Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi odontogenik mempunyai dua penyebab utama : periapikal yang


berasal dari nekrosis pulpa yang menyebabkan bakteri menginvasi ke jaringan
periapikal dan periodontal, yang disebabkan poket periodontal yang dalam
sehingga proses inokulasi bakteri terjadi di dalam jaringan lunak (Peterson, 1998).
Gigi geligi dengan karies yang diikuti dengan nekrosis pulpa dan infeksi di
periapikal serta infeksi periodontal mempunyai potensi cukup besar untuk
menyebarkan infeksi ke berbagai tempat dalam rongga mulut, muka dan leher.
Penyebab infeksi ini adalah mikroba komensal dalam mulut yang kemudian
menjadi pathogen, yang penyebarannya dipengaruhi oleh meningkatnya virulensi
dan kuantitas mikroba dan menurunnya daya tahan tubuh penderita.
Infeksi menurut Topazian, merupakan proses masuknya mikroorganisme
ke dalam tubuh, dan selanjutnya mikroorganisme tersebut mengadakan penetrasi
dan menghancurkan host secara perlahan-lahan, hingga berkembang biak.
Kebanyakan infeksi yang berasal dari rongga mulut bersifat campuran
(polimikrobial), umumnya terdiri dari dua kelompok mikroorganisme atau lebih.
Karena flora normal di dalam rongga mulut terdiri dari kuman gram positif dan
aerob serta anaerob gram negatif maka yang paling banyak menyebabkan infeksi
adalah kuman-kuman tersebut. Secara umum biasanya diasumsikan bahwa infeksi
di rongga mulut disebabkan oleh Streptococcus dan Staphylococcus serta
mikrooganisme gram negatif yang berbentuk batang dan anaerob.

Infeksi dapat bersifat akut dan kronis. Suatu kondisi akut biasanya disertai
dengan pembengkakan dan rasa sakit yang hebat dengan malaise dan demam yang
berkepanjangan. Bentuk kronis dapat berkembang dari penyembuhan sebagian
keadaan akut, serangan yang lemah atau pertahanan tubuh yang kuat. Infeksi
kronis sering ditandai dengan ketidaknyamanan dalam berbagai tingkatan dan
reaksi ringan dari jaringan sekitarnya, misalnya edema, kemerahan, rasa sakit
tekan, dan manifestasi sistemik episodik yaitu : demam ringan, letalergi dan lemah
badan (Pedersen, 1996).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Infeksi Odontogenik
Infeksi odontogenik merupakan infeksi akut atau kronis yang berasal
dari gigi yang berhubungan dengan patologi. Mayoritas infeksi yang
bermanifestasi

pada

region

orofacial

adalah

odontogenik.

odontogenik merupakan penyakit yang paling umum

Infeksi

sedunia dan

merupakan alasan mencari perawatan dental (Fragiskos, 2007).


Infeksi odontogenik adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang
merupakan flora normal dalam mulut, yaitu bakteri dalam plak, sulcus
gingival, dan mukosa mulut yang dapat menyebabkan karies, gingivitis, dan
periodontitis yang mencapai jaringan lebih dalam yaitu melalui nekrosis
pulpa dan poket periodontal dalam (Pedersen, 1996).
Infeksi odontogenik merupakan salah satu diantara beberapa infeksi
yang paling sering kita jumpai pada manusia. Pada kebanyakan pasien
infeksi ini bersifat minor atau kurang diperhitungkan dan seringkali ditandai
dengan drainase spontan di sepanjang jaringan gingiva pada gigi yang
mengalami gangguan (Topazian et al, 2002).

Fistula

Bakteremie-Septikemie

Selulitis

Acute-Chronic
Periapikal Infection

Abses intra oral


lebih
Atau jaringan lunak-kutis
serebral

Osteomielitis

Infeksi Spasium
yang dalam

Ke
tinggi

spasium

yang
infeksi

Gambar 2.1 : Arah Penyebaran Infeksi odontogenik


Sumber : Oral and Maxillofacial Infection, Topazian Richard G,
Morton H Goldberg, James R hupp. 4th ed;Philadelphia,
W.B.Saunders Co.
2.2.

Etiologi Infeksi Odontogenik


Penyebab utama dari infeksi orofacial adalah gigi nonvital, pericoronitis

(berhubungan dengan gigi mandibula yang semi impaksi), ekstraksi gigi,


granuloma periapikal yang tidak bisa dirawat, dan kista yang terinfeksi. Penyebab
yang lebih jarang adalah trauma pasca bedah, defek karena fraktur, lesi pada
nodus limfa atau glandula saliva, dan infeksi sebagai hasil dari anestesi lokal
(Fragiskos, 2007).
WHO menyatakan

bahwa biofilm dental merupakan agen etiologi

terhadap infeksi odontogenik, dan mendefinisikan biofilm sebagai bakteri


proliferatif dengan ekosistem enzympactive. Paling sedikit ada 400 kelompok

bakteri yang berbeda secara morfologi dan biokimia yang berada dalam rongga
mulut dan gigi. Banyaknya flora rongga mulut dan gigi dapat menjelaskan etiologi
spesifik dari beberapa tipe terjadinya infeksi gigi dan infeksi dalam rongga mulut,
tetapi lebih banyak disebabkan oleh adanya gabungan antara bakteri gram positif
yang aerob dan anaerob (Fragiskos, 2007)
Infeksi odontogen biasanya disebabkan oleh bakteri endogen. Lebih dari
setengah kasus infeksi odontogen yang ditemukan (sekitar 60 %) disebabkan oleh
bakteri anaerob. Organisme penyebab infeksi odontogen yang sering ditemukan
pada

pemeriksaan

Peptostreptococcus,

kultur
Peptococcus,

adalah

alpha-hemolytic

Eubacterium,

Bacteroides

Streptococcus,
(Prevotella)

melaninogenicus, danFusobacterium. Bakteri aerob sendiri jarang menyebabkan


infeksi odontogen (hanya sekitar 5 %). Bila infeksi odontogen disebabkan bakteri
aerob, biasanya organisme penyebabnya adalah spesies Streptococcus. Infeksi
odontogen banyak juga yang disebabkan oleh infeksi campuran bakteri aerob dan
anaerob yaitu sekitar 35 %. Pada infeksi campuran ini biasanya ditemukan 5-10
organisme pada pemeriksaan kultur (Fragiskos, 2007).

