Anda di halaman 1dari 18

JURNAL AWAL PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA DAN

FARMAKOKINETIKA
UJI ANALGETIK METODE GELIAT
(INDUKSI ASAM ASETAT)

DISUSUN OLEH:
GOLONGAN I
KELOMPOK 4

Ade Ari Sundari (1608551016)


Made Dewi Widyastuti (1608551017)
Ni Kadek Karyawati (1608551018)
Ni Wayan Intan Indayanti (1608551020)
I Wayan Agus Widiantara (1608551021)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2018
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang

0
Rasa nyeri merupakan masalah yang umum terjadi di masyarakat dan pasien
sering datang berobat ke dokter karena rasa nyeri yang mengganggu fungsi sosial
dan aktivitas penderitanya. Hasil penelitian The U.S. Centre for Health Statistic
selama 8 tahun menunjukkan bahwa 32% masyarakat Amerika menderita nyeri
yang kronis dan hasil penelitian WHO yang melibatkan lebih dari 25.000 pasien
dari 14 negara menunjukkan bahwa 22% pasien menderita nyeri, minimal selama
6 bulan. Pada populasi orang tua, prevalensi nyeri meningkat menjadi 50%
(Marazzitil, 2006).
Nyeri adalah suatu sensasi yang tidak menyenangkan dan bisa dirasakan
sebagai rasa sakit. Nyeri dapat timbul di bagian tubuh manapun sebagai respon
terhadap stimulus yang berbahaya bagi tubuh, seperti suhu yang terlalu panas atau
terlalu dingin, tertusuk benda tajam, patah tulang, dan lain-lain. Pada dasarnya,
rasa nyeri merupakan mekanisme pertahanan tubuh. Meskipun nyeri berguna bagi
tubuh, namun dalam kondisi tertentu, nyeri dapat menimbulkan ketidaknyamanan
bahkan penderitaan bagi individu yang merasakan sensasi ini. Rasa nyeri timbul
apabila terjadi kerusakan jaringan akibat luka, terbentur, terbakar, dan lain
sebagainya. Hal ini akan menyebabkan individu bereaksi dengan cara
memindahkan posisi tubuhnya (Guyton & Hall, 1997).
Nyeri yang terjadi mendorong individu yang bersangkutan untuk mencari
pengobatan, antara lain dengan mengkonsumsi obat-obatan penghilang rasa nyeri
(Analgetik). Analgetik adalah obat yang digunakan untuk menghambat atau
mengurangi rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran Saat ini telah banyak
beredar obat-obatan sintetis seperti obat anti inflamasi non steroid (AINS). Obat-
obat analgetika adalah kelompok obat yang memiliki aktivitas menekan atau
mengurangi rasa nyeri. Efek ini dapat dicapai dengan berbagai macam cara,
seperti menekan kepekaan reseptor rasa nyeri (misalnya dengan anestesi) terhadap
rangsang nyeri mekanik, termik, listrik atau kimiawi di pusat atau perifer, atau
dengan cara menghambat pembentukan prostaglandin sebagai mediator sensasi
nyeri. Berdasarkan aksinya, obat-abat analgetik dibagi menjadi 2 golongan yaitu
Analgesik Nonopioid/Perifer (Non-Opioid Analgesics) dan Analgesik

1
Opioid/Analgesik Narkotika. Mula kerja dan durasi kerja suatu analgetik,
ditentukan oleh jenis dan rute pemerian analgetik tersebut.
Metoda-metoda pengujian aktivitas analgetika dilakukan dengan menilai
kemampuan zat uji untuk menekan atau menghilangkan rasa nyeri yang diinduksi
pada hewan coba (mencit) yang meliputi induksi secara mekanik, termik, elektrik
dan secara kimia. Metode pengujian dengan induksi nyeri secara mekanik atau
termik lebih sesuai untuk mengevaluasi obat-obat analgetika kuat. Pada umumnya
daya kerja analgetika dinilai pada hewan dengan mengukur besarnya peningkatan
stimulus nyeri yang harus diberikan sampai ada respon nyeri atau jangka waktu
ketahanan hewan terhadap stimulus nyeri atau juga peranan frekuensi respon nyeri
(Sirait, 2000).

