Anda di halaman 1dari 40

UNIVERSITAS INDONESIA

MAKALAH FISIOTERAPI NEUROMUSKULAR

SPINAL CORD INJURY

DEIZA NOVAMARIA AZIZA (1606919562)

DOAN LESMANA (1606919480)

ERVINA DEWI RAMADHANT (1606868920)

REISA RACHIM (160686908)

RUSTANTI CYNTHIA PUTRI (1606919663)

YOHANNA VITAMARA (1606868946)

PROGRAM VOKASI

BIDANG STUDI RUMPUN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FISIOTERAPI

Depok

Oktober 2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini dengan tepat waktu. Pembuatan makalah ini bertujuan untuk
melengkapi tugas dalam mata kuliah Neuromuskular di semester V ini.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan


makalah ini. Oleh sebab itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang
membangun demi perbaikan kami selanjutnya. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua pembaca pada umumnya dan rekan-rekan fisioterapi pada
khususnya.

Akhir kata, dengan segala kerendahan hati, kami berharap agar makalah
ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Depok , 11 Oktober 2018

Tim Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ 2

DAFTAR ISI ....................................................................................................... 3

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... 4

DAFTAR TABEL ............................................................................................... 5

KAJIAN TEORI.................................................................................................. 6

A.Definisi ................................................................................................................ 6

B. Klasifikasi .......................................................................................................... 6

C. Anatomi Fisiologi............................................................................................... 7

D. Etiologi ............................................................................................................. 10

E. Epidemiologi .................................................................................................... 11

F. .Patofisiologi ..................................................................................................... 12

G.Manifestasi Klinis ............................................................................................. 13

H.Prognosis ........................................................................................................... 15

I.Penatalaksaan Fisioterapi ................................................................................... 16

J. Diagnosis ........................................................................................................... 26

K. Teknologi Fisioterapi ....................................................................................... 26

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 39


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. 1 Spinal Cord .......................................................................................... 6


Gambar 1. 2 Etiologi Cidera Medulla Spinalis ...................................................... 10

UNIVERSITAS INDONESIA | 4
DAFTAR TABEL

Tabel 1. 1 Manifestasi klinis .................................................................................. 14


Tabel 1. 2 Lokasi Lesi dan Manifestasi.................................................................. 14

UNIVERSITAS INDONESIA | 5
KAJIAN TEORI

A.Definisi

Spinal Cord Injury didefinisikan sebagai cedera atau kerusakan pada


medula spinalis yang menyebabkan perubahan fungsional, baik secara sementara
maupun permanen, pada fungsi motorik, sensorik, atau otonom. Spinal Cord Injury
adalah suatu kerusakan pada medula spinalis akibat trauma dan non trauma yang
akan menimbulkan gangguan pada seistem motorik, sistem sensorik dan vegetatif.
Pasien SCI dapat mengalami kehilangan fungsi motorik, sensasi, aktivitas refleks
dan kehilangan control bowel dan bladder. Pasien juga dapat mengalami
perubahan body image, penampilan peran dan konsep diri.

Gambar 1. 1 Spinal Cord

Sumber : SpineUniverse.com

B. Klasifikasi

Klasifikasi berdasarkan American Spinal Injury Association (ASIA) dalam


Schreiber (2011). ASIA Impairment Scale (AIS) merupakan klasifikasi yang
disusun oleh American Spinal Injury Assosiation (ASIA) dan merupakan

UNIVERSITAS INDONESIA | 6
modifikasi dari Frankle Classification. Dalam menentukan kategori SCI seorang
pasien, ada 5 langkah yang harus dilakukan:
1. Menentukan Sensory Level (SL) dari sisi kanan dan kiri anggota gerak

2. Menentukan Motor Level (ML) dari sisi kanan dan kiri anggota gerak.
Ditentukan dengan segmen paling kaudal dari spinal yang memiliki fungsi
motorik minimal 3 (tes dilakukan dalam posisi supine lying) dan level di
atasnya memiliki nilai fungsi motorik 5. Catatan: region yang tidak dapat
dilakukan miotom, fungsi motorik dianggap sama dengan fungsi sensoris, jika
daerah fungsi motorik di atasnya juga normal.

3. Menentukan Neurologic Level (NL) dengan merujuk kepada bagian paling


kaudal dari spinal cord yang memiliki baik fungsi sensoris maupun motorik
normal.

4. Menentukan apakah tergolong SCI komplet atau inkomplet. Jika ada kontraksi
volunteer dari anal dan semua nilai SL S4-S5 adalah 0 maka tergolong
kategori complete. Jika tidak maka SCI inkomplet.

5. Menentukan AIS grade:

a. Grade A: Complete. Tidak ada fungsi motorik atau sensorik yang di


segmen sacral S4-S5
b. Grade B: Incomplete. Fungsi sensorik masih baik, namun fungsi motorik
terganggu sampai segmen S4-S5
c. Grade C: Incomplete. Fungsi motorik terganggu dibawah level neurologis,
namun otot motorik utama mempunyai nilai kekuatan otot kurang dari
sama dengan 3.
d. Grade D: incomplete. idem grade C, tapi kekuatan motorik ≥3
e. Grade E: normal. fungsi motorik dan sensorik normal

C. Anatomi Fisiologi

Columna Vertebralis adalah pilar utama tubuh yang berfungsi melindungi


medula spinalis dan menunjang berat kepala serta batang tubuh,yang

UNIVERSITAS INDONESIA | 7
diteruskannya ke lubang-lubang paha dan tungkai bawah. Masing-masing tulang
dipisahkan oleh disitus intervertebralisVertebralis dikelompokkan sebagai berikut :

1. Vetebrata Thoracalis (atlas) Vetebrata Thoracalis mempunyai ciri yaitu tidak


memiliki corpus tetapi hanya berupa cincin tulang. Vertebrata cervikalis kedua
(axis) ini memiliki dens, yang mirip dengan pasak. Veterbrata cervitalis
ketujuh disebut prominan karena mempunyai prosesus spinasus paling
panjang.
2. Vertebrata Thoracalis Ukurannya semakin besar mulai dari atas kebawah.
Corpus berbentuk jantung, berjumlah 12 buah yang membentuk bagian
belakang thorax.
3. Vertebrata Lumbalis Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan
berbentuk ginjal, berjumlah 5 buah yang membentuk daerah pinggang,
memiliki corpus vertebra yang besar ukurnanya sehingga pergerakannya lebih
luas kearah fleksi.
4. Os. Sacrum Terdiri dari 5 sacrum yang membentuk sakrum atau tulang
kengkang dimana ke 5 vertebral ini rudimenter yang bergabung yang
membentuk tulang bayi.
5. Os. Coccygis Terdiri dari 4 tulang yang juga disebut ekor pada manusia,
mengalami rudimenter. Lengkung koluma vertebralis.kalau dilihat dari
samping maka kolumna vertebralis memperlihatkan empat kurva atau
lengkung antero-pesterior : lengkung vertikal pada daerah leher melengkung
kedepan daerah torakal melengkung kebelakang, daerah lumbal kedepan dan
daerah pelvis melengkung kebelakang.
Kedua lengkung yang menghadap pasterior, yaitu torakal dan pelvis, disebut
promer karena mereka mempertahankan lengkung aslinya kebelakang dari
hidung tulang belakang, yaitu bentuk (sewaktu janin dengna kepala
membengkak ke bawah sampai batas dada dan gelang panggul dimiringkan
keatas kearah depan badan. Kedua lengkung yang menghadap ke anterior
adalah sekunder 3 → lengkung servikal berkembang ketika kanak-kanak
mengangkat kepalanya untuk melihat sekelilingnya sambil menyelidiki, dan
lengkung lumbal di bentuk ketika ia merangkak, berdiri dan berjalan serta
mempertahankan tegak.
UNIVERSITAS INDONESIA | 8
Fungsi dari kolumna vertebralis. Sebagai pendukung badan yang kokoh dan
sekaligus bekerja sebagai penyangga kedengan prantaraan tulang rawan
cakram intervertebralis yang lengkungnya memberikan fleksibilitas dan
memungkinkan membonkok tanpa patah. Cakramnya juga berguna untuk
menyerap goncangan yang terjadi bila menggerakkan berat badan seperti
waktu berlari dan meloncat, dan dengan demikian otak dan sumsum belkang
terlindung terhadap goncangan. Disamping itu juga untuk memikul berat
badan, menyediakan permukaan untuk kartan otot dan membentuk tapal batas
pasterior yang kukuh untuk rongga-rongga badan dan memberi kaitan pada
iga.

