Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Studi farmakovigilan mencakup kegiatan mendeteksi dan monitoring efek yang tidak
diharapkan dan merugikan pasien. Seiring berkembangnya obat-obatan baru di pasaran, maka
resiko terjadinya efek yang tidak diinginkan dari obat pada pelaksanaan terapi farmakologis
semakin meningkat. Data yang menyajikan reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD)
tentang obat-obatan yang beredar di Indonesia belum banyak dipublikasikan. Edukasi
terhadap ROTD menjadi penting, mengingat kejadian tersebut berpengaruh terhadap
kualitas hidup pasien dan biaya terapi yang harus ditanggungnya.
Tragedi talidomid tahun 1961 telah memacu banyak negara dalam
mengembangkan sistem pemantauan obat guna mencegah dan mendeteksi lebih dini
kemungkinan morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh terapi obat. Salah satu
keberhasilan peran yang ditunjukkan adalah pelaporan secara jeli dan waspada terhadap
kejadian ROTD yang disebabkan oleh obat-obatan yang diduga memicu mortalitas dan
morbiditas sehingga dilakukan penarikan produk dari pasaran atau pembatasan dalam
penggunaannya. Keberhasilan sistem tersebut tergantung pada kerjasama segenap profesi
medis dalam melaporkan ROTD terutama untuk obat-obat baru. Profesi medis merupakan
posisi strategis untuk terlibat aktif dalam pelaporan karena selaku penyedia layanan
kesehatan (dokter, apoteker, perawat, dsb) berada di garis terdepan untuk menegtahui
setiap detail perkembangan terapi pasien (WHO, 2002).
Antibiotik merupakan substansi yang sangat bermanfaat dalam kesehatan. Substansi ini
banyak dimanfaatkan oleh tenaga kesehatan sebagai obat untuk mengobati penyakit yang
disebabkan oleh infeksi bakteri. Resistensi bakteri terhadap antibiotik merupakan masalah
utama pada dunia kesehatan. Resistensi ini dapat menyebabkan kegagalan dalam pengobatan
penyakit infeksi.
Pada pengobatan penyakit infeksi dengan antibiotik harus dilakukan pemilihan kelas
antibiotik yang tepat. Untuk memilih antibiotik yang tepat perlu diketahui tingkat resistensi
bakteri terhadap antibiotik tertentu, dengan melakukan tes sensitivitas bakteri terhadap
antibiotik. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa antibiotik merupakan penyebab
tertinggi terjadinya ROTD (Reaksi Obat Tidak Diinginkan).

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses farmakovigilans Obat Khusus ?
2. Apa saja contoh obat Antibiotik yang terbukti menyebabkan ADE ?

1.3 Tujuan
1. Agar dapat mengetahui proses farmakovigilans obat khusus.
2. Agar dapat mengetahui contoh obat antibiotik yang terbukti menyebabkan ADE.

2
BAB II
ISI

2.1 Proses Farmakovigilans Obat Khusus

Menurut Peraturan Kepala BPOM RI (2011), Farmakovigilans dilakukan dengan


pemantauan dan pelaporan mengenai:
a. aspek keamanan obat dalam rangka deteksi, penilaian, pemahaman, dan pencegahan efek
samping atau masalah lain terkait dengan penggunaan;
b. perubahan profil manfaat-risiko obat; dan/atau
c. aspek mutu yang berpengaruh terhadap keamanan obat.
Apabila dalam melakukan Farmakovigilans, Industri Farmasi menemukan obat dan/atau
bahan obat hasil produksinya yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan,
khasiat/kemanfaatan, dan mutu, Industri Farmasi wajib melakukan pelaporan hal tersebut
kepada Kepala Badan. Pelaporan sebagaimana dimaksud terdiri atas:
A. Pelaporan Spontan (Spontaneous Reporting)
Pelaporan spontan sebagaimana dimaksud dapat berupa kejadian tidak diinginkan serius
dan non-serius pada penggunaan obat. Pelaporan spontan tersebut dilakukan oleh Industri
Farmasi berdasarkan laporan tertulis atau lisan yang diperoleh dari berbagai sumber yang dapat
dipertanggungjawabkan, namun bukan dalam rangka pemantauan yang direncanakan atau
bagian dari suatu penelitian.
Kejadian tidak diinginkan tersebut dapat berupa kejadian serius dan non-serius. Kriteria
kejadian tidak diinginkan serius meliputi semua kejadian medis pada penggunaan obat
termasuk vaksin yang menyebabkan:
a. Kematian,
b. Keadaan yang mengancam jiwa,
c. Pasien memerlukan perawatan rumah sakit,
d. Perpanjangan waktu perawatan rumah sakit,
e. Cacat tetap,
f. Kelainan kongenital, dan/atau
g. Kejadian medis penting lainnya.
 Pelaporan Spontan Kejadian Tidak Diinginkan terkait Penggunaan Obat.
Kejadian tidak diinginkan yang wajib dipantau dan dilaporkan dalam bentuk laporan
spontan meliputi kejadian tidak diinginkan serius yang tidak dapat diperkirakan (unexpected)

