BIOTRANSFORMASI OBAT
OLEH
NIM : 1506050029
JURUSAN BIOLOGI
KUPANG
2018
Manusia terpajan setiap hari berbagai senyawa asing yang disebut Xenobiotika
(xenobiotics) – bahan-bahan yang diserap melalui paru atau kulit atau yang lebih sering,
tertelan baik secara tidak sengaja seperti senyawa-senyawa yang ada dalam makanan dan
minuman atau sengaja seperti obat untuk kepentingan pengobatan atau “kesenangan”.
Pajanan xenobiotika lingkungan mungkin terjadi secara tidak sengaja atau-jika mereka
terdapat sebagai komponen dari udara, air, dan makanan-tidak terhindarkan. Sebagian
xenobiotika tidak membahayakan, tetapi banyak yang dapat memicu respon biologik. Respon
biologik semacam itu sering bergantung pada konversi bahan yang diserap menjadi suatu
metabolit aktif. Pembahan berikut dapat diterapkan untuk xenobiotika secara umum
(termasuk obat) dan hingga ketingkat tertentu ke senyawa endogen.
1. Mengapa Diperlukan Biotransformasi Obat?
Ekskresi melalui ginjal berperan penting menghentikan aktivitas biologik sebagian
obat, terutama yang volume molekulnya kecil atau memiliki karakteristik polar, misalnya
gugus fungsional yang terionisasi sempurna pada pH fisiologik. Namun, banyak obat
tidak memiliki sifat fisika-kimiawi tersebut. Molekul-molekul organik yang secara
farmokologis aktif cenderung lipofilik dan tetap tidak terionisasi atau hanya terionisasi
parsial pada pH faali; molekul-molekul ini mudah diserap dari filtrat glomerulus di
nefron. Senyawa lipofilik tertentu sering terikat kuat ke protein plasma dan mungkin
tidak mudah terfiltrasi di glomerulus. Karena itu, sebagian besar obat akan memiliki
lama kerja yang memanjang jika pengakhiran kerja mereka hanya bergantung pada
ekskresi ginjal.
Proses lain yang dapat menyebabkan terhentinya atau terubahnya aktivitas biologik
adalah metabolisme. Secara umum, xenobiotika lipolitik diubah menjadi produk yang
yang lebih polar dan karenanya lebih mudah diekskresikan. Peran yang dimainkan oleh
metabolisme dalam inaktivasi obat larut-lemak dapat sangat dramatik. Sebagai contoh,
barbiturat lipofilik misalnya tiopental dan pentobarbitalakan memiliki waktu paruh yang
sangat lama jika tidak karena konversi metabolik mereka menjadi senyawa yang lebih
larut air.
Produk metabolik menjadi sering kurang aktif secara farmakodinamis dibandingkan
obat semula dan bahkan mungkin inaktif. Namun, beberapa hasil dari biotransformasi
mempunyai aktivitas yang lebih sifat toksit. Perlu dicatat bahwa sintesis berbagai substrat
endogen misalnya hormon steroid, kolesterol, kongener vitamin D aktif, dan asam
empedu melibatkan banyak jalur yang dikatalisis oleh enzim-enzim yang berkaitan
dengan metabolisme xenobiotika. Terakhir, enzim-enzim yang memetabolisme obat telah
dieksploitasi dalam disain produk yang secara farmakologis inaktif untuk kemudian
diubah menjadi molekul aktif didalam tubuh.
2. Peran Biortransformasi dalam Disposisi Obat
Sebagian besar biotransformasi obat terjadi pada suatu tahap antara penyerapan obat
kedalam sirkulasi umum dan eliminasinya di ginjal. Beberapa transformasi terjadi di
lumen atau dinding usus. Secara umum reaksi-reaksi ini dapat digolongkan menjadi dua
kelompok utama yang dinamai reaksi Fase I dan Fase II (Gambar4-1).
Reaksi fase I biasanya mengubah obat induk menjadi metabolit yang lebih polar
dengan memperkenalkan atau memunculkan suatu gugus fungsional (-OH, NH2-, -SH).
Metabolit-metabolit ini sering inaktif, meskipun pada sebagian kasus aktivitas hanya
mengalami modifikasi atau bahkan meningkat.
Gambar 4-1 reaksi fase I dan fase II, serta eliminasi langsung, dalam biodisposisi
obat. Reaksi fase II juga dapat mendahului reaksi fase I
Jika sudah cukup polar, metabolit fase I mudah diekskresikan. Namun banyak
produk fase I tidak dieliminasi dengan cepat dan mengalami reaksi berikutnya dengan
suatu substrat endogen seperti asam glikuronat, asam sulfur, asam asetat, atau asam
amino berikatan dengan gugus fungsional yang baru untuk membentuk konjugat yang
sangat polar. Reaksi konjugasi atau sintetik ini merupakan ciri utama metabolisme fase
II. Banyak obat mengalami rangkaian reaksi biotransformasi ini, meskipun pada sebagian
kasus obat induk mungkin sudah memiliki gugus fungsional yang dapat membentuk
konjugat secara langsung. Sebagai contoh, gugus hidrazit pada izoniazid diketahui
membentuk konjugat N-asetil pada reaksi fase II. Konjugat ini kemudian menjadi
substrat untuk reaksi tipe fase I, yaitu hidrolisis menjadi asam isonikotinat (Gambar 4-2).
Jadi fase II dapat mendahului reaksi fase I.
Gambar 4-2 pengaktivan fase II isoniazid (INH) menjadi metabolit hepatotoksik
Gambar 4-3 siklus sitokrom P450 dalam oksidasi obat. RH, obat induk; ROH,
metabolit teroksidasi ,e-, elektron.
Sifat pengoksidasi kuat dari oksigen aktif ini memungkinkan oksidasi sejumlah
besar substrat. Untuk kompleks enzim ini, spesifikasi substrat sangat rendah. Kelarutan
lemak yang tinggi merupakan satu-satunya kesamaan fitur struktural dari beragam obat
dan bahan kimia yang merupakan substrat dari sistem ini (Tabel 4-1). Namun,
dibandingkan dengan banyak enzim lain termasuk enzim-enzim fase II, P450 merupakan
katalis yang lamban, dan reaksi biotransformasi obat mereka lambat.
5. Enzim Hati P450 Manusia
Dengan menggunakan gene arrays yang dikombinasikan dengan analisis
immunoblotting preparat mikrosom, serta pemakaian penanda fungsional yang relatif
selektif dan inbibitor selektif P450, telah teridentifikasi banyak isoform P450 (CYP:
1A2, 2A6, 2B6, 2C8, 2C9, 2C18, 2C19, 2D6, 2E1, 3A4, 4A11, dan 7) di hati manusia.
Dari berbagai isoform ini CYP1A2, CYP2A6, CYP2B6, CYP2C9 tampaknya merupakan
bentuk terpenting masing-masing membentuk 15%,4% ,1%,20%,5%,10% dan 30% dari
kandungan p450 hati manusia total. Bersama-sama mereka bertanggung jawab
mengatalisis sebagian besar obat dan memetabolisasi xenobiotik di hati. Perlu dicatat
bahwa YCP3A4 sendiri bertanggung jawab dalam metabolisme lebih dari 50% dalam
metabolisme lebih dari 50% obat resep yang metabolisasi oleh hati. Katerlibatan masing-
masing P450 dalam metabolisme suatu obat dapat diperiksa in vito dengan penanda
fungsional selektif kimiawi p450 selektif, dan antibodi p450. In vito pemeriksaan
penyaring
P450 hati manusia (CPY), dan sebagian dari obat yang dimetabolisasi(substrat), penginduksi,
dan inhibitor selektif.
CPY3A5 memliki profil substart dan inhibitorserupa, tetapi kecuali untuk beberapaobat
biasanya kurang aktifdibandingkan CYP3A4.
Dapat dilakukan dengan penanda-penanda noninvasif yang relatif selektif, yang mencakup
tes napas atau analisis urin metabolit tertentusetelah pemberian pelacak subtrateletif P450
Induksi Enzim
Sebagian dari obat-obatan substrat P450 yang tidak serupa,pada pemberian berulang,
menginduksiekpresi P450 dengan meningkatkan laju sistensis atau mengurangi kecapatan
penguraiannya(Tabel 4-2). Induksi menyebabkan akselerasi metabolisme substrat dan
biasanya penurunan efek farmakologis penginduksi serta juga obat lain yang diberikan
bersama-sama. Namun,pada kasus obat yang mengalami transformasi metabolik menjadi
metabolit reakstif,induksi enzim dapat memicu toksisitas yang disebekan oleh metabolit.