Medulla spinalis atau sumsum tulang belakang bermula ada medula ablonata,
menjulur kearah kaudal melalu foramen magnum dan berakhir diantara vertebra-
lumbalis pertama dan kedua. Disini medula spinalis meruncing sebagai konus
medularis, dna kemudian sebuah sambungan tipis dasri pia meter yang disebut
filum terminale, yang menembus kantong durameter, bergerak menuju koksigis.

Sumsum tulang belakang yang berukuran panjang sekitar 45 cm ini, pada


bagian depannya dibelah oleh figura anterior yang dalam, sementara bagian
belakang dibelah oleh sebuah figura sempit. Pada sumsum tulang belakang
terdapat dua penebalan, servikal dan lumbal. Dari penebalan ini, plexus-plexus
saraf bergerak guna melayani anggota badan atas dan bawah : dan plexus dari
daerah thorax membentuk saraf-saraf interkostalis. Fungsi sumsum tulang
belakang yaitu mengadakan komunikasi antara otak dan semua bagian tubuh dan
bergerak refleks. Untuk terjadinya geraka refleks, dibutuhkan struktur sebagai
berikut :

a. Organ sensorik : menerima impuls, misalnya kulit


b. Serabut saraf sensorik ; mengantarkan impuls-impuls tersebut menuju sel-sel
dalam ganglion radix pasterior dan selanjutnya menuju substansi kelabu pada
karnu pasterior mendula spinalis.
c. Sumsum tulang belakang, dimana serabut-serabut saraf penghubung
menghantarkan impuls-impuls menuju karnu anterior medula spinalis.

UNIVERSITAS INDONESIA | 9
d. sel saraf motorik ; dalam karnu anterior medula spinalis yang menerima dan
mengalihkan impuls tersebut melalui serabut sarag motorik.
e. Organ motorik yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh impuls
saraf motorik.
f. Kerusakan pada sumsum tulang belakang khususnya apabila terputus pada
daerah torakal dan lumbal mengakibatkan (pada daerah torakal) paralisis
beberapa otot interkostal, paralisis pada otot abdomen dan otot-otot pada
kedua anggota gerak bawah, serta paralisis sfinker pada uretra dan rectum.

D. Etiologi

Penyebab terjadinya cidera medulla spinalis dapat dikelompokkan menjadi


trauma dan non trauma. Kejadian trauma merupakan penyebab tersering terjadinya
spinal cord injury.
1. Trauma
a. Trauma langsung
Trauma langsung dapat berupa, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja,
cidera olahraga, kecelakaan rumah, bencana alam, luka tembak yang
langsung mengenai saraf spinal cord.

Gambar 1. 2 Etiologi Cidera Medulla Spinalis

Sumber: Freidberg SR, Magge SN. Chapter 60. Trauma to the Spine and Spinal Cord. In:
Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Netter’s Neurology. 2ndedition. Elsevier,
Saunders. 2012. p.562-71 dan Sheerin F. Spinal Cord Injury: Causation and
Pathophysiology. Emerg Nurse 2005; 12(9):29-38.
UNIVERSITAS INDONESIA | 10
b. Trauma tidak langsung
Trauma tidak langsung penyebabnya sama seperti trauma langsung.
Tetapi, trauma tidak langsung menyebabkan kerusakan jaringan yang
dampaknya tidak langsung mengenai saraf spinal cord, contohnya
kecelakaan kerja seperti mengangkat beban yang terlalu berat dalam posisi
yang salah.
2. Non trauma
Kerusakan pada medula spinalis seperti pada kondisi arterial, venous
malfunction, trombosis, emboli, lesi medulla spinalis karena inflamasi
contohnya post virus, infeksi seperti guillan barre syndrome; tuberculosa
dan poliomeilitis merupakan penyebab utama lesi medulla spinalis, tumor
spinal, kondisi degeneratif sendi tulang belakang seperti spondylosis,
kelainan bawaan (Spina Bifida), multiple sclerosis, dll.

E. Epidemiologi

Tingkat insidensi di Amerika Serikat per tahun mencapai 40 kasus baru per
1 juta penduduk setiap tahunnya atau diperkirakan sekitar 12.000 kasus baru per
tahun. Sekarang ini, diperkirakan terdapat sekitar 183.000-230.000 pasien dengan
spinal cord injury yang 11 masih bertahan hidup di Amerika Serikat.
Cedera ini umumnya melibatkan pria dewasa muda dengan rentang usia
rata-rata 28 tahun (terutama antara 16-30 tahun). Hampir seluruh pasien cedera
medula spinalis (80,6%) adalah pria (perbandingan rasio pria: wanita yaitu 4:1)
karena resiko yang lebih tinggi terhadap kecelakaan lalu lintas, kekerasan, jatuh,
dan cedera yang berhubungan dengan rekreasi (seperti diving).
Tingkat mortalitas yang tinggi (50%) pada cedera medula spinalis
umumnya terjadi pada saat kondisi kecelakaan awal, sedangkan tingkat mortalitas
bagi pasien yang masih bertahan hidup dan dilarikan ke rumah sakit adalah 16%.
Tingkat harapan hidup pada pasien dengan cedera medula spinalis menurun secara

UNIVERSITAS INDONESIA | 11
drastis apabila dibandingkan pada populasi normal dan tingkat mortalitas jauh
lebih tinggi tahun pertama, apabila dibandingkan di tahun-tahun berikutnya.
Di Indonesia itu sendiri hanya ada 2 rumah sakit di Indonesia yang
memiliki unit khusus untuk layanan SCI, yaitu Rumah Sakit Umum Fatmawati
Jakarta dan Prof Dr R. Soeharso Rumah Sakit Ortopedi Solo. Spinal Cord Injury
Saat ini Indonesia pada tahun 2014, 104 Kasus SCI terdaftar di Rumah Sakit
Umum Fatmawati penyebabnya yaitu 37 mengalami trauma dan 67 mengalami
non-traumatik. Etiologi yang paling umum dari SCI traumatis adalah kecelakaan
mobil dan jatuh dari ketinggian, sedangkan penyebab SCI nontraumatic adalah
infeksi dan neoplasma.

F. .Patofisiologi

Kondisi patofisiologi akibat tumor medula spinalis disebabkan oleh


kerusakan infiltrasi, pergeseran dan dekompresi medula spinalis dan cairan
serebrospinal. Derajat gejala tergantung dari tingkat dekompresi dan kecepatan
perkembangan, adaptasi bisa terjadi dengan tumor yang tumbuh lamban, 85%
tumor medula spinalis jinak. Terutama tumor neoplasma baik yang timbul
ekstramedula atau intramedula. Tumor sekunder atau tumor metastase dapat juga
mengganggu medula spinalis dan lapisannya serta ruas tulang belakang. Tumor
ekstramedular dari tepi tumor intramedural pada awalnya menyebabkan nyeri akar
saraf subyektif. Dengan pertumbuhan tumor bisa muncul deficit motorik dan
sensorik yang berhubungan dengan tingkat akar dan medula spinalis yang
terserang. Karena tumor membesar terjadilah penekanan pada medula spinalis.

Adanya penekanan secara vertical yang mengenai pada vertebra akan


menimbulkan kompresi aksial. Dengan adanya kekuatan yang besar tersebut, maka
diskus akan terdorong masuk ke dalam korpus vertebra dan menghancurkannya.
Pecahan korpus tersebut akan menyebar ke posterior dan merusak medulla
spinalis.

Sesaat setelah cedera, pasien akan mengalami masa spinal shock. Sel saraf
di bawah level cedera tidak berfungsi, tidak adanya reflek saat itu dan anggota
UNIVERSITAS INDONESIA | 12
gerak mengalami fleksid. Penurunan aktivitas sel saraf dapat terjadi selama
beberapa jam atau hari bahkan mencapai 6 bulan. Setelah spinal shock mereda,
reflek kembali dan memasuki masa spastisitas. Cedera vertebra di bawah L1
(ujung medulla spinalis) tidak mengalami spastis karena kerusakan hanya
mengenai akar saraf atau conus terminalis. Setelah spinal shock mereda, reflek di
bawah level cedera kembali bahkan menjadi hiperaktif. Tetapi pada level cedera,
reflek tidak kembali (arefleksia) atau mungkin tetap menjadi arkus reflek yang
terputus-putus.

