Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PASIEN DENGAN FRAKTUR THORACIC SPINE

DI RUANG DIPONEGORO BAWAH RSUD KANJURUAN

Bertujuan Untuk Memenuhi Tugas Praktek Klinik Keperawatann Medikal Bedah II

Disusun Oleh :

Sarah Zalena

P17211204125

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG

JURUSAN KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN & PROFESI NERS

2022/2023
I. DEFINISI
a. Pengertian
1. Fraktur
Fraktur merupakan terputusnya kontinunitas jaringan tulang yang
umunya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer et al., 2000). Sedangkan
menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and Documentations
menyebutkan bahwa fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang
disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap
oleh tulang. Pernyataan ini sama yang diterangkan dalam buku Luckman and
Sorensen’s Medical Surgical Nursing.
2. Patah Tulang Lumbal
Fraktur lumbal adalah fraktur yang tejadi akibat gerakan mendadak
atau jenis gerakan yang tidak mungkin terjadi di regio tertentu dapat
menyebabkan fraktur, dislokasi, dan frakturdislokasi columna vertebralis.
Fleksi kuat mendadak, seperti yang terjadi pada kecelakaan bermotor atau
akibat pukulan keras ke belakang kepala, sering menimbulkan fraktur remuk
atau fraktur kompresi pada satu corpus vertebrae atau lebih. Jika terjadi
hantaman keras pada vertebrae lalu diikuti dengan kompresi, maka salah satu
tulang vertebra dapat bergeser ke anterior pada vertebra disebelah interiornya.
Cedera yang tidak dapat diperbaiki pada medula spinalis selalu disertai
dengan cedera fleksi berat pada columna vertebralis (dr. H.Hartanto,2013).
b. Anatomi dan Fisiologi
1. Struktur Tulang Belakang
Struktur tulang belakang terdiri dari 3 lengkungan alami yang berbentuk
seperti huruf S, jika dilihat dari samping. Ketiga lengkungan ini meliputi
tulang belakang leher (servikal), tulang punggung tengah (torakal), dan tulang
punggung bawah (lumbal). Lengkungan pada tulang belakang penting untuk
memberikan keseimbangan tubuh dan membantu kita berdiri tegak. Jika
digabungkan, ketiga lengkungan tersebut memiliki 33 ruas tulang yang
bertumpuk. Tulang-tulang ini kemudian dibagi menjadi beberapa bagian.
Berikut ini adalah penjelasannya:
1. Tulang belakang leher
Tujuh tulang belakang pertama dari atas disebut dengan servikal. Tulang-
tulang ini berada di belakang leher, tepat di bawah tengkorak. Tak hanya
untuk menopang kepala dan leher, bagian atas tulang belakang yang
berbentuk C ini juga mendukung kemampuan Anda untuk memutar,
memiringkan, dan menganggukkan kepala.
2. Tulang punggung tengah
Di bawah servikal terdapat 12 tulang torakal yang dimulai dari dada bagian
atas hingga punggung tengah. Tulang rusuk Anda menempel pada tulang-
tulang ini. Struktur tulang punggung tengah normalnya sedikit menekuk
untuk membentuk seperti huruf C terbalik.
3. Tulang punggung bawah
Selanjutnya, di bawah tulang punggung tengah (torakal), ada 5 tulang yang
menyusun struktur tulang belakang bagian bawah. Tulang-tulang ini menekuk
ke dalam sehingga terlihat seperti membentuk huruf C.
Tulang belakang bawah (lumbal) menopang bagian atas tulang belakang dan
terhubung ke panggul. Tulang-tulang ini menjadi tumpuan sebagian besar
berat badan serta tekanan saat Anda mengangkat atau membawa barang. Oleh
karena itu, bagian tulang belakang bawah sering mengalami cedera maupun
kondisi medis.
4. Sakrum
Sakrum terdiri dari 5 tulang belakang yang menyatu menyerupai segitiga.
Tulang ini terhubung ke pinggul dan membentuk cincin yang disebut
dengan panggul.
5. Tulang ekor
Di bawah sacrum, ada tulang ekor yang merupakan pangkal tulang belakang.
Tulang ekor terdiri dari 4 tulang belakang yang menyatu membentuk 1 tulang
kecil. Bagian tulang belakang ini berperan dalam menahan beban dan menjadi
pusat gravitasi yang baik.
Jadi, saat Anda mengambil ransel yang berat, tulang belakang lumbal,
sakrum, dan tulang ekor membantu memberi Anda kekuatan untuk
mengangkatnya. Saat Anda menari, melompat, dan berjalan, bagian-bagian
tulang ini juga menjaga Anda agar tetap seimbang.
Di antara bagian tulang belakang, ada beberapa jaringan yang terhubung satu
sama lain, yaitu:
 Sendi facet, untuk menghubungkan setiap bagian tulang belakang serta
memberikan fleksibilitas dan stabilitas pada tubuh.
 Diskus intervertebralis, yaitu cakram kecil yang terbuat dari tulang
rawan untuk mencegah struktur tulang belakang saling bergesekan dan
menjadi bantalan bagi tulang punggung.
 Bukaan tempat keluarnya cabang jaringan saraf, untuk menyampaikan
pesan antara otak dan otot.
 Jaringan lunak yang terdiri dari ligamen (untuk menahan setiap bagian
tulang belakang), otot (untuk mendukung punggung dan membantu
tubuh bergerak), dan tendon (untuk menghubungkan otot dengan
gerakan tulang).

