Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
Infeksi dapat bersifat akut dan kronis. Suatu kondisi akut biasanya disertai
dengan pembengkakan dan rasa sakit yang hebat dengan malaise dan demam yang
berkepanjangan. Bentuk kronis dapat berkembang dari penyembuhan sebagian
keadaan akut, serangan yang lemah atau pertahanan tubuh yang kuat. Infeksi
kronis sering ditandai dengan ketidaknyamanan dalam berbagai tingkatan dan
reaksi ringan dari jaringan sekitarnya, misalnya edema, kemerahan, rasa sakit
tekan, dan manifestasi sistemik episodik yaitu : demam ringan, letalergi dan lemah
badan (Pedersen, 1996).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Infeksi Odontogenik
Infeksi odontogenik merupakan infeksi akut atau kronis yang berasal
dari gigi yang berhubungan dengan patologi. Mayoritas infeksi yang
bermanifestasi
pada
region
orofacial
adalah
odontogenik.
Infeksi
sedunia dan
Fistula
Bakteremie-Septikemie
Selulitis
Acute-Chronic
Periapikal Infection
Osteomielitis
Infeksi Spasium
yang dalam
Ke
tinggi
spasium
yang
infeksi
bakteri yang berbeda secara morfologi dan biokimia yang berada dalam rongga
mulut dan gigi. Banyaknya flora rongga mulut dan gigi dapat menjelaskan etiologi
spesifik dari beberapa tipe terjadinya infeksi gigi dan infeksi dalam rongga mulut,
tetapi lebih banyak disebabkan oleh adanya gabungan antara bakteri gram positif
yang aerob dan anaerob (Fragiskos, 2007)
Infeksi odontogen biasanya disebabkan oleh bakteri endogen. Lebih dari
setengah kasus infeksi odontogen yang ditemukan (sekitar 60 %) disebabkan oleh
bakteri anaerob. Organisme penyebab infeksi odontogen yang sering ditemukan
pada
pemeriksaan
Peptostreptococcus,
kultur
Peptococcus,
adalah
alpha-hemolytic
Eubacterium,
Bacteroides
Streptococcus,
(Prevotella)
2.
3.
2.4 Patogenesis
Penyebaran infeksi odontogenik akan melalui tiga tahap yaitu tahap abses
dentoalveolar, tahap yang menyangkut spasium dan tahap lebih lanjut yang
merupakan tahap komplikasi. Suatu abses akan terjadi bila bakteri dapat masuk ke
jaringan melalui suatu luka ataupun melalui folikel rambut. Pada abses rahang
dapat melalui foramen apikal atau marginal gingival.
Penyebaran infeksi melalui foramen apikal berawal dari kerusakan gigi
atau karies, kemudian terjadi proses inflamasi di sekitar periapikal di daerah
membran periodontal berupa suatu periodontitis apikalis. Rangsangan yang ringan
dan kronis menyebabkan membran periodontal di apikal mengadakan reaksi
membentuk dinding untuk mengisolasi penyebaran infeksi. Respon jaringan
periapikal terhadap iritasi tersebut dapat berupa periodontitis apikalis yang
supuratif atau abses dentoalveolar.
2.7.
3. Limphadenopati
Pada infeksi akut, kelenjar limfe membesar, lunak dan sakit. Kulit di
sekitarnya memerah dan jaringan yang berhubungan membengkak. Pada
infeksi kronis perbesaran kelenjar limfe lebih atau kurang keras tergantung
derajat inflamasi, seringkali tidak lunak dan pembengkakan jaringan di
sekitarnya biasanya tidak terlihat. Lokasi perbesaran kelenjar limfe merupakan
daerah indikasi terjadinya infeksi. Supurasi kelenjar terjadi jika organisme
penginfeksi menembus sistem pertahanan tubuh pada kelenjar menyebabkan
reaksi seluler dan memproduksi pus. Proses ini dapat terjadi secara spontan
dan memerlukan insisi dan drainase.
2.9.
2.11.
2. Spasium bukal, dibatasi oleh kulit superfisial wajah pada bagian lateral dan
muskulus buccinator pada bagian medial. Spasium ini dapat terlibat baik
akibat perluasan infeksi gigi pada maksila maupun mandibula. Selain itu,
spasium bukal terjadi akibat infeksi yang merusak tulang di atas perlekatan
muskulus buccinator.
Bagian medial
2.Spasium bukal, serupa dengan spasium bukal yang disebabkan oleh infeksi
gigi rahang atas.
