM)
karena bisa dibayangkan bagaimana repotnya mereka mengontrol seluruh produk yang beredar di
Indonesia beserta seluruh fasilitas produksinya. Oleh sebab itu, peran industri farmasi, profesional
kesehatan di lapangan dan masyarakat awam juga diperlukan. Caranya? Ya dengan melaporkan kejadian
tidak diinginkan (baik yang serius maupun tidak serius) yang timbul akibat penggunaan suatu obat atau
yang dikenal dengan istilah Farmakovigilans. Apa lagi tuh?

Farmakovigilans adalah seluruh kegiatan tentang pendeteksian, penilaian, pemahaman dan pencegahan
efek samping atau masalah lainnya terkait dengan penggunaan obat. Pelaporan ini sifatnya bisa berupa
Pelaporan spontan, Pelaporan Berkala Pasca Pemasaran (Periodic Safety Update Report), Pelaporan
studi keamanan pasca pemasaran, Pelaporan publikasi/literatur ilmiah, Pelaporan tindak lanjut
regulatori Badan Otoritas negara lain, pelaporan tindak lanjut pemegang izin edar di negara lain,
dan/atau Pelaporan dari perencanaan Manajemen Resiko.

Analisis
Dari kasus Albothyl ini, kita tentunya sangat prihatin atas banyaknya pasien yang telah dirugikan. Tapi
kita tidak perlu juga saling menyalahkan dan mempertanyakan kompetensi pihak-pihak yang terlibat di
dalamnya. Berkaca dari kasus Thalidomide, penarikan produk obat karena efek samping yang muncul
meskipun produk tersebut sudah lama beredar di pasaran sangat mungkin terjadi.

Hal ini tentunya dipengaruhi faktor sensitivitas dan reaksi setiap orang yang berbeda terhadap suatu
obat. Farmakovigilans boleh dibilang tidak hanya dilakukan selama beberapa tahun terhadap suatu obat
setelah disetujui izin edarnya, melainkan selama produk tersebut beredar di pasaran.

Dari kasus diatas terlihat bahwa perusahaan melakukan pelanggaran etika bisnis dilihat dari sudut
pandang ekonomi yaitu perusahaan di untungkan tetapi banyak orang yang di rugikan dan perusahaan
tidak memenuhi dari prinsip dari etika bisnis yaiu prinsip kejujuran. Perusahaan tidak terbuka dan
memenuhi syarat-syarat bisnis dan Mengenyampingkan aspek kesehatan konsumen dan membiarkan
penggunaan zat berbahaya dalam produknya. Albothyl yang beredar di pasaran saat ini mengandung zat
bernama Policresulen dengan konsentrasi 36%. Policresulen adalah senyawa asam organik
(polymolecular organic acid) yang diperoleh dari proses kondensasi formalin (formaldehyde) dan
senyawa meta-cresolsulfonic acid. Policresulen yang diaplikasikan pada sariawan akan menyebabkan
jaringan pada sariawan menjadi mati. Itulah alasan kenapa saat albothyl digunakan pada sariawan akan
terasa sangat perih, namun kemudian rasa perih hilang dan sakit pada sariawan pun tidak lagi terasa.
Bagi Anda yang pengalaman memakai obat ini mungkin akan menyaksikan sendiri sesaat setelah
albothyl digunakan sariawan akan menjadi berwarna putih dan kering. Jadi sebenarnya policresulen ini
tidak mengobati sariawan melainkan mematikan jaringan yang sakit atau rusak tersebut. Ketika jaringan
sariawan sudah mati, maka tubuh akan melakukan regenerasi sel-sel baru sehingga sariawan menjadi
sembuh.

