Anda di halaman 1dari 90

ISSN 1979715X

JURNAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN


JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI UNNES
Volume 1, Nomor 1, September, 2008

DAFTAR ISI

Analisis Tingkat Pertumbuhan Ekonomi dan Potensi Ekonomi terhadap Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) Kabupaten Pati Tahun 20022005
Bambang Prishardoyo ...................................................................................................................

18

Dampak Pertumbuhan Ekonomi Kota Semarang terhadap Kemacetan Lalulintas di Wilayah


Pinggiran dan Kebijakan yang Ditempuhnya
Etty Soesilowati ..............................................................................................................................

917

The Quality of Growth: Peran Teknologi dan Investasi Human Capital sebagai Pemacu
Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas
P. Eko Prasetyo ..............................................................................................................................

1831

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Investasi Swasta di Jawa Tengah


Hadi Sasana .....................................................................................................................................

3240

Penentuan Bentuk Fungsi Model Empirik: Studi Kasus Permintaan Kendaraan Roda Empat Baru
di Indonesia
Andryan Setyadharma .....................................................................................................................

4149

Deteksi Dini Krisis Perbankan Indonesia: Identifikasi Variabel Makro dengan Model Logit
Shanty Oktavilia ...............................................................................................................................

5062

Keterkaitan Desentralisasi Fiskal sebagai Political Process dengan Tingkat Kemiskinan di


Indonesia
Lesta Karolina Sebayang ....................................................................... ........................................

6369

Peningkatan Produksi Kerajinan sebagai Upaya Mengentaskan Kemiskinan


Siti Maisaroh .....................................................................................................................................

7082

INDEK ................................................................................................................................................

83

Pengantar Redaksi

Salam hormat dan kasih,


Puji syukur redaksi pajatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan hidayahNya yang
diberikan kepada kita semua. Hanya dengan kekuasaanNya-lah, dan setelah melalui proses yang cukup
menghabiskan waktu serta energi, maka Jurnal Ekonomi dan Kebijakan (JEJAK) Volome 1, Nomor 1,
September 2008, yang dikelola oleh Tim Redaksi di Jurusan Ekonomi Pembangunan FE UNNES dapat terbit
perdana untuk mengunjungi Anda semua. Redaksi mengucapkan terimakasih atas dapat terbitnya perdana
jurnal JEJAK ini kepada semua pihak terutama kepada seluruh pengirim artikel dan penyunting Ahli. Sungguh
menjadi kebanggaan redaksi tersendiri karena semua artikel yang terbit pada edisi perdana ini tanpa disadari
ternyata saling keterkaitan yang teridentifikasi dari masalah pertumbuhan ekonomi, kebijakan, investasi, model
teori dan aplikasi serta upaya cara mengatasinya yang tercermin dalam masalah upaya pengentasan
kemiskinan baik dari kajian teori maupun aplikasinya.
Pada terbitan perdana ini, disajikan delapan artikel yang 87,5% atau tujuh artikel merupakan hasil riset
dan 12,5% atau satu artikel merupakan hasil kajian teoritis. Semua artikel ini merupakan kajian kusus dalam
ruang lingkup bidang ilmu ekonomi pembangunan dan kebijakan. Artikel pertama ditulis oleh Bambang
Prishardoyo menganalisis tentang tingkat pertumbuhan ekonomi dan potensi ekonomi terhadap PDRB di
Kabupaten Pati periode 2000-2005. Selanjutnya Etty Soesilowati menganalisis tentang dampak pertumbuhan
ekonomi Kota Semarang terhadap kemacetan lalulintas di wilayah pinggiran dan kebijakan yang ditempuhnya.
Untuk menjembatani masalah pertumbuhan ekonomi, investasi dan masalahnya, baik ditingkat regional maupun
nasional, P. Eko Prasetyo mengkaji masalah kualitas pertumbuhan ekonomi melalui; peran faktor teknologi dan
investasi human capital sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Masih terkait tetang kajian
investasi, Hadi Sasana mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi investasi swasta di Jawa Tengah.
Selanjutnya, kajian dari segi model teori ekonomi dan aplikasinya diawali dari artikel hasil karya Andryan
Setyadharma yang mengkaji penentuan bentuk fungsi model empirik; studi kasud permintaan kendaraan roda
empat di Indonesia. Sedangkan, Shanty Oktavilia, telah mengidentifikasikan variabel makro dengan model logit
untuk mengkaji masalah diteksi dini krisis perbankan Indonesia. Kajian model selanjutnya tentang keterkaitan
desentralisasi fiskal sebagai political proces dengan tingkat kemiskinan di Indonesia adalah merupakan artikel
hasil karya dari Lesta Karolina Sebayang. Kemudian sebagai penutup dalam edisi perdana ini, masih terkait
dengan artikel masalah kemiskinan, Siti Maisaroh telah mengkaji masalah peningkatan produksi kerajinan
sebagai upaya mendukung program pengentasan kemiskinan.
Akhir kata, berbagai upaya telah tim redaksi upayakan agar jurnal ini berkualitas. Namun, karena jurnal
ini baru terbit pertama kali dan belum banyak pengalaman sudah barang tentu masih banyak kekurangan.
Karena itu, jika ada kritik dan saran yang membangun demi lebih sempurnanya jurnal ini dapat redaksi terima
dengan senang hati. Harapan redaksi semoga terbitnya jurnal JEJAK ini akan banyak manfaatnya bagi para
pembaca semua. Amin.

Semarang, September 2008


Pimpinan Redaksi

ANALISIS TINGKAT PERTUMBUHAN EKONOMI DAN POTENSI EKONOMI


TERHADAP PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB)
KABUPATEN PATI TAHUN 2000-2005
Bambang Prishardoyo
Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang
email:bambangpris@yahoo.com

ABSTRACT
Developing the economy in a region is a process in which a regional government and its society
manage and exploit their resources by having a partnership between the regional government and
private businessmen, so that it stimulate the economy activities or increase the economy growth and
there will be a new wide range of work fields. The problems of the present study are stated as follow:
(1)what sectors are the basis for Kabupaten Pati from 2000 to 2005? (2)what are the roles of kabupaten
Pati and the others areas in supporting the economy growth. The aims of the study are: (1) for knowing
which economy sectors that become the basis for kabupaten Pati, (2) the roles of Kabupaten Pati and
the others area in supporting the economy growth. This study uses quantitative qualitative approach and
the data analyzed are taken from Kabupaten Pati. Furthermore, in analyzing the data, economy based
model which uses location quotient(LQ) analysis, shift share analysis, gravity analysis was chosen.
Finally, the LQ analysis showed that the basis sectors that could be developed were agricultural sector
(average: 1,66); electricity, gas and water sector (average: 1,27); construction sector (average: 1,14);
finance, rent and company services sector (average: 1,71) and the gravity analysis showed that the
interaction between Kabupaten Pati and Kudus was the best and the strongest.
Keywords: economic growth, economic base.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Perjalanan pembangunan ekonomi telah
menimbulkan berbagai macam perubahan terutama
pada struktur perekonomian. Perubahan struktur
ekonomi merupakan salah satu karakteristik yang
terjadi dalam pertumbuhan ekonomi pada hampir
setiap negara maju. Berdasarkan catatan sejarah
tingkat pertumbuhan sektoral ini termasuk
pergeseran secara perlahan dan kegiatan-kegiatan
pertanian menuju ke kegiatan non pertanian dan
akhir-akhir ini dari sektor industri ke sektor jasa
(Arsyad, 1995:75). Pembangunan daerah sebagai
integral dari pembangunan nasional merupakan
suatu proses perubahan yang terencana dalam
upaya mencapai sasaran dan tujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang di
dalamnya melibatkan seluruh kegiatan yang ada
melalui dukungan masyarakat di berbagai sektor.
Pembangunan daerah harus sesuai dengan kondisi
potensi serta aspirasi masyarakat yang tumbuh dan
berkembang. Apabila pelaksanaan prioritas pemba-

ngunan daerah kurang sesuai dengan potensi yang


dimiliki oleh masing-masing daerah, maka pemanfaatan sumber daya yang ada menjadi kurang
optimal. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan
lambatnya proses pertumbuhan ekonomi daerah
yang bersangkutan.
Proses lajunya pertumbuhan ekonomi suatu
daerah ditunjukkan dengan menggunakan tingkat
pertambahan PDRB (Produk Domestik Regional
Bruto), sehingga tingkat perkembangan PDRB per
kapita yang dicapai masyarakat seringkali sebagai
ukuran kesuksessan suatu daerah dalam mencapai
cita-cita untuk menciptakan pembangunan ekonomi.
(Sukirno, 1981:23).Secara makro pertumbuhan dan
peningkatan PDRB dari tahun ke tahun merupakan
indikator dari keberhasilan pembangunan daerah
yang dapat dikategorikan dalam berbagai sektor
ekonomi yaitu: Pertanian, Pertambangan dan penggalian, Industri pengolahan, Listrik, gas dan air bersih, Bangunan, Perdagangan, perhotelan dan restoran, Pengangkutan dan komunikasi, Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, Sektor jasa lainnya.

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

Semakin besar sumbangan yang diberikan oleh


masing-masing sektor ekonomi terhadap PDRB
suatu daerah maka akan dapat melaksanakan
pertumbuhan ekonomi kearah yang lebih baik.
Pertumbuhan ekonomi di lihat dari PDRB merupakan
salah satu indikator untuk melihat keberhasilan
pembangunan. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi
melalui indikator Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) yang berarti pula akan meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah
peran pemerintah sangat diperlukan yaitu dalam
pembuatan strategi dan perencanaan pembangunan
daerah, dengan memperhatikan pergeseran sektor
ekonomi dari tahun ke tahun.
Perumusan Masalah

perubahan dan modernisasi dalam struktur ekonomi


yang umumnya tradisional, sedangkan pertumbuhan
ekonomi diartikan sebagai kenaikan itu lebih besar
dalam GDP tanpa memandang apakah kenaikan itu
lebih besar atau apakah terjadi perubahan struktur
atau tidak (Sukirno,1981:13-14).
Todaro mengatakan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi ditunjukkan oleh tiga nilai pokok
yaitu:
1. Berkembangnya kemampuan masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan pokoknya (basic needs).
2. Meningkatnya rasa harga diri (self-esteem)
masyarakat sebagai manusia.
3. Meningkatnya kemauan masyarakat untuk memilih (freedom from servitude) yang merupakan
salah satu dari hak asasi manusia.

2. Sejauh manakah keterkaitan Kabupaten Pati


dengan daerah-daerah sekitarnya sehingga saling
menunjang pertumbuhan ekonominya?

Dari definisi tersebut jelas bahwa pembangunan


ekonomi mempunyai empat sifat penting pembangunan ekonomi merupakan: Suatu proses yang
berarti perubahan yang terjadi terus-menerus, usaha
untuk menaikkan pendapatan per kapita, kenaikan
pendapatan perkapita itu harus terus berlangsung
dalam jangka panjang, perbaikan sistem kelembagaan di segala bidang (misalnya ekonomi, politik,
hukum, sosial, dan budaya).

Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Pertumbuhan Ekonomi

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis sektor-sektor ekonomi mana yang paling
strategis untuk dikembangkan dan menganalisis
keterkaitan-keterkaitan Kabupaten Pati dengan
daerah di sekitarnya sehingga saling menunjang
pertumbuhan ekonominya. Penelitian ini diharapkan
dapat memberi tambahan informasi dan bahan kajian
tentang perkembangan perekonomian daerah.

Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan GDP tanpa memandang apakah kenaikan itu
lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan
penduduk atau apakah perubahan struktur ekonomi
terjadi atau tidak. (Arsyad,1997:13). Jika ingin
mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi kita harus
membandingkan pendapatan nasional dari tahun ke
tahun. Dalam membandingkannya harus disadari
bahwa perubahan nilai pendapatan yang nasional
yang terjadi dari tahun ke tahun disebabkan oleh dua
faktor yaitu perubahan tingkat kegiatan ekonomi dan
perubahan harga-harga. Adanya pengaruh dari faktor
yang kedua tersebut disebabkan oleh penilaian
pendapatan nasional menurut harga yang berlaku
pada tahun yang bersangkutan. Suatu perekonomian
dikatakan mengalami pertumbuhan atau perkembangan jika tingkat kegiatan ekonomi yang dicapai
lebih tinggi dari waktu sebelumnya.

Berdasarkan latar belakang masalah diatas,


maka rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1. Sektor-sektor ekonomi mana yang menjadi basis
untuk dikembangkan sebagai penunjang pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Pati?

LANDASAN TEORI
Pembangunan Ekonomi
Pembangunan ekonomi diartikan sebagai
peningkatan pendapatan per kapita masyarakat yaitu
tingkat pertambahan Gross Domestic Product (GDP)
pada satu tahun tertentu melebihi tingkat pertambahan penduduk. Perkembangan GDP yang berlaku
dalam suatu masyarakat yang dibarengi oleh

Analisis Tingkat Pertumbuhan Ekonomi dan Potensi Ekonomi: . . . (Prishardoyo: 1 - 8)

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan


ekonomi (Sukirno 1994:425):
a. Tanah dan kekayaan alam lain
Kekayaan alam akan mempermudah usaha
untuk membangun perekonomian suatu negara,
terutama pada masa-masa permulaan dari
proses pertumbuhan ekonomi.
b. Jumlah dan mutu penduduk dan tenaga kerja
Penduduk yang bertambah akan mendorong
maupun menghambat pertumbuhan ekonomi.
Akibat buruk dari pertambahan penduduk kepada
pertumbuhan ekonomi dapat terjadi ketika jumlah
penduduk tidak sebanding dengan faktor-faktor
produksi yang tersedia.
c. Barang-barang modal dan tingkat teknologi
Barang-barang modal penting artinya dalam
mempertinggi efisiensi pertumbuhan ekonomi,
barang-barang modal yang sangat bertambah
jumlahnya dan teknologi yang telah menjadi
bertambah modern memegang peranan yang
penting dalam mewujudkan kemajuan ekonomi
yang tinggi.
d. Sistem sosial dan sikap masyarakat
Sikap masyarakat akan menentukan sampai dimana pertumbuhan ekonomi dapat dicapai.
e. Luas pasar sebagai sumber pertumbuhan
Adam Smith telah menunjukkan bahwa spesialisasi dibatasi oleh luasnya pasar, dan spesialisasi yang terbatas membatasi pertumbuhan
ekonomi.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah indikator ekonomi makro yang dapat memberikan
gambaran tentang keadaan perekonomian suatu
wilayah. Di dalam menghitung Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) yang di timbulkan dari suatu
region, ada 3 pendekatan yang digunakan yaitu:
1. PDRB menurut pendekatan produksi
Merupakan jumlah nilai barang atau jasa akhir
yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi yang
berada di suatu wilayah dalam jangka waktu
tertentu.

2. PDRB menurut pendekatan pendapatan


Merupakan balas jasa yang digunakan oleh
faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam
proses produksi di suatu wilayah dalam waktu
tertentu.
3. PDRB menurut pendekatan pengeluaran
Merupakan semua komponen pengeluaran akhir
seperti: pengeluaran konsumsi rumah tangga dan
lembaga swasta nirlaba, konsumsi pemerintah,
pembentukan modal tetap bruto, perubahan stok
dan ekspor neto dalam jangka waktu tertentu.
Teori Basis Ekonomi (Economic Base Theory)
Teori basis ekonomi ini dikemukakan oleh Harry
W. Richardson (1973) yang menyatakan bahwa
faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu
daerah adalah berhubungan langsung dengan
permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah.
Dalam teori basis ekonomi (economic base) bahwa
semua wilayah merupakan sebuah sistem sosio
ekonomi yang terpadu. Teori inilah yang mendasari
pemikiran teknik location quotient, yaitu teknik yang
membantu dalam menentukan kapasitas ekspor
perekonomian daerah dan derajat keswasembada
(Self-sufficiency) suatu sektor.
Menurut Glasson (1990:63-64), konsep dasar
basis ekonomi membagi perekonomian menjadi dua
sektor yaitu:
a. Sektor-sektor basis adalah sektor-sektor yang
mengekspor barang-barang dan jasa ke tempat
di luar batas perekonomian masyarakat yang
bersangkutan.
b. Sektor-sektor bukan basis adalah sektor-sektor
yang menjadikan barang-barang yang dibutuhkan
oleh orang yang bertempat tinggal di dalam batas
perekonomian masyarakat bersangkutan.
METODE PENELITIAN
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah PDRB
sektoral Kabupaten Pati dan Jawa Tengah yang
dihitung berdasar harga konstan. Adapun sampel
penelitian ini adalah PDRB atas dasar harga konstan
dari tahun 2000-2005.

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

Variabel Penelitian

(P+D)j : Yjt- (Yt/Yo) Yjo

Variabel dalam penelitian ini meliputi: pertumbuhan ekonomi, Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB), Sektor-sektor ekonomi, Komponen Differential shift, Komponen Proportional Shift, Jarak.

Pj

: i [(Yit/Yio)- (Yt/Yo)] Yijo

Dj

: t [Yijt- (Yit/Yio) Yijo]

Metode Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini
adalah: wawancara merupakan alat pengumpul
informasi dengan cara mengajukan pertanyaan lisan
dengan narasumber untuk menggali data yang
diperlukan, dokumentasi merupakan suatu cara
memperoleh data dengan melihat kembali laporanlaporan tertulis, baik berupa angka maupun
keterangan, observasi merupakan cara pengumpulan
data yang diperoleh dari hasil pengamatan langsung.
Metode Analisis Data
1. Analisis Location Quatient (LQ)
Merupakan teknik analisis yang digunakan untuk
menganalisis sektor potensial atau basis dalam
perekonomian suatu daerah.
Rumus untuk menghitung LQ adalah sebagai
berikut:

LQ =

yi / yt
Yi / Yt

Dimana:
yi = Pendapatan sektor ekonomi di Kabupaten
Pati
yt = Pendapatan total Kabupaten Pati (PDRB)
Yi = Pendapatan sektor ekonomi di Propinsi
Jawa Tengah
Yt = Pendapatan total ekonomi di Propinsi Jawa
Tengah
2. Analisis Shift Share
Adalah suatu teknik untuk menganalisis perubahan struktur ekonomi daerah dibandingkan dengan
perekonomian nasional.
Rumus analisis shift share (John Glosson 1990:
95-96) sebagai berikut:

Gj

: Yjt Yjo

Nj

: Yjo(Yt/Yo)- Yjo

Keterangan:
Gj : Pertumbuhan PDRB Total
Nj : Komponen Share
Pj : Proportional Shift
Dj : Diferential Shift
Y : PDRB total Propinsi Jawa Tengah
o,t : Periode Awal dan Periode Akhir
3. Analisis Gravitasi (keterkaitan wilayah)
Adalah analisis untuk mengetahui seberapa kuat
keterkaitan (inter linkage) antara Kabupaten Pati
dengan Kabupaten lain disekitar.
Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

Tij =

Pi Pj
d 2 ij

Dimana :
T ij = Daya tarik-menarik antar daerah i dengan j
P i = Jumlah penduduk di daerah i
P j = Jumlah penduduk di daerah j
d ij = Jarak antara i dan j
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
1. Analisis location quotient (LQ)

Berdasarkan tabel 1, maka dapat teridentifikasi


yang merupakan sektor basis maupun non basis.
Kabupaten Pati mempunyai 4 sektor basis, sektor
tersebut yaitu sektor pertanian, Sektor Listrik, Gas
dan Air Bersih, Sektor bangunan, Sektor keuangan,
sewa dan jasa perusahaan
2. Analisis Shift Share

Berdasarkan tabel pertumbuhan komponen proporsional Kabupaten Pati selama periode 2000-2005
(lihat tabel 2), diketahui bahwa nilai proporsional shift
(Pj) Kabupaten Pati dari tahun 2000-2005 nilainya
ada yang positif dan negatif, hal ini bila Pj > 0, maka
Kabupaten Pati akan berspesialisasi pada sektor

Analisis Tingkat Pertumbuhan Ekonomi dan Potensi Ekonomi: . . . (Prishardoyo: 1 - 8)

yang di tingkat propinsi tumbuh lebih cepat. Sebaliknya jika Pj < 0, maka Kabupaten Pati akan berspe-

sialisasi pada sektor yang tingkat propinsi tumbuh


lebih lambat.

Tabel 1. Hasil Analisis LQ Kabupaten Pati Tahun 2000-2005


No

Lapangan Usaha

2002

2003

2004

2005

Rata-rata

1.68
1.70
1.63
(b)
(b)
(b)
2
Pertambangan
0.87
0.79
0.78
(nb)
(nb)
(nb)
3
Industri Pengolahan
0.56
0.58
0.62
(nb)
(nb)
(nb)
4
Listrik, Gas
1.13
1.26
1.23
(b)
(b)
(b)
5
Bangunan
1.15
1.19
1.16
(b)
(b)
(b)
6
Perdagangan
0.86
0.89
092
(nb)
(nb)
(nb)
7
Pengangkutan
0.97
0.92
0.89
(nb)
(nb)
(nb)
8
Keuangan,sewa
1.5
1.57
1.65
(b)
(b)
(b)
0.73
0.07
9
Jasa-jasa
0.68
(nb)
(nb)
(nb)
Sumber : Data sekunder yang diolah
Keterangan : (b) : sektor basis ; (nb) : sektor non basis

1.68
(b)
0.78
(nb)
0.61
(nb)
1.28
(b)
1.11
(b)
0.92
(nb)
0.85
(nb)
1.77
(b)
0.74
(nb)

1.65
(b)
0.78
(nb)
0.61
(nb)
1.40
(b)
1.09
(b)
0.94
(nb)
0.85
(nb)
1.86
(b)
0.74
(nb)

1.64
(b)
0.76
(nb)
0.62
(nb6)
1.33
(b)
1.12
(b)
0.92
(nb)
0.85
(nb)
1.89
(b)
0.75
(nb)

1,66
(b)
0,79
(nb)
0,6
(nb)
1,27
(b)
1,14
(b)
0,91
(nb)
0,89
(nb)
1,71
(b)
0,62
(nb)

2000

2001

Pertanian

Tabel 2. Komponen Pertumbuhan Proportional (Pj) Kabupaten Pati Tahun 2000-2005


SEKTOR

2000 - 2001

2001 - 2002

-28828,773
16690,748
(tlp)
(tcp)
1162,3224
-105,3423
Pertambangan
(tcp)
(tlp)
3036,9362
11015,728
Industri
(tcp)
(tcp)
-788,3063
2424,928
Listrik & Air Bersih
(tlp)
(tcp)
2467,049
12310,259
Bangunan
(tcp)
(tcp)
-27024,162
-10418,520
Perdagangan
(tlp)
(tlp)
5355,749
2352,358
Pengangkutan
(tcp)
(tcp)
-3069,867
-2235,557
Keuangan
(tlp)
(tlp)
28778,638
-21962,008
Jasa-jasa
(tcp)
(tlp)
-18910,4
10072,59
Jumlah
(tlp)
(tcp)
Sumber: Data sekunder yang diolah
Keterangan (tcp): sektor tumbuh cepat di tingkat propinsi
Pertanian

2002 - 2003

2003 - 2004

2004-2005

Rata-rata

-83698,962
(tlp)
135,8892
(tcp)
3159,975
(tcp)
-1431,933
(tlp)
14806,030
(tcp)
1641,699
(tcp)
1268,164
(tcp)
-4307,021
(tlp)
266655,567
(tcp)
198229,4
(tcp)

2422,073
(tcp)
-622,633
(tlp)
8266,676
(tcp)
1142,741
(tcp)
5373,107
(tcp)
-17569,732
(tlp)
-637,016
(tlp)
-2865,855
(tlp)
1114,488
(tcp)
-3376,15
(tlp)

-8921,270
(tlp)
1049,375
(tcp)
-3784,631
(tlp)
2009,783
(tcp)
3212,856
(tcp)
4734,111
(tcp)
2845,321
(tcp)
-796,517
(tlp)
-1347,376
(tlp)
-998,348
(tlp)

-20467,237
(tlp)
323,92226
(tcp)
4338,9368
(tcp)
671,44254
(tcp)
7633,8602
(tcp)
-9727,3208
(tlp)
2236,9152
(tcp)
-2654,9634
(tlp)
54647,862
(tcp)
37003,41
(tcp)

; (tlp): sektor tumbuh lambat di tingkat propinsi

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

Tabel 3. Komponen Pertumbuhan Diferensial (Dj) Kabupaten Pati


SEKTOR

2000 - 2001

2001 - 2002

2002 - 2003

2003 - 2004

2004-2005

Rata-rata

12762,709
-63398,25
6826,395
(tlcbp)
(tllbp)
(tlcbp)
-2378,96517
-334,36382
-830,28257
Pertambangan
(tllbp)
(tllbp)
(tllbp)
1830,2082
5220,8323
-1387,2178
Industri
(tlcbp)
(tlcbp)
(tllbp)
3203,0862
-1070,15497
649,69086
Listrik & Air Bersih
(tlcbp)
(tllbp)
(tlcbp)
7189,0674
-7697,7161
-12348,3434
Bangunan
(tlcbp)
(tllbp)
(tllbp)
22364,7021
19260,6147
-19056,7144
Perdagangan
(tlcbp)
(tlcbp)
(tllbp)
-7985,4512
-5020,1101
-5293,0049
Pengangkutan
(tllbp)
(tllbp)
(tllbp)
6643,0954
8016,7445
9201,1495
Keuangan
(tlcbp)
(tlcbp)
(tlcbp)
-15072,3952
17466,5643
-22971,7273
Jasa-jasa
(tllbp)
(tlcbp)
(tllbp)
Sumber:Data sekunder yang diolah
Keterangan: (tlcbp): sektor tumbuh lebih cepat dibanding propinsi
(tllbp): sektor tumbuh lebih lambat dibanding propinsi

-28382,518
(tllbp)
-14,17334
(tllbp)
-2125,5172
(tllbp)
1783,39201
(tlcbp)
-3622,538
(tllbp)
5741,6819
(tlcbp)
-3253,7639
(tllbp)
6009,4648
(tlcbp)
-2087,963
(tllbp)

-28936,974
(tllbp)
-1609,63037
(tllbp)
3410,6169
(tlcbp)
-1757,18742
(tllbp)
2307,2126
(tlcbp)
-17963,0086
(tllbp)
-5149,9404
(tllbp)
1528,053
(tlcbp)
358,6539
(tlcbp)

-20225,728
(tllbp)
-1033,4831
(tllbp)
1389,7845
(tlcbp)
561,76534
(tlcbp)
-2834,4635
(tllbp)
2069,4551
(tlcbp)
-5340,4541
(tllbp)
6279,7015
(tlcbp)
-4461,3735
(tllbp)

Pertanian

Berdasarkan tabel diatas, sektor-sektor yang


memiliki rata-rata positif yaitu sektor industri
pengolahan dengan Dj rata-rata sebesar 1389,7845;
sektor listrik, gas dan air bersih sebesar 561,76534;
sektor perdagangan sebesar 2069,4551; sektor
keuangan, sewa dan jasa perusahaan sebesar
6279,7015. Sedangkan nilai negatif menunjukkan
sektor tersebut tumbuh lambat dibanding dengan
pertumbuhan sektor yang sama di tingkat Jawa
Tengah. Sektor-sektor yang memiliki rata-rata negatif
yaitu sektor pertanian dengan Dj rata-rata sebesar 20225,728; sektor pertambangan dan penggalian
sebesar -1033,4831; sektor bangunan sebesar 2834,4635; sektor pengangkutan dan komunikasi

sebesar -5340,4541; sektor jasa-jasa sebesar 4461,3735.


3. Analisis Keterkaitan Wilayah (Gravitasi)

Berdasarkan perhitungan analisis gravitasi


maka dapat diketahui hasil analisis gravitasi berikut
pada tabel 4.
Pada tabel analisis gravitasi diatas, tercermin
bahwa periode penelitian penulis yang paling kuat
dengan Kabupaten Pati adalah Kabupaten Kudus,
kedua adalah Kabupaten Rembang, ketiga adalah
Kabupaten Grobogan, keempat adalah Kabupaten
Blora, Kabupaten Jepara.