2.3 Tahapan Infeksi


Infeksi odontogenik umumnya melewati tiga tahap sebelum mereka
menjalani resolusi:
1.

Selama 1 sampai 3 hari - pembengkakan lunak, ringan, lembut, dan


adonannya konsisten.

2.

Antara 5 sampai 7 hari tengahnya mulai melunak dan abses merusak


kulit atau mukosa sehingga membuatnya dapat di tekan. Pus mungkin
dapat dilihat lewat lapisan epitel, membuatnya berfluktuasi.

3.

Akhirnya abses pecah, mungkin secara spontan atau setelah


pembedahan secara drainase. Selama fase pemecahan, regio yang
terlibat kokoh/tegas saat dipalpasi disebabkan oleh proses pemisahan
jaringan dan jaringan bakteri.

2.4 Patogenesis
Penyebaran infeksi odontogenik akan melalui tiga tahap yaitu tahap abses
dentoalveolar, tahap yang menyangkut spasium dan tahap lebih lanjut yang
merupakan tahap komplikasi. Suatu abses akan terjadi bila bakteri dapat masuk ke
jaringan melalui suatu luka ataupun melalui folikel rambut. Pada abses rahang
dapat melalui foramen apikal atau marginal gingival.
Penyebaran infeksi melalui foramen apikal berawal dari kerusakan gigi
atau karies, kemudian terjadi proses inflamasi di sekitar periapikal di daerah
membran periodontal berupa suatu periodontitis apikalis. Rangsangan yang ringan
dan kronis menyebabkan membran periodontal di apikal mengadakan reaksi
membentuk dinding untuk mengisolasi penyebaran infeksi. Respon jaringan
periapikal terhadap iritasi tersebut dapat berupa periodontitis apikalis yang
supuratif atau abses dentoalveolar.

2.7.

Macam-macam Infeksi odontogenik


Macam-macam infeksi odontogenik dapat berupa : infeksi dentoalveolar,

infeksi periodontal, infeksi yang menyangkut spasium, selulitis, flegmon,


osteomielitis, dan infeksi yang merupakan komplikasi lebih lanjut.
2.8.

Tanda dan Gejala


1. Adanya respon Inflamasi
Respon tubuh terhadap agen penyebab infeksi adalah inflamasi. Pada
keadaan ini substansi yang beracun dilapisi dan dinetralkan. Juga dilakukan
perbaikan jaringan, proses inflamasi ini cukup kompleks dan dapat
disimpulkan dalam beberapa tanda:
A. Hiperemi yang disebabkan vasodilatasi arteri dan kapiler dan
peningkatan permeabilitas dari venula dengan berkurangnya aliran
darah pada vena.
B. Keluarnya eksudat yang kaya akan protein plasma, antiobodi dan
nutrisi dan berkumpulnya leukosit pada sekitar jaringan.
C. Berkurangnya faktor permeabilitas, leukotaksis yang mengikuti
migrasi leukosit polimorfonuklear dan kemudian monosit pada daerah
luka.
D. Terbentuknya jalinan fibrin dari eksudat, yang menempel pada
dinding lesi.
E. Fagositosis dari bakteri dan organisme lainnya
F. Pengawasan oleh makrofag dari debris yang nekrotik

2. Adanya gejala infeksi


Gejala-gejala tersebut dapat berupa : rubor atau kemerahan terlihat pada
daerah permukaan infeksi yang merupakan akibat vasodilatasi. Tumor atau
edema merupakan pembengkakan daerah infeksi. Kalor atau panas merupakan
akibat aliran darah yang relatif hangat dari jaringan yang lebih dalam,
meningkatnya jumlah aliran darah dan meningkatnya metabolisme. Dolor atau
rasa sakit, merupakan akibat rangsangan pada saraf sensorik yang di sebabkan
oleh pembengkakan atau perluasan infeksi. Akibat aksi faktor bebas atau
faktor aktif seperti kinin, histamin, metabolit atau bradikinin pada akhiran
saraf juga dapat menyebabkan rasa sakit. Fungsio laesa atau kehilangan
fungsi, seperti misalnya ketidakmampuan mengunyah dan kemampuan
bernafas yang terhambat. Kehilangan fungsi pada daerah inflamasi disebabkan
oleh faktor mekanis dan reflek inhibisi dari pergerakan otot yang disebabkan
oleh adanya rasa sakit.

3. Limphadenopati
Pada infeksi akut, kelenjar limfe membesar, lunak dan sakit. Kulit di
sekitarnya memerah dan jaringan yang berhubungan membengkak. Pada
infeksi kronis perbesaran kelenjar limfe lebih atau kurang keras tergantung
derajat inflamasi, seringkali tidak lunak dan pembengkakan jaringan di
sekitarnya biasanya tidak terlihat. Lokasi perbesaran kelenjar limfe merupakan
daerah indikasi terjadinya infeksi. Supurasi kelenjar terjadi jika organisme
penginfeksi menembus sistem pertahanan tubuh pada kelenjar menyebabkan

reaksi seluler dan memproduksi pus. Proses ini dapat terjadi secara spontan
dan memerlukan insisi dan drainase.
2.9.

Definisi Abses Odontogenik


Abses adalah infeksi akut yang terlokalisir pada rongga yang berdinding

tebal, manifestasinya berupa keradangan, pembengkakan yang nyeri jika ditekan,


dan kerusakan jaringan setempat (Fragiskos, 2007)
Abses rongga mulut adalah suatu infeksi pada mulut, wajah, rahang, atau
tenggorokan yang dimulai sebagai infeksi gigi atau karies gigi.Kehadiran abses
dentoalveolar sering dikaitkan dengan kerusakan yang relatif cepat dari alveolar
tulang yang mendukung gigi. Jumlah dan rute penyebaran infeksi tergantung pada
lokasi gigi yang terkena serta penyebab virulensi organisme (Pederson, 1996)
2.10.