Kerusakan pada medulla spinalis menyebabkan perjalanan sensorik dan


motorik terputus di area lesi sehingga informasi sensorik dan motorik di bawah
level cedera tidak dapat diteruskan dari dan ke otak. Hal itu menyebabkan terjadi
paralysis aktivitas otot dan kehilangan sensasi di daerah tersebut.

G.Manifestasi Klinis

Kompresi medula spinalis menimbulkan gejala: nyeri yang terlokalisir atau


menyebar, paresis atau paraplegia, gangguan fungsi defekasi dan berkemih,
kehilangan kontrol sfinkter dan disfungsi seksual. Manifestasi klinik bervariasi
tergantung tingkat cedera, derajat syok spinal, fase dan derajat pemulihan.

Tingkat cedera Efek cedera


C1-C3 Kuadriplegia, paralisis diafragma, kelemahan atau
paralisis otot aksesori, paralisis otot interkostal dan
abdominal
C4-C5 Kuadriplegia, menurunnya kapasitas paru, diafragma
mungkin mengalami paralisis/kelemahan, paralisis
interkostal dan abdominal, ketergantungan total dalam
aktivitas sehari-hari
C6-C7 Kuadriplegia, fungsi difragma baik, beberapa gerakan
tangan memungkinkan untuk melakukan sebagian
aktivitas sehari-hari.

UNIVERSITAS INDONESIA | 13
C7-C8 Kuadriplegia dengan keterbatasan menggunakan jari
tangan, kemandirian meningkat
T1-T6 Kelemahan/paralisis interkostal, paralisis otot abdomen
T7-T12 Kelemahan/paralisis otot abdominal
L1-L2dan atau di Paraplegia dengan fungsi tangan masih baik, kehilangan
bawahnya fungsi sensorik dan motorik, kehilangan fungsi defekasi
dan berkemih
Tabel 1. 1 Manifestasi klinis

Sedangkan efek cedera medula spinalis tidak komplit akan menunjukkan


karakteristik berdasarkan area medula spinalis yang mengalami gangguan baik
sentral lateral, anterior atau perifer.

Lokasi lesi Manifestasi


Sentral (sindrom medula pusat) Defisit motorik pada ekstremitas atas
dibandingkan ekstremitas bawah, kehilangan
sensori bervariasi tetapi lebih berat pada
ekstremitas atas. Disfungsi defekasi dan
berkemih bervariasi, atau fungsi defekasi dan
berkemih masih dipertahankan.
Anterior (sindrom medula Kehilangan sensasi nyeri dan fungsi motorik di
anterior) bawah lesi; sentuhan ringan, posisi dan sensasi
vibrasi tetap utuh.
Lateral (sindrom Brown- Paralisis ipsi lateral atau paresis, bersamaan
sequard) dengan kehilangan sensasi raba, tekanan dan
getaran ipsilateral dan kehilangan sensasi nyeri
dan suhu kontralateral.
Posterior (sindrom medula Kehilangan sensasi getaran dan propriosepsi, dan
hanya kehilangan sebagian dari sensasi sentuhan
ringan.

Tabel 1. 2 Lokasi Lesi dan Manifestasi

UNIVERSITAS INDONESIA | 14
H.Prognosis

Jaringan saraf yang telah mengalami iritasi akibat tegangan, kompresi, atau
hipoksia dapat mengalami kerusakan sementara dan menunjukkan tanda-tanda
pemulihan saat faktor yang mengiritasi dihilangkan. (brunnet) ketika terjadi cedera
saraf, pemulihan bergantung pada beberapa faktor, mencakup luas daerah pada
akson dan selubung jaringan ikat disekitarnya, sifat dan tingkatcedera, waktu dan
teknik perbaikan, serta usia dan motivasi pasien.

1. Sifat dan tingkat cedera


Semakin rusak saraf dan jaringan, semakin besar reaksi jaringan dan
jaringan parut yang terjadi. Aspek proksimal saraf memiliki kombinasi
yang lebih besar pada serabut motorik, sensorik, dam simpatik, sehingga
kerusakan pada aspek proksimal menimbulkan kemungkinan kesalahan
penyambungan yang lebih besar, yang mempengaruhi regenerasinya.
Regenerasi sering dinyatakan terjadi pada laju 2,5 cm perhari, tetapi
dilaporkan juga bahwa laju terjadi dari 0,5 hingga 9,0 mm perhari
berdasarkan sifat dan keparahan cedera, durasi denervasi, kondisi jaringan,
dan dibutuhkan atau tidaknya pembedahan.
2. Waktu dan teknik perbaikan
Laserasi atau cedera remuk yang meruak integritas seluruh saraf
membutuhkan perbaikan bedah. Waktu perbaikan sangat penting untuk
regenerasi saraf yang optimal, demikian pula keteramilan dokter bedah dan
teknik yang digunakan untuk menyejajarkan segmen secara akurat dan
menghindari tegangan pada garis jahitan. Perbedaan kemungkinan hasil
regenerasi setelah perbaikan saraf juga dilaporkan berdasarkan
pengelompokkan saraf spesifik.
a. Kemungkinan regenerasi sempurna : nervus radialis, muskulokutaneus,
dan femoralis.
b. Kemungkinan regenerasi sedang : nervus medianus, ulnaris, dan
tibialis.
UNIVERSITAS INDONESIA | 15
c. Kemungkinan regenerasi rendah : nervus peroneus.
d. Usia dan motivasi pasien

Sistem saraf harus beradatasi dan mempelajari kembali penggunaan jaras


begitu terjadi regenerasi. Motivasi dan usia berperan enting, terutama pada usia
yang sangat mudah dan lansia.

I.Penatalaksaan Fisioterapi

Assessment Merupakan suatu penilaian fisioterapis mengenaikondisi pasien


untuk mengetahui masalah yang dihadapi oleh pasien dan menentukan intervensi
apa yang dapat diberikan oleh fisioterapis. Langkah pertama dalam assesment
meliputi anamnesis. Anamnesis adalah cara pengumupulan data dengan cara tanya
jawab antara fisioterapis dengan narasumber. Dilihat dari segi pelaksanaannya
anamnesis dibagi menjadi:

1. Auto Anamnesis: Tanya jawab langsung tenaga kesehatan denganpasien.


2. Allo Anamnesis: Tanya jawab langsung fisioterapis dengan keluargapasien
atau orang terdekat pasien, karena pasien dianggap tidak mampu melakukan
tanya jawab.
Anamnesis terbagi menjadi anamnesis umum dan anamnesis khusus.
Anamnesis umum pasien meliputi pengumpulan data identitas pasien dan
anamnesis khusus meliputi pengumpulan data identitas khusus.

1. Pengumpulan data identitas pasien

Pengumpulan data identitas pasien diantaranya: nama jelas, tempat &


tanggal lahir, alamat, pendidikan terakhir, pekerjaan, hobi, dan diagnosa
medik. Pengumpulan data identitas pasien bertujuan untuk menghindari
kesalahan dalam pemberian intervensi fisioterapi, serta dapat menyesuaikan
intervensi dengan hobi dan latar belakang pasien.

2. Pengumpulan Data Riwayat Penyakit

a. Keluhan Utama (KU)


UNIVERSITAS INDONESIA | 16
Keluhan utama adalah keluhan yang menjadi problematika
permasalahan utama yang menjadi alasan pasien datang ke Fisioterapi.

b. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)

Berisi penjelasan riwayat perjalanan penyakit dengan bahasa


pasien secara lengkap yang berhubungan dengan diagnosa dan keluhan
pasien saat ini. Berisikan proses perjalanan penyakit, lamanya keluhan
yang dirasa, lokasi penyakit dan perluasannya, masa waktu sakit,
pengobatan yang pernah diberikan sebelumnya, termasuk kemampuan
fisik dan fungsional pasien yang terganggu.

c. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)

RPD berisi tentang riwayat penyakit yang pernah dialami pasien


selama hidup, baik yang ada hubungannya dnegan keluhan
utama maupun yang tidak ada hubungannya dengan keluhan utama.

d. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)

Riwayat penyakit yang sama atau yang


membawa gen seperti Hypertensi, Diabetes Melitus, Jantung dll yang
diderita oleh keluarga pasien.

e. Riwayat Psikososial (RPsi)

Kajian psikososial meliputi status emosi, kognitif, perubahan peran


pasien dalam keluarga dan masyarakat, serta pengaruh penyakit terhadap
aktivitas kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga atau masyarakat.

