Anda di halaman 1dari 34

Laporan Diskusi Kasus

Asma Bronkial
Modul Elektif Farmakologi

Oleh :

Atiul Marifah
Ayu Wilda A.
Dian Pratiwi
Farid Nurdiansyah
Fernaldhi Anggadha

Iin Citra Liana


Maharani
Moh. Ibnu I.
Salwa
Seila Inayatullah

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
NOVEMBER 2014

Pemicu:
Seorang ibu usia 30 tahun datang ke tempat praktek anda dengan
keluhan sesak, batuk, pilek dan demam.Sesak dan batuk juga sering
timbul bila udara dingin dan cuaca hujan. Dalam musim hujan ini paling
tidak serangan terjadi sekali dalam sebulan dan timbul terutama
malam.Biasanya setelah memakan obat neo napacin yang dibeli di
warung rasa batuk dan sesak mereda, tetapi dengan kondisi sekarang ini
obat

tersebut

kurang

memberikan

efek.

Pada

pemeriksaan

fisik:

ditemukan suara mengi pada saat ekspirasi, RR 28 x/mnt, HR 100x/mnt,


tekanan darah 130/85 mmHg, suhu 38,5oC, BB 50 kg, TB 160 cm.
Saudara adalah seorang dokter yang tinggal di daerah terpencil. Di
tempat praktek anda tersedia beberapa obat. Dalam bentuk tablet:
deksametason,
aspirin,

metilprednisolon,

atropin,

propanolol,

salbutamol,
captopril,

efedrin,

asetaminofen,

ciprofloksasin,

sefexime,

dekstrometropan, kodein, CTM. Dalam bentuk sirup: sodium kromolin.


Dalam bentuk inhaler: ipratropium, budesonide, salbutamol, formoterol.
Dalam bentuk suntikan: adrenalin, aminofilin.

Pertanyaannya:
1. Apa diagnosa kerja saudara
2. Obat apa yang akan saudara berikan pada penderita tersebut
(dosis,

lama

pemberian,

cara

pemberian)

alasan/pertimbangan pemberian obat tersebut


3. Perlukah dilakukan pemeriksaan penunjang.

dan
Bila

berikan
diperlukan

pemeriksaan apa saja.


4. Uraikan farmakologi dari masing-masing obat asthma yang dimiliki
oleh dokter tersebut
5. Apakah obat non astma yang saudara miliki, bila diberikan pada
penderita

asthma

berpengaruh

terhadap

asthmanya.
6. Berikan contoh resep obat untuk apotik

perjalanan

penyakit

Resume Jawaban
(nomor 1 dan dua)
Pasien mengalami sesak napas disertai batuk dan nafas berbunyi,
terjadi setiap tiap 2 minggu sekali. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 100/menit. Frekuensi napas 24
kali/menit, suara mengi positif, suhu badan 36,5 oC. Berdasarkan data
tersebut pasien didiagnosis Asma bronkial.
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan
pola keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat
penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksaan
jangka panjang, Semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan.
Berat

penyakit

asma

diklasifikasikan

sebelum pengobatan dimulai.

berdasarkan

gambaran

klinis

Pada anamnesa, pasien ini selama 2 bulan terakhir ini hampir tiap 2
minggu sekali terjadi serangan. Maka derajat beratnya asma berdasarkan
kekambuhan termasuk asma intermiten.
Pada pemeriksaan fisik, di dapatkan TD : 130/80 , nadi 100x/menit,
frekuensi napas 24x /menit, suara mengi positif, suhu badan 36,5 0C. Maka
saat ini pasien berdasarkan beratnya serangan termasuk ke dalam
serangan asma akut sedang.

sumber : http://www.klikpdpi.com/konsensus/asma/asma.html

Penatalaksaan medikamentosa asma terbagi menjadi dua, yaitu


untuk mengatasi serangan akut (reliever) dan sebagai obat jangka
panjang (controllers). Kelompok obat yang dapat digunakan untuk
serangan
Kelompok

akut
obat

adalah
yang

agonis
dapat

-2,

metilxantin,

digunakan

sebagai

dan

antikolinergik.

kontroler

adalah

glukokortikoid, long-acting -2 agonis, mast cell stabillizer, leukotrin


modifier, dan metilxantin.
Berdasarkan pilihan obat yang ada di pemicu, kami memilih tata
laksana pasien sebagai berikut.

Untuk mengatasi serangan asma akut, kami memilih untuk


diberikan obat 2 agonis dengan kerja singkat. Pada apotik
tersedia inhaler albuterol. Pemberian inhalasi mempunyai onset
yang lebih cepat dan efek samping minimal/tidak ada. Selain itu
bentuk aerosol ini juga efektif untuk profilaksis serangan akut akibat
hawa dingin atau olahraga. Mekanisme kerja 2 agonis yaitu
relaksasi otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan
mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan
modulasi pelepasan mediator dari sel mast. Albuterol diberikan
pada saat serangan setalah diberikan O2 melalu nasal canul, dipakai
nebulisasi setiap 20 menit dalam 1 jam (bearti 3 kali). Lalu
diobservasi selama 60 menit.

Jika gejalanya bertambah sering >2x/minggu

dan tidak

respon dengan pemberian albuterol. Maka dapat diberikan


kortikosteroid inhaler sebagai kontroler, yaitu budesonide.
Bila budesonide tidak tersedia, bisa diberikan metilprednisolon
selama 7-10 hari, dengan pemberian dosis tappering off.

Untuk kontroler bisa diberikan 2 agonis kerja panjang dan inhaler


kortikosteroid.

Bila pasien tidak dapat menggunakan inhaler (karena biaya atau


berpendidikan rendah), pasien dapat diberikan sediaan tablet
salbutamol atau terbutalin untuk mengatasi serangan akut.

Untuk golongan glukokortikoid, metilprednisolon lebih dipilih dari


pada dexametason karena deksametason memliki waktu paruh
yang lebih lama, sehingga konsentrasi dalam darah yang menetap
sepanjang hari dihawatirkan mengganggu fase diurnal kortikosteroid
endogen.

Pada serangan akut, sediaan inhaler 2 agonis (albuterol) lebih


menjadi pilihan daripada antikolinergik (ipratropium) karena efek
bronkodilatasi

agonis

lebih

baik

daripada

antikoliergik.

Antikolinergik lebih dipilih pada sesak napas pada kasus COPD.

Antihistamin (CTM) tidak menjadi pilihan pada pengobatan asma


karena memiliki efek samping mengentalkan mukus sehingga lebih
sulit dikeluarkan dan dapat memperparah batuk.

Opioid (kodein) tidak menjadi pilihan pada pengobatan asma karena


mekanisme kerjanya sebagai antitusive. Pada kasus asma, batuk
adalah respon tubuh untuk mengeluarkan mukus. Bila proses batuk
ditekan, maka dapat terjadi penumpukan mukus pada saluran
pernapasan. Kodein biasanya dipakai pada kasus batuk kering.

Adrenalin dan aminofilin diberikan pada kasus serangan akut berat,


ketika pasien tidak respon dengna 2-agonis.

(nomor 3 dan 4)
Pasien

dapat

didberikan

Antipiretik

untuk

menurunkan

suhu

tubuhnya. Dalam pemicu terdapat obat pilihan Paracetamol, yang dapat


digunakan sebagai antipiretik.
Dosis:
-

Dewasa: 300 mg 1g per kali, dengan maksimum 4g per hari.

