Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Penyakit periodontal merupakan penyakit infeksi yang menyerang gingiva dan
jaringan pendukung gigi lainnya, jika tidak dilakukan perawatan yang tepat dapat
mengakibatkan kehilangan gigi. Akumulasi bakteri plak pada permukaan gigi
merupakan penyebab utama penyakit periodontal. Di Indonesia penyakit periodontal
menduduki urutan ke dua yaitu mencapai 96,58%. (Reyna Agnes, dkk , 2013).
Periodontitis adalah penyakit jaringan periodontaldengan peradangan pada
jaringan tersebut yang ditandai oleh epitel jungsional migrasi ke apikal, sehingga
menyebabkan hilangnya perlekatan dan menurunnya puncak tulang alveolar serta
terjadi perdarahan saat probing pada daerah tersebut. (Hesti Widyawati, 2018)
Kondisi kesehatan gigi dan mulut di Indonesia saat ini masih sangat
memprihatinkan, perlu perhatian serius dari tenaga kesehatan. Hasil studi morbiditas
Studi Kesehatan Rumah Tangga - Survei Kesehatan Nasional 2001, dari prevalensi
sepuluh kelompok penyakit yang dikeluhkan masyarakat, penyakit gigi dan mulut di
urutan pertama dengan prevalensi 61%, diderita oleh 90% penduduk Indonesia dan
89% anak di bawah umur 12 tahun. Sebesar 62,4% penduduk terganggu sekolahnya
karena sakit gigi selama rata-rata 3,86 hari per tahun. (Ringga Setiawan, dkk , 2014).
Karies gigi dan penyakit periodontal dapat dicegah melalui kebiasaan
memelihara kesehatan gigi dan mulut sejak dini dan secara kontiniu. Hasil National
Oral Health Survey (NOHS) tahun 2006 di Filipina, 97,1% anak sekolah dasar umur 6
tahun dan 78,4% anak umur 12 tahun mengalami karies, dan hampir 50% menderita
infeksi odontogenic dengan karies yang mencapai pulpa, ulserasi, fistula dan abses .
(Ringga Setiawan, dkk , 2014).
Besarnya peran orang tua dalam peningkatan pengetahuan terhadap
pencegahan kesehatan gigi pada anak maka perlu melakukan pendekatan khusus
terhadap orang tua tentang kesehatan gigi pada anak. Pendidikan kesehatan gigi pada
orang tua yang mempunyai anak usia 5-9 tahun sangat penting karena pada usia
tersebut adalah masa kritis, yaitu pada masa pertumbuhan dan perkembangan
khususnya masa pertumbuhan gigi permanen, hal ini dilakukan agar penyakit
periodontal pada anak tidak terjadi . (Maria Agustin, 2014).

1
Tujuan
Referat ini disusun sebagai salah satu tugas persyaratan mengikuti ujian akhir
dari serangkaian kegiatan kepanitraan klinik Bagian Ilmu Gigi dan Mulut.

B. Manfaat

Manfaat yang diharapkan penyusun referat ini yaitu:


1. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai masukan bagi institusi pendidikan untuk menjadi bahan kepustakaan .
2. Bagi Dokter Muda
a. Dokter muda mampu mengaplikasikan dan memahami semua ilmu yang telah
diperoleh selama proses penyusunan referat .
b. Menambah pengetahuan mahasiswa dalam memahami ilmu yang diperoleh
selama proses penyusunan referat .

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Penyakit periodontal merupakan penyakit gigi dimana kehilangan struktur kolagen
pada daerah yang menyangga gigi sebagai respon dari akumulasi bakteri di jaringan
periodontal. Adapun penyakit yang sering yang sering mengenai jaringan periodontal
yakni periodontitis dan gingivitis. (Anggit Vikasari, 2016).
Faktor etiologi penyakit periodontal biasanya diklasifikasikan menjadi factor local
dan sistemi. Faktor local menyebabkan terjadinya peradangan akibat dari deposit plak dan
kalkulus di atas permukaan gigi, makanan yang terselip, gigi yang berlubang, restorasitepi
gigi yang menggantung, dan tambalan gigi yang tidak pas. Sedangkan factor sistemik
mengontrol respon jaringan terhadap factor lokal, jadi efek iritasi local dapat diperparah
oleh kondi sisistemik, contohnya pengaruh hormonal masapubertas, kehamilan,
menopause, defisiensi vitamin, diabetes mellitus, dan pengaruh penyakit sistemik lainnya.
(Anggit Vikasari , 2016).
Jaringan periodontal adalah jaringan yang mengelilingi gigi dan berfungsi sebagai
penyangga gigi, terdiri dari ginggiva, sementum, jaringan ikat periodontal dan tulang
alveolar. Ada dua tipe penyakit periodontal yang biasa dijumpai yaitu gingivitis dan
periodontitis. (Titik Sugiarti, 2017)
Gingivitis adalah bentuk penyakit periodontal yang ringan dengan tanda klinis gingiva
berwarna merah, membengkak dan mudah berdarah tanpa ditemukan kerusakan tulang
alveolar. Periodontitis adalah peradangan pada jaringan pendukung gigi yang disebabkan
oleh mikroorganisme spesifik atau kelompok mikroorganisme spesifik yang
mengakibatkan kerusakan progresif jaringan ikat periodontal dan tulang alveolar, dengan
pembentukan saku, resesi, atau keduanya . (Titik Sugiarti, 2017).

3
B. ANATOMI JARINGAN PERIODONTAL
Jaringan periodontal merupakan jaringan pendukung gigi yang terdapat disekeliling
gigi. Ada 4 komponen dari jaringan periodontal yaitu gingiva, ligamen periodontal,
sementum dan tulang alveolar. (Dewi Saputri, 2018).

Gambar 1. Struktur jaringan periodontal


(Arsmin Nur, 2014).