Perbedaan Abses dan Selulitis


Tabel 2.1. Perbedaan Abses dan Selulitis (Peterson, 2002 ; Topazian, 2002;
Karasutisna, 2007)
Karakteristik
Selulitis
Abses
Durasi
Akut
Kronis
Sakit
Berat dan merata
Terlokalisir
Ukuran
Besar
Kecil
Palpasi
Indurasi Jelas
Fluktuatif
Lokasi
Difus
Berbatas jelas
Kehadiran Pus
Tidak ada
Ada
Derajat keparahan
Lebih berbahaya
Tidak darurat
Bakteri
Aerob (Streptococcus) Anaerob
Enzim yang dihasilkan Streptokinase/fibrinolis Coagulase
in, Hyaluronidase,
Streptodornase
Sifat
Difus
Terlokalisir

2.11.

Infeksi Odontogenik yang meluas ke Spasium Wajah dan Leher

Spasium wajah yang langsung terlibat pertama kali dikenal sebagai


spasium wajah primer baik pada maksila maupun mandibula (Tabel 3.1).
Sedangkan perluasan infeksi melebihi daerah spasium primer ini adalah ke daerah
spasium sekunder (Tabel 3.1).
Tabel 3.1. Spasium wajah yang terlibat dalam infeksi odontogenik (Peterson,
2003)
a. Spasium primer maksila
1. Spasium kaninus
2. Spasium bukal
3. Spasium infratemporal
b. Spasium primer mandibula
1. Spasium submental
2. Spasium bukal
3. Spasium submandubular
4. Spasium sublingal
c. Spasium sekunder wajah
1. Spasium maseter
2. Spasium pterigomandibular
3. Spasium temporal superfisial dan
dalam
4. Spasium faringeal lateral
5. Spasium retrofaringeal
6. Spasium prevertebra
a. Spasium primer maksila
1. Spasium kaninus, merupakan ruangan tipis yang potensial antara muskulus
levator anguli oris dan muskulus levator labii superior. Infeksi gigi kaninus
atas menyebabkan terlibatnya spasium kaninus.

Gambar 1. Abses spasium kaninus

2. Spasium bukal, dibatasi oleh kulit superfisial wajah pada bagian lateral dan
muskulus buccinator pada bagian medial. Spasium ini dapat terlibat baik
akibat perluasan infeksi gigi pada maksila maupun mandibula. Selain itu,
spasium bukal terjadi akibat infeksi yang merusak tulang di atas perlekatan
muskulus buccinator.

Gambar 2. Perluasan spasium bukal (Peterson, 2003).

3. Spasium Infratemporal, terletak di posterior maksila.

Bagian medial

spasium ini dibatasi oleh lempeng lateral prosesus pterigoideus tulang

sfenoid, bagian superior dibatasi oleh dasar tengkorak. Sedangkan ke arah


lateral, spasium ini menyambung dengan spasium temporal bagian dalam.

Gambar 3. Abses spasium infratemporal

b. Spasium primer mandibula


1.Spasium submental, Terletak di antara simfisis mandibula dan tulang hyoid.
Bagian lateral dibatasi oleh anterior muskulus digastrikus kanan dan kiri. Di
bagian superior dibatasi oleh muskulus milohyoid dan bagian inferior oleh
kulit . Spasium ini sering terinfeksi oleh insisiv rahang bawah. Gejala klinis
yang ditemukan biasanya pembengkakan keras dengan fluktuasi positif, hampir seperti
gambaran umum selulitis.

Gambar 4. Abses Submental

2.Spasium bukal, serupa dengan spasium bukal yang disebabkan oleh infeksi
gigi rahang atas.
3.Spasium submandibula, bagian anteromedial dibatasi oleh muskulus
digastrikus anterio dan bagian posteromedialnya dibatasi oleh muskulus
digastrikus posterior serta muskulus stilohyoid, dasarnya dibentuk oleh
muskulus milohyoid dan muskulus hyoglosus. Di bagian anterior spasium
submandibula terdapat spasium sublingual yang dibatasi oleh muskulus
milohyoideus. Infeksi pada spasium submandibula dan sublingual sering
disebabkan oleh infeksi yang berasal dari gigi molar dan premolar mandibula
yang menembus ke lingual. Apabila spasium submandibula, sublingual dan
submental bilateral terkena infeksi, dikenal sebagai ludwigs angina. Infeksi
ini merupakan selulitis yang menyebar dengan cepat. Pada infeksi ini hampir
selalu terlihat lidah terangkat, indurasi daerah submandibula dan penderita
biasanya mengalami trismus, saliva menetes serta kesulitan menelan dan

bernafas. Infeksi ini menyebar dengan cepat dan luas, dapat mengakibatkan
obstruksi saluran pernafasan sehingga dapat menimbulkan kematian.

Gambar 5. Abses submandibular

4.Spasium sublingual, dasarnya dibatasi oleh muskulus milohyoideus, lateral


dibatasi oleh prosesus alveolaris mandibula dan bagian medial dibatasi oleh
muskulus genioglosus dan geniohyoideus. Bagian atap berbatasan dengan dasar
mulut dan lidah. Secara klinis infeksi pada spasium sublingual memperlihatkan
pembengkakan ekstra oral yang kecil atau tidak memperlihatkan pembengkakan,
namun pembengkakan terlihat pada dasar mulut pada sisi yang terkena. Infeksi
pada spasium sublingual bilateral mengakibatkan lidah terangkat. Bagian posterior
sublingual berhubungan dengan spasium submandibula.

