Anda di halaman 1dari 21

IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definsi VAP

VAP ialah infeksi nosokomial paru yang berkaitan dengan penggunaan

ventilator baik dengan ETT (Endo Tracheal Tube) maupun tracheostomi yang

muncul dalam 2 hari kalender setelah penggunaan ventilator, dengan anggapan hari

pertama pemakaian ventilator sebagai hari pertama. (Centers for Disease Control

and Prevention, January 2017) Infeksi ini ditandai dengan adanya infiltrat progresif

pada foto thorax, munculnya tanda dan gejala klinis dari infeksi sistemik (demam,

leukositosis atau leukopenia), perubahan karakteristik sputum, dan deteksi adanya

agen penyebab. (Kalanuria, et al., 2014)

Early onset VAP adalah pneumonia yang terjadi dalam 4 hari setelah

tindakan intubasi, dan pada umumnya berkaitan dengan kuman patogen yang

sensitif terhadap antibiotik. Late onset VAP adalah jenis VAP yang berkaitan

dengan bakteri MDR (multidrug resisten) dan muncul setelah hari ke-4 setelah

tindakan intubasi. VAP memiliki hubungan yang dekat dengan tindakan intubasi

dan perawatan lanjutan di ICU. (Centers for Disease Control and Prevention,

January 2017)

Surveilans infeksi terkait pelayanan kesehatan (Health Care Associated

Infections/HAIs) dan VAP merupakan HAIs yang tersering terjadi. Pada surveilans

VAP, ada sejumlah indikatoryang diamati antara lain: waktu dimulai penggunaan

ventilator, penerapan ventilators bundle (posisi pasien elevasi kepala 30o-45o,

penerapan oral hygiene, penilaian sedasi dan ekstubasi, penerapan cuci tangan

8
KARYA AKHIR ANALISA FAKTOR RESIKO.... TAUFIQ GEMAWAN, dr.
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
9

sebelum dan sesudah kontak pasien), adanya tanda infeksi (Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia, 2017).

Namun, pada tahun 2012 NHSN (National Healthcare Safety Network)

didapatkan hasil insidensi yang bervariasi antara 0,0-4,4 tiap 1000 hari pemakaian

ventilator. Hal ini disebabkan oleh kesulitan menentukan definisi yang tepat untuk

VAP, termasuk diantaranya definisi oleh NHSN PNEU. Definisi tersebut

memerlukan pemeriksaan radiologis yang tidak akurat mengidentifikasi VAP.

Adanya subyektifitas dan teknik interpretasi foto thoraks yang bermacam-macam

menjadikan laporan fotothoraks sebagai algoritme definisi menjadi tidak tepat.

Terutama saat digunakan dalam pelaporan publik, perbandingan antar fasilitas

kesehatan dan berbagai laporan program. Selain itu, adanya definisi VAP yang

tergantung pada tanda klinis atau gejala membuat dokumen medis menjadi tidak

konsisten. Perlunya data surveilans yang valid dan sesuai sangat diperlukan untuk

menilai efektifitas strategi pencegahannya (Center of Disease Control and

Prevention, 2019).

Pada 2011, CDC membentuk tim kerja yang melibatkan beberapa

organisasi profesi untuk mengatasi limitasi definisi NHSN PNEU dan mengajukan

pendekatan baru pada VAE (Ventilator Associated Event) untuk NHSN. Algoritma

definisi surveilans VAE ini mulai diterapkan dalam NHSN pada 2013. Kriteria ini

bersifat objektif, berurutan, dan otomatis yang mampu mengidentifikasi secara luas

kondisi dan komplikasi yang terjadi pada pasien dengan ventilasi mekanik. Banyak

modifikasi definisi VAE telah dibuat sehingga saat ini terdapat 3 tahap algoritme

VAE antara lain : 1) Ventilator-Associated Condition (VAC); 2) Infection-related

Ventilator-Associated Complication (IVAC); dan 3) Possible VAP (PVAP).

KARYA AKHIR ANALISA FAKTOR RESIKO.... TAUFIQ GEMAWAN, dr.


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
10

Sebagai catatan, Algoritme definisi VAE digunakan untuk surveilans dan tidak

diperuntukan algoritme definisi klinis maupun digunakan untuk manajemen pasien.

VAE diidentifikasi menggunakan kombinasi kriteri objektif, antara lain: penurunan

status respirasi setelah periode stabil atau perbaikan dalam penggunaan ventilator,

bukti inflamasi atau infeksi, dan bukti laboratoris adanya infeksi respirasi.

Algoritma ini dijelaskan pada gambar 2.1 (Center of Disease Control and

Prevention, 2019).

Pasien memiliki periode stabil atau perbaikan dalam ventilator, didefinisikan oleh ≥ 2 hari kalender stabil atau
penurunan kebutuhan FiO2 atau nilai PEEP. Periode basal adalah 2 hari kalender sebelum hari pertama peningkatan
harian PEEP atau FiO2.
*Minimum harian adalah nilai terendah FiO2 atau PEEP selama hari kalender yang terjaga selama 1 jam.