3. Pemeriksaan

a. Pemeriksaan Umum

1) Cara Datang

UNIVERSITAS INDONESIA | 17
Dilihat dari keadaan pasien saat mendatangi terapis, dirawat untuk
pasien rawat inap, mandiri tanpa alat bantu, menggunakan alat bantu,
atau membutuhkan bantuan caregiver.

2) Kesadaran

a) Compos Mentis adalah keadaan kesadaran penuh, pasiendapat


menjawab pertanyaan fisioterapis dengan baik.
b) Apatis adalah keadaan kesadaran yang segan dimana pasienterlihat
acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitarnya.
c) Delirium adalah kesadaran menurun, peningkatan
aktivitaspsikomotorik abnormal, gelisah, disorientasi (orang, tempat,
waktu), memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang
berhayal.
d) Somnolen adalah kesadaran menurun, respon psikomotorlambat,
mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang
(mudah dibangunkan) dengan memberi jawaban verbal tetapi jatuh
tertidur lagi bila rangsangan berhenti.
e) Sopor adalah sudah tidak mengenali lingkungan, kantukmeningkat,
tidak berespon pada rangsangan ringan maupun sedang tetapi dapat
dibangunkan dengan rangsangan yang kuat. Refleks pupil terhadap
cahaya masih ada.
f) Koma adalah tidak bisa dibangunkan, tidak ada

responterhadap rangsangan apapun.

3) Kooperatif atau tidak kooperatif

Kooperatif berarti pasien mampu menanggapi perintah fisioterapis

4) Tensi atau tekanan darah

Tensi dilakukan untuk mengetahui tekanan darah pasien dalam keadaan


normal atau tidak sehingga dapat menentukan apakah pasien dalam
kondisi baik atau tidak untuk dilakukan pemeriksaan dan intervensi.

5) Nadi

UNIVERSITAS INDONESIA | 18
Mengetahui denyut nadi merupakan dasar untuk melakukan latihan fisik
yang benar dan terukur atau mengetahui seberapa keras jantung
bekerja.23 Pengukuran denyut jantung dapat dilakukan dengan
meletakkan dua atau tiga jari (bukan ibu jari) tepat pada temporal,
apikal, ulnaris, femoral, radialis, brachialis, karotis, poplitea, posterior
tibia, dan pedis. Pemeriksaan denyut nadi paling sering dilakukan pada
arteri radialis yaitu di pergelangan tangan sejajar dengan ibu jari.

6) Frekuensi Napas

Dalam proses ini pasien tidak diperintahkan untuk bernapas. Fisioterapis


menghitung frekuensi napas tanpa diketahui pasien dengan melihat
gerakan dada mengembang dan mengempis. Pemeriksaan ini dapat
dilakukan secara simultan dengan pemeriksaan denyut nadi.

7)Status Gizi

Status gizi didapatkan dari pengukuran Indeks Masa Tubuh berdasarkan


WHO.

8) Suhu

Suhu pasien diperiksa melalui palpasi oleh terapis atau


menggunakan termometer yang dapat dipasang pada axilla, rectal, oral,
maupun telinga. Pemeriksaan setiaplokasi memiliki sedikit perbedaan pada
suhu normal; sekitar 37°C. Suhu dinyatakan dalam afebris dan febris.
Afebris adalah suhu pasien dalam keadaan tidak demam. Sedangkan febris
merupakan suhu pasien dalam keadaan demam.

b.Pemeriksaan Khusus

1) Inspeksi

Merupakan suatu pemeriksaan yang dilakukan dengan cara melihat:


Kondisi umum pasien yang meliputi keadaan umum penderita, ekspresi
wajah, dan kesimetrisan badan Postur, Mobilisasi, Pola jalan, Warna kulit,
Bentuk stump, Atrofi. Inspeksi dibagi menjadi dua, yaitu statis dandinamis.

UNIVERSITAS INDONESIA | 19
Inspeksi statis adalah dengan melihat keadaan pasien saat diam seperti
bagaimana postur tubuh ketika pasien berada pada posisi maksimal yang
dapat dilakukannya, atrofi, deformitas, maupun warna kulit, sedangkan
inspeksi dinamis yaitu melihat keadaan pasien ketika bergerak

2) Palpasi

Pemeriksaan yang dilakukan dengan perabaan dan penekanan bagian


tubuh pasien. Palpasi merupakan tindakan penegasan dari hasil inspeksi
untuk menemukan yang tak terlihat. Palpasi meliputi :

a) Suhu Local

Pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui apakah suhu lokal


didaerah nyeri febris atau afebris. Gunakan punggung tangan yang lebih
sensitif merasakan perubahan suhu.

b) Spasme

Pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui apakah ada otot yang


mengalami spasme atau tidaknya, berkaitan dengan intervensi yang akan
dilakukan.

c) Nyeri Tekan

Pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui apakah ada nyeri disaat


fisioterapis memberi sedikit tekanan di bagian tertentu. Teknik
pengukuran skala nyeri dilakukan dengan berbagai metode, salah satunya
dengan Visual Analogue Scales.Visual Analogue Scales merupakan alat
ukur yang sederhana untuk mengukur perkiraan intensitas nyeri secara
subjektif. Teknik ini menggunakan urutan angka dari 1 sampai 10 untuk
menunjukkan nilai tingkatan nyeri. Nilai 1 untuk nyeri ringan dan 10
untuk nyeri paling berat. Fisioterapis menjelaskan terlebih dahulu
sebelum dilakukan penilaian.

3) Move

(a) Pemeriksaan Range of Motion (ROM)

UNIVERSITAS INDONESIA | 20
Merupakan pemeriksaan dasar untuk menilai pergerakan dan
mengidentifikasikan masalah gerak untuk intervensi. Ketika sendi bergerak
dengan rom full atau penuh, semua struktur dalam region sendi tersebut
mulai dari otot, ligament, tulang dan fasia ikut terlibat didalamnya.
Pengukuran dilakukan dengan goniometer untuk menilai derajat ROM.
Pengukuran dimulai pada posisi anatomi, kecuali gerakan rotasi yang
terjadi pada bidang gerak transversal. Penulisan ROM menurut ISOM:
1. SFTR ( Sagital – Frontal – Transversal – Rotasional ): Gerardt &
Russe
2. Semua gerakan ditulis dalam 3 kelompok angka
3. Ekstensi dan semua gerakan yg menjahui tubuh ditulis pertama
4. Fleksi dan semua gerakan yg mendekati tubuh ditulis terakhir
5. Posisi awal dituliskan di tengah
6. Lateral fleksi/rotasi spine ke kiri ditulis pertama, ke kanan ditulis
terakhir
7. Posisi awal dituliskan di tengah
8. Semua gerakan diukur dan posisi awal netral atau posisi anatomis
9. Posisi awal normal ditulis dgn 0°, tetapi dlm keadaan patologis
berubah
10. Semua posisi yg mengunci atau tdk ada gerakan sama sekali
(ankylosis) hanya ditulis dgn 2 kelompok angka.

Range of Motion (ROM) adalah luas lingkup gerak sendi yang dapat
dilakukan oleh suatu sendi yang dilakukan secara aktif, pasif, dan aktif asistif.
Salah satu cara mengukur ROM dengan menggunakan goniometer

(b) MMT (Manual Muscle Testing)


Merupakan salah satu bentuk pemeriksaan kekuatan otot yang paling sering
digunakan. Hal tersebut karena penatalaksanaan, intepretasi hasil serta
validitas dan reliabilitasnya telah teruji. Namun demikian tetap saja, manual
muscle testing tidak mampu untuk mengukur otot secara individual melainkan
group / kelompok otot.

