Anda di halaman 1dari 33

Makalah

HUBUNGAN ANTARA SISTIM IMUN DENGAN PERIODONTITIS

Oleh:
Feb i mi l an y Ri ad l oh
G99161042

Pembimbing:
Christianie, drg., Sp.Perio

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU GIGI DAN MULUT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit periodontal adalah penyakit yang mengenai jaringan pendukung


gigi, yaitu ginggiva/gusi dan atau jaringan periodontal, yaitu jaringan yang
menghubungkan gigi dan tulang penyangga gigi yaitu tulang alveolar. Penyakit
yang sering mengenai jaringan periodontal adalah ginggivitis dan periodontitis.
Periodontitis adalah peradangan jaringan periodontium yang merupakan
kelainan jaringan penyangga gigi yang paling sering terjadi. Periodontitis
memiliki karakteristik kerusakan jaringan-jaringan penyokong gigi, dan tulang
alveolar sehingga dapat menyebabkan tanggalnya gigi. Periodontitis kronik
merupakan tipe periodontitis yang paling sering, biasanya terjadi pada orang
dewasa, namun dapat juga mengenai anak-anak. Derajat keparahan dari
periodontitis kronik sebanding dengan faktor kesehatan rongga mulut dan jumlah
paparan agen patologik yang ada pada rongga mulut.
Pada periodontitis terjadi perluasan peradangan dari ginggiva ke jaringan
periodontal yang lebih dalam. Perkembangan periodontitis kronis yang tidak
diobati dapat membahayakan gigi utuh, yang menyebabkan kehilangan gigi dan
gangguan estetika, gangguan fungsi oral, serta kualitas hidup. Pasien dengan
periodontitis kronis memerlukan manajemen seperti perawatan periodontal
suportif dan operasi, termasuk penggantian gigi. Untuk menghindari komplikasi
yang mungkin terjadi, maka pencegahan aktif periodontitis kronis adalah penting,
dan penyelidikan faktor risiko potensial periodontitis kronis sangat dibutuhkan.
Beberapa penelitian memperkirakan gangguan imunitas dapat
menyebabkan terjadinya periodontitis kronis. Gangguan tersebut adalah penyakit
dengan imunodefisiensi, dimana berbagai mikroorganisme (kuman, virus, parasit,
jamur) yang ada di lingkungan maupun yang sudah ada dalam tubuh penderita,
yang dalam keadaan normal tidak patogenik atau memiliki patogenisitas rendah,
dalam keadaan imunodefisiensi dapat menjadi invasif dan menimbulkan berbagai
penyakit. Oleh karena itu, penderita yang imunodefisiensi mempunyai risiko yang
lebih tinggi terhadap infeksi yang berasal dari tubuh sendiri maupun secara
nosokomial dibanding pasien tanpa imunodefisiensi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Struktur Jaringan Periodontal


Jaringan periodontal adalah jaringan yang mengelilingi gigi dan
berfungsi sebagai penyokong gigi, terdiri dari ginggiva, sementum,
jaringan ikat periodontal dan tulang alveolar.1

Gambar 2.1 Struktur jaringan periodontal pada gigi-geligi manusia

1. Dentoginggival junction
Dentoginggival junction adalah ginggiva yang melapisi gigi. Dapat
dibagi menjadi dua bagian, yaitu epithelial dan connective tissue
component. Epithelium dibentuk oleh sel basa, sel superbasal, dan sel
permukaan yang terdiri dari basal lamina, merupakan sel perlekatan.
Sel-sel tersebut memiliki banyak sitoplasma, retikulum endoplasma,
dan badan golgi.
Connective tissue terdiri dari 2 bagian, yaitu superficial dan deep.
Terletak bersebelahan dengan junctional epithelium yang berfungsi
untuk menyokong epithelium. Selain itu connective tissue memiliki
peranan untuk memulihkan dentoginggival junction setelah
pembedahan periodontal. Jaringan ini dibentuk oleh inflammatory cell
infiltrate. Jaringan yang berbatasan dengan epithelium adalah
extensive vascular plexus.2
2. Cementum
Cementum merupakan bagian yang menyelimuti akar gigi. Bersifat
keras, tak berpembuluh darah, serta merupakan perlekatan utama
periodontal ligament.3
3. Periodontal ligament
Sebagian besar periodontal ligament bersifat lunak, terutama
jaringan yang berada diantara cementum yang menyelimuti akar gigi
dan tulang. Fungsi dari periodontal ligament adalah senantiasa
menjaga gigi pada tempatnya yang disesuaikan dengan kekuatan
mengunyah, dan sebagai sensori reseptor pada rahang selama
pengunyahan, serta sebagai cadangan sel untuk regenerasi.3
4. Alveolar bone
Adalah tulang yang berongga, tepatnya di samping periodontal
ligament. Lapisan luar terdiri dari compact bone, lapisan tengah
spongiosa bone, serta lapisan dasar adalah alveolar bone.Lapisan luar
(compact bone) dan lapisan tengah (spongiosa/trabecular bone)
tersusun atas lamel-lamel dengan system havers. Trabecular tulang
tidak hadir pada daerah anterior dari gigi, dan pada beberapa kasus,
cortical plate dan alveolar bone yang melekat satu sama lain, tanpa
adanya spongiosa bone.3