3.Spasium submandibula, bagian anteromedial dibatasi oleh muskulus
digastrikus anterio dan bagian posteromedialnya dibatasi oleh muskulus
digastrikus posterior serta muskulus stilohyoid, dasarnya dibentuk oleh
muskulus milohyoid dan muskulus hyoglosus. Di bagian anterior spasium
submandibula terdapat spasium sublingual yang dibatasi oleh muskulus
milohyoideus. Infeksi pada spasium submandibula dan sublingual sering
disebabkan oleh infeksi yang berasal dari gigi molar dan premolar mandibula
yang menembus ke lingual. Apabila spasium submandibula, sublingual dan
submental bilateral terkena infeksi, dikenal sebagai ludwigs angina. Infeksi
ini merupakan selulitis yang menyebar dengan cepat. Pada infeksi ini hampir
selalu terlihat lidah terangkat, indurasi daerah submandibula dan penderita
biasanya mengalami trismus, saliva menetes serta kesulitan menelan dan
bernafas. Infeksi ini menyebar dengan cepat dan luas, dapat mengakibatkan
obstruksi saluran pernafasan sehingga dapat menimbulkan kematian.
ramus mandibula hingga tepi anterior dari otot masseter. Selain itu tampak
juga trismus dan sudut dari mandibula tidak dapat dipalpasi. Secara
intraoral, tampak edema pada daerah retromolar dan pada bagian anterior
dari ramus. Abses ini jarang berfluktuasi, dan dapat juga timbul gejala
sistemik.
2. Spasium
pterigomandibular,
terletak
di
sebelah
lateral
muskulus
Merupakan tempat
Penyebaran
Penyebab utama abses pada spasia ini adalah infeksi dari gigi molar tiga
atau akibat dari suatu blok nervus alveolaris inverior, jika sisi penetrasi dari
needle terinfeksi (pericoronitis). Gejala klinis pada infeksi spasium ini
adalah trismus yang parah dan sedikit
edema ekstraoral
yang tidak
pterigomandibula
dan
lateral
muskulus
pterigomandibula.
Infeksi pada spasium temporalis disebabkan oleh perluasan dari infeksi pada
spasium infratemporalis yang saling berhubungan. Gejala klinis ditandai
dengan edema yang sakit pada fascia temporalis, trismus (temporal dan
muskulus pterygoid mediana terlibat), dan sakit saat palpasi pada edema.
4. Spasium faringeal lateral, merupakan bagian spasium fasial servikal dan
dapat mengancam nyawa dengan adanya obstruksi saluran nafas. Perluasan
ke arah posterior dan spasium pterigomandibula dapat menyebar ke
spasium faringeal lateral. Spasium ini meluas dari dasar tengkorak pada
tulang sphenoid ke inferior menuju tulang hyoid. Bagian medial dibatasi
oleh muskulus pterigoideus medialis dan bagian lateral oleh muskulus
konstriktor faringeus superior.
Kondisi toksisitas
terasa cairan yang bergerak dalam rongga abses. Jika insisi dilakukan
prematur, biasanya hanya akan mengeluarkan sedikit darah, tanpa
pengurangan rasa sakit pasien dan edema tidak berkurang.
7. Jika lokasi pus dalam jaringan lunak tidak dapat ditentukan ( saat fluktuasi
(-)) insisi drainase dilakukan pada daerah yang paling lunak saat palpasi,
daerah yang lebih merah, dan daerah paling sakit saat ditekan. Fluktuasi
dapat dipercepat dengan kumur air hangat.
8. Hindari kompres hangat ekstraoral untuk mencegah drainase spontan
ekstraoral.
9. Drainase awal dilakukan menggunakan hemostat yang dimasukkan dalam
lubang insisi dengan paruh hemostat ditutup, lalu paruh di lebarkan saat
hemostat berada dalam lubang insisi dan selanjutnya lakukan eksplorasi.
Sasat diseksi tumpul tersebut dilakukan daerah sekitar insisi dipijat
perlahan untuk mengeluarkan pus.
10. Tempatkan drain ke dalam lubang insisi.
11. Ekstraksi gigi penyebab secepatnya apabila gigi tersebut tidak dapat
dipertahankan lagi dan apabila pencabutan gigi merupakan kontra indikasi
bagi pasien.
12. Berikan antibiotik ketika pembengkakan telah meluas, terutama bila
terjadi demam dan infeksi menyebar ke spasia.