Tabel 4. Hasil Perhitungan Gravitasi Kabupaten Pati Tahun 2000-2005


Tahun
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Rata-rata

Kab. Kudus

Kab. Rembang

Kab. Grobogan

Kab. Blora

Kab. Jepara

1,393,695,814
1,422,898,580
1,461,177,242
1,522,516,811
1,551,073,788
1,599,817,751
1,491,863,31

489,762,165.9
498,435,694.7
512,012,179.1
528,224,802.8
538,028,668.2
550,943,522.
519,567,838.8

293,771,701.9
299,582,526.3
308,475,270.9
314,889,794.3
321,289,425.2
330,507,952.7
311,419,445.2

178,453,187.7
181,210,005.7
185,710,743.6
189,396,088.6
192,415,555.9
196,829,190.
185,335,795.3

127,397,013.4
130,873,780.3
135,432,685.7
142,094,449.4
145,852,852.3
151,211,392.7
138,810,362.3

Sumber : Data sekunder yang diolah


6

Analisis Tingkat Pertumbuhan Ekonomi dan Potensi Ekonomi: . . . (Prishardoyo: 1 - 8)

e. Sektor Bangunan

Pembahasan

Sektor bangunan merupakan sektor basis. Hasil


analisis shift share menunjukkan nilai rata-rata
komponen pertumbuhan proporsional (Pj) positif
sebesar 7633,8602, yang menunjukkan bahwa
sektor ini memiliki pertumbuhan lebih cepat di
tingkat propinsi. Komponen Dj negatif sebesar 2834,4635 menunjukkan daya saing sektor ini
menurun sehingga pertumbuhannya lebih lambat
dibanding pertumbuhan di propinsi.

a. Sektor Pertanian
Dari hasil analisis location quotient, sektor
pertanian merupakan sektor basis. Analisis shift
share menunjukkan nilai rata-rata Pj sebesar 20467,237 sektor ini termasuk kedalam sektor
yang memiliki pertumbuhan lebih cepat di tingkat
propinsi. Sedangkan komponen Dj sebesar 20225,728, sektor ini pertumbuhannya lebih
lambat dibanding propinsi karena daya saingnya
menurun.

f.

Potensi sektor perdagangan, hotel dan restoran


jika dilihat dari kriteria LQ merupakan sektor non
basis. Hasil analisis shift share menunjukkan
nilai rata-rata komponen pertumbuhan proporsional (Pj) sebesar -9727,3208, sektor ini memiliki pertumbuhan lebih lambat di tingkat propinsi.
Nilai komponen Dj sebesar 2069,4551 menunjukkan sektor ini pertumbuhannya lebih cepat
dibanding pertumbuhan di propinsi.

b. Sektor Pertambangan dan Penggalian


Sektor pertambangan dan penggalian merupakan sektor non basis. Hasil analisis shift share
menunjukkan nilai rata-rata komponen pertumbuhan proporsional (Pj) sebesar 323,92226,
yang berarti sektor ini merupakan sektor yang
tumbuh cepat di propinsi Jawa Tengah.
Komponen diferensial (Dj) sebesar -1033,4831
yang berarti sektor ini mempunyai daya saing
menurun sehingga pertumbuhannya lebih lambat.

g. Sektor Pengangkutan dan Komunikasi.


Berdasarkan hasil analisis LQ sektor ini merupakan sektor non basis. Hasil analisis shift share
menunjukkan nilai rata-rata komponen pertumbuhan proporsional (Pj) positif sebesar
2236,9152, yang menunjukkan bahwa sektor ini
memiliki pertumbuhan lebih cepat di tingkat
propinsi. Nilai rata-rata komponen Dj sebesar 5340,4541 menunjukkan daya saing sektor ini
menurun sehingga pertumbuhannya lebih lambat
dibanding pertumbuhan di propinsi.

c. Sektor Industri Pengolahan


Berdasarkan hasil analisis LQ, sektor industri
pengolahan termasuk sektor non basis. Hasil
analisis shift share menunjukkan nilai rata-rata
komponen pertumbuhan proporsional (Pj) positif
sebesar 4338,9368. Nilai rata-rata komponen Dj
adalah sebesar 1389,7845 menunjukkan daya
saing sektor ini meningkat sehingga pertumbuhannya lebih cepat dari propinsi.
d. Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih
Hasil analisis location quotient, sektor listrik, gas
dan air bersih merupakan sektor basis dengan
nilai rata-rata1,27. Hasil analisis shift share
menunjukkan nilai rata-rata komponen pertumbuhan proporsional (Pj) positif sebesar
671,44254, yang menunjukkan bahwa sektor ini
memiliki pertumbuhan lebih cepat di tingkat
propinsi. Komponen Dj sebesar 561,76534
menunjukkan daya saing sektor ini meningkat
sehingga pertumbuhannya lebih cepat dari
propinsi.

Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran

h. Sektor Keuangan, Sewa dan Jasa Perusahaan


Dari hasil analisis location quotient sektor
keuangan, persewaan dan jasa perusahaan
merupakan sektor basis. Hasil analisis shift
share menunjukkan nilai rata-rata komponen
pertumbuhan proporsional (Pj) negatif sebesar 2654,9634 yang berarti bahwa sektor ini merupakan sektor yang tumbuh lambat di propinsi
Jawa Tengah. Nilai rata-rata komponen Dj
sebesar 6279,7015 menunjukkan daya saing
sektor ini meningkat sehingga pertumbuhannya
lebih cepat dari propinsi.
i.

Sektor Jasa-jasa
Sektor jasa-jasa berdasarkan hasil analisis LQ
termasuk dalam sektor non basis. Hasil analisis

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

shift share menunjukkan nilai rata-rata komponen pertumbuhan proporsional (Pj) positif
sebesar 441425,8553 berarti bahwa sektor ini
merupakan sektor yang tumbuh cepat di propinsi
Jawa Tengah. Nilai komponen Dj sebesar 4533,71247 menunjukkan daya saing sektor ini
menurun sehingga pertumbuhannya lebih lambat
dibanding pertumbuhan di propinsi.

2. Memantapkan program keterkaitan antar sektor


ekonomi baik antara sektor basis maupun non
basis sehingga pertumbuhan semua sektor dapat
tumbuh dan berkembang minimal setara dengan
sektor-sektor sejenis secara nasional.
DAFTAR PUSTAKA

Kesimpulan

1. Berdasarkan hasil analisis location quotient


sektor-sektor potensial yang dapat diandalkan
selama tahun analisis 2000-2005 adalah sektor
pertanian, sektor listrik, gas dan air minum, sektor
bangunan, sektor keuangan, sewa dan jasa
perusahaan.
2. Berdasarkan hasil analisis keterkaitan wilayah
(Gravitasi) selama tahun analisis 2000-2005
menunjukkan bahwa Kabupaten yang paling kuat
interaksinya dengan Kabupaten Pati adalah
Kabupaten Kudus dengan nilai interaksi rata-rata
sebesar 1,491,863,31. Sedangkan yang paling
sedikit interaksinya adalah Kabupaten Jepara
dengan nilai interaksi rata-rata sebesar
138,810,362.3.
Saran

Dari hasil kesimpulan maka dapat disarankan


beberapa hal sebagai berikut :
1. Kepada pemerintah daerah Kabupaten Pati
selaku penggerak pembangunan daerah dapat
memberi perhatian pada sektor pertanian; sektor
listrik, gas dan air bersih; sektor bangunan; dan
sektor keuangan, sewa dan jasa perusahaan

sebagai sektor-sektor basis agar berkembang


lebih cepat.

Arikunto, Suharsimi,1998, Prosedur


Yogyakarta: Rineka cipta.

Penelitian,

Arsyad, Lincolin,1995, Pengantar Perencanaan dan


Pembangunan Ekonomi Daerah, Yogyakarta:
BPFE
Badan Pusat Statistik, 2006, Kabupaten Pati Dalam
Angka
Djojohadikusumo, Sumitro, 1995, Perkembangan
Pemikiran Ekonomi Dasar Teori Ekonomi
Pertumbuhan dan Ekonomi Pembanguna,
Jakarta: LP3ES.
Glasson, John, 1990, Pengantar Perencanaan Regional, terjemahan Paul Sitohang, Jakarta: LPFE
UI
Prasetyo, Supomo, 1993, Analisis Shift- Share:
Perkembangan dan Penerapan, Yogyakarta:
JEBI
Soeratna dan Lincolin Arsyad,1988, Metodologi
Penelitian Untuk Ekonomi Dan Bisnis,
Yogyakarta: BPFE
Suryana, 2000, Model Gravitasi sebagai Alat Pengukur Hiterland dari Central Placa: Satu Kajian
Teoritik, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia.
Yogyakarta:UGM
Warpani, Suwardjoko, 1984, Analisis Kota dan
Daerah, Bandung: Penerbit ITB.

Analisis Tingkat Pertumbuhan Ekonomi dan Potensi Ekonomi: . . . (Prishardoyo: 1 - 8)

DAMPAK PERTUMBUHAN EKONOMI KOTA SEMARANG


TERHADAP KEMACETAN LALULINTAS DI WILAYAH PINGGIRAN DAN
KEBIJAKAN YANG DITEMPUHNYA
Etty Soesilowati
Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang
email:ettysoesilowati@yahoo.com

ABSTRACT

The aim of this research is to know how much is the impact of Semarang economics growth to the
intensity of traffic jam on Semarang Mranggen road, and, what is the strategy to solve it. This research
used descriptive percentase and SWOT analysis. The economics growth which is measured is Gross
Domestic Product per capita (PDRB) during 1996 2005, and it had become a free variable. Meanwhile,
the level of the annual average traffic jam during 1996 2005 had become a bounded variable. To know
the policy strategy, it was done by interviewing some stake holders that has an authority in the field of
transportation. The result of this research showed that the economics growth of Semarang city had
impact on individual role to the traffic jam as sum of 80,9%. The rest, 44,6% was influenced by some
other things such as the activity of micro trader (PKL), parking man, public transportation and also people
who crossed the road. Based on SWOT analysis, the most appropriate strategy to solve the traffic jam is
by integrated horizontal strategy. It means, all institutions that subordinated by Local Government
(Pemda) such as Bapeda, Dinas Perhubungan dan Satpol PP, should work together to overcome the
traffic jam based on each authority. Nevertheless, the role of the police of Demak County as a vertical
institution is not less important. In the long run, it is important to develop a modern public transportation
system which is integrated, comfortable and also efficient, geometry road system that will be able to
avoid the traffic intersection, and also to educate people how to do a good manner in traffic
Keywords: Economic Growth, Traffic Jam, Policy Strategic.
PENDAHULUAN

Kota merupakan pusat perdagangan, pusat


industri, pusat pertumbuhan, simpul distribusi, pusat
permukiman atau daerah modal. Sedangkan daerah
di luar pusat konsentrasi tersebut dinamakan dengan
berbagai istilah, seperti daerah pedalamn, wilayah
belakang atau pinggiran (hinterland).
Daerah perkotaan seperti Semarang yang sarat
akan berbagai fasilitas, prasarana dan sarana secara
logis tentu memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang
lebih cepat jika dibanding dengan wilayah yang
berada di luarnya. Di satu sisi pertumbuhan ini
menyebabkan semakin terbukanya kesempatan kerja
baru, di sisi lain pertumbuhan ini berdampak pada
meningkatnya jumlah penduduk di wilayah pinggiran
yang berbatasan langsung dengan Kota semarang,
antara lain Kecamatan Mranggen di Kabupaten
Demak, Kecamatan Ungaran di Kabupaten Semarang, dan Kecamatan Kaliwungu di Kabupaten
Kendal.

Berdasarkan data dalam buku Kecamatan


Dalam Angka, pada tahun 2001 jumlah penduduk
Kecamatan Mranggen, Ungaran, dan Kaliwungu
secara berturut-turut adalah sebesar 123.721 jiwa,
110.546 jiwa, dam 88.156 jiwa. Namun dalam kurun
waktu lima tahun jumlah penduduk Kecamatan
Mranggen meningkat menjadi 127.131 jiwa, Kecamatan Ungaran 124.872 jiwa, dan Kecamatan
Kaliwungu 91.515 jiwa. Jika dilihat dari tingkata
kepadatan penduduk, maka tingkat kepadatan
penduduk tertinggi adalah di Kecamatan Mranggen
yaitu sebesar 1,740 jiwa/km 2.
Perkembangan daerah-daerah pinggiran Kota
Semarang tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan intensitas pergerakan manusia yang tercermin
dari peningkatan arus lalulintas pada jam-jam
teretntu di pintu-pintu masuk kota. Hal itu paling
terlihat di Kecamatan Mranggen, dimana pagi dan
sore hari terjadi kemacetan lalulintas akibat penumpukan kendaraan pribadi, sepeda maupun angkutan
umum yang membawa penduduk Mranggen ke Kota

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

Semarang. Jika dilihat dari mata pencahariannya,


sebagian besar penduduk Mranggen banyak yang
bekerja di sektor pertanian. Namun pertumbuhan
penduduk di sektor ini semakin berkurang dikarenakan semakin menyempitnya lahan pertanian di satu
sisi, sedangkan di sisi lain pertumbuhan industri di
kota semakin cepat sehingga banyak penduduk yang
beralih profesi menjadi buruh industri dan bekerja di
sector informal (buruh bangunan, pedagang, dan
lain-lain)
Kecamatan Mranggen sebagai salah satu jalur
pintu masuk ke Kota Semarang dari arah Timur ini
dilalui jaringan jalan propinsi dengan fungsi kolektor
primer (penghubung antar kota kecamatan maupun
antar ibukota kabupaten) yaitu jalan Raya Mranggen.
Di sepanjang Jalan Raya Mranggen ini terdapat
beberapa persimpangan yang merupakan pangkal
dari beberapa ruas jalan protokol (jalan yang
menghubungkan antar bagian wilayah kecamatan
atau antar pusat kegiatan) yang ada di Kecamatan
Mranggen. Tingkat kepadatan lalulintas tersebut
dapat disajikan pada tabel 1 dibawah.
Tabel 1. menunjukan tingkat kepadatan lalulintas pada jam sibuk (pukul 06.00 08.00 dan
16.00 18.00) di berbagai ruas jalan lokal di
Kecamatan Mranggen. Jalan Raya Mranggen selain
merupakan pangkal dari beberapa ruas jalan lokal,
jalan ini juga dilalui oleh mobilitas penduduk
Kabupaten Grobokan maupun Kabupaten Blora yang
menuju Kota Semarang. Untuk mewujudkan system
transportasi yang tertib, lancar, nyaman serta
terintegrasi diperlukan penelitian untuk menyusun
alternative kebijakan yang dapat memecahkan
masalah sekaligus mendukung pertumbuhan

ekonomi wilayah sekitarnya.


LANDASAN TEORI

Menurut Permendagri No.2 Tahun 1987 Pasal 1


menyebutkan bahwa Kota adalah pusat permukiman
dan kegiatan penduduk yang mempunyai batasan
administrasi yang diatur dalam perundang-undangan,
serta permukiman yang telah memperlihatkan watak
dan cirri kehidupan perkotaan. Kota memiliki ciri-ciri:
(1) secara administratif adalah wilayah keruangan
yang dibatasi oleh batas administrasi atas dasar
ketentuan perundang-undangan yang berlaku; (2)
secara fungsional sebagai pusat berbagai kegiatan
fungsional yang didominasi oleh fungsi jasa,
distribusi, dan produksi kegiatan-kegiatan pertanian;
(3) secara sosial ekonomi merupakan konsentrasi
penduduk yang memiliki kegiatan usaha dengan
dominasi sektor non pertanian, seperti industri,
perdagangan, transportasi, perkantoran, dan jasa
yangsifatnya heterogen; (4) secara sosial budaya
merupakan pusat perubahan budaya yang dapat
mempengaruhi pola nilai budaya yang ada; (5)
secara fisik merupakan suatu lingkungan terbangun
(built up area) yang didominasi oleh struktur fisik
binaan; (6) secara geografis merupakan suatu pemusatan penduduk dan kegiatan usahayang secara
geografir akan mengambil lokasi yang memiliki nilai
strategis secara ekonomi, sosial, maupun fisiografis;
(7) secara demografis diartikan sebagai tempat
dimana terdapat konsentrasi penduduk yang
besarnya ditentukan berdasarkan batasan statistik
tertentu.
Secara

teoritik

Charles

C.Colby

dalam

Tabel 1. Panjang Ruas Jalan dan Tingkat Kepadatan Lalulintas di Kecamatan Mranggen
No.

Nama Ruas

Panjang Ruas Jalan


(m)

Volume
(V)

Kapasitas Jalan
(C)

V/C

Kecepatan Rata-rata
(km/jam)

1.

Mranggen-Banyumeneng

10.170

473

1.920

0,25

23,24

2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Mranggen- Bulusari
Candisari- Karanggawang
Kangkung-Tlogorejo
Jalan SMU Mranggen
Brambang- Waru
Mranggen- Kebonbatur
Banyumeneng- Kawengan

6.570
3.375
7.600
2.400
8.460
4.200
2.300

294
274
231
112
128
133
-

1.920
858
858
857
857
862
862

0,15
0,32
0,27
0,13
0,15
0,15
-

30,32
22,62
19,52
18,23
20,24
25,60
-

Sumber : Studi Manajemen Transportasi, 2006


10

Dampak Pertumbuhan Ekonomi Kota Semarang . . .. (Soesilowati: 9 - 17)

Daldjoeni (1992: 171) menjelaskan adanya dua daya


yang menyebabkan kota berekspansi atau memusat,
yaitu daya sentripetal dan daya sentrifugal. Daya
sentripetal adalah daya yang mendorong gerak ke
dalam dari penduduk dan berbagai kegiatan usahanya, sedangkan daya sentrifugal adalah daya yang
mendorong gerak ke luar dari penduduk dan berbagai usahanya dan menciptakan disperse kegiatan
manusia dan relokasi sektor-sektor dan zone-zone
kota.
Adapun faktor-faktor yang mendorong gerak
sentripetal adalah: (1) adanya berbagai pusat pelayanan, seperti pusat pendidikan, pusat perbelanjaan,
pusat hiburan dan sebagainya; (2) mudahnya akses
layanan transportasi seperti pelabuhan, stasiun
kereta, terminal bus, serta jaringan jalan yang bagus;
(3) tersedianya beragam lapangan pekerjaan dengan
tingkat upah yang lebih tinggi. Sedangkan factorfaktor yang mendorong gerak sentrifugal adalah : (1)
adanya gangguan yang berulang seperti macetnya
lalulintas, polusi, dan gangguan bunyi-bunyian yang
menimbulkan rasa tidak nyaman; (2) harga tanah,
pajak maupun sewa di luar pusat kota yang lebih
murah jika dibandingkan dengan pusat kota; (3)
keinginan untuk bertempat tinggal di luar pusat kota
yang terasa lebih alami (Daldjoeni, 1992 : 172)
Selain daya sentifugal maupun sentripetal,
pemekaran wilayah dapat juga terjadi karena adanya
kebijakan pemerintah yang sengaja mengembangkan kota tersebut dengan cara membangun infrastruktur dan mendatangkan berbagai investor sesuai
dengan potensi yang dimilikinya. Wilayah pinggiran
atau yang disebut sebagai suburbia secara ekologis
merupakan kawasan dimana terjadi invasi (masuknya penduduk baru) dan adanya peraturan daerah
yang lemah (lax zoning regulation) yang menginginkan tersebarnya bangunan-bangunan baru
seperti pompa bensin, restoran, tempat hiburan dan
lain sebagainya. Wilayah pinggiran biasanya dibangun tanpa rencana dimana tata guna lahan
ditangani secara semrawut. Meski kawasan tersebut
status resminya perdesaan (rural) tetapi dalam
kenyataannya merupakan campuran rural-urban.
Daerah pinggiran atau perbatasan memiliki
karakteristik, dimana daerah pinggirannya berbasis
sumberdaya alam (primer) dan daerah pusat merupakan penghasil barang dan jasa (sekunder/tersier).
Dengan demikian apabila wilayah pusat (core)

berkembang, maka wilayah pinggiran (periphery)


juga akan turut berkembang sehingga dalam jangka
panjang core-periphery akan habis. Hal tersebut
dapat terjadi karena adanya perluasan pasar,
penemuan sumber baru, perbaikan sarana transportasi dan kebijakan daerah yang mendukung. Namun
apabila core-periphery terlalu jauh, maka dampak
dari perkembangan core terhadap periphery tidak
terasa.
Hilmann dalam Daldjoeni (1992:189) memprediksi terjadinya interaksi spasial tersebut disebabkan
beberapa faktor: pertama, adanya wilayah yang
berbeda kemampuan sumberdayanya (satu pihak
berlebihan, sementara pihak yang lain kekurangan)
sehingga terjadi aliran yang sangat besar dan
membangkitkan interaksi spasial yang tinggi. Kedua,
adanya fungsi jarak yang diukur dalam biaya dan
waktu yang nyata, termasuk karakteristik khusus dari
komoditas yang ditransfer. Komoditas yang dihasilkan tertentu dan dibutuhkan oleh daerah lain memiliki
nilai transfer yang cukup tinggi. Intensitas interaksi
akan berkurang bila jarak kedua daerah semakin
jauh. Sementara arus yang terjadi dapat berwujud
arus ekonomi, sosial, politik maupun arus informasi.
Interaksi spasial terdiri dari: pertama, keterkaitan fisik yang berbentuk integrasi manusia melalui
jaringan transportasi. Kedua, keterkaitan ekonomi
yang berkaitan dengan pemasaran sehingga terjadi
aliran komoditas berbagai jenis barang/ jasa serta
modal, dan juga keterkaitan produksi ke depan
(foward linkage) maupun kebelakang (backward
linkage) diantara berbagai kegiatan ekonomi. Ketiga,
keterkaitan atau pergerakan penduduk dengan pola
migrasi, baik permanen maupun kontemporer.
Keempat, keterkaitan teknologi terutama peralatan,
cara dan metode produksi yang harus terintegrasi
secara spasial dan fungsional. Kelima, keterkaitan
sosial yang merupakan dampak dari keterkaitan
ekonomi terhadap pola hubungan sosial penduduk.
Keenam, keterkaitan pelayanan sosial seperti rumah
sakit, sekolah dan sebagainya. Ketujuh, keterkaitan
administrasi, politik dan kelembagaan misalnya
struktur perbatasan administrasi maupun sistem
anggaran.
Carrothers dalam Tarigan (2004) telah menganalogikan formulasi interaksi dengan hukum gravitasi, yang dijabarkan sebagai berikut:

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

11

I ij =

f (Pi Pj)
f (Dij)2

Keterangan:
I ij = Interaksi antara tempay i dan tempat j
P i = Penduduk i
P j = Penduduk j
D ij = Jarak antara tempat i dan tempat j
Hukum gravitasi tersebut memberikan gambaran
bahwa semakin besar I ij maka semakin erat hubungan kedua wilayah tersebut, dan semakin tinggi pula
pertumbuhan ekonomi yang terjadi.
Sementara pertumbuhan ekonomi menggambarkan proses kenaikan output perkapita dalam
jangka panjang, dimana persentase pertambahan
output itu haruslah lebih tinggi dari persentase
pertambahan jumlah penduduk. (Budiono dalam
Tarigan, 2004 : 44). Kondisi ini mensyaratkan bahwa
berbagai perubahan dalam pertumbuhan penduduk
perlu menjadi pertimbangan, karena jika suatu
kenaikan pendapatan nyata yang dibarengi dengan
pertumbuhan penduduk yang lebih cepat, maka akan
terjadi kemunduran ekonomi.
Ketimpangan yang terjadi antara satu daerah
dengan daerah lainnnya akan menyebabkan penduduk terdorong untuk melakukan migrasi dari satu
daerah ke daerah lain. Oleh karena itu pembangunan
daerah perlu diarahkan untuk lebih menyerasikan
laju pertumbuhan antar daerah melalui otonomi
daerah. Melalui otonomi daerah laju pertumbuhan
diharapkan akan semakin seimbang dan serasi
sehingga pelaksanaan pembangunan nasional
semakin merata di seluruh pelosok tanah air.
Adapun migrasi internal yang bersifat kedaerahan akan menyebabkan mobilitas penduduk ulangalik maupun sirkuler akan meningkat. Gejala ini
dimungkinkan karena banyak penduduk yang
bertempat tinggal jauh dari tempat kerja ataupun
pusat pendidikan. Dengan berkembangnya pola
mobilitas pinggiran-perkotaan, maka kebutuhan akan
alat transportasi yang efisien dan efektif menjadi
meningkat. Dalam masyrakat modern berbagai alat
transportasi memegang dua fungsi penting: pertama,
sebagai modal untuk mengangkut orang pergi ke
tempat kerja atau memindahkan barang dari suatu
tempat ke tempat lainnya. Kedua, sebagai barang
akhir untuk memenuhi berbagai keperluan sosial
masyarakat seperti rekreasi dan sebagainya.
12

Untuk memenuhi alat pengangkutan yang


efektif dan efisien sebagai sarana mobilitas, kendaraan pribadi menjadi pilihan dikarenakan sistem
transportasi publik memiliki karakteristik layanan
yang tidak konsisten, jadwal yang tidak pasti, serta
meningkatnya tarif sehingga minat penggunaan
transportasi kecil. Kebutuhan ruang yang berupa
ruas jalan secara kuantitas menjadi semakin berkembang sementara pemerintah terkendala dengan
anggaran yang terbatas. Kondisi ini menyebabkan
kemacetan dimana-mana, khususnya kota besar.
Kemacetan identik dengan kepadatan (density),
yang didefinisikan sebagai jumlah kendaraan yang
menempati suatu panjang tertentu dari lajur atau
jalan, dirata-rata terhadap waktu, biasanya dinyatakan dalam kendaraan per mil atau kendaraan perkilometer atau jalan. Namun karena setiap jenis kendaraan memiliki karakteristik pergerakan yang berbeda
yang disebabkan perbedaan dimensi, kecepatan,
percepatan maupun kemampuan manuver selain
pengaruh geometrik jalan, maka digunakan Satuan
Mobil Penumpang (SMP) untuk menyamakan satuan
dari masing-masing jenis kendaraan. Besarnya SMP
yang direkomendasikan oleh Direktorat Jendral Bina
Marga Jalan Indonesia (MKJI) adalah sebagai
berikut.
Tabel 2. Faktor Satuan Mobil Penumpang
No.

Jenis Kendaraan

Kelas

SMP

1.

Sedan
Oplet
Mikrobus
Pick Up

LV

1,00

Bus Standar
Truk Sedang
Truk Besar

HV

1,30

3.

Sepeda Motor

MC

0,50

4.

Becak
Sepeda
Andong, dll

UM

1,00

2.