B. Penyakit Periodontal
1. Definisi
Penyakit periodontal merupakan gangguan yang terjadi pada
jaringan periodontal. Ada dua tipe penyakit periodontal yang biasa
dijumpai yaitu gingivitis dan periodontitis. Gingivitis adalah bentuk
penyakit periodontal yang ringan dengan tanda klinis ginggiva berwarna
merah, membengkak dan mudah berdarah tanpa ditemukan kerusakan
tulang alveolar. Adapun periodontitis adalah suatu penyakit peradangan
jaringan penyokong gigi yang disebabkan oleh kelompok mikroorganisme
tertentu yang biasanya berasal dari plak gigi, yang dapat mengakibatkan
penghancuran progresif jaringan ikat periodontal dan tulang alveolar,
dengan pembentukan saku, resesi, atau keduanya. Infeksi periodontal
dimulai oleh invasi oral patogen yang berkolonisasi pada permukaan akar
gigi.4,5
Kebersihan gigi dan mulut yang tidak adekuat dapat memudahkan
terjadinya penumpukan bakteri patogen dalam jaringan periodontal di
celah gingiva dan membentuk struktur terorganisir yang dikenal sebagai
"biofilm bakteri". Dalam biofilm matang, bakteri memiliki sejumlah faktor
virulensi, termasuk lipopolisakarida (LPS) yang mungkin menyebabkan
kerusakan langsung pada jaringan periodontal atau merangsang host untuk
mengaktifkan respon inflamasi lokal. Biofilm plak gigi merupakan struktur
kompleks bakteri yang ditandai dengan ekskresi matriks pelindung dan
perekat. Dalam matriks tersebut terdapat di dalamnya bakteri Gram negatif
anaerob dan bakteri mikroaerofilik yang berkoloni pada struktur gigi dan
kemudian memulai proses inflamasi sehingga dapat menyebabkan
hilangnya tulang dan migrasi junctional epithelium. Aktivitas bakteri
tersebut kemudian dapat menyebabkan kerusakan jaringan periodontal.
Sejalan dengan waktu, bakteri dalam plak gigi akan menyebar dan
berkembang kemudian toksin yang dihasilkan bakteri akan mengiritasi
ginggiva sehingga merusak jaringan penyokongnya. Ginggiva menjadi
tidak melekat lagi pada gigi dan membentuk saku yang akan bertambah
dalam sehingga makin banyak tulang dan jaringan penyokong yang rusak.
Bila penyakit ini berlanjut terus dan tidak segera dirawat maka lama
kelamaan gigi akan goyang dan lepas dengan sendirinya.6
2. Etiologi
Faktor penyebab penyakit periodontal dapat dibagi menjadi dua
bagian yaitu faktor lokal dan faktor sistemik. Faktor lokal merupakan
penyebab yang berada pada lingkungan disekitar gigi, sedangkan faktor
sistemik dihubungkan dengan metabolisme dan kesehatan umum.
Kerusakan tulang dalam penyakit periodontal terutama disebabkan oleh
faktor lokal yaitu inflamasi ginggiva dan trauma oklusi, atau gabungan
keduanya. Kerusakan yang disebabkan oleh inflamasi ginggiva
mengakibatkan pengurangan ketinggian tulang alveolar.7
Yang termasuk dalam factor local penyebab penyakit periodontal
antara lain:
a. Plak Bakteri
Plak bakteri merupakan suatu massa hasil pertumbuhan mikroba
yang melekat erat pada permukaan gigi dan ginggiva bila seseorang
mengabaikan kebersihan mulut. Berdasarkan letak huniannya, plak
dibagi atas supra ginggival yang berada disekitar tepi ginggival dan
plak sub-ginggiva yang berada apikal dari dasar ginggival.
Bakteri yang terkandung dalam plak di daerah sulkus ginggiva
mempermudah kerusakan jaringan. Hampir semua penyakit
periodontal berhubungan dengan plak bakteri dan telah terbukti bahwa
plak bakteri bersifat toksik. Bakteri dapat menyebabkan penyakit
periodontal secara tidak langsung dengan jalan mengganggu
pertahanan jaringan tubuh dan menggerakkan proses imunopatologi.
Meskipun penumpukan plak bakteri merupakan penyebab utama
terjadinya penyakit periodontal, akan tetapi masih banyak faktor lain
sebagai penyebabnya yang merupakan multifaktor, meliputi interaksi
antara mikroorganisme pada jaringan periodontal dan kapasitas daya
tahan tubuh.7
b. Kalkulus
Kalkulus terdiri dari plak bakteri dan merupakan suatu massa yang
mengalami pengapuran, terbentuk pada permukaan gigi secara
alamiah. Kalkulus merupakan penyebab terjadinya gingivitis dan lebih
banyak terjadi pada orang dewasa, kalkulus bukan penyebab utama
terjadinya penyakit periodontal. Faktor penyebab timbulnya gingivitis
adalah plak bakteri yang tidak bermineral, melekat pada permukaan
kalkulus, mempengaruhi ginggiva secara tidak langsung.7,8
c. Impaksi Makanan
Impaksi makanan (tekanan akibat penumpukan sisa makanan)
merupakan keadaan awal yang dapat menyebabkan terjadinya
penyakit periodontal. Gigi yang berjejal atau miring merupakan
tempat penumpukan sisa makanan dan juga tempat terbentuknya plak,
sedangkan gigi dengan oklusi yang baik akan lebih mudah dibersihkan
oleh proses-proses alami. Tanda-tanda yang berhubungan dengan
terjadinya impaksi makanan yaitu:7
1) perasaan tertekan pada daerah proksimal
2) rasa sakit yang sangat dan tidak menentu
3) inflamasi gingiva, perdarahan, dan daerah tersebut sering berbau.
4) resesi ginggiva
5) pembentukan abses periodontal menyebabkan gigi dapat bergerak
dari soketnya, sehingga terjadinya kontak prematur saat berfungsi dan
sensitive terhadap perkusi.
6) kerusakan tulang alveolar dan karies pada akar
d. Pernafasan Mulut
Kebiasaan bernafas melalui mulut merupakan salah satu kebiasaan
buruk. Hal ini sering dijumpai secara permanen atau sementara.
Permanen misalnya pada anak dengan kelainan saluran pernafasan,
bibir maupun rahang, juga karena kebiasaan membuka mulut terlalu
lama. Misalkan pasien penderita pilek dan pada beberapa anak yang
gigi depan atas protrusi sehingga mengalami kesulitan menutup bibir.
Keadaan ini menyebabkan kekentalan saliva akan bertambah pada
permukaan ginggiva maupun permukaan gigi, aliran saliva berkurang,
populasi bakteri bertambah banyak, lidah dan palatum menjadi kering
dan akhirnya memudahkan terjadinya penyakit periodontal.7
e. Sifat Fisik Makanan
Sifat fisik makanan merupakan hal yang penting karena makanan
yang bersifat lunak seperti bubur atau campuran semi cairan
membutuhkan sedikit pengunyahan, menyebabkan debris lebih mudah
melekat disekitar gigi dan bisa berfungsi sebagai sarang bakteri serta
memudahkan pembentukan karang gigi. Makanan yang mempunyai
sifat fisik keras dan kaku dapat juga menjadi massa yang sangat
lengket bila bercampur dengan ludah.
Makanan yang demikian tidak dikunyah secara biasa tetapi
dikulum di dalam mulut sampai lunak bercampur dengan ludah atau
makanan cair, penumpukan makanan ini akan memudahkan terjadinya
penyakit. Makanan yang baik untuk gigi dan mulut adalah yang
mempunyai sifat mudah dibersihkan dan berserat yaitu makanan yang
dapat membersihkan gigi dan jaringan mulut secara lebih efektif,
misalnya sayuran mentah yang segar, buah-buahan dan ikan yang
sifatnya tidak melekat pada permukaan gigi.7
f. Iatogrenik Dentistry
Iatrogenik Dentistry merupakan iritasi yang ditimbulkan karena
pekerjaan dokter gigi yang tidak hati-hati dan adekuat sewaktu
melakukan perawatan pada gigi dan jaringan sekitarnya sehingga
mengakibatkan kerusakan pada jaringan sekitar gigi. 7
g. Trauma Oklusi
Trauma oklusi menyebabkan kerusakan jaringan periodontal,
tekanan oklusal yang menyebabkan kerusakan jaringan disebut
traumatik oklusi.7
Yang termasuk dalam faktor sistemik penyebab penyakit periodontal
antara lain:
a. Kelainan Genetik
Pertahanan hospes yang dibawa sejak lahir dapat menentukan individu
mana yang dapat terkena periodontitis dengan derajat yang parah. Monosit
atau makrofag ditemukan dalam kadar tinggi pada individu yang rentan
terhadap periodontitis destruktif yang hebat. Gen IL-1 ini menyebabkan
terjadinya inflamasi dan destruksi periodontal yang lebih parah.9
b. Ketidakseimbangan Hormon
Pada hiperparatiroidisme terjadi mobilisasi dari kalsium tulang secara
berlebihan. Hal ini dapat menyebabkan osteoporosis dan kelemahan tulang
yang hebat pada periodontitis karena plak.9
c. Defisiensi Nutrisi
Defisiensi vitamin C yang berat dapat menginduksi kerusakan jaringan
periodontal secara nyata pada manusia. Perubahan awal dapat
bermanifestasi sebagai ginggivitis ringan hingga sedang, yang diikuti oleh
pembesaran ginggiva yang terinflamasi akut, edematous dan hemoragik.
Gejala oral ini disertai perubahan fisiologik menyeluruh seperti kelesuan,
lemah, malaise, nyeri sendi, ekimosis, dan turunnya berat badan. Jika tidak
terdeteksi pada akhirnya dapat menimbulkan kerusakan jaringan
periodontal yang hebat.9
Defisiensi vitamin D dapat menyebabkan terjadinya osteoporosis yang
bermanifestasi sebagai riketsia pada anak atau osteomalasia pada orang
dewasa. Kedua kondisi ini dapat dikaitkan dengan kerusakan jaringan ikat
periodontal dan penyerapan tulang alveolar.9
d. Diabetes Mellitus
Kadar gula darah yang tinggi dapat menekan respon imun inang dan
menyebabkan penyembuhan luka yang tidak baik serta infeksi kambuhan
Manifestasi dalam rongga mulut dapat berupa abses periodontal multipel
atau kambuhan dan selulitis. Pasien penderita diabetes mellitus yang tidak
terkontrol atau tidak terdiagnosa, lebih rentan terhadap gingivitis,
hyperplasia ginggiva, dan periodontitis. 9

