NIM : 231303001
Kelas : A / 2023
Program Studi : S1 Farmasi
03 November 2023
Tugas Mandiri
6 Pelaporan ini termasuk untuk obat yang Pelaporan ini termasuk untuk obat
mengalami perubahan yang dapat yang mengalami perubahan yang
mempengaruhi keamanan. dapat memengaruhi keamanan
3. Lampiran artikel
Kasus obat sirup beracun: apa kewajiban industri farmasi dalam produksi obat aman
dan bagaimana praktiknya?
Kontaminasi etilen glikol yang diduga sebagai salah satu penyebab meningkatnya kasus
gagal ginjal akut pada ratusan anak merupakan salah satu insiden terkait produksi obat di
Indonesia baru-baru ini.
Data terakhir menyatakan 195 anak meninggal diduga kuat akibat keracunan obat sirup.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mencabut puluhan izin edar obat sirup milik
tiga perusahaan farmasi: PT Yarindo Farmatama, PT Universal Pharmaceutical Industries,
dan PT Afi Farma. BPOM dan polisi masih menyelidiki pihak-pihak yang bertanggung
jawab atas skandal obat beracun ini.
Sebenarnya kasus keracunan obat ini bukan pertama. Sebelumnya, pada 2015, insiden terkait
obat pernah terjadi dalam kasus tertukarnya bupivacaine - obat untuk anestesi lokal - dengan
asam tranexamat yang memiliki efek mencegah penggumpalan darah yang diduga akibat
kesalahan prosedur saat proses produksi. Selain itu, ada juga kasus cemaran NDMA dari
injeksi ranitidine yang digunakan untuk pengobatan lambung pada 2019.
Akan tetapi, konsep dan regulasi pengawasan keamanan dan mutu obat lahir dan berevolusi
tidak lepas dari insiden terkait obat. Fungsi regulasi diperlukan agar industri farmasi dapat
menjamin kualitas obat yang diproduksi.
Di Indonesia pengawasan keamanan dan mutu industri farmasi diatur dalam pedoman Cara
Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang dibuat oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan
(BPOM). CPOB merupakan suatu sistem untuk memastikan setiap produksi obat oleh
industri dilakukan dengan konsisten dan diawasi sesuai dengan standar yang berlaku
sehingga risiko – terutama yang tidak dapat dideteksi saat produk akhir diperiksa - dapat
diminimalkan.
CPOB pertama kali disahkan oleh BPOM pada 2006 atau lima tahun setelah BPOM didirikan
pada 2000. CPOB merupakan aturan yang mengikat seluruh industri farmasi di Indonesia.
Setiap industri farmasi harus taat pada ketentuan CPOB dan BPOM harus memastikan setiap
industri farmasi menaati ketentuan CPOB.
Selain standar dari CPOB, pedoman lain yang mengatur produk obat di Indonesia
adalah Farmakope Indonesia yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Indonesia.
Farmakope Indonesia memuat identifikasi, persyaratan cemaran, hingga persyaratan kadar
senyawa yang memiliki efek farmakologi. Saat ini, di Indonesia berlaku Farmakope
Indonesia edisi 6 yang dikeluarkan pada 2020.
Bagian pengawasan mutu bertujuan memastikan bahwa setiap bahan yang dipasok dan
digunakan serta produk yang akan dijual memenuhi persyaratan kualitas dan standar mutu,
memenuhi klaim pada label, dan memenuhi seluruh aspek hukum.
Akan tetapi, pengawasan mutu saja tidak dapat memenuhi seluruh fungsi jaminan keamanan
dan mutu produk. Oleh sebab itu, dikenal konsep Cara Pembuatan Obat yang Baik
(CPOB) yang menetapkan keamanan dan kualitas setiap produk tidak hanya ‘teruji’ namun
harus ‘dibangun’ dengan konsisten.
Untuk itu, selain pengawasan mutu, CPOB juga mengharuskan perusahaan farmasi memiliki
sistem manajemen mutu, memastikan personil yang terlibat harus terkualifikasi, terlatih, dan
terawasi.