Anak: Bayi dibawah 1 tahun 60 mg/kali, anak 1-6 tahun 60-120


mg/kali, anak 6-12 tahun: 150-300 mg/kali, dengan maksimum 1,2
g/hari.

Frekuensi: maksimum pemberian 6 kali sehari


Sediaan obat:
120mg/5 mL.

tersedia dalam obat tunggal, tablet 500 mg atau sirup

P-Drug Paracetamol, analgesic antipiretik


Efficacy

Safety

Suitability

Cost

Farmakodinamik

ESO

KI

Sanmol

Hambat enzim

Hepatoto Penyakit hati Tablet

siklooksigenase

ksisitas,

kronik,

Farmakokinetik

Hipersen
sitivitas,

hipersensitivi 4=20000
tas

methem

asetaminofe

oglobine

n, rush

Absorbsi,

cepat

sempurna

melalui

dan
GI

Tract
Distribusi, C

500 mg x 25 x

Syrup

mia,
max

1/2

jam, T

1-3 jam. Tersebar ke

toksisitas
akut

Pada

120mg/5cc/60ml
Ketersediaa

seluruh cairan tubuh

Metabolisme, oleh enzim

Tablet

mikrosom hati, sebagian

mg

= 5000

500 Drop
60mg/0,6mlx15m
lx1=11580

80% di konjugasi asam


glukoronat, sebagian lagi

Syrup 60 ml

dengan asam sulfat. Ia

(125

juga mengalami

ml)

mg/5

hidroksilasi dengan
metabolit methemoglobin
Eksresi, ginjal dengan
sebagian kecil sebagai
paracetamol 3%, sisanya

Drop 15 ml
(60mg/0,6ml
)

bentuk konjugasi
kasus penyebab demam ditentukan bahwa etiologinya Bakteri oleh karena itu bisa dilakukan
pemeriksaan gram untuk melihat jenis kuman yang ada. Sehingga dalam pemberian antibiotik
dapat diberikan yang tepat sesuai dengan jenis kumannya. Pemeriksaan lain bisa dilihat juga
apakah terdapat leukopenia atau leukosistosis dari pemeriksaan darah. Pada pemicu obat yang
tersedia adalah ciprofloksasin dan cefixim. Antibiotik yang paling mungkin diberikan adalah
ciprofloksasin. Antibiotik lain yang dapat menjadi pilihan lain adalah amoksisilin dan
kotrimoxazol.

P-Drug Ciprofloksasin
Efficacy

Safety

Suitability

Cost

Farmakodinamik

ESO

KI

Efektif untuk bakteri

Hipersensitivitas,
Gangguanpencern
aan (mual, muntah)
tendinitis,
gangguan
pertumbuhan,
ruptur
tendon,
diare,
pseudomembrankol
itis

Hipersensitivitas

Ciprofloksasi
n

gram negatif.
Antibiotik kuinolon
bekerja dengan
menghambat sintesis
DNA dengan
menghambat enzim
topoisomerase II (DNA

kuinolon, wanita

Tablet

hamil dan laktasi,

500mg/tab=26
0

anak usia < 18


tahun atau saat
masa pertumbuhan
Interaksi Obat:
Pemberian

girase) dan

siprofloksasin

topoisomnerase IV.

sebaiknya

Farmakokinetik

diberikan

Absorbsi, cepat dan


sempurna melalui GI
Tract

bersamaan dengan

Distribusi, Cmax 1-3


jam, T1/2 3-5 jam.

siprofloksasin

Metabolisme,
dimetabolisme di hepar

Ketersediaan

Eksresi, dieksresi cepat


melalui ginjal.
Eliminasi renal 30-50%

tablet, suspensi
oral, intravena

Infus
2mg/ml, btl @
100 ml =
22.000

tidak

zink karena akan


menganggu absobsi

Obat:

P-Drug Cefixime
Efficacy

Safety

Suitabilit Cost
y

Farmakodinamik

ESO

Bakterisida

Diare

cephalosporin

dispepsia, sakit hipersen

generasi

sitifitas

luas peningkatan

Bioaviabilitas : 4050%

7)
Tablet
Abixim
100

transaminase,

3x10s

mual, Keterse
diaan
leukopenia,

360.000/box

demam,
Farmakokinetik

(Nomor

Cap

bakteri enzim

gram negative

Cefixime

(16%), Riwayat

ketiga kepala,

spectrum
untuk

KI

eosinophilia

Berikatan

Cap

200

Obat:

1x10s=

tablet,

180.000/box

suspensi
oral

mg=

mg=

Resep yang diberikan


R/ ciproflokasisn tab 500 mg no X
2 dd tab I ac
R/ budesonid inhaler no I
uc
R/ albuterol inhaler no I
uc

(Nomor 5 dan 6)
Penjelasan tentang farmakologi obat-obatan pada pemicu

SALBUTAMOL (ALBUTEROL)
Sintesis salbutamol pertama telah dilaporkan pada tahun 1966.
Salbutamol atau Albuterol memiliki rumus kimia 2-tert-butylamino-1-4
(hydroxy-3-hydroxymethylphenyl)

ethanol.

Salbutamol

adalah

2-

adrenergik simpatomimetik amin dengan aksi farmakologi yang mirip


dengan

terbutalin.

mencegah

atau

Senyawa

mengurangi

ini

menunjukkan

bronkospasme,

efek

bronkodilatasi,

menurunkan

resistensi

saluran napas, dan meningkatkan kapasitas vital paru. Salbutamol


digunakan secara luas pada kasus asma bronchiale dan gangguan lain
saluran pernapasan yang diakibatkan oleh keadaan spasme dari bronkus.
Sinonim dari salbutamol adalah albuterol, aloprol, ventolin, volma,
salbuvent, dan lain-lain.
Farmakodinamik
Salbutamol
Stimulasi

bekerja
di

trakea

selektif
dan

terhadap

bronkus

reseptor

menyebabkan

adrenergik.

aktivasi

dari

adenilsiklase yang memperkuat perubahan ATP menjadi cAMP sehingga


akan menghasilkan beberapa efek melalui enzim fosfokinase yaitu
bronkodilatasi dan penghambatan pelepasan mediator oleh sel mast.
Salbutamol mempunyai masa kerja yang pendek sehingga disebut
short acting 2 agonist (SABA), sehingga digunakan sebagai obat pelega

(reliever) pada serangan asma akut. Sifat reliever tidak memperbaiki


inflamasi atau menurunkan hiperesponsif pada saluran pernapasan.
Pada dosis kecil, kerja salbutamol pada reseptor 2 jauh lebih kuat
daripada kerjanya pada reseptor