2.14
meliputi hidrasi yang adekuat, asupan nutrisi dan kontrol suhu tubuh. Pada
beberapa kasus, keseimbangan elektrolit dan kontrol penyakit sistemik merupakan
hal yang sangat penting dalam penatalaksanaan terapi infeksi. Demam dengan
suhu dibawah 39,4oC dipertimbangkan masih menguntungkan bagi tubuh itu
sendiri dikarenakan kenaikan suhu tubuh yang ringan meningkatkan aktivitas
fagositosis, meningkatkan aliran darah ke daerah yang terinfeksi, meningkatkan
metabolisme dan fungsi antibodi. Namun apabila suhu melebihi 39,4o dapat
menyebabkan meningkatnya metabolisme dan kardiovaskular melebihi kebutuhan
biasanya. Energi yang tersimpan dapat terkuras dan kehilangan cairan semakin
banyak.
Penatalaksanaan
kontrol
demam
yang
lain
adalah
penggunaan
asetamenofen atau aspirin. Dapat dilakukan juga kompres hangat atau lap badan
dengan alkohol.
2.15
Tingkat keparahan
infeksi
Ringan
Berat
Antibiotika pilihan
Antibiotik alternative
(bila alergi penisilin)
Penisilin
Klindamisin
Klindamisin
Moksifloksasin
Sefaleksin
Metronidazol
Klindamisin
Klindamisin
Ampisilin
Metronidazol
Ampisilin + Sulbaktam
hal pengurangan rasa sakit maupun pembengkakan selama 7 hari masa terapi
antara penisilin dengan jenis antibiotic lain seperti klindamisin, amoksisilin,
amoksisilin-klavulanat maupun sefradine. Penisilin masih merupakan antibiotik
yang paling efektif untuk infeksi odontogenik tanpa komplikasi, selain itu harga
murah dan mempunyai efek samping yang minimal.
Untuk penanganan infeksi berat, dimana pasien dirawat di rumah sakit,
penisilin bukanlah antibiotik pilihan karena tingkat kegagalan yang tinggi.
Biasanya untuk keadaan tersebut dipakai klindamisin. Resistensi terhadap
penisilin dikarenakan sintesa -laktamase. Hampir 25% strain Prevotella dan
Phorphyromonas mampu mensintesa enzim ini. Enzim ini ditemukan pula pada
bakteri jenis Fusobakterium dan Streptokokus.
Streptokokus anginosus, S.
Kadar antibiotik dalam jaringan tubuh tergantung dari kadar antibiotik dalam
serum, yang mana antibiotik harus mampu memberikan kadar terapi di jaringan
lunak, tulang, otak dan kavitas abses. Antibiotik yang diberikan PO harus mampu
bertahan melewati asam lambung, sifat kimia dari makanan dan acid intestinal
track. Setelah antibiotik diserap lambung atau mukosa usus, maka akan
dimetabolisme di hati dan sebagian akan dieksresikan lewat empedu. Sebagian
antibiotik yang diekresikan akan diserap kembali oleh usus menghasilkan
enteropatik resirkulasi. Oleh karena alasan tersebut, maka kadar antibiotik dalam
serum yang diberikan PO akan lebih rendah dari kadar antibiotik yang diberikan
IV.
Namun beberapa jenis antibiotik sama efektifnya baik diberikan secara IV
maupun PO, contohnya moksifloksasin dan ciprofloksasin.
antibiotik jenis ini tidak pernah diberikan secara IV kecuali ada kontraindikasi
pemberian secara PO.
2.17
Pasien infeksi ringan yang telah mendapat terapi disertai pencabutan gigi
maupun insisi drainase sebaiknya kontrol dalam waktu 2 hari post operative.
Untuk pasien dengan infeksi berat yang dirawat di rumah sakit diperlukan
evaluasi dan penanganan luka. Setelah 2 3 hari post operative biasanya akan
terdapat perbaikan tanda klinis, seperti pembengkakan yang mereda, drainase
yang mengering, menurunnya kadar sel darah putih dan menurunnya malaise.
Pada saat ini uji kultur bakteri telah ada hasil, hingga terapi dapat dilanjutkan
dengan tipe antibiotik yang lebih tepat
Apabila tidak terdapat perbaikan tanda-tanda klinis, mungkin ada
kegagalan perawatan. Hal yang dapat menyebabkan gagalnya suatu perawatan
adalah :
1. Prosedur bedah yang inadekuat.
2. Menurunnya pertahanan tubuh.
3. Foreign bodies
4. Problem antibiotik :
-
Salah antibiotik
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1.
Identitas Pasien
Tabel 3.1.
Identitas Pasien
Nama
Jenis Kelamin
Umur
Alamat
Agama
Status
NRM
An. A Ilham
Laki-laki
7 tahun
Kp. Cipendeuy
Islam
Belum Kawin
1400009621
Waktu Masuk
3.2. Anamnesa
3.2.1. Keluhan Utama
Pembengkakan dan nyeri pada rahang bawah kiri.