Gambar 6 Abses sublingual


c. Spasium sekunder wajah
Infeksi pada daerah spasium fasial sekunder dapat terjadi sebagai akibat
dari infeksi pada daerah fasial primer yang tidak dirawat. Jika spasia ini terlibat,
infeksi sering akan menjadi lebih parah, disebabkan karena semakin besarnya
komplikasi dan kerusakan, dan juga perawatannya akan semakin sulit. Karena
sedikitnya suplai darah pada jaringan konektif disekitar spasia, perawatan infeksi
akan semakin sulit tanpa dilakukan pembedahan sebagai drain eksudat purulen.
(Peterson: 2003)
1. Spasium masseter, terletak antara bagian lateral mandibula dan medial
muskulus masseter. Masuknya infeksi ke spasium ini karena penyebaran
dari spasium bukal atau infeksi dari molar ketiga mandibula. Infeksi pada
spasia ini berasal dari gigi molar tiga mandibula, dan merupakan kasus
yang jarang terjadi, yaitu karena perpindahan perjalanan dari abses. Infeksi
pada spasium ini mempunyai ciri-ciri berupa edema dengan tekanan yang
sangat sakit pada regio otot masseter, yang meluas dari batas posterior dari

ramus mandibula hingga tepi anterior dari otot masseter. Selain itu tampak
juga trismus dan sudut dari mandibula tidak dapat dipalpasi. Secara
intraoral, tampak edema pada daerah retromolar dan pada bagian anterior
dari ramus. Abses ini jarang berfluktuasi, dan dapat juga timbul gejala
sistemik.

Gambar 7. Abses submasseter

2. Spasium

pterigomandibular,

terletak

di

sebelah

pterigomandibula medialis dan medial mandibula.

lateral

muskulus

Merupakan tempat

injeksi anestesi lokal untuk blok saraf alveolaris inferior.

Penyebaran

infeksi terutama berasal dari spasium submandibula dan sublingual.

Gambar 8. Spasium pterigomandibular

Penyebab utama abses pada spasia ini adalah infeksi dari gigi molar tiga
atau akibat dari suatu blok nervus alveolaris inverior, jika sisi penetrasi dari
needle terinfeksi (pericoronitis). Gejala klinis pada infeksi spasium ini
adalah trismus yang parah dan sedikit

edema ekstraoral

yang tidak

biasanya tampak pada sudut mandibula. Secara intraoral, edema dari


palatum lunak tampak pada sisi yang terinfeksi sehingga terjadi
perpindahan tempat dari uvula dan dinding faringeal lateral.
3. Spasium temporal superfisial dan dalam, terletak posterior dan superior
spasium

pterigomandibula

dan

lateral

muskulus

pterigomandibula.

Spasium ini membelah muskulus temporalis menjadi dua bagian, bagian


superfisialis yang meluas ke fasia temporal dan bagian dalam yang
berhubungan dengan spasium infratemporal.

Gambar 9. Spasium temporalis

Infeksi pada spasium temporalis disebabkan oleh perluasan dari infeksi pada
spasium infratemporalis yang saling berhubungan. Gejala klinis ditandai
dengan edema yang sakit pada fascia temporalis, trismus (temporal dan
muskulus pterygoid mediana terlibat), dan sakit saat palpasi pada edema.
4. Spasium faringeal lateral, merupakan bagian spasium fasial servikal dan
dapat mengancam nyawa dengan adanya obstruksi saluran nafas. Perluasan
ke arah posterior dan spasium pterigomandibula dapat menyebar ke
spasium faringeal lateral. Spasium ini meluas dari dasar tengkorak pada
tulang sphenoid ke inferior menuju tulang hyoid. Bagian medial dibatasi
oleh muskulus pterigoideus medialis dan bagian lateral oleh muskulus
konstriktor faringeus superior.

Bagian anterior berbatasan dengan rafe

posteromandibula dan menuju fasia prevertebra. Prosesus stiloideus dan


muskulus-muskulus sekitarnya membagi spasium faringeal lateral menjadi
kompartemen anterior yang berisi muskulus dan kompartemen posterior
yang berisi sarung karotis dan saraf kranial.
Spasium ini mengandung arteri carotid interna, vena jugularis interna
dengan beberapa pembuluh limfe, nervus glossofaringeal, nervus vagus,
nervus hypoglossus dan nervus asesorius. Ini berhubungan langsung
dengan spasium submandibula, serta otak melalui foramen kranium. Infeksi
pada daerah ini dapat berasal dari gigi molar tiga dan sebagai akibat
perluasan infeksi spasium submandibula dan pterygomandibula. Gejala
klinis dari infeksi ini adalah edema ekstra oral pada bagian letaral dari leher
yang mungkin dapat meluas ke tragus dari telinga, perubahan posisi dari
dinding faring, tonsil dan uvula membengkak sehingga tampak ke midline,
rasa sakit yang menyebar ke telinga, trismus, susah menelan, peningkatan
suhu yang signifikan dan malaise.

Gambar 10. Spasia faringeal lateral, terletak antara M. pterigoideus lateral


dan M. konstriktor faringeal superior. Spasia retrofaringeal dan spasia
prevertebral terletak antara faring dan kolumna vertebral. Spasia
retrofaringeal terletak antara M. konstriktor faringeal superior dan portio
alar fascia prevertebral. Spasia prevertebral terletak antara alar dan lapisan
prevertebral dari fascia prevertebral (Peterson, 2003).

5.Spasium retrofaringeal, terletak di belakang faring, antara muskulus


konstriktor faringeal superior dan lapisan alar fasia servikal dan berawal
dari dasar tengkorak meluas ke inferior setinggi servikalis 7 atau torakalis.
Infeksi spasium ini merupakan jalur penyebaran ke spasium prevertebra
dan ke diafragma.

Infeksi pada spasium ini mudah menyebar ke atas

melaui foramen menuju otak dan berjalan ke bawah melalui selubung


karotis sampai ke mediastinum. Etiologi dari infeksi pada spasium ini
adalah infeksi yang berasal dari spasium lateral faringeal yang saling
bersebelahan. Gejala klinis sama dengan yang ditemukan pada abses
faringeal lateral secara klinik, kesulitan dalam pengunyahan yang
disebabkan oleh edema pada dinding posterior dari faring. Jika infeksi ini
tidak dirawat maka akan mengakibatkan obstruksi traktus respiratorius atas,
ruptur bses sehingga terjadi aspirasi dari pus ke dalam paru-paru, dan
perluasan ke daerah mediastinum.

6.Spasium prevertebra, spasium ini meluas dari tuberkel faringeal pada


dasar tengkorak sampai diafragma. Infeksi pada spasium ini dapat meluas
ke inferior setinggi diafragma mencakup torak dan mediastinum.

