Anda di halaman 1dari 46

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai

jenis dan luasnya ( Bruner & Suddart, 2013).

Fraktur vertebra adalah trauma kompresi hebat dapat menyebabkan

fraktur-dislokasi dengan rupturnya satu diskus, jika terjadi fraktur kominuta,

rupturnya dua diskus (Setiati, siti, dkk. 2014).

Fraktur vertebra adalah gangguan kontinuitas jaringan tulang yang

terjadi jika tulang dikenai stres yang lebih besar dari yang diabsorsinya yang

terjadi pada ruas-ruas tulang pinggul karena adanya trauma/benturan yang

dapat menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung atau tidak

langsung (Mansjoer, 2014).

B. Anatomi Fisiologi

Tulang belakang adalah susunan terintegrasi dari jaringan tulang,

ligamen, otot, saraf dan pembuluh darah yang terbentang mulai dari dasar

tengkorak (basis cranii), leher, dada, pinggang bawah hingga panggul dan

tulang ekor. Fungsinya adalah sebagai penopang tubuh bagian atas serta

pelindung bagi struktur saraf dan pembuluh-pembuluh darah yang

melewatinya.
Tulang-tulang tersebut berjajar dari dasar tengkorak sampai ke tulang

ekor dengan lubang di tengah-tengah setiap ruas tulang (canalis vertebralis),

sehingga susunannya menyerupai seperti terowongan panjang. Saraf dan

pembuluh darah tersebut berjalan melewati canalis vertebralis dan terlindung

oleh tulang belakang dari segala ancaman yang dapat merusaknya.

Antara setiap ruas tulang belakang terdapat sebuah jaringan lunak

bernama diskus intervertebra, yang berfungsi sebagai peredam kejut (shock

absorption) dan menjaga fleksibilitas gerakan tulang belakang, yang cara

kerjanya mirip dengan shock breaker kendaraan kita. Di setiap ruas tulang

juga terdapat 2 buah lubang di tepi kanan dan kiri belakang tulang bernama

foramen intervertebra, yaitu sebuah lubang tempat berjalannya akar saraf dari

canalis vertebra menuju ke seluruh tubuh. Saraf-saraf tersebut keluar melalui

lubang itu dan mempersarafi seluruh tubuh baik dalam koordinasi gerakan

maupun sensasi sesuai daerah persarafannya.

Gambar. 2. 1
Gambar. 2. 2

Tulang belakang terdiri dari 4 segmen, yaitu segmen servikal (terdiri

dari 7 ruas tulang), segmen torakal (terdiri dari 12 ruas tulang), segmen

lumbal (terdiri dari 5 ruas tulang) serta segmen sakrococygeus (terdiri dari 9

ruas tulang). Diskus intervertebra terletak mulai dari ruas tulang servikal ke-2

(C2) hingga ruas tulang sakrum pertama (S1).

Di luar susunan tulang belakang, terdapat ligamen yang menjaga

posisi tulang belakang agar tetap kompak dan tempat melekatnya otot-otot

punggung untuk pergerakan tubuh kita. Ligamen dan otot tulang belakang

berfungsi sebagai koordinator pergerakan tubuh.

Gambar. 2. 3
Posisi tulang belakang yang normal akan terlihat lurus jika di lihat

dari depan atau belakang. Jika dilihat dari samping, segmen servikal akan

sedikit melengkung ke depan (lordosis) sehingga kepala cenderung berposisi

agak menengadah. Segmen torakal akan sedikit melengkung ke belakang

(kyphosis) dan segmen lumbal akan melengkung kembali ke depan (lordosis).

Kelainan dari susunan anatomis maupun perbedaan posisi tulang

belakang yang normal tersebut, dapat berakibat berbagai keluhan dan

gangguan yang bervariasi. Keluhan dan gangguan tersebut akan berakibat

terganggunya produktivitas dan kualitas hidup seseorang. Tidak jarang

keluhan tersebut berakibat nyeri yang hebat, impotensi, hilangnya rasa

(sensasi) hingga kelumpuhan (Aston. J.N, 2005 & Wibowo, daniel S. 2013)

C. Jenis fraktur

1. Fraktur komplet adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan

biasanya mengalami pergeseran ( bergaris dari posisi normal).