3.2.2. Pemeriksaan Subjektif
Pasien anak laki-laki usia 7 tahun dikonsulkan dari RSUD Soreang dengan
keluhan pembengkakan dan nyeri pada rahang bawah kiri. 5 hari SMRS pasien
mengeluhkan sakit gigi rahang bawah kiri, pasien lalu berobat ke mantri di daerah
Tanjung dan diberi dua macam obat (pasien lupa nama obatnya). Pada 3hari
SMRS timbul pembengkakan pada rahang bawah kiri disertai dengan demam dan
kejang lalu pasien berobat ke RSUD Soreang dan dirawat inap selama dua hari,
disana dilakukan pemasangan infus dan pemberian obat suntikan (Cefotaxime,
Metronidazole) serta obat sirup (Paracetamol), karena pembengkakan semakin
meluas hingga ke bawah dagu pasien lalu dirujuk ke RSHS.
3.3. Pemeriksaan Objektif
3.3.1. Tanda Vital
K: CM
N: 96x/menit
S: 37,8C
R: 23x/menit
3.3.2. Status Generalisata
- Kulit : turgor (+)
- Kepala : wajah asimetris, pembengkakan a.r Submandibula Sn et
Submental,
konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Leher : JVP tidak meninggi, KGB Submandibula ka teraba,tidak sakit, ki
tdn
Thorax : B/G simetris, VBS ka=ki, Rh -/-, Wh -/BJ murni reguler
- Abdomen: datar lembut, BU (+) N
- Ekstremitas: akral hangat (+) CRT < 2
3.3.3. Status Lokalisata
- Ekstra Oral
Wajah asimetris, pembengkakan a.r Submandibula Sn yang meluas ke
-
Submental, uk 7x5x3 cm, warna lebih merah dari jaringan sekitar, suhu febris,
batas
jelas,
terlokalisir,
Gambar. 3.1. Profil ekstra oral pasien. Terlihat pembengkakan pada daerah
Submandibula kiri dan Submental
-
Intra Oral
Lidah
Dasar mulut
Gingiva
M. bukal
: Terangkat
: Odem
: Oedem + hyperemia
: TAK
Vestibulum
Bibir
Palatum
Tonsil
Gambar 3.2.
: TAK
: TAK
: TDN
: TDN
Gambaran
Intra Oral
6 V IV
III II 1 1
II III IV V 6
6 V IV III II 1 1 II III IV V 6
CP CM
Foto Panoramik
3.4.
3.5.
3.6.
-
Hasil
12,8
2,05
25,3
13,5
40
20.300
5,45
212.000
36
22
34
0,41
111
124
4,1
Normal
10,2-14,2 detik
0,84-1,16 detik
16,3-36,3 detik
11,5-15,5 g/dL
35-45%
4500-13.500 mm3
4,19-5,96 juta/uL
150.000-450.000/mm3
L: <50 U/L 37C
L: <50 U/L 37C
15- 50 mg/ dL
L : 0,7-1,2 mg/dL
<140 mg/dL
135-145mEq/L
3,6-5,5 mEq/L
Diagnosis
Abses Submandibula Sn yang meluas ke Submental dan Sublingual e.c
GR gigi 75
Diagnosis Banding
Ludwigs Angina
Tindakan IGD BM
Lab Lengkap, PT-APTT
Foto thorax, foto panoramik
O2 nasal canul 3liter/menit
IVFD NaCl rehidrasi sedang
6 jam I (08.00-14.00) 960 cc/6jam (40 gtt/mnt)
Initial urine 250 ml
Tapping pus 2 cc kultur resistensi
Konsul IKA
R/ Metronidazole inf 120 mg
Cefotaxime
inj 750 mg
Ranitidine
inj 15 mg
Antrain
inj 160 mg
Insisi drainase EO pus 10 cc
Ekstraksi gigi 75
Gambar 3.4. Tindakan insisi drainase pus a.r. Submandibula Sn dan Submentale
3.7. Saran
- Observasi NSR
- Diet REE X SF : 1300 kkal tdd makan lunak 3X,Susu 2X
- IVFD RL rehidrasi sedang
18 jam II (05.00-23.00) 1728 cc/18jam (24 gtt/mnt)
- R/ Metronidazole inf 3x 120 mg
Cefotaxime inj 3 x 750 mg
Antrain
inj 2 x 160 mg
Ranitidine
inj 2 x 15 mg
- Cek produksi urin tamping
- Latihan buka tutup mulut dengan stik es krim
- Kumur-kumur hexetidine gargle setiap habis makan
- Spooling IO dengan NaCl 0,9 %
- GV 2x/ hari
- Ganti penrose POD III tgl 31/3/2014
Pro penambalan gigi 84, 85 di poli gimul bagian pedodontik pada hari dan
jam kerja
BAB V
DISKUSI
Infeksi odontogenik merupakan infeksi akut atau kronis yang berasal dari
gigi yang berhubungan dengan patologi. Infeksi ini disebabkan oleh bakteri yang
mencapai jaringan lebih dalam yaitu melalui nekrosis pulpa dan soket periodontal
yang dalam. Pada kasus ini, infeksi terjadi melalui gigi 75 yang sudah tersisa akar
dengan diagnosa gangren radiks dan sudah terbentuk abses pada submandibular
sinistra yang meluas ke submentale dan sublingual.