1.2 Tujuan Praktikum


1. Mahasiswa dapat menilai dan membandingkan mula kerja dan aktivitas dua
jenis analgetik yang diberikan secara per oral.
2. Mahasiswa dapat melakukan uji aktivitas analgetik suatu obat menggunakan
metode geliat (whriting reflex test).

1.3 Manfaat Praktikum


1. Mahasiswa mampu untuk membandingkan onset dan lama kerja dari kedua
jenis analgesik yang diberikan melalui pemberian per-oral.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2
2.1 Nyeri
Nyeri didefinisikan sebagai pengalaman sensoris tidak menyenangkan yang
terkait dengan kerusakan jaringan aktual atau potensialatau dijelaskan daam hal
kerusakan tersebut. Mengacu pada definisi tersebut makan nyeri merupakan suatu
fenomena yang melibatkan sensoris, emonsional dan kognitif. Nyeri yang terjadi
biasanya diasosiasikan sebagai kerusakan jaringan, namun nyeri juga dapat
disebabkan oleh adanya injury yang mana nyeri timbul tanpa berhubungan dengan
sumber yang dapat didefinisikan (Ardinata, 2007).
Nyeri melibatkan persepsi dan respon terhadap nyeri tersebut berdasakan
mekanismenya. Proses yang mengakibatkan timbulnya nyeri adalah sebagai
berikut: tranduksi (transduction), transmisi (transmission), modulasi (modulation)
dan persepsi (perception) (Ardiata, 2007).
Transduksi (transduction) merupakan proses yang berawal dari stimulasi
nyeri yang dikonferskan kebentuk yang dapat diakses oleh otak. Proses ini
dumilai ketika nociceptor yang merupakan reseptor yang berfungsi untuk
menerima rangsangan nyeri teraktivasi. Aktivitas reseptor ini merupakan bentuk
respon terhadap stimulus seperti kerusakan jaringan (Ardita, 2007).
Transmisi (transmission) adalah serangkaian kejadian neural yang
memberikan implus listrik melalui sistem saraf ke area otak. Proses ini melibatkan
saraf aferen yang akan ber-axon pada dorsal horn di spinalis. Transmisi kemudian
akan dilanjutkan melalui sistem contralateral, spinalthalamic melalui ventral
lateral dari thalamus menuju cortex cerebral (Ardita, 2007).
Modulasi (modulation) adalah proses yang mengacu pada aktivitas neural
dalam upaya mengontrol ransmisi noiceptor. Proses ini melibatkan neural
komplek. Implus nyeri yang sampai di saraf pusat akan dikontrol transmisinya
oleh sistem saraf pusat dan mentransmisikan implus nyeri ini kebagian lain dari
sistem saraf seperti bagian cortex yang selanjutnya ditransmisikan melalui saraf
descend ke tulang belakang untuk memodulasi efektor (Ardita, 2007).
Persepsi (perception) merupakan suatu proses subjektif. Proses ini berkaitan
dengan proses fisiologis, anatomis, pengenalan (cognition) dan mengingat