Setelah periode stabil atau oerbaikan dalam ventilator, pasien mengalami satu dari indicator perburukan oksigenasi
berikut:
1) Peningkatan FiO2 minimum harian ≥ 0.20 (20 poin) dari FiO2 minmum harian hari pertama periode stabil, bertahan
≥2 hari kalender.
2) Peningkatan PEEP minimum harian ≥ 3 cmH2O dari PEEP minimum harian hari pertama periode stabil, bertahan ≥2
hari kalender..

Ventilator-Associated Condition (VAC)

Pada atau setelah hari ke 3 kalender dalam ventilator dan dalam 2 hari kalender sebelumnya atau setelah onset
perburukan oksigenasi, pasien memnuhi kedua kriteria :
1) Temperatur > 38 oC atau <36oC, atau leukosit ≥12.000 sel/mm3 atau ≤ 4.000 sel/mm3 DAN
2) Agen mikrobiologis baru dimulai dan di lanjutkan untuk 4 hari

Infection-related Ventilator-Associated Condition (IVAC)

KARYA AKHIR ANALISA FAKTOR RESIKO.... TAUFIQ GEMAWAN, dr.


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
11

Pada atau setelah hari ke 3 ventilator dan dalam 2 hari sebelumnya atau setelah onset perburukan oksigenasi, salah atu
kriteria terpenuhi:
1) Kriteria 1: Kultur positif pada salah satu specimen secara kuantitatif atau semi-kuantitatif tanpa sputum purulent
a. Aspirat endotrakeal,≥10 5 CFU/ml atau semi-kuantitatif
b. BAL, ≥104 CFU/ml atau semi-kuantitatif
c. Jaringan paru, ≥ 104 CFU/g atau semi-kuantitatif
d. Protected specimen brush, ≥103CFU/ml atau semi kuantitatif
2) Kriteria 2: Sekret nafas purulent(didefinisikan sekresi dari paru-paru, bronkus, atau trakea yang mengandung
≥25 neutrofil dan ≤ 10 sel epitel skuamosa per lap. Pandang ) DITAMBAH organisme teridentifikasi dari salah
specimen berikut:
a. Sputum
b. Aspirat endotrakea
c. Bronchoalveolar lavage (BAL)
d. Jaringan paru-paru
e. Protected specimen brush
3) Kriteria 3: Salah satu tes berikut yang positif :
a. Organisme teridentifikasi dari cairan pleura
b. Histopatologi paru
c. Tes diagnostic spesies Legionella
d. Tes diagnostic sekresi repirasi terhadap virus influenza, virus synctical respirasi, adenovirus, virus
parainfluenza, rhinovirus, corona virus, human metapneumovirus.

Possible Ventiltor Associated Pneumonia (PVAP)

Gambar 2.1 Algoritma Surveilans Ventilator-Associated Events (VAE) (Center of


Disease Control and Prevention, 2019)

2.2 Surveilans VAP

Surveilans kesehatan adalah kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus

menerus terhadap data dan informasi tentang kejadian penyakit atau masalah

kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan

penyakit atau masalah kesehatan untuk memperoleh dan memberikan informasi

guna mengarahkan tindakan pengendalian dan penanggulangan secara efektif dan

efisien. Salah satu dari bagian surveilans kesehatan adalah surveilans infeksi terkait

pelayanan kesehatan (Health Care Associated Infections /HAIs) dan VAP

merupakan HAIs yang tersering terjadi. Surveilans adalah suatu proses yang

dinamis, sistematis, terus menerus dalam pengumpulan, identifikasi, analisis dan

KARYA AKHIR ANALISA FAKTOR RESIKO.... TAUFIQ GEMAWAN, dr.


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
12

interpretasi data kesehatan yang penting di fasilitas pelayanan kesehatan pada suatu

populasi spesifik dan didiseminasikan secara berkala kepada pihak-pihak yang

memerlukan untuk digunakan dalam perencanaan, penerapan, serta evaluasi suatu

tindakan yang berhubungan dengan kesehatan (Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia, 2017).

Pada surveilans VAP, ada sejumlah yang diamati dan dilakukan proses

dokumentasi secara teratur. Antara lain: waktu dimulai penggunaan ventilator,

penerapan ventilators bundle (posisi pasien elevasi kepala 30o-45o, penerapan oral

hygiene, penilaian sedasi dan ekstubasi, penerapan cuci tangan sebelum dan

sesudah kontak pasien), adanya tanda infeksi (Suhu > 38oC, dahak purulen, PF

ratio ≤240 mmHg) (Kharunissa, 2018).