C. Periodontitis
1. Definisi
Periodontitis adalah peradangan atau infeksi pada jaringan
periodontium. Periodontium adalah jaringan di sekitar perlekatan gigi
yang mempunyai fungsi untuk mempertahankan dan menyokong gigi.
Jaringan ini terdiri dari dentoginggival junction, cementum, periodontal
ligament, dan alveolar bone.10
Suatu keadaan dapat disebut periodontitis bila perlekatan antara
jaringan periodontal dengan gigi mengalami kerusakan. Selain itu alveolar
bone juga mengalami kerusakan. Periodontitis dapat berkembang dari
gingivitis (peradangan atau infeksi pada gusi) yang tidak dirawat. Infeksi
akan meluas dari gusi ke arah tulang di bawah gigi sehingga menyebabkan
kerusakan yang lebih luas pada jaringan periodontal.10
2. Faktor yang Berperan
Pengamatan klinis menunjukkan bahwa mikroorganisme cepat
berkumpul di permukaan gigi ketika sesorang berhenti menjaga kebersihan
mulutnya. Hanya dengan beberapa hari, tanda-tanda mikroskopis dan
klinis dari gingivitis sudah terlihat. Perubahan peradangan bisa
ditanggulangi ketika orang tersebut kembali menjaga kesehatan mulutnya
secara intensif.
Mikroorganisme yang berasal dari plak pada gigi dan
menyebabkan gingivitis juga termasuk pelepasan bakteri yang
menyebabkan peradangan jaringan. Percobaan klinis menekankan pada
kebutuhan untuk membuang microbial plaque pada supra- dan
subgingival dalam perawatan gingivitis dan periodontitis.11
Plak gigi merupakan microbial yang mengawali terjadinya
penyakit jaringan periodontal. Namun bagaimana hal itu dapat
mempengaruhi suatu subjek, bagaimana penyakit tersebut timbul dan
bagaimana dengan progressnya, semuanya tergantung dari kekebalan atau
pertahanan dari host itu sendiri. Faktor pendukung yang mempengaruhi
semua hal dari periodontitis secara utama dengan efeknya terhadap
kekebalan normal dan pertahanan terhadap pembengkakan adalah sebagai
berikut :
a. Infeksi HIV
Meskipun banyak orang yang terinfeksi HIV tanpa periodontitis,
mereka mungkin sering mengalami gangguan dalam rongga mulut,
beberapa ditemukan pada periodontium. Jaringan periodontal pada
penderita HIV-positif termasuk linear gingival erythema, necrotizing
ulcerative gingivitis, periodontitis lokal parah dan severe destructive
necrotizing stomatitis yang mempengaruhi gingival dan tulang (mirip
noma dan cancrum oris) 11
b. Tekanan Emosi
Stress yang berkepanjangan telah menjadi faktor pendukung
timbulnya necrotizing ulcerative gingivitis. Dampak negatif dari
stress pada jaringan periodontium dapat disebabkan juga oleh
perubahan perilaku, misalnya kebersihan mulut yang buruk dan
rokok. Hal ini dapat merusak fungsi imun sehingga meningkatkan
kerentanan terkena infeksi. Pengaruh stress pada jaringan
periodontium yaitu dapat meningkatkan level sirkulasi kortikostiroid.
Meskipun stress merupakan faktor yang tidak mudah diukur, level
kortikostiroid pada urin dapat diukur dan ditemukan lebih tinggi pada
pasien necrotizing ulcerative gingivitis. 11
c. Diabetes Mellitus
Penyakit jaringan periodontal merupakan komplikasi ke enam dari
penyakit diabetes mellitus. Beberapa review menunjukkan bukti dari
keterkaitan secara langsung antara diabetes mellitus dengan penyakit
periodontitis. Hubungan antara diabetes mellitus dengan periodontitis
tampak dengan kuat dalam populasi khusus.
Dari sebuah studi melibatkan 75 penderita diabetes (IDDM dan
NIDDM) didapatkan bahwa keakutan dari dari periodontitis
meningkat seiring dengan control yang buruk dari diabetes. Sebuah
laporan menyebutkan bahwa metabolik kontrol dapat menjadi faktor
terpenting antara kesehatan periodontal dengan IDDM. Data tersebut
mendukung hipotesis bahwa diabetes dan level dari metabolik kontrol
penting dalam hubungannya dengan penyakit periodontitis.11
d. Hormon Sex
Elevasi di level plasma dari hormone sex selama kehamilan
menyebabkan modifikasi dari respon host pada plak gigi, namun hal
ini mempegaruhi jaringan yang lembut yang meningkatkan
pembengkakan dan gingivitis kronis. Beberapa studi menyebutkan
keadaan dari kemerahan gusi, edema, pendarahan, meningkat pada
bulan ke-2 kehamilan sampai bulan ke-8 dan akhirnya menurun.
Fluktuasi gingivitis dengan fase siklus menstruasi dan efek dari
kontrasepsi oral pada gingival merupakan efek dari hormon sex
terhadap jaringan periodontal. Lebih lanjut pubertas juga merupakan
hal yang dapat menaikkan pembengkakan gingiva dan peningkatan
respon pada plak merupakan akibat dari konsentrasi hormone sex
dalam plasma.12

D. Sistem Imun
1. Definisi
Imunologi adalah ilmu yang mempelajari tentang proses pertahanan atau
imunitas tubuh terhadap senyawa makromolekular atau organisme asing
yang masuk ke dalam tubuh. Zat asing yang masuk tersebut dapat berupa
virus, bakteri, protozoa, atau parasit lainnya. Di samping itu tubuh juga
dapat mengembangkan respon imun terhadap ptotein tertentu yang
terdapat di dalam tubuh sendiri yang disebut autoimunitas dan keberadaan
sel yang tidak dikehendaki, yaitu respon imunitas tubuh terhadap sel
tumor.
Sistem imun bekerja untuk melindungi tubuh dari infeksi oleh
mikroorganisme, membantu proses penyembuhan dalam tubuh, dan
membuang atau memperbaiki sel yang rusak apabila terjadi infeksi atau
cedera. Sistem ini juga dapat mengidentifikasi sendiri faktor-faktor yang
yang bukan berasal dari dirinya (non self). Selain itu, sistem imun
mengenali dan mengeliminasi sel pejamu yang telah dipengaruhi oleh
virus intrasel atau sel kanker. Perubahan pada respons imun dapat
menyebabkan timbulnya serangan terhadap sel-sel tubuh sendiri,
perkembangan kanker, atau ketidakmampuan berespons dan
menyembuhkan tubuh dari infeksi.
Sistem imunitas yang sehat adalah jika dalam tubuh bisa membedakan
antara diri sendiri dan benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Biasanya
ketika ada benda asing yang yang memicu respons imun masuk ke dalam
tubuh (antigen) dikenali maka terjadilah proses pertahanan diri.
Secara garis besar, sistem imun menurut sel tubuh dibagi menjadi sistem
imun humoral dan sistem imun seluler. Sistem imun humoral terdiri atas
antibody (Imunoglobulin) dan sekret tubuh (saliva, air mata,
serumen, keringat, asam lambung, pepsin, dan lain-lain). Sedangkan
sistem imun dalam bentuk seluler berupa makrofag, limfosit, neutrofil
beredar di dalam tubuh kita.
Tubuh kita mempunyai banyak sekali mekanisme pertahanan yang terdiri
dari berbagai macam sistem imun yaitu organ limfoid (thymus, lien,
sumsum tulang) beserta sistem limfatiknya. Organ tubuh kita yang juga
termasuk dalam mekanisme pertahanan tubuh yaitu jantung, hati, ginjal
dan paru-paru. Organ limfoid seperti thymus sendiri mempunyai tanggung
jawab dalam pembentukan sel T dan penting bagi para bayi baru lahir,
karena tanpa thymus, bayi yang baru lahir akan mempunyai sistem imun
yang buruk. Leukosit (sel darah putih) dihasilkan oleh thymus, lien, dan
sumsum tulang.

Sistem imun dikontrol oleh sel darah putih (leukosit). Sel darah putih
befungsi untuk melindungi tubuh dari infeksi dan kanker serta membantu
proses penyembuhan. Ada dua tipe leukosit pada umumnya, yaitu fagosit
yang bertugas memakan organisme yang masuk ke dalam tubuh dan
limfosit yang bertugas mengingat dan mengenali yang masuk ke dalam
tubuh serta membantu tubuh menghancurkan benda asing. Sedangkan sel
lainnya adalah neutrofil, eosonofil, basofil, monosit, dan makrofag.
Neutrofil bertugas melawan bakteri. Jika kadar neutrofil meningkat, maka
bisa jadi ada suatu infeksi bakteri di dalamnya. Eosinofil berperan dalam
respons alergi dan pertahanan terhadap infeksi parasit (helmintik). Sel-sel
ini mengakhiri respons peradangan, memfagositosis sisa-sisa sel dengan
tingkat rendah daripada neutrofil. Basofil bersirkulasi dalam aliran darah
mrengelurkan bahan alami anti pembekuan heparin, yang memastikan
bahwa jalur pembekuan dan koagulasi tidak terus berlangsung tanpa
pengawasan. Basofil juga terlibat dalam pembentukan respons alergik.
Sel-sel ini memiliki fungsi sangat mirip dengan sel mast, yaitu sel
pencetus peradangan jaringan tertentu. Monosit tidak bersifat fagositik,
tetapi setelah beberapa jam berada di jaringan sel ini berkembang matang
menjadi makrofag. Makrofag adalah sel besar yang mampu mencerna
bakteri dan sisa sel dalam jumlah yang sangat besar. Makrofag dapat
memfagositosis sel darah merah dan sel darah putih lain yang telah lisis.

Limfosit sendiri terdiri dari dua tipe yaitu limfosit B dan limfosit T.
Limfosit dihasilkan oleh sumsum tulang, tinggal di dalamnya dan jika
matang menjadi limfosit sel B, atau meninggalkan sumsum tulang ke
kelenjar thymus dan menjadi limfosit sel T. Limfosit B dan T mempunyai
fungsi yang berbeda dimana limfosit B berfungsi untuk mencari target dan
mengirimkan tentara untuk mengunci keberadaan mereka. Sedangkan sel
T merupakan tentara yang bisa menghancurkan ketika sel B sudah
mengidentifikasi keberadaan mereka.

Jika terdapat antigen (benda asing yang masuk ke dalam tubuh) terdeteksi,
maka beberapa tipe sel bekerjasama untuk mencari tahu siapa mereka dan
memberikan respons. Sel-sel ini memicu limfosit B untuk memproduksi
antibodi, suatu protein khusus yang mengarahkan kepada suatu antigen
spesifik. Antibodi sendiri bisa menetralisir toksin yang diproduksi dari
berbagai macam organisme, dan juga antibodi bisa mengaktivasi
kelompok protein yang disebut komplemen yang merupakan bagian dari
sistem imun dan membantu menghancurkan bakteri, virus, ataupun sel
yang terinfeksi.
2. Penyakit Autoimun
Penyakit autoimun adalah kelainan tubuh yang disebabkan oleh reaksi
respon imun terhadap sel tubuh sendiri yang dianggap sebagai antigen,
sehingga menyebabkan kerusakan organ tubuh. Biasanya antibodi yang
menyerang diri sendiri ini bisa terbentuk karena adanya rangsangan virus
sebelumnya, sehingga antibodi ikut beredar ke seluruh tubuh dan dapat
memberikan kerusakan organ pada tubuh kita. Gangguan autoimun dapat
mempengaruhi satu atau lebih organ atau jaringan. Organ dan jaringan
yang umumnya terkena oleh gangguan autoimun adalah sel darah merah,
pembuluh darah, jaringan ikat, kelenjar endokrin seperti tiroid atau
pankreas, otot, sendi, dan kulit.
Reaksi autoimun dapat dicetuskan oleh beberapa hal :
a. Senyawa yang ada di badan yang normalnya dibatasi di area tertentu
(disembunyikan dari sistem kekebalan tubuh) dilepaskan ke dalam aliran
darah. Misalnya, pukulan ke mata bisa membuat cairan di bola mata
dilepaskan ke dalam aliran darah. Cairan merangsang sistem kekebalan
tubuh untuk mengenali mata sebagai benda asing dan menyerangnya.
b. Senyawa normal di tubuh berubah. Misalnya oleh virus, obat, sinar
matahari, atau radiasi. Bahan senyawa yang berubah mungkin
kelihatannya asing bagi sistem kekebalan tubuh. Misalnya, virus bisa
menulari dan mengubah sel di badan. Sel yang ditulari oleh virus
merangsang sistem kekebalan tubuh untuk menyerangnya.
c. Senyawa asing yang menyerupai senyawa badan alami mungkin
memasuki badan. Sistem kekebalan tubuh dengan kurang hati-hati dapat
menjadikan senyawa badan mirip seperti bahan asing sebagai sasaran.
Misalnya, bakteri penyebab sakit kerongkongan mempunyai beberapa
antigen yang mirip dengan sel jantung manusia. Jarang terjadi, sistem
kekebalan tubuh dapat menyerang jantung manusia sesudah sakit
kerongkongan (reaksi ini bagian dari deman reumatik).
d. Sel yang mengontrol produksi antibodi misalnya, limfosit B (salah satu
sel darah putih) mungkin rusak dan menghasilkan antibodi abnormal yang
menyerang beberapa sel badan.
e. Keturunan mungkin terlibat pada beberapa kekacauan autoimun. Pada
orang yang rentan, satu pemicu seperti infeksi virus atau kerusakan
jaringan, dapat membuat kekacauan berkembang. Faktor Hormonal juga
mungkin dilibatkan, karena banyak kekacauan autoimun lebih sering
terjadi pada wanita.

3. Imunodefisiensi
Imunodefisiensi atau imunokompromais adalah fungsi sistem imun yang
menurun atau tidak berfungsi dengan baik. Fungsi masing-masing
komponen sistem imun humoral maupun selular atau keduanya dapat
terganggu baik oleh sebab congenital maupun sebab yang didapat.
Keadaan imunodefisiensi dapat terjadi disebabkan oleh berbagai hal,
antara lain akibat infeksi (AIDS, virus mononucleosis, rubella, dan
campak), penggunaan obat (steroid, penyinaran, kemoterapi,
imunosupresi, serum anti-limfosit), neoplasma dan penyakit hematologik
(limfoma/hodkin, leukemia, mieloma, neutropenia, anemia aplastik,
anemia sel sabit), penyakit metabolik (enteropati dengan kehilangan
protein, sindrom nefrotik, diabetes mellitus, malnutrisi), trauma dan
tindakan bedah (luka bakar, spienektomi, anestesi), lupus eritematosus
sistemik, dan hepatitis kronis.

Berbagai mikroorganisme (kuman, virus, parasit, jamur) yang ada di


lingkungan maupun yang sudah ada dalam tubuh penderita, yang dalam
keadaan normal tidak patogenik atau memiliki patogenisitas rendah, dalam
keadaan imunodefisiensi dapat menjadi invasif dan menimbulkan berbagai
penyakit. Oleh karena itu, penderita yang imunodefisiensi mempunyai
risiko yang lebih tinggi terhadap infeksi yang berasal dari tubuh sendiri
maupun secara nosokomial dibanding dengan yang tidak imunodefisiensi.
Secara garis besar imunodefisiensi dibagi dalam dua golongan yaitu
imunodefisiensi congenital dan imunodefisiensi yang didapat (acquired
immune deficiencies).
1. Imunodefisiensi Kongenital
Imunodefisiensi kongenital atau imunodefisiensi primer pada umumnya
disebabkan oleh kelainan respon imun bawaan yang dapat berupa kelainan
dari sistem fagosit dan komplemen atau kelainan dalam deferensiasi fungsi
limfosit.

Penyakit dimana terjadi kelainan pada fungsi pembunuh dari sel darah
putih:
Penyakit granumaltosa kronis
Penyakit granulomatosa kronis kebanyakan menyerang anak laki-laki dan
terjadi akibat kelainan pada sel-sel darah putih yang menyebabkan
terganggunya kemampuan mereka untuk membunuh bakteri dan jamur
tertentu.
Penyebabnya, sel darah putih tidak menghasilkan hidrogen peroksida,
superoksida dan zat kimia lainnya yang membantu melawan infeksi.
Gejala biasanya muncul pada masa kanak-kanak awal, tetapi bisa juga
baru timbul pada usia belasan tahun. Infeksi kronis terjadi pada kulit,
paru-paru, kelenjar getah bening, mulut, hidung dan usus. Di sekitar anus,
di dalam tulang dan otak bisa terjadi abses. Kelenjar getah bening
cenderung membesar dan mengering. Hati dan limpa membesar.
Pertumbuhan anak menjadi lambat.
Pengobatannya dengan memberikan antibiotik bisa membantu mencegah
terjadinya infeksi. Suntikan gamma interferon setiap minggu bisa
menurunkan kejadian infeksi. Pada beberapa kasus, pencangkokan
sumsum tulang berhasi menyembuhkan penyakit ini.
Penyakit dimana terdapat kadar antibody yang rendah
X-linked agammaglobulinemia
Agammaglobulinemia X-linked (agammaglobulinemia Bruton) hanya
menyerang anak laki-laki dan merupakan akibat dari penurunan jumlah
atau tidak adanya limfosit B serta sangat rendahnya kadar antibodi karena
terdapat kelainan pada kromosom X.
Bayi akan menderita infeksi paru-paru, sinus dan tulang, biasanya karena
bakteri (misalnya Hemophilus dan Streptococcus) dan bisa terjadi infeksi
virus yang tidak biasa di otak. Tetapi infeksi biasanya baru terjadi setelah
usia 6 bulan karena sebelumnya bayi memiliki antibodi perlindungan di
dalam darahnya yang berasal dari ibunya.
Jika tidak mendapatkan vaksinasi polio, anak-anak bisa menderita polio.
Mereka juga bisa menderita artritis. Suntikan atau infus immunoglobulin
diberikan selama hidup penderita agar penderita memiliki antibodi
sehingga bisa membantu mencegah infeksi. Jika terjadi infeksi bakteri
diberikan antibiotik.
Anak laki-laki penderita agammaglobulinemia X-linked banyak yang
menderita infeksi sinus dan paru-paru menahun dan cenderung menderita
kanker.

Kekurangan antibody selektif, misalnya kekurangan IgA


Pada penyakit ini, kadar antibodi total adalah normal, tetapi terdapat
kekurangan antibodi jenis tertentu. Yang paling sering terjadi adalah
kekurangan IgA. Kadang kekurangan IgA sifatnya diturunkan, tetapi
penyakit ini lebih sering terjadi tanpa penyebab yang jelas. Penyakit ini
juga bisa timbul akibat pemakaian fenitoin (obat anti kejang).
Sebagian besar penderita kekurangan IgA tidak mengalami gangguan atau
hanya mengalami gangguan ringan, tetapi penderita lainnya bisa
mengalami infeksi pernafasan menahun dan alergi. Jika diberikan
transfusi darah, plasma atau immunoglobulin yang mengandung IgA,
beberapa penderita menghasilkan antibodi anti-IgA, yang bisa
menyebabkan reaksi alergi yang hebat ketika mereka menerima plasma
atau immunoglobulin berikutnya. Biasanya tidak ada pengobatan untuk
kekurangan IgA. Antibiotik diberikan pada mereka yang mengalami
infeksi berulang.
Common variable immunodeficiency
Immunodefisiensi yang berubah-ubah terjadi pada pria dan wanita pada
usia berapapun, tetapi biasanya baru muncul pada usia 10-20 tahun.
Penyakit ini terjadi akibat sangat rendahnya kadar antibodi meskipun
jumlah limfosit-B nya normal. Pada beberapa penderita limfosit T
berfungsi secara normal, sedangkan pada penderita lainnya tidak.
Sering terjadi penyakit autoimun, seperti penyakit Addison, tiroiditis dan
arhtritis reumathoid. Biasanya terjadi diare dan makanan pada saluran
pencernaan tidak diserap dengan baik. Suntikan atau infus
immunoglobulin diberikan selama hidup penderita. Jika terjadi infeksi
diberikan antibiotik.
Kelainan pada limfosit T
DiGeorge syndrome
DiGeorge syndrome terjadi akibat adanya kelainan pada perkembangan
janin. Keadaan ini tidak diturunkan dan bisa menyerang anak laki-laki
maupun anak perempuan. Anak-anak tidak memiliki kelenjar thymus,
yang merupakan kelenjar yang penting untuk perkembangan limfosit T
yang normal. Tanpa limfosit T, penderita tidak dapat melawan infeksi
dengan baik. Setelah lahir, akan terjadi infeksi berulang. Beratnya
gangguan kekebalan sangat bervariasi. Kadang kelainannya bersifat parsial
dan fungsi limfosit T akan membaik dengan sendirinya.
Anak-anak memiliki kelainan jantung dan gambaran wajah yang tidak
biasa (telinganya lebih rendah, tulang rahangnya kecil dan menonjol serta
jarak antara kedua matanya lebih lebar). Penderita juga tidak memiliki
kelenjar paratiroid, sehingga kadar kalium darahnya rendah dan segera
setelah lahir seringkali mengalami kejang.
Jika keadaannya sangat berat, dilakukan pencangkokan sumsum tulang.
Bisa juga dilakukan pencangkokan kelenjar thymus dari janin atau bayi
baru lahir (janin yang mengalami keguguran). Kadang kelainan
jantungnya lebih berat daripada kelainan kekebalan sehingga perlu
dilakukan pembedahan jantung untuk mencegah gagal jantung yang berat
dan kematian, juga dilakukan tindakan untuk mengatasi rendahnya kadar
kalsium dalam darah.
Kandidiasis mukokutaneus kronis
Kandidiasi mukokutaneus kronis terjadi akibat buruknya fungsi sel darah
putih, yang menyebabkan terjadinya infeksi jamur Candida yang menetap
pada bayi atau dewasa muda. Jamur ini bisa menyebabkan infeksi mulut
(thrush), infeksi pada kulit kepala, kulit, dan kuku.
Penyakit ini agak lebih sering ditemukan pada anak perempuan dan
beratnya bervariasi. Beberapa penderita mengalami hepatitis dan penyakit
paru-paru menahun. Penderita lainnya memiliki kelainan endokrin (seperti
hipoparatiroidisme). Infeksi internal oleh Candida jarang terjadi.
Biasanya infeksi bisa diobati dengan obat anti-jamur nistatin atau
klotrimazol. Infeksi yang lebih berat memerlukan obat anti-jamur yang
lebih kuat (misalnya ketokonazol per-oral atau amfoterisin B intravena).
Kadang dilakukan pencangkokan sumsum tulang.
Kelainan pada limfosit T dan limfosit B
Wiskoott-aladrich syndrome
Sindrom Wiskott-Aldrich hanya menyerang anak laki-laki dan
menyebabkan eksim, penurunan jumlah trombosit serta kekurangan
limfosit T dan limfosit B yang menyebabkan terjadinya infeksi
berulang. Akibat rendahnya jumlah trombosit, maka gejala pertamanya
bisa berupa kelainan perdarahan (misalnya diare berdarah). Kekurangan
limfosit T dan limfosit B menyebabkan anak rentan terhadap infeksi
bakteri, virus dan jamur. Sering terjadi infeksi saluran pernafasan.
Anak yang bertahan sampai usia 10 tahun, kemungkinan akan menderita
kanker (misalnya limfoma dan leukemia). Pengangkatan limpa seringkali
bisa mengatasi masalah perdarahan, karena penderita memiliki jumlah
trombosit yang sedikit dan trombosit dihancurkan di dalam
limpa. Antibiotik dan infus imunoglobulin bisa membantu penderita,
tetapi pengobatan terbaik adalah dengan pencangkokan sumsum tulang.

Ataksia talangiektasia
Ataksia-telangiektasia adalah suatu penyakit keturunan yang menyerang
sistem kekebalan dan sistem saraf. Kelainan pada serebelum (bagian otak
yang mengendalikan koordinasi) menyebabkan pergerakan yang tidak
terkoordinasi (ataksia). Kelainan pergerakan biasanya timbul ketika anak
sudah mulai berjalan, tetapi bisa juga baru muncul pada usia 4 tahun. Anak
tidak dapat berbicara dengan jelas, otot-ototnya lemah dan kadang terjadi
keterbelakangan mental.
Telangiektasi adalah suatu keadaan dimana terjadi pelebaran kapiler
(pembuluh darah yang sangat kecil) di kulit dan mata. Telangiektasi terjadi
pada usia 1-6 tahun, biasanya paling jelas terlihat di mata, telinga, bagian
pinggir hidung dan lengan. Sering terjadi pneumonia, infeksi bronkus dan
infeksi sinus yang bisa menyebakan kelainan paru-paru
menahun. Kelainan pada sistem endokrin bisa menyebabkan ukuran buah
zakar yang kecil, kemandulan dan diabetes.
Banyak anak-anak yang menderita kanker, terutama leukemia, kanker otak
dan kanker lambung. Antibiotik dan suntikan atau infus immunoglobulin
bisa membantu mencegah infeksi tetapi tidak dapat mengatasi kelaianan
saraf. Ataksia-telangiektasia biasanya berkembang menjadi kelemahan
otot yang semakin memburuk, kelumpuhan, demensia, dan kematian.
2. Imunodefisiensi dapatan (Acquired immune deficiency)
Imunodefisiensi dapatan ini disebabkan oleh berbagai factor antara lain
infeksi virus yang dapat merusak sel limfosit, malnutrisi, penggunaan
obat-obat sitotoksik dan kortikosteroid, serta akibat penyakit kanker
seperti penyakit Hodgkin, leukemia, mieloma, limfositik kronik, dan lain-
lain.
Contoh imunodefisiensi dapatan:
Penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)
Penyebab
AIDS disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus(HIV).
Diketahui terdapat dua jenis virus HIV, yaitu HIV 1 dan HIV 2. Kelainan
sistem imun penderita AIDS ditandai dengan penurunan jumlah dan fungsi
sel limfosit T-penolong (Th), peningkatan jumlah sel limfoid yang
prematur dan peningkatan aktifitas sel T-penekan (Ts). Selain itu juga
dijumpai adanya gangguan fagosit, dimana sel monosit dan makrofag tidak
bisa berfungsi dengan baik. Seseorang yang terjangkit HIV dapat tetap
tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama 8 tahun atau lebih
selama infeksi sebagian besar terbatas pada makrofag. Ketika virus mulai
menyerang sel T helper, kondisi akan memburuk biasanya selama 2
sampai 5 tahun jika tidak diobati. Individu didiagnosis mengidap AIDS
bila jumlah sel T menurun kurang dari 200 sel/μL, atau ketika terjadi
infeksi oportunitis, kanker, atau demensia AIDS.

Gambaran klinis
- Gejala mirip flu, termasuk demam ringan, nyeri badan, menggigil,
dapat muncul beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah infeksi.
Gejala menghilang setelah respons imun awal menurunkan jumlah partikel
virus, walaupun virus tetap dapat bertahan pada sel-sel lain yang
terinfeksi.
- Selama periode laten, orang yang terinfeksi HIV mungkin tidak
memperlihatkan gejala, atau pada sebagian kasus mengalami limfadenofati
(pembengkakan kelenjar getah bening) persisten.
- Antara 2-10 tahun setelah infeksi HIV, sebagian besar pasien mulai
mengalami berbagai infeksi oportunistik, bila tidak ditangani. Penyakit-
penyakit ini mengisyaratkan munculnya AIDS dan berupa infeksi ragi
pada vagina atau mulut, dan berbagai infeksi virus misalnya varisela zoster
(cacar air dan cacar ular), sitomegalovirus, atau herpes simpleks
persisten. Wanita dapat menderita ragi kronik atau penyakit radang
panggul.
- Setelah terbentuk AIDS, sering terjadi infeksi saluran napas, oleh
organisme oportunistik Pneumocystis carinii. Dapat timbul tuberkulosis
yang resisten bermcam-macam obat karena pasien AIDS tidak mampu
melakukan respons imun yang efektif untuk melawan bakteri, walaupun
dibantu antibiotik. Pasien AIDS yang mengalami tuberkulosis biasanya
mengalami perjalanan penyakit yang cepat memburuk yang menyebabkan
kematian dalam beberapa bulan. Penyakit biasanya cepat menyebar ke luar
paru termasuk otak dan tulang.
- Gejala pada sususnan saraf pusat adalah sakit kepala, defek motorik,
kejang, perubahan kepribadian, dan demensia. Pasien dapat menjadi buta
dan akhirnya koma. Banyak dari gejala tersebut timbulkarena infeksi
bakteri dan virus oportunistik pada SSP, yang menyebabkan peradagan
otak. HIV juga dapat secara langsung merusak sel-sel otak.
- Diare dan berkurangnya lemak tubuh sering terjadi pada pasien AIDS.
Diare terjadi akibat infeksi pada protozoa. Infeksi jamur (thrush) di mulut
dan esophagus menyebabkan nyeri hebat sewaktu menelan dan
mengunyah, dan ikut berperan menyebabkan berkurangnya lemak dan
gangguan pertumbuhan.
- Berbagai kanker muncul pda pasien AIDS akibat tidak adanya respons
imun selular terhadap sel-sel neoplastik. Kanker yang sebenarnya jarang
dijumpai, sarcoma kaposi sering terjadi pada pasien AIDS. Sarkoma
kaposi adalah kanker sistem vaskular yang ditandai oleh lesi kulit
berwarna merah. Sebagian besar individu pengidap sarkoma kaposi
terinfeksi melalui hubungan homoseks. Hasil riset terkini menunjukan
bahwa ko-infeksi disertai virus herpes yang unik, human herpesvirus 8,
memicu munculnya sarkoma kaposi. Human herpesvirus 8 jarang terjadi
kecuali dikalangan homoseks Amerika Serikat.
Menurut WHO ada beberapa gejala dan tanda mayor, minor, dan tanda
lainnya antara lain:
- Tanda mayor
Kehilangan berat badan (BB)> 10%
Diare kronik >1 bulan
Demam >1 bulan
- Tanda minor
Batuk menetap >1 bulan
Dermatitis pruritis (gatal)
Herpes zoster berulang
Kandidiasis orofaring
Herpes simpleks yang meluas dan berat
Limfadenopati yang meluas
- Tanda lainnya
Sarkoma Kaposi yang meluas
Meningitis kriptokokoal

Penularan HIV
HIV ditularkan dari orang ke orang lain melalui pertukaran cairan tubuh
(darah, semen, cairan vagina, air susu bagi ibu yang positif terjangkit).
Urin dan isi saluran cerna tidak dianggap sebagai sumber penularan
kecuali apabila jelas tampak mengandung darah. Air mata, air liur dan
keringat mungkin mengandung virus, tetapi jumlahnya diperkirakan terlalu
rendah untuk menimbulkan infeksi.

Selain melalui cairan tubuh, HIV ditularkan melalui :


1. Ibu hamil (ASI)
2. Jarum suntik
3. Transfusi darah
4. Hubungan seksual
Pengobatan pada penderita HIV/AIDS
1. Pengobatan suportif
2. Diet sehat dan gaya hidup bebas stress, pendidikan untuk menghindari
konsumsi alcohol, merokok, obat-obatan terlarang.
3. Terapi retrovirus sangat aktif (highly active retroviral therapy, HAART)
meliputi pemberian obat antivirus (azidothymidine/AZT) untuk anti
kanker, dideoxynosine(DDI) pengurang toksik).

Pencegahan penyakit AIDS meliputi:


1. Menghindari hubungan seksual dengan penderita AIDS atau tersangka
penderita AIDS.
2. Mencegah hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti atau
dengan orang yang mempunyai banyak pasangan.
3. Menghindari hubungan seksual dengan pecandu narkotika obat suntik.
4. Melarang orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok beresiko
tinggi untuk melakukan donor darah.
5. Memberikan transfusi darah hanya untuk pasien yang benar-benar
memerlukan.
6. Memastikan sterilitas alat suntik

E. Sistim Imun dan Periodontitis


Pada pasien dengan imunodefisiensi cenderung didapatkan faktor
risiko yang meningkatkan adanya destruksi jaringan. Hal ini ditemukan
baik pada kasus periodontitis kronis maupun periodontitis agresif.
Selain itu ditemukan pula lesi ginggiva dan periodontal yang khas
pada pasien yang terinfeksi HIV/AIDS. Lesi ini merupakan manifestasi
atipikal dari penyakit inflamasi periodontal yang timbul selama infeksi
HIV dan keadaan imunokonpromais yang terjadi secara bersamaan.
Beberapa defek imun telah mengimplikasikan patogenesis dari
periodontitis. Human leukocyte antigens (HLAs), yang meregulasi respon
imun, telah dievaluasi sebagai kandidat marker dari periodontitis agresif.
Antigen HLA A9 dan B15 telah diasosiasikan dengan periodontitis agresif
secara konsisten. Banyak penelitian yang menyatakan bahwa pasien
dengan periodontitis agresif memperlihatkan defek fungsional dari sel
limfosit polimorfonuklear (PMN), monosit, maupun keduanya. Defek
tersebut dapat merusak daya tarik kemotaktik PMN ke titik infeksi
maupun merusak kemampuannya untuk menfagositosis dan membunuh
mikroorganisme.
Studi saat ini juga menyatakan bahwa terdapat hiperrespon dari
monosit pada pasien periodontitis termasuk produksi prostaglandin E2
(PGE2) dalam responnya terhadap liposakarida (LPS). Fenotip
hiperresponsif tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya jaringan ikat
maupun pengeroposan tulang yang disebabkan karena prosuksi faktor
katabolik berlebihan. Selain itu, pada pasien Localized Aggresive
Periodontitis (LAP) juga didapatkan ketidakseimbangan anatara monosit
FcγRII yang merupakan reseptor antibodi immunoglobulin G2 (IgG2).

Menurut Anusaksathien dan Dolby, yang juga menemukan


antibodi host terhadap kolagen, DNA, dan IgG, autoimunitas mempunyai
peran penting pada Generalized Aggresive Periodontitis (GAP).
Mekanisme imun yang mungkin terjadi meliputi peningkatan ekspresi
molekul major histocompatibility complex II (MHC II), HLA DR4,
mengganti fungsi sel T-helper maupun T-supresor, aktivasi poliklonal sel
B oleh plak mikroba dan predisposisi genetik. 4
BAB III

PEMBAHASAN

Sistem imun bekerja untuk melindungi tubuh dari infeksi oleh


mikroorganisme, membantu proses penyembuhan dalam tubuh, dan membuang
atau memperbaiki sel yang rusak apabila terjadi infeksi atau cedera. Sistem ini
juga dapat mengidentifikasi sendiri faktor-faktor yang yang bukan berasal dari
dirinya (non self). Selain itu, sistem imun mengenali dan mengeliminasi sel
pejamu yang telah dipengaruhi oleh virus intrasel atau sel kanker. Perubahan pada
respons imun dapat menyebabkan timbulnya serangan terhadap sel-sel tubuh
sendiri, perkembangan kanker, atau ketidakmampuan berespons dan
menyembuhkan tubuh dari infeksi.