3
(memory). Faktor psikologis, emonsional dan perilaku merupakan respon yang
dapat muncul dalam mempersepsikan pengalaman nyeri tersebut (Ardinata, 2007).
2.2 Analgesik
Analgesik adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan rasa
nyeri tanpa mempengaruhi kesadaran. Istilah ini pada masa kini menunjukkan
makna ganda. Pertama, untuk menunjukkan proses penderita bebas dari nyeri
tanpa kehilangan kesadaran. Kedua, dipergunakan oleh beberapa pakar dalam
kaitannya dengan istilah anestesi lokal atau regional. Pada umumnya obat
analgesik dibagi menjadi dua golongan, yaitu analgesik nonopioid dan analgesik
opioid (Tjay dan Rahardja, 2007; Soenarjo, 2010).
Analgesik nonopioid merupakan obat yang dapat mengurangi rasa nyeri dan
bekerja di perifer sehingga tidak mempengaruhi kesadaran serta tidak
menimbulkan ketergantungan. Obat ini dapat mengurangi gejala nyeri ringan
sampai nyeri sedang. Mekanisme aksi obat golongan ini adalah menghambat kerja
enzim siklooksigenase (COX) sehingga proses pembentukan asam arakhidonat
menjadi prostaglandin terhambat. Selain sebagai obat penghilang nyeri, obat ini
juga dapat mengurangi peradangan (inflamasi) dan menurunkan demam
(antipiretik). Contoh obat analgesic golongan ini adalah ibuprofen, diklofenak,
asam mefenamat, indometasin, piroksikam, dan sebagainya (Tjay dan Rahardja,
2007).
Analgesik opioid merupakan obat yang bekerja di reseptor opioid pada
sistem saraf pusat (SSP). Obat ini diberikan untuk mengatasi nyeri sedang sampai
nyeri berat (Ikawati, 2011). Obat ini bekerja pada SSP secara selektif sehingga
dapat mempengaruhi kesadaran dan menimbulkan ketergantungan jika
dikonsumsi dalam jangka panjang. Mekanisme obat ini yaitu mengaktivasi
reseptor opioid pada SSP untuk mengurangi rasa nyeri. Aktivasi dari obat tersebut
diperantarai oleh reseptor mu (µ) yang dapat menghasilkan efek analgesik di SSP
dan perifer. Contoh dari obat analgesik opioid antara lain morfin, kodein,
nalokson, tramadol, dll (Nugroho, 2012).
2.3 Parasetamol

4
Gambar 2.1. Struktur Parasetamol (Depkes RI., 1979)
Parasetamol atau asetaminofen (N-asetil-4-aminofenol) merupakan senyawa
yang memiliki aktivitas farmakologi sebagai analgetikum dan antipiretikum.
Parasetamol memiliki bentuk hablur atau serbuk hablur putih, tidak memiliki bau
dan memiliki rasa pahit. Parasetamol harus memenuhi persyaratan yaitu
kandungannya tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 101,0% dari bobot
yang telah dikeringkan (Depkes RI., 1979).
Parasetamol memiliki rumus molekul C8H9NO2 dengan berat molekul (BM)
151,16. Titik lebur parasetamol adalah 1690-1720C. Parasetamol merupakan
senyawa yang larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol 95% P, dalam 13
bagian aseton P, dalam 40 bagian gliserol P, dalam 9 bagian propilenglikol dan
larut dalam alkali hidroksida (Depkes RI., 1979).
Parasetamol merupakan obat yang diabsorpsi dari usus dan praktis tuntas
secara rektal lebih lambat. PP ± 95% dan t1/2 adalah 1 – 4 jam. Parasetamol
dimetabolisme di hati menjadi metabolit-metabolit toksik yang disekresikan
melalui urin sebagai konyugat glukoronida dan sulfat (Tjay dan Rahardja, 2015).
Dosis pemakaian oral parasetamol adalah 500 mg sekali minum dan 500 mg
– 2 g dalam sehari untuk dewasa. Dosis untuk anak-anak diantaranya adalah 50
mg sekali dan 200 mg sehari untuk usia 6-12 bulan, 50 mg – 100 mg sekali dan
200 mg – 400 mg sehari untuk usia 1 – 5 tahun, 100 mg – 200 mg sekali dan 400
– 800 mg sehari untuk usia 5 – 10 tahun, serta 250 mg sekali dan 1 g sehari untuk
usia 10 tahun keatas (Depkes RI., 1979).