Jaringan periodontal mempunyai kemampuan beregenerasi karena mempunyai sistem


pendarahan yang adekuat. Regenerasi adalah pertumbuhan serta pembelahan selsel baru
dan substansi interseluler yang membentuk jaringan baru. Regenerasi terdiri dari
fibroplasias, proliferasi endotel, deposisi dan substansi dasar intersisial dan kolagen,
epitelisasi dan pematangan jaringan ikat. (Arsmin Nur, 2014).
a. Ligamen periodontal
Ligamen periodontal adalah suatu ikatan, yang menghubungkan dua buah
tulang. Akar gigi berhubungan dengan soketnya pada tulang alveolar melalui
struktur jaringan ikat yang disebut sebagai ligamen. Jaringan ini berlanjut pada
gingiva dan berhubungan dengan ruang sumsum meneruskan jaringan vaskuler
pada tulang .
Ligamen periodontal terdiri atas serabut jaringan ikat berkolagen yang
merupakan Principal Fiber tersusun dalam bentuk bundel-bundel dan mengikuti
jalan berombak dengan penampakan longitudinal. Bagian ujung dari Principal
Fiber yang masuk ke dalam sementum dan tulang akan berakhir sebagai Sharpey

4
Fiber. Serat-serat fiber ini terdiri dari serat-serat tersendiri yang berlanjut menjadi
jaringan beranastomase antara gigi dan tulang.
b. Gingiva
Gingiva adalah bagian mukosa rongga mulut yang mengelilingi gigi dan
menutupi lingir (ridge) alveolar. Ging.iva dapat beradaptasi terhadap perubahan
lingkungan, dan rongga mulut yang merupakan bagian pertaman dari saluran
pencernaan 7 dan daerah awal masuknya makanan dalam sistem pencernaan
dianggap sabagai lingkungan yang dapat beradaptasi baik.
Warna dari gingiva tergantung pada jumlah pigmen melanin pada epithelium,
vaskularisasi dan kepadatan jaringan penghubung, kandungan hemoglobin dalam
darah, derajat keratinisasi epithelium, lebar epithelium, dan ada atau tidaknya
proses inflamasi. Gingiva yang normal dan sehat berwarna merah muda.
Perbedaan dan intensitas dari warna normal gingiva bervariasi antara individu
dengan individu yang lain. Pigmentasi yang fisiologis, baik dengan karakter yang
menyebar maupun terlokalisir, bervariasi dari warna coklat terang hingga biru
gelap. Penyebaran pigmentasi adalah modifikasi perbedaan dari gingiva dalam hal
proporsi warna kulit.
Jaringan penghubung gingiva yang terpenting terdiri dari daerah substansi,
suplai darah limfe dan jaringan saraf, disusun oleh serat-serat fibril kolagen yang
disebut Gingival fibers. Terdiri dari :
1. Dentogingival fibers, atau serabut gingiva bebas yang melekat pada sementum
dan melebar keluar ke gingiva dan ke atas tepi gingiva untuk bergabung dengan
periosteum dari daerah perlekatan gingiva.
2. Alveolar-gingival fibers, atau serabut puncak tulang alveolar yang keluar dari
puncak tulang alveolar dan berjalan ke koronal kearah gingiva.
3. Circumferential fibers, yang mengelilingi gigi.
4. Transeptal fibers, yang berjalan dari satu gigi ke gigi lainnya dikoronal ke
septum alveolar.
c. Sementum
Sementum adalah jaringan ikat kalsifikasi yang menyelubungi dentin akar dan
tempat berinsersinya bundel serabut kolagen. Sementum merupakan jaringan
pertama 9 yang tersusun selama perkembangan gigi.
Terdapat dua tipe sementum yaitu seluler dan aseluler sementum, yang terdiri
dari serabut-serabut ekstrinsik dan intrinsic dan distribusi sel-sel yang tidak

5
beraturan, yang ditemukan pada bagian apikal sepertiga dari akar. Sementum
seluler mengandung sementosit pada lacuna seperti osteosit pada tulang dan saling
berhubungan satu sama lain melalui anyaman kanalikuli. Aseluler sementum tidak
mengandung sel maupun serat-serat fibril dan merupakan bagian dari serabut-
serabut sementum aseluler ekstrinsik. Sementum seluler intrinsik terdiri dari sel-
sel dan serabut kolagen, tetapi serabut tidak menyebar dalam ligamen periodontal.
d. Tulang alveolar
Prosesus alveolaris adalah bagian tulang rahang yang menopang gigi geligi.
Tulang ini mempunyai bidang fasial dan lingual dari tulang kompakta yang
dipisahkan oleh trabekulasi kanselus.tulang kanselus ini terorientasi di sekitar gigi
untuk membentuk dinding soket gigi atau lamina kribrosa. Lamina kribrosa
terperforasi seperti saringan sehingga sejumlah besar pembuluh vaskular dan saraf
dapat terbentuk di antara ligamen periodontal dan ruang trabekula. Serabut
kolagen dari ligamen periodontal berinsersi pada dinding soket, disebut juga
bundel tulang, serabut ligamen periodontal yang tertanam pada tulang disebut
serabut sharpey.
Tulang terdiri dari 99% ion-ion kalsium dari tubuh dan oleh karena itu
merupakan sumber terbesar dari kalsium ketika tingkat aliran darah berkurang dan
ini berada dalam pengaturan glandula paratiroid. (Arsmin nur, 2014).

C. PATOFISIOLOGI

Proses terjadinya periodontitis melibatkan mikroorganisme dalam plak gigi dan faktor
kerentanan pejamu. Faktor yang meregulasi kerentanan pejamu berupa respon imun
terhadap bakteri periodontopatogen. Tahap awal perkembangan periodontitis adalah
inflamasi pada gingiva sebagai respon terhadap serangan bakteri. (Nadia Quamilla,
2016).