2. Fraktur tidak komplet adalah patah hanya terjadi pada sebagian dari garis

tengah tulang.

3. Fraktur tertutup ( fraktur simple) tidak menyebabkan robeknya kulit.

4. Fraktur terbuka ( fraktur komplikata/ kompleks) merupakan fraktur dengan

luka pada kulit atau membrana mukosa sampai ke patah tulang.

D. Patofisiologi

Trauma yang terjadi pada tulang vertebra lumbal bisa terjadi karena

trauma langsung (benturan langsung) dan trauma tidak langsung (jatuh dan
bertumpu pada orang lain), serta bisa juga terjadi karena proses patologis

misalnya osteoporosis, infeksi atau kanker. Akibat dari fraktur lumbal adalah

bisa terjadinya kerusakan pembuluh darah dan kortek pada jaringan lunak

serta dapat mengakibatkan penekanan pada fragmen tulang lumbal.

Penekanan tersebut akan menyebabkan kerusakan pada saraf jaringan lunak

di medula spinalis sehingga menimbulkan nyeri.

Kerusakan pembuluh darah dan kortek pada jaringan lunak akan

menyebabkan adanya peningkatan tekanan yang berlebih dalam 1 ruangan

sehingga menimbulkan sindrom kopartemen yang akan menimbulkan

nekrosis jaringan, luka baik terbuka maupun tertutup sehingga dapat

menimbulkan resiko infeksi.

Terjadinya fraktur pada vertebra lumbal I akan menyebabkan

terjepitnya semua area ekstermitas bawah yang menyebar sampai pada bagian

belakang sehingga penderita biasanya akan mengalami hemiparase atau

paraplegia. Vertebra lumbal 2 berhubungan dengan daerah ekstermitas

bawah, kecuali sepertiga atas aspek interior paha. Sehingga kerusakan pada

vertebra lumbal 2 akan menekan daerah kandung kemih yang menyebabkan

inkontinensia urine. Fraktur pada lumbal 3 akan menyebabkan terjepitnya

ekstermitas bagian bawah dan sadel, sehingga penderita akan mengalami

gangguan bowel. Kerusakan pada daerah lumbal 4 akan mengganggu organ

seks dan genetalia, sehingga akan menyebabakan adanya penurunan libido.

Sedangkan kerusakan pada lumbal 5 akan menyebabkan sendi- sendi tidak


dapat di gerakan karena vertebra lumbal ke 5 berhubungan dengan

pergelangan kaki, ekstermitas bawah dan area sadel (Ross and Wilson, 2011).

E. Etiologi

Menurut Sjamsuhidajat 2008, adaalah

a. Trauma langsung

Berarti benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur di tempat itu.

Misal benturan pada lengan bawah yang menyebabkan patah tulang radius

dan ulna

b. Trauma tidak langsung

Bila mana titik tumpu benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan.

F. Tanda dan gejala

Menurut Mansjoer, Arif (2014) tanda dan gejala fraktur sebagai

berikut:

1. Deformitas (perubahan struktur dan bentuk) disebabkan oleh

ketergantungan fungsional otot pada kestabilan otot.

2. Bengkak atau penumpukan cairan/darah karena kerusakan pembuluh

darah, berasal dari proses vasodilatasi, eksudasi plasma dan adanya

peningkatan leukosit pada jaringan di sekitar tulang.

3. Spasme otot karena tingkat kecacatan, kekuatan otot yang sering di

sebabkan karena tulang menekan otot.

4. Nyeri karena kerusakan jaringan dan perubahan struktur yang meningkat

karena penekanan sisi-sisi fraktur dan pergerakan bagian fraktur.


5. Kurangnya sensasi yang dapat terjadi karena adanya gangguan saraf,

dimana saraf ini dapat terjepit atau terputus oleh fragmen tulang.

6. Hilangnya atau berkurangnya fungsi normal karena ketidakstabilan tulang,

nyeri atau spasme otot.

