Anda di halaman 1dari 13

KASUS HIPERTENSI

PARAMITA MUSA
(821417048)
Subjektif
Nama                                      : Ny. S
Umur                                      : 78 Tahun
Jenis Kelamin                         : Perempuan
Pendidikan                              : SD
Alamat                                    : Nanggulan Wonosari Klaten
Ruang : Bougenvil
Tanggal Masuk RS                 : 22 April 2013
Tanggal Keluar RS : 24 April 2014
Keluhan utama : Nyeri kepala
Objektif
Alasan Masuk Rumah Sakit : 2 hari sebelum masuk ke rumah sakit panti
waluyo mengeluh pusing, nyeri dibagian
belakang kepala dirasakan terus menerus
Keadaan Saat Masuk RS : Ny. S mengatakan nyeri dibagian belakang kepala
rasanya seperti dipukul sampai pingsan
Diagnosis : Hipertensi
Riwayat Penyakit : Setahun yang lalu Ny. S pernah masuk kerumah
sakit dengan riwayat penyakit yang sama. Ny. S
juga mengatakan pernah mengalami jatuh dan
fraktur di bagian kaki kiri sekitar 10 tahun yang
lalu, pasien mengatakan frakturnya di gip selama
3 bulan.
Riwayat Penyakit Keluarga : Pasien merupakan anak ke 4 dari 6 saudara
dimana ayah dan hampir semua saudaranya
memiliki riwayat hipertensi.
Keadaan Klinis Awal
Kondisi Umum : Badan terasa lemah
Tekanan Darah Pasien : 200/100 mmHg
Nadi : 80 kali per menit
Respirasi : 22 kali per menit
Suhu : 36,8°C.
Pemeriksaan Harian
Tanggal Pemeriksaan Hasil
22 April 2013 Pemeriksan CT Scan Tidak tampak midline shift,
sistem ventrikel lebar.
Tampak lesi slight hipodens
di frontal bilateral pons
cerebullum dan CPA tidak
tampak kelainan cortical sula
dan gyri baik, tulang-tulang
calvaria dan soft tissue
ekstra kranial baik.
Kesannya yaitu susp
ischemic atau focal edema
didaerah frontal bilateral
dengan gambaran atrophy
cerebral
23 April 2013 Pemeriksaan rongten adanya gambaran
acetabulum kiri sups
deformitas os femur kiri
(fraktur lama)
Pemeriksaan Harian
Pemeriksaan Hasil per Tanggal
22 April 2013 23 April 2013 24 April 2013
Karakteristi Nyeri dirasakan ketika Masih nyeri bila Nyeri berkurang, nyeri
k Nyeri beraktivitas rasanya beraktifitas, rasanya cekot dirasakan ketika
Pasien seperti dipukul-pukul di cekot, terasa dibagian bergerak, rasanya
bagian belakang kepala, belakang kepala, skala masih cekot cekot,
skala nyeri 5, nyeri datang nyeri berkurang menjadi nyeri terasa dibelakang
hilang timbul tetapi sering, 4, waktu nyeri tidak tentu, kepala, skala nyeri
pasien juga tampak nyeri datang hilang timbul berkurang menjadi 3
meringis kesakitan dan tetapi sering. Pasien waktu tidak tentu,
takut bergerak tampak meringis pasien sudah tidak
kesakitan. meringis kesakitan,
pasien tampak lebih
rileks.
Tekanan 200/100 mmHg 190/90 mmHg 160/80 mmHg
Darah
Nadi 80 kali per menit 80 kali per menit 78 kali per menit
Suhu 36,8°C 36,9°C 36,9°C
Pernafasan 20 kali per menit 20 kali per menit 21 kali per menit
Assesment
Dari data yang diberikan, pasien memiliki riwayat penyakit sebelumnya dan
tidak memiliki riwayat penggunaan obat-obatan. Pasien juga jarang beraktivitas.