c. Klasifikasi Fraktur
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis,
dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
1. Berdasarkan sifat fraktur
 Fraktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih
utuh) tanpa komplikasi.
 Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit
2. Berdasarkan komplit atau ketidakkomplitan fraktur
 Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
 Fraktur Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang
tulang seperti:
1) Hair Line Frakur
2) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks
dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya
3) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi
korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang
3. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma
 Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
 Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
 Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
 Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
 Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi
otot pada insersinya pada tulang.
4. Berdasarkan jumlah garis patah
 Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan
 Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan
 Fraktur Multiple: Fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama
5. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang
 Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap tetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh
 Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergesaran fragmen tulang yang
juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
1) Dislokasi ad logitudinam cum contractionum (pergeseran searah
sumbu dan overlapping)
2) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut)
3) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling
menjauh)
6. Fraktur kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang
7. Fraktur patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan
jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1. Tingkat 0
Fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak sekitarnya
2. Tingkat 1
Fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan
3. Tingkat 2
Fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan
pembengkakan
4. Tingkat 3
Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan ancaman
sindroma kompartement
(Apley & Solomon, 1995; Black, 1995; Henderson, 1997; Mansjoer et al.,
2000; Oswari, 1993; Pearce, 2016; Reksoprodjo, 1995)
II. PATHWAY
III. PATOFISIOLOGI
Cedera pada medula spinalis kebanyakan terjadi akibat cedera di daerah
Vertebra-Medulla Spinalis, pada cedera kompresi sering disebabkan karena jatuh atau
melompat dari ketinggian, saat jatuh dengan posisi kaki atau bokong (duduk). Maka
terjadilah penekanan pada medula spinalis yang menyebabkan fraktur vertebra.
Akibat penekanan ini, fragmen pada tulang juga dapat masuk ke dalam medula
spinalis. Lumbal dan toraks vertebra umumnya akan mengalami cedera serta dapat
menyebabkan edema dan perdarahan. Edema pada medula spinalis dapat
mengakibatkan kehilangan fungsi sensasi (Fransisca B.Batticaca,2018).

IV. ETIOLOGI
Menurut (Oswari, 1993) penyebab terjadinya fraktur antara lain:
a. Kekerasan langsung
Kekerasan langusng menyebabka patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.
Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau
miring

b. Kekerasan tidak langsung


Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jatuh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling
lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan
c. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan

V. GEJALA DAN TANDA


a. Nyeri terus menerus dan bertambah berat. Nyeri berkurang jika fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
b. Deformitas dapat disebabkan oleh pergeseran fragmen pada eksremitas.
Deformitas dapat di ketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal.
Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot
bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya obat.
c. Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah
tempat fraktur.
d. Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik
tulang. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar fragmen satu dengan lainnya.
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam
atau beberapa hari setelah cedera.
f. Pada pemeriksaan harus diperhatikan keutuhan faal nervus radialis dan arteri
brakialis. Saat pemeriksaan apakah ia dapat melakukan dorsofleksi pergelangan
tangan atau ekstensi jari-jari tangan.