7. Pergerakan abnormal.

8. Krepitasi, sering terjadi karena pergerakan bagian fraktur sehingga

menyebabkan kerusakan jaringan sekitarnya.

G. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pad fraktur lumbal di awali dengan mengatasi nyeri

dan stabilisasi untuk mencegah kerusakan yang lebih parah lagi. Beberapa

penatalaksanaan yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikut :

1. Braces dan orthotics

Fraktur yang sifatnya stabil membutuhkan stabilsasi.

2. Pemsangan alat dan proses penyatuan ( fusi)

Teknik ini adalah teknik pembedahan yang dipakai untuk fraktur tidak

stabil.

3. Pengelolaan penderita dengan paralisis meliputi hal-hal berikut

a. Pengelolaan kandung kemih dengan pemberian cairan yang cukup,

kateterisasi, dan evakuasi kandung kemih dalam 2 minggu.

b. Pengelolaan saluran pencernaan dengan pemberian laksansia ,setiap 2

hari.

c. Nutrisi dengan diet tinggi protein secara intravena.

d. Cegah dekubitus.
e. Fisioterapi untuk mencegah kontraktur.

4. Penanganan Cedera dengan Gangguan Neorologis

Patah tulang belakang dengan gangguan neorologis komplit, tindakan

pembedahan terutama ditujukan untuk memudahkan perawatan dengan

tujuan supaya dapat segera di imobilisasikan. Pembedahan di kerjakan jika

keadaan umum penderita sudah baik lebih kurang 24 - 48 jam. Tindakan

pembedahan setelah 6 - 8 jam akan memperjelek defisit neorologis karena

dalam 24 jam pertama pengaruh hemodinamik pada spinal masih sangat

tidak stabil. Prognosa pasca bedah tergantung komplit atau tidaknya

transeksi medula spinalis.

Pemeriksaan lokalis

- Look : adanya perubahan warna kulit, abrasi, memar pada punggung.

Pada pasien yang telah lama di rawat sering didapatkan adanya

dekubitus pada bokong. Adanya hambatan untuk beraktivitas karena

kelemahan, kehilangan sensori, dan mudah lelah menyababkan masalah

pada pola aktivitas dan istirahat.

- Feel : prosessus spinosus di palpasi untuk mengkaji adanya suatu celah

yang dapat diraba akibat robeknya ligamentum posterior yang

menandakan cedera yang tidak stabil. Sering di dapatkan adanya nyeri

tekan pada area lesi.

- Move : gerakan tulang punggung atau spina tidak boleh di kaji.

Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan dan kelumpuhan

pada seluruh ekstermitas bawah.


Kekuatan otot pada penilaian dengan menggunakan drajat kekuatan otot di

dapatkan nilai 0 atau palisis total.

Pemeriksaan sistem pencernaan dan perkemihan

1. Bila terjadi lesi pada kauda ekuina ( kandung kemih di kontrol oleh

pusat S2-S4) atau dibawah pusat spinal kandung kemih akan

menyebabkan interupsi hubungan antara kandung kemih dan pusat

spinal. Pengosongan kandung kemih secara periodik tergantung dari

refleks lokal dinding kandung kemih. Pada keadaan ini, pengosongan

dilakukan oleh aksi otot-otot detrusor dan harus di awali dengan

kompresi secara manual pada dinding perut atau dengan meregangkan

perut. Pengosongan kandung kemih yang bersifat otomatis seperti ini

disebut kandung kemih otonom. Trauma pada kauda ekuina, pasien

mengalami hilangnya refleks kandung kemih yang bersifat sementara

dan pasien mengkin mengalami inkontinensia urinaria, ketidak

mampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan

mengguankan urinal kerana kerusakan kontrol motorik dan postural.