Diagnosis hipertensi didasarkan pada gejala-gejala yang ada dan penemuan klinis
disertai dengan pemeriksaan penunjang antara lain CT Scan, pemeriksaan
laboratorium rutin, dan pemeriksaan rongten. Hasil pemeriksaan tekanan darah
pasien, menunjukkan bahwa pasien menderita hipertensi tahap 1. Sedangkan
untuk hasil CT Scan, menunjukkan bahwa pasien juga mengalami jantung
iskemik, dan untuk hasil pemeriksaan rongten, pasien mengalami patah tulang
paha bagian kiri.

Plan
a. Tujuan Terapi
1. Mencegah munculnya nyeri
2. Meningkatkan kualitas hidup.
3. Meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan hipertensi
b. Terapi Non-Farmakologi
Modifikasi gaya hidup sehat merupakan saran untuk mencegahan dan
mengatur tekanan darah tinggi (Chobanian, 2003).

c. Terapi Farmakologi
Ketoprofen 2 x 100 mg iv, Kalium Diklofenak 50 mg/8 jam, Digoxin 1 x 0,125
mg/8 jam, Atenolol 50 mg/hari.
d. Ketepatan Terapi
1. Ketoprofen 2 x 100 mg iv
Menurut Team Medical Mini Notes (2019)
Indikasi Nyeri dan radang pada penyakit reumatik dan gangguan
otot skelet lainnya, setelah pembedahan ortopedik; gout
akut; dismenorea
Kontraindikasi Riwayat asma, urtikaria, atau reaksi alergi lain setelah
penggunaan OAINS. Gagal ginjal dan hari berat, Tukak
peptik aktif, hamil trimester 3
Dosis Suppositoria : 1 supp diberikan 2x sehari
Kapsul CR (controlled released): 1 kapsul 1x sehari
Tablet : 2-3 x 50-100 mg sehari
Injeksi AR dan OA : 3-4 x 50 mg/hari, Nyeri 20-50 mg
tiap 6-8 jam
Dosis Resep 2 x 100 mg iv
Efek Samping Nyeri pada tempat injeksi, iritasi rektum pada pemberian
suppositoria, perdarahan dan ulserasi saluran cerna, sakit
kepala, vertigo, gangguan fungsi hati dan ginjal
Interaksi obat -
2. Kalium Diklofenak 50 mg/8 jam
Indikasi Terapi jangka pendek nyeri inflamasi, nyeri setelah
trauma, nyeri setelah operasi, nyeri pada THT
Kontraindikasi Hipersensitif terhadap diklofena, tukak peptik, asma,
urtikaria, rhinitis akut yang ditimbulkan oleh salisilat atau
obat OAINS lainnya. Kehamilan
Dosis Dewasa: 100-150 mg/hari terbagi dalam 2-3 dosis
Dosis Resep 50 mg/8 jam
Efek Samping Mual, gastritis, eritema kulit, sakit kepala.
Interaksi Obat -
3. Digoxin 1 x 0,125 mg
Indikasi Memperlambat respon ventrikular pada kasus atrial
fibrasi / atrial flutter. Obat alternatif SVT entri
Kontraindikasi Blok jantung komplit yang intermitten, blok AV derajat
II, aritmia, supraventrikular, takikardi
Dosis Penanganan atrial fibrilasi dengan respon netrikular
cepat: IV dosis awal :4-6 mcg
Penanganan atrial fibrilasi dengan kondisi stabil jangka
panjang untuk kendali laju : 1 x 0,125 mg/ oral
Dosis Resep 1 x 0,125 mg
Efek Samping Anoreksia, mual, muntah, diare, nyeri abdomen,
gangguan penglihatan, sakit kepala, rasa capai,
mengantuk, bingung, pusing, depresi, derilium,
halusinasi, aritmia, blok jantung.
Interaksi Obat Pemberian digoksin harus berjarak minimal 2 jam
sebelum atau sesudah pemberian kolestiramin, kolestipol,
kaolin/ pektin atau karbo adsorbens.
Pemberian bersama quinidine menaikkan kadar digoksin
plasma sampai sekitar 70-100%. Dengan demikian dosis
digoksin harus dikurangi sampai 50% dan dilakukan
pemantauan kadar digoksin plasma.
4. Atenolol 50 mg/hari
Indikasi Hipertensi, angina
Kontraindikasi Asma, PPOK, gagal jantung yang tak terkendali,
bradikardi yang nyata, hipotensi, sindrom penyakit sinus,
blok AV derajat dua atau tiga, syok kardiogenik.
Dosis Hipertensi: 50 mg/hari dapat ditingkatkan hingga 100
mg/hari
Terapi infark miokard akut: 50-200 mg/hari
Dosis Resep 50 mg/hari
Efek Samping Bradikardi, gagal jantung, hipotensi, gangguan konduksi,
bronkopasme (lebih jarang dibandingkan beta blocker
nonselektif), vasokontriksi perifer, gangguan saluran
cerna, fatigue, gangguan tidur, ruam kulit.
Interaksi Obat -
e. Drug Related Problems
No. Jenis DRP Penilaian
1. Ada indikasi tapi tak diterapi Tidak Ada
2. Tidak ada indikasi tapi diterapi Tidak Ada
3. Dosis terlalu tinggi Tidak Ada
4. Dosis terlalu rendah Tidak Ada
5. Reaksi obat merugikan Tidak Ada
6. Interaksi obat Tidak Ada
f. Konsultasi dan Rekomendasi
a. Untuk Pasien dan/atau keluarga pasien
1. Pasien maupun keluarga pasien diberi tahu mengenai nama obat, dosis,
indikasi, efek samping dan aturan pakai obat
2. Pasien diedukasi mengenai relaksasi yaitu nafas dalam serta posisi
terlentang kepala saat berbaring yang berfungsi untuk membantu pasien
dalam mengurangi nyeri yang dirasakan
3. Pasien diharapkan untuk melakukan kontrol terapi mengenai penyakitnya
4. Ayah pasien memiliki riwayat hipertensi oleh karena itu pasien
disarankan untuk melakukan pencegahan sekunder untuk mencegah
komplikasi yang dapat timbul dengan meminum obat secara teratur,
kontrol tekanan darahnya secara rutin minimal 1 bulan sekali dan
olahraga teratur, mengurangi stress dengan berekreasi, memperbaiki pola
makan.
5. Keluarga pasien sebagai kelompok risiko tinggi, dianjurkan untuk
berperilaku hidup dengan pola makan yang sehat, oleh karena itu pasien
disaranakan untuk memperbaiki ventilasi ruangan.
b. Untuk tenaga Medis
1. Perlu dilaksanakannya monitoring pemeriksaan vital, pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan pendukung untuk mengontrol
perkembangan pasien
2. Memastikan jika obat diberikan dalam dosis sesuai, dan pasien patuh
dalam mengonsumsinya
3. Perlu memantau ROM baik yang terjadi di rawat inap maupun rawat
jalan.

PEMBAHASAN
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu peningkatan abnormal
tekanan darah dalam pembuluh darah arteri secara terus menerus lebih dari satu
periode. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencentusnya antara lain faktor
keturunan, jenis kelamin dan usia (laki laki yang berumur 35-50 tahun dan wanita
pasca menopouse beresiko tinggi mengalami hipertensi), diet (mengkonsumsi
tinggi garam dan lemak secara langsung berhubungan dengan perkembangan
hipertensi), berat badan, gaya hidup (merokok dan mengkonsumsi alkohol dapat
meningkatkan tekanan darah bila gaya hidup menetap). Hipertensi biasanya tanpa
gejala dan sering disebut silent killer (Widharto, 2007).
Penyebab nyeri kepala pada hipertensi yaitu terjadi pada kasus hipertensi
berat gejala yang dialami oleh penderita hiprtensi antara lain palpitasi, kelelahan,
ansietas, keringat berlebihan, tremor otot, nyeri dada, epistaksis, pandangan kabur
atau ganda, sulit tidur, dan gejala paling umum adalah nyeri kepala (rasa berat
di tengkuk) (Udjianti, 2010).
Keluhan utama yang didapatkan saat pengkajian terhadap Ny. S pada
tanggal 22 April 2013 yaitu beliau mengeluh nyeri bila beraktifitas rasanya cekot-
cekot atau seperti dipukul-pukul dibelakang kepala, skala nyeri 5 (0-10), nyeri
dirasakan 1-2 menit nyeri datang hilang timbul.
Menurut Nyeri yang dialami pasien berdasarkan teori disebabakan oleh
karena adanya sensitisasi yang terdapat di nosiseptor maningeal dan neuron
trigeminial sentral (Widjaja, 2011). Pada hipertensi sendiri nyeri kepala
disebabkan oleh proses kontraksi otot sefalik secara involunter, berkurangnya
supraspinal descending pain inhibitory activity, dan hipersensitivitas supraspinal
terhadap stimuli nosiseptif amat berperan terhadap timbulnya nyeri. Semua nilai
ambang pressure pain detection, thermal & electrical detection stimuli akan
menurun di sefalik maupun ekstrasefalik (Widjaja, 2011), berdasarkan data
pengkajian pada pasien, pasien mengeluh nyeri dibagian belakang kepala.
Skala nyeri pada Ny. S berdasarkan penentuan skala nyeri VAS (visual
analog scale) skala berupa garis lurus yang panjangnya 10 cm, dengan
penggambaran verbal pada masing-masing ujungnya yang terdiri dari angka 0
sampai 10. Angka 0 menggambarkan tidak adanya nyeri, 1-3 menggambarkan
nyeri ringan, 4-6 menggambarkan nyeri sedang, 7-9 menggambarkan nyeri berat
yang masih bisa terkontrol dan 10 menggambarkan nyeri yang sangat berat serta
tidak bisa dikontrol (Iqbal, 2005). Skala nyeri Ny. S 5 termasuk dalam skala yang
sedang karena pasien masih bisa mengontrol nyerinya dan masih bisa
berkomunikasi dengan baik Ny. S hanya meringis kesakitan dan mengeluh nyeri.
Batasan karakteristik nyeri yang dirasakan pasien memiliki ciri khas
tersendiri terkait dengan penyakit yang dialami, yaitu hipertensi adalah penyakit
yang dapat mengakibatkan transudasi, mikoinfark dan oedema otak, petekhie,
hemorhages, fibrinoid dari arteriole. Hal ini disebabkan oleh aliran darah ke otak
pada penderita hipertensi kronis tidak mengalami perubahan bila Mean Arterial
Pressure (MAP) mmHg – 160 mmHg, sedangkan pada penderita hipertensi baru
dengan MAP diantara 60 – 120 mmHg. Pada keadaan hiper kapnia, autoregulasi
menjadi lebih sempit dengan batas tertinggi 125 mmHg, sehingga perubahan yang
sedikit saja dari tekanan darah menyebabkan asidosis otak akan mempercepat
timbulnya oedema otak (Majid, 2004). Nilai ambang pressure pain detection,
thermal & electrical detection stimuli akan menurun di sefalik maupun
ekstrasefalik sehingga menyebabkan nyeri pada kepala (Widjaja, 2011).
Hipertensi sering dimanifestasikan sebagai nyeri pada kepala, kelelahan,
ansietas, keringat berlebihan, tremor otot, nyeri dada, epistaksis, pandangan kabur
atau ganda, sulit tidur. Nyeri kepala pada pasien hipertensi tentu menimbulkan
perasaan yang tidak nyaman dan hal ini dapat berpengaruh pada aktifitasnya,
bersifat tajam dan berlangsung lebih dari dari 5 menit (Tarwoto, 2011).
Karakteristik tersebut tidak semuanya muncul pada Ny. S. Hal ini disebabkan oleh
karena masing- masing orang memiliki respon yang berbeda terhadap nyeri sebab
nyeri merupakan suatu hal yang bersifat subjektif (Potter, 2005). Dapat
dimungkinkan sebagai alasan yaitu karena Ny. S sudah 1 minggu di lakukan
perawatan di bangsal Bougenvil, sehingga nyeri berkurang dengan seiring
pengobatan yang diterima.
Ny. S dalam keluarganya memiliki riwayat keturunan hipertensi yaitu
diturunkan oleh ayahnya. Menurut Widharto (2007) hipertensi termasuk penyakit
keturunan, apabila orang tua mempunyai riwayat hipertensi maka garis keturunan
berikutnya mempunyai riwayat menderita hipertensi.
Pola aktifitas pasien sebelum sakit pasien mengatakan makan atau minum di
bantu oleh keluarganya, toileting, berpakaian, juga di bantu oleh keluarganya
sedangkan mobilisasi dari tempat tidur, berpindah, dan berambulasi dengan
menggunakan alat bantu. Selama sakit semua aktifitas pasien dibantu keluarganya
maupun perawat dari makan, minum, toileting, berpakaian, mobilisasi dari tempat
tidur, berpindah dan berambulasi. Menurut Tarwoto (2011) nyeri kepala pada
pasien tentu menimbulkan perasaan yang tidak nyaman dan hal ini dapat
berpengaruh pada aktifitasnya, tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya, bahkan dapat
berdampak pada kebutuhan psikologis seperti; menarik diri, menghindari
percakapan, dan menghindari kontak dari orang lain.
Pola kognitif perceptual sebelum sakit pasien mengatakan tidak
menggunakan alat bantu penglihatan maupun pendengaran, selama sakit pasien
mengatakan badan terasa lemas, kepala pusing cekot-cekot. Karakteristik nyeri
yang dirasakan adalah sebagai berikut, provocate/faktor pencetusnya ialah karena
aktifitas, quality/kualitas nyeri rasanya cekot-cekot, region/daerah yang terasa
nyeri adalah di daerah belakang kepala, severe/skala nyeri 5, time/waktu hilang
timbul, 1-2 menit. Menurut Nanda (2010) nyeri adalah pengalaman sensorik dan
emosional yang tidak menyenangkan dan muncul akibat kerusakan jaringan aktual
atau potensial digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien sedang. Kesadaran
composmentis dengan nilai glasglow coma scale (GCS) 15, eye 4, verbal 5,
motoric 6. Hasil pemeriksaan tanda tanda vital sebagai berikut, tekanan darah
pasien 200/100 mmHg, frekuensi nadi 80 kali per menit, suhu 36,8 c, frekuensi
pernafasan 22 kali per menit. Teori menyatakan pasien hipertensi akan mengalami
peningkatan yang abnormal pada tekanan darah dalam pembuluh darah arteri
secara terus menerus lebih dari suatu periode. Menurut WHO batasan tekanan
darah yang masih dianggap normal adalah 140/90 mmHg, sedangkan tekanan
darah lebih dari 160/95 mmHg dinyatakann dalam hipertensi (Udjianti, 2010).
Pemeriksaan ekstremitas bawah terdapat adanya edema pada kaki kiri.
Menurut Rilantono (2004) kenaikan tekanan darah yang cepat kadang kadang
dapat menyebabkan gagal jantung kiri, filtrasi glomelurus dapat berkurang
meningkatkan retensi air dan garam dan terjadi oliguria dan anuria, sehingga
menyebabkan odema. Kekuatan ototnya yaitu kaki kanan 2 kaki kiri 2
kemungkinan disebabkan oleh riwayat cidera pada kaki pasien dengan di dukung
dengan pemeriksaan rongten tanggal 23 april 2013 didapatkan hasil yaitu adanya
gambaran acetabulum kiri sups deformitas os femur kiri (fraktur lama).
Pada tanggal 22 April 2013 pasien mendapatkan terapi cairan parenteral
Ringer Lactat 20 tetes per menit untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang
Karena cairan kristaloid Ringer Lactat kandungannya sama dengan komposisi
tubuh, kaltrofen 1 ampul 100 mg per 24 jam indikasi untuk kasus nyeri dan
inflamasi, cataflam 50 mg 3x1 tablet indikasi pengobatan jangka pendek nyeri dan
inflamasi, dansera 3x1 tablet indikasi untuk suplemen makanan, kalnex 250 mg
2x1 tablet indikasi fibrinolosis dan epitaksis local, prostatektomi, konisasi serviks,
edema angioneurotik, perdarahan abnormal setelah operasi, digoxin 0,25 mg 3x1
tablet indikasi payah jantung penderita usia lanjut dengan atau tanpa payah ginjal,
payah jantung akut, payah jantung pada anak (ISO, 2010).
Pasien mengatakan kepala terasa pusing, cekot-cekot, skala 5, nyeri datang
hilang timbul durasi sekitar 1-2 menit, nyeri datang bila beraktifitas, adanya
peningkatan tekanan darah 200/100 mmHg, dan hasil CT Scan yang menunjukkan
susp ischemic atau focal edema didaerah frontal bilateral dengan gambaran
atrophy cerebral. Batasan karakteristik nyeri akut sensdiri menurut Nanda (2010)
yaitu perubahan tekanan darah, perubahan frekuensi jantung, perubahan frekuensi
pernafasan, perubahan selera makan, perilaku berjaga-jaga atau perilaku
melindungi daerah yang nyeri, dilatasi pupil, fokus pada diri sendiri, indikasi
nyeri yang dapat diamati, perubahan posisi untuk menghindari nyeri, gangguan
tidur, melaporkan nyeri secara verbal.
Berdasarkan data subjektif dan data objektif maka hanya memprioritaskan
masalah utama yaitu nyeri akut. Menurut Potter (2005) prioritas masalah
bergantung pada urgensi dari masalah, sifat dari pengobatan yang diberikan dan
interaksi diantara diagnosis kefarmasian. Faktor yang berhubungan dengan
masalah nyeri akut pada Ny. S yaitu atrophy cerebral. Berdasarkan pada
pemeriksaan CT Scan menunjukkan adanya susp ischemic atau focal edema
didaerah frontal bilateral dengan gambaran atrophy cerebral. Sehingga untuk
kasus pada Ny.S penulis merumuskan nyeri akut berhubungan dengan atrophy
cerebral, karena mengacu dengan batasan karakteristik dari pasien itu sendiri
yaitu, proses inflamasi (Nanda, 2010).
Diagnosa nyeri akut berhubungan dengan atrofy cerebral. Pada kasus Ny. S
dilakukan pengobatan selama 3x24 jam menurut Patricia A. Potter (2006) nyeri
tidak dapat diatasi dalam waktu singkat dan perlu penanganan terlebih dahulu
karena nyeri berhubungan dengan kebutuhan fisiologis, rasa nyaman, dan harus
dipenuhi. Dengan kriteria hasil pasien skala nyeri berkurang 1 (0-10), tanda tanda
vital dalam rentang normal yaitu suhu 36°c, tekanan darah 130/80 mmHg,
frekuensi pernafasan 16- 24 kali per menit, nadi 60-100 kali (Wilkinson, 2006).
