Anda di halaman 1dari 6

Nama : Afrida Nanda Ariesta

NIM : 231303001
Kelas : A / 2023
Program Studi : S1 Farmasi

03 November 2023
Tugas Mandiri

1. Artikel bertema “Farmasi dan Kesehatan Lingkungan”.


Judul artikel : Kasus obat sirup beracun: apa kewajiban industri farmasi dalam produksi
obat aman dan bagaimana praktiknya?
Link sumber : https://theconversation.com/kasus-obat-sirup-beracun-apa-kewajiban-
industri-farmasi-dalam-produksi-obat-aman-dan-bagaimana-praktiknya-
194047

2. Hasil analisis kesalahan penggunaan EYD pada artikel.


No. Kesalahan Penggunaan EYD pada artikel Perbaikan
1 Kasus obat sirup beracun: apa kewajiban Kasus obat sirup beracun : Apa
industri farmasi dalam produksi obat kewajiban industri farmasi dalam
aman dan bagaimana praktiknya? produksi obat aman dan bagaimana
praktiknya?
2 Kasus-kasus itu menimbulkan Kasus-kasus itu menimbulkan
pertanyaan: bagaimana mekanisme pertanyaan: Bagaimana mekanisme
menjamin keamanan mutu suatu produk menjamin keamanan mutu suatu
obat agar tidak meracuni pasien? produk obat agar tidak meracuni
pasien?
3 memastikan personil yang terlibat harus memastikan personel yang terlibat
terkualifikasi harus terkualifikasi
4 Langkah ini tentu saja mempengaruhi Langkah ini tentu saja memengaruhi
industri farmasi, industri farmasi,
5 BPOM mengkategorikan penarikan obat BPOM mengategorikan penarikan
ke dalam tiga kelas: obat ke dalam tiga kelas:

6 Pelaporan ini termasuk untuk obat yang Pelaporan ini termasuk untuk obat
mengalami perubahan yang dapat yang mengalami perubahan yang
mempengaruhi keamanan. dapat memengaruhi keamanan
3. Lampiran artikel
Kasus obat sirup beracun: apa kewajiban industri farmasi dalam produksi obat aman
dan bagaimana praktiknya?
Kontaminasi etilen glikol yang diduga sebagai salah satu penyebab meningkatnya kasus
gagal ginjal akut pada ratusan anak merupakan salah satu insiden terkait produksi obat di
Indonesia baru-baru ini.

Data terakhir menyatakan 195 anak meninggal diduga kuat akibat keracunan obat sirup.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mencabut puluhan izin edar obat sirup milik
tiga perusahaan farmasi: PT Yarindo Farmatama, PT Universal Pharmaceutical Industries,
dan PT Afi Farma. BPOM dan polisi masih menyelidiki pihak-pihak yang bertanggung
jawab atas skandal obat beracun ini.

Sebenarnya kasus keracunan obat ini bukan pertama. Sebelumnya, pada 2015, insiden terkait
obat pernah terjadi dalam kasus tertukarnya bupivacaine - obat untuk anestesi lokal - dengan
asam tranexamat yang memiliki efek mencegah penggumpalan darah yang diduga akibat
kesalahan prosedur saat proses produksi. Selain itu, ada juga kasus cemaran NDMA dari
injeksi ranitidine yang digunakan untuk pengobatan lambung pada 2019.

Kasus-kasus itu menimbulkan pertanyaan: bagaimana mekanisme menjamin keamanan mutu


suatu produk obat agar tidak meracuni pasien? Siapakah yang bertanggung jawab dalam
pengawasan keamanan dan kualitas obat?

Regulasi obat di Indonesia


Pengawasan keamanan dan mutu produk obat sudah menjadi perhatian sejak dulu.

Akan tetapi, konsep dan regulasi pengawasan keamanan dan mutu obat lahir dan berevolusi
tidak lepas dari insiden terkait obat. Fungsi regulasi diperlukan agar industri farmasi dapat
menjamin kualitas obat yang diproduksi.