Metode surveilans yang digunakan merupakan metode surveilans target, yaitu

berfokus pada ruangan atau pasien dengan risiko infeksi spesifik seperti ruang

perawatan intensif, ruang perawatan bayi baru lahir, ruang perawatan pasien

transplan, ruang perawatan pasien hemodialisa atau pasien dengan risiko terjadinya

komplikasi. Melalui metode tersebut incidence rate dihitung berdasarkan

numerator (jumlah kejadian infeksi dalam krun waktu tertentu) dan denominator

(jumlah hari pemasangan alat dalam kurun waktu tertentu atau jumlah pasien yang

dilakukan tindakan pembedahan dalam kurun waktu tertentu) sehingga mampu

dianalisa dengan cepat dan tepat untuk mendapatkan informasi apakah ada masalah

infeksi rumah sakit yang memerlukan penanggulangan atau investigasi lebih lanjut.

Penghitungan indikator insidensi VAP melalui formula Jumlah pasien yang

terinfeksi VAP (numerator) /Jumlah hari terpasang ventilator pada pasien tidak

KARYA AKHIR ANALISA FAKTOR RESIKO.... TAUFIQ GEMAWAN, dr.


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
13

mengalami pneumonia sebelumnya (denominator) x 1000. (Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia, 2017)

2.3 Patofisiologi VAP

Sebagian besar VAP berawal dari aspirasi organisme orofaring ke bronkus

distal maupun inhalasi kontaminan yang terdapat di sirkuit ventilator, diikuti

pembentukan biofilm oleh bakteri dan proliferasi serta invasi bakteri pada parenkim

paru. Pada keadaan normal, organisme di dalam rongga mulut dan orofaring

didominasi oleh Streptococcus viridans, Haemophilus species dan organisme

anaerob. Air liur yang mengandung immunoglobulin dan fibronectin menjaga

keseimbangan organisme rongga mulut. Namun pada pasien sakit kritis

keseimbangan tersebut berubah, organisme yang dominan di dalam rongga mulut

adalah basil gram negatif aerobik dan Staphylococcus aureus (Kalanuria, et al.,

2014; Lee, et al., 2013)

Bakteri patogen tersebut dapat masuk ke saluran pernafasan bawah

melalui:

1. Mikroaspirasi, yang dapat terjadi selama proses intubasi.

2. Perkembangan bakteri pada lapisan biofilm yang terdapat di dalam

lumen ETT ( bakteria gram negatif dan spesies jamur)

3. Genangan dan tetesan aspirat yang terdapat di sekitar cuff

4. Penurunan klirens dari mukosilier sehingga cairan mukus akan mengalir

mengikuti gaya gravitasi di dalam jalan nafas (Kalanuria, et al., 2014).

KARYA AKHIR ANALISA FAKTOR RESIKO.... TAUFIQ GEMAWAN, dr.


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
14

Faktor pejamu seperti penyakit dasar, jenis tindakan operasi sebelumnya,

dan paparan antibiotik memiliki pengaruh terhadap VAP. Pada pasien kritis yang

mengalami gangguan sistem kekebalan tubuh, fungsi fagosistosis akan mengalami

gangguan. Hal ini secara tidak langsung akan meningkatkan resiko terjadinya VAP

(Kalanuria, et al., 2014).

2.4 Etiologi VAP

Organisme penyebab VAP dipengaruhi oleh lama pemakaian penggunaan

ventilator mekanik. Early onset VAP umumnya disebabkan oleh kuman patogen

yang sensitif terhadap antibiotik, sedangkan Late onset VAP umumnya disebabkan

oleh kuman yang resisten terhadap antibiotik. Bakteri penyebab early onset VAP

antara lain: Streptococcus pneumoniae ( spesies streptococcus yang lainnya),

Hemophilus influenzae, Methicillin-Sensitive Staphylococcus aureus (MSSA),

Antibiotic-Sensitive Enteric Gram-negative Bacilli, Escherichia coli, Klebsiella

pneumoniae, Enterobacter sp, Proteus sp dan Serratia marcescens. Bakteri

penyebab Late onset VAP umumnya merupakan bakteri MDR ( Multidrug

Resistance) seperti, Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA),

Acinetobacter baumaniii, Pseudomonas aeruginosa, dan bakteri ESBL (Extended-

spectrum beta-lactamase) (Kalanuria, et al., 2014).

Sebuah studi multisenter yang dilakukan di 72 rumah sakit di 10 negara

Asia dengan 2554 sampel menunjukkan tiga bakteri terbanyak penyebab VAP

merupakan bakteri gram negatif antara lain Acinetobacter baumanii, Pseudomonas

aeruginosa, dan Klebsiella pneumonia (Chung, et al., 2011). Begitu pula penelitian

KARYA AKHIR ANALISA FAKTOR RESIKO.... TAUFIQ GEMAWAN, dr.