Sumber : Direktorat Jendral Bina Marga (2002)


Keterangan : LV = Light Vehicle (Kendaraan Berat)
HV = Heavy Vehicle (Kendaraan Ringan)
MC = Motor Cycle (Sepeda Motor)
UM = Unmotorrized (Kendaraan Tak Bermotor)

Secara ekonomis, masalah kemacetan lalulintas akan menciptakan biaya sosial, biaya operasional
yang tinggi, hilangnya waktu, polusi uadara, tingginya

Dampak Pertumbuhan Ekonomi Kota Semarang . . .. (Soesilowati: 9 - 17)

angka kecelakaan, bising, dan juga menimbulkan


ketidaknyamanan bagi pejalan kaki. Sementara
untuk mengelola sebuah pertumbuhan beserta
implikasinya diperlukan kebijakan-kebijakan yang
terintegrasi antar aktor-aktor yang terlibat. Kebijakan
itu sendiri menurut Anderson merupakan langkah
tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan
adanya masalah atau persoalan tertentu yang
dihadapai (1986 : 58)
Kelembagaan merupakan salah satu aspek
penting dalam konteks analisis subsistem kebijakan
karena aspek kelembagaan akan banyak berperan
dalam setiap siklus kebijakan, mulai dari perencanaan sampai dengan timbulnya umpan balik. Bagaimana sebuah kebijakan dirancang, direncanakan,
didesain, diimplementasikan dan dievaluasi akan
membutuhkan partisipasi kelembagaan. Apabila
aktor menunjuk pada orang perorangan, maka
kelembagaan merupakan sebuah totalitas orang
perorangan yang terikat pada norma dan tatanan
organisasi. Dalam konteks kelembagaan, penyampaian kebijakan (delivery system) telah menjadi
perhatian utama, khususnya dalam penyediaan
layanan publik. Penyediaan pelayanan publik dilakukan melalui seperangkat institusi dan instrumen
yang kompleks dan beragam disebut sebagai
campuran (delivery mixes) Delivery mixed dalam
konteks pelayanan publik melibatkan interaksi antara
sektor privat, sukarela (voluntary) dan komunitas.
Hubungan antara privat, komunitas dan sukarela
oleh Colebatch dan Lamour dikatakan merupakan
hubungan yang terus menerus mengalami
perubahan.
METODE PENELITIAN

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan populasi


penduduk Kecamatan Mranggen yang melakukan
mobilitas ulang-alik ke Kota Semarang dan stakeholder dibidang kelalulintasan, meliputi: Satlantas
Polres Demak dan Kepala Kantor Perhubunan
Kabupaten Demak. Pengambilan sampel dilakukan

dengan teknik purposive random sampling dengan


pertimbangan jumlah populasi yang tak tentu.
Adapun variabel yang diteliti adalah pertumbuhan ekonomi Kota Semarang mulai tahun 2001
2005 yang diukur dari PDRB perkapitanya , variabel
laju kenaikan tingkat kemacetan tahun 2001 2005
di Kecamatan Mranggen yang diukur dari tingkat
kepadatan lalulintas.
Pengumpulan data dilakukan dengan metode
dokumentasi, wawancara, dan observasi. Metode
dokumentasi dipergunakan untuk mencari data
PDRB dan data arus lalulintas, metode wawancara
untuk menjaring pendapat para menglaju, langkahlangkah yang ditempuh Pemda serta strategistrateginya. Sedangkan metode observasi digunakan
untuk mendukung data-data kuantitatif seperti kondisi
riil sistem transportasi, sebab-sebab kemacetan serta
titik-titik kemacetan terjadi.
Data dianalisis menggunakan analisis deskriptif
persentase untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi
Kota Semarang dan tingkat kemacetan di Kecamatan
Mranggen, analisis gravitasi, serta metode analisis
SWOT untuk merumuskan strategi yang tepat dalam
mengatasi kemacetan tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN.

Untuk mengetahui seberapa kuat keterkaitan


(inter linkage) antara pusat dengan pinggirannya
digunakan model gravitasi yang meliputi keterkaitan
antara Kota Semarang terhadap Kecamatan
Mranggen, Kecamatan Kaliwungu, dan Kecamatan
Ungaran. Semakin tinggi tingkat gravitasi maka bisa
dikatakan indikator kegiatan sosial dan ekonomi
kedua wilayah tersebut besar kaitannya. Hasil
perhitungan tingkat gravitasi dapat penulis sajikan
sebagai berikut pada tabel 3.
Hasil perhitungan analisis gravitasi tersebut
dapat diketahui bahwa dalam kurun waktu 5 tahun
Kecamatan Mranggen merupakan wilayah yang
paling kuat daya tariknya terhadap pusat kota
Semarang.

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

13

Tabel 3. Tingkat Gravitasi antara Kecamatan Mranggen, Kecamatan Kaliwungu dan Kecamatan Ungaran
Tahun 2001-2005
Kecamatan

Jarak ke Pusat

Mranggen
Kaliwungu
Ungaran

12 km
21 km
24 km

2001
67.046.471
15.599.414
14.976.679

2002
72.986.218
16.990.713
16.813.153

Tingkat Gravitasi
2003
2004
73.830.892
74.965.512
17.207.330
17.384.424
17.005.955
18.451.092

2005
75.664.133
17.785.037
18.579.913

Sumber : Data diolah

Dari klasifikasi jalan menunjukan bahwa jalan


raya Purwodadi-Semarang (Kec. Mranggen) berfungsi sebagai kolektor primer dan termasuk
golongan kelas II, yang berarti konstruksi permukaannya aspal beton. Tataguna lahan disepanjang
jalan berupa pasar, pertokoan dan beberapa
perkantoran. Berkaitan dengan berbagai aktivitas
yang terjadi di sekitar kawasan pasar, trotoar yang
digunakan untuk berdagang, parkir, angkutan umum
dan pejalan kaki memakan sebagian badan jalan dan
mengurangi lebar efektif jalur lalulintas jalan tersebut.
Adapun arus dan tingkat kepadatan lalulintas di
jalan raya Mranggen dan perkembangannya dapat
penulis sajikan sebagai berikut.
Tabel 4. Jumlah Arus dan Tingkat Kepadatan
Lalulintas di Jalan Raya Mranggen Tahun 2001
2005 serta Perkembangannya
Arus lalulintas
Tingkat Kepadatan PertumTahun Rata-rata Tahunan
Lalulintas
buhan
(smp/jam)
(smp/km)
(%)
2001
12.970,80
324,27
2002
13.008,60
325,22
1,29
2003
13.188,60
329,72
1,60
2004
13.317,85
332,95
0,75
2005
13.387,95
334,70
0,54
Sumber: Data Diolah

Hasil perhitungan menunjukan bahwa setiap


kenaikan nilai PDRB per kapita sebesar satu satuan,
maka akan diikuti kenaikan kemacetan lalulintas di
Kec. Mranggen sebesar 0,0000173. Atau jika PDRB
per kapita naik sebesar Rp.100.000,- maka kemacetan naik sebesar 1,73 smp/jam.
Besarnya kontribusi PDRB per kapita Kota
Semarang terhadap kemacetan lalulintas di Kecamatan Mranggen adalah sebesar 65,4%, sedangkan
sisanya 44,6% dipengaruhi oleh faktor lain seperti
adanya aktivitas PKL, parkir, angkutan umum, serta

14

penyeberang jalan dan simpang tak bersinyal. Hal ini


sejalan dengan pendapat Sukirno (1976 :169) yang
mengatakan bahwa jumlah kendaraan bermotor yang
dimiliki oleh warga masyarakat berkembang pesat
sebagai akibat dari pertambahan pendapatan di
perkotaan serta kemajuan teknologi kendaraan
bermotor.
Lebih jauh, fungsi kendaraan sebagai modal
memiliki arti bahwa kendaraan sebagai input untuk
menaikan produktivitas harus efisien. Contoh kasus
apabila seorang penduduk harus mengeluarkan
biaya perjalanan untuk berangkat dan pulang kerja
dalam jarak tertentu difungsikan sebagai biaya tetap
(FC), artinya jumlah biaya yang dikeluarkan tetap
meskipun waktu tempuh perjalanan bisa lebih cepat
atau lebih lambat. Jadi biaya totalnya sama dengan
biaya tetap (TC = FC). Untuk mendukung produktivitasnya, dia mengeluarkan biaya untuk membeli
sepeda motor yang disebut biaya marginal (MC).
Setelah memiliki sepeda motor nilai FC akan turun
dan menimbulkan biaya variabel (VC) yaitu berupa
biaya pemeliharaan sepeda motor, sehingga TC =
FC + VC. Namun dalam kenyataannya TC perjalanan
dengan angkutan umum > TC perjalanan dengan
sepeda motor.
Sementara hasil wawancara juga menunjukan
bahwa penyebab kemacetan juga diakibatkan oleh
aktivitas pasar Ganefo yang terletak di sebelah Timur
pasar Mranggen, banyaknya becak, dokar serta
angkuta umum yang ngetem di pinggir jalan, dimana
disepanjang jalan tersebut terdapat beberapa industri
besar.
Instansi perhubungan sendiri tidak mempunyai
kebijakan yang riil untuk mengurangi masalah
kemacetan lalulintas. Tapi sebagai instansi di bawah
Pemda bersama-sama dengan Bappeda dan Satpol
PP telah memiliki kebijakan untuk menertibkan PKL
dan tempat parkir. Sebenarnya dipersimpangan

Dampak Pertumbuhan Ekonomi Kota Semarang . . .. (Soesilowati: 9 - 17)

sebelah Barat pasar Mranggen sudah dipasang


traffic light, tapi nampaknya tidak bisa efektif
dioperasionalkan karena volume kendaraan yang
tidak seimbang. Selain itu ada pihak-pihak tertentu
yang tidak setuju kalau traffic light diaktifkan, yaitu
para tukang parkir dan ojeg yang memiliki pekerjaan
sampingan sebagai penjual jasa penyeberangan
(polisi capek).
Sementara langkah-langkah yang telah dilakukan oleh instansi Polisi sebagai instansi vertikal:
pertama, mengatur lalulintas secara langsung pada

jam-jam sibuk dengan menurunkan petugas di titiktitik kemacetan seperti persimpangan dan pasar.
Kedua, Memasang pembatas jalan (traffickun) yang
berfungsi melebarkan jalur ke Semarang kalau esok
hari dan sebaliknya di sore hari. Ketiga, menindak
tegas pengguna jalan yang tidak mematuhi aturan
lalulintas.
Di satu sisi langkah-langkah kebijakan tersebut
efektif, namun di sisi lain masih ada kendala-kendala
yang ke depannya perlu ditangani, antara lain:
pertama, masih kurangnya kesadaran masyarakat

Tabel 5. Hasil Analisis SWOT


1. Identifikasi faktor-faktor strategis eksternal
Faktor Strategis Eksternal
Peluang:
Pertumbuhan pelayanan angkutan umum
Penempatan polisi lalulintas di simpang tak bersinyal pada jam sibuk
Penambahan kapasitas jalan dengan memperlebar median jalan khusus
pada jam sibuk
Adanya pemasangan traffic light di persimpangan
Penindakan tegas bagi pelanggar lalulintas
Ancaman:
Pertumbuhan penduduk
Mobilitas penduduk yang tinggi
Ketidaknyamanan dan inefisiensi angkutan umum
Pertumbuhan permintaan kendaraan pribadi terutama sepeda motor
Jenis kendaraan besar sampai ringan melintas jalan ini
Total

Bobot

Peringkat

Skor

0,05
0,10
0,20

3
4
4

0,15
0,40
0,80

0,10
0,10

3
4

0,30
0,40

0,15
0,03
0,10
0,15
0,02
1

1
2
1
1
2

0,15
0,06
0,10
0,15
0.04
2,55

Bobot

Peringkat

Skor

0,05
0,15
0,10
0,05
0,10

3
4
4
3
4

0,30
0,60
0,40
0,15
0,40

0,15
0,20
0,02
0,15

2
1
2
1

0,30
0,20
0,04
0,15

0,03
1

0.06
2,60

2. Identifikasi faktor-faktor Strategis internal


Faktor Strategis Internal
Kekuatan:
Kondisi jalan dalam keadaan baik
Kapasitas efektif jalan yang memadai
Dekat dengan kantor Polsek dan Pos Polisi
Rambu lalulintas cukup jelas untuk dilihat
Kesadaran pengguna jalan dalam berlalulintas
Kelemahan:
Arus lalulintas kendaraan meningkat pada jam sibuk
Banyaknya kegiatan ekonomi penduduk yang memakai badan jalan
Banyaknya penyeberang jalan
Aktivitas angkutan umum yang menaikan /menurunkan penumpang serta
berhenti di sembarang tempat
Adanya simpang tak bersinyal
Total
Sumber : Data diolah

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

15

berlalulintas terutama para pengguna sepeda motor


dan angkot. Kedua, belum berfungsinya traffic light di
persimpangan. Ketiga, adanya becak dan andong
yang parkir di sembarang tempat. Keempat, banyaknya mobil barang dan truk yang diparkir di bahu
jalan.
Untuk memperoleh formulasi strategi kebijakan
yang tepat untuk mengatasi masalah kemacetan
dipergunakan analisis SWOT dengan tahapan
seperti tersaji pada tabel 5.
Dari total skor yang diperoleh, yaitu faktor
strategis eksternal sebesar 2,55 dan faktor strategis
internal sebesar 2,60 menunjukan titik koordinat
terletak di daerah pertumbuhan V pada internaleksternal matrik, yang berarti strategi kebijakan

pemecahan masalah kemacetan harus melalui


integrasi horisontal.
Dari hasil analisis dengan menggunakan teknik
SWOT, dapat diajukan beberapa strategi kebijakan
yang dapat digunakan oleh Pemda Kab. Demak dan
Satlantas Polres Demak, yaitu strategi kebijakan
integrasi horisontal. Artinya instansi-instansi yang
bersifat horisontal, yaitu Bappeda, Kantor
Perhubungan, dan Satuan Polisi Pamong Praja
(Satpol PP) berkoordinasi dalam satu bingkai
kebijakan dan bekerja sesuai dengan tugas dan
kewenangannya. Sementara Polres Demak memiliki
tanggungjawab untuk menciptakan ketertiban
berlalulintas. Dengan adanya strategi kebijakan
tersebut diharapkan akan tercipta sistem transportasi
yang lancar dan terintegrasi, membentuk pola

Tabel 6. Matriks SWOT


Faktor Internal

Kekuatan

Arus lalulintas kendaraan

Kapasitas efektif jalan yang

Banyaknya kegiatan ekonomi

baik

memadai

Dekat dengan kantor Polsek


dan Pos Polisi

Rambu lalulintas cukup jelas


untuk dilihat

Kesadaran pengguna jalan

Faktor Eksternal

Kelemahan :

Kondisi jalan dalam keadaan

dalam berlalulintas

Peluang :
Pertumbuhan pelayanan angkutan
umum
Penempatan polisi lalulintas di simpang
tak bersinyal pada jam sibuk
Penambahan kapasitas jalan dengan
memperlebar median jalan pada jam
sibuk
Adanya pemasangan traffic light di
persimpangan
Penindakan tegas bagi pelanggar
lalulintas

Strategi SO
Meningkatkan efisiensi kinerja
persimpangan dengan
mendirikan pos penjaga
lalulintas dan memasang traffic
light
Menciptakan kawasan tertib
lalulintas dengan memantau
pengguna jalan, jika terjadi
pelanggaran langsung ditindak

Ancaman :
Pertumbuhan penduduk
Mobilitas penduduk yang tinggi
Ketidaknyamanan dan inefisiensi
angkutan umum
Pertumbuhan permintaan kendaraan
pribadi terutama sepeda motor
Jenis kendaraan besar sampai ringan
melintas jalan ini

Strategi ST
Lebih meningkatkan efektivitas
sistem kinerja jalan dengan
sebisa mungkin meminimalkan
tingkat hambatan
Membenahi menejemen
angkutan umum agar tercipta
sistem transportasi publik yang
efektif dan efisien

meningkat pada jam sibuk

penduduk yang memakai badan


jalan
Banyaknya penyeberang jalan
Aktivitas angkutan umum yang
menaikan /menurunkan
penumpang serta berhenti di
sembarang tempat
Adanya simpang tak bersinyal
Strategi WO

Menertibkan PKL di setiap pasar


dengan pengelolaan parkiran
yang baik
Meningkatkan pengawasan
aktivitas angkutan umum karena
berpotensi melanggar aturan
lalulintas

Strategi WT

Segera membangun jalan lingkar


sebagai jalur alternatif sesuai
RUTRK (Rencana Umum Tata
Ruang Kota) Kabupaten Demak
Mendirikan tempat
pemberhentian angkutan umum
(halte)

Sumber: Data diolah


16

Dampak Pertumbuhan Ekonomi Kota Semarang . . .. (Soesilowati: 9 - 17)

Butcher, H.A. Glen, P.Henderson and J.Smith, (eds)


1993, Community and Public Policy. London:
Pluto Press.

mobilitas pinggiran-perkotaan yang tidak timpang,


bahwa migrasi internal yang bersifat antar daerah
dan perdesaan-perkotaan akan terus berlangsung
sampai kesenjangan pendapatan, kesempatan kerja
dan fasilitas sosial semakin berkurang.

Chambers, Robert 1983, Rural Development Putting


the Last First, Published by Longman Inc.

KESIMPULAN DAN SARAN

Daldjoeni, N., 1992, Geografi Baru: Organisasi


Keruangan Dalam Teori dan Praktek, Bandung :
Penerbit Alumni.

Dari hasil analisis data dapat ditarik kesimpulan


sebagai berikut: pertama, pengaruh laju pertumbuhan ekonomi Kota Semarang terhadap tingkat
kemacetan di Kec. Mranggen sebesar 65,4%. Kedua,
adanya faktor lain yang memiliki kontribusi terhadap
tingkat kemacetan, yaitu aktivitas PKL, parkir,
angkutan umum, serta penyeberang jalan sebesar
34,6%.
Adapun saran yang dapat diberikan adalah:
pertama, untuk mencegah penduduk menggunakan
mobil pribadi, dalam jangka panjang perlu diciptakan
sistem transportasi publik yang modern, nyaman dan
efisien semacam Busway dan KRL. Kedua, jika perlu
dibangun sistem geometri jalan yang dapat menghindarkan traffic semacam Fly over sehingga
kemacetan di persimpangan dapat dihindari. Ketiga,
untuk kedepannya perlu perencanaan jalan lingkar
serta pembinaaan SDM transportasi dalam disiplin
berlalulintas serta penegakan hukum.
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, J.E., 1986, Public Policy Making, New


York: Holt, Praeger
Arsyad, Lincolin, 1997, Ekonomi Pembangunan.
Yogjakarta: Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi
Ilmu Ekonomi YKPN

Dunn, W.N., 2000, Public Policy Analysis: An


Introduction. Pengantar Kebijakan Publik.
Muhadjir Darwin (Penyunting), Pengantar
Analisis Kebijakan Publik, Edisi Kedua,
Yogyakarta: Gajah Mada Univertity Press.
Dye, T.R. 1978. Understanding Public Policy.
Prentince- Hall. Inc. Englewood Cliff. New Jersey.
Hauser, Philip M, 1982, Population and The Urban
Future, Masri Maris (penterjemah). 1985,
Penduduk dan Masa Depan Perkotaan, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Heidenheimer, A.J., Heglo, H., and Adams, C.T.,
1996, Comparative Public Policy, New York: ST.
Martins Press.
Laswell, HD., 1971, A Preview of Policy Sciences,
New Yprk: American Elsevier.
Parson, Wayne, 1995 Public Policy: An Introduction
to The Theory and Practice of Policy Analysis,
USA: Edward Elgar Publishing,Inc.
Rangkuti, Freddy, 1997, Analisis Swot: Teknik
Membedah Kasus Bisnis-Reorientasi Konsep
Perencanaan Strategis Untuk Menghadapi Abad
21, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Starling, O.G., 1998, Managing The Public Sector,
Houston: Harcourt Brace College Publisher.
Tarigan, Robinson, 2004, Ekonomi Regional Teori &
Aplikasi, Jakarta: Bumi Aksara.

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

17

THE QUALITY OF GROWTH:


PERAN TEKNOLOGI DAN INVESTASI HUMAN CAPITAL
SEBAGAI PEMACU PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS
P. Eko Prasetyo
Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang
e-mail:prasetyo.dr.eko@gmail.com

ABSTRACT

In the process of developing economy in a whole and continuously, the macro economy stability of a
country is an essential prerequisite for producing a quality economic growth. For achieving the quality
economic growth, there should be a continuous capital human investment and the use of continuous
science and technology (IPTEK). The process of developing economy will be able to transform the
society condition from vicious circle to virtuous circle condition if the growth of economy is qualified.
Keywords: Quality of growth; human capital, technology and virtuous circle.
PENDAHULUAN

Menurut Presiden SBY visi Indonesia kedepan


yang hendak diwujudkan pada tahun 2030 adalah
menjadi negara maju yang unggul dalam pengelolaan kekayaan alam secara berkelanjutan atau
kualitas hidup modern yang merata, self growth.
Salah satu sasaran utama untuk mewujudkan hal
tersebut adalah bukan hanya pertumbuhan ekonomi
semata, tetapi growth with equity (pertumbuhan
disertai pemerataan). Karena itu, untuk mewujudkan
visi tersebut menurut presiden SBY (2008) perlu
dirumuskan; growth must be inclusive, growth must
be broad based, growth must be just.
Karena itu, tujuan pelaksanaan pembangunan
ekonomi dalam rencana kerja pememerintah (RKP)
tahun 2008 adalah untuk peningkatan kesejahteraan
masyarakat secara utuh. Untuk mencapai tujuan
tersebut, pemerintah telah menetapkan beberapa
target; (1) percepatan pertumbuhan ekonomi (pro
growth) yang berkualitas dengan dukungan stabilitas
ekonomi yang tetap terjaga; (2) megurangi
pengangguran (pro-job); (3) mengurangi kemiskinan
(pro-poor), (Indrawati, 2007). Menurut Mentri
Keuangan Sri Mulyani Indrawati (2007), pengelolaan
ekonomi yang pro growth dimaksudkan untuk
mendorong pecepatan pertumbuhan ekonomi yang
berkualitas dengan disertai pemerataan distribusi
pendapatan (growth with equity). Karena itu,
pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan salah

18

satu sasaran pokok yang menjadi indikator perbaikan


kondisi perekonomian.
Pokok persoalannya adalah bahwa sasaran
pertumbuhan ekonomi yang tinggi saja belumlah
cukup menjadi jaminan bahwa kesejahteraan masyarakat akan meningkat secara merata. Oleh karena
itu, laju pertumbuhan ekonomi seyogyanya harus
diiringi dengan pmerataan distribusi pendapatan
sebagai dua sasaran yang sama pentingnya yang
harus dicapai agar hasil-hasil pertumbuhan tersebut
dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Dengan
kata lain, sasaran pembangunan tidak hanya
berhenti sampai dengan laju pertumbuhan ekonomi
yang tinggi saja seperti yang selama ini dilakukan,
melainkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas
dengan memperhitungkan pemerataan pendapatan
serta pengentasan kemiskinan dan pengangguran.
Pengelolaan ekonomi yang pro job lebih
ditekankan pada percepatan perluasan lapangan
pekerjaan. Dengan pertumbuhan ekonomi yang
tinggi dan berkualitas mampu mencerminkan adanya
peningkatan aktivitas dunia usaha dan ekonomi yang
pada gilirannya akan memberikan peluang besar
kepada angkatan kerja di pasar. Karena itu, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas baru
dapat dicapai jika disertai dengan peningkatan kesempatan kerja dan penurunan tingkat pengangguran di masyarakat. Peningkatan jumlah partisipasi
angkatan kerja dan penurunan pengangguran
merupakan diskripsi kemampuan masyarakat untuk

The Quality of Growth: Peran Teknologi dan Investasi Human Capital . . . (Prasetyo: 18 - 31)

mengambil manfaat dari pertumbuhan ekonomi yang


tinggi dan menikmati bagian dari peningkatan
pendapatan. Dengan demikian, kondisi pengangguran di negara ini harus terus ditekan seminimal
mungkin. Karena itu, kebijakan pemerintah harus
mampu mendorong sektor riil yang banyak menyerap
tenaga kerja.
Selanjutnya, pengelolaan ekonomi yang pro
poor diarahkan untuk mengurangi kemiskinan.
Menurunnya jumlah penduduk miskin merupakan
indikator keharusan yang secara loangsung dapat
menunjukkan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Karena itu, berbagai kebijakan pemerintah dan
program pemerintah secara langsung maupun tidak
langsung harus mampu menyentuh masyarakat di
lapisan bawah. Karena itu, sasaran pembangunan
menjadi tidak hanya untuk peningkatan pendapatan,
melainkan juga harus mampu untuk memberikan
akses yang lebih luas kepada masyarakat seperti
dalam bidang pendidikan, kesehatan, air bersih dan
sebagainya. Upaya-upaya tersebut harus dilaksanakan sejalan dengan komitmen pemerintah dalam
menjalankan tujuan pembangunan millenium development goals (MDGs). Berdasrkan target-target
tersebut diharapkan dapat terciptanya distribusi
pendapatan yang lebih merata (growth with equality).
Untuk mewujudkan berbagai hal tersebut di
atas, maka kita mesti harus sadar bahwa masih
banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan agar
pertumbuhan ekonomi tidak hanya sekedar tinggi
saja melainkan juga harus berkualitas. Persaoalanya
adalah kita harus mampu mendayagunakan semua
potensi yang dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia,
baik itu modal alam atau fisik, modal manusia
(human capital), dan juga modal sosial (social
capital) serta kemampuan dan penguasaaan terhadap penggunaan teknologi. Perlu digaris bawai
bahwa, modal sosial mempunyai potensi dan peran
yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi
bangsa ini. Karena tanpa disinergikan dengan modal
sosial, kita tidak akan pernah mampu memiliki equity
social, maka tanpa peran modal sosial yang dasat
pertumbuhan ekonomi yang merata (growth with
equality) tidak pernah akan tercapai.
Dalam kaitannya dengan semua hal tersebut di
atas, pertumbuhan ekonomi yang berkualitas baru
dapat dicapai jika dipenuhi beberapa persyaratan, di
mana stabilitas ekonomi makro adalah sebagai salah

satu prasyarat esensial yang umum harus dipenuhi.


Karena itu, syarat perlu untuk memacu pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dan berkualitas diperlukan
beberapa faktor pendorong utama seperti; investasi
human capital yang cukup dan berkelanjutan serta
penguasan penggunaan teknologi. Sedangkan,
syarat cukupnya harus ada kesinergian antara peran
dan potensi modal sosial yang dimiliki. Tujuan artikel
ini baru ingin menjelaskan betapa pentingnya peran
dan potensi investasi human capital dan teknologi
dalam memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi
dan berkualitas yang selama ini pernah dicapai oleh
beberapa negara maju. Secara teoritis dan empiris,
peran keduanya telah terbukti mampu memacu
pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
PEMBAHASAN
The New Growth Theory: Beyond and Behind The
Solow Model

Sebuah teori Klasik sebelum Robert M Solow


(Behind the Solow model), mengatakan bahwa
sebuah negara berkembang atau terbelakang hanya
perlu meningkatkan akumulasi capital fisik (C),
tenaga kerja (L) dan sumber daya manusia (H) dan
efisiensi alokasi dalam penggunaannya. Dalam hal
ini, peran teknologi belum dipandang sebagai
pemacu dalam pertumbuhan ekonomi. Apabila ada
kegagalan dalam pasar dalam proses pembangunan
tesebut, maka hanya akan diselesaikan melalui
mekanisme perencanaan efisiensi alokasi dan penarikan investasi penggunaan sumber daya tersebut.
Selanjutnya, pandangan pemikiran baru dari
teori Neo-Klasik setelah model Solow (Beyond the
Solow model) mengatakan bahwa, pentingnya
transformasi dalam proses pembangunan yang baik
tidak hanya terbatas pada peningkatan efisiensi
alokasi dan akumulasi faktor (C, L, dan H) saja.
Dalam hal ini telah memandang bahwa pendidikan
dan ketrampilan adalah penting, karena pendidikan
tidak hanya mampu meningkatkan faktor H, tetapi
juga mampu meningkatkan wawasan faktor H untuk
menerima perubahan dan peningkatan pertumbuhan
ekonomi. Dalam hal ini, peran teknologi sudah mulai
nampak walaupun baru secara implisit melalui
parameter pendidikan dari faktor sumber daya
manusia (H). Dalam model Solow tersebut variabel
teknologi ini masih dianggap sebagai variabel

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

19

endogen. Selajutnya, setelah model Solow, variabel


teknologi sudah mulai nampak sebagai variabel
eksogen yang dapat menentukan kualitas pertumbuhan ekonomi.
Artikel ini secara teoritis bertujuan untuk menjelaskan bagaimana peran variabel investasi human
capital dan teknologi secara eksplisit (eksogen)
dapat sebagai pemacu utama dalam pertumbuhan
ekonomi yang berkualitas. Dengan pertumbuhan
ekonomi yang berkualitas diharapkan akan diperoleh
hasil pembangunan ekonomi yang bermanfaat bagi
kesejahteraaan seluruh masyarakat. Dengan pertumbuhan ekonomi yang berkulitas diharapkan ada
transformasi dari masyarakat yang terbelenggu
dalam keterbelakangan (vicious circle) akan mampu
menuju masyarakat yang lebih maju (virtuous
circle), (Stiglitz, 2000, 2001; Handoko, 2001;
Prasetyo, 2008).
Model teoritis peran human capital dan teknologi sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi yang
tinggi dan berkualitas dapat ditelusuri mulai dari
model Solow, (Romer, 1996). Pemikiran Robert M
Solow sejak 1956 telah memasukan unsur human
capital dan teknologi sebagai faktor penentu
pertumbuhan ekonomi. Sumbangan pemikiran Solow
ini kemudian dikembangkan oleh Romer dan telah
membawa revolusi besar dalam teori pertumbuhan
ekonomi yang kini sering dikenal dengan The New
Growth Theory. David Romer, (1996) telah membuat
model stok human capital dan pengaruhnya terhadap
pertumbuhan ekonomi sebagai berikut. Asumsi
pertama model ini mengikuti Mankiw dan David
Romer sendiri di mana output mengikuti fungsi:

(1)

Asumsi kedua, adalah dinamika dari K dan L sebagai


berikut.