2.4 Asetosal

5
Gambar 2.2 Struktur asetosal (Depkes RI, 1995)
Asetosal memiliki rumus molekul C9H8O4 yang memiliki efek sebagai
anakgetikum. Asetosal memiliki pemerian berupa hablur putih umumnya seperti
jarum atau lempengan tersusun atau serbuk hablur putih, tidak berbau atau berbau
lemah. Stabil diudara kering, dalam udara lembab secara bertahap terhidrolisa
menjadi asam salisilat dan asam asetat. Asetosal sukar larut dalam air, mudah larut
dalam etanol, larut dalam kloroform, dan dalam eter, agak sukar larut dalam eter
mutlak (Depkes RI, 1995).
Asetosal memiliki absorpsi yang cepat terutama pada bagian pertama
duodenum, namun karena bersifat asam maka sebagian juga diabsorpsi di
lambung. Efek analgetik dan antipiretiknya cepat, yatu setelah 30 menit dan
berthana 3-6 jam. Asetosal dimetabolisme di hati menjadi asam salisilat. PP asam
salisilat adalah 90-95%, t1/2 plasma 15-20 menit, masa paruh asam salisilat adalah
2-3 jam dengan dosis 1-3 g/hari (Tjay dan Rahadja, 2015).
Dosis asetosal untuk dewasa adalah 500-1 g sekali dan 1,5 g-3 g sehari.
Dosis asetosal untuk anak-anak adalah 10mg/bulan (dosis minimum), 60mg/bulan
(dosis maksimum) untuk sekali, 30 mg-40 mg/bulan untuk sehari minum pada
anak usia 1 tahun kebawah; 50mg-60mg/tahun sekali minum dan 150mg-
240mg/tahun sehari minum untuk usia 1-3 tahun; 40 mg-50 mg/tahun sekali
minum dan 120 mg-200 mg/tahun sehari pada usia 3-6 tahun; 30 mg-40 mg/tahun
untuk sekali dan 90 mg-160 mg/tahun untuk sehari pada usia 6-12 tahun (Depkes
RI., 1979).
2.5 Mencit (Mus musculus L.)
Mencit merupakan golongan hewan pengerat (rodensia) yang dapat
berkembang biak dengan cepat, mudah dipelihara dengan jumlah banyak, variasi
genetiknya beragam dan sifat anatomi dan fisiologinya terkarakteristik dengan
baik. Mencit juga memiliki ukuran badan yang kecil (berat badan kurang dari 1
kg), mudah dipegang, dikendalikan, pemberian materi mudah diberikan dan lama

6
hidup relatif singkat (Listyorini, 2012), oleh karena itu mencit banyak digunakan
sebagai hewan model laboratorium dengan kisaran penggunaan 40-80% (Pribadi,
2008). Berikut meruapakan klasifikasi dari mencit:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Veterbrata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Famili : Muridae
Genus : Mus
Spesies : Mus musculus
(Akbar, 2010)
2.6 Konversi Dosis Hewan
Berikut ini merupakan faktor konversi pemberian dosis obat dari manusia ke
hewan yang disajikan dalam tabel:
Tabel 2.1. Tabel Faktor Konversi Dosis Manusia ke Dosis Hewan
Mencit Tikus Marmut Kelinci Kucing Kera Anjing Manusia
20 g 200 g 400 g 1,5 kg 2 kg 4 kg 12 kg 70 kg