UNIVERSITAS INDONESIA | 21
(c) Tes Myotom dan Dermatom
Dermatom adalah area kulit yang dipersarafi terutama oleh suatu saraf
spinalis. Ada 8 saraf servikal, 12 57 saraf torakal, 5 saraf lumbal dan 5
saraf sakral. Masing-masing saraf menyampaikan rangsangan dari kulit
yang dipersarafinya ke otak. Dermatom sangat bermanfaat dalam bidang
neurologi untuk menemukan tempat kerusakan saraf saraf spinalis.
Pembagian Dermatom Tubuh
C2 - posterior half of the skull cap
C3 - area correlating to a high turtle neck shirt
C4 - area correlating to a low-collar shirt
C6 - (radial nerve) 1st digit (thumb)
C7 - (median nerve) 2nd and 3rd digit
C8 - (ulnar nerve) 4th and 5th digit, also the funny bone
T4 – nipples
T5 - Inframammary fold T6/T7 - xiphoid procces
T10 - umbilicus (important for early appendicitis pain)
T12 - pubic bone area
L1 - inguinal ligament
L4 - includes the knee caps S2/S3 – genitalia
Myotom adalah sekelompok jaringan terbentuk dari somit yang
berkembang ke dalam otot dinding tubuh. Istilah “myotome” juga
digunakan untuk menggambarkan otot
yang dilayani oleh akar saraf tunggal. Dengan pembagian myotom otot:
C1 - C2: leher fleksi, leher ekstensi
C3: leher fleksi lateral
C4: elevasi bahu
C5: retraksi bahu, abduksi bahu
C6: fleksi elbow, ekstensi wrist
C7: ekstensi elbow, fleksi wrist
C8 : fleksi jari tangan, ekstensi jempol tangan
T1 : Jari abduksi dan adduksi
T2-T1 : Tidak ada otot yang diinervasi
UNIVERSITAS INDONESIA | 22
L2 : hip fleksi
L3 : ekstensi lutut
L4 : ankle dorsi fleksi
L5 : ekstensi ibu jari kaki
S1 : ankle plantar fleksi, eversi, ekstensi hip dan pantat
S2 : fleksi lutut
S3 - S4 : kerut anus / dubur

(d) Tes Khusus


1. Spastisitas
Spastisitas merupakan fungsi tonus yang meningkat tergantung pada
kecepatan gerakan. Merupakan gambaran lesi pada Upper Motor Neuron.
Membentuk ekstremitas pada posisi ekstensi. Pengukuran spastisitas dilakukan
apabila ada kecurigaan kecenderungan posisi. Skala pengukuran dapat
menggunakan ashworth.

2. Tes Ankle Clonus


Bila terjadi rileks yang sangat hiperaktif, maka keadaaan ini disebut klonus.
Jika kaki dibuat dorsi fleksi dengan tiba-tiba, dapat mengakibatkan dua atau
tiga kali gerakan sebelum selesai pada posisi istirahat. Kadang-kadang pada
penyakit Sistem Saraf Pusat terdapat aktivitas ini dan kaki tidak mampu
istirahat di mana tendon menjadi longgar tetapi aktivitas menjadi berulang-
ulang.

3. “ Knee Clonus “
Dilakukan ketukan pada tendon patella Reaksi : Positif bila terjadi
gerakan fleksi / ekstensi yang terus menerus pada lututnya.

UNIVERSITAS INDONESIA | 23
4. Indeks Barthel
Indeks Barthel merupakan suatu instrument pengkajian yang
berfungsi mengukur kemandirian fungsional dalam hal perawatan diri dan
mobilitas. Indeks Barthel menggunakan 10 indikatro.

4. Pengumpulan Data Tertulis Pemeriksaan Penunjang

Merupakan data–data yang dijadikan sebagai referensi untuk mengetahui


diagnosa medis dan menegakkan diagnosa fisioterapi. Misalnya dari hasil
ElektRange Of Motion iografi (EMG), Magnetic ResonanceImaging (MRI), CT
Scan, Ultrasonografi, dan tes laboratorium sepertianalisa darah, kRange Of
Motion osom dsb.

5. Urutan Masalah Fisioterapi Berdasrkan Prioritas

Urutan masalah didapatkan dari hasil pemeriksaan fisik baik pemeriksaan


umum maupun pemeriksaan khusus dan juga keluhan dari pasien itu sendiri.
Masalah tersebut diurutkan sesuai dengan prioritas mana yang akan fisioterapis
selesaikan.

6. Diagnosa Fisioterapi

Berdasarkan International Classification of Function diagnosis fisioterapi


berkaitan dengan impairment, functional limitation, dan participation restriction.

a. Impairment adalah ketidaknormalan anatomi, fisiologi dan psikologidalam


organ organ tertentu.
b. Functional limitation adalah adanya keterbatasan akibat dari impairment
yang belum menimbulkan kecacatan tetapimempengaruhi fungsi normal.
c. Participation Restriction adalah keterbatasan dalam berinteraksidengan
orang lain dan lingkungannya atau melakukan pekerjaan karena
keterbatasan fungsional.
7. Program Pelaksanaan Fisoterapi

a. Pengumpulan data program fisioterapi dari dokter Rehabilitasi Medik

b. Tujuan
UNIVERSITAS INDONESIA | 24
1) Tujuan jangka pendek

Tujuan jangka pendek dibuat berdasarkan prioritas identifikasi


problamatika fisioterapi dengan tujuan yang akan dicapai oleh pasien
setelah diberikan intervensi fisioterapi. Tujuan jangka pendek berkaitan
dengan sel, jaringan, dan organ.

2) Tujuan jangka panjang

Tujuan jangka panjang dibuat berdasarkan prioritas masalah, tetapi


bukan masalah yang utama atau segera. Biasanya mengembalikan
aktivitas fungsional tanpa menimbulkan keluhan kembali sesuai fungsi
yang masih ada dan harus realistis.

c. Teknologi Fisioterapi

Berisikan tentang semua terapi yang dapat diberikan kepada pasien


sesuai dengan identifikasi problematika fisioterapi. Teknologi fisioterapi
didalamnya menyangkut jenis intervensi, metoda intervensi, dosis
(frekuensi, durasi, dan intensitas) dan keterangan yang berisikan tujuan

d. Uraian Tindakan Fisioterapi

Berisi mengenai uraian tindakan fisioterapi yang fisioterapis


lakukan pada saat tanggal pemeriksaan tersebut. Menjelaskan bagaimana
posisi pasien, posisi fisioterapis, dan tatalaksana.

8. Evaluasi

a. Evaluasi hasil terapi

Evaluasi dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dalam


pelaksanaan terapi yang diberikan. Evaluasi dilakukan sebelum, sesaat, dan
setelah terapi.

S:Bersifat subjektif, keluhan apa saja yang sudah berkurang setelah dilakukan
terapi.

UNIVERSITAS INDONESIA | 25
O:Bersifat objektif, menggambarkan hasil pemeriksaan fisioterapis kepada
pasien
A:Hasil assesment diagnosa fisioterapi sesuai dengan hasil pemeriksaan
P:Program perencanaan treatment dan Teknologi

Fisioterapi yang diterapkan untuk mentreatment pasien

b.Jadwal evaluasi ke dokter

Berisikan kapan pasien harus ke dokter kembali setelah menuntaskan


program fisioterapi

J. Diagnosis

Berdasarkan International Classification Functioning and Health (ICF) diagnosis


fisioterapi, yaitu:
1. Impairment
Merupakan hilangnya atau tidak normalnya struktur atau fungsi sistem
organ tubuh yang bersifat psikologis, fisiologi, dan anatomi.
Contoh: adanya nyeri, spasme, keterbatasan gerak, paralisis, parase,
serta kehilangan fungsi sensorik dan fungsi otot involunter.
2. Functional limitation
Merupakan keterbatasan atau ketidakmampuan pasien dalam
beraktivitas fungsional dengan cara dan batas-batas yang dianggap normal.
Contoh: ketidakmampuan berjalan dan perawatan diri.
3. Participation restriction
Problem yang lebih kompleks yang melibatkan lingkungan fisik
maupun sosial pasien.