Periodontitis dihubungkan dengan adanya plak subgingiva. Perluasan plak


subgingiva ke dalam sulkus gingiva dapat mengganggu perlekatan bagian korona
epitelium dari permukaan gigi. Mikroorganisme yang terdapat di dalam plak
subgingiva seperti Porphiromonas gingivalis, Actinobacillus actinomycetemcomitans,
Tannerela forsythia, Provotella intermedia dan Treponema denticola akan mengaktifkan
respon imun terhadap patogen periodontal dan endotoksin tersebut dengan merekrut
neutrofil, makrofag dan limfosit ke sulkus gingiva untuk menjaga jaringan pejamu dan

6
mengontrol perkembangan bakteri. Faktor kerentanan pejamu sangat berperan dalam
proses terjadinya periodontitis. Kerentanan pejamu dapat dipengaruhi oleh genetik,
pengaruh lingkungan dan tingkah laku seperti merokok, stres dan diabetes. Respon
pejamu yang tidak adekuat dalam menghancurkan bakteri dapat menyebabkan
destruksi jaringan periodontal. (Nadia Quamilla, 2016).

Tahap destruksi jaringan merupakan tahap transisi dari gingivitis ke periodontitis.


Destruksi jaringan periodontal terjadi ketika terdapat gangguan pada keseimbangan
jumlah bakteri dengan respon pejamu, hal ini dapat terjadi akibat subjek sangat rentan
terhadap infeksi periodontal atau subjek terinfeksi bakteri dalam jumlah yang besar.
Sistem imun berusaha menjaga pejamu dari infeksi ini dengan mengaktifasi sel imun
seperti neutrofil, makrofag dan limfosit untuk memerangi bakteri.Makrofag
distimulasi untuk memproduksi sitokin matrix metalloproteinases (MMPs) dan
prostaglandin E2 (PGE2). Sitokin MMPs dalam konsentrasi tinggi di jaringan akan
memediasi destruksi matriks seluler gingiva, perlekatan serat kolagen pada apikal
epitel penyatu dan ligament periodontal. Sitokin PGE2 memediasi destruksi tulang dan
menstimulasi osteoklas dalam jumlah besar untuk meresorbsi puncak tulang alveolar.
(Nadia Quamilla, 2016).

Kehilangan kolagen menyebabkan sel epitelium penyatu bagian apikal berproliferasi


sepanjang akar gigi dan bagian korona dari epitelium penyatu terlepas dari akar gigi.
Neutrofil menginvasi bagian korona epitelium penyatu dan memperbanyak jumlahnya.
Jaringan akan kehilangan kesatuan dan terlepas dari permukaan gigi. Sulkus akan
meluas secara apikal dan pada tahap ini sulkus gingiva akan berubah menjadi poket
periodontal. (Nadia Quamilla, 2016).

D. ETIOLOGI

Etiologi penyakit periodontal dapat dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu faktor
lokal dan faktor sistemik. Faktor lokal dan sistemik sangat erat hubungannya dan
berperan sebagai penyebab terjadinya kerusakan jaringan periodontal. Umumnya,
penyebab utama penyakit periodontal adalah faktor lokal, keadaan ini dapat diperberat
oleh keadaan sistemik yang kurang menguntungkan dan memungkinkan terjadinya
keadaaan yang progresif. (Andi Muhammad, 2013).

7
Faktor lokal adalah faktor yang berakibat langsung pada jaringan periodonsium serta
dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu faktor iritasi lokal dan fungsi lokal. Yang
dimaksud dengan faktor lokal adalah bakteri sebagai penyebab utama. Dan faktor-faktor
lainnya antara lain adalah bentuk gigi yang kurang baik dan letak gigi yang tidak teratur,
maloklusi,over hanging restoration dan bruksism. (Andi Muhammad, 2013).

Faktor sistemik sebagai penyakit periodontal antara lain adalah pengaruh hormonal
pada masa pubertas, kehamilan, monopause,defisiensi vitamin, diabetes melitus dan lain-lain.
Dalam hal ini dikemukakan bahwa hormon kelamin berperan penting dalam proses
pathogenesis penyakit periodontal. (Andi Muhammad, 2013).

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis yang sering kali digunakan adalah
pemeriksaan radiografik periapikal .
a. Periapikal
Radiografi periapikal digunakan untuk menentukan ada tidaknya kelainan
periapikal, mengetahui ukuran , bentuk saluran akar dan memperlihatkan
keseluruhan dari gigi, termasuk tulang disekitar gigi.
b. Bite Wing
Radiografi bite wing digunakan mendeteksi karies dan penyakit periodontal
c. Panoramik
Radiografi panoramic digunakan menghasilkan satu gambar dari struktur wajah
yang mencakup gigi rahang atas dan rahang bawah, lengkungan dan struktur
pendukungnya. (Agung Feranasari, dkk, 2020).

F. DIAGNOSA
Penyakit periodontal secara klinis dapat ditegakan yaitu :
Diagnosis penyakit periodontal ditentukan melalui penelusuran riwayat kesehatan,
pemeriksaan klinis, dan radiografis, serta beberapa pemeriksaan khusus. Hal-hal khusus
yang berkaitan dengan riwayat kesehatan adalah keberadaan faktor yang relevan dalam
riwayat medis dan kebiasaan merokok. Pemeriksaan klinis mengarahkan ke tindakan
kontrol plak, kerusakan kontur gingiva, pembengkakan, resesi jaringan periodontal,
pembentukan poket periodontal, lesi area furkasi, dan kegoyangan gigi. Pemeriksaan

8
periodontal dasar mempermudah dalam memperkirakan keadaan atau status periodontal.
Pemetaan secara rinci mengenai poket periodontal harus dilakukan jika sudah terdeteksi
keadaan periodontitis lanjut. (Hardani Wiyatmi, 2014)
Kegoyangan gigi salah satu gejala penyakit periodontal yang ditandai dengan
hilangnya perlekatan serta kerusakan tulang vertical, gingiva mudah berdarah saat
probing, dan edema. (Trijani Suwandi, 2010)
kegoyangan gigi diklasifikasikan menjadi tiga derajat.
a. Derajat 1 yaitu kegoyangan sedikit lebih besar dari normal.
b. Derajat 2 yaitu kegoyangan sekitar 1 mm.
c. Derajat 3 yaitu kegoyangan > 1 mm pada segala arah dan/atau gigi dapat ditekan
ke arah apikal.

G. PENATALAKSANAAN
Menurut (Braun,dkk, 2008) pembuangan biofilm dan deposit mineral dari permukaan
gigi merupakan aspek dasar dan penentu dari terapi periodontal. Walaupun prosedur
debridement dapat menurunkan penyakit periodontal yang umumnya terlihat sebagai
peningkatan kedalaman poket dan keterlibatan furkasi, ternyata banyak bakteri tetap
berada pada permukaan akar sehingga mempengaruhi penyembuhan setelah perawatan.
Berbagai tindakan perawatan periodontal non-bedah serta metode perawatan, antara
lain instrumentasi mekanis, ultrasonic debridement, irigasi supragingiva, irigasi
subgingiva, pemberian obat-obatan secara lokal, antibiotika sistemik, dan modulasi
respon inang. (Liana Zulfa, dkk, 2011)

a. Ultrasonic debridement
Istilah ultrasonic debridement mengarah pada pembersihan permukaan akar
dengan alat mekanis vibrasi. Prosedur ini berbeda dengan tindakan penghalusan
akar, tetapi menurut beberapa penelitian didapatkan hasil yang hampir sama
dengan skeling dan penghalusan akar terhadap penurunan kedalaman poket,
peningkatan perlekatan klinis dan penurunan inflamasi klinis. (Liana Zulfa, dkk,
2011).
Instrumentasi ultrasonik menyebabkan terjadinya aerosol yang mengandung
darah dan bakteri. Aerosol dapat terjadi dalam jarak beberapa meter dari operator
dan dapat berada di udara selama 30 menit. Klinisi harus memakai masker dan
suction kecepatan tinggi, serta pasien diminta untuk menggunakan obat kumur

9
sebelum tindakan untuk mengurangi jumlah bakteri dalam saliva. Penggunaan alat
ultrasonik atau tip mikroultrasonik (lebar <0,5 mm) sama efektifnya dengan
skeling dan penghalusan akar . (Liana Zulfa, dkk, 2011).

b. Irigasi supragingival
Irigasi supragingiva dapat meningkatkan efek penyikatan gigi dan mengurangi
inflamasi gingiva pada pasien dengan kebersihan mulut tidak baik. Penurunan
inflamasi gingiva berkisar antara 6,5- 54%. Hal ini terjadi akibat penurunan
jumlah plak supragingiva dan penetrasi irigan subgingiva sekunder yang
membasuh bakteri keluar dari poket. (Liana Zulfa, dkk, 2011).
c. Pemberian obat-obatan secara local
Penggunaan doxycycline hyclate 10%, gel metronidazole 25%, dan serat
tetrasiklin impegrated terbukti memperlihatkan hasil yang sama dengan perlakuan
penghalusan akar, dengan penurunan kedalaman poket (1 mm) dan peningkatan
perlekatan klinis. Jika dilakukan penghalusan akar saja dibandingkan dengan
penghalusan akar dan penempatan perio chip, dapat terjadi perbedaan kedalaman
poket sebesar 2 mm. Hasil yang baik ini terutama didapatkan dengan terapi
kombinasi. (Liana Zulfa, dkk, 2011).
Beberapa pendekatan kemoterapeutik tambahan telah dikembangkan, diuji dan
terbukti berhasil pada pasien periodontitis kronis. Antimikroba yang diberikan
secara lokal setelah perawatan mekanis sebagai kombinasi skeling dan
penghalusan akar dapat meningkatkan efektivitas perawatan periodontal. Hal ini
memudahkan antimikroba atau antibiotik dengan obat polimer melepaskan obat ke
dalam poket . (Liana Zulfa, dkk, 2011).
Prosedur tambahan yang diberikan yaitu pemberian antibiotika secara lokal
dan sistemik, atau penempatan subgingival chip klorheksidin telah diteliti. Di
antara antimikroba tambahan yang diberikan secara lokal, yang memberikan hasil
paling efektif adalah tetrasiklin, minosiklin , metronidazole, dan klorheksidin.
(Liana Zulfa, dkk, 2011).
d. Irigasi subgingiva
Beberapa penelitian menemukan bahwa irigasi subgingiva dengan berbagai
macam obat- obatan mampu mengurangi jumlah bakteri patogen subgingiva.
Akan tetapi satu kali irigasi tidak merespon baik obat-obatan secara sistemik.
(Liana Zulfa, dkk, 2011).

10
e. Antibiotik sistemik
Terapi antibiotika sistemik memberikan keuntungan lebih banyak
dibandingkan dengan yang diberikan secara lokal. Antibiotika sistemik dapat
diberikan melalui serum ke dasar poket dan mempengaruhi organisme invasif
jaringan seperti A.actinomycetemcomitans. Selain itu juga dapat mempengaruhi
sumber dari reinfeksi bakteri, yaitu saliva, tonsil, dan mukosa. Obat sistemik ini
juga lebih murah biayanya dan mempersingkat waktu perawatan pasien. (Liana
Zulfa, dkk, 2011).
Jika pemeriksaaan mikrobiologis menunjukkan adanya A.
actinomycetemcomitans maka disarankan penggunaan kombinasi obat amoksisilin
dengan asam klavulanat dan metronidazol, yang merupakan antibiotik spesifik
untuk obligat anaerob. Jika pasien alergi terhadap penisilin, dapat diberikan
siprofloksasin sebagai pengganti amoksisilin dengan asam klavulanat.
Siprofloksasin efektif terhadap stafilokokus, pseudomonas, dan enteric rods.
Selain itu dapat juga digunakan klindamisin. (Liana Zulfa, dkk, 2011).
f. Modulasi respons inang
Terdapat pendekatan untuk meningkatkan perawatan konvensional dari
periodontitis termasuk pemberian obat modulasi respons inang untuk menghambat
aspek destruktif dari respon imun. Food and Drug Administration (FDA) telah
menyetujui penggunaan obat-obat sistemik sebagai tambahan skeling dan
penghalusan akar. Periostat merupakan inhibitor kolagenase yang terdiri dari 20
mg doxycycline hyclate untuk pemberian secara oral. Walaupun periostat
merupakan antibiotika, tetapi diberikan dalam dosis yang rendah sehingga tidak
terjadi aktivitas bakteri. (Liana Zulfa, dkk, 2011).

H. PROGNOSIS

Baik Pengendalian faktor etiologi dan dukungan periodontal klinis dan


radiografi yang cukup untuk memungkinkan gigi dipertahankan oleh
pasien dan klinisi dengan perawatan yang tepat.
Cukup Baik Sekitar 25% kehilangan perlekatan, yang diukur secara klinis dan
radiografi. Keterlibatan furkasi Kelas I. Tingkat keparahan
keterlibatan furkasi akan memungkinkan perawatan yang memadai.

Buruk 50% kehilangan perlekatan dan pencabangan Kelas II. Lokasi dan

11
tingkat furkasi akan perawatan yang tepat - meskipun dengan
kesulitan.

BAB III
PENYAKIT PERIODONTITIS

A. DEFINISI
Periodontitis adalah peradangan yang mengenai jaringan pendukung gigi,
disebabkan oleh mikroorganisme spesifik dapat menyebabkan kerusakan yang
progresif pada ligament periodontal, tulang alveolar disertai pembentukan poket,
resesi atau keduanya. (Rizka Fadiqta dkk, 2019).
Pemeriksaan klinis pada penderita periodontitis mendapatkan peningkatan
kedalaman poket, perdarahan saat probing yang dilakukan dengan perlahan ditempat
aktifnya penyakit dan perubahan kontur fisiologis. Dapat juga ditemukan gingiva
yang kemerahan dan bengkak dan biasanya tidak terdapat rasa sakit. Tanda klinis
yang membedakan periodontitis dengan gingivitis adalah adanya attachment loss
(hilangnya perlekatan). Kehilangan perlekatan ini seringkali dihubungkan dengan
pembentukan poket periodontal dan berkurangnya kepadatan serta ketinggian dari
tulang alveolar dibawahnya (Newman, dkk., 2012).

B. ETIOLOGI PENYAKIT PERIODONTITIS


1. Faktor lokal
a. Plak bakteri
Plak gigi merupakan deposit lunak yang melekat erat pada
permukaan gigi, terdiri atas mikroorganisme yang berkembang biak dalam
suatu matrik interseluler jika seseorang melalaikan kebersihan gigi dan
mulutnya. Faktor lokal yang sering disebut sebagai faktor etiologi dalam
penyakit periodontal, antara lain adalah bakteri dalam plak, kalkulus,
materi alba, dan debris makanan. Di antara faktor-faktor tersebut yang
terpenting adalah plak gigi. Semua faktor lokal tersebut diakibatkan karena
kurangnya memelihara kebersihan gigi dan mulut (Carranza, 2012).
Etiologi utama terjadinya penyakit periodontal adalah plak gigi.
Plak gigi adalah biofilm yang melekat dengan inangnya. Keasaman rongga

12
mulut manusia itu dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dibentuk oeh
bakteri yang berinterksi dengan gigi dan interaksi fisiologis antara spesies-
spesies mikroba yang berbeda didalam rongga mulut. Kesehatan
periodontal dilihat dari keadaan keseimbangan populasi bakteri yang
berdampingan dengan host. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan
perubahan pada bakteri inang dan biofilm, yang pada akhirnya mengalami
penghancuran pada jaringan periodonsium (Carranza, 2012).
b. Kalkulus
Kalkulus merupakan suatu massa yang mengalami kalsifikasi yang
terbentuk dan melekat erat pada permukaan gigi. Kalkulus terdiri dari plak
bakteri dan merupakan suatu massa yang mengalami pengapuran,
terbentuk pada permukaan gigi secara alamiah. Kalkulus merupakan
pendukung penyebab terjadinya gingivitis (dapat dilihat bahwa inflamasi
terjadi karena penumpukan sisa makanan yang berlebihan) dan lebih
banyak terjadi pada orang dewasa, kalkulus bukan penyebab utama
terjadinya penyakit periodontal. Jenis kalkulus di klasifikasikan sebagai
supragingiva dan subgingiva berdasarkan relasinya dengan gingival
margin. Kalkulus supragingiva ialah kalkulus yang melekat pada
permukaan mahkota gigi mulai dari puncak gingival margin dan dapat
dilihat. Kalkulus ini berwarna putih kekuning-kuningan atau bahkan
kecoklat-coklatan. Kalkulus subgingival adalah kalkulus yang berada
dibawah batas gingival margin, biasanya pada daerah saku gusi dan tidak
dapat terlihat pada waktu pemeriksaan (Carranza, 2012).
c. Faktor iatrogenic
Faktor iatrogenik dari penumpatan atau protesa terutama adalah
berupa lokasi tepi tambalan, spasi antara tepi tambalan dan gigi yang tidak
dipreparasi, kontur tumpatan, oklusi, materi tumpatan, prosedur
penumpatan, desain protesa lepasan. Tepi tumpatan yang overhang
menyebabkan keseimbangan ekologi bakteri berubah dan menghambat
jalan atau pencapaian pembuangan akumulasi plak. Lokasi tepi tambalan
terhadap tepi gingiva serta kekasaran di area subgingival, mahkota dan
tambalan yang terlalu cembung, kontur permukaan oklusal seperti ridge
dan groove yang tidak baik menyebabkan plak mudah terbentuk dan

13
tertahan, atau bolus makanan terarah langsung ke proksimal sehingga
sebagai contoh terjadi impaksi makanan (Carranza, 2012).

2. Faktor sistemik
a. Faktor Genetik
Proses terjadinya periodontitis didalam satu keluarga. Dasar dari
persamaan ini baik karena memiliki lingkungan atau gen yang sama atau
keduanya telah diteliti dalam beberapa penelitian. Kesimpulan yang
didapatkan bahwa selain pada susunan genetik yang sama, persamaan
dalam keluarga disebabkan karena adat dan lingkungan yang sama.
Hubungan saudara kandung dalam penelitian ini, kaitannya dengan
jaringan periodontal tidak bisa ditolak (Newman,dkk, 2012).
b. Usia
Seiring dengan pertambahan usia, gigi geligi menjadi memanjang hal ini
menunjukkan bahwa usia dipastikan berhubungan dengan hilangnya
perlekatan pada jaringan ikat. Namun, penelitian ini juga menunjukkan
bahwa pada gigi geligi yang memanjang sangat berpotensi mengalami
kerusakan. Kerusakan ini meliputi periodontitis, trauma mekanik yang
kronis yang disebabkan cara menyikat gigi, dan kerusakan dari faktor
iatrogenik yang disebabkan oleh restorasi yang kurang baik atau perawatan
scalling and root planing yang berulang-ulang. Kesimpulan dari penelitian
ini menunjukkan bahwa hanya sedikit kaitan antara umur dengan
kerusakan jaringan periodontal. Namum disamping itu beberapa studi
melaporkan bahwa faktor genetik berpengaruh terhadap kerentanan
terjadinya penyakit periodontal (Newman,dkk, 2012).
c. Penyakit sistemik
Ketika periodontitis terjadi pada pasien yang juga memiliki penyakit
sistemik yang mempengaruhi keefektifan dari respon host, tingkat
kerusakan periodontal dapat secara signifikan meningkat. Penyakit
periodontal juga berhubungan dengan Diabetes melitus (DM) dan penyakit
sistemik lainnya. (Carranza, 2012) .

14
C. PATOFISIOLOGI
Periodontitis terjadi karena terpaparnya periodonsium pada plak dental, suatu
masa bakterial yang berisi lebih dari 1-2 x 1011 bakteri/gram. Plak dental sangat
kompleks, terdapat lebih dari 400 spesies bakteri ditemukan pada plak dental, tetapi
yang diduga bersifat patogen pada periodontis kira-kira ada 10 jenis. Porphyromonas
gingivalis, Actinobacillus actinomycetemcomitans dan Bacteroides forsythus adalah
jenis bakteri yang paling banyak dijumpai pada periodontitis. (Ayu Susilawati, 2011).
Mikroorganisme pada mikroenviromental jaringan periodontal bersifat
oportunistik. Jaringan periodontal memiliki mekanisme pertahanan terhadap injuri
berupa respons imun alami dan adaptif. Mikroorganisme periodontal bisa berada
dalam harmoni komensal dengan host (inang), episode penyakit terjadi bila ada
pergeseran keseimbangan ekologikal (yang menguntungkan bagi mikroorganisme) di
dalam mikroenviromental periodontal (subgingival) yang kompleks. Semua individu
tanpa terkecuali pernah menderita periodontitis ringan atau sedang, pada masa anak-
anak , saat pertumbuhan dan pergantian gigi selalu disertai gingivitis, pada masa
pubertas terjadi perubahan hormonal juga sering disertai gingivitis. Prevalensi
periodontitis semakin meningkat dengan bertambahnya umur, dan higiene mulut yang
jelek merupakan faktor resiko utama terjadinya periodontitis. (Ayu Susilawati, 2011).

D. KLASIFIKASI PERIODONTITIS
berdasarkan gejala klinis gambaran radiografis periodontitis diklasifikasikan menjadi :
a. Periodontitis Kronis
Periodontitis kronis merupakan penyakit yang secara progresif berjalan
lambat. Penyakit ini disebabkan oleh faktor lokal dan sistemik. Walaupun
periodontitis kronis merupakan penyakit yang paling sering diamati pada orang
dewasa, periodontitis kronis dapat terjadi pada anak-anak dan remaja sebagai
respon terhadap akumulasi plak dan kalkulus secara kronis (Newman, dkk., 2012).

15
Periodontitis kronis
(Rizka Fadiqta, 2019).

b. Periodontitis agresif dikenal juga sebagai early-onset periodontitis. Periodontitis


agresif diklasifikasikan sebagai periodontitis agresif lokal dan periodontitis agresif
generalis. Periodontitis agresif biasanya mempengaruhi individu sehat yang
berusia di bawah 30 tahun. Periodontitis agresif berbeda dari periodontitis kronis
pada usia serangan, kecepatan progresi penyakit, sifat, dan komposisi mikroflora
subgingiva yang menyertai, perubahan dalam respon imun host, serta agregasi
familial penderita (Carranza, 2012).

Periodontitis agresif
(Nanda Wirawan, 2018)

E. PENATALAKSAAN
Periodontitis dapat ditangani dengan memberikan terapi mekanis seperti scaling dan
root planning yang ditunjang dengan pemberian obat-obatan antibiotika dan anti-
inflamasi.