Gambar 11. Jika spasia retrofaringeal terlibat, mediastinum


posterosuperior dapat juga menjadi terinfeksi sekunder. Jika spasia
prevertebral terinfeksi, tepi inferior merupakan diafragma dan juga
seluruh mediastinum beresiko ikut terinfeksi (Peterson, 2003).
2.12 Menentukan Rencana Perawatan
Pada beberapa pasien, infeksi odontogenik yang dialaminya dapat
mengancam jiwa dan harus ditangani dengan pengobatan dan pembedahan yang
lebih cepat. Jika tidak dilakukan dengan cepat dan adekuat dikhawatirkan akan
berujung kematian dan memperberat kondisi infeksi.
Indikasi untuk perawatan khusus di rumah sakit adalah untuk pasien
dengan infeksi odontogenik yang berat. Demam yang terus meningkat akan

meningkatkan kebutuhan metabolisme dan kehilangan cairan, yang berujung pada


dehidrasi. Dehidrasi secara klinis terlihat melalui kulit yang kering, bibir pecahpecah, kehilangan turgor kulit, dan membran mukosa yang kering.
Infeksi pada spasia yang dalam dengan derajat keparahan yang sedang
atau berat dapat menghambat akses terhadap jalan napas. Oleh karena itu, maka
infeksi odontogenik yang melibatkan spasia mastikator, spasia perimandibular
atau spasia yang dalam merupakan indikasi untuk rawat inap.
Berikut adalah kondisi yang merupakan indikasi untuk rawat inap :
-

Infeksi yang sangat progresif

Adanya kesulitan bernafas

Adanya kesulitan menelan

Infeksi melibatkan fascia orofasial

Peningkatan suhu lebih dari 38 derajat celcius

Trismus yang berat (kurang dari 10 mm)

Kondisi toksisitas

Kondisi pasien yang lemah (Compromised patient)

2.13 Melakukan Intervensi Bedah


Prinsip prinsip tindakan bedah pada infeksi odontogenik akut adalah sebagai
berikut:
1. Drainase pus yang terbentuk dalam jaringan dapat dilakukan melalui :
a. Saluran akar
b. Insisi intra oral

c. Insisi ekstra oral


d. Alveolus soket gigi yang telah diekstraksi
Tanpa evakuasi pus, bila hanya dilakukan pemberian antibiotik, maka
tidak dapat mengurangi infeksi dengan cepat.
2. Open bur gigi yang menjadi fokus infeksi saat fase awal inflamasi, untuk
mengeluarkan cairan eksudat lewat saluran akar. Dengan cara ini maka
penyebaran inflamasi dapat dihindari dan mengurangi rasa sakit yang
diderita pasien.

Drainase dapat pula dilakukan lewat trepanasi tulang

ketika saluran akar tidak dapat diakses.


3. Antisepsis daerah yang akan diinsisi dengan cairan antiseptik.
4. Anestesi daerah yang akan diinsisi dengan teknik anestesi blok yang
dikombinasikan dengan infiltrasi di daerah tepi inflamasi, untuk
menghindari mikroba menyebar ke daerah yang lebih dalam.
5. Rencanakan daerah insisi agar :
a. Dapat dihindari kerusakan duktus kelenjar liur, pembuluh darah besar
dan saraf.
b. Dapat menghasilkan drainase yang baik. Insisi dilakukan superfisial,
pada daerah paling rendah dari akumulasi pus untuk mengurangi rasa
sakit dan dapat membantu pengeluaran pus dengan gravitasi.
c. Insisi tidak dilakukan pada daerah yang dapat mengganggu estetik, jika
memungkinkan insisi dilakukan intra oral.
6. Insisi drainase dilakukan pada saat yang tepat, yaitu saat pus telah
terbentuk pada jaringan lunak dan flukstuasi (+), yaitu saat dipalpasi akan

terasa cairan yang bergerak dalam rongga abses. Jika insisi dilakukan
prematur, biasanya hanya akan mengeluarkan sedikit darah, tanpa
pengurangan rasa sakit pasien dan edema tidak berkurang.
7. Jika lokasi pus dalam jaringan lunak tidak dapat ditentukan ( saat fluktuasi
(-)) insisi drainase dilakukan pada daerah yang paling lunak saat palpasi,
daerah yang lebih merah, dan daerah paling sakit saat ditekan. Fluktuasi
dapat dipercepat dengan kumur air hangat.
8. Hindari kompres hangat ekstraoral untuk mencegah drainase spontan
ekstraoral.
9. Drainase awal dilakukan menggunakan hemostat yang dimasukkan dalam
lubang insisi dengan paruh hemostat ditutup, lalu paruh di lebarkan saat
hemostat berada dalam lubang insisi dan selanjutnya lakukan eksplorasi.
Sasat diseksi tumpul tersebut dilakukan daerah sekitar insisi dipijat
perlahan untuk mengeluarkan pus.
10. Tempatkan drain ke dalam lubang insisi.
11. Ekstraksi gigi penyebab secepatnya apabila gigi tersebut tidak dapat
dipertahankan lagi dan apabila pencabutan gigi merupakan kontra indikasi
bagi pasien.
12. Berikan antibiotik ketika pembengkakan telah meluas, terutama bila
terjadi demam dan infeksi menyebar ke spasia.

Incision for drainage of a sublingual


abscess. The incision is performed
parallel to the submandibular duct
and the lingual nerve

Incision for drainage of a palatal


abscess, parallel
to the greater palatine vessels

Gambar 2.4. Insisi drainase sublingual dan palatal

Incisions for drainage of asubmandibular or parotid (a), and a submasseteric(b) abscess.