VI. MASALAH KEPERAWATAN


- (D.0077) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
- (D.0054) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan inetrgitas
struktur tulang
- (D.0109) Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan muskoloskeletal
- (D.0142) Risiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif
- (D.0067) Risiko disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan fraktur

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. CT scan 3D Torakalumbal
b. X-ray Torakalumbal
c. Laboratorium
VIII. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan medis pada pasien yang mengalami fraktur lumbal adalah
sebagai berikut :
1. Analgesia
2. Observasi tanda-tanda vital
3. Terapi cairan
4. CT scan 3D Torakalumbal
5. X-ray Torakalumbal
6. Laboratorium
7. Observasi nyeri pada pasien
8. Memulangkan klien dari rumah sakit
IX. ASUHAN KEPERAWATAN
a. Pengkajian Keperawatan Primer
Menurut (Jainurakhma et al., 2021) Setelah pasien sampai di Instalasi Gawat
Darurat (IGD) yang pertama kali harus dilakukan adalah mengamankan dan
mengaplikasikan prinsipAirway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure
(ABCDE).
1. Airway
Pada pengkajian Airway, Penilaian kelancaran airway pada klien yang
mengalami fraktur meliputi, pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas atau
fraktur di bagian wajah. Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus
memproteksi tulang servikal karena itu tehnik Jaw Thurst dapat digunakan
pasien dengan gangguan kesadaran atau GCS kurang dari 8 biasanya
memerlukan pemasangan airway definitif.
2. Breathing
Pengkajian pada pernapasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan
napas dan keadekuatan pernapasan pada pasien
a) Look
 Lihat pengembangan dada
 Retraksi intercostal
 Penggunaan otot aksesoris pernapasan
b) Listen
 Apakah terdengar suara napas
 Bunyi napas (Ngorek, bersiul, megak dan lain-lain)
 Suara napas tambahan (ronchi, wheezing, rales, dll)
c) Feel
 Apakah ada hembusan darah dari hidung
 Frekuensi napas
3. Circulation
Pada pengkajian kegawatdaruratan pada pasien fraktur femur,
dilakukan penilaian terhadap fraktur ketika mengevaluasi sirkulasi maka yang
harus diperhatikan di sini adalah volume darah, pendarahan, dan cardiac
output. Pendarahan sering menjadi permasalahan utama pada kasus patah
tulang, terutama patah tulang terbuka. Patah tulang femur dapat menyebabkan
kehilangan darah dalam paha 3 – 4 unit darah dan membuat syok kelas III.
Menghentikan pendarahan yang terbaik adalah menggunakan penekanan
langsung dan meninggikan lokasi atau ekstrimitas yang mengalami
pendarahan di atas level tubuh. Pemasangan bidai yang baik dapat
menurunkan pendarahan secara nyata dengan mengurangi gerakan dan
meningkatkan pengaruh tamponade otot sekitar patahan. Pada patah tulang
terbuka, penggunaan balut tekan steril umumnya dapat menghentikan
pendarahan. Penggantian cairan yang agresif merupakan hal penting
disamping usaha menghentikan pendarahan.
4. Disabillity
Pada Pengkajian DIssability dilakukan pengkajian neurologi, untuk
mengetahui kondisi umum pasien dengan cepat mengecek tingkat kesadaran
pasien dan reaksi pupil pasien
5. Exposure
Pada pengkajian exposure, Pasien harus dibuka keseluruhan
pakaiannya, seiring dengan cara menggunting, guna memeriksa dan evaluasi
pasien. setelah pakaian dibuka, penting bahwa pasien diselimuti agar pasien
tidak hipotermia. pemeriksaan tambahan pada pasien dengan trauma
muskuloskeletal seperti fraktur adalah imobilisasi patah tulang dan
pemeriksaan radiologi
b. Pengkajian Keperawatan Sekunder
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan,
untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien
sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan
proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Menurut (Ignatavicius &
Bayne, 1991) Tahap ini terbagi atas:
1. Pengumpulan data
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan
darah, nomor register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan.
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien
digunakan:
(1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang
menjadi faktor presipitasi nyeri.
(2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
(3) Region: radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa
sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
(4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa
jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.
(Ignatavicius & Bayne, 1991)
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan
terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut
sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh
mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya
kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain.
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s
yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk
menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt
beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes
menghambat proses penyembuhan tulang.
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan
kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik.
f) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya
dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat.
g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti
penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme
kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau
tidak.
(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C
dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang.
Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan
penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi
komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau
protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor
predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain
itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
(3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola
eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,
konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi.
Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya,
warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada
kesulitan atau tidak.
(4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak,
sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur
klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya
tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur
serta penggunaan obat tidur
(5) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu
banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah
bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada
beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur
dibanding pekerjaan yang lain.
(6) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keuarga dan dalam masyrakat.
Karena klien harus menjalani rawat inap
(7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan
akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image)
(8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian
distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul
gangguan. Begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami
gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur
(9) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan
keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu
juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak,
lama perkawinannya
(10) Pola Penanggulangan Stress Pada klien fraktur timbul rasa
cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul
kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang
ditempuh klien bisa tidak efektif
(11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan Untuk klien fraktur tidak dapat
melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama
frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri
dan keterbatasan gerak klien
c. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu
untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana
spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih
mendalam.
1. Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
a) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda,
seperti:
 Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien
 Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan
pada kasus fraktur biasanya akut
 Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
b) Secara sistematik dari kepala sampai kelamin
a. Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, nyeri tekan.
b. Kepala
Tidak ada gangguan, yaitu normo cephalik, simetris, tidak ada
benjolan, tidak ada nyeri kepala
c. Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
d. Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi
maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
e. Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak
terjadi perdarahan)
f. Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi
atau nyeri tekan.
g. Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
h. Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa
mulut tidak pucat.
i. Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
j. Paru
(1) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada
riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
(2) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fernitus raba sama.
(3) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(4) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan
lainnya seperti stridor dan ronchi
k. Jantung
(1) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung
(2) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba
(3) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tidak ada mur-mur
l. Abdomen
(1) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia
(2) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba
(3) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan
(4) Auskultasi
Peristaltik usus normal  20 kali/menit
m. Ingunital-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB
2. Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem muskoloskeletal
adalah:
a) Look (Inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(1) Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas
operasi).
(2) Cape au lait spot (birth mark).
(3) Fistulae.
(4) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(5) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak
biasa (abnormal).
(6) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(7) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
b) Feel (Palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaik mulai
dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan
pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa
maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(1) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit
(2) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema
terutama disekitar persendian
(3) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal, tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat
di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status
neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu
dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap
dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
c) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada
pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi
keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran
derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau
dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan
gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif
dan pasif. (Reksoprodjo, 1995)
d. Diagnosa Keperawatan
1. (D.0077) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
2. (D.0054) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan inetrgitas
struktur tulang
3. (D.0109) Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan
muskoloskeletal
4. (D.0142) Risiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif
5. (D.0067) Risiko disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan fraktur
e. Rencana Intervensi Keperawatan