1, tetapi jika dosisnya ditinggikan

selektivitas ini akan hilang. Pada pasien asma, salbutamol kira-kira sama
kuat dengan isoproterenol sebagai bronkodilator (bila diberikan sebagai
aerosol), tetapi jauh lebih lemah dari isoproterenol sebagai stimulan
jantung. Jika dosis salbutamol ditinggikan 10 kali lipat, diperoleh efek
stimulan jantung yang menyamai efek isoproterenol.
Farmakokinetik
Golongan 2 agonis, selain efektif pada pemberian oral, juga
diabsorpsi dengan baik dan cepat pada pemberian sebagai aerosol. Pada
pemberian inhalasi, waktu kadar puncak plasma dicapai dalam waktu 2-5
jam. Waktu paruhnya 3-6 jam, dengan onset kerja 5-15 menit, dan durasi
kerjanya 3-5 jam. Sebagian kecil terikat dengan protein plasma (10%).
Metabolisme di hati dan dinding usus. Ekskresi melalui urin sebagai
metabolit dan bentuk utuh, sebagian diekskresikan melalui feses.
Efek Samping
Pada dosis yang dianjurkan tidak ditemukan adanya efek samping
yang serius. Pada pemakaian dosis besar dapat menyebabkan tremor,
rasa gugup, khawatir, takikardi, palpitasi, nyeri kepala, mual, muntah,
terutama pada pemberian oral. Efek samping ini jarang terjadi pada
pemberian secara inhalasi.
Penggunaan Klinik
Salbutamol

merupakan agen

beta

adrenergik

yang

digunakan

sebagai bronkodilator yang efektif untuk meringankan gejala asma akut


dan bronkokonstriksi. Obat ini diindikasikan untuk penderita bronkospasm
pada usia dewasa dan anak-anak. Di beberapa negara dikenal juga
dengan nama albuterol. Salbutamol pada asma bronkial digunakan
sebagai obat reliever (pelega), terutama untuk serangan asma akut.
Indikasi pengguaan sabutamol adalah:

Serangan asma akut

Bronkospasne yang menyertai PPOK

SOPT (Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis)

Kontraindikasi
Penggunaan 2 agonis sebagai bronkodilator harus hati-hati pada
pasien dengan hipertensi, penyakit jantung koroner, gagal jantung
kongestif, hipertiroid, atau diabetes.
Interaksi Obat

Efek salbutamol dihambat oleh B2-antagonis.

Pemberian

bersamaan

dengan

monoamin

oksidase

dapat

non-selektif

seperti

menimbulkan hipertensi berat.


Salbutamol

dan

obat-obatan

beta-blocker

propranolol, tidak bisa diberikan bersamaan.


Salbutamol menurunkan level serum digoxin
Pada penggunaan diuretik, salbutamol akan memperburuk kondisi
penderita hipokalemia
Bentuk Sediaan dan Sediaan

Nama Dagang
Astop, Bromosal, Butasal, Buventol Easyhaler, Glisend, Grafalin,
Lasal, Proventol, Respolin, Salbumax turbuhaler, Varsebron, Venasma,
Ventab, Venterol, Ventolin, Volmax.
Harga Obat

P-drug
Tujuan:
obat pada asma ringan
Obat

Efficacy

Salbutam Farmakodinamik:
ol

Bekerja

Safety

Suitability

Cost

Efek samping:

Kontraindikasi:

Terlamp

selektif Tremor,

rasa Hati-hati pada pasien ir

terhadap
2

reseptor gugup,

khawatir, hipertensi,

adrenergik, takikardi,

penyakit

jantung

koroner,

sebagai

palpitasi,

nyeri gagal

jantung

bronkodilator.

kepala,

mual, kongestif, hipertiroid,

muntah, terutama atau diabetes.


Farmakokinetik:
Pada

pemberian

inhalasi,

waktu

kadar

puncak

plasma

dicapai

dalam

waktu

jam.

2-5

pada

pemberian

oral.

Interaksi Obat:

Efek samping ini


jarang
pada

terjadi
pemberian

secara inhalasi.

Efek

salbutamol

dihambat

oleh

B2-

antagonis.
Pemberian

Waktu

bersamaan

dengan

paruhnya 3-6 jam,

monoamin

dengan onset kerja

dapat

5-15

hipertensi berat.

menit,

dan

oksidase

menimbulkan

durasi kerjanya 3-5


jam.
Ketersediaan
Obat:
tablet,

tablet

lepas

lambat, aerosol, sirup


Kesimpul +++

+++

+++

+++

an untuk
Kasus

FORMOTEROL
Farmakodinamik
Formoterol merupakan agonis beta-2 kerja lama atau disebut
long acting beta 2 agonist (LABA). Termasuk di dalam agonis beta-2

kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan formoterol yang mempunyai


waktu kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimnya agonis beta-2 mempunyai
efek

relaksasi

otot

polos,

meningkatkan

pembersihan

mukosilier,

menurunkan permeabilitas pembuluh darah, dan memodulasi pelepasan


mediator dari sel mast dan basofil. Kenyataannya pada pemberian jangka
lama, mempunyai efek antiinflamasi walau kecil. Inhalasi agonis beta-2
kerja lama yang diberikan jangka lama mempunyai efek protektif
terhadap rangsang bronkokonstriktor. Pemberian inhalasi agonis beta2

kerja

lama,

menghasilkan

efek

bronkodilatasi

lebih

baik

dibandingkan preparat oral.


Pada studi in vitro, formoterol memiliki aktivitas agonis pada reseptor
beta-2 200 kali dibandingkan pada beta-1. Meskipun beta-2 dominan
terdapat di otot polos bronkial dan beta-1 dominan di jantung, ternyata
ada pula reseptor beta-2 yang terdapat di jantung, berkisar 10-50% dari
total reseptor adrenergik. Efek farmakologi dari formoterol diperkirakan
karena

stimulasi

pada

adenyl

siklase

intrasel,

suatuenzim

yang

mengkatalisis konversi ATP menjadi cyclic AMP. Peningkatan siklik AMP


menyebabkan relaksasi otot polos bronkial dan mencegah pelepasan
mediator pro inflamasi misalnya histamin dan leukotrien.
Farmakokinetik
Formoterol diabsorpsi secara cepat ke dalam plasma dengan rute oral
inhalasi. Sebagian besarformoterol yang diinhalasi tertelan dan diabsorpsi
ke traktus digestif. Formoterol dieksresi di ginjal berkisar 15-18% dari total
dosisnya sebagai formoterol yang tidak diubah maupun sebagai konjugat
langsung formoterol. Waktu paruhnya 10 jam.
Walaupun salmeterol dan formoterol merupakan LABA dengan durasi
kerja > 12 jam , kedua obat tersebut memiliki sifat farmakologi yang
berbeda. Keduanya bersifat lipofilik yang menyebabkan durasi
kerja lama dan sangat selektif pada reseptor 2. Perbedaan sifat
kedua obat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Formoterol

memiliki

onset

kerja

lebih

cepat

dibandingkan

salmeterol. Onset yang cepat tersebut telah mendapat pengakuan

yang kemudian direkomendasikan untuk dapat dipakai sebagai


rescue

atas

gejala

sesak

napas.

70%

terjadi

bronkodilatasi

maksimum dalam waktu 5 menit setelah inhalasi, dibandingkan


dengan salmeterol yang memerlukan waktu 1 jam.
2. Dilihat dari potensinya, salmeterol merupakan agonis parsial
sedangkan

formoterol

merupakan

agonis

penuh.

Untuk

mendapatkan efek bronkodilatasi yang sama bronkodilator parsial


memerlukan ikatan dengan reseptor yang lebih banyak.
Efek Samping
Efek samping formoterol sama dengan efek samping 2 agonis pada
umumnya: pada pemakaian dosis besar dapat menyebabkan tremor, rasa
gugup,

khawatir,

takikardi,

palpitasi,

nyeri

kepala,

mual,

muntah,

terutama pada pemberian oral. Efek samping ini jarang terjadi pada
pemberian secara inhalasi.
Penggunaan Klinik
Perannya

dalam

terapi

sebagai

pengontrol

bersama

dengan

glukokortikosteroid inhalasi dibuktikan oleh berbagai penelitian, inhalasi


agonis beta-2 kerja lama sebaiknya diberikan ketika dosis standar
glukokortikosteroid inhalasi gagal mengontrol dan, sebelum meningkatkan
dosis

glukokortikosteroid

inhalasi

tersebut

(bukti

A).