Imunodefisiensi atau imunokompromais adalah fungsi sistem imun yang


menurun atau tidak berfungsi dengan baik. Fungsi masing-masing komponen
sistem imun humoral maupun selular atau keduanya dapat terganggu baik oleh
sebab congenital maupun sebab yang didapat. Keadaan imunodefisiensi dapat
terjadi disebabkan oleh berbagai hal, antara lain akibat infeksi (AIDS, virus
mononucleosis, rubella, dan campak), penggunaan obat (steroid, penyinaran,
kemoterapi, imunosupresi, serum anti-limfosit), neoplasma dan penyakit
hematologik (limfoma/hodkin, leukemia, mieloma, neutropenia, anemia aplastik,
anemia sel sabit), penyakit metabolik (enteropati dengan kehilangan protein,
sindrom nefrotik, diabetes mellitus, malnutrisi), trauma dan tindakan bedah (luka
bakar, spienektomi, anestesi), lupus eritematosus sistemik, dan hepatitis kronis.

Berbagai mikroorganisme (kuman, virus, parasit, jamur) yang ada di


lingkungan maupun yang sudah ada dalam tubuh penderita, yang dalam keadaan
normal tidak patogenik atau memiliki patogenisitas rendah, dalam keadaan
imunodefisiensi dapat menjadi invasif dan menimbulkan berbagai penyakit. Oleh
karena itu, penderita yang imunodefisiensi mempunyai risiko yang lebih tinggi
terhadap infeksi yang berasal dari tubuh sendiri maupun secara nasokomial
disbanding dengan yang tidak imunodefisiensi. Kondisi imunodefisiensi menjadi
salah satu faktor risiko utama terjadinya penyakit periodontal, terutama
periodontitis.

Pada kondisi imunodefisiensi terjadi pengurangan produktifitas IgG


terutama level subklas serum IgG2 saliva. Serum inilah yang memegang peran
penting dalam memperkuat respon imun dalam melawan serotype-karbohidrat
yang spesifik yang disekresikan oleh sel bakteri, terutama Prevotella intermedia,
Fusobacterium nucleatum dan Actinobacilus actinomycetecomitans.

Selain itu, pada kondisi imunodefisiensi terjadi pula penurunan proliferasi


limfosit T dan B dapat mengakibatkan menurunnya produktifitas antibodi
protektif dalam memperkuat sistem imunitas pada periodonsium sehingga dapat
mempengaruhi sistem imunitas melawan respon inflamasi. Defek tersebut dapat
merusak daya tarik kemotaktik PMN ke titik infeksi maupun merusak
kemampuannya untuk menfagositosis dan membunuh mikroorganisme.

Autoimunitas mempunyai peran penting pada Generalized Aggresive


Periodontitis (GAP). Mekanisme imun yang mungkin terjadi meliputi
peningkatan ekspresi molekul major histocompatibility complex II (MHC II),
HLA DR4, mengganti fungsi sel T-helper maupun T-supresor, aktivasi poliklonal
sel B oleh plak mikroba dan predisposisi genetik.

Pada pasien dengan imunodefisiensi sering mengalami gangguan dalam


rongga mulut dan beberapa ditemukan pada periodontium. Selain itu ditemukan
pula lesi ginggiva dan periodontal yang khas pada pasien yang terinfeksi
HIV/AIDS. Lesi ini merupakan manifestasi atipikal dari penyakit inflamasi
periodontal yang timbul selama infeksi HIV dan keadaan imunokonpromais yang
terjadi secara bersamaan

Dari penjelasan di atas klinisi harus mempertimbangkan kemungkinan


terjadinya periodontitis ketika mereka merawat pasien dengan imunodefisiensi.
Selain itu, klinisi juga harus mempertimbangkan keberadaan kondisi
imunodefisiensi sebagai etiologi dari periodontitis. Dokter gigi mungkin
dibutuhkan untuk mengelola sistem imun pada pasien imunodefisiensi dengan
periodontitis.
BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

Sistem imun yang menurun merupakan faktor predisposisi periodontitis.


Hal disebabkan adanya pengurangan produktifitas IgG, proliferasi limfosit T
dan B, yang menyebabkan .menurunnya produktifitas antibodi protektif dalam
memperkuat sistim imunitas pada periodonsium sehingga bakteri akan lebih
mudah untuk berkembang dan cenderung meningkatkan risiko destruksi
jaringan.

B. Saran

Dokter umum maupun spesialis harus mempertimbangkan kemungkinan


terjadinya periodontitis ketika merawat pasien dengan penurunan imunitas
tubuh. Selain itu, klinisi juga harus mempertimbangkan keberadaan
imunodefisiensi sebagai etiologi dari periodontitis, sehingga didapatkan
penanganan pasien yang komprehensif dan holistik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Anthony WJ. Community Dental Health, Third Edition: 152.

2. Brenner BM, Lazarus JM. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 3


Edisi 13. Jakarta: EGC, 2000.1435-1443.

3. Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG.2004.Biology 5th ed vol.3. Jakarta:


Erlangga.P81-2.

4. Carranza FA, Jr.: Glickman's Clinical Periodontology, 11th Edition,


Philadelphia, London, W. B. Saunders Company, 2012

5. cdk_113_gigi. Kalkulus Hubungannya dengan Penyakit Periodontal dan


Penanganannya Available from:
http://www.scribd.com/doc/54136678/cdk-113-gigi

6. Cotti Elisabetta, Dessi Cristina, Piras Alessandra, Mercuro Guiseppe. Can


a chronic dental infection be considered a cause of cardiovasculer
disease?. A Review of The Literature. International Journal of
Cardiology.; 2010.

7. Daliemunthe, Saidina Hamzah. 2001. Periodonsia Edisi Revisi 2008.


Medan.

8. DeRossi SS, Cohen DL. Renal Disease. In: Greenberg MS, Glick M, Ship
JA, editors. Burket‟s Oral Medicine. 11th ed. Hamilton: BC Decker;
2008.p.363-65.

9. Djajapranata, Indrawan. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II


Edisi Ketiga. Jakarta : FKUI.
10. Proctor R, Kumar N, Stein A, Moles D, Porter S. Oral and dental aspect of
chronic renal failure. Journal of Dental Research.2005; 84(3): 199-208.

11. Proctor R, Kumar N, Stein A, Moles D, Porter S. Oral and dental aspect of
chronic renal failure. Journal of Dental Research.2005; 84(3): 199-208.
12. Rose LF, Mealey BL. Periodontics: medicine, surgery, and implants. Saint
Louis: Elsevier Mosby; 2004.

13. Suwitra K. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006.581-584.

14. Vernino Arthur.R, G Jonathan, H Elizabeth. Sylabus Periodontics.


Lippincot Williams & Wilkins; 2004.

Anda mungkin juga menyukai