L( t ) = nL( t ),
20

(2)

(4)

Dalam hal ini, akumulasi modal manusia dimodelkan sama dengan akumulasi modal fisik sebagai
berikut.

H( t ) = SH Y(t),

(5)

Selanjutnya, secara ekonomi dinamik dan paralel


dengan model Solow, dan mengikuti model modal
fisik, maka k = K/AL, h = H/AL, dan y = Y/AL,
sehingga:
y( t ) = k( t ) h( t ) ,

(6)

Dengan melihat k lebih dahulu, definisi dari k dan


persamaan yang melibatkan K, L, dan A mengandung makna sebagai berikut:

k( t ) = SK k(t) h( t ) - (n + g)k( t ),
atau

(7)

k = [SK /(n + g)] 1/ (1- ) h / (1 )

Dengan demikian, k adalah sama dengan nol ketika



SK k h = (n + g)k
seperti ditunjukkan dalam
Gambar-1 di bawah ini. Kenaikan k paralel dengan
kenaikan h. Jika < 1- (ke kiri dari k=0), maka k
akan negatif, dan jika ke kanan dari k=0, maka k
akan positip.
Kemudian, dengan memperhatikan persamaan
(7), maka dinamika h dapat diketahui sebagai
berikut.
h( t ) = SKk( t ) h( t ) - (n + g) h( t ),

Di mana H adalah stok human capital, L jumlah


tenaga kerja. Persamaan (1) ini menunjukkan bahwa
output (Y) ditentukan oleh capital, labour, dan human
capital per worker. Jadi K, H, dan L diasumsikan
constan return to scale.

K ( t ) = SK Y( t ),

A ( t ) = gA( t ),

Y( t ) = K ( t ) H( t ) [A ( t )L( t )] 1 , ,
> 0, > 0, dan + < 1

adalah akumulasi kapital fisik, dan diasumsikan


tidak ada depresiasi. Selanjutnya, pertumbuhan
teknologi adalah konstan dan eksogeneous.
SK

(8)

di mana h adalah akan sama dengan nol ketika



SK k h = (n + g)h atau
dapat ditulis sebagai
k = [(n + g) / SH ]1/ h (1 ) / . Hal ini dapat dilihat pada
Gambar-1 di bawah ini, jika 1 > , maka h akan
positip di atas h=0, dan negatif jika di bawah h=0.
Selanjutnya, dinamika dari k dan h yang menuju
kepada keseimbangan di titik E. Titik E secara global
adalah stabil, darimanapun memulainya perekonomian, maka dia akan menuju ke titik E, dan sekali titik
E dicapai, maka tidak akan berubah.

(3)

The Quality of Growth: Peran Teknologi dan Investasi Human Capital . . . (Prasetyo: 18 - 31)

h 0

( k 0)

k 0

( k 0)

( h 0)

( h 0)

Gambar 1. Dinamika human capital per unit tenaga kerja efektif

Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang


tinggi dan berkualitas diperlukan saving dan
teknologi. Sementara saving dan teknologi tersebut
dapat dihasilkan oleh karena adanya investasi
human caital yang cukup berkualitas. Dengan adanya saving dan penguasaan terhadap penggunaan
teknologi tersebut akan diperoleh jalan emas (golden
rule) dari berbagai alternatif pilihan teori yang terbaik
(trunpike theorema).
Model Solow telah menunjukkan bahwa
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dalam
pendapatan per pekerja harus berasal dari kemajuan
teknologi. Model Solow yang ini telah menjelaskan
variabel teknologi sebagai variabel eksogeneous,
namun determinan teknologi belum dijelaskan secara
lebih detail. Kemudian, perkembangan pemikiran
pertumbuhan ekonomi setelah model Solow telah
berupaya menjadikan variabel teknologi sebagai
variabel endogeneous. Untuk lebih jelasnya
keterangan ini dapat dilihat pada Gambar-2 di bawah
ini.
Selanjutnya, para peneliti dan ahli ekonomi
pertumbuhan ekonomi yang baru seperti; Robert
Barro, David Romer, Paul Romer, Gregory Mankiw,
Xavier Sala-I-Martin adalah tokoh-tokoh baru teori
pertumbuhan ekonomi yang lebih banyak mengangkat isyu bahwa perspektif jangka panjang dalam
ekonomi makro tidak kalah pentingnya dengan
model-model stabilitas ekonomi, (Handoko, 2001).
Studi-studi mereka hingga kini telah banyak dimuat

dalam berbagai literatur termasuk bank dunia, baik


yang menyangkut ekonomi makro maupun pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Hasil studi
mereka menemukenali berbagai faktor yang
menentukan perjalanan perekonomian suatu negara
yang tadinya tertinggal cukup jauh dengan negaranegara Eropa Barat dan Amerika Utara, kini telah
berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang
sedemikian cepat dan berkualitas, sehingga Pendapatan Nasional per kapita mereka telah mampu
melampaui negara-negara maju. Jepang, Singapura
dan Swiss adalah contoh negara-negara kecil yang
kini sangat maju.
Jepang dan Singapura adalah contoh negara
kecil yang sangat sempurna dalam membangun
ekonomi makro melalui pertumbuhan ekonomi
berkualitas yang dipacu oleh peran sumber daya
manusia yang berkualitas dalam mendorong kemajuan bangsanya. Jika dulu kiblat manajemen industri
dan bisnis hanya di negara barat, kini sudah ada
kiblat alternatif di Asia yakni Jepang dan Singapura.
Selain itu, salah satu fenomena pertumbuhan
ekonomi yang pernah sangat menonjol di Asia pada
awal tahun 1970 hingga pertengahan tahun 1990-an
adalah apa yang dikenal dengan East Asian
Miracle. Tujuh negara yang pada waktu itu oleh
Bank Dunia dapat disebut sebagai keajaiban Asia
Timur adalah negara-negara; Korea Selatan,
Thailand, Hongkong, Taiwan, Singapura, Malaysia
dan Indonesia.

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

21

Output per orang

i
olog
Tekn
T

ng
a bu

an

si
esta
v
n
I

g
yan

ka
tuh
u
b
di

Jalur E ke F atau
dari E ke F = golden rule
ko dan k* = turnpike
teorema

Modal per orang

Gambar 2. Peran Teknologi terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Persoalanya adalah mengapa tujuh negara


keajaiban Asia Timur tersebut khususnya Indonesia, kini justru makin terpuruk dan menuju ke negara
yang dapat dikatakan negara gagal. Tesis Paul
Krugman sebenarnya telah menyangkal bahwa
prediksi negara-negara Asia Timur tersebut akan
mengambil alih perkembangan ekonomi dari negaranegra industri maju karena kemampuan mereka
untuk menerapkan teknologi maju menuju ke tingkat
produktivitas yang tinggi. Menurut hasil penelitian
Krugman, negara-negara Asia Timur berhasil
mencapai pertumbuhan tinggi karena berhasil dalam
mengakumulasi kapital dan tenaga kerja yang sangat
tinggi, dan bukan karena kemampuan dalam
penggunaan teknologi yang maju, sehingga mereka
kemudian akan mengalami law of diminishing return.
Artinya, mereka tidak akan pernah mampu melampui
negara-negara maju yang tingkat produktivitasnya
telah tinggi.
Selanjutnya, Alwyn Young dan Lawrence Lau
melanjutkan penelitian seperti yang dilakukan oleh
Krugman dengan menghitung Total Factor
Productivity (TFP) di negara-negara Asia Timur itu. Ia
menjelaskan bahwa memang negara-negara
tersebut mengalami pertumbuhan ekonomi rata-rata
6 persen hingga 7 persen per tahun selama 25
tahun, tetapi nilai TFP-nya hanya tumbuh 3-4 persen
saja, dan tidak berbeda jauh dengan negara-negara
OECD. Artinya, bahwa pertumbuhan ekonomi
negara-negara Asia Timur ini memang tinggi tetapi,
karena tidak ditompang oleh nilai produktivitas yang
tinggi pula, maka pertumbuhan ekonomi tersebut
menjadi tidak berkualitas. Selanjutnya, adanya
pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas
tersebut menyebabkan stabilitas ekonomi makro
22

negara yang bersangkutan menjadi lebih rentan


terhadap ganguan krisis ekonomi. Ketika, pada tahun
1997 terjadi krisis ekonomi di Asia dan krisis energi
di dunia pada saat ini, adalah bukti nyata bahwa
kondisi pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia
timur terutama Indonesia adalah belum kokoh karena
memang tidak berkualitas. Akibatnya stabilitas
ekonomi makro negara tersebut (Indonesia) menjadi
mudah terkena ganguan krisis tersebut.
Reformasi Investasi Human Capital dan
Teknologi: dari Vicious Circle ke Virtuous Circle

Stiglitz, (2000, 2001) telah mengamati beberapa


faktor penyebab keterbelakangan, sehingga
pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan tidak berkualitas yaitu; dimulai dari kurangnya kapital fisik (K),
kemudian kurangnya kapital sumber daya manusia
(H), dan kurang berfungsinya peran intervensi
pemerintah (ekonomi kelembagaan). Dengan model
fungsi produksi agregatif dapat dituliskan sebagai
Q = f (A, K, L, R, H). Di mana Q adalah output
produksi, L adalah tenaga kerja, R adalah sumber
daya alam (natural capital), serta faktor A adalah
terdiri dari; informasi, ilmu pengetahuan (knowledge)
dan teknologi, termasuk proses produksi serta faktor
modal sosial (social capital).
Selanjutnya, tanpa mengupas lebih mendalam
variabel A tersebut, ia menegaskan bahwa intensitas
variabel A akan menentukan apakah proses
pembangunan merupakan vicious circle ataukah
virtuous circle. Jika sebuah proses pembangunan
dipandang sebagai sebuah transformasi dari sebuah
tataran masyarakat yang satu ke tataran yang lain
tanpa pendidikan, maka sebuah masyarakat tersebut

The Quality of Growth: Peran Teknologi dan Investasi Human Capital . . . (Prasetyo: 18 - 31)

akan terjebak pada tataran keterbelakangan (vicious


circle) karena ketidakmampuannya untuk meramu
variabel (K, L, R, dan H) yang tersedia untuk menuju
ke sebuah dinamika tataran yang lebih maju
(virtuous circle) yang juga memiliki daya saing tinggi
(lihat Gambar-3 di bawah).
Pada umumnya negara-negara berkembang
sering terjebak dalam keterbelakangan ini. Karena,
negara-negara berkembang pada prinsipnya hanya
perlu meningkatkan akumulasi K, L, dan H serta
efisiensi alokasi penggunaannya, kurang memikirkan
kuantitas dan kualitas variabel A secara konsisten
dan berkesinambungan melalui pendidikan yang
lebih tinggi dan berkualitas. Hal ini sejalan dengan
pemikiran Vinod Thomas (2000) dalam The Quality
of Growth, ia mengatakan bahwa pembangunan
bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan memperluas peluang untuk menentukan
nasibnya sendiri secara merdeka.
Dalam era millineum ketiga ini dan ke depan
yakni setelah ilmu ekonomi dianggap mati oleh Paul
Omerod, maka paradigma dan arah pembangunan
ekonomi baru (new economy) pada saat ini dan
mendatang adalah pembangunan ekonomi yang
padat investasi sumber daya manusia (human capital) yang berkualitas khususnya melalui pendidikan
dan latihan. Dengan kata lain perlu dikembangkan
perpaduan antara faktor H dan faktor A untuk
mengelola faktor L, dan K, sehingga dapat dihasilkan
produksi (Q) yang berkualitas seperti yang diharapkan. Karena dalam new economy faktor pendidikan,

informasi, dan teknologi merupakan pendorong


utama dalam kegiatan ekonomi di suatu negara,
(Prasetyo, 2008).
Dengan demikian, reformasi investasi human
capital dan teknologi melalui pendidikan yang lebih
berkualitas di segala bidang di Indonesia sudah
mutlak harus segera dilakukan secara besar-besaran
agar terhindar dari keterbelakangan (vicious circle)
tetapi, mampu menuju ke sebuah negara yang lebih
maju (virtuous cirlce). Pembangunan yang hanya
mengandalkan sumber daya fisik dan kekayaan alam
saja, kini sudah dapat dikatakan telah gagal.
Pengalaman menunjukkan bahwa sumber daya alam
Indonesia kaya-raya tetapi, mengapa masih banyak
rakyat Indonesia tetap miskin dan menganggur, serta
masih terbelakang hampir dalam segala bidang?
Kerangka kerja untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dan berkualitas serta memiliki
daya saing yang baik di Indonesia masih kurang
didukung oleh peran teknologi dan human capital
(melalui pendidikan yang berkualitas), maka
dampaknya tidak hanya pertumbuhan ekonomi yang
tidak berkualitas tetapi daya saing ekonomi
Indonesia juga tetap rendah. (lihat Gambar-3 di
bawah ini). Rendahnya daya saing ekonomi
Indonesia karena produktivitasnya yang rendah dan
rendahnya produktivitas karena rendahnya teknologi
dan faktor pendidikan, maka dampaknya kualitas
tenaga kerja juga tetap rendah dan menghasilkan
produk yang rendah kualitasnya.

Framework for improving competitiveness

Gambar 3. Kerangka Kerja Ekonomi Yang Berdaya Saing Tinggi


JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

23

Kebijakan pemerintah dan para universitas


harus berorientasi jauh ke depan dan mengangkat
semangat kompetisi yang sehat sangat diperlukan.
Orientasi kebijakan ke depan yang sehat akan
mendorong pertumbuhan ekonomi dan produktivitas
yang baik. Artinya, dengan tingkat investasi human
capital yang memadahi, akan mampu mereformasi
bangsa Indonesia dari keterbelakangan (vicious
circle) menuju ke masyarakat yang lebih maju secara
elegan (virtuous circle). Karena, perbedaan produktivitas pada suatu investasi dapat membuat perbedaan satu hingga dua persen terhadap tingkat pertumbuhan GNP per kapita. Jika hal tersebut dilakukan,
diyakini akan mampu membantu merubah stagnasi
ekonomi Indonesia ke dalam semangat untuk
meningkatkan kemampuannya di segala bidang
dengan sadar. Namun, jika mau bercerimin pada
negara lain di Asia dalam human capital invesment,
bercerminlah kepada negara-negara seperti; Jepang,
Singapura, dan Korea Selatan. Negara-negara ini
telah melakukan pembangunan ekonominya dengan
berbasis pada human capital invesment dan berhasil.
Studi Empiris: Ekonomi Makro dan Pertumbuhan
Ekonomi

Teknologi berbasis inovasi yang ditopang oleh


kualitas sumber daya manusia potensial merupakan
motor penggerak pertumbuhan ekonomi di negaranegara maju dan berkembang. Studi empiris telah
banyak yang menjelaskan bahwa kebijakan publik
ekonomi makro dirancang untuk mendorong kemajuan teknologi. Perkembangan teknologi harus
disebarkan dalam pertumbuhan ekonomi seperti
pada kasus pertengaan tahun 1990-an (Mankiw,
2007). Menurut model Solow, kemajuan teknologi
menyebabkan nilai berbagai variabel meningkat
secara bersamaan dengan mantap (balanced of
growth) dalam jangka panjang, maka perekonomian
suatu negara akan baik. Namun, model dasar
pertumbuhan Solow masih menganggap teknologi
berkembang pada tingkat eksogeneus konstan,
maka pengalaman empiris pertumbuhan ekonomi
yang spektakuler dari empat macan asia timur
menjadi sulit untuk dijelaskan. Akhirnya mereka
memisahkan antara masalah ekonomi makro dengan
masalah pertumbuhan ekonomi.

24

Studi tentang ekonomi makro dan pertumbuhan


ekonomi suatu negara dalam perspektif jangka
panjang sebaiknya tidak perlu dipisahkan secara
tajam. Walaupun pada jaman Keynes, perhatian tentang pertumbuhan ekonomi pernah kurang menarik
di banding masalah ekonomi makro. Namun, pada
kenyataanya hingga saat ini kestabilan ekonomi
makro yang baik tetap dibutuhkan dalam pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan tangguh.
Artinya, masalah pertumbuhan ekonomi dan ekonomi
makro adalah satu hal yang tidak dapat dipisahkan
secara tajam. Karena, salah satu indikator ekonomi
makro yang baik adalah harus adanya pertumbuhan
ekonomi yang tinggi serta berkualitas. Karena, pertumbuhan ekonomi berkualitas mampu menstabilkan
perekonomian makro melalui pengurangan.
Formulasi model-model pertumbuhan ekonomi
baru sebenarnya sudah muncul setelah akhir perang
dunia ke II, terutama dengan meluasnya teori
Harrod-Domar, Solow, Ramsey, Kuznet, Samulson
dan Leontief yang sampai sekarang masih terus
dikembangkan (Romer, 1996; Handoko, 2001). Pada
mulanya para ahli ekonomi tersebut masih banyak
yang menggunakan model-model standar, seperti
model Solow yang sering dikenal dengan the new
growth theory (Romer, 1996; Tapscott, 1997;
Mankiw, 2007; Dornbusch, 2008). Pada saat ini
peran variabel teknologi yang telah diperoleh dari
pengembangan ilmu pengetahuan melalui research
and development serta investasi human capital
sudah banyak dibahas walaupun masih banyak yang
baru secara implisit. Hasilnya dapat membedakan
tentang pendapatan nasional antar negara, di mana
negara-negara industri maju terlebih dahulu mampu
mencapai tataran kemajauan yang lebih tinggi.
Teknologi yang sebenarnya merupakan bagian
dari ilmu pengetahuan (knowledge) telah diyakini
oleh Tapscott (1997) dalam Wahyoedi, (2000)
sebagai salah satu bentuk dari ekonomi baru (The
New Economy). Salah satu ciri ekonomi baru adalah
ekonomi dengan mengandalkan knowledge. Menurut
Tapscott orang akan lebih banyak bekerja dengan
menggunakan otaknya daripada menggunakan
tangan. Di negara-negara maju saat ini seperti;
Amerika Serikat, Jepang dan Singapura hampir lebih
70 persen para pekerjanya berkecimpung dalam
pekerjaan yang menggunakan knowledge. Selanjutnya, studi tahunan Bank Dunia hingga kini juga telah

The Quality of Growth: Peran Teknologi dan Investasi Human Capital . . . (Prasetyo: 18 - 31)

banyak mengangkat knowledge sebagai topik kajian.


Dari kajian Bank Dunia tersebut, ternyata terdapat
korelasi yang kuat dan positip antara pertumbuhan
knowledge dengan pertumbuhan ekonomi di suatu
negara. Sebagai contoh dapat dilihat pada Tabel-1
dan Gambar 4 serta Gambar 5 di bawah ini.
Peringkat kualitas pembangunan manusia
Indonesia 2007-2008 masih stagnan di bawah
Vietnam yakni dengan skor 0,728 dan pada posisi
107 dari 177 negara yang di survai. Pada tahun 1975
kondisi pembangunan ekonomi dilihat dari
sumbangan nilai Human Development Index (HDI)

Indonesia termasuk kategori rendah, tetapi sejak


tahun 1980- 2003 tergolong menengah. Walaupun,
dibandingkan dengan negara lain, pada tahun 2003,
nilai HDI Indonesia lebih tinggi daripada Laos (0.545)
serta Kamboja (0.571). Namun, kondisi pembangunan sumber daya manusia di Indonesia tergolong
masih rendah jika dibandingkan dengan negaranegara lain seperti; Malaysia, Korea Selatan dan
Singapura. Di mana kategori nilai HDI lebih besar
daripada 0.8 dikategorikan tinggi; nilai HDI antara 0.5
hingga 0.8 dikategorikan sedang, dan nilai HDI
kurang dari 0.5 dikategorikan rendah.

Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Dunia


2005

2006

4,9
2,5
3,1
1,5
1,9
6,6

5,5
2,9
2,9
2,8
2,2
7,9

WEO-Apr07
2007
2008
5,2
5,2
2,7
2,5
2,8
2,0
2,5
2,6
2,0
2,6
5,7
5,5

7,5
10,4
9

8,1
11,1
9,7

8,0
11,2
9,0

7,6
10,5
8,4

8,1
11,5
8,9

7,4
10,0
8,4

5,5
5,4
5,1
ASEAN-4
4,5
5,0
4,5
Thailand
5,5
5,9
5,2
Malaysia
5,8
5,4
4,9
Philipina
6,0
5,5
5,7
Indonesia
Sumber: World Economic Outlook April dan Oktober 2007, IMF

5,8
4,8
5,8
5,8
6,3

5,6
4,0
5,8
6,3
6,2

5,6
4,5
5,6
5,9
6,1

Dunia
Negara Maju
AS
Euro
Jepang
Singapura
Negara Berkembang
Cina
India

WEO-Okt08
2007
2008
4,8
5,2
2,2
2,5
1,9
1,9
2,1
2,5
1,7
2,0
5,8
7,5

Sumber: Human Development Report, 2006

Gambar 4. Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index)


JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

25

6.0

Singapura

Korea
Selatan

Malaysia

Thailand

Filipina

China

Viet Nam

Indonesia

Sumber: World Bank, 2007


Gambar 5. Daya Serap Teknologi di tingkat Perusahaan Tahun 2006

Selain itu, daya serap teknologi di perusahaanperusahaan (industri) di Indonesia dalam skala 1-7
mencapai angka 4,5 yang berarti paling rendah
dibandingkan dengan negara-negara Asean lainnya,
seperti; Malaysia yang mencapai 5,9 dan Thailand
mencapai 5,3 termasuk Vietnam yang mencapai 5,2.
Sedangkan, industri-industri di Singapura adalah
yang paling besar menyerap teknologi, yakni
mencapai nilai 6,0. Kondisi ini dapat sebagai salah
satu indikator bahwa tingkat inovasi dan penggunaan
teknologi di Indonesia tergolong masih rendah.
Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi yang di
capai oleh Indonesia sekalipun tinggi tetap belum
dapat dikatakan berkualitas.
Fenomena ini lebih nampak ketika ada
gangguan krisis ekonomi dunia, Indonesia menjadi
salah satu negara yang paling mudah terkena
dampaknya dibandingkan negara tentangganya.
Karena, pertumbuhan PDB (pertumbuhan ekonomi)
di Indonesia lebih banyak dipacu oleh laju
pertumbuhan konsumsi, sedangkan pertumbuhan
ekonomi negara tetangga lebih banyak didorong oleh
laju investasi human capital dan teknologi. Akibatnya,
kondisi ekonomi makro Indonesia sekalipun dilihat
dari indikator pertumbuhan ekonomi cukup tinggi,
tetapi masih tetap rentan terhadap gejolak krisis. Hal
ini memperkuat argumentasi bahwa masalah
stabilitas ekonomi makro dan pertumbuhan ekonomi
adalah dua hal yang saling berkaitan erat.

26

Ketika awal tahun 2000-an hingga pertengahan


tahun 2008 sekarang ini produksi minyak dibatasi
oleh OPEC, maka produktivitas negara-negara yang
tidak berbasis pada human capital dan teknologi
terus menurun lebih cepat. Penurunan produktivitas
ini sebenarnya telah dimulai tahun 1973, (Mankiw,
2003). Ketika, pertumbuhan produktivitas minyak
menurun hampir bersaman dengan naiknya harga
minyak yang kini terus naik dan pada Juli 2008 telah
mencapai harga US$145 per barel. Sebagai ekonom,
berpendapat bahwa penurunan produktivitas ini
mungkin saja disebabkan oleh perubahan-perubahan
dalam angkatan kerja di Indonesia yang belum berkualitas. Sedangkan, masih rendahnya kualitas
angkatan kerja di Indonesia karena human invesment juga rendah, akibatnya penguasaan teknologi
dalam segala bidang di Indonesia juga masih rendah.
Dengan masih tetap rendahnya penguasaan
teknologi dalam segala bidang ini menyebabkan
pertumbuhan ekonomi di Indonesia menjadi tidak
berkualitas. Selanjutnya, dengan masih rendahnya
kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia, maka akan
semakin sulit tujuan growth with equality yang dapat
mensejahterakan rakyat akan tercapai.
Argumentasi lain yang dapat untuk memperkuat
bahwa sasaran utama pembangunan ekonomi makro
di Indonesia yang ingin dicapai pemerintah SBY-JK
melalui growth with equality masih sulit di capai
adalah, karena rantai nilai (value chain) yang dapat
memberikan nilai tambah bagi kehidupan riil

The Quality of Growth: Peran Teknologi dan Investasi Human Capital . . . (Prasetyo: 18 - 31)

masyarakat juga rendah. Pada Gambar-6, nampak


bahwa rantai nilai makro pada industri di Indonesia
sebesar (3,1) pada skala 1-7, adalah masih relatif
lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara
Asean lainnya, kecuali Vietnam (2,9). Rantai nilai
makro ini sangat berhubungan dengan pendeknya
rantai produksi dalam suatu perusahaan industri
yang bersangkutan secara mikro. Selanjutnya,
kondisi ini berpengaruh pada rendahnya nilai tambah
yang dihasilkan perusahaan industri tersebut bagi
kehidupan masyarakat.

barang dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan


industri di Indonesia. Pada Gambar-7 dan Tabel-2,
nampak bahwa nilai GDP dan nilai ekspor Indonesia
masih lebih rendah dibanding negara Asean
lainnya. Data dari Bank Dunia pada Tabel-3, menunjukkan persentase nilai ekspor industri manufaktur
berteknologi tinggi di Indonesia hanya mencapai
16,30 persen dari total ekspor manufaktur. Angka ini
masih lebih rendah dibandingkan dengan negaranegara tetangga, kecuali Vietnam.