Enzim-enzim P450 juga dapat diinduksi oleh stabilisasi substrat mis. Berkurangnya
degradasi, seperti pada kasus induksi enzim CYP3A oleh troleandomisin atau klotrimazol,
induksi CYP2E1 yang diperantarai oleh etanol dan induksi CYP1A2 yang diperantarai oleh
isafol.
Inhibizi Enzim
Beberapa substrat obat menghambat aktivitas enzim sitokrom P450 (tabel 4-2) obat
yang mengandung imidazol seperti simetidin dan ketokonazol berikatan kuat dengan besi
hem P450 dan secara efektif mengurangi metabolisme substrat endogen (mis. Testosteron)
atau obat lain yang di berikan bersama-sama melalui inhibisi kompetitif. Antibiotika
makrolid, misalnya troleandomisin, eritromisin, dan turunan eritromisin dimetabolisasi,
tampaknya oleh CYP3A, menjadi metabolit yang berikatan dengan besi hem P450 dan
menyebabkannya kehilangan fungsi katalitik. Senyawa lain yang bekerja melalui mekanisme
ini adalah inhibitor proadifen (SKF-525-A digunakan dalam riset), yang berikatan dengan
erat ke besi hem dan menginaktifkan
REAKSI FASE II
Obat induk atau metabolit-metabolit fase I-nya yang mengandung gugus kimia tertentu
sering mengalami reaksi penyatuan atau konjugasi dengan bahan endogen untuk
menghasilkan konjugat obat ( Table 4-3). Secara umum, konjugat adalah molekul polar
yang mudah dieksresikan dan sering inaktif. Pembentukatn konjugat memerlukan zt-zat
antara berenergi tinggi dan enzim tranfer spesifik. Enzim-enzim ini (tranfarase) mungkin
terletak di kromosom atau di sitosol. Dari enzi-enzim ini, uridin 5’-difosfat ( UDP)-
glukoronisol tarsnfrase ( UGT ) adalah enzim paling dominan ( gambar 4-4). Enzim-enzim
mikromosom yang mengkatalisis penggabungan suatu bahan endogen aktif ( misalnya
turunan UDP dari asam glukuronat) denag suatu obat (atau senyawa endogen seperi bilirubin,
produk akhirmetabolisme hem). Sembilan belas gen UGT ( UGTAI dan UGT2) menyandi
protein-protein UGT yang berperan dalam metabolisme obat dan xenobiotika. Demikian juga
11 sulfotransfrase ( SULT) manusia mengatalisi sulfasi substrat denagn menggunakan 3’-
fosfoadenosin 5’-fosfosulfat ( PAPS) sebagai donor selfat endogen. Glutatiaon tranfrase (
GTS) sotosol damn mikromosom ( GSH) juga terlibat dalam metabolisme obat dan
xenobiotika, serta masing-masing metabolisme leukotrien dan prostaglandin. Bahan kimia
yang mengandung satu amina aromatik atau gugus hidrazin (mis., isoniazid) adalah substrat
dari N-asetiltransferase (NAT) sitosol, disandi oleh gen NAT1 dan NAT2, yang menggunakan
asetil-KoA sebagai kofator endogen.
Juga terjadi O-,N-, dan S- metilasi obat dan xenobiotika oleh metiltransferase (MT)
yang diperantarai oleh S-adenosil-L metion (SAMe; AdoMet). Terakhir, epoksida endobiotik,
obat, dan xenobiotik yang dihasilkan melalui oksidasi yang dikatalis P450 juga dapat
dihidrolisis oleh epoksida hidrolae (Ehs) sitosol atau mikrosom. Konjugasi suatu obat aktif ,
misalnya turunan S-KoA asam benzoat, dengan suatu substrat endogen, misalnya glisisn, juga
terjadi. Karena substrat endogen berasal dari makaana, nutrisi berperan penting dalam
regulasi konjugasi obat.
Reaksi fase II relatif lebih cepat dari eaksi katalisasi oleh P450, Sehingga lebih efektif
dalam mempercepat dalam biotransformasi obat.
Reaksi FaseII dahulu dipercayai mencerminkan proses inaktivasi akhir dan karennaya
dipandang sebagai reaksi “detoksifikasi” sejati. Namun, Konsep ini harus dimodifikasi,
karena kini diketahui bahwa reaksi konjugasi tertentu (asil glukuronidasi obat anti-inflamasi
non-steroid, O-sulfasi terhadap N-hidroksiasetilamniofluoren, dan N-asetilasi dari isoniazid)
dapat menyebakan terbentuknya spesies-spesies reaktif yang berperan dalam toksitas obat.
Selain itu, sulfasi diketahui mengaktifkan minoksidil (produrg yang aktif per oral) menjadi
vasodilator yang sangat efektif, dan morfin-6-glukuronida lebih potein daripada morfin itu
sendiri
Metabolisme obat dan bahan kimia asing lainnya mungkin tidak selalu merupakan
proses yang aman dan menyebabkan detoksifikasi dan eliminasi bahan tersebut. Memang,
seperti yang telah disebutkan, beberapa senyawa terbukti mengalami transformasi metabolik
menjadi zat antara reaktif yang toksik untuk berbagai organ. Reaksi toksik semacam ini
mungkin tidak tampak pada tingkat pajanan ke senyawa induk rendah ketika mekanisme
detoksifikasi alternatif masi sanggup menatasi serta ketersediaan ko-substrat detoksifikasi
endogen (GSH, asam glukunorat, sulfat) tidak terbatas. Namun, jika sumber-sumber ini
tekuras, jalur toksik dapat mendominasi, menimbulkan toksisitas organ yang nyata atau
karsinogenesis. Jumlah contoh speseifik dari toksitas imbas-obat semacam ini terus
bertambah dengan pesat. Salah satu contoh adalah hepatotoksisitas imbas-asetatminofen
(parasetamol) (gambar 4-5). Asetatminofen, suatu obat antipiretik analgesik, cukup aman
dalam dosis terapetik (1.2 gram/hari untuk dewasa). Obat ini biasanya mengalami
glukoronidasi dan sulfasi menjadi konjugat-konjugatnya, yang bersama-sama membentuk
95% dari metabolik total yang diekskresikan. Jalur Konjugasi GSH depeden-P450 alternatif
membentuk 5% sisanya. Jika asupan asetaminofen jauh melebihi dosis terapetik, jalur
kloronidasi dan sulfasi menjadi jenuh, dan jalur dependen-P450 menjadi semakin penting.
Hnaya sedikit atau tidak terjadi Hepatosisitas selama tersedia GSH hati untuk konjugasi.
Namun, seiring waktu, GSH hati terkuras lebih cepat daripada pembentuknya, dan terjadi
penimbunan metabolik kintrasel. Tanpa nukleofil intrasel
Perbedaan induvidual dalam laju metabolisme bergantung pada sifat obat itu sendiri.
Karena itu, dalam populasi yang sama, kadar plasma seady-state mungkinmencerminkan
variasi 30 kali lipat dalam metabolisme obat lain.
Faktor Genetik
Pernah dilaporkan adanya defek genetis pada metabolisme oksidatif Fase I beberapa
obat (Tabel 4-4).Defek ini sering diwariskan sebagai sifat resesif autusom dan mungkin
terjadi di salah satu dari berbagai transformasi meabolik yang mungkin dijalani oleh sutu
bahan kimia. P450 34 A, 2C9, 2D6,2C19,1A2 dan 2B6 hati manusia bertanggungjawab
terhadap sekitar 75% dari semua metabolisme fase I yang secara klinis relevan ( Gambar 4-4)
dan karenanya terhadap sekitar 60 % dari semua biotransformasi dan eliminasi fisologik obat.
Karena itu, polimorfisme genetik enzim-enzim ini, dengan secara bermakna mempengaruhi
metabolisme obat fase I, dapat mengubah farmakokinetika.
Tabel 4.4 beberapa contoh polimorfisme genetik pada metabolisme obat Fase I dan
Fase II
Tiga polimerfisme genikak F450 telah diteliti secara mendalam member pemahaman tentang
kemungkinan mekanisme molekuler mendasar dan secara klinis penting, karena mereka
memerlukan penyesuaian dosis. Pertama adalah tipe polimerfisime oksidasi debrisokuin
spartein, yang tampaknya dijumpai pada 3-10% orang kaukasus dan di wariskan sebagai sifat
resesif autosom. Pada orang yang terkena oksidasi dependen-CYP2D6 debrisokuin dan obat
lain terganggu. Dasar molekul pasti dari defek tampaknya adalah kegagalan ekspresi protein
P450 karena gannguan penggabungan mRNA atau pelipatan protein yang menyebabkan
tidak terjadinya atau berkurangnya metabolism obat yang dikatalis isoform dan karenanya
menghasilkan fenotip poor metabolizer (PM). Fenotip PM ini berkorelasi dengan
peningkatan resiko kekambuhan pada pasien dengan kanker payudara yang di
obatitamoksifen, suatu obat anti kanker yang mengandalkan pengaktifan metabolic dependen-
CYP2D6 menjadi endoksifen untuk efikasi. Kurangnya respon terhadap pemberian
antidepresan pada fenotipe UM juga berkolerasi secara klinis dengan tingginya insiden
bunuh diri relative terhadap kematian karena sebab alami pada populasi pasien ini.
Polimorfisme obat genetic kedua yang banyak dipelajari melibatkan hidroksilasi aromatic
(4) stereoselektif terhadap anti kejang merfenitoin, yang dikatalis oleh CYP2C19.
Terdapat alel varian CYP2C19 lain (CYP2C19*17) yang berkaitan dengan
peningkatan transkripsi dan kerenanya ekspresi CYP2C19 dan bahkan aktivitas fungsional
yang lebih tinggi dari EM yang membawa CPY2P19 wildtype. Orang yang memiliki alel
CPY2P19 ini memperlihatkan peningkatan pengaktifan metabolik prodrug misalnya obat
kanker payudara tamoksifen, animalaria, dan obat antitrombosit klopidrorel. Kasus pertama
yang berkaitan dengan kekambuhan hanjer payudara, dan yngterakhir dengan peningkatan
resiko pendarahan. Pembawa alel CYP2C19*17 juga diketahui memperlihatkan peningkatan
metabolisme, dan karenanya eliminasi, obat-obat anti depresan eskitalopram dan imipramin,
serta antijamur vorikonazol. Hal ini dapat mengganggu efikasi terapetik obat-obat ini
sehingga diperlukan penyesuaian dosis klinis.
Polimorfisme pada gen CYP2A6 baru-baru ini ditemukan, dan prevalens hal ini
tampaknya berkaitan dengan ras berperan dalam oksidasi nikotin. Baru-baru ini terungkap
adanya varian alelik CYP2A6 1B yangberkaitan dengan peningkatan laju metabolisme
nikotin. Masih perlu dipastikan apakah pasien dari varian yang lebih cepat ini akan masuk ke
dalam golongan yang memperlihatkan peningkatan komsumsi rokok dan isnsidens kanker
paru-paru.
Ditemukan polimorfisme-polimorfisme genetic lainnya dalam metabolism obat yang
diwariskan secara independen dari polimorfisme yang telah disebutkan di atas. Studi=studi
metabolism teofilin pada kembar homozigot dan dizigot yang mencakup analisis silsilah
berbagai keluarga mengungkapkan mungkin terdapat suatu pomorfisme tersendiri untuk obat
ini yangmungkin diwariskan sebagai sifat resesif. Polimorfisme genetic metabolism obat
tampaknya juga terdapat untuk oksidasi aminopirin dan karbosistein. Informasi polimorfisme
P450 manusia terus diperbaharui dapat diperoleh.
Meskipun polimorfisme genetik pada oksidasi obat sering melibatkan enzim P450
spesifik, tapi variasi genetik juga dapat mengenai enzim-enzim lain. Baru-baru ini, dilaporkan
adanya polimorfisme genetik pada POR, donor elektron P450 esensial. Secara khusus,
dilaporkan ada suatu varian alelik yang menyandi mutasi A503V POR yang menyebabkan
gangguan sintesis steroid seks dependen-CYP17 dan gangguan metabolism obat dependen –
CYP3A4 dan –CYP2A6 in vitro. Perananya dalam metabolism obat klinis, meskipun dapat
diperkirakan, masih perlu dipastikan. Lapran tentang suatu polimorfisme dalam oksidasi
trimetilamin, yang diperkiranakn terutama dimetabolisasi oleh flavin monooksigenase (enzim
Ziegler), menyebabkan sindrom “bau ikan” pada slow metabolizer, yang mengisyaratkan
bahwa varian genetic pada enzim-enzim oksidatif non-dependen-P450 juga ikut berperan
dalam polimorfisme tersebut.
Banyak substrat, berkat lipofilisitas mereka yang relative tinggi, tidak saja ditahan
pada tempat aktif enzim tetapi terus terikat secara non-spesifik ke membrane retkulum
endoplasma lemak. Dalam keadaan ini, mereka dapat menginduksi enzim-enzim mikrosom,
terutama setelah pemakianan berulang. Secara aktif, bergantung pada kadar obat yang tersisa
di tempat aktif, mereka juga dapat menghambat secara kompetitif metabolism obat lain yang
diberikan bersama.
Perlu juga dicatat bahwa penginduksi dapat meningkatkan tidak saja metabolism obat
lain tetapi juga metabolisnmenya sendiri. Karena itu, pemakainan berkelanjutan sebagaian
obat dapat menyebabkan toleransi tipe farmakokinetik-berkurangnya efektifias terapetik
progresif karena peningkatan metabolism obat itu sendiri.
Sebaliknya, pemberian simultan dua atau lebih obat dapat menyebabkan gangguan
eliminasi obat yang lebih lambat dimetabolisme dan memanjang atau menguatnya efek
farmakologiknya. Inhibisi substrat kompetetif dan inaktifikasi enzim irreversible yang
diperantarai oleh substrat dapat meningkatkan kadar plasma obat dan menyebabkan efek
toksik dari obat dengan indeks terapetik semit. Demikian juga, alopurinol memperlama dan
meningkatkan efek kemoterapik dan toksik merkatopurin
melalui inibisi kompetitif xantin oksidase. Kerena itu, untuk menghindari toksisitas sumsum
tulang, dosis haru dikurangi pada pasien yang mendapat alopurinol. Simetidin, obat yang
digunakan dalam pengobatan tukak peptic, terbukti memperkuat efek farmakologik
antikoagulan dan sedative. Metabolism sedative terbukti terhambat 63% setelah satu dosis
simetidin, efek semacam ini pulih dalam 48 jam setelah penghentian simetidin. Gangguan
metabolism juga dapat jika suatu obat yang diberikan bersamaan mengaktifkan secara
inversibel suatu enzim yang digunakan bersama. Inhibitor-inhibitor ini, dalam perjalanan
metabolism mereka oleh sikrom P450, mginaktifkan enzim dan menyebabkan gangguan
metabolism merek sendiri serta metabolism susbtrat lain. Hal ini terjadi pada furakumarin
yang menginaktifkan CYP3A4 di mukosa usus dan karenanya meningkatkan penguraian
proteolitik-
BCHE bandingkan dengan pada orang dengan enzim yang berfungsi normal Berbagai mutasi,
yang diwariskan sebagai sifat resedif autosom, merupakan penyebab defisiensi enzim.
Orang dengan defisiensi yang mendapat sinilizolin sebagai pelemas otot kctika pembedahan
rentan mengalami paralisis pernapasan yang berkepanjangan sebagai (apnu suksinilkolin).
Perbedaan farmakogenetik serupa dijumpai pada asetilasi isoniazid Defek pada slow
acetylator nyebal (isoniazid dan arnina-amina serupa) tampaknya lebih di sebabkan oleh
penurunan smtesis enzim NAT2 daripada kelainan bentuknya. Fenotipe slow acelylator, yang
diwariskan sebagai sifat resesif autosom, terdapat pada sekitar atau 5096 orang kulit hitam
dan putih di AS, lebih sering pada orang Eropa yang tinggal di bagian utara yang tinggi, dan
jauh lebih jarang pada orang Asia dan Inuit (Eskimo). Fenotipe slow acetylator juga berkaitan
dengan peningkatan Faktor insidens neuritis perifer imbas-isoniazid, penyakit autoimun
imbas-obat, dan kanker kandung kemih imbas-amina varia aromatik bisiklik.
pada Suatu polimorfisme, yang secara klinis penting, pada gen TPA1T tiopurin S-
metiltransferase) dijumpai pada orang Eropa (frekuensi 1:300), menyebabkan enzim mutan
yang cepat terurai dan akibatnya defisiensi S-metilasi obat senyawa sulfhidril aromatik dan
heterosiklik termasuk obat tiopurin antikanker 6-merkaptopurin, tioguanin, dan terr
azatioprin, yang diperlukan untuk detoksifikasi mereka. lebi Pasien yang mewarisi
polimorfisme ini sebagai sifat resesif sen autosom berkiko tinggi mengalami toksisitas
hematopoietik fatal akibat ibat tiopurin.
Juga terdapat polimorfisme genetik pada ekspresi enzim fase lainnya (UGT dan
GST). Karena itu, polimorfisme N1 UGT (UGT 1 A 1 '28) berkaitan dengan penyakit
hiperbili-rubinemia INindrom Gilbert) serta efek samping toksik .karena gangguan konjugasi
dan/atau eliminasi obat (mis. obat antikanker irinotekan). Demikian juga, polimorfisme
genetik (GSTM1 ) pada ekspresi GST (isoform mul) dapat menyebabkan efek samping
signifikan dan toksisitas obat-ohat yang eliminasinya bergantung pada konjugasi GSH.
C. Peran Pemeriksaan Farmakogenetik pada Terapi Obat yang Aman dan Efektif
secara Klinis
Meskipun pernahaman kita tentang dasar molekular defek farmakogenetik pada enzim-
enzim yang memetabolisasi obat dan dampaknya pada pemberian obat dan ADR telah
meningkat. serta telah tersedianya biornarker farmakogenetik untuk mengidentifikasi pasien
yang berisiko, tapi informasi vang relevan secara klinis ini belum secara efektif
diterjemahkan ke dalam perawatan pasien. Karena itu, potensi rengobatan vang disesuaikan
secara individual umumnya masih belum terealisasi, kecuali untuk beberapa kasusu obat
dengan indeks terapetik rendah (mis. warfarin). Hal ini semakin relevan karena meskipun
95% dokter di AS tampaknya mengetahui bahwa informasi genetic semacam ini dapat secara
signifikan dapat mempengaruhi pegobatan. Hal ini sebagian Karena kurang memadainya
pelatihan dalam menerjemahkan pengetahuan ini ke praktik medis. Dan sebagian karena
logistic pemeriksaan genetic dan masalah cost-effectiveness. ADR yang parah diketahui
berperan menyebabkan 100.000 kematian per tahun di AS sekitar 7% dari emua rawat inap,
dan peningkatan lama tinggal rerata di rumah sakit. Informasi genetic akan sangat
meningkatkan keamanan dan efisiensi melalaui penyesuaian dosis atau pemberian obat
alternative,mengurangi secara bermakna peningkatan insidens ADR beirkut biayanya.
Faktor makanan dan lingkungan ikut berperan dalam variasi individual dalam metabolisme
obat. Makanan yang dipanggang arang dan sayuran cruciferae diketahui menginduksi enzim
CYP1A, sementara jus grapefruit diketahui menghambat metabolisme CYP3A obat yang
diberikan bersamanya (Tabel 4-2). Perokok memetabolisasi sebagian obat lebih cepat
daripada bukan perokok karena induksi enzim (lihat bagian sebelumnya). Pekerja industri
yang terpajan ke sebagian pestisida memetabolisasi obat tertentu lebih cepat daripada orang
yang tidak terpajan. Perbedaan semacam ini menyebabkan dosis obat yang etektif dan aman
dengan indeks terapetik sempit sulit ditentukan.
Meringkatnya kerentanan terhadap aktivitas farmakologik atau toksik obat pernah dilaporkan
pada pasien yang berusia sangat muda atau sangat tua dibandingkan dengan dewasa muda
(lihat Bab 59 dan 60). Meskipun hal mi mungkin mencerminkan perbedaan dalam
penyerapan, penyebaran, dan pengeluaran obat tapi perbedaan dalam metabolisme obat juga
berperan. Metabolisme yang lambat dapat disebabkan oleh berkurangnya aktivitas enzim
meta-bolik atau berkurangnya ketersediaan kofaktor endogen esensial.
Vartasi metabolisme obat dependen-jenis kelamin telah lama terbukti pada tikus tetapi belum
pada hewan pengerat lainnva. Tikus jantan muda memetabosasi obat jauh lebih cepat
daripada tikus betina dewasa atau tikus jantan pra-pubertas. Perbedaan dalam metabolisme
obat ini dibuktikan berkaitan dengan hormon androgen. Laporan-laporan klinis
mengisyaratkan babwa perbedaan dependen-jenis kelamin serupa dalam metabolisme obat
terdapat rada manusia untuk etanol, propranolol, beberapa benzodia zepin, estrogen, dan
salisilat.
Sementara sebagian inhibitor bersifat selektif untuk enzim P450 tertentu, yang lain bersifat
lebih umum dan dapat menghambat beberapa P450 sekaligus. Komponen aktif dalm
gratefruit juga mencakup furanokumarin seperti 6,7 dihidroksibegamotin (yang
menginaktifkan CYP3A4 usus dan hati) sebagai komponen-komponen lain yang belum
diketahui yang menghambat efluks obat ( yang diperantarai oleh glikoprotein P) di usus dan
karenanya meningkatkan ketersediaan hayati obat tertentu misalnya siklosporin.
Nya pada gangguan metabolisme dependen-CYP3A4 first-passt di usus ini secara signifikan
meningkatkan ketersediaan hayati obat-obatan seperti felodipin, nifedipin, terfenadin,
verapamil, etniltrestadiol, sakuinavir, dan siklosporin A, serta berkaitan dengan interaksi
antar obat dan interaksi obat-makananyang secara klinis relevan.
Tabel obat yang cepat dimetabolisme yang klirens hatinya dibatasi oleh aliran darah
Alprenolol Lidokain
Arnitriptilin Mesperidin
Klometiazol Morfin
Desprarnin Pentazosin
Imipramin Propoksifen
Izoniasid Propanolol
Labetalol Verapamil
Pemulihan dari interaksi ini bergnatung pada resistensi CYP3A4 dan karenanya mungkin
lambat.
Sebagian obat memerlukan konjugasi dengan bahan endogen seperti GSH, asam
glukuronat, atau sulfat untuk inaktivasi mereka. Karena itu, berbagai obat mung,kin bersaing
untuk substrat endogen yang sama, dan obat yang bereaksi lebih cepat mungkin secara efektif
menguras kadar substrat endogen dan mengganggu metabolisme obat yang bereaksi lebih
lambat. )ika yang terakhir ini memitiki kurva dosis-respons yang curam atau batas keamanan
yang sempit, dapat terjadi penguatan efek terapetik dan toksik.
Penyakit akut atau kronik vang memengaruhli arsitektur atau fungsi hati sangat
memengaruhi metabolisme sebagian obat oleh hati. Penyakit-penyakit ini mencakup hepatitis
alkohol, sirosis alkoholik aktif atau inaktif, hernokromatosis, hepatitis aktif kronik, sirosis
biliaris, dan hepatitis virus akut atau hepatitis imbas-obat. Bergantung pada keparahannya,
penyakit-penyakit ini dapat secarabermakna mengganggu enzim-enzim pemetabolisasi obat,
terutama oksidase di mikrosom, dan karenanya memengaruh.1 eliminasi obat. Sebagai
contoh, waktu paruh klordia-zepoksid dan diazepam pada pasien dengan strosis hati atau
hepatitis virus akut sangat memanjang, disertai pe-ningkatan efek mereka. Karena itu, obat-
obat ini dapat menyebabkan koma pada pasien dengan penyakit hati jika diherikan dalarn
dosis biasa.
Studi Kasus
Seorang remaja laki-laki datang ke dokter gigi untuk mencabut gigi geraham yang
mengalami impaksi. Ia sedemikian cemas sehingga dokter giginya memutuskan untuk
memberikan suatu sedative untuk menenangkan remaja tersebut. Setelah pemberian sedative
(prometazin), remaja tersebut menjadi tenang dan pencabutan gigi berjalan lancar tanpa
penyulit. Namun ketika bangkit dari kursi gigi, remaja itu menjadi sangat pucat dan pingsan.
Setelah berbaring dilantai, ia segera kembali sadar, tetapi detak jantungnya menjadi cepat
(120 dpm) dengan tekanan darah hanya 110/70 mmHg. Ketika ia duduk kecepatan
jantungnya bertambah menjadi 140 dpm, tekanan darahnya turun menjadi 80/40 mmHg, dan
ia mengeluh ingin pingsan. Ia dibantu berbaring di ruang tunggu, tempat ia beristirahat
selama 30 menit. Setelah itu remaja tersebut mampu duduk tanpa gejala, dan setelah
tambahan 15 menit ia mampu berdiri tanpa kesulitan. Efek autonom apa yang mungkin
ditimbulkan oleh prometazin yang dapat menjelaskan gejala dan tanda pasien? Mengapa
kecepatan jantungnya meningkat ketika tekanan darahnya turun?
System saraf secara konvensional dibagi menjadi susunan saraf pusat (SSP: otak dan
korda spinalis) dan system saraf perifer (jaringan neuron diluar SSP). Bagian motorik
(eferen) system saraf dapat dibagi menjadi dua subdivisi utama: autonomic dan somatic.
Sistem saraf autonom (SSA) umumnya tidak bergantung (autonom) yaitu aktivitasnya tidak
berada dibawah control kesadaran langsung. System ini terutama berkaitan dengan fungsi
visceral seperti curah jantung, aliran darah ke berbagai organ, dan pencernaan, yang penting
untuk kehidupan. Semakin banyak bukti menunjukan bahwa SSA, terutama saraf vagus juga
mempengaruhi fungsi imun dan beberapa fungsi SSP seperti lepas muatan bangkitan
(seizure). Subdivisi somatic terutama berkaitan dengan fungsi yang dikontrol oleh kesadaran
misalnya gerakan, pernapasan dan postur. Kedua system memiliki masukan aferen (sensorik)
penting yang memberi informasi mengenai lingkungan internal dan eksternal serta
memodifikasi keluaran motorik melalui lengkung refleks yang ukuran dan kompleksitasnya
bervariasi.
System saraf memiliki beberapa sifat yang juga dimiliki oleh system endokrin, yaitu
system utama lain untuk mengontrol fungsi tubuh. Sifat-sifat tersebut mencakup integrasi
level-tinggi di otak, kemampuan untuk mempengaruhi proses-proses di bagian tubuh yang
jauh, dan pemanfaat ekstensif umpan-balik negative. Kedua system menggunakan bahan
kimia untuk menyalurkan informasi. Di system saraf, transmisi kimia terjadi antara sel-sel
saraf dan antara sel-sel saraf dengan sel efektornya. Transmisi kimia berlangsung melalui
pelepasan sejumlah kecil bahan transmitter dari ujung saraf ke celah sinaps. Transmitter
memitas celah melalui proses difusi dan mengaktifkan atau menghambat sel pascasinaps
dengan berikatan dengan molekul reseptor khusus. Pada beberapa kasus, dapat terjadi
transmisi retrograde dari sel pascasinaps ke ujung neuron prasinaps dan memodifikasi
aktivitas selanjutnya.
Dengan menggunakan obat-obat yang meniru atau menghambat kerja transmitter
kimiawi, kita dapat secara selektif memodifikasi banyak fungsi autonomic. Fungsi-fungsi ini
melibatkan berbagai jaringan efektor, termasuk otot polos, otot jantung, endotel vascular,
kelenjar eksokrin dan ujung saraf prasinaps. Obat autonomic berguna pada banyak kondisi
klinis. Sayangnya sangat banyak obat yang digunakan untuk tujuan lain memiliki efek
samping pada fungsi autonom (lihat studi kasus).
Sebagian besar serat praganglion simpatis berukuran pendek dan berakhir di ganglion
yang terletak di rantai paravertebra yang berada dikedua sisi kolumna spinalis. Serat
praganglion simpatis sisanya agak lebih panjang dan berakhir di ganglion paravertebra, yang
terletak di depan vertebra, biasanya di permukaan ventral aorta. Dari ganglion, serat simpatis
pascaganglion berajalan ke jaringan yang di sarafi. Sebagian serat parasimpatis praganglion
berakhir di ganglion parasimpatis yang terletak di luar organ yang di sarafi: ganglion siliaris,
pterigopalatina, submandibula, otikus, dan beberapa ganglion pelvis. Namun, sebagian besar
serat praganglion parasimpatis berakhir di sel-sel ganglion yang tersebar difus atau dalam
jaringan di dinding organ yang di sarafi. Perhatikan bahwa kata “simpatis” dan
“parasimpatis” adalah penyebutan anatomik dan tidak bergantung pada bahan kimia
transmitter yang dilepaskan dari ujung saraf atau jenis efek-eksitatorik atau inhibitorik-yang
dipacu oleh aktivitas saraf.
Selain bagian-bagian motorik perifer SSA yang jelas ini, sejumlah besar serat eferen
berjalan dari perifer ke pusat-puasat integrasi, termasuk pleksus enterikus di usus, ganglion
otonom, dan SSP. Banyak dari jalur sensorik yang berakhir di SSP berhenti di pusat-pusat
integrasi hipotalamus dan medula serta memicu aktivitas motorik reflex yang disalurkan ke
sel efektor oleh serat-serat eferen yang telah dijelaskan. Semakin banyak bukti menunjukan
bahwa sebagian dari serat sensorik ini juga memiliki fungsi motorik perifer.
Sistem saraf enteric (SSE) adalah suau kumpulan besar dan terorganisasi dari neuron-
neuron yang terletak di dinding saluran cerna (system gastrointestinal, GI) (Gambar 6-2).
System saraf ini kadang di anggap sebagai divisi ketiga dari SSA.
Gambar 6-2. Diagram yang sangat disederhanakan dari dinding usus dan
sebagian dari sirkuit system saraf enteric (SSE). SSE menrima masukan dari
simpatis dan parasimpatis serta mengirim implus eferen ke ganglion simpatis
dan ke susunan saraf pusat. Di SNE banyak transmitter atau bahan
neuromodulator telah teridentifikasi, lihat Tabel 6-1. Ach, asetilkolin AC, sel
absorptive, CM, lapisn otot sirkular, EC, sel enterokromafin, EN, neuron
eksitatorik, EPAN, extrinsic primary afferent neuron (neuron aferen primer
ekstrinsik), 5HT, serotonin, IN, neuron inhibitorik, IPAN, intrinsic primary
efferent neuron (neuron aferen primer intrinsik), LM lapisan otot longitudinal
MP, pleksus mienterikus NE, norepinefrin NP, neuropaptida, SC, sel sekretorik
SMP, pleksus sub mukosa.
System ini terdapat di dinding saluran cerna dari esofagus hingga kolon distal dan
terlibat dalam aktivitas motorik dan sekretorik usus. System saraf ini terutama penting dalam
aktivitas motorik kolon. SSE mencakup pleksus mienterikus (pleksus Auerbach) dan
pleksus submokosus (pleksus Meissner). Jaringan neuron ini menerima serat preganglion
dari system parasimpstis dan akson simpatis pascaganglion. Mereka juga mendapat input
sensorik dari dalam usus. Serat-serat dari badan sel saraf di pleksus-pleksus ini berjalan ke
depan, belakang, dan dalam arah melingkar ke otot polos usus untuk mengontrol motilitas
dan ke sel sekretorik di mukosa. Serat sensorik menyalurkan informasi kimiawi dan mekanis
dari mukosa dan dari reseptor regang ke neuron motorik di pleksus dan ke neuron
pascaganglion di ganglion simpatis. Serat parasimpatis dan simpatis yang bersinaps di
neuron-neuron pleksus enterik tampaknya memiliki medulatorik, seperti diindikasikan oleh
pengamatan bahwa hilangnya input dari kedua divisi SSA tidak menghilangkan aktivitas GI.
Pada kenyataannya, denervasi selektif dapat menyebabkan peningktan signifikan aktivtas
motorik.
SSe berfungsi sebagai semi-autonom, menggunakan input dari sinyal motorik SSA untuk
memodulasi aktivitas GI dan mengirim informasi sensorik kembali ke SSP. SSE juga
membantu sinkronisasi implus yang diperlukan, misalnya, untuk memastikan bahwa isi usus
bergerak maju, bukan mundur, serta relaksasi sfingter ketika dinding usus berkontraksi.
Anatomi sinaps dan taut autonom menentukan lokalisasi afek transmitter di sekitar ujung
saraf. Sinaps klasik seperti taut neuromuskulus mamalia dan sebagian besar sinaps
antarneuron relative ‘ketat” yaitu bahwa saraf berakhir di bouton ecil yang sangat dekat
dengan jaringan yang disarafi, sehingga jalur yang di tempuh dari ujung saraf ke reseptor
pascasinaps sangat pendek. Karenanya, efeknya relative cepat dan terbatas. Sebaliknya, taut
antara ujung neuron autonom dan sel efektor (otot polos, otot jantung, kelenjar) berbeda dari
sinaps klasik yaitu bahwa transmitter sering dibebaskan dari serangkaian varicosities
(penonjolan) di serat saraf pascaganglion di region sel otot polos dan bukan dari bouton, dan
celah taut autonom lebih lebar dari celah sinaps somatik. Karenanya, efek muncul lebih
lambat dan lepas muatan dari satu serat motorik sering mengaktifkan atau menghambat
banyak sel efektor.
B. Karateristik Kimiawi Neurotransmiter Pada Sistem Saraf Autonom
Klasifikasi tradisional penting saraf autonom didasarkan pada molekul transmitter
utama-asetilkolin atau norepinefrin-yang dibebaskan dari bouton terminal dan varicosities.
Sejumlah besar serat SSA perifer mensintesis dan melepaskan asetilkolin; mereka adalah
serat kolinergik; yaitu, mereka bekerja dengan membebaskan asetilkolin. Seperti
diperlihatkan di Gambar 6-1, serat-serat ini mencakup semua serat autonom eferen
praganglion dan juga serat motorik somatic (non-autonom) ke otot rangka. Karena itu,
hamper semua serat eferen yang meninggalkan SSP adalah kolinergik. Selain itu, sebagian
besar serat pascaganglion parasimpatis dan beberapa serat pascaganglion simpatis bersifat
kolinergik. Cukup banyak neuron pascaganglion parasimpatis menggunakan nitrat oksida
atau peptida sabagai transmiter utama atau kontrasmiter.
Kebanyakan serat simpatis pascaganglion melepaskan norepinefrin (biasa dikenal
sebagai noradrenalin), mereka adalah serat noradrenergic (sering hanya disebut
“adrenergic”); yaitu mereka bekerja dengan mengeluarkan norepinefrin (noradrenalin). Cirri-
ciri transmitter ini disajikan secara skematis di Gambar 6-1. Seperti disebutkan sebagian serat
simpatis mengeluarkan asetilkolin. Dopamine adalah transmitter yang sangat penting di SSP,
dan terdapat bukti bahwa bahan ini dilepaskan oleh beberapa serat simpatis perifer. Sel
medulla andrenal, yang secara embriologis analog dengan neuron simpatis pascaganglion,
mengeluarkan campuran epinefrin dan norepinefrin. Yang terakhir, sebagian besar saraf
autonom juga membebaskan beberapa bahan kotransmiter (dijelaskan di teks berikut), selain
transmitter primer yang telah diuraikan.
Lima fitur kunci fungsi neurotransmitter dapat dijadikan sasaran bagi terapi
farmakologis: sintesis, penyimpanan, pelepasan, dan penghentian kekuatan transmitter, serta
efek reseptor. Proses-proses ini dibahas berikut ini.
1. Transmisi Kolinergik
Terminal dan varicosticies pada neuron kolinergik megandung banyak vesikel kecil
terbungkus membrane yang terkonsentrasi di dekat bagian sinaps membrane sel
(Gambar 6-3) serta sedikit vesikel besar berinti padat yang terletak lebih jauh dari
membrane sinaps. Vesikel besar mengandung kotransmiter peptide dengan
konsentrasi tiggi (table 6-1) sementara vesikel kecil jernih mengandung sebagian
besar dari asetilkolin. Vesikel mula-mula disintesis di badan sel neuron dan dibawa
ke terminal melalui transport akson. Vesikel juga dapat didaur ulang beberapa kali
didalam terminal. Vesikel mengandung vesicle-associated membrane protein
(VAMP), yang berfungsi untuk mendekatkan vesikel ke tempat pelepasan transmitter.
Tempat pelepasan dipermukan dalam membrane terminal saraf mengandung
synaptosomal nerved-associated proteins (SNAP), yang berinteraksi dengan VAMP.
Asetilkolin disintesis di sitoplasma dari asetil-KoA dan kolin melalui efek katalitik
enzim kolin asiltransferase.
Gambar 6-3.
(ChAT). Asetil-koA disintesis di mitokodria, yang terdapat dalam jumlah besar di ujung
saraf. Kolin diangkat dari cairan ekstrasel ke ujung saraf melalui pengangkut kolin (cholin
transporter, CHT; Gambar 6-3) dependen-natrium di membran. Symporter ini dapat
dihambata oleh sekelompok obat riset yang disebut hemikolinium. Setelah disintesis,
asetilkolin diangkut dari sitoplasma ke dalam vesikel oleh vesicle-associated transporter
(VAT) yang dijalankan oleh efluks proton (Gambar 6-3). Antiporter ini dapat dihambat oleh
obat riset vesamikol. Sintesis asetilkolin adalah suatu proses cepat yang mampu mendukung
laju pelepasan transmiter yang sangat tinggi. Asetilkolin disimpan dalam bentuk kemasan
“kuanta” molekul asetilkolin (biasanya 1000 sampai 50.000 molekul disetiap vesikel).
Sebagian besar asetilkolin (ACh) dalam vesikel terikat ke proteoglikan vesikel (vesicular
proteoglycan, VGP) yang bermuatan negatif.
Vesikel terkonsentrasi dipermukaan dalam ujung saraf yang menghadap ke sinaps melalui
interaksi dari apa yang disebut sebagai protein-protein SNARE di vesikel (sub kelompok
VAMP yang dinamai v-SNARE, khususnya sinaptobrevin) dan di bagian dalam membran
sel terminal (SNAPs,yang disebut t-SNARE, khususnya sintaksin dan SNAP-25). Pelepasan
fisiologik transmiter dari vesikel bergantung pada kalsium ekstrasel dan terjadi ketika suatu
potensial aksi mencapai ujung saraf dan memicu influks signifikan ion kalsium melalui
saluran kalsium tipe-N. Kalsium berinteraksi dengan sinaptogagmin VAMP di membran
vesikel dan memicu fusi membran vesikel dengan membran terminal dan membukannya pori
ke dalam sinaps. Pembukaan pori dan masuknya kation menyebabkan pelepasan asetilkolin
dari proteoglikan dan ekspulsi eksositotik ke celah sinaps. Satu depolarisasi saraf motorik
somatik dapat membebaskan beberapa ratus kuanta ke dalam celah sinaps. Satu depolarisasi
terminal atau varicosities saraf pascaganglion autonom mungkin menyebabkan pelepasan
yang lebih sedikit serta dalam area yang lebih luas. Selain asetilkolin, beberapa kontransmiter
juga dibebaskan pada saat yang sama (Tabel 6-1). Proses pelepasan vesikel asetilkolin
dihambat oleh toksin botulinum melalui pengeluaran enzimatik dua asam amino daris satu
atau lebih protein fusi.
Setelah dibebaskan dari terminal prasinaps, molekul asetilkolin mungkin berikatan dan
mengaktifkan reseptor asetilkolin (kolinoseptor). Akhirnya (dan biasanya sangat cepat),
semua asetilkolin yang dibebaskan berdifusi di dalam jangkauan molekul asetilkolinesterase
(AChE). AChE dengan sangat efisien menguraikan asetilkolin menjadi kolin dan asetat, yang
keduanya tidak memiliki efek transmiter signifikan, dan karenanya mengakhiri efek
transmiter (Gambar 6-3). Sebagian besar sinaps kolinergik banyak mengandung
asetilkolinesterase, karenanya waktu paruh molekul asetilkolin di sinaps sangat singkat
(sepersekian detik). Asetilkolinesterase juga ditemukan di jaringan lain, misalnya sel darah
merah (Kolinesterase lain dengan spesifitas lebih rendah terhadap asetilkolin, termasuk
butirilkolinesterase [pseudokolinesterase], ditemukan dalam plasma darah, hati, sel glia, dan
banyak jaringan lain).
Transmisi Adrenergik
Neuron adrenergik (Gambar 6-4) mengangkut asam amino prekusor (tirosin) ke ujung
saraf, lalu mensintesis transmiter katekolamin (Gambar 6-5), dan akhirnya menyimpannya di
vesikel terbungkus membran. Di sebagian besar neuron pascaganglion simpatis , produk
akhirnya adalah norepinefrin. Di medula adrenal dan bagian-bagian tertentu otak, sebagain
norepinefrin diubah lebih lanjut menjadi epinefrin. Di neuron dopaminergik, sintesis berakhir
dengan dopamin. Beberapa proses di ujung saraf merupakan tempat yang berpotensi menjadi
sasaran efek obat. Salah satunya, perubahan tirosin menjadi dopa., adalah tahap penentu
kecepatan dalam pembentukan transmiter katekolamin. Proses ini dapat dihambat oleh analog
tirosin metirosin. Antiporter berafinitas tinggi untuk katekolamin yang terletak di dinding
vesikel penyimpanan (vesicular monoantine transporter, VMAT) dapat dihambat oleh
alkaloid reserpin. Reserpin menyebabkan terkurasnya simpanan transmiter. Transporter lain
(norepinephrine transporter, NET) mengangkut norepinefrin dan molekul serupa kembali ke
dalam sitoplasma sel dari celah sinaps (Gambar 6-4;NET). NET juga sering disebut uptake I
atau reuptake I dan ikut berperan dalam penghentian aktivitas sinaps. NET dapat dihambat
oleh kokain dan antidepresan trisiklik, yang menyebabkan peningkatan aktivitas transmiter
di celah sinaps (lihat Boks: Pengangkut Uptake Neurotransmiter).
Pelepasan simpanan transmiter vesikular dari ujung saraf noradregenik serupa dengan
proses dependen kalsium yang dijelaskan sebelumnya untuk ujung saraf kolinergik. Selain
transmiter primer (norepinefrin), juga dibebaskan adenosin trifosfat (ATP), dopamin-β-
hidroksilase, dan kontransmiter peptida ke dalam celah sinaps. Berbagai simpatomimetik
campuran dan bekerja tak langsung , mis. tiramin, amfetamin, dan efedrin, mampu
membebaskan transmiter simpanan dari ujung saraf noradrenergik melalui proses
independen-kalsium. Obat-obat ini adalah agonis lemah (sebagian inaktif) untuk
adrenoseptor, tetap merupakan substrat yang baik untuk transporter monoamin. Akibatnya,
obat-obat ini cepat diserap ke dalam ujung saraf noradrenergik oleh NET. Di ujung saraf,
mereka kemudian diangkut oleh VMAT ke dalam vesikel, menggeser norepinefrin, yang
kemudian dikeluarkan ke dalam ruang sinaps melalui transpor terbalik via NET. Amfetamin
juga menghambat monoamin oksidase dan memiliki efek lain yang menyebabkan
peningkatan aktivitas norepinefrin di sinaps. Efek mereka tidak mengharuskan eksositosis
vesikel.
Norepinefrin dan epinefrin dapat dimetabolisasi oleh beberapa enzim, seperti diperlihatkan
di Gambar 6-6. Karena tingginya aktivitas monoamin oksidase di mitokondria ujung saraf,
terjadi pertukaran signifikan norepinefrin bahkan di ujung saraf yang inaktif. Karena produk
metabolik dieksresikan di urin, perkiraan tentang laju pertukaran katekolamin dapat diperoleh
dari analisis laboratorium metabolit total (kadang disebut sebagai “VMA dan metanefrin)
dalam sampel urin 24 jam. Namun, metabolisme bukan merupakan mekanisme utama untuk
mengakhiri kerja fisiologis norepinefrin yang dibebaskan dari saraf noradrenergik.
Penghentian transmisi noradrenergik terjadimkarena dua proses: difusi sederhana menjauhi
reseptor (yang berujung pada metabolisme di plasma atau hati) dan penyerapan kembali pada
ujung saraf oleh NET (Gambar 6-4) atau ke dalam sel glia prasinaps atau sel lain.
Kontrasnmiter di Saraf Kolinergik & Adrenergik
Seperti sebelumnya disebutkan, vesikel pada saraf kolinergik maupun adrenergik
mengandung bahan-bahan lain. Selain transmiter utama, kadang di populasi vesikel yang
sama dan kadang yang lain. Sebagain dari bahan yang sudah teridentifikasi hingga saat ini
tercantum di Tabel 6-1. Banyak dari bahan ini juga merupakan transmiter utama di saraf non-
kolinergik seperti akan dijelaskan berikut ini. Mereka tampaknya memiliki beberapa peran
dalam fungsi saraf yang melepaskan asetikolian atau norepinefrin. Pada sebagian kasus,
mereka menghasilkan efek yang lebih cepat atau lebih lambat untuk melengkapi atau
memodulasi efek transmiter primer. Mereka juga ikut serta dalam inhibisi umpan balik ujung
saraf yang sama dan di sekitarnya.
GAMBAR 6-4. Diagram skematik taut noradrenergik (tidak sesuai skala). Tirosin diangkut
ke dalam varicosities atau ujung noradrenergik oleh pengangkut dependen-natrium (A).
Tirosin diubah menjadi dopamin (lihat Gambar 6-5 untuk rinciannya), lalu diangkut ke dalam
vesikel oleh vesicular monoamine transporter (VMAT), yang dapat dihambat oleh reserpin.
Pembawa yang sama mengangkut norepinefrin (NE)mdan beberapa amina lain ke
dalamgranula ini. Dopamin diubah menjadi NE di vesikel oleh dopamin-β-hidroksilase.
Pelepasan fisiologik transmiter terjadi ketika potensial aksi membuka saluran kalsium peka-
voltase dan meningkatkan kalsium intrasel. Fusi vesikel-vesikel dengan membran permukaan
menyebabkan dibebaskannya norepinefrin, kontransmiter dan dopamin-β-hidroksilase.
Pelepasan dapat dihambat oleh obat seperti guanetidin danbretilium. Setelah dibebaskan,
norepinefrin berdifusi keluar celah atau diangkut ke dalam sitoplasma ujung saraf oleh
norepinephrine transporter (NET), yang dapat dihambat oelh kokain dan antidepresan
trisiklik atau ke dalam sel pascataut atau peritaut. Terdapat reseptor-reseptor regulatorik di
ujung parasinaps , SNAP, synaptosome-associated proteins (protein terikat sinaptosom),
VAMP, vesicle-associated membrane proteins (protein membran terkait-vesikel.
RESEPTOR AUTONOM
Secara historis, analisis struktur aktivitas , dengan membandingkan cermat potensi
berbagai analog agonis dan antagonis autonom, menghasilkan defenisi berbagai subtipe
Pengangkut uptake Neurotransmiter
Seperti disebut di bab 1, telah diketahui beberapa famili besar protein pengangkut.
Yang terpenting adalah famili pengangkut ABC (ATP-Binding Cassetle) dan SLC (SoLute
carrier). Seperti ditunjukkan oleh namanya, pengangkut ABC membawa ATP untuk transpor.
Protein SLC adalah kontransporter dan pada sebagian besar kasus, memanfaatkan
pergerakan natrium menuruni gradien konsentrasinya sebagai sumber energi. Pada beberapa
keadaan, mereka juga mengangkut beberapa transmiter dalam arah berlawanan melalui
mekanisme independen natrium.
NET, SLC6a2, pengangkut nerepinefrin, adalah anggota dari famili SLC, demikian
juga pengangkut-pengangkut serupa yang berperan dalam penyerapan kembali (reuptake)
dopamin (DAT, SLC6A3) dan 5-HT (serotonin,SERT,SLC6A4) ke dalam neuron yang
melepaskan transmiter-transmiter ini. Protein-protein pengangkut ini ditemukan di jaringan
perifer dan di SSP tempat neuron yang memanfaatkan transmiter ini berada.
NET penting untuk efek perifer kokain dan amfetamin. Di SSP, NET dan SERT
adalah sasaran penting beberapa golongan obat antidepresan. Transmiter inhibitorik
terpenting di SSP, asam ˠ -aminobutirat (GABA), adalah substrat paling sedikit tiga
pengangkut SLC: GAT 1, GAT 2, dan GAT 3 adalah sasaran dari obat antikejang. Protein
SLC lain mengangkut glutamat, transmiter eksitatorik utama di SSP.
Berbagai subtipe reseptor aseltilkolin primer diberi nama berdasarkan alkaloid yang
semula digunakan untuk mengidentifikasi muskarin dan nikotin., sehingga muncul nama
reseptor muskarinik dan nikotinik. Pada kasus reseptor yang berkaitan dengan saraf
noradrenergik, pemakaian nama-nama agonis (noradrenalin, fenilefrin, isoproterenol, dan
lainnya) tidaklah praktis. Karena itu kata adrenoseptor digunakan secara luas untuk
menjelaskan reseptor yang berespons terhadap katekolamin misalnya nerepinefrin. Dengan
analogi, kata kolinoseptor menunjukkan reseptor( baik muskarinik ataupun nikotinik) yang
berespons terhadap asetilkolin. Di Amerika Utara, reseptor sehari-hari dinamai berdasarkan
biasanya menyarafi mereka, karena itu muncul reseptor adrenergik ( atau noradrenergik) dan
kolinergik. Golongan umum adrenoseptor dapat dibagi lebih lanjut menjadi α-adrenoseptor,
β-adrenoseptor dan reseptor dopamin berdasarkan selektivitas agonis dan antagonis serta
faktor genomik. Pengembangan obat penghambat yang lebih selektif mengahsilkan nama-
nama subkelas di dalam ketiga tipe utama ini; sebagai contoh dalam kelas α-adrenoseptor,
terdapat reseptor α1 dan α2 yang memiliki perbedaan dalam selektivitas agonis dan antagonis.