K. Teknologi Fisioterapi

1. PNF
a. Pengertian
PNF adalah suatu metode atau teknik untuk mempermudah atau
mempercepat timbulnya reaksi dari mekanisme neuromuscular (yaitu
UNIVERSITAS INDONESIA | 26
pattern-pattern tiap gerakan) melalui stimulasi proprioseptor (muscle
spindle) “Proprioceptive Neuromuscular Facilitation”. PNF berarti bahwa
peningkatan dan fasilitasi neuromuscular dengan sendirinya, sehingga
memerlukan blocking yang berlawanan. Dalam proses ini, reaksi
mekanisme neuromuscular dimanfaatkan, difasilitasi, dan dipercepat
melalui stimulasi reseptor-reseptor. Penggunaangerakan kompleks
berdasarkan pada prinsip-prinsip stimulasi organ neuromuscular dengan
bantuan tambahan dari seluruh gerakan.
b. Manfaat PNF
Reseptor-reseptor dalam otot dan sendi merupakan elemen penting
dalam stimulasi sistem motorik.
1) Merangsang jumlah maksimum dari motor unit dalam aktifitas dan
membuat hypertrophy seluruh serabut otot yang ada
2) Menimbulkan, menaikkan, dan memperbaiki tonus postural
3) Memperbaiki koordinasi gerak
4) Mengajarkan pola gerak yang benar

c. Prinsip dasar metode PNF


1) Ilmu Proses Tumbuh Kembang
Perkembangan motorik berkembang dari kranial ke kaudal dan dari
proksimal ke distal. Gerakan terkoordinasi (dewasa) berlangsung dari
distal ke proksimal. Gerakan sebelumnya didahului dengan kontrol
sikap (stabilisasi), dimana stabilisasi akan menentukan kualitas dari
gerakan. Refleks-refleks mendominasi fungsi motorik dewasa
dipengaruhi oleh refleks-refleks sikap.
Perkembangan motorik dapat distimulasi oleh stress, tahanan, dan
rangsangan-rangsangan dengan sensoris, auditif, visual. Stimulasi yang
berulang-ulang terhadap refleks-refleks akan menambah patron-patron
gerakan atau dengan kata lain refleks-refleks primitif membuka jalan
ke arah sikap dan gerakan-gerakan yang terkoordinasi.
Evolusi perkembangan motorik adalah dari pola gerakan masal ke
arah gerakan individual. Perkembangan motorik berjalan sesuai dengan
UNIVERSITAS INDONESIA | 27
proses kedewasaan (maturatie process) mulai dari rolling, merayap,
merangkak, duduk, berdiri, berjalan, naik trap, lari, lompat, jinjit, dan
melompat.
Metode PNF selalu mempehatikan dan memperhitungkan proses
tersebut. Pendekatan PNF mengacu ke refleks-refleks atau sikap-sikap
primitif.
2) Prinsip Neurofisiologis
Overflow principle adalah motoris impuls dapat diperkuat oleh
motoris impuls yang lain dari group otot yang lebih kuat yang dalam
waktu bersamaan berkontraksi, dimana otot-toto tersebut mempunyai
fungsi yang sama (otot-toto sinergis). Overflow principle ini
menimbulkan apa yang disebut iradiasi. Rangsang saraf motoris
mempunyai nilai ambang rangsang tertentu (semuanya atau tidak sama
sekali). Innervatie reciprocal adalah aktifitas refleks kontraksi otot
agonis akan membuat relaks antagonisnya. Inductie successive adalah
agonis akan terfasillitasi ketika antagonisnya berkontraksi atau
agonisnya berkontraksi atau agonis akan lebih mudah berkontraksi
apabila sebelumnya dilakukan kontraksi pada antagonisnya. Semakin
kuat kontraksi antagonis semakin kuat efek fasilitasinya.
3) Prinsip Ilmu Gerak
Latihan isometris ditujukan untuk memperbaiki sikap dan postur.
Sedangkan, latihan isotonis ditujukan untuk memperbaiki gerakan.
Gerakan tunggal murni terisolasi tidak ada dalam kehidupan ini. Otak
kita tidak mengenal aktifitas otot secara individual, tetapi gerakan-
gerakan secara group/kelompok dan setiap gerakan terjadi dalam arah
tiga dimensi, seperti otot juga yang berbentuk spiral dan juga arah
pendekatannya.
Gerakan akan sangat kuat bertenaga bila terjadi bersama dengan
gerakan total yang lain. Misal fleksi anggota atas akan memperkuat
ekstensi tubuh bagian atas (thorakal). Fleksi anggota bawah (hip) akan
memperkuat fleksi lumbal.

UNIVERSITAS INDONESIA | 28
Dengan dasar-dasar tersebut, metode PNF menyusun latihan-
latihan dalam patron-patron gerakan yang selalu melibatkan lebih dari
satu sendi dan mempunyai tigakomponen gerakan. Latihan gerakan
akan lebih cepat berhasil apabila pasien secara penuh mampu
melakukan suatu gerakan dari pada dia hanya mampu melakukan
sebagian saja. Hindarkan rasa sakit. Pengulangan yang banyak dan
variasi-variasi patron serta sikap posisi awal akan memberikan hasil
yang lebih baik. Aktifitas yang lama adalah penting untuk
meningkatkan kekuatan, kondisi koordinasi dari sistem neuromuskuler.
d. Prosedur Dasar PNF
1) Manual contact
Diberikan pada tangan dengan group-group otot lumbrical sehingga
dengan mudah memberikan stretching dan melawan gerak rotasi. Memberi
rangsangan pada sensory kulit sebagai proprioceptor, rangsangan pada
kulit harus disadari oleh pasien , dan letak rangsangan dikulit akan
menentukan arah pola gerakan. Bisa dikatakan sebagai komando atau aba
aba.Yang disampaikan oleh terapis harus singkat, jelas, mudah dimengerti,
dan irama komando bervariasi sesuai dengan pola gerak yang diinginkan.
Memberi stimulasi terhadap motor unit. Tahanan optimal sangat bervariasi,
tergantung individu masing-masing.
a) Stimulasi pada motor unit
(1) Stretching
Tahanan harus memberikan rangsangan pada setiap pola gerak.
Ada kalanya tahanan harus bisa memberikan aproximasi untuk tujuan
stabilisasi.
(2) Visual Feed Back
Pasien harus mengikuti pola gerak yang terjadi dengan
penglihatannya sebagai kontrol gerakan.
(3) Body Position dan Body Mechanic
Posisi fisioterapis pada posisi menyilang, menghadap pasien
dengan menggunakan proper body mechanic. Tahanan diberikan dengan

UNIVERSITAS INDONESIA | 29
menggunakan berat badan fisioterapis sehingga pengaturan posisi
fisioterapis haru
(4) Traksi – Aproximasi
Traksi merupakan stretching pada persendian yang akan
merangsang proprioceptor sehingga kontraksi dipermudah. Stretching
dapat diberikan pada permulaaan gerakan dan selama pergerakan.
Aproximasi merupakan penekanan untuk menimbulkan static kontraksi
(cocontractiea).
(5) Normal timing
Merupakan rangkaian kontraksi otot yang terjadi dalam aktivitas
sehingga menghasilkan gerak yang terkoordinasi. Pada proses
perkembangan yang normal kontrol proksimal lebih dahulu dari kontrol
distal. Setelah koordinasi gerakan yang diinginkan telah diperoleh
rangkaian kontraksi otot dimulai dari distal ke proksimal.
(6) Re-inforcement/ irradiation
Adalah pengaruh gerakan dari bagian tubuh yang bergerak
kebagian tubuh yang lain melalui irradiasi dan reflek motorik central.
Digunakan untuk:
(a) Memperbesar respon
(b) Mencegah kelelahan berlebihan
(c) Membuat kombinasi pola gerak
(7) Timing of Emphasis
Adalah suatu teknik gerakan yang bertujuan untuk memberikan
penguatan otot yang lemah dengan memberikan extra stimulasi pada
bagian yang lebih kuat. Extra stimulasi dapat berupa pemberian tahanan
berulang. Adalah suatu bentuk gerakan yang ditimbulkan oleh reflek
monosinapsi pada otot yang terulur dan reflek ini mempunyai efek
fasilitasi. s selalu mengikuti pola gerak pasien.