Karena

pengobatan jangka lama dengan agonis beta-2 kerja lama tidak


mengubah inflamasi yang sudah ada, maka sebaiknya selalu
dikombinasikan dengan glukokortikosteroid inhalasi (bukti A).
Penambahan agonis beta-2 kerja lama inhalasi pada pengobatan
harian

dengan

menurunkan

glukokortikosteroid

asma

malam,

inhalasi,

memperbaiki

faal

memperbaiki
paru,

gejala,

menurunkan

kebutuhan agonis beta-2 kerja singkat (pelega) dan menurunkan frekuensi


serangan

asma

penambahan

(bukti

agonis

A).

beta-2

Berbagai
kerja

lama

studi

menunjukkan

inhalasi

(salmeterol

bahwa
atau

formoterol) pada asma yang tidak terkontrol dengan glukokortikosteroid


inhalasi dosis rendah atau tinggi, akan memperbaiki faal paru dan gejala

serta

mengontrol

asma

lebih

baik

daripada

meningkatkan

dosis

glukokortikosteroid inhalasi 2 kali lipat (bukti A). Berbagai penelitian juga


menunjukkan bahwa memberikan glukokortikosteroid kombinasi dengan
agonis beta-2 kerja lama dalam satu kemasan inhalasi adalah sama
efektifnya dengan memberikan keduanya dalam kemasan inhalasi yang
terpisah (bukti B); hanya kombinasi dalam satu kemasan (fixed
combination) inhaler lebih nyaman untuk penderita, dosis yang diberikan
masing-masing lebih kecil, meningkatkan kepatuhan, dan harganya lebih
murah daripada diberikan dosis yang ditentukan masing-masing lebih
kecil dalam 2 kemasan obat yang terpisah.
Formoterol digunakan untuk terapi jangka panjang yang
bersifat maintenans pada pasien asma yang berusialebih dari 6
tahun
dengan

dengan
pasien

obstruksi
yang

saluran

nafas

memilikigejala

reversibel,

asma

termasuk

nokturnal,

yang

menggunakan kortikosteroid dosis optimal dan menderita gejala


yangsering

melibatkan

bronkodilator

kerja

cepat.

Tidak

diindikasikan pada asma yang terkontrol denganobat agonis beta 2 kerja


pendek, juga digunakan untuk mencegah bronkospasme yang diinduksi
aktivitas, sebagaimana pula bronkospasme yang berhubungan dengan
PPOK.
Bentuk Sediaan dan Dosis

Interaksi Obat

Efek formoterol dihambat oleh B2-antagonis.

Pemberian

bersamaan

dengan

monoamin

oksidase

dapat

menimbulkan hipertensi berat.


Nama Dagang
Symbicort
Harga Obat

P-drug
Tujuan:
Obat pada asma berat
Obat

Efficacy

Safety

Suitability

Cost

Formoter Farmakodinami Efek

Kontraindikasi:

Terlamp

ol

Hati-hati

k:
Bekerja

samping:
selektif Tremor,

rasa hipertensi,

terhadap

gugup,

jantung

reseptor

2 khawatir,

jantung

pasien ir

pada

penyakit

koroner,

gagal

kongestif,

adrenergik,

takikardi,

sebagai

palpitasi, nyeri Interaksi Obat:


kepala, mual,
Efek formoterol dihambat
muntah.
oleh B2-antagonis.

bronkodilator.

hipertiroid, atau diabetes.

Farmakokineti

Pemberian

k:

dengan

bersamaan
monoamin

Long

acting

oksidase

beta-agonist

menimbulkan

(LABA)

berat.

dapat
hipertensi

Ketersediaan Obat:
aerosol, sirup

TERBUTALIN
Terbutalin merupakan suatu agonis adrenergic selektif 2 yang
strukturnya mengandung cincin resorsinol sehingga bukan merupakan
substrat metilasi oleh COMT. Obat ini efektif jika digunakan secara oral,
subkutan atau melalui inhalasi. Efek yang capat teramati setelah inhalasi
atau parenteral, setelah inhalasi efeknya dapat bertahan 3-6 jam
sedangkan dengan pemberian oral onset efeknya mungkin tertunda 1-2
jam. Terbutalin digunakan untuk bronkospasme akut dan pengobatan
jangka panjang penyakit obstruktif saluran nafas, tersedia pula dalam
bentuk sediaan untuk penanganan darurat status asmatikus.
Farmakokinetik
Untuk meningkatkan aktivasi yang lebih disukai pada reseptor 2
pulmonal adalah pemberian dosis rendah obat secara inhalasi dalam
bentuk aerosol. Terapi aerosol tergantung pada penghantaran obat ke
saluran nafas distal, selanjutnya tergantung pada ukuran partikel di dalam
aerosol dan parameter pernapasan seperti laju aliran udara masuk,
volume tidal, waktu penahanan-napas dan ukuran diameter saluran
napas. Hanya sekitar 10% dosis yang sebetulnya masuk ke paru, sisanya
banyak yang tertelan dan mungkin diabsorpsi.
Farmakodinamik
Melalui aktivitas reseptor 2 obat ini menimbulkan relaksasi otot
polos bronkus, uterus dan pembuluh darah otot rangka. Pada pengobatan
asma, agonis adrenergic digunakan untuk mengaktivasi reseptor

pulmonal yang merelaksasi otot polos bronkus dan mengurangi resistensi


saluran napas. Selain itu obat ini mampu menghambat pelepasan
histamine dan leukotrien dari sel mast di jaringan paru, meningkatkan
fungsi mukosiliari, mengurangi permeabilitas mikrovaskular dan mungkin
menghambat fosfolipase A2.
Efek Samping
Terjadi akibat aktivasi reseptor adrenergic yang berlebihan. Pasien
dengan riwayat penyakit kardiovaskular sangat berisiko mengalami
reaksi-resiko

signifikan.

Namun

efek

ini

dapat

berkurang

dengan

pemberian obat secara inhalasi bukan oral atau parenteral. Efek lain yaitu
tremor, takikardi, tekanan oksigen arteri menurun, edema pulmonal, bila
secara parenteral dapat menyebabkan hiperglikemik, peningkatan laktat,
dan asam lipid bebas dalam plasma dan menurunkan konsentrasi K+.
Indikasi terapeutik
Terutama untuk pengobatan asma bronchial dengan dosis kecil
secara inhalasi. Sediaan berupa inhalasi, oral dan parenteral. Dosis
dewasa 2x2,5 mg, dosis maksimal 5 mg.
Interaksi obat
Ergot alkaloids dapat meningkatkan tekanan darah pada pasien yang
mendapat obat adrenergik, namun kondisi ini tidak berlaku pada
pemberian dosis kecil.
ISOPROTERENOL
Isoproterenol merupakan suatu agonis -adrenergik non selektif yang
poten

dengan

afinitas

yang

sangat

rendah

terhadap

reseptor

adrenergik, sehingga senyawa ini memiliki efek yang sangat kuat


terhadap semua reseptor dan hampir tidak bekerja pada reseptor .
Farmakokinetik
Isoproterenol mudah diabsorpsi bila diberikan secara parenteral atau
sebagai aerosol tetapi tidak diandalkan pada pemberian oral ataupun
sublingual

sehingga

tidak

dianjurkan.