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
15

yang dilakukan di ICU RSAB Harapan Kita pada tahun 2012 mendapatkan tiga

bakteri terbanyak penyebab VAP juga berasal dari golongan bakteri gram negatif

yaitu Pseudomonas aeruginosa, Sternotrophomonas malyhophilia, Enterobacter

aerogenosa, dan Klebsiella pneumoniae (Widyaningsih, 2012).

Hingga saat ini belum disepakati adanya algoritme dan pemeriksaan gold

standart untuk mendiagnosis VAP. Clinical Pulmonary Infection Score ( CPIS)

banyak digunakan sebagai rujukan untuk menilai adanya VAP dengan angka

sensitifitas dan spesifisitas 65 % (95 % CI 61–69 %) dan 64 % (95 % CI 60–67 %).

CPIS ≥ 6 berkorelasi tinggi dengan kemungkinan diagnosis VAP (Kalanuria, et al.,

2014).

KARYA AKHIR ANALISA FAKTOR RESIKO.... TAUFIQ GEMAWAN, dr.


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
16

Tabel 2.2 Clinical Pulmonary Infection Score ( CPIS)

No Skor 0 1 2
1 Temperatur ≥36,5 & ≤ 38.4 ≥ 38,5 & ≤ ≥ 39 & ≤ 36,4
38,9
-
2 TLC (Total Lung ≥ 4 & ≤ 11 < 4 atau > 12
Capacity)

- Tidak purulen Purulen


3 Sekret trakhea

> 240 atau ARDS - ≤ 240 & tidak


4 Oksigenasi
ada ARDS
(PaO2/Fi02 mmHg)

5 Foto Thorax Tidak ada opasitas Opasitas difus Opasitas lokal

6 Peningkatan infiltrat Tidak ada Peningkatan


peningkatan infiltrat (tanpa
pada foto thorax
infiltrat gagal jantung
dan ARDS)
Kultur/ biakan dari
7 aspirat trakhea Didapatkan
Tidak ada pertumbuhan
pertumbuhan kuman dalam
kuman patogen/ jumlah besar
Didapatkan
pertumbuhan
kuman patogen
dalam jumlah
minimal
Dikutip dari Kalanuria, A. A., Zai, W. and Mirski, M. ‘Ventilator-associated
pneumonia in the ICU.’, Critical care (London, England), 18(2), 2014. pp. 208

American College of Chest Physicians mendiagnosis VAP melalui

gambaran infiltrat baru dan menetap pada foto thorax disertai salah satu tanda yaitu,

hasil biakan darah atau pleura sama dengan mikroorganisme yang ditemukan di

sputum maupun aspirasi trakea, adanya kavitasi pada foto thorax, gejala pneumonia

atau terdapat dua dari tiga gejala berikut yaitu demam, leukositosis dan sekret

purulen (Kalanuria, et al., 2014) (Widyaningsih, 2012).

KARYA AKHIR ANALISA FAKTOR RESIKO.... TAUFIQ GEMAWAN, dr.


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
17

Sampel kultur/ biakan trachea didapatkan dengan teknik Broko Alveolar

Lavage ( BAL ), mini-BAL atau PSB/ Protected Specimen Brushing dan

pengambiloan aspirat endotracheal. Penelitian yang dilakukan Canadian Clinical

Trials menunjukkan hasil klinis yang sama antara pengambilan sampel secara

invasif melalui BAL ( kultur kuantitaf ) serta pengambilan sampel noninvasif

melalui aspirat endotracheal ( kultur non kuantitatif). Metaanalisis dari Cochrane,

menunjukkan angka mortalitas yang tidak berbeda secara signifikan, baik antara

grup invasif ( BAL ) dan non invasif ( tracheal suction ) yaitu 26.6 % vs 24.7 %

(Kalanuria, et al., 2014).

2.5 Faktor Resiko VAP dan Pecegahannya

VAP terjadi pada pasien yang diberikan ventilasi mekanis baik melalui ETT

maupun trakeostomi. Pneumonia merupakan respon pejamu terhadap invasi

bakteri. Fisiologi normal sistem respirasi adalah membersihkan sekresi dari faring

dan laring baik melalui aksi mukosiliaris atau refleks batuk. Pasien dengan ventilasi

mekanis umumnya mengalami penurunan kesadaran sehingga tidak ada klirens

sekresi di orofaring. Mekanisme pertahanan juga tidak efektif pada pasien dengan

penurunan respons imun. Banyak faktor berperan dalam berkembangnya VAP.

Faktor yang berkaitan dengan respon pejamu terhadap ventilator disebut faktor

pejamu dan yang terkait dengan intervensi disebut faktor intervensi. (Charles &

Kali, 2014)

Pasien trauma dan pasien paska operasi meningkatkan resiko terjadinya VAP

jika dibandingkan dengan pasien dengan penyakit medis lainnya. Didapatkan

KARYA AKHIR ANALISA FAKTOR RESIKO.... TAUFIQ GEMAWAN, dr.


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
18

bahwa mortalitas keseluruhannya sebesar 19,8 persen pada grup ini. Demikian juga,

pada early VAP disebabkan H. Influenza secara bermakna sering didapat pada

pasien trauma, dibandingkan dengan pasien pasca operasi lainnya. Hal ini karena

pasien yang sehat merupakan carrier H. Influenza dan pada pasien sakit kritis

organisme ini digantikan oleh organisme yang resisten. Mikroba yang diisolasi dari

early dan late onset VAP menunjukkan persamaan diantara pasien trauma dan

medis (Charles & Kali, 2014).

Pada Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) terdapat peningkatan

resiko terjadinya VAP. Hal ini dipicu adanya potensi panjangnya masa penggunaan

ventilator, usia lanjut maupun peningkatakan kolonisasi. Ditemukan kejadian VAP

sebesar 55% pada pasien dengan ARDS dibandingkan sebesar 28% tanpa adanya

ARDS. Serta dilakukan uji diagnostik yang menunjukkan hasil kultur kualitatif

pada 37-60 % kasus. Diperoleh Staphylococcus dan basil gram- negatif adalah

bakteri yang paling sering terisolasi. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus

(MRSA) adalah patogen yang sering didapati pada pasien ARDS (Charles & Kali,

2014).

Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) merupakan faktor risiko

untuk terjadinya VAP. Ini mungkin karena usia lanjut pada pasien, tingginya

kolonisasi jalan napas bawah, Terhambatnya fungsi mukosiliar karena merokok,

ketidakmampuan untuk melakukan batuk yang efektif karena adanya obstruksi

aliran udara, dan efek supresi akibat kortikosteroid terhadap imunitas paru-paru.

Ketika pasien dengan COPD mengalami VAP, terjadi peningkatan risiko infeksi H.

influenzae, begitu juga spesies Pseudomonas, MRSA, dan Aspergillus (Charles &

Kali, 2014).

KARYA AKHIR ANALISA FAKTOR RESIKO.... TAUFIQ GEMAWAN, dr.


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
19

Rongga mulut manusia mengandung flora normal, yang dalam keadaan

tertentu dapat terbentuk koloni di saluran pernapasan bagian atas .Penempatan Pipa

endotrakeal dapat menyebabkan trauma dan peradangan lokal. Hal ini

menyebabkan kolonisasi saluran pernapasan bagian atas dan aspirasi patogen di

sekitar cuff. Cuff dengan volume besar dan tekananan rendah mengurangi kolonisasi

hingga 20 persen dibandingkan dengan pengurangan 56 persen pada cuff volume

rendah dan tekanan tinggi. Mencegah aspirasi dari sekresi orofaringeal melalui

pengisapan kontinu atau intermiten (Charles & Kali, 2014).

Pasien dengan ventilator mendapat nutrisi melalui pipa nasogastrik.

Pemberian makanan enteral meningkatkan sekresi lambung dan pH, yang memicu

basil gram negatif untuk berkolonisasi di lambung. Hal ini dapat menybabkan

aspirasi isi lambung dan terjadi pneumonia. Untuk menghindari kondisi ini,

percobaan dilakukan dengan membandingkan pemberian makanan enteral

intermiten (IEF) dan pemberian makanan enteral kontinu (CEF). Sebuah studi

kontrol acak dilakukan pada 60 pasien dengan CEF dan IEF. Ini menunjukkan

bahwa meskipun kelompok IEF menunjukkan penurunan pH lambung, sekitar 80

persen pasien terbentuk kolonisasi pada kedua kelompok. Metode lain untuk

memberi nutrisi pada pasien sakit kritis adalah nutrisi parenteral, tetapi sebagian

besar dokter lebih memilih nutrisi enteral daripada nutrisi parenteral. Karena nutrisi

parenteral dikaitkan dengan infeksi jalur pembuluh darah, biaya yang mahal dan

juga tidak seefektif nutrisi melalui formulasi enteral (Charles & Kali, 2014).

KARYA AKHIR ANALISA FAKTOR RESIKO.... TAUFIQ GEMAWAN, dr.


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
20

VAP didefinisikan pneumonia yang terjadi 48 jam paska ventilasi mekanik.

Definisi ini membantu membedakan VAP yang didapat di rumah sakit dari infeksi

yang didapat komunitas yang sedang terinkubasi pada saat intubasi tetapi tidak

secara klinis terbukti sampai satu atau dua hari kemudian, sehingga waktu

pemakaian ventilator merupaka faktor resiko penting untuk terjadinya VAP.

Serangkaian kasus dengan VAP onset dini yang terjadi dalam 48 jam pertama

intubasi. Sebagian besar kelompok pasien dengan onset dini telah dirawat di rumah

sakit selama beberapa waktu sebelum intubasi, atau diintubasi ulang karena upaya

penyapihan yang gagal . Ini menjelaskan paparan substansial ke lingkungan

perawatan kritis sebelum intubasi. Lama pemakaian ventilasi mekanis dikaitkan

dengan beberapa patogen yang kebal obat. Faktor risiko berkembangnya

pseudomonas dan MRSA dikaitkan dengan lama pemakaian ventilasi. Dilaporkan

bahwa infeksi ini terjadi 40 persen pada VAP onset dini dan 60 persen VAP onset

lambat. Lama pemakaian ventilasi yang lebih lama juga dikaitkan dengan

pembentukan biofilm yang menyebabkan peningkatan kolonisasi bakteri.

Berdasarkan International Nosocomial Infection Control Consortium (INICC),

tingkat VAP sebesar 13,6 per 1000 hari ventilator. Insidensi bervariasi berdasarkan

grup pasien dan jenis rumah sakit. Rerata lama pemakaian terjadinya VAP antara

5-7 hari. (Charles & Kali, 2014).

Penggantian sirkuit ventilator yang sering dapat menyebabkan VAP. Di masa

lalu, sirkuit ventilator tidak sekali pakai. Pasien sakit kritis pada ventilator untuk

periode waktu yang lama ditempatkan pada sirkuit ventilator yang sama, sehingga

menimbulkan VAP.Pada sekitar 30 persen kasus dengan perubahan sirkuit tiap 24

jam menunjukkan pertumbuhan positif kultur dibandingkan pada 32 persen kasus

KARYA AKHIR ANALISA FAKTOR RESIKO.... TAUFIQ GEMAWAN, dr.


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
21

dengan perubahan sirkuit setiap 48 jam. Penelitian dilakukan dengan

memperpanjang interval perubahan sirkuit ventilator setelah dua hari.

Dibandingkan perubahan sirkuit tiap 48 jam dengan perubahan sirkuit 30 hari, dan

menunjukkan hasil penggunaan sirkuit yang lebih lama terkait dengan tingkat VAP

yang lebih rendah. Penggunaan sirkuit ventilator tunggal masih kontroversial.

Namun lama pemakaian waktu maksimum agar suatu sirkuit dapat digunakan

dengan aman masih belum diketahui.

Selain itu, tipe sirkuit dengan menggunakan humidifier yang bertujuan

melembabkan jalan nafas untuk mencegah obstruksi dapat menyebabkan

kondensasi air dan berpotensi menjadi media kolonisasi. Direkomendasikan

penggunaan HME (Heat and Moisture Exchange) yang bertujuan mengurangi

kondensasi namun perlu perhatian tentang oklusi jalan nafas dan peningkatan dead

space (Charles & Kali, 2014).

Pemberian makan enteral dengan pipa nasogastrik memiliki pengaruh

langsung terhadap gastroesophageal reflux (GER). Banyak penelitian telah

membandingkan pemberian makanan enteral dan keuntungannya. Uji coba

terkontrol secara acak terhadap kejadian VAP dan keberhasilan pemberian nutrisi

melalui lambung dibandingkan melalui usus halus. Ditemukan bahwa tidak ada

perbedaan yang signifikan dalam pengembangan VAP antara kedua kelompok

penelitian. Selain itu, penelitian dilakukan pada tingkat VAP pada pasien stroke

atau cedera kepala yang menerima gastrostomi dini. Ditemukan bahwa pasien

dengan tabung nasogastrik terjadi VAP lebih sering dibandingkan dengan pasien

yang mengalami gastrostomi (Charles & Kali, 2014).

KARYA AKHIR ANALISA FAKTOR RESIKO.... TAUFIQ GEMAWAN, dr.


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
22

Reintubasi yang sering merupakan faktor risiko untuk VAP. Penyebab utama

pneumonia yang berhubungan dengan reintubasi yang sering adalah aspirasi isi

lambung terutama pada pasien dengan pipa nasogastrik dan dilakukan penyedotan

isi lambungnya selama reintubasi. Disfungsi subglotis dan tingkat kesadaran yang

rendah pada pasien dengan ventilator merupakan risiko lain yang terkait dengan

reintubasi (Charles & Kali, 2014).

Agen paralitik atau sedasi meningkatkan resiko pneumonia. Agen paralitik

sering digunakan dalam prosedur terapeutik. Pada pasien yang menjalani

bronkoskopi, midazolam digunakan untuk melemaskan otot-otot bronkial. Hal ini

dapat mengakibatkan relaksasi otot-otot yang berkepanjangan dan menyebabkan

aspirasi sekresi. Demikian pula, pasien yang menggunakan obat sedasi berikos

terjadi aspirasi sekresi dan terjadi pneumonia.Didapatkan bahwa faktor risiko

independen untuk early VAP pasca intubasi adalah pemberian resusitasi

kardiopulmoner dan sedasi kontinyu (Charles & Kali, 2014).

VAP menunjukkan peningkatan secara signifikan diantara pasien yang

mendapatkan profilaksis ulkus stres. Terdapat hubungan langsung antara pH

lambung menjadi alkalis dan kolonisasi bakteri lambung dalam beberapa penelitian.

Sukralfat hanya memiliki efek perlindungan yang kecil terhadap VAP karena

adanya obat-obatan profilaksis ulkus stres yang lain turut meningkatkan pH

lambung sehingga meningkatkan kejadian pneumonia. Hal in dibuktikan

penggunaan H2 blocker menunjukkan peningkatan VAP (Charles & Kali, 2014).

Selain faktor resiko pejamu maupun intervensi yang diberikan , terdapat

peran lingkungan sebagai faktor resiko terjadinya VAP. Antara lain: jenis negara

KARYA AKHIR ANALISA FAKTOR RESIKO.... TAUFIQ GEMAWAN, dr.


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
23

berdasarkan status perkembangannya, jenis rumah sakit perawatan, jenis unit

patogen, musim yang dihadapi. Adapun jenis perkembangan sebuah negara maupun

jenis rumah sakit yang merawat berkaitan dengan kemampuan dalam diagnosa,

skrining, dan tatalaksana pencegahan aupun terapi VAP sehingga mempengaruhi

insidensinya. Sedangkan jenis patogen dan musim yang dialami mampu

mempengaruhi insidensi melalui paparan kuman terhadap pasien (Gutierrez, et al.,

2019).

Tabel 2.3 Faktor Resiko Ventilator-associated Pneumonia

Faktor Pejamu Faktor intervensi


 Trauma  Lama pemakaian ventilasi mekanik
 Pasien luka bakar dan  Penggantian sirkuit ventilator yang sering
paska operasi  Tipe sirkuit
 ARDS  NGT
 COPD  Reintubasi
 Kolonisasi saluran napas  Pemberian sedasi atau agent paralitik
atas  H2- bloker
 Feeding enteral

VAP dapat dicegah dan banyak langkah telah ditunjukkan untuk

menurunkan insidensi VAP dan komplikasi yang ditimbulkannya. Ventilator

bundle merupakan terdiri dari 4 praktek yang berdasarkan bukti untuk memperbaiki

keluaran pasien dengan ventilasi mekanis. Komponennya antara lain (Wip, 2009):

1. Elevasi kepala hingga 30o – 45o

2. Spontaneous Awakening Trials dan Spontaneous Breathing Trials

KARYA AKHIR ANALISA FAKTOR RESIKO.... TAUFIQ GEMAWAN, dr.


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
24

3. Profilaksis ulkus peptikum

4. Profilaksis Deep Venous Thrombosis (DVT)

Posisi semirecumbent (elevasi kepala 30o-45o) yang diperoleh dengan

melakukan elevasi bagian kepala dari tempat tidur merupakan bagian integral dari

VAP bundle. Cara ini diyakin dapat menurunkan insidensi VAP dengan mengurangi

refluks gastresofagus dan aspirasi baik dari sekresi saluran cerna, orofaring maupun

nasofaring. Aspirasi sekrest orofaring atau saluran cerna yang terkolonisasi atau

bahkan terinfeksi merupakan penyebab potensial dari VAP. (Wip, 2009)

SAT atau libur sedasi merupakan komponen integral dari VAP bundle dan

memiliki implikasi penting bagi percepatan ektubasi sehingga mencegah terjadinya

VAP. Selain itu penerapan SBT juga memiliki peran yang penting. Beberapa bukti

diperoleh bahwa penerapan SBT yang sesuai dengan kriteria keamanan

memberikan hasil yang efektif dalam ekstubasi pasien sakit kritis. (Wip, 2009)

Gagal nafas dan ventilasi mekanis sering menyebabkan pasien cemas dan

nyeri, sehingga klinisi sering menggunakan sedasi dan analgesi untuk

mengatasinya. Namun hal ini berkaitan beberapa efek samping, antara lain sedasi

yang berlebihan, delirium, masa ventilasi mekanik yang memanjang. Perpaduan

protokol lepas sedasi dan ventilasi mekanik yang terdiri dari SAT dan SBT setiap

harinya terbukti mengurangi masa penggunaan ventilator (Gambar 2.2) (Girard, et

al., 2018).

KARYA AKHIR ANALISA FAKTOR RESIKO.... TAUFIQ GEMAWAN, dr.


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
25

Gambar 2.2 Protokol SAT dan SBT (Girard, et al., 2018)

Walaupun pemberin profilaksis ulkus peptikum tidak spesifik untuk VAP

namun hal ini berperan dalam pencegahan gangguan mukosa akibat stress antara

lain pasien dengan ventilasi mekanik. Pasien dengan ventilasi mekanik yang

tersedasi meningkatkan resiko DVT, sehingga pencegahannya memiliki peran

untuk menurunan komplikasi akibat ventilasi mekanik. (Wip, 2009)

KARYA AKHIR ANALISA FAKTOR RESIKO.... TAUFIQ GEMAWAN, dr.


