Anda di halaman 1dari 8

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya
penyusunan Panduan pelayanan Kefarmasian Rumah Sakit dapat terselesaikan. Pelayanan
kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang
berkaitan dengan perbekalan farmasi, dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien.

Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggrakan pelayanan


kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan
dan gawat darurat. Instalasi farmasi merupakan unit pelaksana fungsional yang
menyelenggrakan seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian merupakan bagian dari pelayanan
kesehatan yang ada di rumah sakit.

Dalam rangka meningkatkan mutu dan mewujudkan pelaynan kefarmasian yang


paripurna perlu dibuat panduan pelayanan kefarmasian khususnya panduan konseling yang
digunakan sebagai acuan bagi Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian dalam
menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. Panduan konseling ini akan dievaluasi kembali
dan akan dilakukan perbaikan bila ditemukan hal-hal yang tidak sesuai lagi dengan kondisi
rumah sakit.

Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf Instalasi Farmasi PT Graha
Pusri Medika/ RS Pusri yang telah terlibat secara langsung maupun tidak langsung
penyusunan buku panduan pelayanan konseling ini.

Palembang, Februari 2016

Ka. Instalasi Farmasi

Hengki Syahputra S.Far, A

1
INTERAKSI OBAT DAN MAKANAN

A. Pendahuluan
Interaksi obat merupakan masalah penting yang mengakibatkan ribuan orang harus di rumah
sakit di Amerika Serikat setiap tahun. Penelitian selama satu tahun baru-baru ini disejumlah
apotek menunjukkan bahwa hampir satu dari 4 pasien yang mendapatkan resep pernah
mengalami interaksi obat yang berarti pada suatu saat tertentu dalam tahun tersebut. Interaksi
demikian telah menimbulkan gangguan yang serius sehingga kadang-kadang menyebabkan
kematian. Yang lebih sering terjadi adalah interaksi yang meningkatkan toksisitas atau
turunya efek terapi pengobatan sehingga pasien tidak merasa sehat kembali atau tidak cepat
sembuh sebagaimana seharusnya (Harknoss, 1989).

Saat kita mendapatkan obat dari apotik, kita sering diberi tahu bahwa obat sebaiknya
diminum sebelum atau sesudah makan. Kita kadang tidak tahu, untuk apa sebenarnya hal
tersebut harus dilakukan. Mengapa obat tertentu harus diminum sebelum makan dan obat
lainnya harus diminum sesudah makan. Hal itu sebenarnya berkaitan dengan masalah
interaksi obat, sebagai salah satu langkah unttuk menghindari terjadinya interaksi dari suatu
obat yang merugikan ( Lulukria, 2010).
Secara singkat dikatakan interaksi obat terjadi jika suatu obat mengubah efek obat yang
lainnya. Kerja obat yang diubah dapat menjadi lebih atau kurang efektif (Harknoss, 1989).
Untuk mendapatkan efek obat harus berinteraksi dengan reseptor tetapi adakalanya obat
berinteraksi dengan faktor lain yang dapat meningkatkan atau mengurangi efek dari obat
tersebut, antara lain: faktor lingkungan, kondisi fisiologi tubuh, metabolisme tubuh,
farmakodinamik, farmakokinetik, dan makanan.
Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi interaksi obat. Pengaruh
makanan terhadap kerja obat masih sangat kurang. Karena itu, pada banyak bahan obat masih
belum jelas bagaimana pengaruh pemberian makanan pada saat yang sama pada kinetika
obat. Pada sejumlah senyawa makanan menyebabkan peningkatan, penundaan, dan
penurunan absorbsi obat (Mutschler, 1999). Makanan dapat berikatan dengan obat, sehingga
mengakibatkan absorbsi obat berkurang atau lebih lambat. Sebuah contoh diskusi tentang
makanan yang berikatan dengan obat adalah interaksi tetrasiklin dengan produk-produk dari
susu. Akibatnya adalah penurunan konsentrasi tetrasiklin dalam plasma. Oleh karena adanya

2
efek pengikatan ini, maka tetrasiklin harus dimakan satu jam sebelum atau 2 jam sesudah
makan dan tidak boleh dimakan dengan susu (Hayes et al., 1996).
Jadi interaksi obat merupakan sarana bagi semua pihak. Pasien, dokter dan farmasis harus
bekerjasama, untuk upaya memaksimalisasi pemakiaan obat demi kepentingan pasien. Di era
informasi yang serba cepat dan mudah seperti sekarang ini, masyarakat mestinya semakin
menyadari untuk menjadi mitra aktif dalam menjaga pemeliharaan kesehatannya sendiri dan
keluarga (Harknoss, 1989).

B. Interaksi Obat dan Makanan

Dasar yang menentukan apakah obat diminum sebelum, selama atau setelah makan tentunya
adalah karena absorpsi, ketersediaan hayati serta efek terapeutik obat bersangkutan, yang
amat tergantung dari waktu penggunaan obat tersebut serta adanya kemungkinan interaksi
obat dengan makanan itu sendiri. Cukup banyak usaha-usaha yang dilakukan untuk
menyelidiki hal ini. Kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan dapat terjadinya
interaksi obat dengan makanan adalah :
Perubahan motilitas lambung dan usus, terutama kecepatan pengosongan lambung dari saat
masuknya makanan
Perubahan pH, sekresi asam serta produksi empedu
Perubahan suplai darah di daerah splanchnicus dan di mukosa saluran cerna
Dipengaruhinya absorpsi obat oleh proses adsorpsi dan pembentukan kompleks
Dipengaruhinya proses transport aktif obat oleh makanan
Perubahan biotransformasi dan eliminasi.
(Widianto, 1989)

Dari semua pengaruh ini, ada beberapa factor yang mempengaruhi interaksi obat dan
makanan antara lain:
a. Pengosongan lambung
Pada kasus tertentu misalnya setelah pemberian laksansia atau penggunaan preparat retard,
maka di usus besarpun dapat terjadi absorpsi obat yang cukup besar. Karena besarnya
peranan usus halus dalam hal ini, tentu saja cepatnya makanan masuk ke dalam usus akan
amat mempengaruhi kecepatan dan jumlah obat yang diabsorpsi. Peranan jenis makanan juga
berpengaruh besar di sini. Jika makanan yang dimakan mengandung komposisi 40%
karbohidrat, 40% lemak dan 20% protein maka walaupun pengosongan lambung akan mulai

3
terjadi setelah sekitar 10 menit. Proses pengosongan ini baru berakhir setelah 3 sampai 4 jam.
Dengan ini selama 1 sampai 1,5 jam volume lambung tetap konstan karena adanya proses-
proses sekresi.
Tidak saja komposisi makanan, suhu makanan yang dimakanpun berpengaruh pada kecepatan
pengosongan lambung ini. Sebagai contoh makanan yang amat hangat atau amat dingin akan
memperlambat pengosongan lambung. Ada pula peneliti yang menyatakan pasien yang
gemuk akan mempunyai laju pengosongan lambung yang lebih lambat daripada pasien
normal. Nyeri yang hebat misalnya migren atau rasa takut, juga obat-obat seperti
antikolinergika (missal atropin, propantelin), antidepresiva trisiklik (misal amitriptilin,
imipramin) dan opioida (misal petidin, morfin) akan memperlambat pengosongan lambung.
Sedangkan percepatan pengosongan lambung diamati setelah minum cairan dalam jumlah
besar, jika tidur pada sisi kanan (berbaning pada sisi kiri akan mempunyai efek sebaliknya,)
atau pada penggunaan obat seperti metokiopramida atau khinidin. Jelaslah di sini bahwa
makanan mempengaruhi kecepatan pengosongan lambung, maka adanya gangguan pada
absorpsi obat karenanya tidak dapat diabaikan.

b. Komponen makanan
Efek perubahan dalam komponen-komponen makanan :

1. Protein (daging, dan produk susu)


Sebagai contoh, dalam penggunaan Levadopa untuk mngendalikan tremor pada penderita
Parkinson. Akibatnya, kondisi yang diobati mungkin tidak terkendali dengan baik. Hindari
atau makanlah sesedikit mungkin makanan berprotein tinggi (Harknoss, 1989).

2. Lemak
Keseluruhan dari pengaruh makan lemak pada metabolisme obat adalah bahwa apa saja yang
dapat mempengaruhi jumlah atau komposisi asam lemak dari fosfatidilkolin mikrosom hati
dapat mempengaruhi kapasitas hati untuk memetabolisasi obat. Kenaikan fosfatidilkolin atau
kandungan asam lemak tidak jenuh dari fosfatidilkolin cenderung meningkatkan metabolism
obat (Gibson, 1991). Contohnya : Efek Griseofulvin dapat meningkat.interaksi yang terjadi
adalah interaksi yang menguntungkan dan grieseofluvin sebaiknya dimakan pada saat makan
makanan berlemak seperti daging sapi, mentega, kue, selada ayam, dan kentang goring
(Harkness, 1989).

4
3. Karbohidrat
Karbohidrat tampaknya mempunyai efek sedikit pada metabolism obat, walaupun banyak
makan glukosa, terutama sekali dapat menghambat metabolism barbiturate, dan dengan
demikian memperpanjang waktu tidur. Kelebihan glukosa ternyata juga mengakibatkan
berkurangnya kandungan sitokrom P-450 hati dan memperendah aktivitas bifenil-4-
hidroksilase (Gibson, 1991). Sumber karbohidrat: roti, biscuit, kurma, jelli, dan lain-lain
(Harkness, 1989).

4. Vitamin
Vitamin merupakan bagian penting dari makanan dan dibutuhkan untuk sintesis protein dan
lemak, keduanya merupakan komponen vital dari system enzim yang memetabolisasi obat.
Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa perubahan dalam level vitamin, terutama
defisiensi, menyebabkan perubahan dalam kapasitas memetabolisasi obat. Contohnya :
a. Vit A dan vit B dengan antacid, menyebabkan penyerapan vitamin berkurang.
b. Vit C dengan besi, akibatnya penyerapan besi meningkat.
c. Vit D dengan fenitoin (dilantin), akibatnya efek vit D berkurang.
d. Vit E dengan besi, akibatnya aktivitas vit E menurun.
(Harkness, 1989)

5. Mineral
Mineral merupakan unsur logam dan bukan logam dalam makanan untuk menjaga kesehatan
yang baik. Unsur unsure yang telah terbukti mempengaruhi metabolisme obat ialah: besi,
kalium, kalsium, magnesium, zink, tembaga, selenium, dan iodium. Makanan yang tidak
mengandung magnesium juga secara nyata mengurangi kandungan lisofosfatidilkolin, suatu
efek yang juga berhubungan dengan berkurangnya kapasitas memetabolisme hati. Besi yang
berlebih dalam makanan dapat juga menghambat metabolisme obat. Kelebihan tembaga
mempunyai efek yang sama seperti defisiensi tembaga, yakni berkurangnya kemampuan
untuk memetabolisme obat dalam beberapa hal. Jadi ada level optimum dalam tembaga yang
ada pada makanan untuk memelihara metabolism obat dalam tubuh (Gibson, 1991).

5
c. Ketersediaan hayati
Penggunaan obat bersama makanan tidak hanya dapat menyebabkan perlambatan absorpsi
tetapi dapat pula mempengaruhi jumlah yang diabsorpsi (ketersediaan hayati obat
bersangkutan). Penisilamin yang digunakan sebagai basis terapeutika dalam menangani
reumatik, jika digunakan segera setelah makan, ketersediaan hayatinya jauh lebih kecil
dibandingkan jika tablet tersebut digunakan dalam keadaan lambung kosong. Ini akibat
adanya pengaruh laju pengosongan lambung terhadap absorpsi obat (Gibson, 1991).
Interaksi antara obat dan makanan disini dapat dibagi menjadi :
1. Obat-obatan yang dapat menurunkan nafsu makan, mengganggu pengecapan dan
mengganggu traktus gastrointestinal atau saluran pencernaan.
2. Obat-obatan yang dapat mempengaruhi absorbsi, metabolisme dan eksresi zat
Gizi
a. Obat dan penurunan nafsu makan
Efek samping obat atau pengaruh obat secara langsung, dapat mempengaruhi nafsu makan.
Kebanyakan stimulan CNS dapat mengakibatkan anorexia. Efek samping obat yang
berdampak pada gangguan CNS dapat mempengaruhi kemampuan dan keinginan untuk
makan. Obat-obatan penekan nafsu makan dapat menyebabkan terjadinya penurunan berat
badan yang tidak diinginkan dan ketidakseimbangan nutrisi (Mahan, 2002).
b. Obat dan perubahan pengecapan atau penciuman
Banyak obat yang dapat menyebabkan perubahan terhadap kemampuan merasakan
dysgeusia, menurunkan ketajaman rasa hypodysgeusia. Gejala-gejala tersebut dapat
mempengaruhi intake makanan. Obat-obatan yang umum digunakan dan diketahui
menyebabkan hypodysgeusia seperti: obat antihipertensi (captopril), antriretroviral
ampenavir, antineoplastik cisplastin, dan antikonvulsan phenytoin (Mahan, 2002).

c. Obat dan gangguan gastrointestinal


Obat dapat menyebabkan perubahan pada fungsi usus besar dan hal ini dapat berdampak pada
terjadinya konstipasi atau diare. Obat-obatan narkosis seperti kodein dan morfin dapat
menurunkan produktivitas tonus otot halus dari dinding usus. Hal ini berdampak pada
penurunan peristaltik yang menyebabkan terjadinya konstipasi (Lulukria, 2010).