Senyawa

ini

dimetabolisme

terutama di hati dan jaringan lain oleh katekol-O-metiltransferase (COMT).


Senyawa ini merupakan substrat yang relatif buruk untuk monoamine
oksidase (MAO) dan uptake oleh neuron simpatis tidak sebanyak
norepinefrin atau epinefrin. Oleh karena itu, durasi kerja isoproterenol
lebih lambat dari epinefrin namun masih tergolong singkat. Ekskresi lewat
urin.
Farmakodinamik
Isoproterenol melalui aktivasi reseptor 2 menstimulasi produksi
siklik adenosine 3,5 monofosfat (AMP) dan pengaktifan enzim adenil
siklase, menimbulkan relaksasi hampir semua jenis otot polos jika
tonusnya tinggi, tetapi paling jelas pada otot polos bronkus dan
gastrointestinal. Obat ini mencegah atau meredakan bronkokonstriksi,
pada asma obat ini juga menghambat pelepasan histamine dan mediatormediator inflamasi lainnya akibat reaksi antigen-antibodi. Infus intravena
isoproterenol menurunkan resistensi pembuluh darah perifer, terutama
otot rangka tetapi juga pada jaringan pembuluh darah ginjal dan
mesentrium, sehingga tekanan diastolic turun. Curah jantung meningkat
karena efek inotropik dan kronotropik positif langsung dari isoproterenol
dalam menghadapi berkurangnya resistensi pembuluh darah perifer. Efek
isoproterenol pada jantung yaitu palpitasi, sinus takikardi dan aritmia
yang serius, sedangkan pada dosis tinggi dapat menyebabkan krisis
miokardial pada hewan.
Efek hiperglikemik isoproterenol lebih lemah dibandingkan epinefrin,
antara lain karena obat ini menyebabkan sekresi insulin melalui aktivasi
reseptor 2 pada sel-sel beta pancreas tanpa diimbangi dengan efek
terhadap reseptor yang menghambat sekresi insulin. Selain itu
isoproterenol lebih kuat dari epinefrin dalam menimbulkan efek pelepasan
asam lemak bebas dan efek kalorigenik.
Efek Samping
Palpitasi, sinus takikardi, sakit kepala, dan kulit merah lazim terjadi,
iskemi dan aritmia jantung mungkin terjadi, terutama pada pasien yang

memiliki riwayat penyakit jantung koroner. inhalasi isoproterenol dengan


dosis berlebih dapat menimbulkan aritmia ventrikel yang fatal.
Indikasi terapeutik
Isoproterenol

dapat

digunakan

pada

keadaan

darurat

untuk

menstimulasi frekuensi jantung pada pasien bradikardi atau blok jantung


terutama dalam mengantisipasi pemasangan alat pacu jantung buatan
atau pada pasien yang mengalami aritmia ventricular torsades de pointes.
Pada gangguan asma dan syok, obat ini sebagian besar sudah tergantikan
oleh obay-obat simpatomimetik lain. Pada kondisi tidak mendesak untuk
pasien dewasa obat ini dapat diberikan secara IM atau SC dengan dosis
awal 0,2 mg, selanjutnya dosis IM berkisar 0,02-1 mg dan dosis SC
berkisar 0,15-0,2 mg. sediaan injeksi 0,2 mg/ml (1ml).
Interaksi Obat
Ergot alkaloids dapat meningkatkan tekanan darah pada pasien yang
mendapat

isoproterenol

dengan

menaikkan

curah

jantung

dan

vasokontriksi perifer yang diinduksi oleh isoproterenol. Efek ke jantung, ke


bronkus, dan vasodilatasi dari isoproterenol dihambat oleh obat penyekat
beta adrenergic seperti propanolol.

EFEDRIN
Efedrin merupakan agonis reseptor dan 1 dan 2, dan dapat
merangsang pelepasan norepinefrin dari neuron simpatis. Dengan cara
meningkatkan pelepasan dari norepinefrin dari neuron simpatik dan
mempunyai efek campuran pada obat-obatan simpatominetik.
Farmakodinamik
Efedrin menstimulasi detak jantung dan cardiac output dan dapat
meningkatkan resistensi perifer. Yang akan menghasilkan peningkatan
tekanan darah. Stimulasi dari reseptor pada sel otot polos dikandung
kemih akan meningkatkan resistensi pada aliran urin. Aktifasi dari
reseptor di paru-paru akan merangsang terjadinya bronkodilatasi. Efedrin

merupakan stimulan dari system syaraf pusat. Setelah konsumsi obat


secara oral, efek obat dapat bertahan selama beberapa jam. Efedrin
dieliminasi di urin sebagian besar dalam bentuk aktif, dengan waktu
paruh sekitar 3-6 jam.
Penggunaan terapi dan toksisitas
Dimasa lalu, efedrin digunakan untuk mengobati stokes-adams
attacks dengan complete heart block dan sebagai stimulan sistem saraf
pusat pada keadaan narkolepsi dan depresi.saat ini efedrin dipakai
sebagai bronkodilator pada pasien dengan asma dan menjadi lebih sedikit
dipakai dengan perkembangan dari

2 agonis selektif. Efedrin banyak

digunakan untuk mengobati kontinensia urin, walaupun mekanisme masih


belum jelas. Obat ini dapat menyebabkan retensi

urin, terutama pada

laki-laki dengan Bening prostatic hyperplasia. Efedrin dipakai untuk


mengobati hipotensi yang sering terjadi pada anastesi spinal.
Efek samping
Karena efeknya adalah hipertensi, biasanya setelah penggunaan
secara parenteral atau secara oral dengan dosisyang lebih besar dari
yang direkomendasikan, insomnia adalah efek samping dari system
saraf pusat yang tersering. Takifilaksis dapat terjadi dengan dosis yang
berulang. Keamanan dari penggunaan efedrin dipertanyakan belakangan
ini.

Dosis

yang

biasanya

dipakai

atau

yang

lebih

tinggi

dari

direkomendasikan dapat menyebabkan efek samping yang serius pada


individu

tertentu

terutama

pada

pasien

dengan

riwayat

penyakit

kardiovaskular yang mungkin belum diketahui sebelumnya.


Dosis
Injeksi : 50 mg/ml
Jika digunakan secara oral sebagai bronkodilator (dalam kombinasi tetap
dengan ekspektoran) atau sebagai dekongestan, nasal, dosis lazim
dewasa 25 50 mg setiap 3 4 jam. Dalam pengobatan sendiri sebagai
bronkodilator (dalam kombinasi tetap dengan ekspektoran) untuk dewasa

dan anak lebih dari 12 tahun, dosis lazim adalah 12,5 20 mg setiap 4
jam, tidak lebih dari 150 mg dalam 24 jam.
Harga dan sediaan : tablet efedrin Hcl 25 mg (@
Kontra indikasi pasien dengan riwayat hipersensitifitas, wanita hamil
dengan tekanan darah yang lebih besar dari 130/80 mmHg.