During cutaneousincisions, the course of the facial artery andvein must be taken into
consideration (a),as well as that of the facial nerve (b)

Diagrammatic illustrations showing the incision of an intraoral abscess and the


placement of a hemostat to facilitate the drainage of pus

Diagrammatic illustrations showing the placement of a rubber drain in the cavity


and stabilization with a suture on one lip of the incision

2.14

Perbaikan Keadaan Umum


Penatalaksanaan medis pada penderita infeksi odontogenik yang berat

meliputi hidrasi yang adekuat, asupan nutrisi dan kontrol suhu tubuh. Pada
beberapa kasus, keseimbangan elektrolit dan kontrol penyakit sistemik merupakan
hal yang sangat penting dalam penatalaksanaan terapi infeksi. Demam dengan
suhu dibawah 39,4oC dipertimbangkan masih menguntungkan bagi tubuh itu
sendiri dikarenakan kenaikan suhu tubuh yang ringan meningkatkan aktivitas
fagositosis, meningkatkan aliran darah ke daerah yang terinfeksi, meningkatkan
metabolisme dan fungsi antibodi. Namun apabila suhu melebihi 39,4o dapat
menyebabkan meningkatnya metabolisme dan kardiovaskular melebihi kebutuhan
biasanya. Energi yang tersimpan dapat terkuras dan kehilangan cairan semakin
banyak.

Hidrasi yang adekuat merupakan metode yang paling tepat untuk

penanggulangan demam. Sensible fluid loss meningkat 250 ml per derajat


peningkatan suhu saat demam. Sedangkan Insensible fluid loss meningkat 50 75
ml per derajat peningkatan suhu demam. Demam juga meningkatkan kebutuhan
metabolisme hampir 5 8 % per derajat per hari. Oleh karena itu penting untuk
menambah intake suplemen pasien, baik dengan pemberian suplemen hingga
bahkan dengan menggunakan nutrisi enteral lewat feeding tube.

Penatalaksanaan

kontrol

demam

yang

lain

adalah

penggunaan

asetamenofen atau aspirin. Dapat dilakukan juga kompres hangat atau lap badan
dengan alkohol.
2.15

Pemilihan Obat Antibiotik


Jenis antibiotik yang biasa digunakan dalam penatalaksanaan perawatan

infeksi tercantum dalam tabel berikut ini :

Tingkat keparahan
infeksi
Ringan

Berat

Antibiotika pilihan

Antibiotik alternative
(bila alergi penisilin)

Penisilin

Klindamisin

Klindamisin

Moksifloksasin

Sefaleksin

Metronidazol

Klindamisin

Klindamisin

Ampisilin
Metronidazol
Ampisilin + Sulbaktam

+ Sefalosporin gen. III (iv)


Moksifloksasin
Metronidazol

Pilihan antibiotika tersebut dipakai sebelum ada hasil laboratorium kultur


resistensi. Pemeriksaan kultur harus dilakukan bila infeksi sudah berat dan dapat
mengancam jiwa.
Pasien dengan infeksi ringan biasanya akan memberikan respon yang baik
dengan pemberian penisilin per oral. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam

hal pengurangan rasa sakit maupun pembengkakan selama 7 hari masa terapi
antara penisilin dengan jenis antibiotic lain seperti klindamisin, amoksisilin,
amoksisilin-klavulanat maupun sefradine. Penisilin masih merupakan antibiotik
yang paling efektif untuk infeksi odontogenik tanpa komplikasi, selain itu harga
murah dan mempunyai efek samping yang minimal.
Untuk penanganan infeksi berat, dimana pasien dirawat di rumah sakit,
penisilin bukanlah antibiotik pilihan karena tingkat kegagalan yang tinggi.
Biasanya untuk keadaan tersebut dipakai klindamisin. Resistensi terhadap
penisilin dikarenakan sintesa -laktamase. Hampir 25% strain Prevotella dan
Phorphyromonas mampu mensintesa enzim ini. Enzim ini ditemukan pula pada
bakteri jenis Fusobakterium dan Streptokokus.

Streptokokus anginosus, S.

konstelatus dan S. intermedius merupakan bagian dari S. viridans yang mana


merupakan grup S. milleri. Grup S. milleri merupakan jenis bakteri yang sering
ditemukan pada abses odotogenik yang mana masih sensitive terhadap penisilin
natural dan semisintetik seperti penisilin V dan amoksisilin. Namun antibiotik
penisilin + laktamase inhibitor, seperti ampisilin + sulbaktam atau penisilin +
metronidazol merupakan obat alternative pilihan untuk infeksi odontogenik yang
berat.

Penisilin dan metronidazol mampu melewati blood brain barrier.

Sedangkan klindamisin tidak dapat menembusnya. Sehingga penggunaan penisilin


+ metronidazol atau penisilin + sulbaktam merupakan pilihan terbaik jika infeksi
odontogenik diperkirakan dapat meluas ke rongga cranial. Beberapa jenis
sefalosporin dan sefalosforin generasi III seperti ceftadizine mampu menembus
blood brain barrier. Ceftadizine juga sangat efektif melawan steptokokus dan

hampir semua bakteri anaerob oral. Moksifloksasin mampu melawan streptokokus


oral dan bakteri anaerob lain. Dapat diabsorpsi dengan baik lewat pemberian PO
maupun IV. Meski metronidazol hanya efektif melawan bakteri anaerob, namun
dapat berhasil baik apabila pemberian obat disertai dengan terapi bedah seperti
insisi.
2.16

Pemberian Antibiotik dengan Tepat


Antibiotik yang efektif mampu menembus bermacam jaringan tubuh.

Kadar antibiotik dalam jaringan tubuh tergantung dari kadar antibiotik dalam
serum, yang mana antibiotik harus mampu memberikan kadar terapi di jaringan
lunak, tulang, otak dan kavitas abses. Antibiotik yang diberikan PO harus mampu
bertahan melewati asam lambung, sifat kimia dari makanan dan acid intestinal
track. Setelah antibiotik diserap lambung atau mukosa usus, maka akan
dimetabolisme di hati dan sebagian akan dieksresikan lewat empedu. Sebagian
antibiotik yang diekresikan akan diserap kembali oleh usus menghasilkan
enteropatik resirkulasi. Oleh karena alasan tersebut, maka kadar antibiotik dalam
serum yang diberikan PO akan lebih rendah dari kadar antibiotik yang diberikan
IV.
Namun beberapa jenis antibiotik sama efektifnya baik diberikan secara IV
maupun PO, contohnya moksifloksasin dan ciprofloksasin.