3
di dalam dan luar negeri, kejadian tidak diinginkan serius yang dapat diperkirakan (expected)
dan non-serius yang tidak dapat diperkirakan (unexpected) di dalam negeri.
Jika tidak ada laporan spontan kejadian tidak diinginkan yang diterima, Industri Farmasi
wajib menyampaikan laporan nihil (zero report). Pelaporan spontan kejadian tidak diinginkan
non- serius yang tidak dapat diperkirakan (unexpected) tersebut dilakukan setiap 6 bulan sekali.
 Pelaporan Spontan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)
KIPI yang wajib dilaporkan oleh Industri Farmasi meliputi KIPI serius yang tidak dapat
diperkirakan (unexpected) di dalam dan luar negeri, KIPI serius yang dapat diperkirakan
(expected) di dalam negeri dan KIPI non serius yang tidak dapat diperkirakan (unexpected) di
dalam negeri.
Pelaporan KIPI serius berupa kematian harus disampaikan dalam waktu 24 (dua puluh
empat) jam paling lambat pada hari kerja berikutnya, sebagai laporan awal sejak Industri
Farmasi mengetahui adanya informasi tersebut, dan tidak lebih dari 15 hari kalender sebagai
laporan lengkap lanjutan. Laporan KIPI serius lainnya harus dilaporkan dalam waktu tidak lebih
dari 15 hari kalender.
Jika tidak ada laporan spontan KIPI yang diterima , Industri Farmasi wajib
menyampaikan laporan nihil (zero report). Pelaporan spontan KIPI non serius dilakukan setiap
6 bulan sekali.

B. Pelaporan berkala pasca pemasaran (periodic safety update report)


Pelaporan berkala pasca pemasaran merupakan kegiatan pemantauan dan pelaporan
aspek keamanan obat yang dilakukan oleh Industri Farmasi terhadap obat yang diedarkan.
PSUR dilaporkan setiap 6 (enam) bulan untuk 2 (dua) tahun pertama, dan setiap tahun untuk 3
(tiga) tahun berikutnya setelah disetujui beredar di Indonesia.
Kriteria obat yang wajib dilaporkan:
a) Obat dengan zat aktif baru, termasuk produk biologi sejenis (similar bio-therapeutic
product).
b) Obat lain yang ditetapkan oleh Kepala Badan POM.
Format PSUR sekurang-kurangnya berisi informasi sebagai berikut:
a. Ringkasan Eksekutif (executive summary)
b. Pendahuluan
c. Status peredaran
d. Data mutakhir mengenai tindak lanjut regulatori berdasarkan alasan keamanan oleh
pemerintah atau pemegang izin edar (update on regulatory authority or Marketing
Authorization Holder Actions for safety reasons)
4
e. Perubahan informasi keamanan (changes to reference safety information)
f. Data pasien terpapar (patients exposure data)
g. Riwayat kasus individu (individual case histories: line listings and summary tabulations
(termasuk diskusi kasus individual, jika perlu)
h. Hasil studi (jika ada)
i. Informasi lain (yang berkaitan dengan efikasi; data keamanan mutakhir yang penting)
j. Informasi keamanan menyeluruh (overall safety information)
k. Kesimpulan

C. Pelaporan studi keamanan pasca pemasaran


Pelaporan studi keamanan pasca pemasaran harus dilakukan oleh Industri Farmasi
pemegang izin edar untuk:
1. Obat yang dalam persetujuan izin edarnya dipersyaratkan untuk dilakukan studi tersebut;
2. Obat tertentu yang telah beredar dan dipersyaratkan untuk dilakukan studi dalam rangka
perencanaan manajemen risiko, berdasarkan pengkajian risiko-manfaat dan / atau rekomendasi
tim ahli terkait.
Industri Farmasi pemegang izin edar obat harus melaporkan hasil studi tersebut kepada
Badan POM.