Kesimpulan

Banyaknya kasus pelanggaran di dalam etika berbisnis membuat kita sadar bahwa masih banyak nya
produsen produsen nakal yang hanya memikirkan materi tanpa memikirkan dampak apa yang telah
diperbuat, pemerintah seharusnya lebih teliti terhadap pengawasan peredaran barang barang yang
beredar dan harus lolos uji seleksi. Dan untuk masyarakat kita mengajak untuk selalu peduli terhadap
apa yang di nilai kurang baik. Farmakovigilans tidak hanya dilaksanakan oleh industri farmasi tetapi juga
didukung oleh masyarakat awam dan profesional kesehatan di lapangan. Bagi masyarakat awam, jika
menemukan atau mengalami kejadian yang tidak diinginkan setelah mengkonsumsi suatu obat, bisa
menghubungi produsen dan melaporkan kejadian yang dialami (kecuali kejadian serius yang
memerlukan penanganan segera ke klinik atau rumah sakit). Biasanya produsen memiliki nomor kontak
layanan keluhan konsumen. Keluhan-keluhan ini akan ditindaklanjuti oleh bagian Farmakovigilans di
setiap perusahaan atau produsen.
Bagi profesional kesehatan lain, pelaporan ini bisa dilakukan dengan mengisi Form Kuning (Formulir
Pelaporan Efek Samping Obat) pada website e-meso.pom.go.id. Untuk kemudian dikirimkan ke Pusat
Farmakovigilans / MESO (Monitoring Efek Samping Obat) Nasional, Direktorat Pengawasan Distribusi
Produk Terapetik dan PKRT Badan POM RI.

MESO yang dilakukan di Indonesia, bekerja sama dengan WHO-Uppsala Monitoring


Center (Collaborating Center for International Drug Monitoring) yang bertujuan untuk memantau semua
efek samping obat yang dijumpai pada penggunaan obat. Hasil semua evaluasi yang terkumpul akan
digunakan sebagai materi untuk melakukan re-evaluasi atau penilaian kembali pada obat yang telah
beredar untuk selanjutnya menerapkan tindakan pengamanan yang diperlukan.

Sumber : https://muhammadmaulanablog.wordpress.com/2018/03/05/contoh-kasus-dalam-etika-
bisnis/
Kasus Pelanggaran Etika Bisnis Albothyl “PT Pharos”

Nama : Riska Astuti

Kelas : 3EA31

NPM : 16216472

JUDUL : Kasus Pelanggaran Etika Bisnis Albothyl “PT Pharos”

A. PENDAHULUAN
Bisnis adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara terus-menerus mulai dari pengadaan bahan
baku, produksi, pemasaran dan distribusi sampai pada konsumen dalam bentuk barang maupun jasa
dengan tujuan mendapatkan keuntungan dan kemanfaatan. Adanya bisnis tidak bisa terlepas dari
adanya dua unsur yaitu, subjek dan objek. Subjek bisnis adalah pelaku bisnis itu sendiri meliputi
pemerintah,pemilik perusahaan,pemegang saham, manajer, karyawan, produsen, pemasok, distributor,
masyarakat, dan konsumen. Sedangkan objek bisnis adalah barang dan jasa yang menjadi objek dari
pelaku bisnis.Selain itu dalam bisnis juga diperlukan beberapa hal penting bagiberjalannya bisnis itu
sendiri,yaitu keuangan, manajerial, dan etika.

Dalam dunia bisnis etika memiliki peran penting bagi perjalanan organisasi bisnis. Bisnis
merupakan aktivitas yang memerlukan tanggung jawab moral dalam pelaksanaannya, sehingga etika
dalam praktik bisnis memiliki hubungan yang erat. Bisnis tanpa etika akan membuat praktik bisnis
menjadi tidak terkendali dan justru merugikan tujuan utama dari bisnis itu sendiri.Etika dilaksanakan
sesuai dengan tuntutan kebutuhan dunia bisnis. Etika menuntut agar seseorang melakukan ajaran moral
tertentu karena ia sadar bahwa hal itu memang bermanfaat dan baik bagi dirinya dan orang lain
(Keraf,1998).