2. Proses penyembuhan

a. Fase inflamasi

Berakhir kurang lebih satu hingga dua minggu yang pada awalnya

terjadi reaksi inflamasi. Peningkatan aliran darah menimbulkan

hematom fraktur yang segera dikuti invasi dari sel-sel peradangan

yaitu netrofil, makrofag dan sel fagosit. Sel- sel tersebut termasuk

osteoklas berfungsi untuk membersihkan jaringan nekrotik untuk


menyiapkan fase reparatif. Secara radiologis, garis fraktur akan

lebih terlihat karena meterial nekrotik di singkirkan.

b. Fase reparatif

Umumnya berlangsung beberapa bulan. Fase ini ditandai dengan

differesiasi dari sel mesenkim pluripotensial. Hematom fraktur lalu

diisi oleh kondroblas dan fibroblas yang akan menjadi tempat

matrik kalus. Mula- mula terbentuk kaus lunak, yang terdiri dari

jaringan fibrosa dan kartilago dengan sejumlah kecil jaringan

tulang. Osteoblas kemudian yang mengakibatkan mineralisasi kalus

lunak menambah menjadi kalus keras dan meningkatkan stabilitas

fraktur. Secara radiologis garis fraktur mulai tak tampak.

c. Fase remodialing

Membutuhkan waktu bulanan hingga tahunan untuk merampungkan

penyembuhan tuang meliputi aktifitas osteoblas yang menghasilkan

perubahan jaringan immatur menjadi matur, terbentuknya tulang

lamelar sehingga menambah stabiltas daerah fraktur.

H. Pemeriksaan Diagnostik

1. Rontgen

Pemeriksaan posisi AP, lateral dan obliq dilakukan untuk menilai :

- Diameter anteriorposterior kanal spinal

- Kontur, bentuk, dan kesejajaran vertebra

- Pergerakan fragmen tulang dalam kanal spinal

- Keadaan simetris dari pedikel dan prosesus spinosus


- Ketinggan ruangan diskus intervertebralis.

2. CT Scan dan MRI

CT Scan dan MRI bermanfaat untuk menunjukan tingkat penyembuhan

kanalis spinalis. Pada fraktur dislokasi cedera paling terjadi pada

sambungan torako lumbal dan biasanya di sertai dengan kerusakan pada

bagian terbawah korda. Klien harus di periksa dengan hati- hati agar

tidak membahayakan korda atau akar syaraf lebih jauh.

3. Pemeriksaan laboratorium

a. Pemeriksaan darah lengkap meliputi kadar haemoglobin ( biasanya

rendah bila terjadi perdarahan karena trauma) hitung sel darah

putih, Ht mungkin menigkat ( Hemokonsentrasi) atau menurun

( perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada

mutipel). Peningkatan jumlah sel darah putih adalah respon stress

normal setelah trauma. Kreatinin : trauma otot meningkat beban

kreatinin untuk klirens ginjal. Profil koagulasi: perubahan dapat

terjadi pada kehilangan darah transfuse multiple atau cedera hati.

b. Pemeriksaan kimia darah.

Kadar kalsium serum berubah pada oteomalasea, tumor tulang

metastase dan pada immobilisasi lama dan creatinin kinase serta

SGOT yang meningkat pada kerusakan otot.

4. Angiogram : dilakukan bila kerusakan vesikoler dicurigai

Elektromyogram (EM) untuk mengukur kontraksi otot sebagai respon

terhadap stimulus listrik.


Web Of Causation

Port d’ Entre kuman


2.2 Asuhan keperawatan

3 Pengkajian

Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan sistem atau metode proses

keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahap, yaitu pengkajian,

diagnose keperawatan, perencanaan pelaksanaan, dan evaluasi.

Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu

diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat

memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan

sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:

A. Pengumpulan Data

a. Anamnesa

a. Identitas Klien

Meliputi nama, inisial, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status

perkawinan, pendidikan, pekerjaan, golongan, no. register, tanggal MRS, diagnosa

medis.

b. Keluhan Utama

Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa

akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang

lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:

 Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi

yang menjadi faktor presipitasi nyeri.

 Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau

digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut,

atau menusuk-nusuk.
 Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda,

apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana

rasa sakit terjadi.

 Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang

dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien

menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi

kemampuan fungsinya.

 Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah

bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.

c. Riwayat Penyakit Sekarang

Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya

membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi

terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan

bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya

kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).

d. Riwayat Penyakit Dahulu

Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk

berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti

kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering

sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt

beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat

proses penyembuhan tulang.

e. Riwayat Penyakit Keluarga

Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu
faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi

pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik

(Ignatavicius, Donna D, 1995).

f. Riwayat Psikososial

Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien

dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-

harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).

g. Pola-Pola Fungsi Kesehatan

 Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat

Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan

harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya.

Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat

steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang

bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.

(Ignatavicius, Donna D,1995).

 Pola Nutrisi dan Metabolisme

Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya

seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses

penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan
penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang

tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang

merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu

juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.

 Pola Eliminasi

Untuk kasus fraktur tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu

juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi.

Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan

jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat

Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat

mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan

pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta

penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 2002).

 Pola Aktivitas

Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi

berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang

perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa

bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya


fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).

 Pola Hubungan dan Peran

Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus

menjalani rawat inap (Ignatavicius, Donna D, 1995).

 Pola Persepsi dan Konsep Diri

Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat

frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal,

dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius,

Donna D, 1995).

 Pola Sensori dan Kognitif

Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang

pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak

mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius,

Donna D, 1995).

 Pola Reproduksi Seksual

Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena

harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien.

Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama

perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995).


 Pola Penanggulangan Stress

Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul

kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa

tidak efektif.

 Pola Tata Nilai dan Keyakinan

Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik

terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan

keterbatasan gerak klien

b. Pemeriksaan Fisik

1) Keadaan Umum Klien

Penampilan klien, ekspresi wajah, bicara, mood, berpakaian dan kebersihan umum,

tinggi badan, BB, gaya berjalan.

2) Tanda-tanda Vital

Pemeriksaan pada tanda-tanda vital mencakup : suhu, nadi, pernapasan dan tekanan

darah.

3) Pemeriksaan Local

Pemeriksaan fisik pada pasien fraktur biasanya seperti pemeriksaan fisik pada

umumnya, tetapi pada saat pemeriksaan fraktur dilakukan hal – hal sebagai berikut :

a. Keadaan Lokal

Harus di perhitungkan keadakan proksimal serta bagian distal terutama mengenai

status neurovaskuler (untuk status


neurovaskuler 5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse,

Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:

a. Look (inspeksi)

Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:

(a) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun

buatan seperti bekas operasi).

(b) Cape au lait spot (birth mark).

(c) Fistulae.

(d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau

hyperpigmentasi.

(e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-

hal yang tidak biasa (abnormal).

(f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)

(g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamarperiksa)

b. Feel (palpasi)

Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi

netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan

informasi dua arah,baik pemeriksa maupun klien.

Yang perlu dicatat adalah:

(a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan

kelembabankulit. Capillary refill time €Normal 3–

5“

(b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi

atau oedema terutama disekitar persendian.


(c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan

(1/3 proksimal, tengah, atau distal).

Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di

permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler.

Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya,

konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan

ukurannya.

c. Move (pergerakan terutama lingkup gerak)

Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan

ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan

lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya.

Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0

(posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada

gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan

pasif. (Reksoprodjo, Soelarto, 1995).

b. Pemeriksaan Diagnostik

a) Pemeriksaan Radiologi

Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan sinar

rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan

tulang yang sulit, maka diperlukan 2


proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi

tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena

adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x- ray harus atas dasar indikasi

kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal

yang harus dibaca pada x-ray:

a. Bayangan jaringan lunak.

b. Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau

biomekanik atau juga rotasi.

c. Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.

d. Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.

Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:

a. Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur

yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini

ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada

satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.

b. Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan

pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami

kerusakan akibat trauma.

c. Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak

karena ruda paksa.


d. Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara

transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang

yang rusak.

b) Pemeriksaan Laboratorium

(a) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap

penyembuhan tulang.

(b) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan

menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.

(c) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase

(LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang

meningkat pada tahap penyembuhan tulang.

Pemeriksaan lain-lain :

(a) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas:

didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.

(b) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama

dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi

infeksi.

(c) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang

diakibatkan fraktur.

(d) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek

karena trauma yang berlebihan.

(e) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya

infeksi pada tulang.


(f) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktu

(Ignatavicius, Donna D, 1995)

3.2.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Nyeri Akut b.d Agen cedera fisik di tandai dengan pasien tampak

meringgis, gelisah.