D. Pelaporan publikasi/literatur ilmiah


Industri Farmasi harus melaporkan informasi keamanan obat yang mempengaruhi profil
manfaat-risiko yang dimuat dalam publikasi atau literatur ilmiah kepada Badan POM, segera
setelah mengetahui adanya publikasi atau literatur ilmiah tersebut, dengan melampirkan
publikasi/literatur ilmiah dimaksud.

E. Pelaporan tindak lanjut regulatori Badan Otoritas negara lain


Industri Farmasi harus segera melaporkan semua informasi tindak lanjut regulatori
negara lain terkait dengan aspek keamanan mutakhir seperti pembekuan atau pembatalan izin
edar, serta penarikan obat dari pasaran yang dilakukan oleh badan otoritas negara lain.
Pelaporan awal dilakukan dalam waktu 24 jam setelah informasi diterima, paling lambat pada
hari kerja berikutnya.

F. Pelaporan tindak lanjut pemegang izin edar di negara lain


Industri Farmasi di Indonesia harus segera melaporkan semua tindak lanjut yang
dilakukan oleh pemegang izin edar obat terkait di negara lain sehubungan dengan aspek
5
keamanan mutakhir seperti penarikan obat dari peredaran. Pelaporan dilakukan dalam waktu
24 (dua puluh empat) jam setelah informasi diterima, paling lambat pada hari kerja berikutnya.

G. Pelaporan dari perencanaan manajemen risiko


Pelaporan hasil pelaksanaan kegiatan terkait perencanaan manajemen risiko oleh
Industri Farmasi sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan.

6
2.1.1 Dokumentasi
Pelaksanaan Farmakovigilans harus didukung dengan dokumentasi yang baik dan dapat
diakses oleh petugas Badan POM pada saat dilakukan pemeriksaan. Dokumen-dokumen yang
harus tersedia antara lain:

1. Daftar riwayat hidup (curriculum vitae), uraian tugas dan catatan pelatihan untuk personel
yang menangani Farmakovigilans,
2. Prosedur Operasional Baku (POB) semua kegiatan yang dilakukan,
3. Arsip kasus laporan spontan kejadian tidak diinginkan serius yang tidak dapat diperkirakan
(unexpected) dan yang dapat diperkirakan (expected) per individual kasus dan tabel kejadian
tidak diinginkan yang tidak dapat diperkirakan (unexpected) non-serius,
4. PSUR (jika ada),
5. Laporan studi keamanan pasca pemasaran,
6. Laporan publikasi/literatur ilmiah,
7. Laporan tindak lanjut regulatori dari Badan Otoritas Negara lain,
8. Laporan tindak lanjut pemegang izin edar di negara lain, dan / atau
9. Laporan pelaksanaan perencanaan manajemen risiko

2.1.2 Form Pelaporan ESO


Formulir pelaporan ESO berwarna kuning, yang dikenal sebagai Form Kuning.
Monitoring tersebut dilakukan terhadap seluruh obat beredar dan digunakan dalam pelayanan
kesehatan di Indonesia. Aktifitas monitoring ESO dan juga pelaporannya oleh sejawat tenaga
kesehatan sebagai healthcare provider merupakan suatu cara yang dapat digunakan untuk
mendeteksi kemungkinan terjadinya ESO yang serius dan jarang terjadi.

7
8
2.2 Contoh Obat yang terbukti menyebabkan ADE

1. Sparfloxacin ditarik karena menyebabkan Perpanjangan QT interval dan fototoksisitas


ditarik pada tahun 2001 dari US.
2. Grepafloxacin ditarik karena menyebabkan Repolarisasi jantung; Perpanjangan interval
QT, ditarik dari US, dan sebagian Eropa pada tahun 1999.
3. Trovafloxacin (Trovan) ditarik dari Eropa dan US pada tahun 1991-2001 karena
beresiko yang tinggi menyebabkan kerusakan hati.

9
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

 Menurut Peraturan Kepala BPOM RI (2011), Farmakovigilans dilakukan dengan


pemantauan dan pelaporan mengenai:

a. aspek keamanan obat dalam rangka deteksi, penilaian, pemahaman, dan pencegahan
efek samping atau masalah lain terkait dengan penggunaan;

b. perubahan profil manfaat-risiko obat; dan/atau

c. aspek mutu yang berpengaruh terhadap keamanan obat.

 Contoh obat antibiotik yang terbukti menyebabkan ADE dan ditarik dari pasaran yaitu
Sparfloksasin, Grepafloxacin, Trovafloxacin, Ozogamicin, dan Gemtuzumab ozogamicin.

10
11

Anda mungkin juga menyukai