EPINEFRIN
Epinefrin mempunyai efek kuat pada reseptor 1 dan sedang
pada reseptor 2 adrenergik, yang mempunyai efek relaksasi
pada sel otot polos bronkus.
Farmakodinamik
Absorbsi ; Subkutan : 5-10 menit, inhalasi : 1 menit. Metabolisme :
metabolism oleh MAO dan COMT pada neuron adrenergik. Metabolit :
metadrenaline, sulfate conjugates, dan hydroxyl derivate dari asam
mandelic. Eksresi : urin
Dosis : pada serangan asma : 0,2-1 mg subkutan dalam 5-15 menit.
Larutan 1/1000
0,1-0,25 mg Im atau subkutan Larutan 1/1000
Efek samping : kecemasan, aritmia, sesak napas,sakit kepala,hipertensi,
muntah, palpitasi, berkeringat, takikardi, tremor.
Kontraindikasi

riwayat

hipersensitifitas,

syok,

dilatasi

cardiac,

glaucoma sudut tertutup.


Interaksi

astemizole,

cisapride,linezoid,

amiodaron,

ergotamine,

eritromicin, fluconazole, isoflurane, itraconazole, ketamine, haloperidol,


nadolol, propofol, sevoflurane,timolol, albuterol.

GLUKOKORTIKOID
Mekanisme kortikosteroid terhadap asma

Asma berhubungan dengan inflamasi jalan napas, hiperreaktifitas


jalan napas, dan bronkokonstriksi akut. Glukokortikoid tidak secara
langsung merelaksasi otot polos saluran napas dan memiliki efek yang
kecil terhadap bronkokonstriksi akut. Sebaliknya, agen ini secara tunggal
efektif dalam menghambat inflamasi saluran napas. Efek anti inflamasi
glukokortukoid pada asma adalah memodulasi sitokinin dan
produksi

kemokin,

menginhibisi

sintesis

eikosanoid,

inhibisi

akumulasi basofil, eosinofil, dan leukosit lainnya di jaringan paru


dan menurunkan permeabilitas vaskular.
Glukokortikoid inhaler
Meskipun glukokortikoid sangat efektif dalam mengontrol asma,
pengobatan sistemik glukokortikoid memiliki banyak efek samping.
Perkembangan terbaru dalam pengobatan asma adalah penggunaan
glukokortikoid inhalasi yang bekerja langsung pada tenpat inflamasi.
Glukokortikoid
dipropionate,

inhalasi

yang

triamcinolone

tersedia

acetonide,

adalah

flunisolide,

beclomethasone
budesonide,

dan

fluticasone propionate.
Inhalasi glukokortikoid digunakan sebagai profilaksis pengontrol
asma. Obat potensi kuat (contoh: fluticasone, flunisolide, budenoside)
efektif dengan satu atau dua semprotan penggunaan sekali atau dua kali
sehari. Dosis yang tepat tergantung dari masing-masing pasien, berupa
beratnya gejala, perbaikan klinis, dan terkontrolnya asma. Ketika dosis
optimal tercapai, perbaikan maksimal fungsi paru tidak tercapai hingga
penggunaan beberapa minggu.
Pasien asma yang mendapat inhalasi glukokortikoid menunjukkan
perbaikan gejala dan menurunkan kebutuhan terhadap agonis

. Efek

positif terlihat dalam 1 minggu, menurunkan hiperreaktifitas bronkus,


dapat diteruskan beberapa bulan. Inhalasi glukokortikoid lebih

baik dari pada agonis

dalam mengontrol asma.

Glukokortikoid Sistemik
Glukokortikoid sistemik digunakan untuk eksaserbasi asma akut dan
berat. Dosis glukokortikoid (misalnya 40-60 mg prednison untuk 5 hari; 12 mg/kg per hari untuk dosis anak) sering digunakan untuk eksaserbasi
akut asma. Pada asma yang berat penggunaan glukokortikoid sistemik
sering membutuhkan waktu lebih panjang dan tapering off yang lebih
lambat

untuk

mencegah

eksaserbasi

pituitari/adrenal. Sebelumnya,

asma

dan

supresi

fungsi

prednison sering digunakan pada asma

persisten, namun saat ini pasien asma lebih terkontrol dengan inhalasi
glukokortikoid.

P Drugs Kortikosteroid dalam pengobatan asma


Nama Obat
Efficacy
Deksametaso Farmakodina
n
mik:
memodulasi
sitokinin dan
produksi
kemokin,
menginhibisi
sintesis
eikosanoid,
inhibisi
akumulasi
basofil,
eosinofil, dan
Metilpredniso leukosit
lon
lainnya
di
jaringan paru
dan
menurunkan
permeabilitas
vaskular

Safety
Efek samping:
penggunaan
jangka lama
yang
dihentikan
tiba-tiba dapat
menyebabkan
insufisiensi
renal,
penggunaan
jangka
panjang dan
dosis besar
dapat
menimbulkan
sindrom
cushing,
glikosuria
pada pasien
DM, tukak
peptikum,
osteoporosis,
dll

Suitability
Kontraindikasi
relatif:
diabetes
melitus, tukak
peptik/duode
num, infeksi
berat,
hipertensi,
gangguan
kardiovaskula
r
Sediaan:
deksametaso
n Tablet oral
0,5mg,
0,75mg
Parenteral
4mg/ml
Metilprednisol
on
Tablet oral
4mg
Parenteral

Cost
1
strip
Tablet
0.5mg (10
tablet)
Rp
9650,00

Harga
Rp4800,00
per tablet

Budenosid

Farmakokineti
k:
deksametaso
n
t 36-72 jam,
potensi
retensi
natrium
0,
antiinflamasi
25

Efek samping
penggunaan
lokal saluran
napas
minimal,
candidiasis
oral pada
pasien
imunokompre
mais

40mg/ml
Sediaan
:
aerosol, tablet

metilpredniso
lon:
deksametaso
n
t 12-36 jam,
potensi
retensi
natrium 0,8;
anti inflamasi
4

METILXANTIN DAN ANTIKOLINERGIK


P-Drug Golongan Xantin (Teofilin tablet dan Aminofilin iv)
Efficacy
Safety
Suitability
Mekanisme
ESO
KI
Bronkodialtasi
Intoksikasi
Hipersensitivitas
pada
FARMAKODINAMIK
akut;
nyeri xantin: kejang yang tidak
Hambat enzim fosfodiesterase
kepala,
terkontrol
dengan
(PDE), tidak menghasilkan cAMP palpitasi,
pengobatan
dan cGMP untuk menjadi masing- aritmia
Ketersediaan
masing 5`AMP dan 5`GMP.
Kapsul 130 mg
Sehingga akumulasi cAMP dan
Tablet 150 mg
Tablet salut selaput lepas
cGMP dalam selrelaksasi otot
125,250,300 mg
polos bronkus
FARMAKOKINETIK