Menurut (Tim Pokja SDKI, 2018; Tim Pokja SIKI, 2018)
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
(D.0077) Nyeri akut (L.08066) Tingkat Nyeri Manajemen Nyeri (I.08238)
Setelah dilakukan dilakukan 1. Observasi
tindakan keperawatan selama 3x24  Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
jam diharapkan tingkat nyeri kualitas, intensitas nyeri
menurun dengan kriteria hasil :  Identifikasi skala nyeri
1. Keluhan nyeri menurun  Identifikasi respon nyeri non verbal
2. Tampak meringis menurun 2. Terapeutik
3. Sikap protektif menurun  Berikan teknik non farmakologis untuk
4. Gelisah menurun mengurangi rasa nyeri
5. Kesulitan tidur menurun  Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
6. Frekuensi nadi membaik pemilihan strategi meredakan nyeri
7. Tekanan darah membaik 3. Edukasi
8. Pola napas membaik
 Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
 Jelaskan strategi meredakan nyeri
 Ajarkan teknik non farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
4. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian analgesic, jika perlu
(D.0054) Gangguan Mobilitas Fisik (L.05042) Mobilitas Fisik Dukungan mobilisasi (I.05173)
Setelah dilakukan asuhan Observasi
keperawatan selama 3 x 24 jam 1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
diharapkan mobilitas fisik 2. Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
(L.05042) meningkat, dengan Terapeutik
kriteria hasil: 1. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum
1. Pergerakan ekstremitas memulai mobilisasi Monitor kondisi umum selama
meningkat melakukan mobilisasi
2. Kekuatan otot meningkat 2. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu (mis.
3. Rentang gerak (ROM) pagar tempat tidur)
meningkat 3. Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu Libatkan
4. Nyeri menurun keluarga untuk membantu pasien dalam
5. Gerakan terbatas menurun meningkatkan pergerakan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi Anjurkan
melakukan mobilisasi dini
2. Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan
(mis. duduk di (empat tidur, duduk di sisi tempat
tidur, pindah dari tempat tidur ke kursi)
(D.0129) Ganguan Integritas Kulit/ Setelah dilakukan asuhan Perawatan luka (I.14564)
keperawatan selama 3 x 24 jam
Jaringan diharapkan Integritas Kulit dan Observasi
Jaringan (L.14125) 1. Monitor karakteristik luka (mis: drainase, warna,
membaik, dengan kriteria hasil: ukuran, bau)
 Kerusakan jaringan menurun 2. Monitor tanda –tanda inveksi
 Kerusakan lapisan kulit menurun Terapiutik
 Kemerahan menurun 1. Lepaskan balutan dan plester secara perlahan
2. Cukur rambut di sekitar daerah luka, jika perlu
3. Bersihkan dengan cairan nacl atau pembersih non
toksik,sesuai kebutuhan
4. Bersihkan jaringan nekrotik
5. Berika salep yang sesuai di kulit /lesi, jika perlu
6. Pasang balutan sesuai jenis luka
7. Pertahan kan teknik seteril saaat perawatan luka
8. Ganti balutan sesuai jumlah eksudat dan drainase
9. Jadwalkan perubahan posisi setiap dua jam atau
sesuai kondisi pasien
10. Berika diet dengan kalori 30-35 kkal/kgbb/hari dan
protein1,25-1,5 g/kgbb/hari
11. Berikan suplemen vitamin dan mineral (mis vitamin
a,vitamin c,zinc,asam amino),sesuai indikasi
12. Berikan terapi tens(stimulasi syaraf
transkutaneous), jika perlu
Edukasi
1. Jelaskan tandan dan gejala infeksi
2. Anjurkan mengonsumsi makan tinggi kalium dan
protein
3. Ajarkan prosedur perawatan luka secara mandiri
Kolaborasi
1. Kolaborasi prosedur debrid dement (mis: enzimatik
biologis mekanis, autolotik), jika perlu
2. Kolaborasi pemberian antibiotik, jika perlu
(D.0109) Defisit Perawatan Diri Setelah dilakukan asuhan Observasi
keperawatan selama 3 x 24 jam 1. Identifikasi kebiasaan aktivitas perawatan diri sesuai
diharapkan Perawatan Diri usia
(L.11103) meningkat, dengan 2. Monitor tingkat kemandirian
kriteria hasil: 3. Identifikasi kebutuhan alat bantu kebersihan diri,
 Kemampuan mandi meningkat berpakaian, berhias, dan makan
 Kemampuan mengenakan Terapeutik
pakaian meningkat 4. Sediakan lingkungan yang terapeutik (mis. Suasana
 Kemampuan makan meningkat hangat, rileks, privasi) Siapkan keperluan pribadi
 Kemampuan ke toilet (mis. Parfum, sikat gigi, dan sabun mandi)
(BAB/BAK) meningkat 5. Dampingi dalam melakukan perawatan diri sampai
 Verbalisasi keinginan
melakukan perawatan diri mandiri
meningkat 6. Fasilitasi untuk menerima keadaan ketergantungan
 Minat melakukan perawatan diri 7. Fasilitasi kemandirian, bantu jika tidak mampu
meningkat melakukan perawatan diri
 Mempertahankan kebersihan 8. Jadwalkan rutinitas perawatan diri Edukasi Anjurkan
diri meningkat melakukan perawatan diri secara konsisten
 Mempertahankan kebersihan sesuai kemampuan
mulut meningkat Edukasi
9. Anjurkan melakukan perawatan diri secara konsisten
sesuai kemampuan
(D.0142) Risiko Infeksi Setelah dilakukan asuhan Observasi
keperawatan selama 3 x 24 jam Terapeutik
diharapkan Tingkat Infeksi  Batasi jumlah pengunjung
(L.14137) menurun, dengan kriteria  Berikan perawatan kulit pada area edema
hasil  Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
 Demam menurun pasien dan lingkungan pasien
 Kemerahan menurun  Pertahankan teknik aseptik pada pasien berisiko
 Nyeri menurun tinggi
 Bengkak menurun Edukasi
 Jelaskan tanda dan gejala infeksi
 Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar Ajarkan
etika batuk
 Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka
operasi
 Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
 Anjurkan meningkatkan asupan cairan
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu
(D.0067) Risiko Disfungsi Neurovaskuler Setelah dilakukan asuhan Observasi
Perifer keperawatan selama 3 x 24 jam 1. Identifikasi penyebab perubahan sensasi
diharapkan Neurovaskuler Perifer 2. Identifikasi penggunaan alat pengikat, prostesis,
(L.06051) meningkat, dengan sepatu, dan pakaian Periksa perbedaan sensasi tajam
kriteria hasil atau tumpul
 Sirkulasi arteri meningkat 3. Periksa perbedaan sensasi panas atau dingin
 Sirkulasi vena meningkat 4. Periksa kemampuan mengidentifikasi lokasi dan