16
a. Scalling
Scalling adalah upaya penghilangan plak, kalkulus dan stain pada permukaan gigi
mahkota dan akar gigi. (Gredy Aryocaksono, 2016)
b. Root planing merupakan tindakan membersihkan dan menghaluskan permukaan
akar gigi dari jaringan nekrotik maupun sisa bakteri dan produknya yang melekat
pada permukaan akar gigi (sementum) (Krismariono, 2009).
c. Beberapa jenis antibiotika yang biasanya digunakan dalam pengobatan
Periodontitis seperti penisilin, metronidazole, tetrasiklin, ampisilin dan
gentamisin. (Dwi Astuti, 2016)
d. Obat anti-inflamasi yang bisa digunakan adalah obat anti-inflamasi golongan non
steroid yaitu ibuprofen. Ibuprofen berperan untuk meredakan rasa sakit dan
mencegah terjadinya perluasan inflamasi. Penggunaan ibuprofen dalam jangka
panjang akan mengakibatkan efek samping seperti stomach ulcer dan hemorrhage.
(Adela Tamara dkk. 2019).

17
BAB IV
PENCEGAHAN PENYAKIT PERIODONTITIS PADA ANAK-ANAK

Tingginya prevalensi penyakit periodontitis memungkinkan bahwa masyarakat belum


mampu menjaga kesehatan gigi dan mulut secara optimal. Penyebab utama penyakit
periodontitis yaitu adanya akumulasi plak gigi. Keberhasilan dalam pencegahan penyakit
periodontitis tergantung tidak hanya pada dokter gigi yang merawatnya, tetapi juga
tergantung pada dedikasi pasien, bila ada plak menggosok gigi dengan cara yang baik
merupakan hal yang paling efektif untuk mengontrol plak pada gigi. Karang gigi juga harus
dibersihkan setiap 6 bulan, juga tambalan atau gigi palsu sehat harus dipoles dengan baik
untuk mencegah tertahannya plak di dalam mulut.
Ada dua macam pencegahan penyakit periodontal yaitu pencegahan primer dan
sekunder. Pencegahan primer pencegahan proses peradangan dari penghancuran perlekatan
periodontal sedangkan pencegahan sekunder adalah pencegahan rekurensi peradangan
gingiva yang dapat menyebabkan hilangnya perlekatan tambahan pada periodontitis yang
telah diobati dengan baik .
Pada anak – anak ada beberapa yang sulit untuk menjaga kebersihan mulut Apabila
masalah gigi diabaikan akan menyebabkan antara lain : estetika jelek atau permukaan gigi
jelek, bau mulut tidak sedap, penyakit gusi berdarah dan bernanah, gusi turun sehingga
akarnya kelihatan, gigi menjadi renggang, gigi menjadi linu padahal tidak ada lubang,
penyakit periodontitis dan gigi menjadi goyang dan yang lebih parah lagi gigi akan lepas .
Pencegahan lain yang dapat dilakukan untuk menjaga agar gigi dan mulut sehat yaitu
dengan diet karbohidrat . karbohidrat terutama jenis sukrosa merupakan faktor utama
penyebab kerusakan gigi . Upaya pemeliharaan Kesehatan gigi dan mulut serta merubah
perilaku kebiasaan buruk anak sebaiknya dilakukan sedini mungkin sehingga periodontitis
dapat dicegah agar tidak sampai terjadi pada anak-anak.
Peran sekolah merupakan salah satu lingkungan yang dapat dijadikan sebagai tempat
untuk menyelenggarakan promosi kesehatan gigi. Teknik dan metode yang dapat dilakukan
di sekolah terkait dengan promosi kesehatan gigi dapat dilakukan oleh guru, media
elektronik, media cetak seperti poster serta menggunakan media di luar ruangan melalui
spanduk. Usia sekolah dasar merupakan saat yang ideal untuk dilakukan upaya-upaya

18
kesehatan gigi dan mulut karena pada usia sekolah dasar merupakan awal mula tumbuh gigi
permanen .
Salah satu bentuk untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut agar tetap sehat adalah
dengan melatih kemampuan motorik seorang anak, termasuk diantaranya dengan menggosok
gigi. Kemampuan menggosok gigi secara baik dan benar merupakan faktor cukup penting
untuk pemeliharaan gigi dan mulut. Waktu yang optimal untuk membersihkan gigi dilakukan
setelah makan di pagi hari dan sebelum tidur malam. Menyikat gigi setelah makan di pagi
hari bertujuan untuk membersihkan sisa-sisa makanan yang menempel setelah makan dan
sebelum tidur malam bertujuan untuk membersihkan sisa-sisa makanan yang menempel
setelah makan malam.

19
BAB V
KESIMPULAN

Pencegahan periodontitis dengan cara menjaga kebersihan mulut dengan baik secara
konsisten seperti menyikat gigi secara teratur, memberikan penyuluhan kepada masyarakat
agar lebih mengerti pentingnya menjaga kebersihan mulut, diet makanan berserat, dan
mengunyah pada kedua sisi rahang dapat mengurangi resiko terkena periodontitis. Gejala
awal menimbulkan keluhan sakit dan prosesnya berjalan lambat, sehingga penderita tidak
menyadari adanya perubahan patologis pada jaringan periodontal. Penderita baru menyadari
bila penyakit ini telah mencapai fase puncak. Selain itu secara rutin periksakan kondisi gigi
anda ke dokter gigi. Penyakit periodontitis disebabkan oleh multifaktorial dan meningkatkan
resiko terjadinya beberapa penyakit sistemik.

20
DAFTAR PUSTAKA

Lumentut Reyna Agnes Nastassia, Gunawan Paulina N, Mintjelungan Christy N. 2013.


Status Periodontal Dan Kebutuhan Perawatan Pada Usia Lanjut. Jurnal e-GiGi
(eG), Vol 1, No 2, hlm. 79-83.
Carranza, F.A., Takei, H.H., Newman, M.G. 2012. Clinical Periodontology. 11thed. St.Louis:
Saunders.
Setiawan Ringga, Adhani Rosihan, Sukmana Bayu Indra, Hadianto Teguh. 2014. Hubungan
Pelaksanaan UKGS Dengan Status Kesehatan Gigi Dan Mulut Murid Sekolah
Dasar Dan Sederajat Di Wilayah Kerja Puskesmas Cempaka Putih Kota
Banjarmasin. Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1 : 102 – 109.
Widyawati Hesti, Sudibyo, Failasufa Hayyu. 2018. Hubungan Kepatuhan Konsumsi Obat
Antidiabetes dengan Kesehatan Jaringan Periodontal pada Pasien Prolanis
Diabetes Melitus Tipe II: Studi Kasus di Puskesmas Mranggen III. Fakultas
Kedokteran Gigi, Universitas Muhammadiyah Semarang. Vol. 2 No.4 : 1 – 8 .
Vikasari Anggit, Suwandono Agus, Susanto Henry Setyawan. 2016. Gambaran Faktor
Risiko Penyakit Periodontal Pada Anak Jalanan Dengan Eks Anak Jalanan Di Kota
Semarang (Studi Pada Anak Jalanan Lepas, Anak Pendampingan RPSA X, Dan
Anak PGOT Balai Rehabilitasi Sosial Y Kota Semarang). Jurnal Kesehatan
Masyarakat (e-Journal) Vol 4, No 4 : 298 – 304.
Sugiarti Titik, Santik Yunita Dyah Puspita. Kejadian Periodontitis Di Kabupaten Magelang.
HIGEIA 1 (4) (2017) : 97 – 108 .
Agustin Maria, Irdawati, Zulaicha S. Endang. 2014. Efektifitas Pendidikan Kesehatan Media
Booklet Dibandingkan Audiovisual Terhadap Pengetahuan Orang Tua Tentang
Karies Gigi Pada Anak Usia 5-9 Tahun Di Desa Makamhaji. Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Fitri Arsmin Nur Idul. 2014. Persiapan Jaringan Peridontal Untuk Perawatan Gigi Tiruan
Sebagian Dan Gigi Tiruan Penuh. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Hasanuddin Makassar.
Saputri Dewi. Gambaran Radiograf Pada Penyakit Periodontal. Syiah Kuala Dent Soc,
2018, 3 (1): 16-21.
Arif Andi Muhammad. 2013. Identifikasi Bakteri Anaerob Pada Saluran Akar Gigi Dengan
Periodontitis Apikalis Kronis. Universitas Hasanuddin. Fakultas Kedokteran Gigi
Makassar. (1-56)
Feranasari Anak Agung Istri Agung, Epsilawati Lusi, Pramanik Farina. Fitur radiografis
ameloblastoma pada CBCT dan panoramic. Jurnal Kedokteran Gigi Universitas
Padjadjaran. April 2020;32(1):47-51.
Awwalin Rizka Fadiqta, Kusniati Retno, Failasufa Hayyu. 2019. Hubungan Pengetahuan
Dan Praktik Pemeliharaan Kesehatan Gigi Mulut Dengan Status Kesehatan
Periodontal Usia Dewasa Muda Di Puskesmas Tlogosari Wetan. Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Muhammadiyah Semarang.

21
Wirawan Nanda,Ratih Puspito, Failasufa Hayyu. 2018. Efektivitas Ekstrak Daun Keji Beling
(Strobilanthes crispus) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Aggregatibacter
actinomycetemcomitans Secara in vitro. Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas
Muhammadiyah Semarang.
Astuti Utari Dwi, Desnita Eka, Busman. 2017. Uji Sensitivitas Beberapa Antibiotika
Terhadap Isolat Kuretase Pasien Periodontitis Yang Datang Ke RSGM
Baiturrahmah Pada Tahun 2016. Jurnal B-Dent, Vol 4, No.1 : 67 – 71.
Winaswan Gredy Aryocaksono. 2016. Pengaruh Scaling And Root Planning (SRP) Terhadap
Status Gingivitis Wanita Menopause (Kajian di Posyandu Lansia Mawar XII
Kecamatan Laweyan). Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Tamara Adela, Oktiani Beta Widya, Taufiqurrahman Irham. 2019. Pengaruh Ekstrak
FLavonoid Propolis Kelulut (G.thoracica) Terhadap Jumlah Sel Netrofil Pada
Periodontitis (Studi In Vivo Pada Tikus Wistar (Rattus norvegicus) Jantan). Vol III.
No 1: 10 – 16.
Susilawati I Dewa Ayu. Periodontal infection is a “silent killer”. Stomatognatic (J.K.G.
Unej) Vol. 8 No. 1 2011 : 21-26.
Ishaq Wahyuni. 2015. Tingkat Penggunaan Radiografi Periapikal Pada Dokter Gigi Praktek
Di Kabupaten Maros Terhadap Perawatan Endodotik. Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Hasanuddin Makassar.
Wiyatmi Hardani. 2014. Seputar Permasalahan Penyakit Periodontal Di Rumah Sakit Jiwa
GRHASIA Propinsi DIY. Klinik Gigi Dan Mulut RSJ GRHASIA Propinsi DIY.
Zulfa Liana, Mustaqimah Dewi Nurul. 2011. Terapi periodontal non-bedah Non-surgical
periodontal therapy. Dentofasial, Vol.10, No.1 :36-41.
Newman, M.G., et al (2012). Carranza’s: Clinical Periodontology. 12 th ed. Singapore:
Elsevier. Pp 70 & 440
Newman, M.G., Takei, H.H. & Fermin A. Carranza, 2002. Etiology of Periodontal
Diseases. In Penny Rudolph, ed. Clinical Periodontology. Philadelphia: Elsevier
saunders Inc, p. 95.

22

Anda mungkin juga menyukai