Cost
Bronsolvan
Tablet
150mgx100=
36300
Syrup
150mg/15cc/1
00ml=9570

Absorbsi, cepat diabsorbs PO,


Syrup
50mg/ml;
Parenteral,rectal. Adanya
130mg/15ml;
makanan di lambung akan
150mg/15ml
memperlambat kecepatan absorbsi
teofilin namun tidak
Aminofilin IV ampul
mempengaruhi derajat absorbsi
10ml (24mg/ml)
Distribusi, Keseluruh tubuh, lewat
sawar plasenta, masuk ASI
Vd 40-600mL/kg
Cmax 2 jamT1/2 8-9 jam.
Metabolisme, ikatan protein
60% , eliminasi terutama dihati
Eksresi, sebagian besar urin
bentuk asam
metiluriat/metilxantin dan 20%
bentuk utuh
P-Drug Ipatropium Bromide inhaler
Efficacy
Safety
Suitability
Mekanisme
ESO
KI
Bronkodialtasi
Mulut kering, Hipersensitivitas
FARMAKODINAMIK
gangguan
golongan atrophin
Memblok Ach endogen eksogen
miksi
,
melalui reseptor muskarinik
retensi urin. Ketersediaan
Tablet 5 mg
(M3)parasimpatisbronkodilatas Intoksikasi
i
Inhaler
FARMAKOKINETIK
20mcg/semprot/10ml
Absorbsi, diserap melalui mukosa
saluran nafas, 90% tertelan
Larutan
inhalasi
Distribusi,
1,025%x20ml
langsung bekerja pada otot
bronkus. Efek terapi 4-6 jam
Metabolisme,
Eksresi, sebagian besar karean
tertelan muncul di feses

Cost
Atrovent
Inhaler
20mcg/sempr
ot x 10ml
(Rp 83.435,-)
Larutan
inhalasi
1,025%
x
20ml
(Rp
104.280,-)

CTM (KLORFENIRAMIN MALEAT)


CTM merupakan obat antagonis reseptor histamin1 (AH1) golongan alkilamin. AH1
menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan bermacam-macam otot polos;

selain itu AH1 bermanfaat mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai
penglepasan histamin endogen berlebihan.
Farmakodinamik
Otot polos. Secara umum AH1 efektif menghambat kerja histamin pada otot polos usus dan
bronkus. Bronkokonstriksi akibat histamin dapat dihambat oleh AH 1 pada percobaan dengan
marmot.
Permeabilitas kapiler. Peningkatan permeabilitas kapiler dan edema akibat histamin, dapat
dihambat dngan efektif oleh AH1.
Reaksi anafilaksis dan alergi. Reaksi anafilaksis dan beberapa reaksi alergi refrakter
terhadap pemberian AH1, karena disini bukan histamin saja yang berperan tetapi juga
autokoid lain yang dilepaskan. Efektivitas AH1 melawan beratnya reaksi hipersensitivitas
berbeda-beda, tergantung beratnya gejala akibat histamin.
Kelenjar eksokrin. Efek perangsangan histamin terhadap sekresi cairan lambung tidak
dapat dihambat oleh AH1, namun dihambat oleh antagonis reseptor histamin2 (AH2).
Susunan Saraf Pusat. AH1 dapat merangsang maupun menghambat SSP. Dosis terapi AH1
umumnya menyebabkan penghambatan SSP dengan gejala misalnya kantuk, berkurangnya
kewaspadaan, dan waktu reaksi yang lambat.
Antikolinergik. Banyak AH1 bersifat mirip atropin. Efek ini tidak memadai untuk terapi,
tetapi efek antikolinergik ini dapat timbul pada beberapa pasien berupa mulut kering, sulit
miksi, dan impotensi.
Golongan dan
contoh obat
Alkilamin
(AH generasi I)
Klorfeniramin

Dosis dewasa

Masa Kerja

4-8 mg

4-6 jam

Aktivitas
kolinergik

Keterangan

Sedasi ringan

Farmakokinetik
Setelah pemberian oral atau parenteral, AH1 diabsorpsi secara baik. Efeknya timbul 1530 menit setelah pemberian oral dan maksimal setelah 1-2 jam. Lama kerja AH 1 generasi I
setelah pemberian dosis tunggal umumnya 4-6 jam. Tempat utama biotransformasi AH 1 ialah
hati, tetapi dapat juga pada paru dan ginjal. AH1 disekresikan melalui urin setelah 24 jam,
terutama dalam bentuk metabolitnya.

Indikasi
AH1 berguna untuk pengobatan simtomatik berbagai penyakit alergi dan mencegah atau
mengobati mabuk perjalanan.
AH1 berguna untuk mengobati alergi tipe eksudatif akut pada polinosis dan urtikaria.
Efeknya bersifat, membatasi dan menghambat efek histamin yang dilepaskan sewaktu reaksi
antigen-antibodi terjadi. AH1 tidak dapat melawan reaksi alergi akibat peranan autokoid lain.
Asma bronkial terutama disebabkan oleh SRS-A atau leukotrien, sehingga AH 1 saja tidak
efektif. AH1 dapat mengatasi asma bronkial ringan bila diberikan sebagai profilaksis. Pada
reaksi anafilaktik, AH1 hanya merupakan tambahan dari epinefrin. Epinefrin merupakan obat
terpilih untuk krisis alergi karenaepinefrin lebih efektif dari AH 1, efek ebih cepat, dan
epinefrin merupakan antagonis fisiologik dari histamin dan autokoid lainnya. Epinefrin
mengubah respon vasodilatasi akibat histamin dan autokoid lainnya menjadi vasokonstriksi.
Demikian pula AH1, dapat melawan efek bronkokonstriksi oleh histamin tetapi tidak bersifat
bronkodilatasi seperti epinefrin.
Efek Samping
Pada dosis terapi, semua AH1 menimbulkan efek samping yang paling sering yaitu
sedasi. Pengurangan dosis atau penggunaan AH1 jenis lain mungkin dapat mengurangi efek
sedasi ini.
Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral ialah vertigo, tinitus, lelah, penat,
inkoordinasi, penglihatan kabur, euforia, diplopia, gelisah, insomnia dan tremor. Efek
samping yang termasuk sering antara lain nafsu makan berkurang, mual, muntah, keluhan
epigastrium, kosntipasi atau diare; keluhan ini akan berkurang jika diberikan sewaktu makan.
Efek samping lain yang mungkin timbul adalah mulut kering, disuria, palpitasi, hipotensi,
sakit kepala, rasa berat dan lemah pada tangan.

SODIUM KROMOLIN
Medikasi
Kromolin

Nedokromil

Sediaan
IDT

Dosis dewasa Dosis anak


1-2 semprot,
1 semprot,

Keterangan
Sebagai alternatif

5mg/semprot

3-4 x/ hari

3-4x/hari

IDT

2 semprot,

2 semprot,

antiinflamasi
Sebelum exercise atau

2mg/semprot

2-4x/hari

2-4x/hari

pajanan alergen, profilaksis


efektif dalam 1-2 jam

Sodium kromoglikat digunakan sebagai pengontrol (controllers). Pengontrol adalah


medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai
dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten.
Mekanisme yang pasti dari sodium kromoglikat dan nedokromil sodium belum
sepenuhnya dipahami, tetapi diketahui merupakan antiinflamasi nonsteroid, menghambat
penglepasan mediator dari sel mast melalui reaksi yang diperantarai IgE yang bergantung
kepada dosis dan seleksi serta supresi sel inflamasi tertentu (makrofag, eosinofil, monosit);
selain kemungkinan menghambat saluran kalsium pada sel target. Pemberiannya secara
inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten ringan. Studi klinis
menunjukkan pemberian sodium kromoglikat dapat memperbaiki faal paru dan gejala,
menurunkan inhalasi (bukti B). dibutuhkan waktu 4-6 minggu pengobatan untuk menetapkan
apakah obat ini bermanfaat atau tidak. Efek samping umumnya minimal, seperti batuk, atau
rasa obat tidak enak saat melakukan inhalasi.
OPIOID
Farmakokinetik
Opioid kebanyakan dapat diserap dengan baik pada pemberian
subkutan, intramuskular, dan secara oral. Meskipun demikian karena efek
dari lintas pertama obat seperti morfin yang diberikan secara oral harus
diberikan dengan dosis yang lebih tinggi untuk memiliki efek yang
diinginkan. Variasi setiap pasien berbeda-beda pada metabolisme lintas
pertama ini membuat dosis efektif menjadi sulit. Beberapa analgesik
lainnya seperti koedin ataupun oxicodone dapat efektif diberikan secara
oral karena metabolisme lintas pertamanya sedikit. Pengambilan opioid
bervariasi pada organ dan jaringan sesuai fungsi fisiologis dan faktor
biokimianya. Meskipun semua opioid berikatan dengan protein plasma
dengan