Pada evaluasi hari pertama, belum mampu mengatasi masalah nyeri hal ini
disebabkan karena penyembuhan memerlukan waktu karena keterbatasan waktu
juga tidak dapat mengobservasi pasien dalam 24 jam, evaluasi hari kedua pasien
masih mengeluh nyeri meskipun skala nyeri berkurang, menurut Potter (2005)
masing-masing orang memiliki respon yang berbeda terhadap nyeri sebab nyeri
merupakan suatu hal yang bersifat subjektif, hal ini menandakan masalah nyeri
teratasi sebagian karena belum sesuai dengan kriteria hasil yang ditetapkan oleh
penulis, sehingga intervensi perlu dilanjutkan. Hari ketiga evaluasi,
pengobatannya tidak mampu mengatasi masalah gangguan rasa nyeri akut secara
sempurna atau skala nyeri 1 (0-10) karena pasien masih mengeluh nyeri bila
beraktifitas meskipun skala nyeri berkurang, menurut Potter (2005) hasil yang
diharapkan adalah pernyataan tentang perilaku atau respon progresif, tahap demi
tahap yang harus diselesaikan pasien untuk mencapai tujuan pegonatan yang
diberikan dan ketika hasil tercapai tidak ada lagi faktor-faktor yang berhubungan
dengan diagnosa.
SARAN
Instruksikan pasien untuk menginformasikan jika pengurangan nyeri tidak
dapat dicapai dengan rasionalisasi perawat dapat memberikan implementasi yang
tepat kepada pasien, ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologi relaksasi yaitu
nafas dalam, relaksasi merupakan tindakan untuk mengurangi nyeri dengan cara
merelaksasikan ketegangan otot. Pada penderita hipertensi tehnik relaksasi
merupakan tindakan relaksasi otot rangka yang dipercaya dapat menurunkan nyeri
dengan merelaksasikan ketegangan otot yang mendukung rasa nyeri (Zees, 2012).
Berikan posisi yang nyaman supine head 30° teori mengukapkan pasien dengan
tekanan darah tinggi akan merasa lebih nyaman dengan posisi tersebut (supine
head 30°) dibandingkan dengan posisi terlentang, kerena menyesuaikan dengan
prinsip gravitasi, dada akan terasa lebih longgar sebab tidak tertekan oleh isi
rongga perut (James et al, 2008).
Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat analgetik, Terapi nyeri
pada hipertensi tidak hanya difokuskan untuk menghilangkan gejala tetapi juga
untuk mengatasi penderitaan dan ketidakmampuan/disability yang diakibatkan
oleh nyeri tersebut. Pemberian analgesik secara teratur disarankan lebih untuk
mencegah munculnya nyeri daripada meredakan nyeri yang telah terjadi (Saputra,
2013). Memberikan injeksi kaltrofen sesuai advis dokter, diberikan injeksi
kaltroven iv levat selang infus 1 ampul 100 mg indikasi untuk kasus nyeri dan
inflamasi golongan analgesik (ISO, 2010).
Pada kasus ini pasien ketika dirawat hanya di terapi obat untuk meredakan
nyeri. Karena pasien pada hasisl CT Scan menunjukkan bahwa pasien juga
mempunyai penyakit jantung iskemik, maka disarankan untuk menggunakan obat
golongan beta bloker adalah terapi lini pertama pada angina stabil dan mempunyai
kemampuan untuk menurunkan tekanan darah, memperbaiki konsumsi dan
mengurangi kebutuhan oksigen miokard. Sebagai alternative antagonis kalsium
kerja panjang dapat digunakan (Chobaniam, 2003).
Antagonis kalsium (terutama golongan nondihidropiridin diltiazem dan verapamil)
dan beta bloker menurunkan tekanan darah dan mengurangi kebutuhan oksigen
jantung pada pasien dengan hipertensi dan resiko tinggi penyakit koroner. Terapi
dengan CCB dihidropiridin dan atau beta bloker dengan aktifitas
simpatomimetik intrinsik dapat menyebabkan stimulasi jantung, oleh karena itu
obat-obat ini tidak disukai, sebaiknya dihindari. Antagonis kalsium dihidropiridin
dapat digunakan sebagai terapi lini kedua atau ketiga (Hajjar, 2003).

Anda mungkin juga menyukai