Oleh karena itu

antibiotik jenis ini tidak pernah diberikan secara IV kecuali ada kontraindikasi
pemberian secara PO.
2.17

Evaluasi Keadaan Pasien

Pasien infeksi ringan yang telah mendapat terapi disertai pencabutan gigi
maupun insisi drainase sebaiknya kontrol dalam waktu 2 hari post operative.
Untuk pasien dengan infeksi berat yang dirawat di rumah sakit diperlukan
evaluasi dan penanganan luka. Setelah 2 3 hari post operative biasanya akan
terdapat perbaikan tanda klinis, seperti pembengkakan yang mereda, drainase
yang mengering, menurunnya kadar sel darah putih dan menurunnya malaise.
Pada saat ini uji kultur bakteri telah ada hasil, hingga terapi dapat dilanjutkan
dengan tipe antibiotik yang lebih tepat
Apabila tidak terdapat perbaikan tanda-tanda klinis, mungkin ada
kegagalan perawatan. Hal yang dapat menyebabkan gagalnya suatu perawatan
adalah :
1. Prosedur bedah yang inadekuat.
2. Menurunnya pertahanan tubuh.
3. Foreign bodies
4. Problem antibiotik :
-

Pasien tidak patuh

Dosis obat terlalu rendah

Salah diagnosa bakteri

Salah antibiotik

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1.

Identitas Pasien
Tabel 3.1.
Identitas Pasien
Nama
Jenis Kelamin
Umur
Alamat
Agama
Status
NRM

An. A Ilham
Laki-laki
7 tahun
Kp. Cipendeuy
Islam
Belum Kawin
1400009621

Waktu Masuk

Jumat, 28 Maret 2014 (07.30 WIB)

3.2. Anamnesa
3.2.1. Keluhan Utama
Pembengkakan dan nyeri pada rahang bawah kiri.
3.2.2. Pemeriksaan Subjektif
Pasien anak laki-laki usia 7 tahun dikonsulkan dari RSUD Soreang dengan
keluhan pembengkakan dan nyeri pada rahang bawah kiri. 5 hari SMRS pasien
mengeluhkan sakit gigi rahang bawah kiri, pasien lalu berobat ke mantri di daerah
Tanjung dan diberi dua macam obat (pasien lupa nama obatnya). Pada 3hari
SMRS timbul pembengkakan pada rahang bawah kiri disertai dengan demam dan
kejang lalu pasien berobat ke RSUD Soreang dan dirawat inap selama dua hari,
disana dilakukan pemasangan infus dan pemberian obat suntikan (Cefotaxime,
Metronidazole) serta obat sirup (Paracetamol), karena pembengkakan semakin
meluas hingga ke bawah dagu pasien lalu dirujuk ke RSHS.
3.3. Pemeriksaan Objektif
3.3.1. Tanda Vital
K: CM
N: 96x/menit
S: 37,8C
R: 23x/menit
3.3.2. Status Generalisata
- Kulit : turgor (+)
- Kepala : wajah asimetris, pembengkakan a.r Submandibula Sn et

Submental,
konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Leher : JVP tidak meninggi, KGB Submandibula ka teraba,tidak sakit, ki

tdn
Thorax : B/G simetris, VBS ka=ki, Rh -/-, Wh -/BJ murni reguler
- Abdomen: datar lembut, BU (+) N
- Ekstremitas: akral hangat (+) CRT < 2
3.3.3. Status Lokalisata
- Ekstra Oral
Wajah asimetris, pembengkakan a.r Submandibula Sn yang meluas ke
-

Submental, uk 7x5x3 cm, warna lebih merah dari jaringan sekitar, suhu febris,

batas

jelas,

terlokalisir,

fluktuasi (+), nyeri tekan


(+).

Gambar. 3.1. Profil ekstra oral pasien. Terlihat pembengkakan pada daerah
Submandibula kiri dan Submental
-

Intra Oral
Lidah
Dasar mulut
Gingiva
M. bukal

: Terangkat
: Odem
: Oedem + hyperemia
: TAK

Vestibulum
Bibir
Palatum
Tonsil

Gambar 3.2.

: TAK
: TAK
: TDN
: TDN

Gambaran

Intra Oral

6 V IV

III II 1 1
II III IV V 6
6 V IV III II 1 1 II III IV V 6
CP CM

Pembukaan mulut 1cm

3.3.4. Pemeriksaan Penunjang


Diagram 1.1. Status Gigi Geligi
- Foto Thorax

Gambar 3.3. Foto Thorax.


Kesan: Tidak tampak TB paru aktif, tidak tampak kardiomegali

Foto Panoramik

Gambar 3.4. Foto Panoramik


Hasil Pemeriksaan Lab Lengkap

Tabel 3.2.Pemeriksaan Lab Lengkap


Pemeriksaan
PT
INR
APTT
Hb
Ht
Leukosit
Eritrosit
Trombosit
SGOT
SGPT
Ureum
Keratinin
GDS
Na
K

3.4.

3.5.
3.6.
-

Hasil
12,8
2,05
25,3
13,5
40
20.300
5,45
212.000
36
22
34
0,41
111
124
4,1

Normal
10,2-14,2 detik
0,84-1,16 detik
16,3-36,3 detik
11,5-15,5 g/dL
35-45%
4500-13.500 mm3
4,19-5,96 juta/uL
150.000-450.000/mm3
L: <50 U/L 37C
L: <50 U/L 37C
15- 50 mg/ dL
L : 0,7-1,2 mg/dL
<140 mg/dL
135-145mEq/L
3,6-5,5 mEq/L

Diagnosis
Abses Submandibula Sn yang meluas ke Submental dan Sublingual e.c
GR gigi 75
Diagnosis Banding
Ludwigs Angina
Tindakan IGD BM
Lab Lengkap, PT-APTT
Foto thorax, foto panoramik
O2 nasal canul 3liter/menit
IVFD NaCl rehidrasi sedang
6 jam I (08.00-14.00) 960 cc/6jam (40 gtt/mnt)
Initial urine 250 ml
Tapping pus 2 cc kultur resistensi
Konsul IKA
R/ Metronidazole inf 120 mg
Cefotaxime
inj 750 mg
Ranitidine
inj 15 mg
Antrain
inj 160 mg
Insisi drainase EO pus 10 cc
Ekstraksi gigi 75