Mencit 1,0 7,0 12,25 27,8 29,7 64,1 124,2 387,9


20g

Tikus 0,14 1,0 1,74 3,9 4,2 9,2 17,8 56,0


200g

Marmut 0,08 0,57 1,0 2,25 2,4 5,2 10,2 31,5


400 g

Kelinci 0,04 0,25 0,44 1,0 1,08 2,4 4,5 14,2


1,5 kg

Kucing 0,03 0,23 0,41 0,92 1,0 2,2 4,1 13,0


2kg

7
Kera 4 0,016 0,11 0,19 0,42 0,45 1,0 1,9 6,1
kg

Anjing 0,008 0,06 0,1 0,22 0,24 0,52 1,0 3,1


12 kg

Manusia 0,0026 0,018 0,031 0,07 0,076 0,16 0,32 1,0


70 kg

(Anggara, 2009)
Faktor konversi dapat digunakan untuk menentukan dosis hewan dari dosis
manusia ataupun sebaliknya. Penggunaannya dilakukan dengan cara mengalikan
dosis yang diberikan dengan faktor konversi dosis tujuan. Seperti misalnya dosis
yang diberikan pada mencit dapat dihitung dari dosis manusia dengan mengalikan
dosis manusia dengan faktor konversi dosis manusia ke mencit yaitu 0,0026
(Anggara, 2009).
2.7 Pemberian Obat Rute Per Oral
Pemberian obat dengan rute per oral pada hewan uji dilakukan dengan
menggunakan sonde. Teknik sonde meruapakan teknik yang dilakukan dengan
memberikan materi kepada hewan coba melalui rongga mulut
denganmenggunakan spuit dan jarum suntuk tumpul (Lailani dkk., 2013).
Pemberian obat secara per oral memberikan beberapa keuntungan dalam
penggunaannya yaitu efek sampingnya ringan dan biayannya umumnya lebih
ringan (Yusriana, 2002)
Pemberian obat secara per oral pada mencit tidak boleh melewati batas
maksimum volume pemberian per oral yaitu 1 mL. Batas maksimum pemberian
ini berkaitan dengan kapasitas lambung mencit (Haki, 2009).
Obat yang diberikan seacar per oral akan mengalami proses ADME
(absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi). Proses ini akan mempengaruhi
konsentrasi obat yang akan mencapai organ target atau reseptor obat (Amiyati,
2015).
2.8 Pemberian Obat Rute Intra Peritonial

8
Rute pemberian obat secara intra peritonial pada mencit dilakukan dengan
volume < 10 mL/kg berat mencit. Untuk mencit dengan berat 25 gram, volume
maksimun injeksi adalah 0,25 mL. Injeksi intraperitonial dilakukan pada kuadran
kanan bawah pada abdomen mencit untuk menghindari kerusakan pada katung
kemih dan organ abdominal lainnya. Pada saat injeksi pisisi runcing dari needle
harus dipastikan berada pada bagian bawah serta sudut injeksi pada intraperitonial
sebesar 15-20°. Untuk mencit direkomendasikan hanya setengah dari panjang
needle yang masuk selanjutnya cairan diinjeksikan perlahan-lahan (Andrews,
2014). Lokasi injeksi dapat dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.2 Lokasi ijeksi intraperitonial pada mencit (Andrews, 2014)

9
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
a. 2 buah spuite injeksi (skala 0,1-1ml)
b. Jarum sonde/ ujung tumpul/ membulat
c. Beaker glass
d. Stopwatch
e. Timbangan neraca analitik
f. Kandang mencit
g. Alat-alat gelas
3.1.2 Bahan
a. Akuades
b. Parasetamol
c. Asetosal (Aspirin)
d. Larutan steril asam asetat 5% (dosis 0,1mL/ 20gBB ip)
e. Subjek Uji: mencit dengan bobot ± 20gram
3.2 Prosedur Kerja
3.2.1 Perhitungan Dosis
Tabel 3.1. Tabel Faktor Konversi Dosis Manusia ke Dosis Hewan
Menci Tiku Marmu Kelinc Kucin Ker Anjin Manusi
t 20 g s 200 t 400 g i 1,5 g 2 kg a4 g 12 a 70 kg
g kg kg kg

Mencit 1,0 7,0 12,25 27,8 29,7 64,1 124,2 387,9


20g

Tikus 0,14 1,0 1,74 3,9 4,2 9,2 17,8 56,0


200g

Marmut 0,08 0,57 1,0 2,25 2,4 5,2 10,2 31,5


400 g

Kelinci 0,04 0,25 0,44 1,0 1,08 2,4 4,5 14,2


1,5 kg

10
Kucing 0,03 0,23 0,41 0,92 1,0 2,2 4,1 13,0
2kg

Kera 4 0,016 0,11 0,19 0,42 0,45 1,0 1,9 6,1


kg

Anjing 0,008 0,06 0,1 0,22 0,24 0,52 1,0 3,1


12 kg

Manusi 0,002 0,01 0,031 0,07 0,076 0,16 0,32 1,0


a 70 kg 6 8

Rumus konversi dosis lazim manusia ke hewan coba, yakni mencit yaitu
sebagai berikut..
Dosis hewan (mg/kgBB) = Dosis manusia (mg/KgBB) x Faktor konversi

(Anggara, 2009)
Untuk menghitung persen aktivitas analgetik suatu obat uji terhadap
kontrol negatif, maka digunakan persamaan sebagai berikut.

% Aktivitas Analgetik = 100 – ( x 100)

Perhitungan:
Diketahui
Diketahui:
Setiap 5 ml sirup mengandung 120 mg Paracetamol
Setiap tablet mengandung asam asetilsalisilat (aspirin) sebanyak 80 mg
Dosis sekali = 5 ml
Berat Mencit: I = 25,882 gram
II = 24,285 gram
III = 23,299 gram
IV = 24,433 gram
V = 24,129 gram

11
VI = 25,402 gram
Faktor konversi = 0,0026 untuk bobot mencit 20 gram
Faktor pengenceran = 10 kali
Mencit yang digunakan sebagai kontol negatif adalah mencit I dan II, sebagai
kontrol obat adalah mencit III dan IV , sementara untuk uji digunakan mencit V
dan VI.
Ditanya:
Dosis paracetamol dan aspirin untuk mencit
Jawab:
Paracetamol
Dosis awal = faktor konversi x dosis
= 0,0026 x 5 ml
= 0,013 ml untuk 20 gram mencit
0,013mL
1. Dosis mencit III = 20 gram  23,299 gram  0,0151mL  10  0,1151mL
120mg
Kandungan paracetamol  0,0151mL  0,3624mg
5mL
0,013mL
2. Dosis mencit IV= 20 gram  24,433 gram  0,0159mL  10  0,1159 mL
120mg
Kandungan paracetamol =  0,0159mL  0,3816mg
5mL
0,013mL
3. Dosis mencit V= 20 gram  24,129 gram  0,0157mL  100  0,1157 mL
120mg
Kandungan paracetamol =  0,0157 mL  0,3768mg
5mL
4. Dosis mencit VI =
120mg
Kandungan paracetamol =  0,0165mL  0,3963mg
5mL
Dosis Aspirin (Asam Asetilsalisilat)
 Asetosal dalam 1 tablet mengandung aspirin 500mg
Konsentrasi tablet = 500mg/tablet
= 500mg/10 ml = 50mg/ml
 Faktor pengenceran = 100 kali dan 10 kali
M1.V1 = M2. V2
50. V1 = 5. 10

12
5  10
V1=  1mL
50
Dosis awal = faktor konversi x dosis
= 0,0026 x 500mg
= 1,3 mg untuk 20 gram mencit
1,3mg
1. Dosis mencit III = 20 gram  23,299 gram  1,514mg
1,3mg
2. Dosis mencit IV = 20 gram  24,433 gram  1,588mg
3. Dosis mencit V =
4. Dosis mencit VI =
Dosis Asam Asetat 5%
Diketahui : dosis = 0,1 ml/ 20g BB
Ditanya: Dosis permencit= ?
Penyelesaian:
0,1mL
1. Mencit III = 20 g  23,299 gram  0,116mL

0,1mL
2. Mencit IV = 20 g  24,433gram  0,122mL

0,1mL
3. Mencit V = 20 g  24,129 gram  0,121mL

0,1mL
4. Mencit VI = 20 g  25,402 gram  0,127mL

3.2.2 Penentuan dosis uji

Ditimbang bobot masing-masing hewan uji

Dihitung dosis individu obat analgesik tiap mencit dengan melakukan


konversi dosis dari dosis manusia ke dosis mencit.

Dihitung konsetrasi larutan stok analgesik yang dibuat sdemikian rupa


sehingga volume pemberian kepada mencit tidak lebih dari 1mL (p.o).

13
Dihitung volume larutan asam asetat yang diberikan kepada mencit
sesuai dengan bobot badan mencit.

3.2.3 Uji Aktivitas Analgesik


Dibagi enam ekor mencit menjadi 3 kelompok uji (masing-masing
kelompok terdiri dari 2 ekor mencit)

Kelompok I sebagai kelompok kontrol negatif; kelompok II sebagai


kelompok kontrol obat; kelompok III sebagai kelompok uji.

Kelompok I diberikan akuades (p.o); kelompok II dan III diberikan


larutan paracetamol (p.o) sesuai hasil perhitugan dosis.

Lima menit setelah pemberian bahan uji, tiap mencit pada kelompok I
dan II selanjutnya diberikan larutan asam asetat steril secara intra
peritonial sesuai hasil perhitungan dosis.

Diamati dan hitung jumlah geliat (menggaruk kepala atau meregangkan


badan) yang dilakukan mencit setiap 5 menit selama 60 menit terhitung
setelah pemberian asam asetat steril.