Etika bisnis adalah perwujudan dari nilai-nilai moral. Hal ini disadari oleh sebagian besar pelaku
usaha, karena mereka akan berhasil dalam usaha bisnisnya jika menjalankan prinsip-prinsip etika bisnis.
Jadi penegakan etika bisnis penting artinya dalam menegakkan persaingan usaha sehat yang kondusif.

Berita-berita mengenai pelanggaran etika bisnis mendorong ketertarikan untuk menelusuri lebih
lanjut faktor-faktor yang mendorong dan dampak yang diakibatkan. Masih banyak fenomena-fenomena
dimana beberapa bisnis masih mengabaikan aspek moral. Banyak perusahaan yang hanya memikirkan
keuntungan, menghindari kerugian, dan kekuatan bersaing sebagai satu-satunya tujuan dalam
menjalankan bisnis sehingga faktor moral atau etika tidak lagi menjadi pertimbangan.

Keraf dalam Haurisa&Praptiningsih (2014) mengemukakan lima prinsip dalam etika bisnis yaitu:

1. Prinsip otonomi: kemampuan seseorang bertindak berdasarkan kesadaran dirinya sendiri tanpa
pengaruh dari pihak lain.

2. Prinsip kejujuran: sifat terbuka dan memenuhi syarat-syarat bisnis.

3. Prinsip keadilan: bersikap sama secara objektif, rasional, dan dapat dipertanggungjawabkan.

4. Prinsip saling menguntungkan: tidak ada pihak yang dirugikan dalam bisnis.

5. Prinsip integritas moral: memenuhi standar moralitas.

Prinsip-prinsip tersebut dapat menjadi indikator untuk perusahaan yang melakukan usahanya sesuai
etika bisnis. Salah satu prinsip yang tidak terpenuhi mengindikasikan adanya pelanggaran etika bisnis.
Bertens (2013) mengemukakan tiga ukuran moralitas dalam bisnis yang dapat digunakan untuk
mengukur sudut pandang moral dan prinsip integritas moral, yaitu:

1. Hati nurani; Setiap keputusan yang diambil menurut hati nurani adalah baik. Orang yang mengambil
keputusan dengan mengingkari hati nuraninya, secara tidak langsung dia juga menghancurkan integritas
pribadinya

2. Kaidah emas; Kaidah emas berbunyi “hendaklah memperlakukan orang lain sebagaimana anda sendiri
ingin diperlakukan” hal ini berarti, jika seseorang tidak ingin mendapat perlakuan buruk, maka jangan
sampai memperlakukan orang lain dengan buruk.

3. Penilaian umum; Perilaku bisnis yang oleh masyarakat umum dinilai baik, berarti bisnis tersebut etis.
Namun, jika masyarakat umum menilai bisnis tersebut tidak baik, berarti bisnis tersebut tidak etis. Hal
ini disebut juga audit sosial. Teori etika membantu dalam menentukan penilaian etis atau tidaknya suatu
perilaku. Alasan benar atau tidaknya perilaku yang dilakukan seseorang dapat didukung dengan teori
etika.
B. TOPIK
Pada tanggal 15 Februari 2018 , BPOM telah membatalkan izin edar Albothyl setelah ada 38 laporan
kasus terkait efek samping serius yang timbul akibat penggunaan Albothyl, oleh profesional kesehatan.
Kasus ini tentunya dianggap sangat serius karena berkaitan dengan keselamatan pasien. Dalam 38
laporan kasus tersebut menunjukkan bahwa adanya efek samping Albothyl yang malah memperparah
sariawan yang diderita pasien dan menyebabkan infeksi (noma like lession).

