Anda di halaman 1dari 7

Perbedaan Respon Tubuh terhadap Obat

Dalam pengertian umum, obat adalah suatu substansi yang melalui efek kimianya membawa
perubahan dalam fungsi biologik. Pada umumnya, molekul obat berinteraksi dengan molekul
khusus dalam system biologik, yang berperan sebagai pengatur, disebut molekul reseptor
(Katzung 1998, h. 2).
Genom manusia memiliki lebih dari 100.000 peptida produk gen yang berbeda dan
kompleksitas kimiawi tiap peptida tersebut cukup untuk memberikan banyak tempat pengikatan
yang berbeda-beda. Meskipun struktur kimiawi suatu obat memungkinkan untuk mengikat hanya
satu jenis reseptor saja, proses-proses biokimiawi yang diatur reseptor tersebut akan terjadi di
dalam sel yang multipel dan akan berikatan dengan banyak fungsi-fungsi biokimiawi lainnya,
sebagai hasilnya, penderita dan dokternya mungkin mendapatkan lebih dari satu efek obat
(Katzung 1998).
Oleh karena itu, suatu obat dapat menyebabkan beberapa efek spesifik. Efek yang terjadi
pada pasien dapat berupa efek utama yang diinginkan. Namun, pada beberapa kasus, dapat
muncul efek obat yang tidak diinginkan yang disebut toksisitas. Toksisitas tersebut dapat terjadi
pada individu-individu tertentu yang memiliki respon obat yang berbeda-beda. Bahkan, individu
dapat menunjukkan respons yang jarang terlihat pada kebanyakan penderita, yang disebut
idiosinkrasi (Katzung 1998).
Variasi (Keanekaragaman) dalam Respons Tubuh terhadap Obat
Respons individu-individu terhadap suatu obat bisa sangat bervariasi; sesungguhnya, seorang
individu dapat memberikan respons yang berlainan terhadap obat yang sama pada saat-saat yang
berbeda selama masa pengobatan (Katzung 1998, h. 31).
Menurut Katzung (1998), variasi-variasi tersebut dapat berupa: perubahan dalam konsentrasi
obat yang mencapai reseptor, variasi dalam konsentrasi dalam konsentrasi ligan reseptor
endogen, perubahan dalam jumlah atau fungsi reseptor dan perubahan-perubahan komponen
respons di sebelah distal reseptor.
Penyebab Variasi dalam Respons Obat
Menurut Katzung (1998, h. 60), pemberian dosis dan frekuensi untuk mencapai kadar obat
yang efektif dalam darah dan jaringan bervariasi untuk penderita yang berlainan karena adanya
perbedaan individual di dalam distribusi obat serta kecepatan metabolisme dan eliminasi obat.
Perbedaan ini ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:

Faktor-faktor genetik
Faktor non-genetik, seperti umur, jenis kelamin, ukuran hati, fungsi hati, ritme circadian, suhu
tubuh
Faktor nutrisi dan lingkungan, seperti pemaparan bersamaan terhadap induser atau inhbitor terhadap
metabolisme obat



HRZE sebagai terapi Tuberkulosis
Obat lintas pertama yang sering diberikan dalam pengobatan tuberkulosis adalah isoniazid,
rimfapin, etambutanol, dan pirazinamid untuk terapi awal, dengan streptomisin sebagai terapi
alternatif. (Katzung 1998, h. 737).
Pengobatan tuberkulosis memerlukan waktu lama karena sulit untuk membunuh kuman semi
dorman. Terdapat 3 aktifitas anti tuberkulosis, yaitu:
1. Obat bakterisidal: INH, rifampisin, pirazinamid.
2. OAT dengan kemampuan sterilisasi: rifampisin, PZA.
3. OAT dengan kemampuan mencegah resistensi: rifampisin dan INH, sedangkan streptomisin dan
etambutol kurang efektif (Bagian Ilmu Penyakit Paru FK Unair 2004 h. 22).
Biotransformasi Obat
Menurut Katzung (1998), semua reaksi biotransfomasi obat dapat dimasukkan dalam salah
satu reaksi fase I atau reaksi II.
Reaksi fase I biasanya mengubah obat asal (parent drug) mejadi metabolit yang lebih polar
dengan menambahkan atau melepaskan suatu gugusan fungsional (-OH, -NH
2
, -SH). Metabolit
ini sering bersifat tidak aktif, walaupun ada beberapa kedaan aktifitas obat hanya berubah saja.
Jika metabolit reaksi fase I cukup polar, maka reaksi biasa dapat diekskresikan dengan mudah.
Namun, banyak produk reaksi fase I tidak dieliminiasikan dengan cepat dan mengalami suatu
reaksi selanjutnya dimana suatu substrat endogen seerti asam glukorat, asam sulfur, asam asetat,
atau suatu asam amino akan berkombinasi dengan gugusan fungsioanal yang baru itu untuk
membentuk suatu konyugat yang sangat polar. Reaksi konyugasi atau sintetik ini merupakan
tanda dari metabolisme fase II. Berbagai macam obat mengalami reaksi-reaksi biotransformasi
berantai ini, walaupun pada keadaan parent drug memang sudah memiliki suatu gugusan
fungsional yang bisa membentuk suatu konyugat secara langsung (Katzung 1998, h. 53-54).
Interaksi antara Obat dan Senyawa-senyawa Endogen
Beberapa macam obat memerlukan konyugasi dengan substrat-substrat endogen seperti
glutation, asam glukuronat, dan sulfat untuk inaktifasi mereka. Obat-obat yang berbeda bisa
bersaingan untuk suatu substrat endogen yang sama, dan obat yang bereaksi cepat bisa secara
efektis mengosongkan kadar substrat endogen dan mengganggu metabolisme obat yang bereaksi
lambat. Jika obat belakangan tersebut memiliki suatu kurva dosis-respons yang curam atau suatu
batas keamanan yang sangat sempit, maka bisa terjadi potensiasi efek farmakologi dan
menyebabkan efek toksis (Katzung 1998, h. 63).

DAFTAR PUSTAKA
Bagian Ilmu Penyakt Paru FK Unair, 2004, Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru, Editor: Hood Alsagaff et.al.,
Gramik FK Unair, Surabaya.
Katzung, Bertram G., 1997, Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi 6, Alih Bahasa: Staf Dosen
Farmakologi Fakultas Kedokteran UNSRI, Editor: Anwar Agoes, EGC, Jakarta.
Murray, Robert K., Daryl K. Granner, Peter A. Mayes, Victor W. Rodwell, 1999, Biokimia Harper, Edisi 24, Alih Bahasa:
Andry Hartono, Editor: Alexander H. Santos

Anda mungkin juga menyukai