e. Teknik PNF
1) Rhytmical Initiation

UNIVERSITAS INDONESIA | 30
Merupakan suatu teknik yang ditujukan untuk kelompok otot agonis
yang dilakukan pada permulaan gerak dan dapat diberikan secara pasif
amupun aktif melawan tahanan fisioterapis.
2) Repeated Contraction
Merupakan suatu teknik gerak isotonik untuk kelompok otot agonis
yang dilakukan pada bagian-bagian tertentu dari lintasan gerakan yang
dituju, dengan jalan memberikan stretch yang diikuti dengan gerak
kontraksi isotonik.
Teknik Pelaksanaan:
a) Pasien melakukan gerakan dengan pola diagonal
b) Fisioterapis memberikan stretching pada bagian-bagian dimana
gerakan mulai melemah
c) Pasien memberikan respon dari penguluran tadi dengan
memperkuat kontraksi
d) Fisioterapis memberikan kesempatan kepada pasien untuk
bergerak isotonis melawan tahanan
e) Sebelum diulur perlu diberikan aba-aba lebih dahulu (dorong) f)
Dalam suatu pola diagonal penguluran diberikan paling banyak 4
kali, karena pasien mudah lelah
3) Hold Relax
Merupakan suatu teknik dimana group otot antagonis yang
memendek dikontraksikan secara isometrik dengan melawan tahanan
optimal yang diberikan fisioterapis. Kemudian diikuti dengan rileksasi
pada group otot tersebut.
a) Gerakan dilakukan secara aktif atau pasif kearah pola gerak
agonis sampai batas dimana timbul nyeri
b) Fisioterapis memberikan tahanan optimal secara bertahap
terhadap pola gerak antagonis dan pasien harus melawan tahanan
secara isometrik. Aba-aba yang diberikan adalah tahanan.
c) Kemudian pasien diisyaratkan untuk merilekkan group antagonis
dan kemudian dilanjutkan fisioterapis memberikan gerak pasif ke
arah polagerak agonis secara berulang-ulang.
UNIVERSITAS INDONESIA | 31
4) Contract Relax
Merupakan suatu teknik dimana group otot antagonis yang
memendek dikontraksikan secara isotonik yang optimal kemudian diikuti
dengan rileksasi pada group otot tersebut.
a) Gerakan dilakukan secara aktif maupun pasif ke arah pola gerak
agonis sampai pada batas nyeri atau keterbatasan sendi
b) Pasien disuruh mengontraksikan group otot antagonis dengan
aba-aba tarik dan dorong
c) Berikan pasien kesempatan untuk bergerak sedikit (isotonis)
secara 3 dimensi tetapi masih dalam batas ambang nyeri atau
keterbatasan gerak sendi
d) Rileksasi total group otot antagonis diikuti gerakan pasif oleh
fisioterapis ke arah pola gerak agonis
e) Ulangi prosedur in berulang-ulang sampai 4-6 kali
5) Slow Reversal
Merupakan suatu kontraksi isotonis yang dilakukan bergantian
antara kelompok agonis dan antagonis tanpa interval istirahat.
a) Gerakan dimulai dari stretching pada bagian pola gerak yang
kuat, kemudian diikuti ke pola gerak yang lemah tanpa diselingi
fase rileksasi
b) Setelah pola gerak dapat dilaksanakan pada group agonis
diteruskan ke pola gerak antagonis tanpa diselingi fase rileksasi
c) Dalam pelaksanaannya, kecepatan gerak dapat dilakukan dengan
cepat atau lambat atau sesuai dengan tujuannya
d) Dalam memberikan tahanan diupayakan pada setiap gerak tetap
sama sehingga gerakan akan mudah dilaksanakan
6) Rhytmical Stabilization
Merupakan suatu teknik stabilisasi sendi dengan cara kontraksi
agonis dan antagonis dilakukan secara isometris dengan perubahan yang
sangat ritmis seolah-olah tidak ada fase rileks.

UNIVERSITAS INDONESIA | 32
a) Kontraksi dimulai dari sendi yang masih cukup baik. Biasanya
digunakan pada pola gerak lurus yang diberikan approximasi secara
terus menerus
b) Pasien diminta menahan tahanan yang diberikan oleh fisioterapis
dengan aba-aba tahan
c) Pada waktu diberikan tahanan tidak boleh ada perubahan gerakan
d) Tahanan ditambah sedikit demi sedikit dan pada perubahan arah
tahanan tidak perlu diberikan approximasi ulang
7) Stabilization Reversal
Merupakan suatu bentuk gerakan isotonik atau isometri dimana
agonis dan antagonis saling berkontraksi tanpa diselingi fase rileksasi
dengan tujuan meningkatkan stabilisasi sendi.
Teknik Pelaksanaan:
a) Gerakan dimulai dengan approximasi ke arah pola gerak yang
kuat
b) Fisioterapis memberikan dengan aba-aba “tahan”
c) Reversal dimulai dengan aba-aba persiapan dimana satu tangan
yang menahan dan satu tangan yang lainnya memindahkan tahanan
d) Di antara reversal tidak boleh terjadi rileksasi
e) Kedua tangan tidak boleh pindah tempat secara bersamaan
f) Pada setiap reversal tahanan selalu ditingkatkan, dan gerakan
rotasi sangat penting pada stabilisasi sendi

f. Pola PNF
- Pola gerakan PNF pada lengan
Fleksi – abduksi – eksorotasi
Fleksi – abduksi – eksorotasi dengan elbow fleksi
Fleksi – abduksi – eksorotasi dengan elbow ekstensi

Ekstensi – adduksi – endorotasi


Ekstensi – adduksi – endorotasi dengan elbow fleksi
Ekstensi – adduksi – endorotasi dengan elbow ekstensi
UNIVERSITAS INDONESIA | 33
Fleksi – adduksi – eksorotasi
Fleksi – adduksi – eksorotasi dengan fleksi elbow
Fleksi – adduksi – eksorotasi dengan ekstensi elbow

Ekstensi – abduksi – endorotasi


Ekstensi – abduksi – endorotasi dengan fleksi elbow
Ekstensi – abduksi – endorotasi dengan ekstensi elbow

- Pola Gerakan PNF Pada tungkai


Fleksi – abduksi – endorotasi
Fleksi – abduksi – endorotasi dengan knee fleksi
Fleksi – abduksi – endorotasi dengan knee ekstensi

Ekstensi – adduksi – eksorotasi


Ekstensi – adduksi – eksorotasi dengan knee fleksi
Ekstensi – adduksi – eksorotasi dengan knee ekstensi

Fleksi – adduksi – endorotasi


Fleksi – adduksi – endorotasi dengan knee fleksi
Fleksi – adduksi – endorotasi dengan knee ekstensi

Ekstensi – abduksi – eksorotasi


Ekstensi – abduksi – endorotasi dengan knee fleksi
Ekstensi – abduksi – eksorotasi dengan knee ekstensi
Ekstensi – abduksi – eksorotasi dengan knee fleksi

- Pola gerakan PNF pada scapula


Anterior – elevasi, posterior – depresi
Anterior – depresi, posterior – elevasi

- Pola gerakan PNF pada pelvic


UNIVERSITAS INDONESIA | 34
Elevasi pelvis bersama dengan fleksi
Depresi bersama dengan ekstensi Rotasi ke kiri atau ke kanan