Dicatat hasil pengamatan pada tabel pengamatan.

Dihitung persen
Dilakukan aktivitasyang
percobaan analgetik
samaobat
padauji terhadap
obat kontrol
uji asetosal negative
(aspirin)
menggunakan persamaan :
% aktivitas analgetik = 100 – ((jumlah geliat kontrol negatif/jumlah
3.3 geliat
Data uji) x 100)
Pengamatan
Obat uji: Parasetamol dan asam asetat steril

14
Dosis:
Tabel Pengamatan:
Jumlah Geliat
Menit
Kelompok I Kelompok II Kelompok III
ke-
Mencit 1 Mencit 2 Mencit 1 Mencit 2 Mencit 1 Mencit 2
0-5
6-10
11-15
16-20
21-25
26-30
31-35
36-40
41-45
46-50
51-55
56-60
Jumlah
kumulatif
Rata-rata
kumulatif

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, B. 2010. Tumbuhan dengan Kandungan Senyawa Aktif yang Berpotensi


sebagai Bahan Antifertilitas. Jakarta: Adabia Press.
Amiyati, L. 2015. “Uji Aktivitas Analgetik Ekstrak Etanol Daun Cocor Bebek
(Kalanchoe pinnata (Lam.) Pers.) terhadap Mencit (Mus musculus) Jantan
Galur Swiss”. Skripsi. Universitas Tanjungpura.
Andrews, K. 2014. Intraperitoneal (IP) Injection in Rat and Mice SOP. UBC:
Animal Care Guidelines.
Anggara. 2009. “Pengaruh Ekstrak Kangkung Darat (Ipomea reptans Poir.)
terhadap Efek Sedasi pada Mencit BALB/C”. Skripsi. Fakultas Kedokteran,
Universitas Diponegoro, Semarang.
Ardinata, D. 2007. Multidimensional Nyeri. Jurnal Keperawatan Rufaidah
Sumatera Utara. 2(2): 77-81.

15
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Guyton A.C. and J.E. Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi IX.
Jakarta : EGC.
Haki, M. 2009. “Efek Ekstrak Daun Talok (Muntingia calabura L.) terhadap
Aktivitas Enzim SGTP pada Mencit yang Diinduksi Karbon Tetraklorida”.
Skripsi. Universitas Sebelas Maret.
Ikawati, Z. 2011. Farmakoterapi Penyakit Sistem Saraf Pusat. Yogyakarta: Bursa
Ilmu.
Lailani, M., Z. Edward dan R. B. Herman. 2013. Gambaran Tekanan Darah Tikul
Wistar Jantan dan Betina Setelah Pemberian Diet Tinggi Garam. Jurnal
Kesehatan Andalah. 2(3):146-150.
Listyorini, P. I. 2012. Uji Keamanan Ekstrak Kayu Jati (Tectona Grandis L.F)
Sebagai Bio-Larvasida Aedes Aegypti Terhadap Mencit. Unnes Public
Health Journal. 1(2): 1-7.
Marazzitil D., Mungail F., Vivarellil L., Prestal S., Osso, B.D. 2006. Pain and
psychiatry : a critical analysis and pharmacological review. http://www.
Cpementalhealth. Com /content /2 /1/31. January 25th, 2007.
Nugroho. 2012. Keperawatan Gerontik dan Geriatrik. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Pribadi, G.A. 2008. “Penggunaan Mencit dan Tikus sebagai Hewan Model
Penelitian Nikotin”. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Sirait, M. 2000. Informasi Spesialite Obat Indonesia. Jakarta: Penerbit Ikatan
Sarjana Farmasi Indonesia.
Soenarjo, J. 2010. Anestesiologi. Semarang: Ikatan Dokter Spesialis Anestesi dan
Reanimasi.
Tjay, T.H. dan K. Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan dan
Efek-Efek Sampingnya. Edisi Keenam. Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo.

16
Yusriana, C.S. 2002. “Pola Pengobatan Penyakit Asma Bronkial pada Pasien Anak
Rawat Inap di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode 1999-2001”.
Skripsi. Sanata Dharma University.

17

Anda mungkin juga menyukai