 Nyeri menurun tekstur benda

 Nadi membaik 5. Monitor terjadinya parestesia, jika perlu


6. Monitor perubahan kulit
 Suhu tubuh membaik
7. Monitor adanya tromboflebitis dan tromboemboli
 Warna kulit membaik
vena
Terapeutik
8. Hindari pemakaian benda-benda yang berlebihan
suhunya (terlalu panas atau dingin)
Edukasi
9. Anjurkan penggunaan termometer untuk menguji
suhu air
10. Anjurkan penggunaan sarung tangan termal saat
memasak
11. Anjurkan memakai sepatu lembut dan bertumit
rendah
Kolaborasi
12. Kolaborasi pemberian analgesik, jika perlu
13. Kolaborasi pemberian kortikosteroid, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

Apley, A. G., & Solomon, L. (1995). Buku ajar ortopedi dan fraktur sistem apley. Edisi
Ketujuh, Widya Medika, Jakarta.

Black, J. M. (1995). Luckman and Sorensen’s Medikal Nursing: A Nursing Process


Approach. WB Saunder Company.

Carpenito, L. J. (1999). Rencana asuhan dan dokumentasi keperawatan. Jakarta: EGC.

Henderson, M. A. (1997). Ilmu bedah untuk perawat. Yayasan Essentia Medica, Yogyakarta.

Ignatavicius, D. D., & Bayne, M. V. (1991). Medical-surgical nursing: A nursing process


approach. WB Saunders Company.

Jainurakhma, J., Hariyanto, S., Mataputun, D. R., Silalahi, L. E., Koerniawan, D., Rahayu, C.
E., Siagian, E., Umara, A. F., Madu, Y. G., & Rahmiwati, R. (2021). Asuhan
Keperawatan Gawat Darurat. Yayasan Kita Menulis.

Mansjoer, A., Triyanti, K., Savitri, R., Wardhani, W. I., & Setiowulan, W. (2000). Kapita
selekta kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius, 86–92.

Oswari, E. (1993). Bedah dan perawatannya. Gramedia, Jakarta.

Pearce, E. C. (2016). Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. PT Gramedia Pustaka Utama.

Reksoprodjo, S. (1995). Kumpulan kuliah ilmu bedah. Binarupa Aksara.

Tim Pokja SDKI. (2018). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator
Diagnostik (Edisi 1).

Tim Pokja SIKI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan (Edisi 1).

Anda mungkin juga menyukai