Di Indonesia pengawasan keamanan dan mutu industri farmasi diatur dalam pedoman Cara
Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang dibuat oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan
(BPOM). CPOB merupakan suatu sistem untuk memastikan setiap produksi obat oleh
industri dilakukan dengan konsisten dan diawasi sesuai dengan standar yang berlaku
sehingga risiko – terutama yang tidak dapat dideteksi saat produk akhir diperiksa - dapat
diminimalkan.

CPOB pertama kali disahkan oleh BPOM pada 2006 atau lima tahun setelah BPOM didirikan
pada 2000. CPOB merupakan aturan yang mengikat seluruh industri farmasi di Indonesia.
Setiap industri farmasi harus taat pada ketentuan CPOB dan BPOM harus memastikan setiap
industri farmasi menaati ketentuan CPOB.

Selain standar dari CPOB, pedoman lain yang mengatur produk obat di Indonesia
adalah Farmakope Indonesia yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Indonesia.
Farmakope Indonesia memuat identifikasi, persyaratan cemaran, hingga persyaratan kadar
senyawa yang memiliki efek farmakologi. Saat ini, di Indonesia berlaku Farmakope
Indonesia edisi 6 yang dikeluarkan pada 2020.

Konsep pengawasan mutu


Pengawasan mutu merupakan fungsi penting yang harus dimiliki oleh setiap perusahaan
farmasi di Indonesia.

Bagian pengawasan mutu bertujuan memastikan bahwa setiap bahan yang dipasok dan
digunakan serta produk yang akan dijual memenuhi persyaratan kualitas dan standar mutu,
memenuhi klaim pada label, dan memenuhi seluruh aspek hukum.

Kegiatan pengawasan mutu berkaitan dengan pengambilan sampel, pengujian dan


pemenuhan spesifikasi yang ditetapkan, kegiatan dokumentasi, dan pelaksanaan prosedur
pelulusan. Bagian pengawasan mutu akan memeriksa untuk setiap bahan yang diterima dan
digunakan untuk produksi dan untuk setiap batch produksi, baik produk baru ataupun produk
yang pernah ada sebelumnya.
Bagian pengawasan mutu juga bertanggung jawab untuk memeriksa dan mengambil
keputusan pelulusan produk akhir sebelum didistribusikan.

Akan tetapi, pengawasan mutu saja tidak dapat memenuhi seluruh fungsi jaminan keamanan
dan mutu produk. Oleh sebab itu, dikenal konsep Cara Pembuatan Obat yang Baik
(CPOB) yang menetapkan keamanan dan kualitas setiap produk tidak hanya ‘teruji’ namun
harus ‘dibangun’ dengan konsisten.

Untuk itu, selain pengawasan mutu, CPOB juga mengharuskan perusahaan farmasi memiliki
sistem manajemen mutu, memastikan personil yang terlibat harus terkualifikasi, terlatih, dan
terawasi.

Selain itu, peralatan dan gedung yang digunakan memenuhi persyaratan dari segi lokasi,
desain, konstruksi, dan terpelihara secara berkala. Dokumentasi lengkap, tersedia dan runut
untuk setiap batch pembuatan, setiap kegiatan dilakukan sesuai dengan prosedur standar,
pemenuhan persyaratan jika produk dibuat atas dasar kontrak, penanganan komplain dan
penarikan produk, serta audit internal.
Pada prinsipnya aturan pengawasan mutu dapat dan harus terus diperbaharui dan publikasi
dokumen pedoman dalam proses pengawasan mutu akan terus direvisi.

Penarikan Obat
Penarikan obat merupakan proses meniadakan produk obat yang rusak akibat produksi atau
berpotensi membahayakan.

Proses ini hampir terjadi dan cenderung naik setiap tahun. Langkah ini tentu saja
mempengaruhi industri farmasi, ketersediaan obat di masyarakat, dan berpengaruh terhadap
kepercayaan masyarakat dalam menggunakan produk farmasi.

Penarikan obat merupakan salah satu cara industri farmasi untuk menjaga kualitas produk dan
pengendalian risiko dengan menarik produk yang bermasalah dari pasaran.
Penarikan dapat terjadi akibat temuan produsen sendiri, keluhan dari pasien, atau perintah
BPOM dan dilakukan oleh industri yang mengeluarkan produk.
Istilah penarikan (recall) dalam industri farmasi tidak termasuk untuk produk yang ditarik
dari pasaran akibat masalah minor yang tidak berhubungan dengan regulasi. Misalnya,
penarikan karena kelebihan stok, atau karena kemasan karton terluar harus diperbaiki.
BPOM mengkategorikan penarikan obat ke dalam tiga kelas:

Penarikan kelas I. Penarikan obat akibat potensi bahaya kesehatan yang ditimbulkannya
yakni dapat mengakibatkan kematian, cacat permanen, cacat janin, atau efek yang serius
terhadap kesehatan
Penarikan kelas II. Penarikan obat yang jika obatnya digunakan dapat mengakibatkan
penyakit atau kekeliruan pengobatan yang menimbulkan efek sementara bagi kesehatan dan
dapat pulih kembali
Penarikan kelas III. Penarikan obat yang tidak menimbulkan bahaya signifikan terhadap
kesehatan.
Penarikan obat terkontaminasi etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang melebihi
atas aman kali ini merupakan contoh penarikan kelas I.

Penarikan obat obat harus dilakukan dengan langkah terencana dengan memperhatikan
identitas produk (misalnya nomor batch) dan jumlah produk terdistribusi.

Farmakovigilans: pengawasan post market


Pada Juli 2022 BPOM mengeluarkan peraturan tentang kewajiban industri farmasi dalam
menerapkan farmakovigilans untuk menjamin keamanan obat yang beredar.

Farmakovigilans adalah seluruh kegiatan yang terkait dengan pendeteksian, penilaian,


pemahaman, dan pencegahan efek samping atau masalah lainnya terkait dengan penggunaan
obat.

Farmakovigilans tidak hanya mencakup penggunaan obat konvensional, namun juga herbal,
obat tradisional, dan produk biologis seperti komponen darah dan vaksin.

Di dunia internasional, farmakovigilans merupakan suatu istilah yang berevolusi baru-baru


ini yang juga sudah dipraktikkan sebagai respons akibat laporan terkait obat sejak 170 tahun
lalu.

Farmakovigilans merupakan aktivitas terstruktur melibatkan seluruh profesi kesehatan dalam


memantau manfaat dan risiko obat, menjaga keselamatan pasien serta memperbaiki kualitas
hidup pasien.

Industri farmasi rutin melapor farmakovigilans ke BPOM


Farmakovigilans/MESO Nasional dapat berupa pelaporan spontan, berkala pasca pemasaran,
studi keamanan, dan pelaporan publikasi atau literatur.

Pelaporan berkala dari industri farmasi pasca pemasaran farmakovigilans kepada Pusat
Farmakovigilans/MESO Nasional BPOM dilakukan setiap enam bulan sekali selama dua
tahun pertama setelah perolehan izin edar. Lalu pelaporan satu tahun sekali untuk tahun
ketiga hingga tahun kelima setelah perolehan izin edar.

Pelaporan ini termasuk untuk obat yang mengalami perubahan yang dapat mempengaruhi
keamanan.
Pada prinsipnya regulasi mengenai pengawasan keamanan dan mutu harus terus diperbaharui
dan dokumen pedoman dalam pengawasan keamanan dan mutu akan terus direvisi.

Tidak dimungkiri insiden terkait obat di masyarakat selalu menjadi pemicu untuk evaluasi
regulasi yang selama ini ada dan dijalankan.

Bagaimana standar dan regulasi obat ditetapkan oleh BPOM dan Kementerian Kesehatan dan
bagaimana regulasi dijalankan oleh industri farmasi sangat menentukan derajat dan kualitas
pelayanan kesehatan yang diterima masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai