Anda di halaman 1dari 24

Rongga mulut merupakan tempat hidup bakteri aerob dan anaerob yang

berjumlah lebih dari 400 ribu spesies bakteri. Ratio antara bakteri aerob dengan
anaerob berbanding 10:1 sampai 100:1. Organisme-organisme ini merupakan
flora normal dalam mulut yang terdapat dalam plak gigi, cairan sulkus ginggiva,
mucus membrane, dorsum lidah, saliva dan mukosa mulut. Infeksi odontogen
dapat menyebar secara perkontinuitatum, hematogen dan limfogen, yang
disebabkan antara lain oleh periodontitis apikalis yang berasal dari gigi nekrosis,
dan periodontitis marginalis. Infeksi gigi dapat terjadi melalui berbagai jalan: (1)
lewat penghantaran yang pathogen yang berasal dari luar mulut; (2) melalui suatu
keseimbangan flora yang endogenus; (3) melalui masuknya bakteri ke dalam
pulpa gigi yang vital dan steril secara normal.
Infeksi odontogenik kebanyakan terjadi pada infeksi human. Keterangan
ilmiah menerangkan bahwa adanya hubungan antara infeksi yang parah dengan
peningkatan kerentanan karena adanya penyakit sistemik seperti penyakit jantung,
DM, kehamilan, dan infeksi paru-paru. Ini karena adanya bakteri gram negative
yang menyebabkan terjadinya penyakit periodontal yang memicu produksi
lipopolisakarida, heat shock protein dan proinflammatory cytokines. Karena ada
hubungan antra penyakit periodontal dan problem medis yang lain, maka penting
untuk mencegah terjadinya infeksi gigi sedapat mungkin atau mengetahui sedini
mungkin terjadinya infeksi gigi sehingga dapat dicegah atau diobati. Dokter gigi
dan dokter umum harus waspada terhadap terjadinya implikasi klinis pada
hubungan inter-relasi antara infeksi odontogenik dan kondisi medis lain yang
dapat berpengaruh terhadap pasien yang membutuhkan perawatan.
Penyakit infeksi dewasa ini masih merupakan urutan teratas, demikian pula
infeksi rongga mulut dan penyebarannya ke daerah maksilofasial. Infeksi
odontogen adalah yang paling umum dari semua infeksi yang terdapat pada oral
dan maksilofacial walaupun sebagian infeksi ini dapat ditangani dengan minimal
komplikasinya, tetapi ada juga yang menimbulkan kegawatan yaitu morbiditas,
septikemia, obstruksi jalan nafas, syok bahkan mortalitas. Penatalaksana harus

dilakukan dengan benar, hal tersebut dapat diperoleh bila mengetahui faktor
fisiologis dan anatomis dari hal-hal yang mempengaruhi penyebaran infeksi
odontogen. Oleh karena itu sebagai mahasiswa kedokteran gigi penting bagi kita
untuk mempelajari tentang penyebaran dan lokasi infeksi odontogen.
1.1 Rumusan Masalah
Perumusan masalah yang terdapat dalam laporan ini adalah berdasarkan
Skenario infeksi dalam Blok Kuratif dan Rehabilitatif, yaitu :
Pasien perempuan, usia 27 tahun datang ke bagian bedah mulut dengan
keluhan bengkak di bawah dagu dan sakit sejak 2 hari yang lalu. Awalnya pasien
mengeluh sakit gigi 33, beberapa hari kemudian timbul bengkak di bawah dagu
dan terus membesar. Riwayat pembengkakan sering dikeluhkan pasien dan
biasanya pasien mengobati sendiri dengan membeli obat di warung. Pasien
memiliki tekanan darah sistol 180 mmHg dan diastol 100 mmHg. Dari
pemeriksaan intraoral, terdapat sisa akar gigi 33, kemerahan di gusi regio 33,
lidah tidak terangkat, palpasi lunak, sakit, diffuse, dan terdapat fluktuasi.
Pemeriksaan ekstra oral tampak dagu seperti ganda warna kemerahan, diffuse,
sakit dan tidak ada fluktuasi. Pasien minta secepatnya giginya dicabut karena
kesakitan, tetapi dokter gigi menyarankan konsul dulu ke dokter jantung baru
dilakukan ekstraksi gigi 33.
Dari skenario di atas dapat diperoleh perumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana

pathogenesis

dari

infeksi

tersebut

sampai

menimbulkan

pembengakakan intraoral dan ekstraoral?


2. Apa diagnosa dari kasus tersebut?
3. Apa rencana perawatan yang sesuai dengan diagnosa?
4. Bagaimana prosedur penatalaksanaan pada pasien hipertensi seperti pada
skenario di atas?
1.2 Tujuan
a) Menjelaskan patogenesis dari infeksi tersebut sampai menimbulkan
pembengakakan intraoral dan ekstraoral.

b) Menjelaskan diagnosa dari kasus pada skenario.


c) Menjelaskan rencana perawatan yang sesuai dengan diagnosa.
d) Menjelaskan prosedur penatalaksanaan pada pasien hipertensi seperti pada
skenario di atas.
Manusia biasanya hidup berdampingan secara mutualistik dengan mikrobiota
rongga mulut. Gigi dan mukosa yang utuh merupakan pertahanan pertama yang
hampir tidak tertembus apabila sistem kekebalan hospes dan pertahanan selular
berfungsi dengan baik. Apabila sifat mikroflora berubah, baik kualitas maupun
kuantitasnya, apabila sistem kekebalan dan pertahanan selular terganggu, atau
kombinasi dari hal-hal tersebut diatas, maka infeksi dapat terjadi (Pedersen, 1996).
Infeksi sendiri merupakan masuknya kuman patogen atau toksin ke dalam
tubuh manusia serta menimbulkan gejala sakit. Infeksi odontogen adalah infeksi yang
awalnya bersumber dari kerusakan jariangan keras gigi atau jaringan penyangga gigi
yang disebabkan oleh bakteri yang merupakan flora normal rongga mulut yang
berubah menjadi patogen (Soemartono, 2000). Penyebaran infeksi odontogen ke
dalam jaringan lunak dapat berupa abses. Secara harfiah, abses merupakan suatu
lubang berisi kumpulan pus terlokalisir akibat proses supurasi pada suatu jaringan
yang disebabkan oleh bakteri piogenik. Abses yang sering terjadi pada jaringan mulut
adalah abses yang berasal dari regio periapikal. Daerah supurasi terutama tersusun
dari suatu area sentral berupa polimorfonuklear leukosit yang hancur dikelilingi oleh
leukosist hidup dan kadang-kadang terdapat limfosit. Abses juga merupakan tahap
akhir dari suatu infeksi jaringan yang dimulai dari suatu proses yang disebut
inflamasi (Aryati, 2006).
Infeksi odontogenik dapat berasal dari tiga jalur, yaitu (1) jalur periapikal,
sebagai hasil dari nekrosis pulpa dan invasi bakteri ke jaringan periapikal; (2) jalur
periodontal, sebagai hasil dari inokulasi bakteri pada periodontal poket; dan (3) jalur
perikoronal, yang terjadi akibat terperangkapnya makanan di bawah operkulum tetapi
hal ini terjadi hanya pada gigi yang tidak/belum dapat tumbuh sempuna. Dan yang

paling sering terjadi adalah melalui jalur periapikal (Karasutisna, 2001). Infeksi
odontogen biasanya dimulai dari permukaan gigi yaitu adanya karies gigi yang sudah
mendekati ruang pulpa (Gambar 1), kemudian akan berlanjut menjadi pulpitis dan
akhirnya akan terjadi kematian pulpa gigi (nekrosis pulpa). Infeksi odontogen dapat
terjadi secara lokal atau meluas secara cepat. Adanya gigi yang nekrosis
menyebabkan bakteri bisa menembus masuk ruang pulpa sampai apeks gigi. Foramen
apikalis dentis pada pulpa tidak bisa mendrainase pulpa yang terinfeksi. Selanjutnya
proses infeksi tersebut menyebar progresif ke ruangan atau jaringan lain yang dekat
dengan struktur gigi yang nekrosis tersebut (Cilmiaty, 2009).
Infeksi odontogen dapat menyebar secara perkontinuatum, hematogen dan
limfogen, yang disebabkan antara lain oleh periodontitis apikalis yang berasal dari
gigi nekrosis, dan periodontitis marginalis. Infeksi gigi dapat terjadi melalui berbagai
jalan: (1) lewat penghantaran yang patogen yang berasal dari luar mulut; (2) melalui
suatu keseimbangan flora yang endogenus; (3) melalui masuknya bakteri ke dalam
pulpa gigi yang vital dan steril secara normal (Cilmiaty, 2009). Infeksi odontogen
menyebar ke jaringan-jaringan lain mengikuti pola patofisiologi yang beragam dan
dipengaruhi oleh jumlah dan virulensi mikroorganisme, resistensi dari host dan
struktur anatomi dari daerah yang terlibat (Soemartono, 2000).

Gambar 1 Ilustrasi keadaan gigi yang mengalami infeksi dapat


menyebabkan abses odontogen. (A) Gigi normal, (B) gigi mengalami

karies, (C) gigi nekrosis yang mengalami infeksi menyebabkan abses.


Sumber : Douglas & Douglas, 2003
Spasium fasial adalah suatu area yang tersusun atas lapisan fasial di daerah
kepala dan leher berupa jaringan ikat yang menembus otot dan berpotensi terserang
infeksi serta dapat ditembus oleh eksudat purulen. Ruang tersebut antara lain:
1.

Spasium kaninus
Terletak antara otot levator anguli oris dan levator labii superior. Penderita
yang mengalami infeksi pada daerah ini menderita pembengkakan dan sembab di
bawah mata, kemerahan dan oedema sehingga lipatan nasolabial menghilang.
Juga di dapatkan nyeri tekan. Pada umumnya disebabkan infeksi pada kaninus
maksila, karena akarnya panjang infeksi akan menembus tulang sehingga
menimbulkan abses pada fosa kanina atau spasium kaninus.

2.

Spasium bukal
Terletak diantara otot bucinator dan kulit superfisial fasial. Otot bucinator
terletak di superior sepanjang maksila dari premolar dan terletak di inferior
bagian permukaan lateral mandibula. Infeksi pada bagian ini disebabkan infeksi
pada molar maksila maupun infeksi pada molar mandibula yang menembus
tulang.

3.

Spasium infratemporal
Terletak diposterior maksila, pada bagian medial berbatasan dengan lempeng
lateral prosesus pterigoideus tulang sphenoid dan bagian superior berbatasan
dengan dasar tengkorak. Infeksi di daerah ini biasanya disebabkan gigi posterior
maksila. Pada umumnya terdapat penonjolan jaringan tepat di atas dan di bawah
arkus zigomatikus, menyebabkan kesan dumbbell.

4.

Spasium submental
Terletak antara simfisis dan tulang hyoid, bagian lateral dibatasi bagian
anterior otot digastrikus kanan dan kiri, bagian superior dibatasi otot mylohyoid
dan inferior dibatasi kulit. Infeksi daerah ini disebabkan gigi anterior mandibula.

5.

Spasium sublingual
Barbatasan dengan dasar mulut dan lidah. Pembengkakan pada spasium ini
menyebabkan lidah terangkat.

6. Spasium submandibula
Dibatasi oleh otot digastrikus anterior dan posterior serta stylohyoid.
Dasarnya dibentuk oleh mylihyoid dan otot hyoglosus. Pembengkakan pada
daerah ini berawal dari tepi inferior mandibula dan meluas ke medial otot
digastrikus dan ke arah posterior tulang hyoid. Pada umunya disebabkan infeksi
pada daerah premolar dan molar. Apabila spasium sublingual, submandibula dan
submental bilateral terkena infeksi disebut sebagai Ludwigs Angina. Pada
keadaan ini penderita mengalami trismus, kesulitan menelan dan bernafas.
Infeksi ini menyebar dengan luas dan menyebabkan obstruksi pernafasan serta
kematian.
7. Spasium masseter
Terletak antara lateral mandibula dan medial otot maseter, pada umumnya
disebabkan infeksi pada molar ketiga.
8. Spasium pterigomandibular
Terletak di medial mandibula dan lateral otot pterigomandibula medialis.
Pada umumnya tidak tampak pembengkakan tetapi penderita akan mengalami
trismus.
9. Spasium temporal
Terletak di posterior dan superior dari spasium pterigomandibula. Apabila
spasium ini mengalami infeksi maka akan terjadi pembengkakan di daerah
temporal, superior arkus zigomatikus dan orbital lateral.
10. Spasium faringeal lateral
Merupakan bagian dari spasium fasial servikal, bila terjadi perluasan
infeksi akan menyebabkan obstruksi pernafasan atau medistinitis. Penyulit
infeksi spasium ini adalah timbulnya trombosis pada daerah vena jugularis

interna, erosi arteri karotis dan mengganggu saraf IX samapi XII, serta
menyebarnya infeksi ke spasium retrofaringeal.

11. Spasium retrofaringeal


Dibentuk oleh jaringan ikat longgar yang terletak di belakang faring.
Infeksi pada daerah ini berakibat fatal karena dapat menyebar ke daerah
mediastinum. Pengobatan pada infeksi ini adalah melakukan insisi intraoral atau
servikal dan drainase.
12. Spasium prevertebral
Spasium ini meluas dari tuberkel faringeal pada dasar tengkorak sampai
diafragma.
(Pedersen, 1996)

3.1 Maping
Gangren radiks
Periapikal Abses
Subperiosteal Abses

Submukus abses di regio submental disertai gingival abses dan pembengkakan


ekstraoral
Terapi

Drainase

Antibiotik

Medikasi

Antiinflamasi

Ekstraksi

Analgesik

3.2 Patogenesis infeksi pada kasus di skenario


Infeksi odontogenik dapat berasal dari tiga jalur, yaitu (1) jalur periapikal,
sebagai hasil dari nekrosis pulpa dan invasi bakteri ke jaringan periapikal; (2) jalur
periodontal, sebagai hasil dari inokulasi bakteri pada periodontal poket; dan (3) jalur
perikoronal, yang terjadi akibat terperangkapnya makanan di bawah operkulum tetapi
hal ini terjadi hanya pada gigi yang tidak/belum dapat tumbuh sempuna. Dan yang
paling sering terjadi adalah melalui jalur periapikal. Infeksi odontogen biasanya
dimulai dari permukaan gigi yaitu adanya karies gigi yang sudah mendekati ruang
pulpa, kemudian akan berlanjut menjadi pulpitis dan akhirnya akan terjadi kematian
pulpa gigi (nekrosis pulpa). Infeksi odontogen dapat terjadi secara lokal atau meluas
secara cepat. Adanya gigi yang nekrosis menyebabkan bakteri bisa menembus masuk
ruang pulpa sampai apeks gigi. Foramen apikalis dentis pada pulpa tidak bisa
mendrainase pulpa yang terinfeksi. Selanjutnya proses infeksi tersebut menyebar
progresif ke ruangan atau jaringan lain yang dekat dengan struktur gigi yang nekrosis
tersebut.
Kasus pada skenario menyebutkan bahwa pada pemeriksaan intraoral
didapatkan gigi 33 gangren radiks, dimana gangren radiks ini merupakan salah satu

port the entry mikroorganisme penyebab infeksi dentoalveolar karena kondisi pulpa
gigi sudah dalam keadaan terbuka dan gigi dalam keadaan nekrosis.
Infeksi periapikal dapat menyebar ke jaringan jaringan lain mengikuti pola
patofisiologi yang beragam yang pada dasarnya dipengaruhi oleh: jumlah dan
virulensi mikroorganisme, resistensi dari host, dan struktur anatomi dari daerah yang
terlibat.
Infeksi periapikal dapat menyebar melalui tulang kanselus menuju ke
permukaan tulang dan setelah menembus lapisan korteks pus masuk ke jaringan lunak
disekitarnya yang biasanya didahului dengan keradangan pada periosteum tulang
alveolar di daerah tersebut (periostitis).
Arah penyebaran infeksi periapikal menuju ke jaringan lunak tersebut dipengaruhi
oleh dua faktor utama yaitu:
1. Ketebalan tulang yang meliputi apeks akar gigi
2. Hubungan antara tempat perforasi tulang dan tempat perlekatan otot-otot pada
maksila dan mandibula.
Rute yang paling umum penyebaran peradangan adalah melalui kontinuitas
jaringan dan spasia jaringan dan biasanya terjadi seperti yang dijelaskan di bawah ini.
Pertama, nanah terbentuk di tulang cancellous dan tersebar ke berbagai arah yang
memiliki resistensi jaringan paling buruk. Penyebaran pus ke arah bukal, lingual, atau
palatal tergantung pada posisi gigi dalam lengkung gigi, ketebalan tulang, dan jarak
perjalanan pus
Infeksi pada periapikal gigi akan menembus korteks tulang dan masuk ke
dalam jaringan lunak yang meliputinya melewati tulang dengan ketebalan paling
rendah. Bila paeks akar gigi yang bersangkutan lebih dekat dengan tulang labial
(labial plate) maka pus akan menyebabkan vestibular abses di bagian labial gigi
tersebut. Sebaliknya jika akar gigi lebih dekat dengan permukaan palatal maka yang
terjadi adalah palatal abses.

Gambar 2: Ilustrasi rute perjalanan pus pada penyebaran infeksi odontogen


(A) Abses intraalveolar (B) Abses superiosteal. Sumber : Fragiskos, 2007

Gambar 3: Ilustrasi rute perjalanan pus pada penyebaran infeksi odontogen


(A) Abses submukosa (B) Abses subkutan. Sumber : Fragiskos, 2007
3.3 Diagnosa Kasus pada Skenario
Diagnosa kasus pada skenario adalah submukus abses di regio submental
disertai gingival abses dan pembengkakan ekstraoral
Setelah menembus korteks dan periosteum tulang labial/bukal pus yang berasal
dari infeksi periapikal masuk ke dalam jaringan lunak di bawah permukaan mukosa
di daerah vestibulum. Keadaan ini rasa sakit sudah agak mereda dibandingkan dengan
subperiosteal absces. Jika abses ini menyebabkan vestibulum di sekitarnya bengkak
maka di sebut vestibular abses. Apabila pembengkakan hanya melibatkan gingiva di
sekitar gigi, maka disebut sebagai gingival abses.
Submental space adalah ruang yang terdapat di antara venter anterior musculus
digastricus dan di antara musculus mylohioid dan kulit. Submental space ini biasanya

terlibat oleh karena infeksi dari gigi-gigi rahang bawah di mana gigi gi tersebut cukup
panjang sehingga dapat menyebabkan perforasi tulang di bawah perlekatan musculus
mentalis. Pus yang keluar selanjutnya menuju ke pinggiran inferior mandibula dan
masuk ke dalam submental space.

Gambar 4 a) pola penyebaran abses spasia submental b) pembengkakan


ekstraoral di regio sekitar dagu
Ekstraoral berupa pembengkakan tidak berbatas jelas, palpasi sakit dan
pembesaran kelenjar limfe regional. Intraoral tanpak palpasi lunak, sakit, diffuse, dan
terdapat fluktuasi. Terdapat gigi gangren yang memberikan respon sakit pada perkusi
dan druk. Abses dapat pecah dan membentk drainase berupa fistel intra oral.
3.4 Rencana Perawatan
3.4.1 Drainase
3.4.1.1 Drainase melalui jalan insisi
Perawatan pada abses pada prinsipnya adalah insisi dan drainase. Insisi adalah
pembuatan jalan keluar nanah secara bedah (dengan scapel). Insisi drainase
merupakan tindakan membuang materi purulent yang toksik, sehingga mengurangi

tekanan pada jaringan, memudahkan suplai darah yang mengandung antibiotik dan
elemen pertahanan tubuh serta meningkatkan kadar oksigen di daerah infeksi.
Drainase adalah tindakan eksplorasi pada fascial space yang terlibat untuk
mengeluarkan nanah dari dalam jaringan, biasanya dengan menggunakan hemostat.
untuk mempertahankan drainase dari pus perlu dilakukan pemasangan drain,
misalnya dengan rubber drain atau penrose drain, untuk mencegah menutupnya luka
insisi sebelum drainase pus tuntas.
Prinsip berikut ini harus digunakan bila memungkinkan pada saat melakukan insisi
dan drainase adalah sebagai berikut:
a. Melakukan insisi pada kulit dan mukosa yang sehat. Insisi yang ditempatkan pada
sisi fluktuasi maksimum di mana jaringannya nekrotik atau mulai perforasi dapat
menyebabkan kerutan, jaringan parut yang tidak estetis.
b. Tempatkan insisi pada daerah yang dapat diterima secara estetis, seperti di bawah
bayangan rahang atau pada lipatan kulit alami

Gambar 5. Garis Langer wajah. Laserasi yang menyilang garis Langer


dari

kulit

bersifat

tidak

menguntungkan

dan

mengakibatkan

penyembuhan yang secara kosmetik jelek. Insisi bagian fasia


ditempatkan sejajar dengan ketegangan kulit. (Pedersen, 1996).
c.

Apabila memungkinkan tempatkan insisi pada posisi yang bebas agar drainase
sesuai dengan gravitasi.

d.

Lakukan pemotongan tumpul, dengan clamp bedah rapat atau jari, sampai ke
jaringan paling bawah dan jalajahi seluruh bagian kavitas abses dengan perlahanlahan sehingga daerah kompartemen pus terganggu dan dapat diekskavasi.
Perluas pemotongan ke akar gigi yang bertanggung jawab terhadap infeksi

e.

Tempatkan drain (lateks steril atau catheter) dan stabilkan dengan jahitan.

f.

Pertimbangkan penggunaan drain tembus bilateral, infeksi ruang submandibula.

g.

Jangan tinggalkan drain pada tempatnya lebih dari waktu yang ditentukan;
lepaskan drain apabila drainase sudah minimal. Adanya drain dapat
mengeluarkan eksudat dan dapat menjadi pintu gerbang masuknya bakteri
penyerbu sekunder.

h.

Bersihkan tepi luka setiap hari dalam keadaan steril untuk membersihkan bekuan
darah dan debris.

Teknik insisi dilakukan dengan tahapan sebagai berikut (Peterson, 2003).


(1) Aplikasi larutan antiseptik sebelum insisi.
(2) Anestesi dilakukan pada daerah sekitar drainase abses yang akan dilakukan
dengan anestesi infiltrasi.
(3) Untuk mencegah penyebaran mikroba ke jaringan sekitarnya maka direncanakan
insisi :

Menghindari duktus (Wharton, Stensen) dan pembuluh darah besar.

Drainase yang cukup, maka insisi dilakukan pada bagian superfisial pada titik
terendah akumulasi untuk menghindari sakit dan pengeluaran pus sesuai
gravitasi.

Jika memungkinkan insisi dilakukan pada daerah yang baik secara estetik, jika
memungkinkan dilakukan secara intraoral.

Insisi dan drainase abses harus dilakukan pada saat yang tepat, saat fluktuasi
positif.

(4) Drainase abses diawali dengan hemostat dimasukkan ke dalam rongga abses
dengan ujung tertutup, lakukan eksplorasi kemudian dikeluarkan dengan unjung
terbuka.

Bersamaan dengan eksplorasi, dilakukan pijatan lunak untuk

mempermudah pengeluaran pus.


(5) Penembatan drain karet di dalam rongga abses dan distabilasi dengan jahitan
pada salah satu tepi insisi untuk menjaga insisi menutup dan drainase.
(6) Pencabutan gigi penyebab secepatnya.
3.4.1.2 Punctie
Punctie (biasa diartikan tusukan) adalah prosedur medis dimana jarum digunakan
untuk membuat rongga yang bertujuan mengeluarkan darah , cairan atau jaringan dari
tubuh untuk pemeriksaan pada setiap kelainan pada sel atau jaringan. Punctie yang
merupakan praktek memasukkan jarum atau membuat sebuah lubang kecil di
jaringan, organ, untuk mengekstrak gas, cairan atau sampel. Pada tusukan, dapat
mencapai superficial.
Tindakan pungsi bertujuan bertujuan untuk menegakkan diagnosis sekaligus
untuk maksud terapi juga untuk mengurangi pus yang ada, sehingga pada saat insisi
nanah tidak terlalu banyak mengalir ke luar (menghindari terjadinya aspirasi)..
Teknik Pungsi
Sebuah tusukan dilakukan dengan jarum atau trocar (kanul memotong atau
menusuk). Tempat masuk menusuk kulit. Instrumen yang digunakan harus
dinyatakan steril, setelah pemeriksaan klinis,pasien mungkin bisa dilakukan
sinar-X. Kulit didesinfeksi, dalam anestesi local/umum.

Sampel yang diambil kemudian akan diperiksa histologis (biopsi) atau


ditempatkan di laboratorium diagnostik.
Eksplorasi tusukan untuk mendirikan atau mengkonfirmasikan diagnosis.
3.4.1.3 Memakai jarum ekstirpasi
Gigi nekrosis dengan pembengkakan terlokalisasi atau abses alveolar akut atau
disebut juga abses periapikal / periradikuler akut adalah adanya suatu pengumpulan
pus yang terlokalisasi dalam tulang alveolar pada apeks akar gigi setelah gigi
nekrosis. Biasanya pembengkakan terjadi dengan cepat, pus akan keluar dari saluran
akar ketika kamar pulpa di buka.
Perawatan abses alveolar akut :
a) Mula-mula dilakukan buka kamar pulpa
b) Kemudian debridemen saluran akar yaitu pembersihan dan pembentukan saluran
c)

akar secara sempurna bila waktu memungkinkan.


Lakukan drainase dengan menggunakan jarum ekstirpasi untuk meredakan

tekanan dan nyeri serta membuang iritan yang sangat poten yaitu pus.
d) Pada gigi yang drainasenya mudah setelah pembukaan kamar pulpa,
instrumentasi harus dibatasi hanya di dalam sistem saluran akar. Pada pasien
dengan abses periapikal tetapi tidak dapat dilakukan drainase melalui saluran
akar, maka drainase dilakukan dengan menembus foramen apikal menggunakan
e)

file kecil sampai no. 25.


Selama dan setelah pembersihan dan pembentukan saluran akar, lakukan irigasi

f)

dengan natrium hipokhlorit sebanyak-banyaknya.


Saluran akar dikeringkan dengan poin kertas, kemudian diisi dengan pasta
kalsium hidroksida dan diberi pellet kapas lalu ditambal sementara (Grossman,
1988; Walton and Torabinejad, 2002).
Beberpa klinisi menyarankan, jika drainase melalui saluran akar tidak dapat

dihentikan, kavitas akses dapat dibiarkan terbuka untuk drainase lebih lanjut,
nasihatkan pasien berkumur dengan salin hangat selama tiga menit setiap jam. Bila

perlu beri resep analgetik dan antibiotik. Membiarkan gigi terbuka untuk drainase,
akan mengurangi kemungkinan rasa sakit dan pembengkakan yang berlanjut
(Grossman, 1988, Bence, 1990).
Penatalaksanaan kasus-kasus dengan pembengkakan paling baik ditangani
dengan drainase, saluran akar harus dibersihkan dengan baik. Jika drainase melalui
saluran akar tidak mencukupi, maka dilakukan insisi pada jaringan yang lunak dan
berfluktuasi. Saluran akar harus dibiarkan terbuka dan lakukan debridemen,
kemudian beri pasta kalsium hidroksida dan tutup tambalan sementara. Sebaiknya
diberi resep antibiotik dan analgetik (Grossman, 1988; Walton and Torabinejad,
2002).
3.4.2 Medikasi
Abses gigi sering kali dapat menimbulkan rasa nyeri. Nyeri gigi yang muncul
akibat keradangan salah satunya disebakan oleh adanya infeksi dentoalveolar yaitu
masuknya mikroorganisme patogen ke dalam tubuh melalui jaringan dentoalveolar
(Sukandar & Elisabeth, 1995). Untuk mengatasi hal tersebut biasanya melalui
pendekatan farmakologis dengan pemberian obat analgesik untuk meredakan rasa
nyeri dengan efek analgesiknya kuat dan cepat dengan dosis optimal. Pasien dengan
nyeri akut memerlukan obat yang dapat menghilangkan nyeri dengan cepat, efek
samping dari obat lebih dapat ditolerir daripada nyerinya (Rahayu, 2007).
Obat anti inflamasi non steroid (non streroidal antiinflammatory drugs/
NSAIDs) adalah golongan obat yang terutama bekerja perifer dan memiliki aktivitas
penghambat radang dengan mekanisme kerja menghambat biosintesis prostaglandin
melalui

penghambatan

aktivitas

enzim

siklooksigenase

(Ganiswara,

1995;

Kartasasmita, 2002). Efek analgesik yang ditimbulkan ini menghambat sintesis


prostaglandin sehingga dapat menyebabkan sensitisasi reseptor nyeri terhadap
stimulasi mekanik dan kimiawi. Prostaglandin dapat menimbulkan keadaan
hiperalgesia

kemudian

mediator

kimiawi

seperti

bradikini

dan

merangsangnya dan menimbulkan nyeri yang nyata (Ganiswara, 1995).

histamin

Efek analgesik NSAIDs telah kelihatan dalam waktu satu jam setelah
pemberian per-oral. Sementara efek antiinflamasi telah tampak dalam waktu satu-dua
minggu pemberian, sedangkan efek maksimalnya timbul bervariasi dari 1-4 minggu.
Setelah pemberiannya peroral, kadar puncaknya di dalam darah dicapai dalam waktu
1-3 jam setelah pemberian, penyerapannya umumnya tidak dipengaruhi oleh adanya
makanan (Arbie, 2003).
Asam mefenamat digunakan sebagai analgesik; sebagai antiinflamasi, asam
mefenamat kurang efektif dibandingkan dengan aspirin. Asam mefenamat terikat
sangat kuat pada protein plasma. Oleh karena itu, interaksi terhadap obat
antikoagulan harus diperhatikan. Efek samping pada saluran cerna sering timbul
misalnya dispepsia dan gejala iritasi lain terhadap mukosa lambung. Dosis asam
mefenamat adalah 2-3 kali 250-500 mg sehari (Ganiswara, 1995).
Sedangkan pemberian antibiotik sendiri apabila memungkinkan, sebaiknya
pemilihan obat didasarkan pada hasil smear/pewarnaan gram, kultur dan tes
sensitivitas. Antibiotic yang dipilih diresepkan dengan dosis yang adekuat dan jangka
waktu yang memadai. Dosis subklinis tidak efektif dan bisa mengakibatkan terjadinya
resistensi pada bakteri pathogen tertentu. Kombinasi antibiotic tertentu misalnya satu
atau dua macam obat yang biasanya digunakan di Rumah Sakit untuk infeksi-infeksi
yang serius. Terapi antibiotic kombinasi yang biasanya dilakukan adalah suatu
antibiotic spectrum luas dengan obat yang termasuk dalam kelompok aminoglikosid.
Untuk merawat infeksi dengan baik biasanya dilakukan dengan mengkombinasikan
perawatan bedah, supportif, dan antibiotik.
a.

Penicillin
Penicillin adalah antibiotic yang paling sering digunakan. Baik yang alami

maupun semisintetis mempunyai aktivitas bakteriosidal spectrum luas, dan bekerja


dengan kalan mengganggu pembentukan dan keutuhan dinding sel bakteri. Penicillin
adalah obat utama untuk mengobati sebagian besar penyakit infeksi orofasial dan
untuk profilaksis pada pasien risiko tinggi terhadap infeksi, apabila tidak ada riwayat
alergi.

b. Erythromycin
Erythromycin adalah antibiotic yang penting karena bisa digunakan untuk orang
yang alergi terhadap penicillin. Erythromycin efektif terhadap bakteri gram positif
yang peka terhadapnya. Obat ini biasanya tidak efektif untuk bakteri gram negative.
Erythromycin menghambat sintesis protein pada bakteri, bisa bersifat bakteriostatis
terhadap bakteri tertentu dan bakteriosid terhadap bakteri yang lain.
c.

Cephalosporin
Cephalosporin secara structural dan farmakologis mirip dengan penicillin, yang

bisa

menjelaskan

reaksi

alergnik-silang

antara

kedua

kelompok

tersebut

(kemungkinannya 5-10%, tetapi bisa lebih rendah apabila diberikan secara oral).
Cephalexin, cephaloglycin, cefadroxil, cephradine bisa digunakan secara oral dan
bisa diabsorbsi dengan baik di dalam saluran gastrointestinal. Cephalosporin bersifat
bakterisid terhadap sebagian besar jenis Streptococcus dan Staphylococcus tetapi
tidak efektif terhadap sebagian coccus gram negatif dan batang yang sering terlibat
dalam infeksi orofasial. Cephalosporin jangan digunakan sebagai antibiotic utama
tetapi sebaiknya digunakan sebagai cadangan untuk kasus-kasus dimana tes
sensitivitas menunjukkan bahwa obat tersebut adalah yang paling efektif.
d. Lincosamide
Clindamycin yang merupakan suatu derivate dari lincomycin, bisa diabsorpsi
dengan cepat apabila diberikan secara oral, dan mencapai konsentrasi maksimum
dalam darah selama -1 jam. Secara umum kegunaannya sangat dibatasi yakni pada
orang yang menderita kelainan ginjal. Clindamycin bersifat bakterisid, yatu dengan
cara menghambat sintesis protein. Walaupun clindamycin efektif terhadap sebagian
bakteri gram positif, indikasinya terutama untuk perawatan infeksi yang disebabkan
oleh coccus gram positif anaerob dan batang gram negative. Clindamycin
dicadangkan untuk infeksi serius yang disebabkan oleh bakteri anaerob yang rentan
terhadap obat ini, dan pada kasus dimana respon terhadap penicillin kurang baik.

Indikasi lainnya dalah pada pasien yang mengalami infeksi yang parah dan alergi
terhadap penicillin.
e. Metronidazole
Metronidazole adalah anti protozoa mulut (Trichomonas, Entamoeba) dan
anti-bakteri. Cara kerja bakteriosidnya dengan jalan mengganggu sintesis DNA. Obat
ini bisa diabsorpsi dengan baik apabila diberikan secara oral, dan terserap dengan
baik pada kebanyakan cairan dan jaringan tubuh termasuk saliva dan cairan
serebrospinal. Metronidazole efektif untuk bakteri anaerob. Apabila digunakan pada
kasus campuran (anaerob dan aerob), maka perlu ditambahkan antibiotic yang sesuai
untuk infeksi aerob. Pada kondisi penyakit hepar yang parah, dosisnya dikurangi.
Efek samping yang paling sering terjadi adalah mual, disertai dengan sakit kepala,
anoreksia dan kadang-kadang muntah.
f. Tetracyclin
Tetracycline merupakan obat yang bersifat bakteriostatis yang bekerja dengan
jalan menghambat sintesis protein. Tetracycline tidak dianjurkan sebagai obat utama
untuk infeksi orofasial yang serius. Obat ini sebaiknya digunakan apabila tes
sensitivitas menunjukkan perlunya pemberian obat tersebut, atau obat lain tidak ada,
atau pasien alergi terhadap obat utama. Untuk membantu absorpsinya, sebaiknya obat
ini diminum 1-2 jam sebelum atau sesudah makan. Tetracycline yang digunakan
selama odontogenesis, yaitu pertengahan kedua masa kehamilan

sampai anak

berumur 8 tahun, bisa mengakbatkan perubahan warna pada gigi (kuning, abu-abu,
coklat).
Obat-obatan topical biasanya sering diberikan dalam b entuk kombinasi
dengan yang lain supaya spektrumnya lebih luas misalnya Bacitracin, Neomycin,
Gramicidine, Polymyxin B atau kombinasi lainnya.
3.4.3 Ekstraksi Gigi

Drainase menggunakan teknik ini digunakan pada kasus yang jika cairan
tersebut berada di sekitar apikal gigi misalnya abses periapikal. Cara-caranya adalah
seperti pada pencabutan gigi pada umumnya.
1. Gigi insisivus atas dicabut dengan menggunakan tang #150, dengan pinch
grasp dan tekanan lateral (fasial/lingual) serta rotasional. Tekanan lateral lebih
ditingkatkan pada arah fasial, sedangkan tekanan rotasional ke arah mesial.
2. Gigi insisivus bawah dicabut dari posisi kanan atau kiri belakang dengan
menggunakan tang #150 dan sling grasp. Tekanan permulaan adalah lateral
dengan penekanan ke arah fasial. Ketika mobilisasi pertama dirasakan,
kombinasi dengan tekanan rotasional sangat efektif.
3. Gigi kaninus atas sangat sukar dicabut karena memiliki akar yang panjang
dan tulang servikal yang menutupinya padat dan tebal. Gigi ini dicabut
dengan cara pinch grasp. Tang yang digunakan #150 dipegang dengan telapak
tangan ke atas. Ada alternative untuk gigi ini yaitu dengan menggunakan tang
kaninus khusus, #1. Tekanan pencabutan yang utama adalah ke lateral
terutama fasial, karena gigi terungkit ke arah tersebut. Tekanan rotasional
digunakan untuk melengkapi tekanan lateral, biasanya dilakukan jika sudah
terjadi sedikit luksasi.
4. Gigi kaninus bawah dicabut dengan tang #151, yang dipegang dengan
telapak tangan ke bawah dan sling grasp. Tekanan yang diberikan adalah
tekanan lateral fasial, karena arah pengeluaran gigi adalah fasial. Tekanan
rotasional bias juga bermanfaat.
5. Gigi premolar atas dicabut dengan tang #150 dipegang dengan telapak ke
atas dan dengan pinch grasp. Premolar pertama dicabut dengan tekanan
lateral; ke arah bukal yang merupakan arah pengeluaran gigi. Gerakan
rotasional dihindarkan karena gigi premolar pertama atas ini memiliki dua
akar. Aplikasi tekanan yang hati-hati pada gigi ini untuk mengurangi
terjadinya fraktur akar. Fraktur pada gigi ini bias diperkecil dengan membatasi
gerak ke arah palatal. Gigi premolar kedua biasanya mempunyai akar yang
tunggal dan dicabut yang sama dengan gigi kaninus atas. Tang #150

digunakan kembali dengan tekanan lateral, yaitu bukal serta lingual. Pada
waktu mengeluarkan gigi ke arah bukal, digunakan kombinasi tekanan
rotasional dan oklusal.
6. Gigi premolar bawah,cara pencabutannya sangat mirip dengan teknik
pencabutan gigi insisivus bawah. Tekanan yang terutama diperlukan adalah
lateral/bukal, tetapi pada akhirnya bias dikombinasi dengan tekanan rotasi.
Pengeluaran gigi ini ke arah bukal.
7. Gigi molar atas dicabut dengan menggunakan tang #150, #53 atau #210,
dipegang dengan telapak tangan ke atas dan pinch grasp. Tang #210 walaupun
ideal untuk pencabutan molar ketiga atas, dianggap universal dan dapat
digunakan untuk molar pertama dan kedua kanan dan kiri atas. Tekanan
pencabutan utama adalah ke arah bukal yaitu arah pengeluaran gigi.
8. Gigi molar bawah diicabut dengan menggunakan tang #151, #23, #222. Tang
#17 bawah, mempunyai paruh yang lebih lebar, yang didesain untuk
memegang bifurkasi dan merupakan pilihan yang lebih baik asalkan
mahkotanya cocok. Tekanan lateral untuk permulaan pencabutan gigi molar
adalah ke arah lingual. Tulang bukal yang tebal menghalangi gerakan ke bukal
dan pada awl pencabutan gerak ini hanya mengimangi tekanan lingual yang
lebih efektif. Gigi molarsering dikeluarkan ke arah lingual.