2. Resiko Infeksi b.d kerusakan integritas kulit.

3. Gangguan Mobilitas Fisik b.d kerusakan integritas struktur tulang di

tandai dengan pasien nyeri saat bergerak.

4. Gangguan integritas kulit/jaringan b.d kelembabpan di tantai dengan

klien tanpak nyeri, perdarahan, kemerahan

5. Risiko Disfungsi Neorovaskuler perifer b.d fraktur, penekanan klinis

(balutan)

6. Resiko pedarahan b.d trauma dan tindakan pembedahan

7. Kurang pengetahuan b.d kurang terpapar informasi di tandai dengan

klien tanpak menunjukan prilaku tidak sesuai dengan anjuran dan

menunjukan prilaku berlebihan.


3.2.3 RENCANA KEPERAWATAN

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan

Keperawatan (SDKI) (LKI) (SIKI)

1. Nyeri Akut b.d Agen cedera fisik di buktikan dengan Setelah dilakukan tindakan Observasi

pasien tampak meringgis, gelisah. Keperawatan 1 x24 jam  Identifikasi local,

diharapkan nyeri menurun karakteristik,durasi,frekuensi,

KH : Tingkat Nyeri kualitas, intensitas nyeri,.

 Keluhan nyeri menurun  Identifikasi nyeri.

(5)  Identifikasi respon nyeri non

 Gelisah menurun (5) verbal.

 Meringis menurun (5)  Identifikasi factor yang

 Kesulitan tidur memperberat dan

menurun (5) memperingan nyeri.


 Pola tidur membaik (5)  Monitor efek samping

Kontrol Nyeri penggunaan analgetik.

 Kemampuan Terapeutik

mengunakan teknik  Berikan teknik

non-farmakologis nonfarmakologis untuk

meningkat (5) mengurangi rasa nyeri

 Dukungan orang (mis.tarik napas dalam,

terdekat meningkat (5) kompres hanagat/dingin).

 Pengunaan analgetik  Kontrol lingkungan yang

menurun (5) memperberat rasa nyeri .

Penyembuhan luka  Fasilitasi istirahat dan tidur.

 Pembentukan jaringan  Pertimbangkan jenis dan

parut menurun. sumber nyeri dalam


 Peradangan luka pemilihan strategy

menurun (5) meredakan nyeri.

 Peningkatan suhu kulit Edukasi

menurun (5).  Jelaskan penyebab, periode,

 Infeksi menurun (5) dan pemicu nyeri.

 Jelaskan strategi meredakan

nyeri.

 Anjurkan memonitor nyeri

secara mandiri.

 Anjurkan mengunakan

analgetik secara tepat.

 Ajarkan teknik

nonfarmakologis untuk

mengurangi nyeri.
Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian

analgetik .jika perlu

2. Resiko Infeksi berhubungan dengan integritas kulit Setelah dilakukan tintdakan Observasi

keperawatan selama 1x 24 jam maka integritas kulit meningkat KH : Tingkat Nyeri  Monitor tanda dan gejala

 Nyeri menurun (5) infeksi local dan sistemik.

 Kemerahan menurun Terapeutik

(5)  Batasi jumlah pengunjung.

 Bengkak menurun(5)  Berikan perawatan kulit pada

Integritas kulit dan jaringan area edema.

 Perfusi jaringan  Cuci tangan sebelum dan

meningkat (5) sesudah kontak dengan

pasien dan lingkungan

pasien.
 Kerusakan jaringan  Pemberian teknik aseptik

menurun (5) pada pasien beresiko tinggi.

 Kerusakan lapisan kulit Edukasi

menurun (5)  Jelaskan tanda dan gejala

 Nyeri menurun (5) infeksi.

 Suhu kulit membaik (5)  Ajarkan cara mencuci tangan

dengan benar.

 Ajarkan etika batuk.

 Ajarkan cara memeriksa

kondisi luka atau luka

operasi.

 Anjurkan meningkatkan

asupan nutrisi.
 Anjurkan meningkatkan

asupan cairan.

Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian

imunisasi, jika perlu.

3. Gangguan Mobilitas Fisik b.d kerusakan integritas Setelah dilakukan tindakan Observasi

struktur tulang dibuktikan dengan pasien tanpak nyeri keperawatan selama 1x 24 jam  Identifikasi kebutuhan

saat bergerak. maka mobilitas disik dilakukan

meninggkat. pembidaian.(fraktur).

KH :  Monitor bagian distal area

 Pergerakan eksremitas cidera.

meningkat (5)  Monitor adanya adanya

 Nyeri menurun (5) pedarahan pada daerah

cidera.
 Kecemasan menurun  Identifikasi material bidai

(5) yang sesuai.

 Gerakan terbatas  Tutup luka terbuka dengan

menurun (5) balutan.

 Atasi perdarahan sebalum

bidai di pasang.

 Berikan bantalan pada bidai.

 Imobilisasi sendi di atas dan

di bawah area cidera.

 Topang kaki mengunakan

penyangga kaki.

 Tempatkan eksremitas yang

cidera dalam posisi

fungsional.
 Pasang bidai pada posisi

tubuh seperti saat di temukan

 Gunakan kedua tanagan

untuk menopang area cedera.

 Gunakan kain gendong

secara tepat

 Jelaskan tujuan dan langkah-

langkah prosedur sebelum

pemasangan bidai

 Anjurkan membatasi gerak

pada area cedera


4. Gangguan Integritas Kulit/Jaringan b.d kelembapan di Setelah dilakukan tindakan Observasi

buktikan pasien dengan kerusakan jarinagn / lapisan keperawatan selama 1x 24 jam  Monitor karakteristik luka

kulit nyeri, pendarahan, hematoma. gangguan integritas kulit (dranase, warna, ukuran, bau)

menurun:  Monitor tanda-tanda infeksi.

KH : Integritas Kulit dan Terapeutik

Jaringan  Lepaskan balutan dan plaster

 Perfusi jaringan secara perlahan.

meningkat (5)  Cukur rambut di sekitar luka,

 Kerusakan jaringan jika perlu

menurun (5)  Bersihkan dengan NACL

 Kerusakan lapisan kulit atau pembersih nontoksik,

menurun (5) sesuai kebutuhan

 Nyeri menurun (5)  Bersihkan jaringan nekrotik.

 Pedarahan menurun (5)


 Kemerahan menurun  Berikan salep yang sesuai

(5) dengan luka / lesi, jika

 Nekrosis menurun (5) perlu

 Suhu kulit membaik (5)  Bersihkan jaringan nekrotik.

Penyembuhan luka.  Pasang balutan sesuai jenis

 Penyatuan kulit luka.

meningkat (5)  Pertahankan teknik steril saat

 Penyatuan tepi luka perawatan luka.

meningkat (5)

 Pembentukan jaringan

parut menurun (1)

 Edema pada sisi luka

menurun (5)

 Ganti balutan sesuai dengan jumlah eksudat dan drenase.

 Jadwalkan perubahan posisi setiap 2 jam atau sesuai dengan kondisi pasien.
 Peradangan menurun  Berikan diet dengan kalori

(5) 30-35 kkl/kg / hari dan

 Nyeri menurun (5) protein 1,25-1,5 g/kgBB/hari.

 Infeksi menurun (5)  Berikan suplemen vitamin

dan mineral , sesuai

indikasi.

 Berikan terapi TENS ,

jika perlu

Edukasi

 Jelaskan tanda dan gejala

infeksi.

 Anjurkan mengkonsumsi

makanan tinggi kalori dan


protein.
 Ajarkan perawatan luka

secara mandiri.

Kolaborasi

 Kolaborasi prosedur

debridement (mis, enzimatik,

biologis, mekanis)

 Kolaborasi pemberian

anti biotik,jika perlu.

5. Risiko Disfungsi Neorovaskuler perifer b.d fraktur, Setelah dilakukan tindakan Observasi

penekanan klinis (balutan) keperawatan selama 1x 24 jam  Periksa sirkulasi perifer

maka resiko disfungsi secara menyeluruh (mis,

neorovaskuler perifer menurun. pulsasi perifer, edema,

KH : Neurovaskuler perifer warna, dan suhu eksremitas)


 Sirkulasi arteri  Monitor nyeri pada daerah

meningkat (5) yang terkena .