6
C. Absorbsi
Interaksi dalam proses absorpsi dapat terjadi dengan berbagai cara misalnya,
- Perubahan (penurunan) motilitas gastrointestinal oleh karena obat-obat seperti morfin
atau senyawa-senyawa antikolinergik dapat mengubah absorpsi obat-obat lain.
- Kelasi yakni pengikatan molekul obat-obat tertentu oleh sen/.zyawa logam sehingga
absorpsi akan dikurangi, oleh karena terbentuk senyawa kompleks yang tidak
diabsorpsi. Misalnya kelasi antara tetrasiklin dengan senyawa-senyawa logam /berat
akan menurunkan absorpsi tetrasiklin.
- Makanan juga dapat mengubah absorpsi obat-obat tertentu, misalnya: umumnya
antibiotika akan menurun absorpsinya bila diberikan bersama dengan makanan
(Grahame, 1985)

Obat-obatan yang dikenal luas dapat mempengaruhi absorbsi zat gizi adalah obat-obatan
yang memiliki efek merusak terhadap mukosa usus. Antineoplastik, antiretroviral, NSAID
dan sejumlah antibiotik diketahui memiliki efek tersebut. Mekanisme penghambatan absorbsi
tersebut meliputi: pengikatan antara obat dan zat gizi (drug-nutrient binding) contohnya Fe,
Mg, Zn, dapat berikatan dengan beberapa jenis antibiotik; mengubah keasaman lambung
seperti pada antacid dan antiulcer sehingga dapat mengganggu penyerapan B12, folat dan
besi; serta dengan cara penghambatan langsung pada metabolisme atau perpindahan saat
masuk ke dinding usus (Lulukria, 2010).

D. Metabolisme
Interaksi dalam proses metabolisme dapat terjadi dengan dua kemungkinan, yakni
Pemacuan enzim (enzyme induction) suatu obat (presipitan) dapat memacu
metabolisme obat lain (obat obyek) sehingga mempercepat eliminasi obat tersebut.
Obat-obat yang dapat memacu enzim metabolism obat disebut sebagai enzyme
inducer. Dikenal beberapa obat yang mempunyai sifat pemacu enzim ini yakni
Rifampisin; Antiepileptika: fenitoin, karbamasepin, fenobarbital.
Penghambatan enzim, Obat-obat yang punya kemampuan untuk menghambat enzim
yang memetabolisir obat lain dikenal sebagai penghambat enzim (enzyme inhibitor).
Akibat dari penghambatan metabolisme obat ini adalah meningkatnya kadar obat
dalam darah dengans egala konsekuensinya, oleh karena terhambatnya proses
eliminasi obat. Obat-obat yang dikenal dapat menghambat aktifitas enzim
metabolisme obat antara lain kloramfenikol, isoniazid, simetidin, propanolol,
eritromisin, fenilbutason, alopurinol,dan lain-lain.

7
(Grahame, 1985)
Obat-obatan dan zat gizi mendapatkan enzim yang sama ketika sampai di usus dan hati.
Akibatnya beberapa obat dapat menghambat aktifitas enzim yang dibutuhkan untuk
memetabolisme zat gizi. Sebagai contohnya penggunaan metotrexate pada pengobatan kanker
menggunakan enzim yang sama yang dipakai untuk mengaktifkan folat. Sehingga efek
samping dari penggunaan obat ini adalah defisiensi asam folat (Lulukria, 2010).

Ekskresi
Obat-obatan dapat mempengaruhi dan mengganggu eksresi zat gizi dengan mengganggu
reabsorbsi pada ginjal dan menyebabkan diare atau muntah. Sehingga jika dirangkum, efek
samping pemberian obat-obatan yang berhubungan dengan gangguan GI (gastrointestinal)
dapat berupa terjadinya mual, muntah, perubahan pada pengecapan, turunnya nafsu makan,
mulut kering atau inflamasi/ luka pada mulut dan saluran pencernaan, nyeri abdominal
(bagian perut), konstipasi dan diare. Efek samping seperti di atas dapat memperburuk
konsumsi makanan si pasien. Ketika pengobatan dilakukan dalam waktu yang panjang tentu
dampak signifikan yang memperngaruhi status gizi dapat terjadi (Bruyne, 2008).

Anda mungkin juga menyukai