Anda di halaman 1dari 24

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY. S DI KELUARGA TN.

S DENGAN KASUS
DIABETES MELLITUS DI DESA TEMPUREJO
WILAYAH KERJA PUSKESMAS MEDANG KABUPATEN BLORA

Disusun Oleh :

Nama : Delia Wahyu Ramadhani

Tingkat : 3B

NIM : P1337420420110

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN BLORA PROGRAM DIPLOMA TIGA

JURUSAN KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG

2023
BAB I

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Dasar Diabetes Melitus

1. Definisi Diabetes Mellitus

Diabetes Mellitus ( DM ) adalah penyakit metabolik yang kebanyakan


herediter, dengan tanda – tanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai dengan atau
tidak adanya gejala klinik akut ataupun kronik, sebagai akibat dari kuranganya
insulin efektif di dalam tubuh, gangguan primer terletak pada metabolisme
karbohidrat yang biasanya disertai juga gangguan metabolisme lemak dan protein
(Suparyanto & Rosad, 2020).

Penyakit DM merupakan penyakit metabolisme yang disebabkan karena


resistensi insulin dan disfungsi sel beta pankreas. Penyakit DM disebabkan oleh
perubahan gaya hidup masyarakat serta kurangnya kesadaran untuk melakukan
deteksi dini penyakit DM, kurangnya aktivitas fisik, dan pengaturan pola makan
yang salah. Pola hidup yang dominan menjadi pencetus DM ialah pola makan dan
aktivitas fisik Perubahan gaya hidup seperti kebiasaan mengonsumsi makanan
tidak sehat dan aktivitas fisik yang kurang memiliki risiko tinggi mengalami
Diabetes Melitus Type 2 (Utami, 2020)

2. Etiologi
a. Diabetes Tipe I
Diabetes tipe I ditandai oleh penghancuran sel-sel beta pankreas. Kombinasi
faktor genetik, imunologi dan mungkin pula lingkungan (misalnya, infeksi
virus) diperkirakan turut menimbulkan destruksi sel beta.
1) Faktor-faktor Genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri, tetapi
mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan kearah terjadinya diabetes
tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki
tipe antigen HLA (human leucocyte antigen) tertentu. HLA merupakan
kumpulan gen yang bertanggungjawab atasa antigen transplantasi dan
proses imun lainnya.
2) Faktor-faktor Imunologi
Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya respons otoimun. Respon ini
merupakan respon abnormal dimana antibody terarah ke jaringan normal
dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-
oleh jaringan asing.
3) Faktor-fakor Lingkungan
Penyelidikan juga sedang dilakukan terhadap kemungkinan faktor-faktor
eksternal yang dapat memicu dekstruksi sel beta. Sebagai contoh, hasil
penyelidikan yang menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu dapat
memicu proses otoimun yang menimbulkan destruksi sel beta
b. Diabetes Tipe II
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik
diperkirakan memeang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.
Selain itu, terdapat pula faktor-faktor risiko tertentu yang berhubungan dengan
proses terjadinya diabetes tipe II.
Faktor-faktor ini adalah :
- Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia diatas 65 tahun)
- Obesitas
- Riwayat Keluarga
- Kelompok etnik
3. Tanda dan Gejala
Menurut (Utami, 2020), Diabetes Melitus awalnya diperkirakan dengan adanya
gejala yaitu :
a. Poliuri (sering kencing dalam jumlah banyak)
b. Polidipsi (banyak minum)
c. Polifagi (banyak makan)
d. Lemas
e. Berat Badan Menurun
f. Kesemutan
g. Mata Kabur
h. Impotensi pada pria
i. Pruritas pada Wanita
4. Patofisiologi

Diabetes tipe I. Pada diabetes tipe satu terdapat ketidakmampuan untuk


menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses
autoimun. Hiperglikemi puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak terukur
oleh hati. Di samping itu glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan
dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia
prosprandial (sesudah makan). Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi
maka ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar,
akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin (glikosuria). Ketika glukosa yang
berlebihan di eksresikan ke dalam urin, eksresi ini akan disertai pengeluaran
cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik.
Sebagai akibat dari kehilangan cairan berlebihan, pasien akan mengalami
peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia). (Smeltzer &
Bare, 2018)

Difisiensi insulin juga akan menganggu metabolisme protein dan lemak yang
menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera
makan (polifagia), akibat menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup
kelelahan dan kelemahan. Dalam keadaan normal insulin mengendalikan
glikogenolisis (pemecahan glikosa yang disimpan) dan glukoneogenesis
(pembentukan glukosa baru dari asam-asam amino dan substansi lain). Namun
pada penderita defisiensi insulin, proses ini kan terjadi tanpa hambatan dan lebih
lanjut akan turut menimbilkan hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi
pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang
merupakan produk samping pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam
yang menganggu keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan.
Ketoasidosis yang disebabkannya dapat menyebabkan tandatanda dan gejala
seperti nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, nafas berbau aseton dan bila
tidak ditangani akan menimbulkan perunahan kesadaran, koma bahkan kematian.
Pemberian insulin bersama cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan akan
memperbaiki dengan cepat kelainan metabolik tersebut dan mengatasi gejala
hiperglikemi serta ketoasidosis. Diet dan latihan disertai pemantauan kadar gula
darah yang sering merupakan komponen terapi yang penting (Smeltzer & Bare,
2018).
DM tipe 2 merupakan suatu kelainan metabolik dengan karakteristik utama adalah
terjadinya hiperglikemik kronik. Meskipun pola pewarisannya belum jelas, faktor
genetik dikatakan memiliki peranan yang sangat penting dalam munculnya DM
tipe 2. Faktor genetik ini akan berinteraksi dengan faktor-faktor lingkungan
seperti gaya hidup, obesitas, rendahnya aktivitas fisik, diet, dan tingginya kadar
asam lemak bebas (Smeltzer & Bare, 2018).

Mekanisme terjadinya DM tipe 2 umumnya disebabkan karena resistensi insulin


dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor
khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor
tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa didalam sel.
Resistensi insulin pada DM tipe 2 disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini.
Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan
glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah
terbentuknya glukosa dalam darah, harus terjadi peningkatan jumlah insulin yang
disekresikan (Smeltzer & Bare, 2018).

Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi
insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang
normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel β tidak mampu
mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan
meningkat dan terjadi DM tipe 2. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang
merupakan ciri khas DM tipe 2, namun masih terdapat insulin dengan jumlah
yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang
menyertainya. Karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada DM tipe 2.
Meskipun demikian, DM tipe 2 yang tidak terkontrol akan menimbulkan masalah
akut lainnya seperti sindrom Hiperglikemik Hiperosmolar Non-Ketotik (HHNK)
(Smeltzer & Bare, 2018).

Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat (selama bertahuntahun) dan


progresif, maka awitan DM tipe 2 dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya
dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan, seperti: kelelahan,
iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang lama-lama sembuh, infeksi
vagina atau pandangan kabur (jika kadar glukosanya sangat tinggi). Salah satu
konsekuensi tidak terdeteksinya penyakit DM selama bertahun-tahun adalah
terjadinya komplikasi DM jangka panjang (misalnya, kelainan mata, neuropati
perifer, kelainan vaskuler perifer) mungkin sudah terjadi sebelum diagnosis
ditegakkan (Smeltzer & Bare, 2018).

Gambar 1.1 Pathway Diabetes Mellitus

5. Prosedur Diagnostik
Menurut Smelzer dan Bare (2018), adapun pemeriksaan penunjang untuk
penderita diabetes melitus antara lain :
a. Pemeriksaan Vaskuler, pemeriksaan Radiologi yang meliputi : gas subkutan,
adanya benda asing, osteomelietus.
b. Pemeriksaan Laboratorium, pemeriksaan darah yang meliputi : GDS (Gula
Darah Sewaktu), GDP(GulaDarah Puasa)
c. Pemeriksaan urine, dimana urine diperiksa ada atau tidaknya kandungan
glukosa pada urine tersebut. Biasanya pemeriksaan dilakukan menggunakan
cara Benedict (reduksi). Setelah pemeriksaan selesai hasil dapat dilihat dari
perubahan warna yang ada : hijau (+), kuning (++), merah (+++), dan merah
bata (++++).
d. Pemeriksaan kultur pus bertujuan untuk mengetahui jenis kuman yang
terdapat pada luka dan untuk observasi dilakukan rencana tindakan
selanjutnya.
e. Pemeriksaan Jantung meliputi EKG sebelum dilakukan tindakan pembedahan
6. Penatalaksanaan
a. Diit dan Pola Makan
Diabetes Mellitus jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan berbagai
penyakit dan diperlukan kerjasama semua pihak ditingkat pelayanan kesehatan.
Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan berbagai usaha dan akan diuraikan
sebagai berikut Perencanaan Makanan. Standar yang dianjurkan adalah makanan
dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak yang
sesuai dengan kecukupan gizi baik yaitu :
a. Karbohidrat sebanyak 60 – 70 %
b. Protein sebanyak 10 – 15 %
c. Lemak sebanyak 20 – 25 %

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut dan
kegiatan jasmani. Untuk kepentingan klinik praktis, penentuan jumlah kalori
dipakai rumus Broca yaitu :

Barat Badan Ideal = (TB-100)-10%, sehingga didapatkan =

a. Berat badan kurang = < 90% dari BB Idea


b. Berat badan normal = 90-110% dari BB Ideal
c. Berat badan lebih = 110-120% dari BB Ideal
d. Gemuk = > 120% dari BB Ideal.

Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari BB Ideal dikali kelebihan kalori basal
yaitu untuk laki-laki 30 kkal/kg BB, dan wanita 25 kkal/kg BB, kemudian
ditambah untuk kebutuhan kalori aktivitas (10-30% untuk pekerja berat). Koreksi
status gizi (gemuk dikurangi, kurus ditambah) dan kalori untuk menghadapi xii
stress akut sesuai dengan kebutuhan. Makanan sejumlah kalori terhitung dengan
komposisi tersebut diatas dibagi dalam beberapa porsi yaitu :

a. Makanan pagi sebanyak 20%


b. Makanan siang sebanyak 30% 3
c. Makanan sore sebanyak 25%
d. 2-3 porsi makanan ringan sebanyak 10-15 % diantaranya.
b. Latihan Jasmani
Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang
lebih 30 menit yang disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penyakit
penyerta. Sebagai contoh olah raga ringan adalah berjalan kaki biasa selama
30 menit, olahraga sedang berjalan cepat selama 20 menit dan olah raga berat
jogging.
c. Obat Hipoglikemik
1) Sulfonilurea. Obat golongan sulfonylurea bekerja dengan cara
2) Menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan.
3) Menurunkan ambang sekresi insulin.
4) Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa.

Obat golongan ini biasanya diberikan pada pasien dengan BB normal dan
masih bisa dipakai pada pasien yang beratnya sedikit lebih.

d. Insulin
Indikasi pengobatan dengan insulin adalah :
1) Semua penderita DM dari setiap umur (baik IDDM maupun NIDDM)
dalam keadaan ketoasidosis atau pernah masuk kedalam ketoasidosis.
2) DM dengan kehamilan/ DM gestasional yang tidak terkendali dengan diet
(perencanaan makanan).
3) DM yang tidak berhasil dikelola dengan obat hipoglikemik oral dosif
maksimal. Dosis insulin oral atau suntikan dimulai dengan dosis rendah
dan dinaikkan perlahan – lahan sesuai dengan hasil glukosa darah pasien.
Bila sulfonylurea atau metformin telah diterima sampai dosis maksimal
tetapi tidak tercapai sasaran glukosa darah maka dianjurkan penggunaan
kombinasi sulfonylurea dan insulin.

Dosis pemberian insulin pada pasien dengan DM :

Jenis obat :

a) Kerja cepat ( rapid acting) retensi insulin 5-15 menit puncak efek 1-2 jam,
lama kerja 4-6 jam. Contoh obat: insuli lispro ( humalo), insulin aspart
b) Kerja pendek ( sort acting) awitan 30-60 menit, puncak efek 2-4 jam, lama
kerja 6-8 jam.
c) Kerja menengah( intermediate acting) awitan 1,5-4 jam , puncak efek 4-
10 jam, lama kerja 8-12 jam),awitan 1-3 jam, efek puncak hampir tanpa
efek, lama kerja 11-24 jam. Contoh obat: lantus dan levemir
e. Penyuluhan atau Edukasi
Untuk merancanakan pengelolaan sangat penting untuk mendapatkan hasil
yang maksimal. Edukator bagi pasien diabetes yaitu pendidikan dan pelatihan
mengenai pengetahuan dan keterampilan yang bertujuan menunjang
perubahan perilaku untuk meningkatkan pemahaman pasien akan penyakitnya,
yang diperlukan untuk mencapai keadaan sehat yang optimal. Penyesuaian
keadaan psikologik kualifas hidup yang lebih baik. Edukasi merupakan bagian
integral dari asuhan keperawatan diabetes.
7. Komplikasi
Kadar glukosa darah yang tidak terkontrol pada pasien DM tipe 2 akan
menyebabkan berbagai komplikasi. Komplikasi DM tipe 2 terbagi dua
berdasarkan lama terjadinya yaitu: komplikasi akut dan komplikasi kronik
(Suparyanto & Rosad, 2020).
a. Komplikasi akut
1) Ketoasidosis diabetik (KAD)
KAD merupakan komplikasi akut DM yang ditandai dengan peningkatan
kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL), disertai dengan adanya
tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma
meningkat (300-320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan anion gap
(PERKENI, 2015).
2) Hiperosmolar non ketotik (HNK)
Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-
1200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat
meningkat (330-380 mOs/mL), plasma keton (+/-), anion gap normal atau
sedikit meningkat (Suparyanto & Rosad, 2020).
3) Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah mg/dL.
Pasien DM yang tidak sadarkan diri harus dipikirkan mengalami keadaan
hipoglikemia. Gejala hipoglikemia terdiri dari berdebar-debar, banyak
keringat, gementar, rasa lapar, pusing, gelisah, dan kesadaran menurun
sampai koma (Suparyanto & Rosad, 2020).
b. Komplikasi kronik Komplikasi jangka panjang menjadi lebih umum terjadi
pada pasien DM saat ini sejalan dengan penderita DM yang bertahan hidup
lebih lama. Penyakit DM yang tidak terkontrol dalam waktu yang lama akan
menyebabkan terjadinya komplikasi kronik. Kategori umum komplikasi
jangka panjang terdiri dari :
1) Komplikasi makrovaskular
Komplikasi makrovaskular pada DM terjadi akibat aterosklerosis dari
pembuluh-pembuluh darah besar, khususnya arteri akibat timbunan plak
ateroma. Makroangiopati tidak spesifik pada DM namun dapat timbul
lebih cepat, lebih sering terjadi dan lebih serius. Berbagai studi
epidemiologis menunjukkan bahwa angka kematian akibat penyakit
kardiovaskular dan penderita DM meningkat 4-5 kali dibandingkan orang
normal. Komplikasi makroangiopati umumnya tidak ada hubungan dengan
kontrol kadar gula darah yang baik. Tetapitelah terbukti secara
epidemiologi bahwa hiperinsulinemia merupakan suatu faktor resiko
mortalitas kardiovaskular dimana peninggian kadar insulin dapat
menyebabkan terjadinya risiko kardiovaskular menjadi semakin tinggi.
Kadar insulin puasa > 15 mU/mL akanmeningkatkan risiko mortalitas
koroner sebesar 5 kali lipat. Makroangiopati, mengenai pembuluh darah
besar antara lain adalah pembuluh darah jantung atau penyakit jantung
koroner, pembuluh darah otak atau stroke, dan penyakit pembuluh darah.
Hiperinsulinemia juga dikenal sebagai faktor aterogenik dan diduga
berperan penting dalam timbulnya komplikasi makrovaskular (Smeltzer
dan Bare, 2018)
2) Komplikasi mikrovaskular
Komplikasi mikrovaskular terjadi akibat penyumbatan pada pembuluh
darah kecil khususnya kapiler yang terdiri dari retinopati diabetik dan
nefropati diabetik. Retinopati diabetik dibagi dalam 2 kelompok, yaitu
retinopati non proliferatif dan retinopati proliferatif. Retinopati non
proliferatif merupakan stadium awal dengan ditandai adanya
mikroaneurisma, sedangkan retinopati proliferatif, ditandai dengan adanya
pertumbuhan pembuluh darah kapiler, jaringan ikat dan adanya hipoksia
retina. Seterusnya, nefropati diabetik adalah gangguan fungsi ginjal akibat
kebocoran selaput penyaring darah. Nefropati diabetik ditandai dengan
adanya proteinuria persisten (>0,5 gr/24 jam), terdapat retinopati dan
hipertensi. Kerusakan ginjal yang spesifik pada DM mengakibatkan
perubahan fungsi penyaring, sehingga molekul-molekul besar seperti
protein dapat masuk ke dalam kemih (albuminuria). Akibat dari nefropati
diabetik tersebut dapat menyebabkan kegagalan ginjal progresif dan upaya
preventif pada nefropati adalah kontrol metabolisme dan kontrol tekanan
darah (Smeltzer dan Bare, 2018)
3) Neuropati Diabetes
Neuropati adalah kerusakan saraf sebagai komplikasi serius akibat DM.
Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer,
berupa hilangnya sensasi distal dan biasanya mengenai kaki terlebih
dahulu, lalu ke bagian tangan. Neuropati berisiko tinggi untuk terjadinya
ulkus kaki dan amputasi. Gejala yang sering dirasakan adalah kaki terasa
terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih terasa sakit di malam hari. Setelah
diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining
untuk mendeteksi adanya polineuropatidistal. Apabila ditemukan adanya
polineuropati distal, perawatan kaki yang memadai akan menurunkan
risiko amputasi. Semua penyandang DM yang disertai neuropati perifer
harus diberikan edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus
kaki (Ohotimur, 2022).

B. Konsep Asuhan Keperawatan Keluarga

1. Pengkajian Asuhan Keperawatan Keluarga


Menurut Padila (Pulungan, 2019), Pengkajian merupakan tahapan dimana
perawat mengambil data secara terus menerus terhadap keluarga yang dibinanya.
Hal-hal yang perlu dikumpulkan datanya dalam pengkajian keluarga adalah
sebagai berikut :
a) Beberapa data umum keluarga menurut Padila (Pulungan, 2019), adalah

sebagai berikut :

1) Nama kepala keluarga (KK).


2) Alamat dan telepon.

3) Pekerjaan kepala keluarga.

4) Pendidikan kepala keluarga.

5) Komposisi keluarga
6) Genogram, merupakan alat pengkajian yang digunakan untuk mengetahui

keluarga, riwayat dan sumber-sumber keluarga. Diagram ini

menggambarkan hubungan vertikal (lintas generasi) dan horizontal (dalam

generasi yang sama) untuk memahami kehidupan keluarga dihubungkan

dengan pola penyakit. Genogram keluarga memuat minimal informasi tiga

generasi.

Laki-laki Perempuan Identifikasi klien


yang sakit

Meninggal Menikah Pisah

Cerai Tidak menikah Anak angkat

Aborsi Kembar Tinggal dalam


satu rumah

Gambar 1.2 : Simbol genogram menurut (Izati, 2019).

7) Tipe keluarga, menjelaskan mengenai jenis atau tipe keluarga beserta


kendala atau masalah-masalah yang terjadi dengan jenis atau tipe
keluarga tersebut.

8) Suku bangsa, mengkaji asal suku bangsa keluarga serta mengidentifikasi


budaya suku bangsa tersebut terkait dengan kesehatan.
9) Agama, mengkaji agama yang dianut oleh keluarga serta kepercayaan
yang dapat mempengaruhi kesehatan.
10) Status sosial ekonomi keluarga, ditentukan oleh pendapatan baik dari
kepala keluarga maupun anggota keluarga lainnya dan ditentukan oleh
kebutuhan-kebutuhan yang dikeluarkan oleh keluarga serta barang-barang
yang dimliki oleh keluarga.
11) Aktivitas rekreasi keluarga, rekreasi keluarga tidak hanya dilihat dari

kapan saja keluarga pergi bersama-sama untuk mengunjungi tempat

rekreasi tertentu, namun dengan menonton televisi dan mendenganrkan

radio juga merupakan aktivitas rekreasi.

b) Riwayat dan Tahap Perkembangan Keluarga menurut (Izati, 2019), terdiri dari :

1) Tahap perkembangan keluarga saat ini, ditentukan oleh anak tertua.

2) Tahap perkembangan keluarga yang belum terpenuhi.

3) Riwayat keluarga inti, menjelaskan mengenai riwayat terbentuknya

keluarga inti, penyakit menular atau tidak menular di keluarga.

4) Riwayat keluarga sebelumnya (suami-istri), menjelaskan mengenai

riwayat penyakit menular di keluarga, dan riwayat kebiasaan atau gaya

hidup yang mempengaruhi kesehatan.

c) Pengkajian lingkungan menurut (Izati, 2019), terdiri dari :

1) Karakteristik rumah, diidentifikasi dengan melihat luas rumah, tipe

rumah, jumlah ruangan dan fungsinya, sirkulasi udara dan sinar matahari

yang masuk, pendingin udara (AC) atau kipas angin, pencahayaan, jumlah

jendela, penempatan septic tank beserta kapasitas dan jenisnya, jarak

septic tank dengan sumber air, konsumsi makanan olahan dan sumber air

minum keluarga.

2) Karakteristik tetangga dan RT-RW, menjelaskan mengenai karakteristik

dari tetangga dan komunitas setempat meliputi kebiasaan, lingkungan


fisik, aturan atau kesepakatan penduduk setempat serta budaya setempat

yang mempengaruhi kesehatan.

3) Mobilitas geografis keluarga, ditentukan dengan melihat apakah keluarga

sering berpindah tempat tinggal.

4) Perkumpulan keluarga dan interaksi dengan masyarakat, menjelaskan

mengenai pergaulan keluarga baik di komunitas hobi, kantor, sekolah,

maupun teman main. Interaksi ini bisa digunakan untuk melacak jejak dari

mana penyakit yang didapatkan oleh pasien.

5) Sistem Pendukung keluarga

menjelaskan mengenai fasilitas berupa perabot bagi anggota keluarga,

dukungan dari anggota keluarga dan dukungan dari masyarakat setempat.

d) Fungsi Keluarga menurut (Izati, 2019), terdiri dari :

1) Fungsi afektif, yang perlu dikaji yaitu gambaran diri anggota keluarga,

perasaan memiliki dan dimiliki dalam keluarga, dukungan keluarga

terhadap anggota keluarga lainnya, bagaimana kehangatan tercipta pada

anggota keluarga dan bagaimana keluarga mengembangkan sikap saling

menghargai.

2) Fungsi sosialisasi, dikaji bagaimana interaksi atau hubungan dalam

keluarga, sejauh mana anggota keluarga belajar disiplin, norma, budaya,

serta perilaku.

3) Fungsi perawatan kesehatan, menjelaskan sejauh mana keluarga

menyediakan makanan, pakaian, perlindungan serta merawat anggota

keluarga yang sakit.

4) Fungsi reproduksi, yang perlu dikaji adalah berapa jumlah anak, apakah

rencana keluarga berkaitan dengan jumlah anggota keluarga, metode yang


digunakan keluarga dalam upaya mengendalikan jumlah anggota

keluarga.

5) Fungsi ekonomi, hal yang perlu dikaji adalah sejauh mana keluarga

memenuhi kebutuhan sandang, papan, dan pangan, sejauh mana keluarga

memanfaatkan sumber yang ada di masyarakat dalam upaya peningkatan

status kesehatan keluarga.

e) Stres Dan Koping Keluarga menurut (Izati, 2019), terdiri dari:

1) Stressor jangka panjang dan pendek

Stressor jangka pendek yaitu stressor yang dialami keluarga yang

memerlukan penyelesaian dalam waktu kurang dari enam bulan.

Sedangkan Stressor jangka panjang yaitu stressor yang dialami keluarga

yang memerlukan penyelesaian dalam waktu lebih dari enam bulan.

2) Kemampuan keluarga berespon terhadap stressor, dikaji sejauh mana

keluarga berespon terhadap stressor.

3) Strategi koping yang digunakan, dikaji strategi koping yang digunakan

keluarga bila menghadapi permasalahan.

4) Strategi adaptasi disfungsional, dijelaskan mengenai strategi adaptasi

disfungsional yang digunakan keluarga bila menghadapi permasalahan.

f) Pemeriksaan Fisik, dilakukan pada semua anggota keluarga.

Menurut (Izati, 2019), Metode yang digunakan sama dengan pemeriksaan fisik

klinik.

g) Harapan Keluarga

Menurut (Izati, 2019), pada akhir pengkajian perawat menanyakan harapan

keluarga terhadap petugas atau pelayanan kesehatan yang ada.


2. Analisa data

Menurut (Izati, 2019), setelah dilakukan pengkajian , selanjutnya data dianalisis

untuk dapat dilakukan perumusan diagnosa keperawatan.

3. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan

Menurut(Izati, 2019), diagnosa keperawatan keluarga dibedakan menjadi tiga

kelompok yaitu :

1) Diagnosis aktual, adalah masalah keperawatan yang sedang dialami oleh

keluarga dan memerlukan bantuan dari perawat dengan cepat.

2) Diagnosa resiko/resiko tinggi, adalah masalah keperawatan yang belum

terjadi, tetapi tanda untuk menjadi masalah keperawatan aktual dapat terjadi

dengan cepat apabila tidak segera mendapat bantuan perawat.

3) Diagnosa potensial, adalah suatu keadaan sejahtera dari keluarga ketika

keluarga telah mampu memenuhi kebutuhan kesehatannya dan mempunyai

sumber penunjang kesehatan yang memungkinkan dapat ditingkatkan.

Menurut (Izati, 2019), etiologi dari diagnosa keperawatan keluarga mengacu

pada ketidakmampuan keluarga dalam melaksanakan lima tugas keluarga yaitu:

1) Ketidakmampuan keluarga mengenal masalah, meliputi :

a. Persepsi terhadap keparahan penyakit

b. Pengertian

c. Tanda dan gejala

d. Faktor penyebab

e. Persepsi keluarga terhadap masalah

2) Ketidakmampuan keluarga mengambil keputusan, meliputi :

a. Sejauh mana keluarga mengerti mengenai sifat dan luasnya masalah.


b. Masalah dirasakan keluarga.

c. Keluarga menyerah terhadap masalah yag dialami.

d. Sifat negatif terhadap masalah kesehatan.

e. Kurang percaya terhadap tenaga kesehatan.

f. Informasi yang salah.

3) Ketidakmampuan keluarga merawat keluarga yang sakit,


meliputi :

a. Bagaimana keluarga mengetahui keadaan sakit.


b. Sifat dan perkembangan keperawatan yang dibutuhkan.
c. Sumber-sumber yang ada dalam keluarga.
d. Sikap keluarga terhadap yang sakit.
4) Ketidakmampuan keluarga memelihara lingkungan, meliputi:
a. Manfaat pemeliharaan lingkungan.
b. Pentingnya higyene sanitasi.
c. Upaya pencegahan penyakit.

5) Ketidakmampuan keluarga menggunakan fasilitas kesehatan, meliputi:

a. Keberadaan fasilitas kesehatan.

b. Keuntungan yang didapat


c. Kepercayaan keluarga terhadap petugas kesehatan.

d. Pengalaman keluarga yang kurang baik.

e. Pelayanan kesehatan yang terjangkau oleh keluarga.

Diagnosa dan intervensi keperawatan keluarga dengan diabetes mellitus yang muncul,

adalah:

DX 1
a. Dx kep
Resiko ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan
ketidakmampuan keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan diabetes
mellitus
b. Tujuan dan kriteria hasil
Setelah dilakukan kunjungan sebanyak 5 x 50 menit keluarga mampu mengenal
dan memahami bagaimana perawatan diabetes mellitus dengan kriteria hasil :
1) Keluarga mampu menyebutkan defenisi diabetes mellitus dengan bahasa
sendiri.
2) Keluarga mampu menyebutkan 6 dari 8 penyebab, tanda dan gejala dari
diabetes mellitus.
3) Keluarga mampu menyebutkan 5 dari 7 cara pencegahan diabetes mellitus.
4) Keluarga mampu menyebutkan apa saja fasilitas kesehatan yang ada dan
apa keuntungan membewa anngota keluarga yang sakit ke fasilitas
kesehatan
c. Intervensi
1) Gali pengetahuan keluarga tentang pengertian, penyebab, tanda gejala
diabetes mellitus
2) Diskusikan dengan keluarga tentang pengertian, penyebab, tanda gejala dan
cara pencegahan diabetes mellitus dengan menggunakan lembar balik dan
leaflet
3) Evaluasi kembali pengertian, penyebab, tanda gejala dan pencegahan
diabetes mellitus pada keluarga.
4) Diskusikan dengan keluarga tentang komplikasi dari diabetes mellitus
5) Bimbing dan motivasi keluarga untuk mengambil keputusan dalam
menangani masalah diabetes mellitus
6) Menjelaskan dan mendemonstrasikan pada keluarga mengenai cara
mengatasi masalah diabates mellitus
7) Kaji pengetahuan keluarga tentang apa saja fasilitas kesehatan yang ada dan
apa manfaat fasilitas kesehatan tersebut.
8) Diskusikan bersama keluarga apa saja fasilitas kesehatan yang ada ada dan
bagaimana memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan tersebut.

DX 2
a. Dx kep
Reisko Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan keluarga dalam merawat anggota keluarga yang sakit
b. Tujuan dan kriteria hasil
Setelah dilakukan kunjungan sebanyak 5 x 50 menit keluarga mampu mengenal
dan memahami bagaimana pengaturan diit pada pasien diabetes mellitus
1) Keluarga mampu menyebutkan defenisi diit pada diabetes mellitus dengan
bahasa sendiri.
2) Keluarga mampu menyebutkan 4 dari 5 tujuan diit pada diabetes mellitus
dengan bahasa sendiri.
3) Keluarga mampu menyebutkan 8 dari 8 macam-macam diit pada diabetes
mellitus dengan bahasa sendiri.
4) Keluarga mampu menyebutkan 5 dari 8 macam-macam makanan yang baik
dikonsumsi penderita diabetes mellitus dengan bahasa sendiri.
5) Keluarga mampu merawat anggota keluarga dengan diabetes mellitus dan
mampu mendemonstrasikan bagaimana cara mengatasi diabetes mellitus
c. Intervensi
1) Gali pengetahuan keluarga tentang pengertian dan tujuan diit diit diabetes
mellitus
2) Gali pengetahuan keluarga tentang macam-macam diit diabetes mellitus
3) Gali pengetahuan keluarga tentang makanan yang baik untuk penderita
diabetes mellitus
4) Diskusikan dengan keluarga tentang pengertian diit, tujuan diit, dan
macam-macam diit diabetes mellitus dengan menggunakan lembar balik
dan leaflet
5) Diskusikan dengan keluarga makanan yang baik untuk diabetes mellitus
dengan menggunakan lembar balik dan leaflet
6) Bimbing dan motivasi keluarga untuk mengambil keputusan dalam
menangani masalah diabetes mellitus
7) Menjelaskan dan mendemonstrasikan pada keluarga mengenai cara
mengatasi masalah diabates mellitus
8) Evaluasi kembali tentang cara merawat dan cara mengatasi diabetes
mellitus
DX 3
a. Dx kep
Defisit pengetahuan berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga dalam
mengenal masalah kesehatan.
b. Tujuan dan kriteria hasil
Setelah dilakukan kunjungan sebanyak 5 x 50 menit keluarga dapat mengenal
masalah kesehatan diabetes mellitus.
1) Perilaku sesuai anjuran meningkat
2) Kemampuan menjelaskan kembali pengetahuan tentang diabetes mellitus
meningkat
c. Intervensi
1) mengidentifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi
2) identifikasi pemahaman tentang kondisi kesehatan saat ini dan mengukur
tanda vital
3) edukasi dengan menjelaskan faktor resiko yang dapat mempengaruhi
kesehatan, penyebab dan faktor risiko yang ditimbulkan penyakit, tanda dan
gejala yang ditimbulkan oleh penyakit, kemungkinan terjadinya komplikasi
4) evaluasi keluarga dan pasien
5) Bimbing dan motivasi keluarga untuk mengambil keputusan dalam
menangani masalah diabetes mellitus

Evaluasi kembali tentang cara merawat dan cara mengatasi diabetes mellitus

4. Perumusan Masalah
a. Prioritas Masalah

Jika dalam satu keluarga menemukan lebih dari satu masalah maka dapat

menyusun masalah kesehatan keluarga sesuai dengan prioritasnya.

Tabel 2.3 rumus skala skoring menurut Bailon dan Maglaya, 1978 (dalam

(Izati, 2019)).
Skala Prioritas Masalah Kesehatan Keluarga

No Kriteria Skor Bobot


1. Sifat masalah
Skala : Tidak/kurang sehat Ancaman
3
kesehatan
2
Krisis atau keadaan sejahtera 1
1

2. Kemungkinan masalah dapat diubah


Skala : Dengan mudah 2
Hanya sebagian 1 2
Tidak dapat 0

3. Potensi masalah untuk dicegah Skala :


Tinggi
3
Cukup Rendah 1
2
1
Menonjolnya masalah Skala :
4. Masalah berat, harus segera
ditangani. 2
Ada masalah, tetapi tidak perlu
1
segera ditangani. 1
Masalah tidak dirasakan.
0

b. Proses skoring dilakukan bila perawat merumuskan diagnose

keperawatan lebih dari satu. Menurut (Ohotimur, 2022) proses skoring

dilakukan untuk setiap diagnosa keperawatan dengan cara sebagai berikut :

1) Tentukan skornya sesuai dengan kriteria yang dibuat perawat.

2) Selanjutnya skor dibagi dengan skor tertinggi dan dikalikan dengan

bobot.

Skore yang diperoleh


X Bobot Skor tertinggi
3) Jumlahkan skor untuk semua kriteria (skor maksimum sama dengan

jumlah bobot, yaitu 5.


c. Empat kriteria yang dapat mempengaruhi penentuan prioritas masalah

menurut (Ohotimur, 2022) yaitu :

1) Sifat Masalah

Sifat masalah kesehatan dapat dikelompokkan kedalam tidak atau kurang

sehat diberikan bobot yang lebih tinggi karena masalah tersebut

memerlukan tindakan yang segera dan biasanya masalahnya dirasakan

oleh keluarga. Krisis atau keadaan sejahtera diberikan bobot paling

sedikit karena faktor kebudayaan dapat memberikan dukungan bagi

keluarga untuk mengatasi masalahnya dengan baik.

2) Kemungkinan Masalah Dapat Diubah

Kemungkinan berhasilnya mengurangi atau mencegah masalah jika ada

tindakan (intervensi). Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam

menentukan skor kemungkinan masalah dapat diperbaiki :

a) Pengetahuan dan teknologi serta tindakan yang dapat dilakukan

untuk menangani masalah.

b) Sumber-sumber yang ada pada keluarga baik dalam bentuk fisik,

keuangan, atau tenaga.

c) Sumber-sumber dari keperawatan, misalnya dalam bentuk

pengetahuan, ketrampilan, dan waktu.

d) Sumber-sumber di masyarakat, misalnya dalam bentuk fasilitas

kesehatan, organisasi masyarakat, dan dukungan sosial masyarakat.

3) Potensi Masalah Bisa Dicegah

Menyangkut sifat dan beratnya masalah yang akan timbul dapat

dikurangi atau dicegah. Hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan

skor kriteria potensi masalah bisa dicegah.


a) Kepelikan dari masalah

Berkaitan dengan beratnya penyakit atau masalah, prognosis

penyakit atau kemungkinan mengubah masalah.

b) Lamanya masalah

Berkaitan dengan jangka waktu terjadinya masalah tersebut.

Biasanya lamanya masalah mempunyai dukungan langsung dengan

potensi masalah bila dicegah.

c) Adanya kelompok risiko tinggi atau kelompok yang peka atau

rawan. Adanya kelompok tersebut pada keluarga akan menambah

potensi masalah bila dicegah.

4) Menonjolnya Masalah

Hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan skor pada kriteria ini,

perawat perlu menilai presepsi atau bagaimana keluarga tersebut

melihat masalah. Jika keluarga menyadari masalah dan merasa perlu

untuk menangani segera maka diberi skor yang tinggi.


DAFTAR PUSTAKA

Izati, Z. (2019). Asuhan Keperawatan Keluarga Dengan Diabetes Melitus Di Wilayah Kerja
Puskesmas Andalas Kota Padang. In Diabetes Melitus Di Wilayah Kerja Puskesmas
Andalas Kota Padang (Vol. 4).
Ohotimur, A. E. (2022). ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA TN.Y DENGAN KASUS
DIABETES MELLITUS PADA NY.H.
Pulungan, H. R. (2019). Konsep Pengkajian Dalam Proses Keperawatan Untuk. 181101092.
Smeltzer, & Bare. (2018). Textbook of Medical Surgical Nursing.
Suparyanto, & Rosad. (2020). LAPORAN PENDAHULUAN DIABETES MELLITUS
LUKA KAKI DIABETIK. Suparyanto Dan Rosad, 5(3), 248–253.
T. Heather Herdman, PhD, RN, F., & Shigemi Kamitsuru, PhD, RN, F. (2018). NANDA.
Utami, D. T. (2020). Diabetes melitus dengan ulkus diabetikum. Jurnal Online Mahasiswa
(JOM) Bidang Ilmu Keperawatan, 1, 1–7.

Anda mungkin juga menyukai