 Sirkulasi vena  Monitor tanda-tanda

meningkat (5) penurunan sirkulasi vena

 Pergerakan eksremitas .(mis, bengkak ,nyeri, peningkatan

meningkat (5) nyeri pada posisi tergantung, nyeri

 Nyeri menurun (5) menetap saat hangat, mati rasa,

 Pedarahan menurun (5) pembesaran vena superfesial, merah,

 Nadi membaik (5) hangat, perubahan warna kulit).

 Suhu tubuh membaik Terapeutik

(5)  Tinggikan daerah yang cidera

 Warna kulit membaik 20 derjat di atas jantung.

(5)

Perfusi perifer
 Penyembuhan luka  Lakukan rentang gerak aktif

membaik (5) dan pasif.

 Edema perifer menurun  Ubah posisi setiap 2 jam.

(5)  Hindari akses intravena

 Nyeri eksremitas antekubiti.

menurun (5)  Hindari memijat atau

 Nekrosis menurun (5) mengompres otot yang

cidera.

Edukasi

 Jelaskan mekanisme

terjadinya embili perifer.

 anjurkan menghindari

maneuver valsava.
 Ajarkan cara mencegah

emboli perifer. (mis, hindari

imobilisasi jangka panjang).

 Ajarkan pentingnya

antikoagulan selama 3 bulan.

Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian

antikoagulan.

 Kolaborasi pemberian

prometazim intravena

dalam NaCL 0,9% 25-50

secara lambat dan hindari

pengenceran kuran dari


Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x 24 jam maka penyembuhan luka meningkat.

KH: penyembuhan luka

 Penyembuhan kulit meningkat (5)

 Penyatuan tepi luka meningkat (5)

 Nyeri menurun (5)

 Infeksi menurun (5) Tingkat luka

 Kelembapan kulit menurun (1)

Observasi

 Monitor tanda dan gejala pendarahan.

 Monitor hematokrik/hemoglobin sebelum dan setelah kehilangan darah.

 Monitor tanda-tanda vital ortostatik.

 Monitor koagulasi.

Terapeutik

 Pertahankan bed rest selama pedarahan.

 Batasi tindakan infasif.


DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah,

Edisi 3, EGC, Jakarta Corwin Elizabeth. (2002). Buku Saku

Patofisiologi . jakarta : EGC

Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik


Klinis, Ed. 6, EGC, Jakarta

Doengoes, Marlylin E, 2000 Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC

Evelyn C.Pearce. 2008. Anatomi Fisiologi Untuk Para Medis . jakarta: PT Gramedia

Engram Barbara, 2001. Rencana Asuhan Keperawatan Bedah

Volume 2. EGC Ignatavicius, D. D. 2010. Medical – Surgical

Nursing : Clients- Centered Colaborative


Care. Sixth Edition, 1 & 2. Missouri : Saunders Elsevier

Mansjoer (2000) & Muttaqin (2008). Penatalaksanaan keperawatan.

Jakarta : EGC Muttaqin, Arif (2008). Buku Ajar Asuhan

Keperawatan Klien Dengan Gangguan


Muskuloskaletal. Jakarta : EGC

Nursalam. 2001. Pendekatan praktis metodologi Riset Keperawatan.

Jakarta. Info Medika PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan

Indonesia : Defisit dan Kriteria Hasil


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI

Price dan Wilson (2006). Patofisiologi Konsep Klinis – Proses

Penyakit. Jakarta :EGC Price Syalvia, A.2002. Patofisiologi

Konsep Klinis-Proses Penyakit. Jakarta : EGC Smeltzer Suzanne,

C. 2002. Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8. Jakarta : EGC

Sjamsuhidajad & Jong (2005). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien


Dengan Gangguan Muskuloskaletal. Jakarta : EGC
Rasjad , Chairudin, 2007. Pengantar Ilmu Bedah Orthopedi,
Edisi ketiga. Yrsif Watampore, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai