Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
Obat yang masuk ke dalam tubuh mengalami reaksi modifikasi kimia atau
disebut sebagai biotransformasi, istilah lain dari metabolisme. Umumnya, proses
ini mengurangi atau menghilangkan aktivitas biologi obat dan meningkatkan
hidrofilisitasnya sehingga lebih larut air setelahnya, obat akan dieliminasi melalui
ginjal. Karena kecepatan eliminasi obat berkaitan dengan konsentrasi terapeutik,
obat biasanya didesain dengan ikatan lemah, contohnya ikatan ester yang mudah
dihidrolisis oleh esterase (Lullman et al, 2000).
Metabolisme obat memiliki dua efek penting (Neal, 2002) :
1. Obat dibuat menjadi lebih hidrofilik sehingga mempercepat laju
ekskresinya melalui ginjal. Maksudnya adalah metabolit yang hidrofil atau
kurang lipofil akan susah direabsorbsi oleh tubulus ginjal sehingga akan
cenderung dieliminasi dari tubuh.
2. Metabolit umumya menjadi kurang aktif dari keadaan semula. Akan tetapi,
ada pula obat yang dirancang sama aktifnya atau justru menjadi lebih aktif
dari obat awalnya. Sebagai contoh, diazepam dimetabolisme menjadi
nordiazepam dan oxazepam yang juga aktif. Contoh lain adalah golongan
prodrugs yang diberikan dalam keadaan inaktif dan baru aktif bila sudah
dimetabolisme di dalam tubuh, misalnya levodopa, obat antiparkinson.
Levodopa ini dimetabolisme menjadi dopamine.
Organ metabolisme utama adalah hati. Metabolisme obat meliputi dua tipe
reaksi, yaitu :
1. Reaksi Fase I
Pada reaksi fase I, terjadi proses biotransformai yang mengubah molekul
obat secara oksidasi, reduksi atau hidrolisis. Reaksi fase I biasanya mengubah
obat asal (parent drug) menjadi metabolit yang lebih polar dengan menambahkan
atau melaepaskan suatu gugus fungsional (-OH, -NH2, -SH). Metabolit ini sering
bersifat tidak aktif, walaupun pada beberapa keadaan aktifitas obat hanya berubah
saja. Jika metabolit reaksi fase I cukup polar, maka biasa dapat diekskresikan

3
dengan mudah. Namun, banyak produk reaksi fase I tidak di eliminasikan dengan
cepat dan mengalami suatu reaksi selanjutnya di amna suatu substrat endogen
seperti asam glukorat, asam sulfur, asam asetat atau suatu asam amino akan
berkombinasi dengan gugus fungsional yang baru untuk membentuk suatu
konjugat yang sangat polar. Reaksi konjugasi atau sintetik ini merupakan tanda
dari reaksi fase II (Mutschler,1991).
Berbagai macam obat mengalami reaksi biotransformasi berantai ini,
contohnya: gugusan hidrazid dari isoniazid dikenal membentuk suatu konjugat N-
asetil dalam suatu reaksi fase II. Konjugat ini merupakan substrat untuk reaksi
fase I, yang disebut hidrolisa menjadi asam isonikotrainat. Jadi, reaksi fase II
sebenarnya bisa juga mendahului reaksi fase (Katzung, 1998). Reaksi fase I pada
dasarnya tidak bertujuan untuk menyiapkan obat untuk di ekskresikan, tetapi
bertujuan untuk menyiapkan senyawa yang digunakan untuk metabolisme fase II.
Sistem enzim yang terlibat dalam reaksi oksidasi adalah sistem enzim mikrosomal
yang disebut juga sebagai Mixed Function Oxidases (MFO) atau sistem
monooksigenase.
Komponen utama dari MFO adalah sitokrom P450, yaitu komponen oksidasi
terminal dari suatu sistem transfer elektron yang berada pada retikulum
endoplasmik yang bertanggung jawab terhadap reaksi-reaksi oksidasi obat dan
digolongkan sebagai enzim yang mengandung haem(suatu haemprotein) dengan
protoperfirin IX sebagai gugus protestik (Gordon dan Skett, 1986). Reaksi yang
dikatalisis oleh MFO meliputi hidroksilasi senyawa alifatis dan aromatis,
epokdidasi, dealkilasi, deaminasi, N-oksidasi dan S-oksidasi (Anief, 1990).
1) Reaksi Oksidasi
Reaksi oksidasi adalah salah satu mekanisme reaksi perubahan obat yang
penting dan berperan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Raksi oksidasi
tersebut terjadi pada berbagai molekul menurut proses khusus tergantung pada
masing-masing tipe struktur kimianya yaitu reaksi hidroksilasi pada golongan
alkil, aril dan heterosiklik, reaksi oksidasi alkohol dan aldehid, reaksi
pembentukan N-oksida dan sulfoksida, reaksi desaminasi oksidatif, pembukaan
inti dan sebagainya (Ahmad, 1993).

4
Reaksi oksidasi dibagi menjadi 3 jenis menurut enzim yang
mengkatalisisnya:
a. Oksidasi dengan mikrosom sitokrom P450
Mikrosom adalah fragmen RE dalam bentuk bulat yang diperoleh apabila
suatu jaringan hati dihomogenisasi pada 10-100s. dalam sistem transferase
oksigen terminal enzim yang digunakan adalah sitokrom P450. yaitu, enzim yang
mereduksi ligan karbon monoksida yang mempunyai absorpsi spektrum
maksimum pada 450nm. Di bawah enzim ini, atom oksigen dari oksigen
molekuler dipindahkan ke molekul obat (DH—DOH). Sisa atom oksigen
mengikat dua proton dan membentuk air.
b. Oksidasi dengan mikrosom non sitokrom P450
Oksidasi ini memberikan efek sebagai berikut:
1. Sulfoksidasi senyawa sulfur nukleofilik, contoh pada metimazol.
2. Hidroksilamin dari amin sekunder, contoh pada desimipramin, nortriptilen.
3. Amin oksida dari amin tersier pada guanethidin dan brompheniramin.
c. Oksidasi non mikrosom
Oksidasi yang terjadi oleh enzim non mikrosomal seperti dehidrogenase
alkohol, aldehid dan oksidase monoamin dan diamin (Anief, 1990).
2) Reaksi Reduksi 
Kurang penting dibandingkan dengan reaksi oksidasi, reaksi ini terutama
berperan pada nitrogen dan turunannya (azoik dan nitrat), kadang-kadang pada
karbon. Hanya beberapa obat yang mengalami metabolisme dengan reduksi baik
pada letak mikrosomal maupun non mikrosomal. Gugus nitro, azo dan karbonil
merupakan subyek reduksi yang menghasilkan gugus hidroksida amino lebih
polar. Ada beberapa enzim reduktase dalam hati yang tergantung pada NADH
atau NADPH yang mengkatalisiskan reaksi tersebut, NADPH adalah
Nikotinamida dinukleotida. Contoh yang paling terkenal adalah reduksi protonsil
sebagai prodrug menjadi Sulfanamid (Anief,1990).
3) Reaksi Hidrolisis
Proses lain yang menghasilkan senyawa yang lebih polar adalah hidrolisis
dari ester dan amida oleh enzim esterase yang terletak baik mikrosomal dan non

5
mikrosomal akan menghidrolisasi obat yang mengandung gugus ester. Di hepar
lebih banyak terjadi dan terkonsentrasi, seperti hidrolisis Peptidin oleh suatu
enzim Esterase non mikrosomal terdapat dalam darah dan beberapa jaringan
sebagai contoh Prokain dimetabolisis oleh esterase plasma (Anief 1990).
2. Reaksi Fase II
Reaksi konjugasi sesungguhnya merupakan reaksi antara molekul eksogen
atau metabolit dengan substrat endogen, membentuk senyawa yang tidak atau
kurang toksik dan mudah larut dalam air, mudah terionisasi da selanjutnya sangat
mudah dikeluarkan (Ahmad, 1993).
Dalam metabolisme fase kedua, obat yang tak berubah, asli atau merupakan
metabolit polar mengalami konjugasi dengan asam glukoronat, sulfat, asam
merkapturat atau asetat menjadi lebih polar dan diekskresikan lebih cepat. Jadi
metabolisme fase kedua merupakan penggabungan obat aslinya atau metabolitnya
dengan bermacam-macam komponen endogen. Reaksi konjugasi yang dilakukan
oleh enzim transferase memerlukan baik komponen endogen maupun eksogen. 
Contohnya adalah Fenobarbital yang membutuhkan reaksi fase I sebagai
persyaratan reaksi konjugasi (Anief, 1990).
Reaksi fase II terdiri dari :
a. Konjugasi asam glukoronat
Konjugasi asam glukoronat merupakan cara konjugasi umum dalam proses
metabolisme. Hampir semua obat mengalami konjugasi ini karena sejumlah besar
gugus fungsional obat dapat berkombinasi secara enzimatik dengan asam
glukoronat dan tersedianya D-asam glukoronat dalam jumlah yang cukup pada
tubuh (Siswandono dan Soekardjo, 2000)
b. Metilasi
Reaksi metilasi mempunyai peran penting pada proses biosintesis beberapa
senyawa endogen, seperti norepinefrin, epinefrin, dan histaminserta untuk proses
bioinaktivasi obat. Koenzim yang terlibat pada reaksi metilasi adalah adalah S-
adenosil-metionin(SAM). Reaksi ini dikatalis oleh enzim metiltransferase yang
terdapat dalam sitoplasma dan mikrosom (Siswandono dan Soekardjo, 2000).

6
c. Asetilasi
Merupakan jalur metabolisme obat yang mengandung gugus amin primer,
sulfonamida, hidrasin, hidrasid, dan amina alifatik primer. Fungsi utama asetilasi
adalah membuat senyawa inaktif dan untuk detoksifikasi (Siswandono dan
Soekardjo,2000). Tidak semua obat melalui 2 fase ini, ada juga yang hanya
melalui fase I saja (satu atau beberapa macam reaksi) ataupun melalui fase II saja
(satu atau beberapa macam reaksi). Tetapi memang kebanyakan obat di
metabolisme melalui beberapa reaksi sekaligus atau secara berurutan menjadi
beberapa macam metabolit (Syarif, 1995).
Telah disebutkan bahwa ada 2 jenis enzim yang berperan dalam proses
metabolisme, yaitu enzim mikrosomal dan non mikrosomal. Perbedaan tersebut
dikategorikan berdasarkan letaknya di dalam sel. Kedua enzim ini, terutama
terdapat di dalam sel hati tetapi dapat juga terletak di sel jaringan lain seperti,
ginjal, paru-paru, epitel saluran cerna dan plasma. Di lumen saluran cerna juga
terdapat enzim non mikrosomal yang dihasilkan oleh flora usus. Enzim mikrosom
mengkatalisis reaksi konjugasi glukuronid, sebagian besar reaksi oksidasi, serta
reaksi reduksi dan hidrolisis. Sedangkan enzim non mikrosom mengkatalisis
reaksi konjugasi lainnya, beberapa oksidasi serta reduksi dan hidrolisis (Syarif,
1995).
Fakor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat ( Neal, 2002 ) :
1. Induksi enzim
Beberapa obat, fenobarbital, karbamazepin, etanol, dan rifampicin serta
polutan menaikkan aktivitas enzim pemetabolisme obat.
2. Inhibisi enzim
Reaksi inhibisi enzim terjadi lebih cepat daripada induksi enzim karena
terjadi secara cepat setelah onsentrasi inhibitor ini mencapai titik tertentu yang
sanggup bersaing dengan obat dalam menduduki sisi aktif enzim pemetabolisme.
Simetidin menghambat metabolisme fenitoin, teofilin, dan warfarin. Eritromisin
menghambat sitokrom P450 sehingga meningkatkan aktivitas teofilin, warfarin,
karbamazepin, dan digoksin.