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
26

Menurut Kementrian Kesehatan, bundle diatas turut juga dilengkapi antara

lain (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2017):

1. Membersikan tangan setiap akan melakukan kegiatan terhadap pasien

yaitu dengan menggunakan lima momen kebersihan tangan.

2. Posisikan tempat tidur antara 30o-45o bila tidak ada kontra indikasi

misalnya trauma kepala ataupun cedera tulang belakang.

3. Menjaga kebersihan mulut atau oral hygiene setiap 2-4 jam dengan

menggunakan bahan dasar anti septik clorhexidine 0,02% dan dilakukan

gosok gigi setiap 12 jam untuk mencegah timbulnya flaque pada gigi

karena flaque merupakan media tumbuh kembang bakteri patogen yang

pada akhirnya akan masuk ke dalam paru pasien.

4. Manajemen sekresi oroparingeal dan trakeal yaitu:

a. Suctioning bila dibutuhkan saja dengan memperhatikan teknik

aseptik bila harus melakukan tindakan tersebut.

b. Petugas yang melakukan suctioning pada pasien yang terpasang

ventilator menggunakan alat pelindung diri (APD).

c. Gunakan kateter suctioning sekali pakai.

d. Tidak sering membuka selang/tubing ventilator

e. Perhatikan kelembapan pada humidifier ventilator

f. Tubing ventilator diganti bila kotor.

5. Melakukan pengkajian setiap hari “sedasi dan ekstubasi”

6. Peptic ulcer disease Prophylaxis diberikan pada pasien-pasien dengan

risiko tinggi.

7. Berikan Deep Vein Trombosis (DVT) prophylaxis.

KARYA AKHIR ANALISA FAKTOR RESIKO.... TAUFIQ GEMAWAN, dr.


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB 3. KERANGKA KONSEP


3.1 Kerangka Konsep

Kerangka konsep dalam penelitian ini dijelaskan dalam Gambar 3.1

Faktor Pejamu Pasien Terintubasi Faktor Intervensi

Usia Refluks Posisi


Apirasi datar

COPD
Ventilasi Mekanik Durasi ventilasi
mekanik
Batuk
Inadekuat
Reintubasi
ARDS
Sedasi dan
Gangguan Mukosilier
Agen Relaksasi
Prolonged
ventilator

Profilaksis
Enteral Ulkus peptikum
Feeding

Sirkuit
Peningkatan
Akumulasi Kolonisasi humidifier
sekresi lambung Bakteri Orofaring
dan pH
Kondensasi air

Pembentukan biofilm
: yang mempengaruhi
hingga jalan nafas distal : yang menghambat
: yang diteliti

Kepatuhan
Ventilator Bundle

Ventilator Associated
Pneumonia

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

27

KARYA AKHIR ANALISA FAKTOR RESIKO.... TAUFIQ GEMAWAN, dr.


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
28

VAP ialah infeksi nosokomial paru yang berkaitan dengan penggunaan

ventilator baik dengan ETT (Endo Tracheal Tube) maupun tracheostomi yang

muncul dalam 2 hari kalender setelah penggunaan ventilator, dengan anggapan hari

pertama pemakaian ventilator sebagai hari pertama. (Centers for Disease Control

and Prevention, January 2017). Infeksi ini ditandai dengan adanya infiltrat progresif

pada foto thorax, munculnya tanda dan gejala klinis dari infeksi sistemik (demam,

leukositosis atau leukopenia), perubahan karakteristik sputum, dan deteksi adanya

agen penyebab. (Kalanuria, et al., 2014).

Sebagian besar VAP berawal dari aspirasi organisme orofaring ke bronkus

distal maupun inhalasi kontaminan yang terdapat di sirkuit ventilator, diikuti

pembentukan biofilm oleh bakteri dan proliferasi serta invasi bakteri pada parenkim

paru (Kalanuria, et al., 2014).

Banyak faktor berperan dalam berkembangnya VAP. Faktor yang berkaitan

dengan respon pejamu terhadap ventilator disebut faktor pejamu dan yang terkait

dengan intervensi disebut faktor intervensi (Charles & Kali, 2014).

VAP dapat dicegah dan banyak langkah telah ditunjukkan untuk

menurunkan insidensi VAP dan komplikasi yang ditimbulkannya. Ventilator

bundle merupakan terdiri dari 4 praktek yang berdasarkan bukti untuk memperbaiki

keluaran pasien dengan ventilasi mekanis. Komponennya antara lain (Wip, 2009):

1. Elevasi kepala hingga 30o – 45o

2. Spontaneous Awakening Trials dan Spontaneous Breathing Trials

3. Profilaksis ulkus peptikum

4. Profilaksis Deep Venous Thrombosis (DVT)

KARYA AKHIR ANALISA FAKTOR RESIKO.... TAUFIQ GEMAWAN, dr.

Anda mungkin juga menyukai