Penyebaran infeksi terjadi melalui foramen apikal yang berawal dari
kerusakan gigi, kemudian terjadi proses inflamasi di sekitar periapikal. Terdapat
tiga tahap penyebaran infeksi yaitu tahap abses dentoalveolar, tahap yang
menyangkut spasium dan tahap yang lebih lanjut.
Dalam kasus ini periodontitis apikalis kronis yang diakibatkan oleh
gangren radiks gigi 75 mengakibatkan terjadinya abses dimana pasien merasakan
bengkak,nyeri dan demam karena pada saat tersebut terjadi proses inflamasi pada
area tersebut lalu pembengkakan semakin besar dalam waktu 3 hari. Proses
penyebaran ini terjadi karena adanya pengikisan pada infeksi yang menembus
sampai ke tulang paling tipis sehingga mengakibatkan infeksi pada jaringan
sekitar (jaringan yang berbatasan dengan tulang) dalam kasus ini spasium mentale
dan sublingual.
Pada pemeriksaan klinis ditemukan benjolan pada bagian pipi kiri, bawah
dagu dan di bawah lidah dengan konsistensi keras, permukaan licin, fluktuasi (+),
warna lebih merah dari jaringan sekitar dan nyeri saat ditekan. Hal ini sejalan
seperti yang dikatakan oleh Pederson (2003), bahwa infeksi kronis sering ditandai
dengan ketidaknyamanan dalam bebrbagai tindakan dan reaksi ringan dari
jaringan sekitarnya, misalnya edema, kemerahan, rasa sakit tekan, dan manifestasi
sistemik periodik yaitu: demam, dan lemah badan.
Perawatan yang dapat dilakukan dalam kasus ini adalah insisi drainase
dimana abses seudah menyebar ke tiga spasium dan dikhawatirkan bisa
menghambat akses terhadap jalan nafas. Drainase pus dilakukan dengan cara
insisi ekstra oral dan pencabutan gigi 75. Setelah itu dipasang penrose drain dan
verban untuk membantu pengeluaran pus. Pasien juga diberikan obat antibiotik
Metronidazole dan Cexotaxime injeksi karena antibiotik ini memiliki spectrum
yang luas dalam hal ini yang ingin dieliminasi adalah bakteri anaerob. Lalu
diberikan obat anti inflamasi Antrain yang tergolong dalam NSAIDs (Non-Steroids
Anti Inflammatory Drugs) untuk mengurangi pembengkakan.
Pasien lalu dirawat inap selama beberapa hari dan diobservasi
vital
BAB V
KESIMPULAN
Infeksi odontogenik merupakan hal yang sering terjadi dan sering pula
menimbulkan kegawatdaruratan. Hal ini bisa terjadi karena spasium-spasium
fasial memiliki dinding yang tipis yang hanya dibatasi oleh jaringan ikat sehingga
infeksi yang terjadi bisa menyebar dengan cepat jika tidak ditangani dengan baik.
Dokter gigi harus tau cara-cara menangani infeksi dan bisa melakukan tindakan
agar infeksi ini tidak mengakibatkan kematian pada pasien.
Selain penatalaksanaan yang tepat, pemberian
analgesik juga diperlukan pada perawatan infeksi karena sebelum infeksi meluas
ke spasium lebih baik diberhentikan proses penyebarannya dengan obat dan
menghilangkan sumber infeksi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
rd
INFEKSI ODONTOGENIK
( Laporan Kasus)
Oleh :
Abu Ubaidah bin Zainal Arifin
160112130520
Pembimbing :
DR. Mantra Nandini, drg. Sp. BM (K). MARS