7
3. Polimorfisme genetik
Resppon terhadap obat berbeda pada tiap individu karena perbedaan
genetik. Contohnya adalah debrisoquine hydroxylation.
4. Usia
Enzim mikrosomal di hati dan fungsi ginjal belum sempurna pada saat lahir
dan akan berkembang secara cepat pada empat minggu pertama setelah dilahirkan.
Di masa tua, metabolisme obat oleh hati akan berkurang sehingga untuk manula,
dosis obat biasanya lebih rendah daripada untuk usia muda. Pemberian berulang
dari suatu obat akan meningkatkan sintesis enzim sitokrom P450, dikatakan
sebagai penginduksi enzim. Hasilnya adalah laju metabolisme obat menjadi tinggi
dan banyak yang akan tereliminasi. Sementara itu, ada pula senyawa yang dapat
menghambat sintesis sitokrom P450 ataupun menghambat aktivitas enzim
mikrosomal sehingga metabolisme obat menjadi lambat dan obat akan lebih
banyak terabsorbsi daripada tereliminasi ( Neal, 2002 ).
2.2 Uraian Bahan
1. Alkohol (Dirjen POM, 1995)
Alkohol dengan nama resmi AETHANOLUM mempunyai rumus molekul
C2H5OH dengan berat molekul 46,07 g/mol. Alkohol berupa Cairan tak
berwarna, jernih, mudah menguap dan mudah bergerak, bau khas, rasa panas
dan mudah terbakar. Alkohol Sangat muah larut dalam air, dalam klorofom P
dan dalam eter P. kegunaan dari alkohol sebagai elarut dan untuk mensterilkan
alat-alat. Alkohol disimpan di dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari
cahaya, ditempat sejuk, dan jauh dari nyala api Rumus struktur alcohol sebagai
berikut:

2. Aquadest (Dirjen POM, 1979)


Aquades dengan nama resmi AQUA DESTILATA mempunyai rumus
molekul H2O dengan berat molekul 18,02 gmol. Aquades Cairan jernih, tidak
berbau, tidak berasa dan tidak berwarna dengan kelarutan larut dengan semua

8
jenis larutan dan digunakan sebagai pelarut serta disimpan dalam wadah tertutup
baik. Rumus struktur aquades sebagai berikut:

3. Diazepam (Dirjen POM,1995 ; Karyadi, 2002 )


Diazepam dengan nama resmi DIAZEPAMUM mempunyai rumus molekul
C16H13ClN2O dan berat molekul 284.7 g/mol. Diazepam berupa Sebuah putih
atau hampir putih , kristal bubuk dengan kelarutan sangat sedikit larut dalam air ,
larut dalam alkohol. Dan disimpan alam wadah tertutup rapat. Rumus Struktur
diazepam sebagai berikut:

4. Na CMC (Dirjen POM, 1979)


Na-CMC dengan nama resmi NATRII CARBOXYMETHYL CELLULOSUM
mempunyai rumus molekul C23H46N2O6.H2SO4.H2O dengan berat molekul
694,85 g/mol. Na-CMC berupa serbuk atau butiran putih kuning gading tidak
berbau/hampir tidak berbau, higroskopik dengan kelarutan mudah mendispersi
dalam air, membentuk suspensi kolodial, tidak larut dalam etanol 95 %, dalam
eter dan dalam pelarut organik dan digunakan kebagai kontrol negative. Na-
CMC disimpan pada wadah tertutup rapat. Rumus struktur Na-CMC sebagai
berikut:

5. Simetidin (Dirjen POM, 1979 )

9
Simetidin dengan nama resmi SIMVASTATIN, mempunyai rumus molekul
C10H16N6S  dan berat molekul 252.34 g/mol. Simetidin berupa Serbuk hablur,
putih sampai hampir putih; praktis. tidak berbau atau bau merkaptan lemah
dengan kelarutan arut dalam etanol, dalam polietilen glikol kloroform, etanol
dan methanol serta disipan dalam wadah tertutup rapat Rumus Struktur simetidin
sebagai berikut :

2.3 Uraian Hewan


2.3.1 Mencit (Mus musculus)
1. Taksonomi Mencit
Menurut Harvey, (2003) taksonomi mencit adalah :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Bangsa : Rodentia
Suku : Muridae
Genus : Mus Gambar 2.3.1
Mencit (Mus musculus)
Spesies : Mus musculus L.
2. Anatomi dan Fisiologi mencit
Mencit (Mus musculus L.) merupakan hewan pengerat yang memiliki
rambut berwarna keabu-abuan atau putih, mata berwarna merah atau 12 hitam,
kulit berpigmen dan perut sedikit pucat. Mencit dewasa pada umur 35 hari dan
memiliki waktu kehamilan 19-21 hari. Mencit dapat melahirkan 6-15 ekor.
Mencit jantan dan betina siap melakukan kopulasi pada umur 8 minggu.
Siklus estrus atau masa birahi 4-5 hari dengan lama estrus 12-14 jam. Fase
estrus dimulai antara pukul 16.00-22.00 WIB. Proses persetubuhan mencit
jantan dan betina untuk tujuan fertilisasi atau disebut dengan kopulasi terjadi

10
pada saat estrus, dengan fertilisasi 2 jam setelah kopulasi. Ciri-ciri terjadinya
kopulasi adalah ditemukannya sumbat vagina, yaitu cairan mani jantan yang
menggumpal (Harvey, 2003).
Mencit merupakan hewan percobaan yang efisien karena mudah
dipelihara, tidak memerlukan tempat yang luas, waktu kehamilan yang
singkat, dan banyak memiliki anak perkelahiran. Mencit dan tikus putih
memiliki banyak data toksikologi, sehingga mempermudah membandingkan
toksisitas zat-zat kimia ((Harvey, 2003).).
3. Perkembangan fetus mencit
Menurut Harvey, (2003) masa kehamilan mencit terdiri dari 3 tahap,
yaitu:
a. Tahap blastula
Tahap ini dimulai setelah ovulasi dan dilanjutkan dengan perkembangan
membran zigot primitif di uterus. Pada tahap ini, fetus 13 tidak rentan
terhadap senyawa teratogen, tetapi senyawa teratogen akan menyebabkan
kematian fetus akibat matinya sebagian sel fetus.
b. Tahap organogenesis
Tahap organogenesis merupakan tahap pembentukan organ-organ dan
sistem tubuh serta perubahan bentuk tubuh yang terjadi pada hari ke 6
sampai ke 16 kehamilan. Pada periode ini sel secara intensif mengalami
diferensiasi, mobilisasi, dan organisasi sehingga fetus sangat rentan
terhadap senyawa teratogen.
c. Tahap pertumbuhan fetus
Tahap ini merupakan tahap terjadinya perkembangan dan pematangan
fungsi jaringan, organ dan sistem yang tumbuh. Sehingga selama tahap ini,
senyawa teratogen tidak akan menyebabkan cacat morfologi, tetapi dapat
mengakibatkan kelainan fungsi seperti gangguan Sistem Syaraf Pusat
(SSP) yang mungkin tidak dapat dideteksi segera setelah kelahiran.

BAB 4

11
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Tabel Hasil Pengamatan
Kelompok Mencit Jam Reflek Balik Badan Durasi
(BB) Pemberian (Pada Jam)
Hilang Kembali

Peroral 23 g 12.30 - - -
Na-CMC

Peroral 26 g 12.40 13.15 13.45 1 Jam 5


Diazepam Menit

Peroral 14.30 1 Jam 40


Diazepam 26 g 12.50 13.15 Menit
+ Simetidin

4.2 Perhitungan
a. Perhitungan Dosis Diazepam
Dosis lazim untuk manusia = 5 mg
Konversi dosis untuk mencit 20 g = Dosis lazim x Faktor konversi
= 5 x 0,0026
= 0,013 mg
26 g
x 0,013 mg
Untuk mencit 26 g = 20 g
= 0,0169 mg
Dosis ini diberikan dalam volume = 1 ml
Dosis larutan persediaan = 100 ml
100 mL
Jumlah Diazepam yang ditimbang = x 0,0169 mg
1mL
= 1,69 mg

12
0,00169 g
% Kadar Diazepam = x 100 %
100 mL
= 0,00169 %
Berat 1 tablet = 0.0972 g
1,69mg
Serbuk Diazepam yang ditimbang = x 0,0972 g
5 mg
= 0,0328 g
b. Perhitungan Simetidin
Dosis lazim untuk manusia = 200 mg
Konversi dosis untuk mencit 20 g = Dosis lazim x Faktor konversi
= 200 x 0,0026
= 0,52 mg
26 g
Untuk mencit 29 g = x 0,52 mg
20 g
= 0,676 mg
Dosis ini dsiberikan dalam volume = 1 ml
Dosis larutan persediaan = 20 ml
20 mL
Jumlah Simetidin yang ditimbang = x 0,676 mg
1 mL
= 13,52 mg
0,01352 g
% Kadar Simetidin = x 100 %
20 mL
= 0,0676 %
Berat 1 tablet = 0,3966 g
13,52mg
Serbuk Simetidin yang ditimbang = x 0,3966 g
200mg
= 0.0268 g