Selain itu, peralatan dan gedung yang digunakan memenuhi persyaratan dari segi lokasi,
desain, konstruksi, dan terpelihara secara berkala. Dokumentasi lengkap, tersedia dan runut
untuk setiap batch pembuatan, setiap kegiatan dilakukan sesuai dengan prosedur standar,
pemenuhan persyaratan jika produk dibuat atas dasar kontrak, penanganan komplain dan
penarikan produk, serta audit internal.
Pada prinsipnya aturan pengawasan mutu dapat dan harus terus diperbaharui dan publikasi
dokumen pedoman dalam proses pengawasan mutu akan terus direvisi.
Penarikan Obat
Penarikan obat merupakan proses meniadakan produk obat yang rusak akibat produksi atau
berpotensi membahayakan.
Proses ini hampir terjadi dan cenderung naik setiap tahun. Langkah ini tentu saja
mempengaruhi industri farmasi, ketersediaan obat di masyarakat, dan berpengaruh terhadap
kepercayaan masyarakat dalam menggunakan produk farmasi.
Penarikan obat merupakan salah satu cara industri farmasi untuk menjaga kualitas produk dan
pengendalian risiko dengan menarik produk yang bermasalah dari pasaran.
Penarikan dapat terjadi akibat temuan produsen sendiri, keluhan dari pasien, atau perintah
BPOM dan dilakukan oleh industri yang mengeluarkan produk.
Istilah penarikan (recall) dalam industri farmasi tidak termasuk untuk produk yang ditarik
dari pasaran akibat masalah minor yang tidak berhubungan dengan regulasi. Misalnya,
penarikan karena kelebihan stok, atau karena kemasan karton terluar harus diperbaiki.
BPOM mengkategorikan penarikan obat ke dalam tiga kelas:
Penarikan kelas I. Penarikan obat akibat potensi bahaya kesehatan yang ditimbulkannya
yakni dapat mengakibatkan kematian, cacat permanen, cacat janin, atau efek yang serius
terhadap kesehatan
Penarikan kelas II. Penarikan obat yang jika obatnya digunakan dapat mengakibatkan
penyakit atau kekeliruan pengobatan yang menimbulkan efek sementara bagi kesehatan dan
dapat pulih kembali
Penarikan kelas III. Penarikan obat yang tidak menimbulkan bahaya signifikan terhadap
kesehatan.
Penarikan obat terkontaminasi etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang melebihi
atas aman kali ini merupakan contoh penarikan kelas I.
Penarikan obat obat harus dilakukan dengan langkah terencana dengan memperhatikan
identitas produk (misalnya nomor batch) dan jumlah produk terdistribusi.
Farmakovigilans tidak hanya mencakup penggunaan obat konvensional, namun juga herbal,
obat tradisional, dan produk biologis seperti komponen darah dan vaksin.
Pelaporan berkala dari industri farmasi pasca pemasaran farmakovigilans kepada Pusat
Farmakovigilans/MESO Nasional BPOM dilakukan setiap enam bulan sekali selama dua
tahun pertama setelah perolehan izin edar. Lalu pelaporan satu tahun sekali untuk tahun
ketiga hingga tahun kelima setelah perolehan izin edar.
Pelaporan ini termasuk untuk obat yang mengalami perubahan yang dapat mempengaruhi
keamanan.
Pada prinsipnya regulasi mengenai pengawasan keamanan dan mutu harus terus diperbaharui
dan dokumen pedoman dalam pengawasan keamanan dan mutu akan terus direvisi.
Tidak dimungkiri insiden terkait obat di masyarakat selalu menjadi pemicu untuk evaluasi
regulasi yang selama ini ada dan dijalankan.
Bagaimana standar dan regulasi obat ditetapkan oleh BPOM dan Kementerian Kesehatan dan
bagaimana regulasi dijalankan oleh industri farmasi sangat menentukan derajat dan kualitas
pelayanan kesehatan yang diterima masyarakat.