Contoh spesifik obat-obat selektif tersebut diberikan di bab-bab selanjutnya.
Telah diketahui sejak lama bahwa jaringan efektor autonom (misalnya: usus, saluran
napas, kandung kemih) mengandung serat-serat saraf yang tidak memperlihatkan
karakteristik histokimiawi serat kolinergik atau adrenergik. Dapat ditemukan serat NANC
baik motorik maupun sensorik. Meskipun peptida-peptida merupakan bahan transmiter
utama tersering di ujung-ujung saraf ini, tapi bahan lain, misalnya nitrit oksida sintase dan
purin juga dijumpai di banyak ujung saraf (tabel 6-1). Kapsaisin, suatu neurotoksin yang
berasal dari biji cabai, dapat menyebabkan pelepasan transmiter (terutama substansi P) dari
neuron-neuron tersebut dan jika diberikan dalam dosis tinggi, merusak neuron.
Sistem enterik di dinding usus (gbr. 6-2) merupakan sistem yang paling banyak
diteliti menagandung neuron NANC selain serat kolinergik dan adrenergik. Sebagai contoh,
di usus halus, neuron-neuron ini mengandung satu atau lebih dari yang berikut: nitri oksida
sintase (yang menghasilkan nitrit oksida; NO), calcitonin gene-related peptide, kolisistokinin,
dinorfin, enkefalin, gastrin-releasing peptide, 5-hidroksitriptamin (serotonin), neuropeptida y,
somatostantin, substansi P, dan vasoactive intestinal peptide (VIP). Sebagian neuron
mengandung hingga lima transmiter yang berlainan.
Fungsi autonom terintegrasi dan diatur dibanyak level, dari SSP hingga ke sel efektor.
Sebagian besar regulasi memanfaatkan mekanisme umpan-balik negatif, tetapi juga telah
teridentifikasi beberapa mekanisme lain. Umpan balik negatif sangat penting dalam respon
SSA terhadap pemberian obat-obat autonom.
Integrasi Sentral
Ditingkat tertinggi-otak tengah dan medula- kedua divisi SSA dsn sistem endokrin
terintegrasi satu sama lain, dengan input sensorik, dan dengan informasi dari pusat-pusat
yang lebih tinggi di SSP, termasuk korteks serebrum. Interaksi-interaksi ini adalah
sedemikian sehingga para peneliti terdahulu menyebut sistem parasimpatis sebagai sistem
trofotropik ( menyebabkan pertumbuhan) yang digunakan untuk “beristirahat dan
mencerna” dan sistem simpatis sebagai sistem ergotropik (yang menyebabkan pemakaian
energi), yang diaktifkan untuk “lawan atau lari” (fight or flight). Meskipun tidak banyak
memberi pemahaman terhadap mekanisme yang terlibat namun istilah-istilah ini memberikan
penjelasan sederhana yang dapat diterapkan untuk banyak dari efek kedua sistem tersebut
(tabel 6-3). Sebagai contoh, melambatnya jantung dan stimulasi aktivitas pencernaan
merupakan ciri kerja sistem parasimpatis yang menghemat dan menyimpan energi.
Sebaliknya, stimulasi jantung meningkatnya gula darah dan fasokonstriksi kulit
mencerminkan respon yang dihasilkan oleh lepas-muatan simpatis yang sesuai untuk
“berkelahi” atau menyelamatkan diri dari serangan.
Pada tingkat interaksi yang lebih halus di batang otak, medula dan korda spinalis,
terdapat kerja sama penting antara sistem parasimpatis dan simpatis. Bagi sebagian organ,
serat-serat sensorik yang berkaitan dengan sistem parasimpatis menghasilkan kontrol refleks
terhadap impuls motorik di sistem simpatis. Karena itu, serat-serat sensorik baroreseptor
sinus karotis di saraf glosofaring memiliki pengaruh besar pada impuls simpatis dari pusat
fasomotor. Contoh ini dijelaskan secara lengkap pada bab selanjutnya. Demikian juga, serat
sensorik parasimpatis di dinding kandung kemih dipengaruhi secara signifikan oleh impuls
inhibitorik simpatis ke organ tersebut. Di dalam SSE, serat sensorik dari dinding usus
bersinapsis di sel motorik praganglion dan pascaganglion yang mengontrol otot polos dan sel
sekretorik (gbr 6-2).
Regulasi Prasinaps
Prinsip kontrol umpan-balik negatif juga dijumpai pada tingkat prasinaps fungsi
autonom. Mekanisme kontrol inhibitorik umpan-balik prasinaps yang penting terbukti
terdapat dikebanyakan ujung-ujung saraf. Mekanisme yang telah diketahui pasti melibatkan
reseptor α2 yang terletak di ujung saraf noradrenegik. Reseptor ini diaktifkan oleh
norepinefrin dan molekul serupa; pengaktifan akan menghambat pelepasan lebih lanjut
norepinefrin dari ujung-ujung saraf ini (tabel 6-4). Mekanisme efek yang diperantarai oleh
protein G ini melibatkan inhibisi arus kalsium yang masuk yang menyebabkan fusi vesikel
dan pelepasan transmiter. Sebaliknya, pada sebagian neuron adrenergik, reseptor β-prasinaps
tampaknya mempermudah pelepasan norepinefrin. Reseptor prasinaps yang berespon
terhadap bahan transmiter primer yang dibebaskan oleh ujung saraf disebut autoreseptor.
Autoreseptor biasanya bersifat inhibitorik, tetapi selain reseptor β-eksitatorik di serat-serat
noradrenergik, banyak serat kolinergik, terutama serat motorik somatik, memiliki
autoreseptor nikotinik eksitatorik.
Kontrol pelepasan transmiter tidak terbatas pada modulasi oleh transmiter itu sendiri.
Ujung saraf juga mengandung reseptor regulatorik yang berespon terhadap banyak bahan.
Heteroreseptor semacam ini mungkin diaktifkan oleh bahan-bahan yang dibebaskan dari
ujung saraf lain yang bersinapsis. Sebagai contoh, beberapa serat vagus di miokardium
bersinapsis dengan ujung saraf noradrenergik simpatis dan menghambat pelepasan
norepinefrin. Selain itu, ligan untuk reseptor-reseptor ini mungkin berdifusi ke reseptor dari
darah atau jaringan di sekitar. Sebagian dari transmiter dan reseptor yang teridentifikasi
sampai saat ini dicantumkan di tabel 6-4. Regulasi prasinaps oleh beragam bahan kimia
endogen mungkin terjadi di semua serat saraf.
Regulasi Pascasinaps
Gambar 6-8. Potensial pascasinaps eksitatorik dan inhibitorik (EPSP dan IPSP) di
sebuah sel ganglion autonom. Neuron pascaganglion yang diperlihatkan di kiri dengan
sebuah elektroda perekam mungkin mengalami perubahan potensial membran yang secara
skematis diperlihatkan dalam rekaman. Respon dimulai dengan 2 respon EPSP terhadap
pengaktifan reseptor nikotinik (N), yang pertama tidak mencapai ambang. EPSP kedua
suprathreshold, memicu potensial aksi yang diikuti oleh IPSP, mungkin dipicu oleh
pengaktifan reseptor M2 (dengan kemungkinan partisipasi pengaktifan reseptor dopamin)
IPSP sebaliknya diikuti oleh EPSP lambat dependen-M1, dan hal ini kadang diikuti oleh
potensial pascasinaps eksitatorik yang lebih lambat lagi dan lebi dipacu oleh peptida.
Empat bab selanjutnya akan memberi contoh lebih banyak tentang keberagaman
proses kontrol autonom.
Farmakologi Mata
Mata merupakan contoh organ yang berfungsi otonom, yang dikontrol oleh beberapa
reseptor otonom. Seperti diperlihatkan dalam gambar 6-9, kamera anterior adalah tempat
beberapa jaringan efektor autonom. Jaringan-jaringan ini mencakup 3 otot (otot dilator dan
konstriktor pupil di iris serta otot siliaris) dan epitel sekretorik korpus siliaris.
Adrenoseptor alpha memperantarai kontraksi serat otot dilator pupil yang berorientasi
radial di iris dan menyebabkan midriasis. Hal ini terjadi karena impuls simpatis dan ketika
obat α-agonis diletakan di kantung konjungtiva. Adrenoseptor-β epitel siliaris mempermudah
sekresi aqueus humor. Penghambat reseptor ini (dengan obat penghambat β) mengurangi
aktivitas sekresi dan menurunkan tekanan intrakulus, yaitu terapi untuk glaukoma.