13
4.3 Pembahasan
Pada percobaan kali ini dilakukan pengujian pengaruh metabolisme obat
pada hewan coba mencit (Mus musculus). Metabolisme obat sering juga disebut
biotransformasi, metabolisme obat terutama terjadi di hati yakni membrane
endoplasma reticulum dan dicytosol (Artawan, 1989).
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larutlemak)
menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu.Dengan
perubahan ini obat aktif umumnya diubah menjadi inaktif, tapi sebagian berubah
menjadi lebih aktif, kurang aktif, atau menjadi toksik (Artawan, 1989).
Diazepam adalah obat esensial golongan benzodiazepin yang tercantum
dalam WHO Essential List of Medicines Edisi 19 (WHO, 2015), Diazepam adalah
salah satu obat dari kelompok benzodiazepine. Oat ini biasa digunakan untuk
mengatasi kecemasan, kejang, hingga kecanduan alkohol.
Simetidin merupakan antagonis kompetitif histamin pada reseptor H2 dari sel
parietal sehingga secara efektif dapat menghambat sekresi asam lambung.
Simetidin juga memblok sekresi asam lambung yang disebabkan oleh rangsangan
makanan, asetilkolin, kafein, dan insulin. Simetidin digunakan untuk pengobatan
tukak lambung atau usus dan keadaan hipersekresi yang patologis, misal sindrom
Zolinger – Ellison (Siswondono dan Soekardjo, 1995).
Percobaan yang dilakukan ini bertujuan untuk menganalisis efek
metabolisme diazepam yang diberikan secara bersamaan dengan cimetidin.. Pada
percobaan ini mencit dibagi menjadi 3 kelompok uji yaitu Kelompok kontrol
negatif Na-CMC dan kelompok diazepam dan diazepam ditambah dengan
cimetidin.
Pada mencit 1 diberikan larutan Na-CMC pada jam 12. 30 tetapi tidak
menunjukan reflek balik badan. Karena menurut katzung, (2001) larutan Na-CMC
sebagai kontrol tidak mengandung obat sehingga tidak menampakan efek seperti
pada mencit ke 2 dan ke 3.
Kemudian pada mencit ke 2 yang diberikan obat diazepam pada jam 12.40
yang memiliki durasi 6,5 menit.dan terjadi reflek balik badan saat hilang 13.15

14
dan pada saat kembali 13.45 sedangakan menurut Katzung, (1997) 1 jam 5 menit,
memiliki efek sedatife , ansiolitik, hipnotik, relaksasi otot (katzung,1998).
Kemudian pada mencit ke 3 diberikan kombinasi diazepam ditambah
dengan cimetidin pada jam 12.50 dan terjadi reflek balik badan pada saat hilang
13.15 dan pada saat kembali 14.20 dan pada durasi 90 menit. Durasi pada mencit
ke 3 lebih lama dibandingkan mencit 2 dikarenakan cimetidin dapat menginhibisi
enzim sitokrom p-450 yang menyebabkan kadar obat diazepam tinggi dan efek
dari diazepam semakin lama terasa.
Dari hasil percobaan menunjukan bahwa waktu durasi dari penggunaan
cimetidin+diazepam untuk mencit ke 3 menunjukan waktu yang relatif lama pada
saat mencit tidur yaitu 1 jam 30 menit. Menurut Katzung (2001) hal ini sesuai
dengan teori bahwa cimetidin akan menghambaat enzim pemetabolisme diazepam
yang akan menyebabkan peningkatan efek obat sehingga hewan coba mencit tidur
lebih lama dibandingkan mencit yang hanya diberikan diazepam.
Kemungkinan kesalahan yang terjadi dalam praktikum ini disebabkan
tidak masuknya seluruh obat kedalam tubuh mencit yang menyebabkan
berkurangnya dosis sehingga berpengaruh pada efek obatnya. Pada percobaan ini
banyak juga kesalahan-kesalahan sehingga menimbulkan efek yang dihasilkan
tidak sesuai dengan literatur.

15

Anda mungkin juga menyukai