3.5 Penatalaksanaan pasien hipertensi dalam kedokeran gigi


Di Indonesia sendiri berdasarkan konsensus yang dihasilkan pada Pertemuan
Ilmiah Nasional Pertama Perhimpunan Hipertensi Indonesia pada tanggal 13-14
Januari 2007 belum dapat membuat klasifikasi hipertensi sendiri untuk orang
Indonesia. Hal ini dikarenakan data penelitian hipertensi di Indonesia berskala
nasional sangat jarang.

Karena itu para pakar hipertensi di Indonesia sepakat untuk menggunakan


klasifikasi WHO dan JNC 7 sebagai klasifikasi hipertensi yang digunakan di
Indonesia.
Klasifikasi Hipertensi menurut WHO
Kategori
Sistol (mmHg)
Optimal
< 120
Normal
< 130
Tingkat 1 (hipertensi ringan)140-159
Sub grup : perbatasan
140-149
Tingkat
2
(hipertensi160-179

Diastol (mmHg)
< 80
< 85
90-99
90-94
100-109

sedang)
Tingkat 3 (hipertensi berat) 180
Hipertensi sistol terisolasi 140
Sub grup : perbatasan
140-149

110
< 90
< 90

Klasifikasi Hipertensi menurut Joint National Committee 7


Kategori
Normal
Pre hipertensi
Hipertensi tahap 1
Hipertensi tahap 2

Sistol (mmHg)
<120
120-139
140-159
160

Dan/atau
Dan
Atau
Atau
Atau

Diastole (mmHg)
<80
80-89
90-99
100

Klasifikasi Hipertensi Hasil Konsensus Perhimpunan Hipertensi Indonesia


Kategori
Sistol (mmHg)
Normal
<120
Pre hipertensi
120-139
Hipertensi tahap 1 140-159
Hipertensi tahap 2 160
Hipertensi
sistol 140
terisolasi

Dan/atau
Dan
Atau
Atau
Atau
Dan

Diastole (mmHg)
<80
80-89
90-99
100
< 90

Hipertensi sering teridentifikasi dari riwayat kesehatan rutin yang diperiksasebelum tindakan
operatif. Pasien hipertensi yang terkontrol dengan baik tidak banyak menimbulkan masalah. Pasien
yang tidak terkontrol dengan baik dan menderita penyakit jangka panjang dengan gejala
seperti pusing-pusing, sakit kepala, perdarahan hidung,atau gejala seperti stroke, harus
dievaluasi secara cermat. Pasien dalam kelompok inisering juga menderita kegagalan jantung atau
ginjal dalam berbagai tingkat keparahan.Pengobatan yang meliputi diuretic, inhibitor adrenergic, dan
vasodilator, masing-masingmempunyai efek samping yang merugikan. Penatalaksanaan untuk
pasien hipertensidimodifikasi berdasarkan kebutuhan individual, dengan mempertimbangkan
hasilpemeriksaan

tekanan

darah

pra-bedah,

usia,

riwayat

kesehatan

dan

riwayat

pengobatandibandingkan dengan urgensi dan sifat pembedahan yang akan dilakukan.


Tindakanbedah mulut pada pasien yang mempunyai tekanan darah 185 mmHg (sistolik),
dantekanan diastolic 115 mmHg , umumnya merupakan kontraindikasi. Pasien yangmenunjukan
gejala-gejala pusing, sakit kepala, perdarahan hidung, atau gejala yangmenyerupai stroke
mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya infark miokardial akibatketakutan atau stroke (cedera
cerebrovaskular). Dalam kasus seperti ini, sebaiknyadilakukan penundaan perawatan dan
dikonsultasikan terlebih dahulu untuk mendapatkanobat antihipertensi yang efektif.
Pasien yang menderita hipertensi ringan atau sedang dengan tekanan darah yangdistabilisir
dengan pengobatan, boleh dirawat melalui kerja sama dengan dokterpribadinya. Biasanya anastesi
efektif untuk bedah dentoalveolar diperoleh denganpemberian mepivacaine 3% (Carbocaine).
Meskipun peranan hipertensi esensial masihdipertanyakan dalam meningkatkan perdarahan, tetapi
tidak adanya vasokonstriktorbenar-benar meningkatkan kemungkinan terjadinya perdarahan
intraoperatif. Jikaepinefrin digunakan, dosis totalnya dibatasi hanya sampai 0,2 mg (setara dengan
10Carpules dari epinefrin 1:100.000). Prinsip penggunaan larutan anastesi lokal minimalyang efektif
dapat diterapkan pada pasien hipertensi seperti yang biasanya diperlukanterhadap pasien yang lain.
Mungkin diperlukan sedative ringan prabedah, tetapi harussepengetahuan dokternya. Karena banyak
pasien hipertensi menderita hipotensi ortostatik (postural), akibat pengobatan antihipertensi (baik
diuretic maupun inhibitor adrenergic),maka menaikkan tinggi kursi unit sebaiknya dilakukan
perlahan-lahan, dan diperlukan seseorang untuk membantu pada waktu pasien berdiri.

Anda mungkin juga menyukai