g. Dosis PNF
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kissner, pemberian
dosis latihan PNF yang efektif adalah 6 kali perhari, tiap 1 kali latihan
adalah 3 kali gerakan. Latihan dilakukan selama 6 minggu.
2. Bridging Exercise
a. Definisi
Bridging exercise biasa disebut pelvic bridging exercise yang mana latihan
ini baik untuk latihan penguatan stabilisasi pada glutei, hip dan punggung
bawah.Bridging exercise adalah cara yang baik untuk mengisolasi dan
memperkuat otot gluteus dan hamstring (belakangkaki bagian atas ). Jika
melakukan latihan ini dengan benar, bridging exercise digunakan untuk
stabilitas dan latihan penguatan yang menargetkan otot perut serta otot-otot
punggung bawah dan hip. Akhirnya, bridging exercise dianggap sebagai
latihan rehabilitasi dasar untuk meningkatkan stabilitas atau keseimbangan
dan stabilisasi tulang belakang.
Meskipun bridging exercise merupakan latihan yang mudah untuk
dilakukan, sangat bermanfaat dalam mempertahankan kekuatan di punggung
bawah dan berguna dalam program pencegahan sakit punggung bawah.
Bridging exercise juga merupakan latihan yang bagus yang memperkuat otot-
otot paraspinal, otot-otot kuadrisep di bagian atas paha, otot-otot hamstring di
bagian belakang paha, otot perut dan otot-otot glutealis.
b. Tujuan
1) Mengisolasi dan memperkuat otot gluteus dan hamstring
2) Untuk stabilitas dan latihan penguatan yang menargetkan otot
perut serta otot-otot punggung bawah dan hip.
3) Sebagai latihan rehabilitasi dasar untuk meningkatkan stabilisasi
tulang belakang.
3. Transfer dan Ambulasi
a. Definisi
UNIVERSITAS INDONESIA | 35
Transfer adalah suatu pola gerakan dimana terjadi perubahan
posisi pasien. Contohnya: dari posisi tidur keduduk di tepi tempat tidur,
dari posisi duduk keberdiri. Terdapat beberapa media untuk membantu
pasien untuk melakukan transfer salah satunya yaitu Transfer Board.
Transfer Board yaitu merupakan solusi bagi pengguna kursi roda untuk
berpindah dari kursi roda ke suatu tempat lainnya. Alat ini berbentuk
seperti papan yang dilengkapi dengan fitur yang memudahkan
pengguna untuk berpindah dengan hanya menggeser pinggang mereka
saja. Sebagai contoh perpindahan bisa dilakukan dari kursi roda ke
kursi mobil, ke sofa, ke tempat tidur dan tempat lainnya.
Ambulasi adalah perpindahan pasien dari suatu tempat ke
tempat lainnya dengan adanya jarak yang ditempuh. Contohnya
berjalan.
b. Tujuan dan Manfaat
1) Mencegah dampak immobilisasi pasca operasi meliputi: sistem
integumen; kerusakan integritas kulit seperti abrasi, sirkulasi darah
yang lambat yang menyebabkan terjadinya atrofi otot dan
perubahan turgor kulit, system kardiovaskuler; penurunan kardiak
reserve, mengurangi depresi
2) Mengurangi perubahan tingkah laku
3) Memperbaiki perubahan siklus tidur
4) Perubahan kemampuan pemecahan masalah
c. Alat yang digunakan
Banyak alat yang tersedia untuk membantu
ketidakmampuan pasien melaksanakan ambulasi. Jenis dari alat
dipilih dan lamanya waktu untuk menggunakan alat tersebut
tergantung pada ketidakmampuannya. Terlebih dahulu terapis harus
menentukannya apakah kekuatan otot pasien cukup dan
mengkoordinasikannya dengan program ambulasi. Alat bantu yang
digunakan untuk ambulasi adalah:
1) Wheel Chair atau Kursi Roda

UNIVERSITAS INDONESIA | 36
Merupakan salah satu alat ambulasi pertama untuk
seseorang ketika mengalami permasalahan pada ekstremitas bawah.
Indikasi penggunaan wheel chair adalah seseorang dengan terlalu
lemah endurance secara keseluruhan (terlalu lama tirah baring),
upper extremitas dan sitting balance baik tapi masalahnya pada
strengthening balance dan koordinasi, balance dan koordinasi baik
tetapi endurance lower extremitas lemah (paraplegi, para parese).
Jenis-jenis wheelchair:
a) Wheelchair manual
Kursi roda manual digerakkan dengan tangan si pemakai
dan biasa digunakan untuk semua kegiatan. Memiliki bobot antara
21 – 24 kg dan bisa dilipat. Kursi roda manual ada dua macam yaitu
model standard dan model reclining.
(1) Model standard
Yang paling umum dipakai oleh pasien di Rumah
Sakit maupun di rumah. Bentuk dan modelnya sangat
sederhana serta pada bagian sandarannya tidak dapat
direbahkan.
(2) Model reclining
Sering disebut juga dengan kursi roda rebah.
Fungsinya memudahkan pasien untuk menyandarkan
kepalanya agar dapat duduk lebih nyaman. Pada bagian
sandaran punggung bisa direbahkan dengan kemiringan ±
145°-180° sesuai dengan kebutuhan pasien, begitu juga
dengan bagian kaki yang dapat dinaik-turunkan. Model
reclining biasa digunakan oleh pasien penderita stroke atau
pasien yang mempunyai kelemahan / masalah pada bagian
punggung. Karena ada bagian-bagian tertentu yang bisa
diatur, maka untuk pasien yang menjalani therapy khusus
bisa memilih kursi roda reclining ini.
b) Wheelchair elektrik

UNIVERSITAS INDONESIA | 37
Kursi roda elektrik adalah yang digerakkan dengan tenaga
battery atau listrik. Model ini biasa disebut juga motorized wheel
chair dan sering dilengkapi dengan remote control. Baik yang
manual maupun yang elektrik memiliki fungsi yang sama, namun
model elektrik memiliki lebih banyak fitur.

d. Pelaksanaan Ambulasi
Ambulasi yang aman memerlukan keseimbangan dan kekuatan
yang cukup untuk menopang berat badan dan menjaga postur. Berikut
ini diuraikan beberapa tahapan ambulasi yang diterapkan pada pasien:
1) Pre-ambulation
Bertujuan untuk mempersiapkan otot untuk berdiri dan
berjalan yang dipersiapkan lebih awal ketika pasien bergerak dari
tempat tidur.
2) Sitting balance
Yaitu membantu pasien untuk duduk disisi tempat tidur.
Aktivitas ini seharusnya dilakukan 2 atau 3 kali sehari selama 10
sampai 15 menit, kemudian dilatih untuk turun dari tempat tidur
dengan bantuan.
3) Standing balance
Standing balance yaitu melatih berdiri dan mulai berjalan.
Perhatikan waktu tanda-tanda vital, apakah pasien mengalami pusing atau
lemas akibat hipotensi ortostatik.

UNIVERSITAS INDONESIA | 38
DAFTAR PUSTAKA

1. Chin LS. Spinal Cord Injuries. Emedicine Medscape 2013.


http://emedicine.medscape.com/article/793582-overview#showall
2. Dumont et al. Acute Spinal Cord Injury, Part I: Pathophysiologic
Mechanisms. Clin Neuropharmacol 2001;24(5):254-64
3. Sisto SA, Druin E, Macht Sliwinski MM. Spinal Cord Injuries : Management
and Rehabilitation. St. Louis, MO: Mosby; 2008.
4. National Spinal Cord Injury Statistical Center. Spinal Cord Injury Facts and
Figures at a Glance. Birmingham, Alabama. 2012. Downloaded from:
https://www.nsisc.uab.edu
5. Freidberg SR, Magge SN. Chapter 60. Trauma to the Spine and Spinal Cord.
In: Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Netter’s Neurology. 2nd
edition. Elsevier, Saunders. 2012. p.562-71
6. Kisner, Carolyn and Lynn Colby. (2012). Therapeutic Exercise Foundation
and Techniques (six edition). Philadelphia: F.A Davis Company.
7. Eveltan. C. Pearah, 1997 ; 56 – 62
8. Waxman SG. Chapter 6. The Vertebral Column and Other Structures
Surrounding the Spinal Cord. In: Waxman SG, ed.Clinical Neuroanatomy.
26th ed. New York: McGraw-Hill; 2010.
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=5272198. Accessed
October 1, 2013.
9. Physiotherapy rehabilitation for people with spinal cord injuries, © 2016
Australian Physiotherapy Association. Published by Elsevier Inc. January
2016 Volume 62, Issue 1, Pages 4–11
10. Harmandeep, Kaur., et al. Rehabilitation Of A Quadriperetic Patient: A Single
Case Study. International Journal Of Physiotherapy And Research, Int J
Physiother Res 2014, Vol 2(6):757-61.
11. Larson, Cathy A. & Paula M. Densio, 2013, Effectiveness of intense, activity
based physical therapy for individuals with spinal cord injury in promoting

UNIVERSITAS INDONESIA | 39
motor and sensory recovery: Is olfactory mucosa autograft a factor?,
Rochester, The Journal of Spinal Cord Medicine, VOL. 36 NO.1.

UNIVERSITAS INDONESIA | 40

Anda mungkin juga menyukai