Pemasangan penrose drain + verban

Gambar 3.4. Tindakan insisi drainase pus a.r. Submandibula Sn dan Submentale

Gambar 3.5. Post treatment

3.7. Saran
- Observasi NSR
- Diet REE X SF : 1300 kkal tdd makan lunak 3X,Susu 2X
- IVFD RL rehidrasi sedang
18 jam II (05.00-23.00) 1728 cc/18jam (24 gtt/mnt)
- R/ Metronidazole inf 3x 120 mg
Cefotaxime inj 3 x 750 mg
Antrain
inj 2 x 160 mg
Ranitidine
inj 2 x 15 mg
- Cek produksi urin tamping
- Latihan buka tutup mulut dengan stik es krim
- Kumur-kumur hexetidine gargle setiap habis makan
- Spooling IO dengan NaCl 0,9 %
- GV 2x/ hari
- Ganti penrose POD III tgl 31/3/2014
Pro penambalan gigi 84, 85 di poli gimul bagian pedodontik pada hari dan
jam kerja

BAB V
DISKUSI

Infeksi odontogenik merupakan infeksi akut atau kronis yang berasal dari
gigi yang berhubungan dengan patologi. Infeksi ini disebabkan oleh bakteri yang
mencapai jaringan lebih dalam yaitu melalui nekrosis pulpa dan soket periodontal
yang dalam. Pada kasus ini, infeksi terjadi melalui gigi 75 yang sudah tersisa akar

dengan diagnosa gangren radiks dan sudah terbentuk abses pada submandibular
sinistra yang meluas ke submentale dan sublingual.
Penyebaran infeksi terjadi melalui foramen apikal yang berawal dari
kerusakan gigi, kemudian terjadi proses inflamasi di sekitar periapikal. Terdapat
tiga tahap penyebaran infeksi yaitu tahap abses dentoalveolar, tahap yang
menyangkut spasium dan tahap yang lebih lanjut.
Dalam kasus ini periodontitis apikalis kronis yang diakibatkan oleh
gangren radiks gigi 75 mengakibatkan terjadinya abses dimana pasien merasakan
bengkak,nyeri dan demam karena pada saat tersebut terjadi proses inflamasi pada
area tersebut lalu pembengkakan semakin besar dalam waktu 3 hari. Proses
penyebaran ini terjadi karena adanya pengikisan pada infeksi yang menembus
sampai ke tulang paling tipis sehingga mengakibatkan infeksi pada jaringan
sekitar (jaringan yang berbatasan dengan tulang) dalam kasus ini spasium mentale
dan sublingual.
Pada pemeriksaan klinis ditemukan benjolan pada bagian pipi kiri, bawah
dagu dan di bawah lidah dengan konsistensi keras, permukaan licin, fluktuasi (+),
warna lebih merah dari jaringan sekitar dan nyeri saat ditekan. Hal ini sejalan
seperti yang dikatakan oleh Pederson (2003), bahwa infeksi kronis sering ditandai
dengan ketidaknyamanan dalam bebrbagai tindakan dan reaksi ringan dari
jaringan sekitarnya, misalnya edema, kemerahan, rasa sakit tekan, dan manifestasi
sistemik periodik yaitu: demam, dan lemah badan.
Perawatan yang dapat dilakukan dalam kasus ini adalah insisi drainase
dimana abses seudah menyebar ke tiga spasium dan dikhawatirkan bisa

menghambat akses terhadap jalan nafas. Drainase pus dilakukan dengan cara
insisi ekstra oral dan pencabutan gigi 75. Setelah itu dipasang penrose drain dan
verban untuk membantu pengeluaran pus. Pasien juga diberikan obat antibiotik
Metronidazole dan Cexotaxime injeksi karena antibiotik ini memiliki spectrum
yang luas dalam hal ini yang ingin dieliminasi adalah bakteri anaerob. Lalu
diberikan obat anti inflamasi Antrain yang tergolong dalam NSAIDs (Non-Steroids
Anti Inflammatory Drugs) untuk mengurangi pembengkakan.
Pasien lalu dirawat inap selama beberapa hari dan diobservasi

vital

signnya karena dikhawatirkan terjadinya penyebaran abses yang lebih luas


sehingga mengganggu sistem respirasi dan lainnya. Lalu verban diganti dua kali
sehari dan dilihat banyaknya pus yang keluar dari hasil insisi drainase tersebut.
Dua minggu pasien datang untuk kontrol ke poli Bedah Mulut untuk membuka
jahitan dan mengevaluasi penurunan pembengkakan yang ada dan hasilnya
pembengkakan sudah minimum dan tidak dikeluhkan rasa nyeri.

BAB V
KESIMPULAN

Infeksi odontogenik merupakan hal yang sering terjadi dan sering pula
menimbulkan kegawatdaruratan. Hal ini bisa terjadi karena spasium-spasium
fasial memiliki dinding yang tipis yang hanya dibatasi oleh jaringan ikat sehingga
infeksi yang terjadi bisa menyebar dengan cepat jika tidak ditangani dengan baik.

Dokter gigi harus tau cara-cara menangani infeksi dan bisa melakukan tindakan
agar infeksi ini tidak mengakibatkan kematian pada pasien.
Selain penatalaksanaan yang tepat, pemberian

obat antibiotik dan

analgesik juga diperlukan pada perawatan infeksi karena sebelum infeksi meluas
ke spasium lebih baik diberhentikan proses penyebarannya dengan obat dan
menghilangkan sumber infeksi tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Fragiskos, D. 2007. Oral Surgery. Philadelphia : Springer.

Peterson Larry J, D.D.S., M.S . 2003. Contemporary Oral and Maxillofacial


Surgery. Fouth Edition. Mosby. St. Louise. p 367-376.

Topazian dkk. 2004. Oral and Maxillofasial Infection, 4

rd

ed., WB saunders company,

Philadelphia, USA. p. 157-176.

INFEKSI ODONTOGENIK
( Laporan Kasus)

Oleh :
Abu Ubaidah bin Zainal Arifin
160112130520

Pembimbing :
DR. Mantra Nandini, drg. Sp. BM (K). MARS

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER GIGI


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS
PADJADJARAN
BANDUNG
2014

Anda mungkin juga menyukai