afinitas

yang

berbeda-beda,

senyawa

ini

akan

cepat

meninggalkan sirkulasi darah dan menuju jaringan dengan konsentrasi


tinggi yang memiliki perfusi yang tinggi seperti otak, paru, liver, ginjal,
dan limpa. Pada otot rangka lebih rendah konsentrasinya, namun
merupakan reservoir utama karena memiliki banyak massa. Opioid diubah
dalam skala besar menjadi metabolit polar (kebanakan glukoronid) yang

akan

siap

diekskresikan

oleh

ginjal.

Sebagai

contoj

morfin

yang

mengandung gugus hidroxil bebas akan dikonjugasi menjadi morfin-3glukoronid (M3G) dimana senyawa ini memiliki propertis neuroeksitatorik.
Neuroeksitatorik ini bukan dimediasi oleh reseptor u namun pada GABA.
Dilain hal sekitar 10% dari morfin diubah menjadi morphine-6-glucoronide
(M6G) metabolot aktif yang memiliki kemampuan 4-6x lebih besar dari
pada senyawa lainnya. Pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal perlu
pemantauan khusus karena sebagian besar ekskresi oleh usus maka akan
memperpanjang masa kerja obat. Hal ini akan menghasilkan induksi
sistem saraf pusat oleh M3G yang mengakibatkan eksitasi (kejang).
Hydromorphine

dimetabolisme

dengan

konjugasi

juga

menjadi

hydromorphine-3-glucoronide (H3G), yang memiliki efek extasi pada saraf


pusat. Meskipun demikian hidromorfin ini tidak memiliki metabolit 6glukoronide.

Kodein,

metabolisme

oleh

oxycodone,

liver

oleh

dan

hydrocodone

isoenzimP450

CYP2D6,

mengalami
menghasilkan

metabolit yang memiliki potensi yang lebih kuat. Kodein di demetilasi


menjadi morphine. Polar metabolit termasuk konjugasi dengan glukoronid
sebaggian besar diekskresi oleh urin dan sebagian kecil obat yang tidak
diubah juga ditemukan diurin. Beberapa lainnya dapat ditemukan di
cairan empedu.
Farmakodinamik
Opioid sebagai antitusif
Analgesik opioid adalah obat yang cukup efektif digunakan sebagai
pengobatan antitusif untuk menekan batuk. Efek ini diperoleh pada
dosis

yang

lebih

rendah

bila

dibandingkan

dengan

dosis

analgesianya. Reseptor yang berperan dalam efek antitusif dapat


dibedakan dengan reseptor yang berperan dalam efek opioid lainnya.
Sebagai contohnya efek antitusif dapat juga dihasilkan oleh stereoisomer
dari molekul opioid yang hampir tidak memiliki efek analgesik dan
ketergantungan. Efek fisiologik dari batuk cukup komplex dan hanya
sedikit yang diketahui mengenai efek obat antitusif. Pada sistem ini
berperan melalui efek sentral dan perifer. Derivat opioid yang pada

umumnya digunakan sebagai antitusif adalah dextrometorfan, kodein,


levopropoxyphene, dan niskapin (levopopoxyphene dan noskapin tidak
tersedia di Amerika). Walaupun obat-obatan ini , selain kodein, memiliki
efek samping yang berbeda dengan opioid perlu diperhatikan pada pasien
yang menggunakan obat-obatan golongan MAOi. Preparat antitusif juga
mengandung expektoran untuk mempertipis serta mencairkan sekresi
sistem

pernapasan.

Senyawa

opioid

menekan

refleks

batuk

langsung pada pusat batuk di medulla. Tidak terdapat hubungan


antara penekanan batuk dan penekanan pernapasan.

DEXTROMETHORPHAN (D-3-METHOXY-N-METHYLPROPANOLAMIN)
Merupakan stereoisoer dari derivat levorphanol yang termetilasi.
Senyawa ini dikhususkan sebagai agen yang bebas dari adiksi dan
memiliki efek konstipasi yang lebih rendah daripada koedin. Dosis antitusif
yang

diberikan

sekitar

15-30mg

dan

diberikan

3-4x

sehari.

Dextromethorphan dilaporkan juga dapat meningkatkan efek analgesik


dari morfin dan efek u-reseptor agonis lainnya. Merupakan senyawa Disomer dari kodein. Memiliki efek gastrointestinal namun pada dosis
tertentu dapat meningkatkan efek depresi sistem saraf pusat. Mekanisme
obat ini sebagai antitusif masih belum jelas. Memiliki reseptor NMDA dan
bekerja sebagai antagonis dari reseptor tersebut. Kodein dan opioid lain
tidak bereaksi terhadap reseptor ini.

KODEIN
Berbeda dengan morfin, kodein 60% dapat diserap dengan baik
apabila diberikan secara oral. Memiliki efek antitusif dengan dosis
dibawah dosis yang diperlukan dari analgesia. 15 mg sudah cukup untuk
mengobati batuk. Obat ini dimetabolisme di liver dan sebagian besar
diekskresi melalui ginjal. Sebagian kecil 10% diekskresikan oleh ginjal
dalam bentk utuh atau di demetilisasi menjadi morfin. Kodein memiliki
afinitas rendah terhadap reseptor opioid dan cara kerja obat ini sebagian

besar adalah dengan merubahnya menjadi morfin.

Namun efek

antitusif obat ini adalah dengan reseptor yang berikatan dengan


kodein itu sendiri. Waktu paruh plasma obat ini 2-4 jam. Konversi
kodein menjadi morfin deipengaruhi enzim CYP2D6, namun pada enzim ini
menjadi masalah adalah polimorfisme. Oleh karena itu pada 10% ras
kaukasoid menjadi masalah karena tidak dapat merubah kodein menjadi
morfin. Beberapa polimorfisme lain menyebabkan masalah seperti ,
memperkuat dan meningkatkan sensitivitas terhadap kodein.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. Farmakologi dan


Terapi. Edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2009.

Katzung, B.G. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi ke-1. Penerjemah


dan

Editor:

Bagian

Farmakologi

FK

UNAIR.

Jakarta:Salemba

Medika.2001

Hardman, Joel G, Et All. Dasar Farmakologi Terapi volume 2 Goodman & Gilman.
Jakarta. EGC.2012

Buku DPHO ASKES tahun 2013, didownload tanggal 26 Januari 2013,


pukul 18.45 WIB

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Konsensus Asma: Pedoman


Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta. 2003.

ASMA, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan


Dokter Paru di Indonesia, 2004.

Anda mungkin juga menyukai