Perlu diketahui bahwa kualitas dan keamanan setiap produk obat maupun makanan yang beredar di
Indonesia dikontrol oleh BPOM atau disebut juga post-market surveillance. Post-market surveillance ini
biasanya dilakukan dengan cara sampling (mengambil contoh produk langsung dari pasaran untuk diuji
di laboratorium). Dan cara samplingini bisa dilakukan secara rutin (misalnya menjelang akhir tahun atau
Idul Fitri) maupun secara mendadak jika diduga ada yang tidak sesuai ketentuan.

Namun tentunya, kontrol tidak hanya dilakukan oleh pihak regulator (dalam hal ini BPOM dan BBPOM)
karena bisa dibayangkan bagaimana repotnya mereka mengontrol seluruh produk yang beredar di
Indonesia beserta seluruh fasilitas produksinya. Oleh sebab itu, peran industri farmasi, profesional
kesehatan di lapangan dan masyarakat awam juga diperlukan. Caranya? Ya dengan melaporkan kejadian
tidak diinginkan (baik yang serius maupun tidak serius) yang timbul akibat penggunaan suatu obat atau
yang dikenal dengan istilah Farmakovigilans. Apa lagi tuh?

Farmakovigilans adalah seluruh kegiatan tentang pendeteksian, penilaian, pemahaman dan pencegahan
efek samping atau masalah lainnya terkait dengan penggunaan obat. Pelaporan ini sifatnya bisa berupa
Pelaporan spontan, Pelaporan Berkala Pasca Pemasaran (Periodic Safety Update Report), Pelaporan
studi keamanan pasca pemasaran, Pelaporan publikasi/literatur ilmiah, Pelaporan tindak lanjut
regulatori Badan Otoritas negara lain, pelaporan tindak lanjut pemegang izin edar di negara lain,
dan/atau Pelaporan dari perencanaan Manajemen Resiko.

C. ANALISIS
Dari kasus diatas terlihat bahwa perusahaan melakukan pelanggaran etika bisnis dilihat dari sudut
pandang ekonomi yaitu perusahaan di untungkan tetapi banyak orang yang di rugikan dan perusahaan
tidak memenuhi dari prinsip dari etika bisnis yaiu prinsip kejujuran. Perusahaan tidak terbuka dan
memenuhi syarat-syarat bisnis dan Mengenyampingkan aspek kesehatan konsumen dan membiarkan
penggunaan zat berbahaya dalam produknya. Albothyl yang beredar di pasaran saat ini mengandung zat
bernama Policresulen dengan konsentrasi 36%. Policresulen adalah senyawa asam organik
(polymolecular organic acid) yang diperoleh dari proses kondensasi formalin (formaldehyde) dan
senyawa meta-cresolsulfonic acid. Policresulen yang diaplikasikan pada sariawan akan menyebabkan
jaringan pada sariawan menjadi mati. Itulah alasan kenapa saat albothyl digunakan pada sariawan akan
terasa sangat perih, namun kemudian rasa perih hilang dan sakit pada sariawan pun tidak lagi terasa.
Bagi Anda yang pengalaman memakai obat ini mungkin akan menyaksikan sendiri sesaat setelah
albothyl digunakan sariawan akan menjadi berwarna putih dan kering. Jadi sebenarnya policresulen ini
tidak mengobati sariawan melainkan mematikan jaringan yang sakit atau rusak tersebut. Ketika jaringan
sariawan sudah mati, maka tubuh akan melakukan regenerasi sel-sel baru sehingga sariawan menjadi
sembuh.

Referensi :

https://mojok.co/alx/esai/yang-harus-dipahami-dalam-kasus-penarikan-albothyl/

http://scholar.unand.ac.id/21652/2/BAB%20I%20PDF.pdf

https://www.kompasiana.com/irmina.gultom/5a87b8a616835f50501363e3/kasus-albothyl-bukti-
berjalannya-farmakovigilans-di-indonesia

Sumber : http://riskaastuti14.blogspot.com/2019/05/kasus-pelanggaran-etika-bisnis-albothyl.html

Anda mungkin juga menyukai