Dampak selanjutnya, nilai ekspor barang dan


jasa juga akan tetap rendah, khususnya hasil ekspor

Singapura

Korea
Selatan

Malaysia

Thailand

Filipina

China

Viet Nam

Indonesia

Sumber: World Bank, 2007


Gambar 6. Rantai Nilai (Value Chain) Perusahaan Industri, 2006

Malaysia

Thailand

Viet Nam

Indonesia

Laos

Sumber: World Bank, 2006


Gambar 7. Nilai Perdagangan Sebagai Persentase dari GDP, 2005

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

27

Tabel 2. Ekspor Manufaktur Menurut Kelompok


Teknologi
Persentase Total Ekspor
Manufaktur
16,30
26,60
54,70
71,00
5,60
56,60
32,30

Negara
Indonesia
Thailand
Malaysia
Filipina
Vietnam
Singapura
Korea Selatan
Sumber: World Bank, 2006

Pertumbuhan Ekonomi
Penyerapan Tenaga Kerja

Tinggi

dan

Mitos

Secara teori ekonomi, setiap satu persen pertumbuhan ekonomi akan mampu menyerap tenaga
kerja baru sebesar 250-400 ribu orang. Namun,
pertumbuhan ekonomi tinggi di Indonesia baru
sekedar mitos dalam penyerapan tenaga kerja baru.
Karena, setiap satu persen pertumbuhan ekonomi di
Indonesia hanya mampu menyerap tenaga kerja
kurang dari 100 ribu orang per tahun. Tahun 2008
merupakan tahun yang telah dijanjikan akan ada
pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari sebelumnya. Namun, yang menjadi persoalanya adalah,
apakah kualitas pertumbuhan ekonomi tersebut
bertambah naik? Apakah pertumbuhan tersebut
mampu memihak kaum miskin dan yang menganggur seperti yang diharapkan dalam RKP?
Di atas telah dijelaskan bahwa pertumbuhan
ekonomi Indonesia relatif tinggi, tetapi tidak

berkualitas. Pertumbuhan ekonomi yang tidak


banyak menyerap tenaga kerja, pada akhirnya akan
membuat jurang kemiskinan yang semakin melebar.
Inilah kondisi paradok pertumbuhan ekonomi (paradox of economics growth) yang kini terjadi di
Indonbesia. Karena pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang tinggi lebih banyak ditompang oleh laju
pertumbuhan tingkat konsumsi daripada investasi.
Dampak selajutnya, karena masih rendahnya tingkat
investasi, khususnya investasi human capital dan
teknologi, maka nilai tambah dari produktivitas
menjadi tetap rendah dan pertumbuhan ekonomi
juga menjadi tidak berkualitas. Di bawah ini ada
beberapa fakta bahwa rendahnya investasi human
capital yang tercermin dalam rendahnya tingkat
pendidikan berdampak pada kualitas pertumbuhan
ekonomi yang rendah. Persoalan berikutnya adalah
mengapa dan bagaimana kondisi investasi human
capital di Indonesia masih tetap rendah?
Berdasarkan Tabel-3 di atas, siswa yang
melanjutkan ke tingkat pendidikan menengah dan
tinggi di Indonesia nampak terus meningkat. Namun
secara umum, peningkatan tersebut jika dibandingkan dengan negara Asean yang lain terutama;
Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina, masih
lebih rendah. Jika Tabel-3 dan Tabel-1 di atas
dianalisis lebih lanjut, maka dapat diperoleh nilai
tambah dan azas manfaat yang berbeda antara yang
diterima oleh rakyat Indonesia dengan rakyat negara
Asean tersebut. Karena, nilai belanja untuk pendidikan dari negara Indonesia cenderung lebih
rendah, maka tingkat pendidikan siswa di Indonesia

Tabel 3. Indek Tingkat Pendidikan Negara-Negara Asean


Nama
Negara
Singapura
Korea Selatan
Brunei Darussalam
Malaysia
Thailand
Filipina
China
Vietnam
Indonesia
Myanmar
Kamboja
Laos

1990
68,1
89,8
68,7
56,3
30,8
70,7
48,7
106,9
45,5
22,4
28,9
24,4

Pendidikan Menengah
1995
2000
2005
73,4
100,9
97,6
92,9
80,2
85,5
95,6
58,7
69,3
76,4
54,1
61,8
70,3
77,5
77,1
85,2
65,8
62,9
74,3
114,1
106,6
94,5
51,5
54,9
63,1
32,6
37,6
40,3
26,5
17,0
29,4
26,8
35,6
46,7

1990
18,0
39,1
5,7
7,4
18,8
27,8
2,9
2,0
9,5
-

Pendidikan Tinggi
1995
2000
33,7
..
52,0
72,6
7,2
12,6
11,7
26,3
20,1
34,2
29,0
30,5
5,3
7,6
4,1
9,5
11,3
14,4
-

Sumber: World Bank, 2006


28

The Quality of Growth: Peran Teknologi dan Investasi Human Capital . . . (Prasetyo: 18 - 31)

2005
..
89,9
15,0
32,0
43,0
28,1
20,3
16,0
17,1
-

juga tetap masih rendah, maka dampak selanjutnya


adalah tingkat produktivitas dan kualitas pertumbuhan ekonomi yang diperoleh oleh rakyat Indonesia
juga tetap rendah.
Pada Tabel-4 ini, tingkat belanja negara
Indonesia untuk pendidkan pada tahun 2005 nampak
belum mencapai 1 persen dari GDP, dan jika dilihat
dari APBN pada tahun 2008 juga baru sebesar 11
pesen, yang berarti masih belum terpenuhinya
batasan minim 20 persen dari APBN. Rencananya
pada RKP tahun 2009 rencana batas minimal 20
persen anggaran pendidikan ini baru akan dipenuhi.
Hal ini menunjukkan bahwa komitmen pemerintah
terhadap pendidikan yang berkualitasw di Indonesia
masih rendah dan kini justru nampak ada kencenderungan yang makin menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa kualitas pertumbuhan ekonomi semakin
jauh dari harapan.

Rendahnya komitmen pemerintah yang


ditunjukan oleh rendahnya belanja negara terhadap
pendidikan ini diperparah lagi dengan adanya laju
migrasi intelektual (brain drain) yang cenderung terus
meningkat dari tahun ke tahun. Semakin tinggi brain
drain dari negara tersebut, maka negara tersebut
sebenarnya semakin dirugikan, kecuali mereka
memperoleh return devisa yang lebih besar bagi
negaranya. Pada Gambar-8, nampak bahwa brain
drain di Indonesia cukup tinggi, dan lebih tinggi
daripada di negara; Korea Selatan, Filipina, Vietnam
bahkan Cina. Fenomena semakin tingginya brain
drain tersebut artinya, orang-orang yang berpendidikan semakin tinggi (intelektual) di Indonesia justru
menjadi tidak suka untuk bekerja di negara Indonesia
sendiri. Hal ini dimungkinkan karena mereka hanya
memperoleh income yang lebih kecil jika mereka
bekerja di luar negeri. Inilah fakta bahwa pendidikan
di Indonesia kurang diperhatikan, maka fenomena ini

Tabel 4. Persentase Belanja Negara untuk Pendidikan dari GDP, tahun 2005

Nama Negara

Persentase Belanja
Persentase Tingkat Pendidikan
Pendidikan Terhadap GDP
Menengah Wanita

Indonesia
Thailand
Malaysia
Filipina
Vietnam
Singapura
Korea Selatan

Persentase Tingkat
Pendidikan Tinggi Wanita

63,80
74,20
80,90
90,30
74,80
93,10

0,90
4,20
8,00
3,20
3,70
4,60

14,70
45,40
38,00
32,40
13,20
-

Sumber: World Bank, 2006

Singapura

Korea
Selatan

Malaysia

Thailand

Filipina

China

Viet Nam

Indonesia

Sumber: World Bank, 2007

Gambar 8. Migrasi Intelektual (Brain Drain) tahun 2006


JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

29

berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi semakin


tidak berkualitas. Struktur upah dan gaji di Indonesia
yang kurang membedakan dari segi skill dan tingkat
pendidikan, tetapi lebih melihat kedekatan atau
tempat dan lamanya ia bekerja, serta tidak ada
perbedaan yang signifikan antara gaji seorang
profesor dengan seorang lulusan sekolah menengah,
mungkin inilah sebagai salah satu fenomena brain
drain di Indonesia yang tinggi dan meningkat.
Jika upah atau gaji di Indonesia mencerminkan
produktivitas, maka akan semakin banyak orang
yang mempunyai kesadaran untuk memiliki pendidikan tinggi, dan jika dengan semakin tinggi tingkat
produktivitas serta hasil ekonominya, maka masalah
brain drain tidak akan terjadi. Permasalah brain drain
memang telah dialami oleh banyak negara lain,
karena masalah ini merupakan dampak dari
globalisasi neoliberalisme yang sedang melanda
dunia ini. Namun, masalah brain drain di Indonesia
justru lebih diperparah karena kondisi struktur
upah/gaji di Indonesian sangat tidak mencerminkan
tingkat produktivitas. Padahal, rendahnya tingkat
produktivitas berdampak pada rendahnya kualitas
pertumbuhan ekonomi.
Masalah kemerosotan pertumbuhan ekonomi
nasional dan brain drain yang terjadi di Indonesia
sejak krisis ekonomi tahun 1997 sebenarnya bukan
semata-mata karena faktor eksternal global,
melainkan lebih karena faktor internal. Faktor internal
dimaksud secara eksplisit dapat dirangkum dalam
tiga faktor kunci yakni; lemahnya daya saing, inovasi,
dan kualitas sumber daya manusia (SDM). Dampak
selanjutnya, ketika orang yang tidak mampu
melakukan brain drain karena daya saingnya rendah,
maka produktivitasnya juga akan menurun dan pada
akhirnya pertumbuhan ekonomi tetap tidak akan
berkualitas. Selain itu, sistem pendidikan di Indonesia dapat dikatakan anti realitas, serta kurang
kreatif dan inovatif, pada gilirannya tidak mampu
memacu pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.
Salah satu penyebabnya adalah karena pengakuan
pemerintah dan masyarakat terhadap pendidikan di
Indonesia lebih dikarenakan selembar ijazahnya
serta keakuannya dan bukan karena kehebatan
intelektual serta perilakunya, sehingga seseorang
yang tadinya produktivitasnya tinggipun menjadi ikut
malas dan apatis.

30

PENUTUP

Pertumbuhan ekonomi di Indonesia selama ini


cukup tinggi, tetapi belum berkualitas, karena secara
riil pertumbuhan ekonomi tersebut belum mampu
mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan.
Dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang berkualitas diharapkan mampu mengurangi pengangguran
dan kemiskinan seperti yang diharapkan. Harapan
besar pemerintah bagi terwujudnya pertumbuhan
ekonomi yang berkualitas dapat mensejahterakan
rakyat melalui (growth with equality), seharusnya
berawal dari kesiapan pra-kondisi yang menuntut
kemampuan atau kinerja stabilitas ekonomi makro
yang kondusif sebagai prasyaratnya. Hasilnya harus
dapat berimplikasi yang positip pada tumbuh dan
berkembangnya aktivitas riil di semua sektor
ekonomi terutama UMKM. Karena, aktivitas di sektor
UMKM pada dasarnya lebih mampu menyerap
tenaga kerja dalam jumlah besar sebagai salah satu
indikator keberhasilan dari pertumbuhan ekonomi
yang berkualitas tersebut.
Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang
berkualitas hendaknya lebih diletakkan pada kemampuan dari pengeluaran sektor investasi yang sangat
fundamental, khususnya investasi di bidang human
capital, capital social, infrastruktur dan teknologi
khususnya teknologi informasi. Penguatan investasi
pada semua sektor melalui bidang tersebut sangat
jelas lebih mampu menciptakan efek ganda (multiplier effect) yang lebih tinggi dalam pertumbuhan dan
pembangunan ekonomi suatu bangsa (Indonesia).
Dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang
berkualitas secara berkelanjutan akan berdampak
positip pada semakin maju dan sejahteranya rakyat
suatu negara yang bersangkutan, atau dengan daya
kreativitas dan inovatifnya akan lebih mampu merubah dirinya dari kondisi keterbelakangan (vicious
circle) menuju ke dalam kondisi masyarakat yang
lebih maju dan mandiri (virtuous circle). Semoga
bangsa Indonesia ke depan dapat berbuat lebih
banyak, paling tidak aksi mimal hasil maksimal
jangan aksi maksimal hasil minimal.
Karena itu, pertumbuhan ekonomi yang selama
ini sebagian besar masih bertumpu pada kegiatan
konsumtif harus segera direformasi dengan pola
pertumbuhan ekonomi yang secara dominan digerakkan oleh sektor riil produktif serta dikerjakan oleh dan

The Quality of Growth: Peran Teknologi dan Investasi Human Capital . . . (Prasetyo: 18 - 31)

untuk kesejahteraan mayoritas rakyat. Penyaluran


kredit dikatakan berkualitas, jika memiliki multiplier
effect baik bagi pelaku usaha, pekerja, dan terhadap
pemerintah kabupaten/kota, di mana pelaku usaha
tersebut tinggal, misal dengan meningkatnya lapangan kerja. Dalam upaya ini, dibutuhkan instrumeninstrumen untuk mendorong penyaluran kredit yang
berkualitas agar sektor riil mampu bergerak dan
mendominasi penyaluran kredit di sektor produktif.
Tetapi, tetap dalam upaya untuk mendorong sektor
riil tumbuh, karena perbankan tidak dapat bekerja
sendiri, maka harus didukung oleh pemerintahan
setempat. Dengan demikian, untuk mempercepat laju
pertumbuhan yang berkualitas, kebijakan penurunan
BI rate saat ini tidak akan kondusif jika tidak dibarengi dengan perbaikan iklim bisnis dan investasi,
seperti; investasi human capital, social capital,
teknologi informasi, perbaikan infrastruktur serta
penegakan hukum dan debirokratisasi investasi
(karena pada saat ini, meski telah ada paket investasi, tapi dalam implementasi belum jalan
sebagaimana mestinya).
DAFTAR PUSTAKA

Boediono, 1999, Teori Pertumbuhan Ekonomi,


Yogyakarta: BPFE
Dornbusch, Rudiger, at.al, 2008, Macroeconomics,
9th, New York: McGraw-Hill Inc.
Foucault, Michel, 2002, Power or Knowledge,
Yogyakarta: Bentang.
Handoko, Budiono Sri, 2001, Pemikiran Pendekatan
Pembangunan Di Awal Millenium: Penekanan

Pada Kualitas Pertumbuhan, Jurnal Ekonomi


Pembangunan, Vol. 6. No. 2, Yogyakarta: FE UII
Indrawati, Sri Mulyani, 2007, Prospek Pembangunan
Ekonomi 2008, Jurnal Negarawan, No. 06, Vol.
2, November 2007.
Mankiw, N.G., 2007, Macroeconomics, 6th, New
York: Worth Publishers
Meier, G.M., 1995, Leading Issues in Economic
Development, 6th, Oxford University Press
Prasetyo, P. Eko, 2008, Peran Investasi Human
Capital Melalui Pendidikan Dalam Memacu
Pertumbuhan Ekonomi, Jurnal Dinamika Pendidikan Ekonomi, Vol. 3, No. 1, 2008, Semarang:
FE UNNES
Romer, David, 1996, Advanced Macroeconomics,
International Edition, Singapore: McGraw-Hill inc.
Sampurno, 2007, Knowledge-Base Economy: Sumber Keunggulan Daya Saing Bangsa,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Stiglitz, J.E., 2000, Development Thinking at the
Millennium, Annual World Bank Conference on
Development Economics, April, 2000, The World
Bank.
Stiglitz, J.E., and S. Yusuf, (2001), Rethinking the
East Asian Miracle, Oxford: World Bank-Oxford
University Press.
Thomas V., et.al, 2001, The Quality of Growth,
Oxford University Press.
Wahyoedi, Soegeng, 2000, The New Growth
Theory: Peran Ilmu Pengetahuan dan Investasi
Modal Sumber Daya Manusia Sebagai Pemacu
Pertumbuhan Ekonomi, Jakarta: Ukrida Press.
World Development Report, 2006/2007

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

31

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI


INVESTASI SWASTA DI JAWA TENGAH
Hadi Sasana
Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro
email:hadisasana@yahoo.com

ABSTRACT

Investment very significant influence economic growth, this research aim to identify and analyse
factors influencing private invesment in Central Java Province. Analyse use multiple regression model
with Ordinary Least Square method (OLS). Result of analyse indicate that, rate of interest negative
influence and significant to private invesment in Central Java coefficient 1017.464. Government
expenditure and inflation have positive influence and significant to private invesment in Central Java
coefficient 243.715 and 0.19.
Keywords: private invesment, rate of interest, government expenditure and inflation
PENDAHULUAN

Pembangunan daerah adalah suatu proses di


mana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola
suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah
dengan sektor swasta untuk menciptakan lapangan
kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan
ekonomi dalam wilayah tersebut. Oleh karena itu,
pembangunan harus dilaksanakan di seluruh tanah
air dan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat.
Pelaksanaan otonomi daerah yang luas sejak
tahun 2001 perlu disikapi dengan cepat oleh
pemerintah daerah dan masyarakat. Kewenangan
yang lebih luas dalam desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan daerah menyangkut aspekaspek administrasi, kelembagaan dan pengelolaan
sumber-sumber keuangan harus segera direalisasikan termasuk pengelolaan sumber penerimaan
dan pengeluaran daerah.
Dalam Rencana Strategis Daerah (Renstrada)
Jawa Tengah 20032008, disebutkan bahwa untuk
menjadikan Jawa Tengah yang mandiri, berdaya
saing, sejahtera, berkelanjutan, menjadi pilar pembangunan nasional yang dilandasi oleh ketaqwaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, disusun pentahapan pelaksanaan pembangunan Propinsi Jawa
Tengah tahun 2004 2008, sebagai berikut:
1. Tahap Penguatan Kemandirian (2004 2005).
2. Tahap Peningkatan Daya Saing (2006 2007).

32

3. Tahap Pengembangan Kemandirian, Daya Saing


dan Eksistensi
Adapun strategi kebijakan di bidang ekonomi
yang ditempuh pada peningkatan kualitas potensi
ekonomi wilayah dalam rangka memperbaiki struktur
ekonomi daerah serta meningkatkan kemandirian
dan daya saing dengan memprioritaskan pada sektor
pertanian dalam arti luas, industri kecil menengah
dan/atau usaha kecil menengah dan pariwisata.
Strategi yang ditempuh adalah (Rencana Strategis
Jawa Tengah 2003 2008):
1. Memperkuat agribisnis dan agro industri di pedesaan dengan memfasilitasi petani dan stakeholders untuk meningkatkan kuantitas dan
kualitas produksi, memperluas akses pasar,
permodalan serta memperkuat kinerja kelembagaan.
2. Menurunkan tingkat kesenjangan antar wilayah
dengan memperkuat jalur Selatan-Selatan dan
kawasan tertinggal untuk meningkatkan mobilitas
ekonomi di wilayah tersebut, serta pembangunan
kawasan-kawasan sentra produksi dengan
meningkatkan sinergi jejaring antar kawasan
dengan outlet regional dan global, maupun
antara kawasan sentra dengan hinterland-nya.
3. Memacu pertumbuhan ekonomi dengan mengembangkan iklim yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha dan investasi.
4. Meningkatkan daya saing produk UKM di pasar
global dengan menerapkan standar produk

Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Investasi Swasta di Jawa Tengah (Sasana: 32 - 40)

internasional, memfasilitasi promosi yang sistematis di dalam dan luar negeri serta membantu
pengembangan sistem penjaminan sesuai ketentuan perbankan dan pranata sosial ekonomi.
5. Meningkatkan kontribusi sektor pariwisata dalam
struktur ekonomi melalui obyek-obyek wisata
yang berbasis ekonomi kerakyatan dan kelestarian lingkungan.
Secara umum kondisi perekonomian di Jawa
Tengah sejak tahun 1999 menunjukkan adanya
perkembangan yang positif, setelah dalam kurun
waktu 19971998 dilanda krisis ekonomi yang serius.
Berangsur-angsur perekonomian di kabupaten/kota
mulai meningkat dan pada tahun 2002 pertumbuhan
ekonomi di seluruh kabupaten/kota tumbuh positif.
Untuk mencapai visi dan misi pembangunan
seperti yang tertuang dalam Renstrada Jawa Tengah
diperlukan investasi yang cukup besar terutama dari
kalangan swasta. Kegiatan investasi diharapkan
berpengaruh positip terhadap pertumbuhan ekonomi,
kehadirannya mampu berperan sebagai motor
penggerak dan sekaligus menjadi pendorong percepatan (akselerasi) pembangunan secara luas.
Pengalaman negara-negara lain yang perekonomiannya tumbuh dengan pesat menunjukkan
bahwa kegiatan invesatsi sangat signifikan mempengaruhi peningkatan ekspor, devisa negara, pendapatan negara maupun daerah, penyerapan tenaga
kerja serta alih teknologi yang kesemuanya itu
bermuara pada upaya peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Di negara-negara berkembang termasuk
Indonesia, walaupun terjadi akselerasi investasi
terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi,
namun terdapat berbagai kendala yang menyebabkan investasi (PMA maupun PMDN) dari tahun ke

tahun tidak stabil (berfluktuasi). Perkembangan


investasi di Jawa Tengah selama 6 tahun terakhir
adalah sebagai berikut tabel 1.
Dari data tersebut di atas menunjukkan bahwa
investasi PMA/PMDN di Jawa Tengah selalu
mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun dan nilainya
cenderung mengalami penurunan. Penurunan nilai
investasi PMA lebih tajam daripada nilai investasi
PMDN. Pada tahun 1997 nilai investasi dari PMA
adalah sebesar US$2.221.516.899.19 dan meningkat
menjadi US$3.072.199.262.68 (tahun 1998), namun
demikian akibat krisis multidemensional yang
melanda di negara kita termasuk di Jawa Tengah,
nilai investasi dari PMA menurun sangat drastis
(US$80.018.358.00) pada tahun 2003. Demikian pula
nilai investasi PMDN, pada tahun 1997 nilai PMDN di
Jawa Tengah sebesar Rp7.406.630.814.479, akibat
krisis multidemensional nilai investasi PMDN
menurun menjadi sebesar Rp3.607.653.588.597
(tahun 2003). Hal ini sangat mengganggu kegiatan
perekonomian di Jawa Tengah apabila tidak
diketahui faktor-faktor penyebabnya.
Dengan latar belakang tersebut di atas secara
umum permasalahannya adalah adanya kecenderungan penurunan nilai investasi swasta (PMA dan
PMDN) di Jawa Tengah. Untuk menganalisis
permasalahan tersebut perlu diteliti mengenai faktor
faktor yang mempengaruhi penanaman modal
swasta asing maupun penanaman modal dalam
negeri di Jawa Tengah. Tujuan dari penelitian ini
adalah: (1) Mengidentifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi investasi swasta (PMA dan PMDN) di
Jawa Tengah. (2) Menganalisis pengaruh tingkat
suku bunga, laju inflasi dan pengeluaran pemerintah
daerah Jawa Tengah terhadap besarnya investasi di
Jawa Tengah.

Tabel 1. Perkembangan Investasi Jawa Tengah Tahun 1998 2003


PMA
Tahun

Nilai Investasi
( US $ )
1998
46
3.072.199.262.68
1999
72
127.845.393.55
2000
56
72.072.435.43
2001
57
96.681.990.00
2002
44
91.765.000.00
2003
57
80.018.358.00
Sumber: BPM Propinsi Jawa Tengah, 2004
Jumlah Proyek

PMDN
Jumlah Proyek
20
26
34
26
14
21

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

Nilai Investasi
( Rp )
2.482.396.427.000
1.308.709.116.573
2.451.203.432.171
2.912.197.970.000
1.541.259.610.000
3.607.653.588.597

33

LANDASAN TEORI
1. Investasi

Perkataan investasi merupakan salah satu


istilah ekonomi yang selalu digunakan orang awam.
Tetapi kerap kali pengertiannya berbeda dengan arti
investasi dalam teori ekonomi. Teori ekonomi
mengartikan atau mendefinisikan investasi sebagai:
pengeluaran-pengeluaran untuk membeli barangbarang modal dan peralatan-peralatan produksi
dengan tujuan untuk mengganti danterutama
menambah barang-barang modal dalam perekonomian yang akan digunakan untuk memproduksi
barang dan jasa di masa yang akan datang. Dengan
perkataan lain, investasi berarti kegiatan perbelanjaan untuk meningkatkan kapasitas produksi
sesuatu perekonomian (Sadono Sukirno, 2000).
Secara statistik, investasi atau pengeluaran
untuk membeli barang-barang modal dann peralatan
produksi, dibedakan menjadi 4 komponen, yaitu:
investasi perusahaan-perusahaan swasta, pengeluaran untuk mendirikan tempat tingga, perubahan
dalam inventaris (inventory) perusahaan dan investasi yang dilakukan oleh pemerintah. Tujuan pengusaha untuk mewujudkan alat-alat produksi tersebut
adalah untuk memperoleh keuntungan dari kegiatan
produksi yang dilakukannya di masa depan. Hal ini
berarti investasi yang dilakukan di masa kini sangat
erat hubungannya dengan prospek memperoleh
untung di masa depan. Semakin cerah prospek untuk
memperoleh keuntungan yang lumayan di masa
depan, semakin tinggi investasi yang dilakukannya
pada masa kini (Gunawan,2001).
Dari segi nilai dan proporsinya terhadap
pendapatan nasional, investasi perusahaan tidaklah
sebesar pengeluaran konsumsi rumah tangga.
Namun demikian investasi perusahaan peranannya
sangatlah penting dibanding konsumsi rumah
tangga. Di berbagai negara, terutama di negaranegara industri yang perekonomiannya sudah sangat
berkembang, investasi perusahaan adalah sangat
volatile yaitu selalu mengalami kenaikan dan
penurunan yang sangat besar, dan sebagai sumber
penting dari berlakunya fluktuasi dalam kegiatan
perekonomian.
Disamping itu kegiatan investasi memungkinkan
suatu masyarakat terus menerus meningkatkan
kegiatan ekonomi dan kesempatan kerja, mening34

katkan pendapatan nasional dan meningkatkan taraf


kemakmuran masyarakat. Peranan ini bersumber
dari tiga fungsi penting kegiatan investasi dalam
perekonomian. Pertama, investasi merupakan salah
satu komponen dari pengeluaran agregat, sehingga
kenaikan investasi akan meningkatkan permintaan
agregat dan pendapatan nasional. Kedua, pertambahan barang modal sebagai akibat investasi akan
menambahakan kapasitas memproduksi di masa
depan dan perkembangan ini akan menstimulir
pertambahan produksi nasional serta kesempatan
kerja. Ketiga, investasi selalu diikuti oleh perkembangan teknologi, perkembangan ini akan memberi
sumbangan penting terhadap peningkatan produktivitas dan pendapatan per kapita masyarakat.
2. Tingkat suku bunga

Permintaan efektif ditentukan oleh hasrat


konsumsi dan dorongan untuk mengadakan investasi. Hasrat konsumsi tergantung dua faktor yaitu:
besarnya pendapatan dan bagian yang dibelanjakan
untuk barang-barang konsumsi. Investasi akan
cenderung untuk naik apabila tingkat bunga mengalami penurunan maupun karena kanaikan marginal
efisiensi kapital. Sehingga jumlah investasi atau
permintaan efektif untuk investasi tergantung pada
dua faktor yaitu: margimal efficiency of capital (MEC)
dan rate of interest atau tingtat bunga (Nopirin,
1993).
Margimal Efficiency of Capital (MEC) menggambarkan tingkat pendapatan (rate of return) dari
investasi baru yang diharapkan akan dilakukan.
Apabila MEC lebih besar daripada tingkat bunga
pasar, maka pengusaha akan melakukan investasi,
begitu pula sebaliknya. Dengan demikian diperoleh
hubungan antara tingkat bunga dengan pengeluaran
investasi, bahwa semakin rendah tingkat bunga
maka makin besar pengeluaran investasi.

Menurut Manulang (1993), hasrat konsumsi


adalah relatif stabil, tidak demikian halnya dengan
investasi. Dorongan untuk mengadakan investasi
tergantung kepada keuntungan yang diharapkan dari
penanaman modal tersebut. Sudah barang tentu
bahwa harapan keuntungan yang dapat di dasarkan
atas penaksiran yang tidak pasti, karena itulah
mengapa investasi mengalami fluktuasi. Apabila
harapan untuk memperoleh keuntungan tidak ada,

Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Investasi Swasta di Jawa Tengah (Sasana: 32 - 40)

investasipun akan berkurang. Itulah sebabnya


mengapa dikatakan bahwa dorongan untuk mengadakan investasi ditentukan oleh keuntungan yang
diharapkan darininvestasi baru dan besarnya tingkat
bunga.
Menurut Keynes, bunga adalah semata-mata
gejala moneter, bunga adalah pembayaran untuk
mrnggunakan uang. Berdasarkan atas pendapat
yang demikian mengapa Keynes yakin bahwa akan
pengaruh uang terhadap sistem ekonomi seluruhnya.
Tingkat bunga memiliki fungsi alokatif dalam
perekonomian, khususnya dalam penggunaan uang
dan modal. Tingkat bunga ditentukan oleh penawaran dan permintaan uang. Tingkat bunga akan
mempengaruhi kegiatan ekonomi. Perubahan tingkat
bunga selanjutnya akan mempengaruhi investasi
(Mankiw, 2000).
3. Laju inflasi

Inflasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses


kenaikan harga-harga yang berlaku dalam sesuatu
perekonomian. Tingkat inflasi berbeda dari satu
periode ke periode lainnya, dan berbeda pula dari
satu negara ke negara lainnya. Masalah kenaikan
harga-harga yang berlaku diakibatkan oleh banyak
faktor, pada umumnya inflasi berasal dari salah satu
atau gabungan dari dua masalah berikut:
1. Tingkat pengeluaran agregat yang melebihi
kemampuan perusahaan-perusahaan untuk
menghasilkan barang-barang dan jasa. Keinginan
untuk mendapatkan barang yang mereka
butuhkan akan mendorong para konsumen
meminta barang itu pada harga yang lebih tinggi.
Sebaliknya para pengusaha akan mencoba
menahan barangnya dan menjual kepada pembeli
yang bersedia membayar pada harga yang lebih
tinggi. Kedua-dua kecenderungan ini akan
menyebabkan kenaikan harga-harga.
2. Para pekerja di berbagai kegiatan ekonomi yang
menuntut kenaikan upah. Apabila pengusaha
mulai menghadapi kesulitan dalam mencari
tambahan pekerja untuk menambah produksinya,
para pekerja akan terdorong untuk menuntut
kenaikan upah. Apabila tuntutan kenaikan upah
berlaku secara meluas, akan terjadi kenaikan
biaya produksi dari berbagai produksi barang dan
jasa yang dihasilkan dalam perekonomian.

Disamping itu inflasi dapat pula berlaku sebagai


akibat dari: (1) kenaikan harga-harga barang yang
diimpor, (2) penambahan penawaran uang yang
berlebihan tanpa diikuti oleh penambahan produksi
dan penawaran barang, dan (3) kekacauan politik
dan ekonomi sebagai akibat pemerintahan yang
kurang bertanggung jawab.
Inflasi dapat mempengaruhi kegiatan investasi,
hal ini dapat dilihat dari pengaruh inflasi terhadap
pengangguran. AW. Phillips pada tahun 1958 dalam
tulisannya yang berjudul the relation between
unemployment and the rate of change of money
wage rates in United Kingdom dari studi lapangan
tentang hubungan antara kenikan upah dengan
pengangguran di Inggris. Hasil kesimpulanya adalah
terdapat hubungan yang negatif antara tingkat
pengangguran dan tingkat kenaikan upah. Apabila
tingkat pengangguran rendah maka tingkat kenaikan
upah tinggi dan sebaliknya. (Sadono Sukirno, 2000).
4. Pengeluaran pemerintah

Pengeluaran pemerintah disini adalah meliputi


semua pembelian barang dan jasa yang dilakukan
oleh pemerintah daerah. Pemerintah sebagai salah
satu pelaku ekonomi yang memiliki tujuan untuk
mendukung kegiatan roda perekonomian agar
berjalan lebih baik dan bersemangat. Peran pemerintah seperti dikemukakan oleh Keynes sering kali
diperlukan untuk mendorong pertumbuhan perekonomian. Untuk menjalankan sektor yang tidak dilakukan
oleh sektor swasta seperti memproduksi barang
publik. Memproduksi barang publik tentu memerlukan dana yang terwujud dalam pengeluaran
pemerintah baik level nasional maupun daerah.
Pengeluaran pemerintah disini tidak dibedakan
antara pengeluaran rutin dan pembangunan, meski
pengeluaran pembangunan yang memiliki pengaruh
terdekat dengan investasi. Namun secara umum
pengeluaran pemerintah haruslah dilihat secara utuh
sehingga pengaruh atau timbal balik pengeluaran
pemerintah terhadap perekonomian dapat terlihat.
Keynes mengatakan bahwa pengeluaran pemerintah
diperlukan untuk mendorong meningkatnya pengeluaran agregat di saat daya beli masyarakat menurun
dan lesu. Pengeluaran pemerintah dapat memberikan pendapatan kepada masyarakat sehingga
masyarakat dapat melakukan kegiatan ekonomi
seperti biasanya (Kuncoro, 2000) .

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

35

Efek crowding out dari pengeluaran pemerintah


dapat terjadi apabila sektor swasta dan pemerintah
saling bersaing dan tumpang tindih dalam melakukan
peranannya dalam perekonomian. Namum crowding
out lebih terjadi pada pasar obligasi dan tidak terjadi
pada sektor investasi riil yang manfaatnya lebih
terasa dalam masyarakat. Oleh karena itu crowding
out tidak begitu diperhitungkan dalam penelitian ini.
Pengeluaran pemerintah lebih mendapatkan peran
sebagai pendorong/stimulus bagi kegiatan perekonomian di suatu daerah dimana pengeluaran
pemerintah memberi dukungan terhadap sektor
swasta dalam meningkatkan perekonomian daerah
terutama untuk meningkatkan invesatsi.
METODE PENELITIAN

3. Alat analisis

Analisis menggunakan model regresi berganda


dengan metode Ordinary Least Square (OLS), untuk
mengetahui besarnya perubahan variabel independen terhadap variabel dependen (Gujarati, 1997).
Model yang digunakan untuk menduga
parameter-parameter dari investasi diformulasikan
sebagai berikut.
IS = + SB + In + PP + U

(1)

Di mana:
I S : Nilai Investasi
SB : Tingkat Suku bunga
In : Tingkat inflasi
PP : Pengeluaran pemerintah
U : Error terms

1. Data dan lingkup penelitian

Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini


meliputi data primer dan sekunder. Data primer
diperoleh dari wawancara langsung dengan para
responden (investor, Pemda) maupun melalui Focus
Group Discussion (FGD) dengan aparat/pejabat
terkait. Data sekunder diperoleh dari berbagai
dokumen yang diperlukan, bersumber dari Badan
Pusat Statistik, BKPM Jawa Tengah, Deperindag,
Bank Indonesia maupun dinas/instansi terkait, serta
didukung dengan bahan kepustakaan yang relevan.
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Propinsi
Jawa Tengah. Secara substansi investasi swasta
dalam penelitian ini meliputi PMA dan PMDN.
Periode penelitian meliputi kurun waktu tahun 1986
sampai dengan tahun 2002.
2. Definisi operasional

a. Investasi swasta, diperoleh melalui penjumlahan


(total) realisasi investasi PMDN dan PMA di Jawa
Tengah dengan satuan rupiah
b. Tingkat bunga, merupakan tingkat bunga riil
dalam satuan persen
c. Inflasi, kenaikan harga-harga barang secara
umum, dalam satuan persen
d. Pengeluaran pemerintah, pengeluaran pembangunan dalam anggaran pendapatan dan belanja
daerah Propinsi Jawa Tengah dengan satuan
rupiah.
36

HASIL DAN PEMBAHASAN

Permasalahan yang dihadapi hampir semua


negara berkembang dalam melaksanakan pembangunan adalah minimnya biaya yang tersedia untuk
menunjang proses pembangunan, baik pembangunan fisik maupun pembangunan sosial ekonominya. Selama ini usaha yang dilakukan oleh pemerintah negara sedang berkembang untuk mendanai
pembangunannya antara lain melalui pemungutan
pajak, menciptakan uang dalam negeri, tabungan
pemerintah, melakukan pinjaman luar negeri serta
mengundang investor baik dari dalam negeri maupun
luar negeri.
Dalam suatu perekonomian, penanaman modal
atau investasi sangat diperlukan untuk menunjang
baik pertumbuhan ekonomi maupun kesempatan
kerja. Oleh karena itu upaya untuk menarik investor
menanamkan modalnya di Indonesia khususnya di
Jawa Tengah secara intensif selalu dilaksanakan
oleh pemerintah.
Pada tahun 1998 sampai dengan 2002 terlihat
bahwa perkembangan investasi swasta di Jawa
Tengah mengalami penurunan yang sangat tajam
setelah mencapai angka yang paling tinggi di tahun
1998 yaitu sebesar Rp27,14 triliun rupiah dan
mengalami penurunan drastis menjadi sebesar
Rp1,95 triliun pada tahun 1999. Pada tahun 2000
sampai dengan 2002 dimana perekonomian pada
tahap recovery investasi mengalami kenaikkan setiap

Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Investasi Swasta di Jawa Tengah (Sasana: 32 - 40)

tahunnya. Pada tahun 2000 kenaikan investasi


swasta sebesar 61,4 persen (Rp3,142 triliun) dan
tahun berikutnya yaitu pada tahun 2001 investasi
naik menjadi Rp4,2 triliun. Pada tahun 2002 investasi
mengalami penurunan kembali menjadi 2,4 triliun.
Investasi yang terjadi di Jawa Tengah pada kurun
waktu 1986 sampai dengan 2002 adalah sebagai
berikut:
Tabel 2. Perkembangan Investasi Jawa Tengah
Tahun 1986 2002 (Juta Rupiah)
Tahun

Realisasi Investasi
di Jawa Tengah

Tahun

Realisasi

1986
321,48
1995
1987
640,03
1996
1988
917,46
1997
1989
3.989,96
1998
1990
5.925,25
1999
1991
3.894,66
2000
1992
1.594,84
2001
1993
2.873,73
2002
1994
9.793,34
Sumber: BPS Jawa Tengah , 1988-2003

7.176,45
11.168,13
15.974,21
27.136,80
1.946,89
3.142,74
4.216,71

bangan PMA di Jawa Tengah pada tahun 2000


mengalami penurunan lagi menjadi sebesar
72.072,43 ribu US$. Namun pada tahun 2001 dan
2002 nilai PMA mengalami peningkatan yaitu
menjadi 96.681,99 ribu US$ dan 91.765,00 ribu US$.
Perkembangan investasi dalam negeri (PMDN)
di Jawa Tengah memiliki ketahanan yang lebih baik
dari pada PMA dalam menghadapi krisis ekonomi
nasional. Pada tahun 1999 terjadi penurunan nilai
PMDN sebesar 58 persen, namun pada tahun 2000
dan 2001 nilai PMDN yang masuk Jawa Tengah
mengalami peningkatan terutama pada tahun 2000
yaitu peningkatan sebesar 135 persen. Pada tahun
2002 nilai PMDN mengalami penurunan sebesar 52
persen menjadi sebesar Rp1,6 triliun.
Perilaku PMDN dan PMA seperti di atas
membuat nilai total investasi swasta di Jawa Tengah
menjadi fluktuatif dan tidak stabil. Berikut ini disajikan
perkembangan PMA dan PMDN di Jawa Tengah
1998-2002.

2.361,64

Nilai investasi di Jawa Tengah pada tahun 1998


sampai dengan 2002 memiliki gap yang sangat
besar, terlebih bila dibandingkan angka tahun 1998
dan 1999. Krisis moneter yang terjadi di Indonesia
pada awal tahun 1997 sebagai penyebab utama
perbedaan angka yang sangat besar pada total
investasi swasta di Jawa Tengah pada tahun 1998
dan 1999. Pada tahun 1998 jumlah penanaman
modal asing yang masuk ke Jawa Tengah cukup
besar jumlahnya yaitu sebesar 3.072.199,26 ribu
US$, dan mulai tahun 1999 akibat krisis ekonomi
nasional telah memberikan pengaruh terhadap
jumlah penanaman modal asing yang masuk ke
Jawa Tengah. Pada tahun 1999 jumlah PMA turun
menjadi sebesar 127.915,63 ribu US$. Perkem-

Penurunan nilai investasi swasta di Jawa


Tengah pada tahun 1998 yaitu dari Rp27,1 triliun
menjadi Rp1,9 triliun pada tahun 1999 disebabkan
oleh banyak hal, antara lain yaitu:
a. Nilai PMA pada tahun 1999 mengalami
penurunan sebesar 95,8 persen, sehingga total
penerimaan investasi swasta yang merupakan
penjumlahan PMA dan PMDN pada tahun 1999
menjadi berkurang.
b. Nilai tukar dol1ar Amerika terhadap rupiah pada
tahun 1998 ke 1999 juga mengalami penurunan
dari Rp8.025,00 menjadi Rp7.100,00 sehingga
nilai PMA dalam rupiah menjadi berkurang
dibanding tahun 1998.
c. Nilai PMDN pada tahun 1999 juga mengalami
penurunan sebesar 58,1 persen sehingga total

Tabel 3. Perkembangan PMA dan PMDN di Jawa Tengah Tahun 1998 2002

1998

PMA
(Ribu Rp)
24.654.399.061,50

PMDN
(Ribu Rp)
2.482.396.430,00

Total investasi
(Ribu Rp)
27.136.795.491,50

1999

908.200.973,00

1.038.689.120,00

1.946.890.093,00

2000

691.534.965,85

2.451.203.420,00

3.142.738.385,85

2001

1.005.492.696,00

3.211.218.970,00

4.216.711.666,00

2002

820.379.100,00

1.541.259.600,00

2.361.638.700,00

Tahun

Sumber: BPS Jawa Tengah, 2003


JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

37

penerimaan investasi swasta menjadi berkurang


pula. Penurunan baik pada PMA dan PMDN pada
tahun 1999 menyebabkan nilai investasi swasta
pada tahun 1999 menjadi jauh lebih sedikit
dibanding investasi swasta tahun 1998.
d. Jumlah PMA yang masuk ke Jawa Tengah pada
tahun 1998 cukup besar yaitu sebesar
3.072.199,26 ribu US$, sehingga nilai investasi
swasta pada tahun 1998 cukup besar dan jumlah
itu merupakan jumlah PMA tertinggi sepanjang
tahun 1986 sampai dengan 2002 .
Ha1-ha1 di atas menyebabkan ni1ai investasi swasta
pada tahun 1999 sampai dengan 2002 memiliki nilai
yang jauh lebih keci1 dibandingkan dengan nilai
investasi tahun 1998.
Kegiatan investasi sangat dipengaruhi oleh
perkembangan/perubahan tingkat suku bunga.
Karena tingkat suku bunga merupakan investment
cost bagi para investor. Tingkat suku bunga pada
bank-bank di Jawa Tengah pada kurun waktu 1995 2003 adalah sebagai berikut:
T abel 4. Tingkat Suku Bunga di Jawa Tengah Tahun
1986 - 2002 (Persen)
Tahun Tingkat suku bunga
1986
16,00
1987
19,00
1988
19,50
1989
18,00
1990
17,75
1991
21,18
1992
21,13
1993
16,25
1994
12,99
Sumber: BPS, diolah

Tahun Tingkat suku bunga


1995
15,04
1996
16,69
1997
16,28
1998
21,84
1999
27,60
2000
12,17
2001
13,16
2002

13,55

Selain tingkat suku bunga invstasi juga


dipengaruhi oleh laju inflasi. Stabilitas harga akan
berpengaruh terhadap perkembangan nilai investasi
di suatu wilayah. AW. Phillips pada tahun 1958
dalam tulisannya yang berjudul the relation between
unemployment and the rate of change of money
wage rates in United Kingdom menyimpulkan bahwa
terdapat hubungan yang negatif antara tingkat
pengangguran dan tingkat kenaikan upah. Apabila
tingkat pengangguran rendah maka tingkat kenaikan
upah tinggi dan sebaliknya (Sadono Sukirno, 2000).
Dalam studi selanjutnya diteliti bahwa terdapat
hubungan negatif antara tingkat inflasi dengan
38

pengangguran. Perkembangan inflation rate di Jawa


Tengah pada kurun waktu 1988 - 2002 adalah
sebagai berikut:
Tabel 5. Tingkat Inflasi di Jawa Tengah Tahun 1986 2002
Tahun
Inflasi
1986
9,73
1987
9,59
1988
5,3
1989
4,83
1990
3,89
1991
3,97
1992
4,34
1993
9,37
1994
6,5
Sumber: BPS, Jawa Tengah

Tahun
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001

Inflasi
8,45
4,37
10,88
67,19
1,51
8,73
13,98

2002

13,56

Pengeluaran pemerintah diperlukan untuk


mendorong meningkatnya pengeluaran agregat di
saat daya beli masyarakat menurun dan lesu.
Pengeluaran pemerintah dapat memberikan pendapatan kepada masyarakat sehingga masyarakat
dapat melakukan kegiatan ekonomi seperti biasanya
(Kuncoro, 2000). Berikut ini adalah data mengenai
pengeluaran pemerintah dari pemerintah Propinsi
Jawa Tengah yang berasal dari APBD.
Tabel 6. Pengeluaran Pemerintah Jawa Tengah
Tahun 1986-2002 (Juta Rupiah)
Tahun Peng. Pemerintah Tahun Peng. Pemerintah
1986
13136,26
1995
48894,03
1987
15248,75
1996
54888,36
1988
18151,81
1997
64946,43
1989
20577,35
1998
92635,22
1990
23590,28
1999
108609,19
1991
27972,44
2000
127999,88
1992
32262,68
2001
168570,14
1993
36078,90
2002
202353,58
1994
41503,56
Sumber: BPS, Jawa Tengah DaIam Angka

Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi


Investasi Swasta di Jawa Tengah

Dengan menggunakan metode kuadrat terkecil


(OLS) dari analisis linier berganda, hasil estimasi
faktor-faktor yang mempengaruhi investasi swasta di
Jawa Tengah adalah sebagai berikut:

Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Investasi Swasta di Jawa Tengah (Sasana: 32 - 40)

Tabel 7. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Investasi di Jawa Tengah

Model
1

(Constant)
SB
In
PP

Unstandardized
Coefficients
B
Std. Error
14491,144
4060,224
-1017,464
232,262
243,715
62,262
,190
,026

Standardized
Coefficients
Beta
-,438
,397
,743

t
3,569
-4,381
3,914
7,178

Sig.
,003
,001
,002
,000

Model Summary
Model

R Square

,877
1
,9363
a. Predictors: (Constant), PP, SB, IN
b. Dependent Variable: IS

R square adjusted bernilai 0,849 yang artinya


variabel independen dalam model persarnaan regresi
setelah diadakan penyesuaian dapat menjelaskan
variasi dari variabel dependen sebesar 84,9% dan
sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar
persamaan. Hal ini dapat diartikan bahwa suku
bunga, inflasi dan pengeluaran pemerintah dapat
menjelaskan dengan kekuatan 84,9% terhadap
investasi swasta yang ada di Jawa Tengah.

Uji t-statistik atau uji variabel secara individu


juga menunjukkan bahwa suku bunga, inf1asi dan
pengeluaran pemerintah secara berturut-turut
memi1iki ni1ai signifikan di bawah = 5%. Hal ini
berarti setiap variabe1 secara individu memiliki
tingkat signifikansi yang tinggi, sehingga model
persamaan garis regresi tersebut dapat terbentuk
sebagai berikut:
IS = 14491,144 - 1017,464 SB +
243,715 In + 0,190 PP + u

(2)

Dari hasil estimasi didapatkan bahwa tingkat


suku bunga memiliki hubungan negatif dan
berpengaruh signifikan terhadap perkembangan
investasi swasta di Jawa Tengah. Tingkat suku
bunga memiliki pengaruh negatif terhadap investasi
swasta di Jawa Tengah sebesar -1017,464. Hal ini
memiliki makna bahwa untuk mendukung perkembangan investasi di Jawa Tengah maka tingkat suku
bunga yang stabil dan rendah sangat diperlukan dan
harus diusahakan oleh pemerintah. Karena penurunan tingkat bunga sebesar satu persen akan

Adjusted
R Sauare
,849

Std. Error of
the Estimate
3564,57213

Durbin-W
atson
1,576

meningkatkan investasi swasta sebesar 1017,464


satuan.
Sementara itu tingkat inflasi memiliki hubungan
positip dan berpengaruh signifikan terhadap investasi
swasta di Jawa Tengah. Hal ini bisa dimaknai bahwa
perkembangan investasi swasta di daerah Jawa
Tengah seiring dengan perkembangan inflasi di
daerah ini. Para investor di Jawa Tengah merespon
secara positif atas perkembangan harga dengan
meningkatkan nilai investasinya. Peningkatan inflasi
sebesar satu persen akan meningkatkan investasi
swasta sebesar 243,715 satuan. Meskipun kadangkala inflasi nasional memiliki pengaruh yang negatif
terhadap investasi swasta nasional, namun untuk
investasi swasta suatu daerah hasil dapat saja
berbeda karena perilaku investasi di daerah berbeda
dengan investasi pada tingkat nasional.
Pengeluaran pemerintah memiliki hubungan
yang positif dan berpengaruh signifikan terhadap
perkembangan investasi swasta di Jawa Tengah.
Pengeluaran pemerintah memiliki pengaruh positif
sebesar 0,19. Hal ini bermakna bahwa pengeluaran
pemerintah sebesar satu satuan akan meningkatkan
investasi swasta sebesar 0,19 satuan. Oleh karena
itu, pemerintah diharapkan terus meIakukan kontribusinya melalui pengeluaran pemerintah, khususnya
pengeluaran pembangunan agar pembangunan di
daerah dapat meningkat ke taraf yang lebih maju dan
modern sehingga dapat menarik minat investasi baik
dari dalam negeri maupun luar negeri.

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

39

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan

Dalam perkembangannya, investasi swasta di


Jawa Tengah pada tahun 1986 sampai dengan 2002
banyak faktor-faktor yang berpengaruh secara
signifikan, yaitu tingkat bunga, laju inflasi dan
pengeluaran pemerintah. Dari hasil penelitian
didapatkan kesimpulan, tingkat suku bunga memiliki
hubungan negatif dan berpengaruh signifikan
terhadap perkembangan investasi swasta di Jawa
Tengah. Tingkat inflasi memiliki hubungan positip
dan berpengaruh signifikan terhadap investasi
swasta di Jawa Tengah. Pengeluaran pemerintah
memiliki hubungan yang positif dan berpengaruh
signifikan terhadap perkembangan investasi swasta
di Jawa Tengah.
Saran

Melalui kebijakan fiskal pemerintah daerah


Jawa Tengah seharusnya mengalokasikan pengeluaran pembangunan untuk proyek-proyek yang
mempunyai dampak positif terhadap perkembangan
investasi. Alokasi anggaran di bidang infrastruktur,
khususnya di bidang transportasi dan sarana publik
lainnya perlu ditingkatkan sehingga dapat menjadi
daya tarik bagi investor untuk menanamkann
modalnya di Jawa Tengah. Pembangunan jalan tol

40

Semarang-Solo adalah kebijakan yang sangat


menunjang perekonomian Jawa Tengah pada
umumnya dan hal ini adalah langkah yang sangat
baik bagi pemerintah untuk mendorong laju
perekonomian daerah. Melalui kebijakan moneter
pemerintah diharapkan bisa menjaga stabilitas harga
dan tingkat bunga pada tingkat yang rendah serta
stabil, sehingga bisa menjadi insentif bagi para
investor untuk menanamkan modalnya di Jawa
Tengah
DAFTAR PUSTAKA

Gunawan Sumodiningrat, 2001, Responsi Pemerintah Terhadap Kesenjangan Ekonomi, Jakarta:


Perpod.
Gujarati, Damodar, 1997, Ekonometrika Dasar,
Jakarta: Erlangga
Mudrajat Kuncoro, 2000, Ekonomi Pembangunan:
Teori, Masalah, dan Kebijakan, Yogyakarta:
AMP YKPN.
Mankiw, N., Geegory, 2000, Macroeconomics, Fourth
Edition, New York: Worth Publishers, Inc.
Manulang, 1993, Ekonomi Moneter, Yogyakarta:
BPFE Universitas Gadjah Mada
Nopirin, 1993, Ekonomi Moneter, Yogyakarta: BPFE
Universitas Gadjah Mada
Sadono Sukirno, 2000, Makro Ekonomi Modern.,
Jakarta: Rajawali Pers.

Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Investasi Swasta di Jawa Tengah (Sasana: 32 - 40)

PENENTUAN BENTUK FUNGSI MODEL EMPIRIK:


STUDI KASUS PERMINTAAN KENDARAAN RODA EMPAT BARU
DI INDONESIA
Andryan Setyadharma
Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang
email: andryan_sds@yahoo.com

ABSTRACT

In many cases, the determination of form of the regression function of the empirical model between
the linear model and the log-linear model is neglected when someone starts research. Someone
concludes the best model only by comparing the R2 value from respective function form and determines
the best form of the function model only based on the highest R2 value. This is clearly wrong. This study
attempted to find the best regression function model by using two kinds of tests: MacKinnon, White and
Davidson Test (MWD Test) and Bera and McAleer Test (B-M Test). This Study showed that the two
forms of the empirical function models-both the linear and log-linear functions- could be used to estimate
the demand of the new four wheels vehicle in Indonesia. Furthermore, checking by using classical
assumption, we found that the log-linear function model is the best model to estimate the demand of the
new four wheels vehicle in Indonesia.
Keywords: empirical model, linear model, log-linear model
PENDAHULUAN

Apakah suatu model empirik menggunakan


fungsi linier atau fungsi log-linier tidak banyak
mendapatkan perhatian khusus ketika seorang
memulai penelitian. Sesungguhnya dalam melakukan
suatu penelitian, menentukan bentuk fungsi model
empirik merupakan langkah awal penelitian sebelum
mulai menganalisis hasil suatu persamaan regresi.
Penentuan bentuk fungsi model empirik menjadi
sangat penting karena karena teori ekonomi tidak
secara spesifik menunjukkan ataupun mengatakan
apakah sebaiknya bentuk fungsi suatu model empirik
dinyatakan dalam bentuk linier ataukah log-linier atau
bentuk fungsi lainnya (Godfrey, et. al, 1988: 492;
Gujarati, 1992: 223; Thomas, 1997: 344-345 serta
Insukindro dan Aliman, 1998). Tanpa memilih bentuk
fungsi empirik yang sesuai akan menyebabkan
banyaknya persoalan-persoalan seperti (1) kesalahan spesifikasi, (2) estimasi-estimasi koefisien
akan bias, (3) parameter estimasi tidak akan
konsisten (Insukindro dan Aliman, 1998). Studi ini
bertujuan untuk menentukan bentuk fungsi yang
tepat untuk studi kasus permintaan kendaraan roda
empat baru di Indonesia. Dalam studi ini akan
digunakan tiga macam uji yang banyak dijadikan
referensi pengujian model linier ataukah model log-

linier, yaitu Uji MacKinnon, White dan Davidson


(MWD Test) serta Uji Bera dan McAleer (B-M).
Sindrum R2

Dalam banyak kasus, penentuan bentuk fungsi


model empirik antara model linier ataukah model loglinier banyak yang hanya dengan membandingkan
nilai R2 dari masing-masing bentuk fungsi dan
menentukan bentuk fungsi model yang terbaik hanya
berdasarkan nilai R2 yang paling tinggi. Ini jelas salah
besar. Pembahasan mengenai koefisien determinasi
(R2) dalam ekonometrika, khususnya analisis regresi
linier, bukanlah hal yang baru karena koefisien ini
merupakan salah satu besaran yang selalu
diperhatikan terutama oleh mereka yang masih
pemula menggunakan pendekatan ekonometrika
(Insukindro, 1998). Bahkan koefisien ini sering
dipandang sebagai besaran yang sangat penting
dalam estimasi dengan regresi linier dan tidak jarang
mereka terlena oleh besaran itu atau mereka
mengalami apa yang disebut dengan sindrum R2
(Maddala, 1992: 235 dalam Insukindro, 1998).
Sindrum R2 ditujukan bagi para peneliti yang
menganggap bahwa semakin tinggi nilai R2
(mendekati 0,99) maka penelitian yang mereka

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

41

lakukan menghasilkan model yang baik sementara


itu bila peneliti menemukan R2 yang rendah akan
mengganggap model yang mereka gunakan tidak
baik dan cenderung untuk memodifikasi model
bahkan memodifikasi data untuk mendapatkan nilai
R2 yang tinggi. Padahal dalam analisis regresi linier
klasik (classical linier regression = CR) tidak
diharuskan bahwa koefisien R2 tinggi, bahkan seperti
yang diungkapkan oleh Goldberger tahun 1991
bahwa a high R2 is not evidence in favor of the
model and a low R2 is not evidence against if
(Gujarati, 1995: 211 dalam Insukindro, 1998).
R2

Perlu diperhatikan bahwa koefisien hanyalah


salah satu dan bukan satu-satunya kriteria memilih
model yang baik (Insukindro, 1998). Terlebih dalam
kasus memilih bentuk fungsi antara model linier
ataukah model log-linier koefisien R2 tidak dapat
dijadikan kriteria yang utama karena yang
dibandingkan adalah dua hal yang berbeda (its not
apple to apple) 1 . Untuk memperkuat penjelasan ini
maka akan digunakan contoh permintaan kendaraan
roda empat baru di Indonesia seperti berikut ini.

SBIRIILt
INFLASIt
et

: Tingkat Suku Bunga 1 Bulan


Sertifikat Bank Indonesia Riil
: Tingkat inflasi year on year (yoy)
: Variabel gangguan atau residual

Dalam studi ini digunakan data bulanan runtut


waktu (time series) dari Januari 2001 hingga Maret
2007. Sementara bentuk model Log-linier sebagai
berikut:
L MOBILDt = 1 + 2LIHMt + 3LYCAPt +
4LPREMIUMRIILt + 5LPERTAMAXRIILt +
6LSOLARRIILt + 7SBIRIILt +
8INFLASIt + e2t

(2)

Sebagai variabel terikat digunakan data


penjualan kendaraan roda empat berdasarkan
registrasi polisi. Data berasal dari Toyota Astra
Motor. Ada pun alasan pemilihan variabel penjelas
adalah sebagai berikut:
a. Indeks harga mobil

MODEL PENELITIAN

Model yang digunakan dalam permintaan akan


kendaraan roda empat baru adalah sebagai berikut:
MOBILDt = 1 + 2IHMt + 3YCAPt +
4PREMIUMRIILt + 5PERTAMAXRIILt +
6SOLARRIILt + 7SBIRIILt +
8INFLASIt + e1t

(1)

Di mana:
MOBILDt

: Permintaan kendaraan roda em-

pat baru nasional


: Indeks harga kendaraan roda
empat baru
YCAP
: Pendapatan per kapita Harga
Konstan 2000
PREMIUMRIILt : Harga premium riil
PERTAMAXRIILt : Harga pertamax riil
: Harga solar riil
SOLARRIILt
IHMt

Secara umum, permintaan akan suatu barang


terutama dipengaruhi oleh harga barang tersebut.
Bila harga suatu komoditas meningkat maka jumlah
barang yang diminta akan berkurang, ceteris paribus,
dan begitu juga sebaliknya. Dalam penelitian
sebelumnya, harga kendaraan roda empat menjadi
salah satu variabel utama yang diamati, baik dalam
penelitian mikro maupun penelitian makro. Dykman
(1966) menyebutkan bahwa terjadi suatu masalah
dalam memformulasikan indeks harga. Dengan
adanya berbagai macam jenis dan merek dengan
spesifikasi yang berbeda-beda menjadikan harga
kendaraan roda empat berbeda satu sama lain
sehingga dalam penelitian makro perlu dibuat suatu
indeks yang dapat mencerminkan harga kendaraan
roda empat. Tidak adanya keseragaman penggunaan data yang digunakan sebagai proxy dari harga
pada penelitian sebelumnya. Data berasal dari
Toyota Astra Motor.
b. Harga premium, solar dan pertamax

42

Untuk pembahasan lebih detil mengenai sindrum R2 lihat


Insukindro (1998), Sindrum R2 Dalam Analisis Regresi Linier
Runtut Waktu, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol 13
No. 4, hal 1 11.

Biaya operasional menjadi salah satu pertimbangan ekonomis dalam menentukan pembelian

Penentuan Bentuk Fungsi Model Empirik: . . . (Setyadharma: 41 - 49)

kendaraan roda empat. Pemakaian bahan bakar


merupakan salah satu biaya operasional yang
menjadi pertimbangan dalam menentukan pembelian
jenis kendaraan roda empat, khususnya kendaraan
non komersial. Banyak penelitian sebelumnya yang
tidak memasukkan unsur biaya opersional sebagai
salah satu variabel dalam penelitiannya. Tishler
(1982) menunjukkan bahwa tidak dimasukannya
variabel biaya operasional, dalam hal ini biaya bahan
bakar, membuat estimasi parameter-parameter
dalam fungsi permintaan agregat kendaraan roda
empat menjadi bias.
Carlson (1978) menggunakan metoda
Seemingly Unrelated Regresi membangun suatu
model dengan membagi kendaraan ke dalam
masing-masing jenisnya: subcompact, compact,
intermediate, full-size dan luxury. Hasil penelitian
Carlson (1978) menunjukkan bahwa harga bahan
bakar minyak secara signifikan mempengaruhi
penjualan kendaraan pada 5 jenis kendaraan roda
empat. Hanya saja tanda variabel BBM berbeda
pada jenis subcompact dan compact (+).
Carlson dan Umble (1980) meneruskan
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Carlson
(1978) dengan menambah data dan mengganti
beberapa variabel. Hasil pengembangannya menunjukkan bahwa harga BBM berpengaruh positif dan
signifikan pada jenis kendaraan roda empat subcompact dan compact. Sementara BBM berpengaruh
negatif dan signifikan pada jenis kendaraan roda
empat standard, dan tidak signifikan pada jenis
kendaraan roda empat luxury.
Tishler (1982) menginvestigasi efek dari biaya
operasional dalam pembelian kendaraan roda empat,
dalam hal ini harga bahan bakar. Tishler membangun
suatu 2 model sederhana. Hasil penelitian Tishler
(1982) menunjukkan bahwa harga bensin memiliki
pengaruh yang signifikan dan negatif terhadap
permintaan mobil, baik permintaan mobil secara
keseluruhan maupun permintaan mobil baru.
McCarthy (1996) menggunakan metoda logit
dengan data cross section pada tahun 1989 di
Amerika Serikat menunjukkan bahwa biaya
operasional per mil (menunjukkan harga rata-rata
bahan bakar dibagi dengan jarak tempuh kendaraan)
berpengaruh negatif terhadap permintaan kendaraan. Data berasal dari Pertamina.

c. Pendapatan per kapita

Pendapatan per kapita menjadi indikator tingkat


kesejahteraan masyarakat. Dengan bertambahnya
pendapatan seseorang maka kemampuannya dalam
membeli barang akan meningkat dan memungkinkan
konsumen untuk menukar konsumsi mereka dari
barang yang kurang baik mutunya ke barang-barang
yang lebih baik (Sugiarto, et al., 2002). Dimungkinkan pula dengan meningkatnya pendapatan seseorang maka ia akan membeli barang-barang yang
lebih mewah dibandingkan sebelumnya. Sebagai
contoh, bila sebelumnya seseorang menggunakan
motor sebagai alat transportasinya namun dengan
membaiknya tingkat pendapatannya maka ia
mengganti motornya dengan kendaraan roda empat.
Dengan mengasumsikan bahwa kendaraan roda
empat adalah barang normal, maka pendapatan
berhubungan posistif dengan jumlah penjualan
kendaraan roda empat. Data PDB Indonesia berasal
dari Bank Indonesia dan data jumlah penduduk
berasal dari IMF.
d. SBI riil

Menurut Nopirin (1996) suku bunga adalah


biaya yang harus dibayar oleh peminjam atas
pinjaman yang diterima dan merupakan imbalan bagi
pemberi pinjaman atas investasinya. Suku bunga
mempengaruhi keputusan individu terhadap pilihan
membelanjakan uang lebih banyak atau menyimpan
uangnya dalam bentuk tabungan. Secara umum,
penurunan suku bunga akan diikuti oleh kenaikan
permintaan.
Walaupun tidak ada data yang pasti, sekitar 70
persen penjualan kendaraan roda empat dilakukan
melalui sistem kredit (Sargo, 2004). Apalagi saat ini
lembaga pembiayaan kendaraan maupun perbankan
berlomba-lomba untuk memberikan kemudahan
persyaratan dan proses yang cepat dalam memberikan kredit kendaraan bermotor. SBI Riil digunakan
sebagai proxy dari kredit kendaraan bermotor. Data
berasal dari Bank Indonesia.
e. Inflasi

Definisi singkat dari inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk menaik secara umum
dan terus-menerus (Boediono, 2001). Sementara

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

43

Mankiw (2004) menyatakan inflasi sebagai kenaikan


tingkat harga-harga secara keseluruhan dalam
perekonomian. Inflasi terkait dengan efek substitusi.
Dengan tingginya inflasi menyebabkan konsumsi
barang-barang yang tahan lama (durable goods) termasuk kendaraan bermotor- ditunda untuk
memenuhi barang-barang kebutuhan pokok. Selain
itu dengan adanya ekspektasi kenaikan harga-harga
di masa depan juga ikut menunda pembelian barangbarang tahan lama. Namun demikian, menurut De
Gregorio, et al. (1998) adanya penurunan awal
tingkat inflasi menyebabkan adanya wealth effect
yang mendorong konsumen mengambil keputusan
untuk membeli lebih awal/lebih cepat barang-barang
tahan lama. Data berasal dari Bank Indonesia.
Persamaan (1) dan (2) tersebut masing-masing
diestimasi dengan menggunakan metode ordinary
least square (OLS) dan hasil regresi keduanya dapat
dilihat pada tabel 1 berikut ini.
Berdasarkan hasil regresi dari dua model fungsi
yang berbeda di atas, dapat dilihat bahwa dari tujuh

variabel penjelas yang digunakan, masing-masing


model memiliki lima variabel yang signifikan secara
statistik, dengan tingkat signifikansi yang berbedabeda. Dilihat dari nilai R2 dapat dilihat bahwa model
dengan fungsi linier mempunyai nilai yang lebih tinggi
dibandingkan model dengan fungsi log-linier. Akan
menjadi kesalahan yang fatal jika hanya berdasarkan
nilai R2 diambil kesimpulan bahwa model linier
adalah yang terbaik. Dengan menggunakan dua
macam uji - Uji MacKinnon, White dan Davidson
(MWD Test) dan Uji Bera dan McAleer (B-M Test)akan dicoba dibuktikan apakah nilai R2 yang paling
besar merupakan model yang terbaik.
Pengujian Bentuk Fungsi Model Empirik

Langkah-langkah yang dikemukakan di sini


dikutip dari Insukindro dan Aliman (1998) dan kemudian disempurnakan oleh penulis untuk memudahkan
pemahaman.

Tabel 1. Hasil Regresi OLS Periode Januari 2001 Maret 2007


Independen
C
IHM
YCAP
PREMIUMRIIL
PERTAMAXRIIL
SOLARRIIL
SBIRIIL
INFLASI
F-Stat
Adjusted R2

Fungsi Linier
-8871,56
(-0,28)
89,73
(0,21)
80,42
(1,78)***
-6,76
(-1,40)
5,81
(3,50)*
-7,13
(-1,68)***
-1635,87
(-4,69)*
-846,55
(-3,10)*
29,261*
0,728

Independen
C
Log IHM
Log YCAP
Log PREMIUMRIIL
Log PERTAMAXRIIL
Log SOLARRIIL
SBIRIIL
INFLASI
F-Stat
Adjusted R2

Keterangan:
Nilai dalam kurung ( ) adalah nilai t statistik
* Signifikan pada level 1%
** Signifikan pada level 5%
*** Siginifikan pada level 10%
44

Penentuan Bentuk Fungsi Model Empirik: . . . (Setyadharma: 41 - 49)

Fungsi Log-Linier
1,64
(0,30)
-0,26
(-0,19)
2,01
(1,79)***
-0,75
(-3,57)*
0,50
(3,33)*
-0,14
(-1,10)
-0,05
(-3,73)*
-0,03
(-2,85)*
26,987*
0,710

1. Uji MacKinnon, White dan Davidson (MWD Test)

6SOLARRIILt + 7SBIRIILt + 8INFLASIt +

Untuk dapat menerapkan uji MWD, pertamatama anggaplah bahwa model empirik permintaan
kendaraan roda empat baru di Indonesia adalah
seperti pada persamaan (1) dan (2) di atas. Untuk
dapat menerapkan uji MWD, ada beberapa langkah
berikut ini perlu dilakukan:

9Z1t + 1t

a. Estimasi persamaan (1) dan (2), kemudian


nyatakan F1 dan F2 sebagai nilai prediksi atau
fitted value dari persamaan (1) dan (2).
b. Nyatakan nilai Z1 sebagai log F1 dikurangi F2 (Z1
= log F1 F2) dan Z2 sebagai antilog F2 dikurangi
F1 (Z2 = antilog F2 F1)
c. Estimasi persamaan (3) dan (4) dengan OLS
dengan memasukkan Z1 dan Z2 sebagai variabel
penjelas:

(3)

L MOBILDt = 1 + 2 LIHMt + 3LYCAPt +


4LPREMIUMRIILt + 5LPERTAMAXRIILt +
6 LSOLARRIILt + 7SBIRIILt + 8INFLASIt +
9Z2t + 2t

(4)

d. Dari langkah (c) di atas, bila Z1 pada model linier


signifikan secara statistik, maka hipotesis nol
yang menyatakan bahwa model yang benar
adalah bentuk linier ditolak dan demikian pula
untuk model log-linier, bila Z2 signifikan secara
statistik, maka hipotesis nol yang menyatakan
bahwa model yang benar adalah log-linier ditolak.

MOBILDt = 1 + 2IHMt + 3YCAPt +


4PREMIUMRIILt + 5PERTAMAXRIILt +

Tabel 2. Hasil Uji MWD Permintaan Kendaraan Roda Empat di Indonesia:


Januari 2001 Maret 2007
Independen
C
IHM
YCAP
PREMIUMRIIL
PERTAMAXRIIL
SOLARRIIL
SBIRIIL
INFLASI
Z1

Fungsi Linier
-12617.45
(-0.40)
219.51
(0.50)
68.92
(1.49)
-2.12
(-0.33)
5.20
(2.98)*
-11.44
(-1.99)**
-1950.19
(-4.35)*
-1011.92(-3.26)*
-22969.28
(-1.11)

Independen
C
Log IHM
Log YCAP
Log PREMIUMRIIL
Log PERTAMAXRIIL
Log SOLARRIIL
SBIRIIL
INFLASI
Z2

Fungsi Log-Linier
0.98
(0.21)
-0.30
(-0.20)
2.15
(2.31)**
-0.89
(-3.68)*
0.54
(3.39)*
-0.05
(-0.33)
-0.04
(-2.97)*
-0.02
(-2.37)**
0.00
(-1.33)

Keterangan:
Nilai dalam kurung ( ) adalah nilai t statistik
* Signifikan pada level 1%
** Signifikan pada level 5%
*** Siginifikan pada level 10%
JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

45

Berdasarkan persamaan (3) di atas maka


dibangun suatu hipotesis seperti berikut ini:
H0 : 9 = 0

F1 MOBILDt = 1 + 2 LIHMt + 3LYCAPt +


4LPREMIUMRIILt + 5LPERTAMAXRIILt +

HA : 9 0

6LSOLARRIILt + 7SBIRIILt +

Bila 9 berbeda dengan nol secara statistik,


maka hipotesis yang menyatakan bentuk model linier
adalah yang terbaik ditolak dan begitu pula
sebaliknya. Hasil regresi pada tabel 2 berikut ini
menunjukkan bahwa koefisien Z1 tidak signifikan
secara statistik. Dengan demikian, bentuk model
linier adalah yang terbaik.
Lebih lanjut lagi, berdasarkan persamaan (4) di
atas maka dibangun suatu hipotesis seperti berikut
ini:

8INFLASIt + Ut (5)

F2L MOBILDt = 1 + 2IHMt + 3YCAPt +


4PREMIUMRIILt + 5PERTAMAXRIILt +
6SOLARRIILt + 7SBIRIILt +
8INFLASIt + Vt (6)

di mana F1 MOBILDt = log (F1) dan F2L MOBILDt =


antilog (F2). Ut serta Vt adalah residual dari
persamaan (5) dan (6).

H0 : 9 = 0

c. Nilai Ut serta Vt disimpan sebagai variabel.

HA : 9 0

d. Lakukan regresi dengan memasukkan nilai


residual hasil regresi persamaan (5) dan (6)
sebagai variabel pembantu dalam persamaan
berikut:

Bila 9 berbeda dengan nol secara statistik,


maka maka hipotesis yang menyatakan bentuk
model log-linier adalah yang terbaik ditolak dan
begitu pula sebaliknya. Masih dari tabel 2, hasil
regresi menunjukkan bahwa koefisien Z2 tidak
signifikan secara statistik. Dengan demikian, bentuk
model log-linier adalah yang terbaik.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah
berdasarkan uji MWD, baik model linier maupun loglinier sama baiknya untuk digunakan dalam mengestimasi Permintaan Kendaraan Roda Empat Baru di
Indonesia.
2. Uji Bera dan McAleer (B-M Test)
Uji ini dikembangkan oleh Bera dan McAleer
tahun 1988 yang didasarkan pada dua regresi
pembantu (two auxiliary regressions) dan uji ini bisa
dikatakan merupakan pengembangan dari uji MWD
sebagaimana yang dibahas di atas.
Seperti halnya dalam uji MWD, untuk dapat
menerapkan uji B-M, perlu dilakukan langkahlangkah berikut ini:
a. Estimasi persamaan (1) dan (2) kemudian nyatakan nilai prediksi MOBILDt dan L MOBILDt masingmasing sebagai F1 dan F2.

46

b. Estimasi persamaan (5) dan (6):

MOBILDt = 1 + 2IHMt + 3YCAPt +


4PREMIUMRIILt + 5PERTAMAXRIILt +
6SOLARRIILt + 7SBIRIILt + 8INFLASIt +
9Ut + e1t

(7)

L MOBILDt = 1 + 2 LIHMt + 3LYCAPt +


4LPREMIUMRIILt + 5LPERTAMAXRIILt +
6LSOLARRIILt + 7SBIRIILt + 8INFLASIt +
9Vt + e2t

(8)

e. Uji hipotesis nol yang pertama adalah 9 = 0 dan


hipotesis nol yang kedua adalah 9 = 0. Jika 9
berbeda dengan nol secara statistik, maka bentuk
model linier ditolak dan sebaliknya. Pada bagian
lain, jika 9 berbeda dengan nol secara statistik,
maka hipotesis alternatif yang mengatakan bahwa bentuk fungsi log-linier yang benar ditolak.
Berdasarkan persamaan (7) di atas maka
dibangun suatu hipotesis seperti berikut ini:
H0 : 9 = 0
HA : 9 0

Penentuan Bentuk Fungsi Model Empirik: . . . (Setyadharma: 41 - 49)

Tabel 3. Hasil Uji B-M Permintaan Kendaraan Roda Empat di Indonesia:


Januari 2001 Maret 2007
Independen
C
IHM
YCAP
PREMIUMRIIL
PERTAMAXRIIL
SOLARRIIL
SBIRIIL
INFLASI
Ut

Fungsi Linier
-14931.41
(-0.46)
149.50
(0.35)
81.80
(1.80)***
-6.26
(-1.28)
5.61
(3.33)*
-7.94
(-1.81)***
-1666.42
(-4.74)*
-840.59
(-3.07)*
-15111.10
(-0.79)

Independen
C
Log IHM
Log YCAP
Log PREMIUMRIIL
Log PERTAMAXRIIL
Log SOLARRIIL
SBIRIIL
INFLASI
Vt

Fungsi Log-Linier
0.68
(0.14)
-0.02
(-0.01)
2.03
(2.19)**
-0.75
(-3.43)*
0.48
(3.09)*
-0.17
(-1.10)
-0.05
(-3.91)*
-0.03
(-2.96)*
0.00
(-1.06)

Keterangan:
Nilai dalam kurung ( ) adalah nilai t statistik
* Signifikan pada level 1%
** Signifikan pada level 5%
*** Siginifikan pada level 10%

Bila 9 tidak berbeda dengan nol secara


statistik, maka hipotesis yang menyatakan bentuk
model linier adalah yang terbaik harus diterima dan
begitu pula sebaliknya. Hasil regresi pada tabel 3
berikut ini menunjukkan bahwa koefisien Ut tidak
signifikan secara statistik. Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan bentuk model linier adalah
yang terbaik diterima.

Kesimpulan yang dapat diambil adalah berdasarkan uji B-M, baik model linier maupun log-linier
sama baiknya untuk digunakan dalam mengestimasi
Permintaan Kendaraan Roda Empat Baru di
Indonesia.

Berdasarkan persamaan (8) di atas maka


dibangun suatu hipotesis seperti berikut ini untuk
menguji model log-linier:

Tabel 4 berikut ini merangkum hasil dari Uji


MWD dan Uji B-M dan hasil pengujian menunjukkan
bahwa kedua model tersebut layak untuk digunakan
untuk mengestimasi permintaan kendaraan roda
empat baru di Indonesia. Pertanyaan selanjutnya
adalah model mana yang akan digunakan?. Ketika
kedua model layak digunakan maka langkah
selanjutnya adalah menguji kedua model dengan
asumsi klasik seperti terlihat pada tabel 5.

H0 : 9 = 0
HA : 9 0
Bila 9 berbeda dengan nol secara statistik,
maka maka hipotesis yang menyatakan bentuk
model log-linier adalah yang terbaik ditolak dan
begitu pula sebaliknya. Masih dari tabel 3, hasil
regresi menunjukkan bahwa koefisien Vt tidak
signifikan secara statistik. Dengan demikian, bentuk
model log-linier adalah yang terbaik.

HASIL PENGUJIAN

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

47

Tabel-4. Rangkuman Pengujian Uji MWDdan Uji B-M


Uji

Fungsi Terbaik

Uji MWD

Linier dan Log-linier Sama Baik

Uji B-M

Linier dan Log-linier Sama Baik

Menurut Teorema Gauss-Markov, setiap


pemerkira/estimator dari OLS harus memenuhi
kriteria BLUE (Gujarati, 1995: 72-73). Dalam uji
asumsi klasik yang dirangkum pada tabel 5, pada
model fungsi linier terjadi masalah linieritas sehingga
melanggar kriteria BLUE, khususnya kriteria L dari
BLUE, yaitu suatu model harus memiliki model
estimasi yang linier (berpangkat satu), sehingga
model fungsi linier tidak dapat digunakan karena
tidak loloa uji asumsi klasik. Dari hasil ini disimpulkan
bahwa model yang terbaik yang digunakan untuk
mengestimasi permintaan kendaraan roda empat
baru di Indonesia adalah model log-linier.
Tabel 5. Uji Asumsi Klasik
Asumsi Klasik

Fungsi Linier

Fungsi Log-linier

Normalitasa)

NORMAL
NORMAL
Linieritasb)
TIDAK LINIER
LINIER
Autokorelasi c)
TIDAK
TIDAK
d)
Heteroskedastisitas
TIDAK
TIDAK
Keterangan:
a) Jarque-Bera Test
b) Ramsey RESET Test
c) Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test
d) White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors
& Covariance

KESIMPULAN

Koefisien determinasi (R2) memang merupakan


salah satu kriteria pemilihan model, tetapi ia bukan
satu-satunya kriteria. Pengujian hanya dengan
menggunakan kriteria goodness of fit (uji t, uji F dan
R2) terbukti tidak menjamin suatu model menjadi
model yang terbaik. Studi ini menunjukkan bahwa
dengan menggunakan Uji MWD dan Uji B-M, kedua
bentuk fungsi model empirik -baik fungsi linier
maupun log-linier- dapat digunakan untuk mengestimasi permintaan kendaraan roda empat baru di
Indonesia. Namun ditelusuri lebih lanjut lagi dengaan
menggunakan asumsi klasik, dapat dipastikan bahwa
model log-linier merupakan model yang terbaik untuk
mengestimasi permintaan kendaraan roda empat
baru di Indonesia.
48

DAFTAR PUSTAKA

Boediono (2001), Ekonomi Makro: Seri Sinopsis


Pengantar Ilmu Ekonomi No. 2, Yogyakarta:
Badan Penerbit Fakultas Ekonomi.
Carlson, Rodney L. (1978), Seemingly Unrelated
Regression and the Demand for Automobiles of
Different Sizes, 1965-75: A Disaggregate
Approach, Journal of Business, Vol 51 No. 2, pp.
243-262.
Carlson, Rodney L and M. Michael Umble (1980),
Statistical Demand Functions and for
Automobiles and Their Use in Forecasting in an
Energy Crisis, Journal of Business, Vol 53 No. 2,
pp. 193-204.
De Gregorio, Jose, Pablo E. Guidotti and Carlos A.
Vegh (1998), Inflation Stabilisation and The
Consumption of Durable Goods, Economic
Journal, 108 (January), pp. 105-131.
Godfrey, L. G., Michael McAleer and C. R. McKenzie
(1988), Variable Addition and Lagrange
Multiplier Test for Linear and Logarithmic
Regression Models, Review of Economic and
Statistics, Vol. 70: pp. 492-503.
Gujarati, D.N. (1992), Essentials of Econometrics, 1st
Edition, McGraw-Hill International Edition.
Gujarati, D.N. (1995), Basic Econometrics, 3rd Edition,
McGraw-Hill, Inc.
Insukindro (1998), Sindrum R2 Dalam Analisis
Regresi Linier Runtun Waktu, Jurnal Ekonomi
dan Bisnis Indonesia, Vol 13 No. 4, hal 1 11.
Insukindro dan Aliman (1999), Pemilihan dan Bentuk
Fungsi Model Empiris: Studi Kasus Permintaan
Uang Kartal Riil di Indonesia, Jurnal Ekonomi
dan Bisnis Indonesia, Vol. 13 No. 4:49-61.
Mankiw, N. Gregory (2004), Principles of Economics,
3rd Edition, International Student Edition,
Thompson South-Western.
McCharthy, Patrick R. (1996), Market Price and
Income Elasticities of new Vehicle Demand, The
Review of Economics and Statistics, Vol 78, No.
3 (Aug.) pp. 543-547.
Nopirin (1996), Ekonomi Moneter, Yogyakarta :
Badan Penerbit Fakultas Ekonomi.
Sargo, Soehari (2004), Industri Otomotif Dalam Krisis
Ekonomi: Benteng Pasir Dihempas Gelombang,
Jakarta: Penerbit PT. Bina Rena Pariwara.
Sugiarto, Tedy Herlambang, Brastoro, Rachmat
Sudjana dan Said Kelana (2002), Ekonomi

Penentuan Bentuk Fungsi Model Empirik: . . . (Setyadharma: 41 - 49)

Mikro: Sebuah Kajian Komprehensif, Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama.
Thomas, R. L. (1997), Modern Econometrics: An
Introduction, Addison-Wesley Longman.

Tishler, Asher (1982), The Demand for Cars and the


Price of Gasoline: The User Cost Approach, The
Review of Economics and Statistics, Vol 64, No.
2 (May) pp. 184-190.

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

49

DETEKSI DINI KRISIS PERBANKAN INDONESIA:


IDENTIFIKASI VARIABEL MAKRO DENGAN MODEL LOGIT
Shanty Oktavilia
Fakutas Ekonomi Universitas Negeri Semarang
oktavilia@yahoo.com

ABSRACT

Indonesia suffered from banking crisis for several times. It was the effect of the worst crisis occurred
in 1997. Actually, Bath Thailand which plunged into 27,8% at the third quarter of the year 1997 was the
beginning problem that caused Asia currency crisis. This study analyzes the influence of macro indicator
as an early warning system by using logit econometrics model for predicting the possibilities of banking
crisis that may occur in Indonesia.
Kewords: Banking Crisis, macro economic indicator, EWS-logit model
PENDAHULUAN

Krisis perbankan yang terjadi di setiap negara


membawa dampak yang merugikan terhadap
perekonomian secara umum dan sistem keuangan
secara khusus. Krisis perbankan yang terjadi di
Indonesia tidak dapat lepas dari krisis ekonomi yang
terjadi pada pertengahan 1997. Krisis ekonomi di
Indonesia diawali dengan krisis mata uang Asia yaitu
jatuhnya nilai tukar mata uang Bath Thailand sebesar
27,8 persen pada triwulan tiga tahun 1997 dan diikuti
dengan melemahnya nilai tukar mata uang Won,
Ringgit, dan Rupiah. Disamping itu krisis juga dipengaruhi oleh faktor internal yaitu tidak dihedgingnya
utang swasta, lemahnya sistem pengawasan dan
pengaturan perbankan dan hilangnya kepercayaan
masyarakat pada pemerintah. Kondisi stagflasi dan
instabilitas mewarnai ekonomi Indonesia, khususnya
selama tahun 1998. Hal ini ditunjukkan dengan
kinerja perekonomian yang tercermin pada pertumbuhan ekonomi sampai kuartal ketiga tahun 1998
menunjukkan kontraksi (pertumbuhan negatif) sebesar -17,01 persen (year of year - y.o.y). Pada saat
yang bersamaan, laju inflasi (y.o.y) yang tercatat
11,6 persen pada akhir 1997 meningkat tajam
menjadi 82,4 persen pada kuartal ketiga 1998 telah
mengakibatkan menurunnya daya beli dan tingkat
kesejahteraan masyarakat serta memperluas
kantong-kantong kemiskinan (BI, 1998).
Secara umum kondisi perbankan Indonesia
pada tahun 1997 berkembang dengan kecepatan
tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan perkembangan

50

Dana Pihak Ketiga (DPK) yang mengalami


peningkatan yang pesat sebesar 26,94 persen pada
tahun 1997 atau meningkat dari Rp.281.718 Milyar
pada tahun 1996 menjadi Rp.357.613 Milyar.
Perkembangan DPK sektor perbankan tersebut
menunjukkan mobilisasi dana masyarakat meningkat
pesat. Sementara itu perkembangan ekspansi kredit
di sektor perbankan juga tetap kuat, terutama ke
sektor properti. Di sisi lain permasalahan pada
perbankan nasional mulai muncul pada saat sektor
perbankan berkembang pesat, yaitu terjadinya
peningkatan kredit non lancar yang pada tahun 1996
sebesar Rp27.597 Milyar meningkat menjadi
Rp30.802 Milyar. Selain itu efisiensi usaha sektor
perbankan juga semakin memburuk. Memburuknya
efisiensi usaha ini ditunjukkan dengan rasio biaya
operasional dan pendapatan operasional yang
semakin meningkat sampai kuartal pertama 1998.
Kondisi ini menandakan bahwa biaya operasional
semakin besar sementara itu pendapatan operasional tetap atau bahkan semakin berkurang.
Perkembangan beberapa indikator perbankan
menunjukkan tingginya kerentanan perbankan
nasional terhadap guncangan-guncangan yang
terjadi di dalam perekonomian. Dengan kondisi
perbankan nasional yang rentan tersebut, gejolak
nilai tukar rupiah telah menyebabkan beberapa bank
mengalami kesulitan likuiditas (mismatch) yang
sangat besar. Melemahnya nilai tukar rupiah
mengakibatkan kewajiban dalam valuta asing naik
tajam sehingga mempersulit kondisi likuiditas
perbankan. Hal ini diperburuk dengan kondisi debitur

Diteksi Dini Krisis Perbankan Indonesia: . . . (Oktavilia: 50 - 62)

Tabel 1. Beberapa Indikator Perbankan Pada Awal Krisis Ekonomi (Miliar Rupiah)
Indikator

1995

1996

1997

Dana Pihak Ketiga


214.764
281.718
357.613
Kredit
234.611
292.921
378.134
Properti
42.793
58.797
68.318
Konsumsi
25.310
35.579
39.769
Kredit Non Lancar
24.400
27.957
30.802
BOPO*
0,92
0,92
0,95
Sumber
: Laporan Tahunan Bank Indonesia, 1997/1998.
Keterangan : *) BOPO : Rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional

yang juga mengalami kesulitan dalam memenuhi


kewajiban valuta asing kepada perbankan. Besarnya
kesulitan likuiditas pada akhirnya telah memicu
terjadinya krisis pada perbankan nasional.
Batasan apakah suatu negara sedang mengalami krisis perbankan atau tidak, sampai sejauh ini
belum ada standar atau pun patokan yang bersifat
baku. Studi empiris yang dilakukan oleh DemirgucKunt dan Detragiache (1998), tentang determinan
krisis perbankan, menggariskan bahwa suatu periode
keterpurukan perbankan dapat dikategorikan sebagai
krisis apabila memenuhi minimal satu dari empat
kondisi sebagai berikut:
1. Rasio non performing asset terhadap total asset
dalam sistem perbankan telah melampaui 10
persen.
2. Biaya penyelamatan perbankan paling tidak
mencapai 2 persen dari PDB.
3. Masalah perbankan telah menyebabkan terjadinya nasionalisasi bank-bank.
4. Terjadi penarikan dana besar-besaran (bank
rush) atau pembekuan dana nasabah (deposit
freezes) atau penjaminan simpanan masyarakat
secara merata yang diberlakukan oleh pemerintah.
Dari ciri-ciri tersebut, apabila dikaitkan dengan
kondisi perbabkan di Indonesia maka dapat
dikatakan perbankan Indonesia sudah dalam
kategori krisis. Hal ini tercermin dari kondisi-kondisi
sebagai berikut (Indira dan Mulyawan, 1998):
Pertama, pada bulan Mei 1998, rasio aktiva produktif
yang non performing terhadap total asset mencapai
23,8 persen (dengan proporsi pada setiap bank: 22,5
persen bank devisa, 21,4 persen bank persero, 14,2
persen bank asing, 21 persen bank campuran, 9,5

1997/1998
452.937
476.841
70.112
39.061
109.780
1,01

persen BPD, 11,4 persen bank non devisa). Kedua,


estimasi biaya penyelamatan bank diperkirakan
mencapai kurang lebih Rp320 Triliun, yang berarti
lebih kurang 51 persen dari total PDB pada tahun
1999. Ketiga, pada bulan Agustus 1998, pemerintah
mengumumkan beberapa bank dinasionalisasikan,
dan keempat masyarakat rentan terhadap isu,
sehingga terjadi trust dana masyarakat secara besarbesaran, terutama selelah Kebijakan penutupan 16
Bank November 1997.
Penjelasan mengenai kondisi krisis perbankan
di Indonesia tersebut di atas, menunjukkan bahwa
terjadinya krisis perbankan didahului oleh terjadinya
fluktuasi dan ketidakstabilan makro ekonomi yang
menyebabkan terdepresiasinya mata uang domestik
secara signifikan dan menyulut tingginya tingkat
bunga dan inflasi, yang berujung pada terjadinya
krisis
LANDASAN TEORI
a. Definisi Krisis Keuangan dan Perbankan

Pada intinya stabilitas keuangan adalah terhindarnya dari krisis sistem keuangan (avoidance of
financial crises) (Farlane, 1999 dan Sinclair, 2001).
Secara spesifik stabilitas sistem keuangan adalah
stabilitas lembaga-lembaga dan pasar keuangan
yang membentuk suatu sistem keuangan (Crockett,
1997). Industri perbankan oleh beberapa ahli
ekonomi dianggap sebagai industri yang memerlukan
perhatian khusus karena dianggap mudah dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal perbankan dan
merupakan bagian integral dari sistem pembayaran
(Kaufman, 1997). Sifat perbankan yang merupakan
bagian dari sistem pembayaran tersebut mengakibatkan timbulnya pandangan bahwa permasa-

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

51

Buruknya kondisi
neraca perbankan

Peningkatan tingkat
suku bunga

Buruknya kondisi
pasar modal

Meningkatnya
ketidakpastian

Spekulasi dan masalah moral


hazart memperburuk keadaan
Penurunan aktivitas ekonomi:
krisis nilai tukar
Spekulasi dan masalah moral
hazard memperburuk keadaan
Kepanikan di sektor perbankan:
banking crisis

Spekulasi dan masalah moral


hazard memperburuk keadaan
Penurunan dan kemunduran
kegiatan perekonomian suatu
negara

Sumber: Frederic S Mishkin, 2001:203 dan 206


Gambar 1. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Krisis Keuangan dan Perbankan

lahan di industri perbankan dapat menyebabkan efek


negatif terhadap perekonomian yang dampaknya
jauh lebih besar daripada efek negatif karena
kejatuhan suatu perusahaan biasa. Dalam hal ini,
kekhawatiran yang timbul adalah efek bola salju dari
kejatuhan suatu bank yang menyebabkan jatuhnya
bank dan perusahaan-perusahaan lain yang memiliki
hubungan bisnis dengan bank tersebut.
Beberapa analis mengutarakan alasan-alasan
yang mendukung pernyataan bahwa industri
perbankan sebagai industri memerlukan perhatian
khusus. Alasan-alasan tersebut antara lain adalah
bahwa industri perbankan memiliki:
1. Rasio kas terhadap aset yang rendah;
2. Rasio modal terhadap aset yang rendah; dan
3. Rasio dana jangka pendek terhadap total deposit
yang tinggi.
Dengan memperhatikan kondisi di atas, penarikan dana dalam skala besar yang terjadi dalam
52

waktu singkat akan menyebabkan timbulnya


permasalahan likuiditas pada industri perbankan
yang kemudian akan mendorong bank-bank untuk
menggunakan segala cara yang mungkin dilakukan
guna memenuhi penarikan dana oleh masyarakat,
termasuk didalamnya upaya untuk menjual aset yang
ada dengan harga murah. Kondisi ini menimbulkan
distress pada sistem perbankan dan membawa
dampak lanjutan pada penurunan rentabilitas yang
pada akhirnya menuju pada kondisi insolvent.
Kegagalan perbankan secara individual sebenarnya tidak terlalu berpengaruh dalam perekonomian secara keseluruhan. Namun apabila kegagalan
terjadi pada sektor perbankan secara keseluruhan,
yaitu terganggunya hubungan antar bank sebagai
dampak kondisi fundamental ekonomi yang tidak
stabil, dikhawatirkan akan semakin memperburuk
kondisi perekonomian secara keseluruhan. Terdapat
tiga alasan utama mengapa stabilitas sistem keuangan dan perbankan mendapat perhatian penting (BI,

Diteksi Dini Krisis Perbankan Indonesia: . . . (Oktavilia: 50 - 62)

2003). Pertama, sistem keuangan dan perbankan


yang stabil akan menciptakan lingkungan yang
mendukung bagi nasabah penyimpan dan investor
untuk menanamkan dananya pada lembaga
keuangan, termasuk menjamin kepentingan masyarakat terutama nasabah kecil. Kedua, sistem keuangan dan perbankan yang stabil akan mendorong
intermediasi keuangan yang efisien sehingga pada
akhirnya dapat mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi. Ketiga, kestabilan sistem keuangan
akan mendorong beroperasinya pasar dan memperbaiki alokasi sumber daya dalam perekonomian.
Sebaliknya instabilitas sistem keuangan dan perbankan dapat menimbulkan konsekwensi yang membahayakan yaitu tingginya biaya fiskal yang harus
dikeluarkan untuk menyelamatkan lembaga keuangan dan perbankan yang bermasalah dan penurunan
PDB akibat krisis perbankan.
b. Penyebab Terjadinya Krisis Keuangan dan
Perbankan

Krisis keuangan dan perbankan dapat dipicu


oleh berbagai risiko yang bersumber dari elemenelemen yang terkait dengan sistem keuangan.
Adapun elemen-elemen tersebut saling terkait satu
sama lain, antara lain: (1) lingkungan makro ekonomi
yang stabil; (2) lembaga finansial yang dikelola
dengan baik; (3) pasar keuangan yang efisien; (4)
kerangka pengawasan prudensial yang sehat; dan
(5) sistem pembayaran yang aman dan handal.
(Farlane, 1999)
Menurut Fisher (1997), krisis keuangan dan
perbankan dapat disebabkan oleh faktor internal
maupun eksternal yang terdapat dalam sistem
keuangan suatu negara. Terdapat tiga hal mendasar
yang dapat menjelaskan latar belakang terjadinya
krisis: Pertama, meskipun tidak ada kaitan antara
deregulasi dan krisis keuangan, sistem perbankan di
beberapa negara banyak menghadapi problema
setelah pemerintah melancarkan kebijakan deregulasi, khususnya jika kerangka ketentuan (regulatory
framework) dan perangkat sistem pengawasan (prudential supervision) tidak mampu mengakomodasi
tuntutan deregulasi. Kedua, belum adanya pemahaman substansi produk-produk keuangan oleh
otoritas pengawasan bank, padahal perkembangan
financial market yang produk-produknya bercirikan
inherent risk sangat tinggi. Atau dapat dikatakan

bahwa perkembangan industri keuangan khususnya


perbankan bergerak dalam deret ukur sementara
kemampuan otoritas pengawasan bergerak seperti
deret hitung. Ketiga, pemerintah melakukan liberalisasi di sektor keuangan tanpa memastikan apakah
sistem keuangan domestik dalam kondisi sehat dan
stabil, serta kebijakan makro ekonomi berjalan
secara efektif.
Argumentasi lain mengenai terjadinya krisis
keuangan dan perbankan dikemukakan oleh
Krugman (1998). Menurut Krugman krisis keuangan
dan perbankan di kawasan Asia disebabkan oleh
terjadinya peningkatan harga aset yang tidak
terkendali (aset price bubles) yang kemudian hari
mengalami kemerosotan nilai (kolaps). Krugman
menyatakan bahwa problem krisis berawal dari moral
hazard yang terjadi pada financial intermediation.
Pemerintah melakukan penjaminan utang terhadap
dana masyarakat tetapi tidak ada pengaturan yang
jelas terhadapnya. Hal ini menyebabkan timbulnya
pinjaman yang berisiko sehingga pada gilirannya
memacu inflasi atas asset price. Penentuan harga
aset yang berlebih di mana perkembangan pinjaman
berisiko meningkatkan harga aset, membuat kondisi
lembaga perantara menjadi lebih terlihat daripada
sebelumnya. Apabila hal tersebut berjalan terus
menerus akan berakibat terjadinya vicious circle.
Anjloknya harga aset membuat insolvensi lembaga
perantara terlihat jelas dan memaksa untuk
memperbaiki likuiditas / menghentikan operasi.
c. Krisis Perbankan di Indonesia

Secara spesifik kondisi krisis perbankan di


Indonesia diawali dengan krisis nilai tukar Rupiah
terhadap Dolar Amerika pada pertengahan 1997.
Kenaikan nilai tukar tersebut menyebabkan inflasi
yang berdampak pada peningkatan suku bunga yang
akhirnya berpengaruh pada sektor perbankan, dunia
usaha dan sektor perekonomian secara keseluruhan.
Lingkaran permasalahan ekonomi di Indonesia secara rinci dapat di gambarkan dalam gambar 2. berikut.
Dari gambaran tersebut di atas maka penelitian
ini bertujuan untuk membuat suatu signal yang dapat
mengidentifikasi terjadinya krisis lebih awal, dengan
memperhatikan indikator-indikator yang mempengaruhi krisis. Secara garis besar kerangka pemikiran
penelitian ini adalah sebagai berikut gambar 3.

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

53

KONDISI MONETER
NILAI TUKAR

INFLASI MENINGKAT

MELEMAH

TAJAM

SUKU BUNGA
MENINGKAT

PERBANKAN TERPURUK

KEPERCAYAAN MENURUN

MASALAH SOSIAL MENINGKAT


DUNIA USAHA SURAM

PENGANGGURAN MENINGKAT

EKONOMI TERKONTRAKSI

Sumber: Bank Indonesia, Laporan Tahunan 1997/1998


Gambar 2. Lingkaran Permasalahan Ekonomi Indonesia Pada Masa Krisis

merupakan model ekonometrika yang digunakan


untuk melihat pengaruh variabel independen
terhadap variabel dependen, di mana variabel
dependen merupakan variabel diskrit (dummy
variable) yang bernilai 1 dan 0. Sedangkan variabel
independennya bersifat non diskrit.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian / studi ini


adalah data sekunder, yaitu data yang diambil dari
berbagai terbitan dan publikasi yang telah tersedia.
Data sekunder yang digunakan pada penelitian ini
adalah data kwartalan yang berada pada periode
1983 sampai dengan 2003.
Data diawali tahun 1983 karena pada tahun
tersebut merupakan awal deregulasi sektor perbankan di Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat
menganalisis perkembangan data sampai tahun
2003 yang dimaksudkan untuk melihat apakah
potensi.
Teknik Analisis dengan Model Logit

Untuk mengetahui pengaruh dan tingkat signifikansi masing-masing indikator fundamental ekonomi terhadap krisis perbankan yang terjadi di
Indonesia digunakan Model Logit. Model Logit

54

Dalam penelitian ini Dependent Variabel adalah


krisis di Indonesia Periode 1983.1 2003.4. Krisis
merupakan variabel dummy di mana terjadi dua
karakteristik probabilitas yang ditunjukkan dengan
angka satu (yang berarti krisis sedang terjadi) dan
nol (yang berarti tidak terjadi krisis). Secara umum
model logit dapat dinyatakan sebagai berikut:

Li = Log

Pi
= bo +
1 Pi

b j X ij

(1)

j=1

Li : Variabel dependen (= 1 bila terjadi krisis


dan = 0 bila tidak terjadi krisis)
Pi : Probabilitas
Xij : Variabel independen
Dari model umum tersebut dperoleh model logit
untuk krisis di Indonesia sebagai berikut:
Li = log

Pi
= bo + b 1 X 1 + b 2 X 2 +
1 Pi

b 3 X 3 + ........ + b 12 X 12 + u i
Di mana :
X1 : Nilai tukar rupiah
X2 : Suku bunga deposito riil

Diteksi Dini Krisis Perbankan Indonesia: . . . (Oktavilia: 50 - 62)

(2)

X3
X4
X5
X6
X7
X8
X9
X10
X11
X12

: Inflasi
: Rasio M2 dan cadangan devisa
: M2 Multiplier
: Kredit domestik
: Rasio Cadangan likuid dan asset perbankan (cash bank ratio)
: Keseimbangan kelebihan uang beredar
(excess money balance)
: Rasio suku bunga kredit dan suku bunga
deposito
: Simpanan Dana Pihak Ketiga
: Rasio kredit sektor swasta dan GDP
: Pertumbuhan Ekonomi

full blanket guarantee (dana penjaminan


simpanan pihak ketiga oleh bank sentral)
terhadap total simpanan pihak ketiga pada
bank.

: Perubahan tingkat suku bunga riil jangka


pendek, pada pasar uang. Data suku bunga
pada pasar uang diproksi dengan suku
bunga pasar uang antar bank (PUAB).

: Standar deviasi perubahan masing-masing


komponen.

Berdasarkan definisi yang dikeluarkan IMF


(1998), Krisis perbankan mengacu pada situsi di
mana jumlah bank yang mengalami kegagalan
meluas dan mendorong pemerintah untuk melakukan
intervensi dalam skala besar. Krisis perbankan
didefinisikan sebagai keadaan di mana terjadi
tekanan ekstrem dalam sektor perbankan, antara
lain: (Demirgc-Kunt and Detragiache, 1998)

Krisis terjadi saat indeks tersebut mengalami


kenaikan di atas nilai ekstrimnya atau pada saat
indeks mmpt > kmmp +mmp dan tidak terjadi krisis
jika di bawah nilai ekstrimnya. Di mana k adalah
ambang batas dengan nilai 1; 1,25; 1,5; 2; 2,5 dan 3;
mmp adalah standar deviasi mmp dan emp adalah
rata-rata mmp. Pada beberapa penelitian tentang
early warning system batas kontrol yang digunakan
berkisar antara 1,5 sampai 3 kali standar deviasi.
Tidak ada aturan atau pun alasan yang jelas
mengenai angka pengali batas kontrol yang
digunakan, sebagai contoh pada model KLR
menggunakan 3 kali standar deviasi sedangkan
model Bank Dunia menngunakan 1,5 kali standar
deviasi.

1. Rasio nonperforming asset terhadap total asset


lebih dari 10 persen.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penentuan nilai 1 dan 0 sebagai variabel krisis


dengan menggunakan penentuan periode krisis
dengan indeks MMP.
Penentuan Periode Krisis

2. Biaya operasi penyelamatan minimal 2 persen


dari GDP.
3. Permasalahan sektor perbankan berakibat pada
nasionalisasi perbankan dalam skala besar.
4. Indikator-indikator perbankan berada pada ukuran yang membahayakan sehingga menyebabkan
reaksi pemerintah.
Indeks dihitung sebagai rata-rata bobot dari
persentase perubahan suku bunga riil jangka pendek
atau dengan formula (Demirgc-Kunt, Detragiache,
and Gupta, 2000 dan Hagen von Jrgen and Ho Taikuang, 2003) sebagai berikut:
mmp = / () + r / (r)

(3)

mmp : Indeks tekanan pasar uang.

: Perubahan dana bank sentral terhadap simpanan sektor perbankan, yang didefinisikan
sebagai rasio dari bantuan kredit dari otoritas
moneter. Variabel ini diproksi dengan rasio

Regresi terhadap model penelitian masingmasing series dilakukan tiga kali yaitu dengan
variabel krisis yang menggunakan ambang batas 1,5
kali standar deviasi (mendasarkan pada model early
warning IMF). Adapun variabel independen yang
digunakan terangkum dalam tabel 2 dan tabel 3
sebagai berikut:
Estimasi model regresi model logit dengan
menggunakan series bulanan diperoleh hasil sebagai
berikut:
KRISIS = 1@LOGIT ((189.92 CBR 0.638 INFLASI
(1,9248)
(1,5740)
0.989 PBD 0.603 PDK + 0.256 PKURS
(2,2414)
(2,0980)
(1,9902)
+ 6.214 SBK_SBD + 0.075 SBD
(0,8403)
(0,5422)
70737.50 EMBB 2.71 M2_CD
(0,9534)
(1,7921)

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

55

+ 4.29 M2M 22.706))


(2,4622) (1,3978)

Keterangan: Angka di dalam kurung adalah z-statistik


LR statistic (10 df)
: 39.88455
Probability (LR stat)
: 0.0000178
McFadden R-squared (R2McF) : 0.623459
Dari hasil tersebut di atas, maka estimasi
dengan model regresi logit dapat diinterpretasikan
sebagai berikut: (Gujarati, 2003):
1. Untuk melihat hubungan antara masing-masing
variabel independen dan variabel dependen
secara parsial digunakan z-statistik. Hal ini
dimungkinkan karena dalam sampel yang
jumlahnya besar z-statistik digunakan untuk
menggantikan t-statistik. Jika nilai z-hitung lebih
besar dari z- tabel, maka hipotesis nol diterima
dan dinyatakan bahwa koefisien estimasi variabel
signifikan, dan apabila z-hitung lebih keci dari z-

56

tabel maka hipotesa nol ditolak dan dinyatakan


tidak signifikan. Hubungan parsial dapat pula
dilihat dari nilai probabilitas z-hitung, di mana
probabilitas z-hitung dengan derajat kepercayaan
95% (=5%). Jika probabilitas z-statistik ( - ztabel) lebih kecil dari maka dinyatakan
hipotesis nol diterima dan dinyatakan bahwa
koefisien estimasi signifikan berpengaruh.
Apabila probabilitas z-statistik ( - z-tabel) lebih
besar dari maka hipotesis nol ditolak dan
dinyatakan koefisien estimasi tidak signifikan
berpengaruh. Hubungan parsial masing-masing
variabel dengan menggunakan z-statistik
terangkum dalam tabel 4 sebagai berikut.

Diteksi Dini Krisis Perbankan Indonesia: . . . (Oktavilia: 50 - 62)

Tabel 2. Variabel Bebas yang Digunakan dalam Model Logit dengan Series Bulanan
No.

Nama Variabel

Hubungan

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Pertumbuhan Kurs
Suku bunga deposito
Tingkat inflasi
Rasio m2 dan cadangan devisa
Cash bank ratio
Rasio suku bunga kredit dan suku bunga deposito
Excess money balance
M2 Multiplier
Pertumbuhan Simpanan dana pihak ke tiga
Pertumbuhan Kredit domestik

Positif
Positif atau Negatif
Positif
Negatif
Positif
Positif atau negatif
Positif atau negatif
Positif atau negatif
Positif atau negatif
Positif atau negatif

Tabel 3. Variabel Bebas yang Digunakan dalam Model Logit dengan Series Kuartal
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Nama Variabel
Pertumbuhan Kurs
Tingkat inflasi
Rasio m2 dan cadangan devisa
Cash bank ratio
Rasio suku bunga kredit dan suku bunga deposito
Excess money balance
M2 Multiplier
Pertumbuhan Simpanan
Pertumbuhan Kredit domestik
Rasio kredit domestik dan PDB
Pertumbuhan PDB

Tabel 4. Probabilitas z-Statistik Model Logit dengan


Series Bulanan
Variabel Bebas

Hubungan

Probabilitas z-statistik

Keterangan

CBR
0.0542
*
INFLASI
0.1155
***
PBD
0.0250
*
PDK
0.0359
*
PKURS
0.0466
*
SBK_SBD
0.4007
***
SBD
0.5876
***
EMB
0.3404
***
M2_CD
0.0731
**
M2M
0.0138
*
C
0.1622
***
Sumber: Hasil Estimasi
Keterangan: *) Signifikan pada =5% **) signifikan pada
=10% ***) Tidak Signifikan

Positif
Positif
Negatif
Positif
Positif atau negatif
Positif atau negatif
Positif atau negatif
Positif atau negatif
Positif atau negatif
Positif atau negatif
Negatif

2. Dari tabel 4 tersebut nampak bahwa hanya


variabel cash bank ratio, variabel pertumbuhan
simpanan, variabel pertumbuhan domestik kredit,
pertumbuhan kurs, dan variabel multiplier M2
signifikan mempengaruhi probabilitas terjadinya
krisis pada 5%. Pada variabel rasio m2 dan
cadangan devisa signifikan pada 10%
3. Serupa dengan R2, untuk melihat kemampuan
model di dalam menerangkan variasi perubahan
variabel berikutnya dalam model logit digunakan
Pseudo R2. Seperti halnya dengan R2 nilai
pseudo R2 adalah 0 Pseudo R2 1. Di mana
semakin tinggi Pseudo R2 kemampuan model
dalam menerangkan variasi perubahan model
terikatnya. Bila nilai Pseudo R2 adalah satu
berarti pencocokan sempurna, sedangkan bila
nilai Pseudo R2 nol berarti tidak ada hubungan
variabel tak bebas dengan variabel bebas. Dalam

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

57

penelitian ini Pseudo R2 digunakan McFadden R2.


Nilai McFadden R2 dari hasil estimasi adalah
0,6234, hal ini berarti bahwa variabel bebas
dalam model empiris mampu menerangkan
perubahan probabilitas terjadinya krisis sebesar
62,34 persen dan selebihnya atau 37,66 persen
diterangkan oleh variabel lain di luar model
empiris.
4. Untuk mengetahui apakah variabel bebas secara
bersama-sama (simultan) mempunyai pengaruh
terhadap variabel tak bebas digunakan
Likekihood Ratio (LR) Statistik. Hipotesa dari
analisa ini adalah jika nilai LR statistik lebih besar
dari 2, maka hipotesis nol diterima dan
dinyatakan bahwa secara bersama-sama variabel
bebas signifikan berpengaruh terhadap variabel
tak bebas, dan apabila nilai LR statistik lebih kecil
dari 2 maka hipotesa nol ditolak dan dinyatakan
tidak signifikan. Dari hasil estimasi diperoleh nilai
LR statistik adalah 39,88 (df = 10) dan nilai 2
pada df = 10 adalah 25,1882. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa secara bersama-sama
variabel bebas pada model empiris berpengaruh
signifikan terhadap probabilitas terjadinya krisis
perbankan.
5. Selanjutnya dari hasil estimasi model logit,
hubungan antara variabel bebas yang signifikan
pada 5% berpengaruh terhadap variabel tak
bebas diinterpretasikan sebagai berikut:
a. Rasio cadangan likuiditas bank dan total
asset (cash bank ratio-CBR) dalam hasil
estimasi mempunyai koefisien 189,92. Hal
ini berarti apabila variabel-variabel lain
dianggap konstan maka penurunan rasio
cadangan likuiditas bank dan total asset
sebesar 1 akan menyebabkan peningkatan
secara rata-rata pada estimasi logit probabilitas terjadinya krisis perbankan sebesar
189,92. Interpretasi selanjutnya adalah
melihat ukuran probabilitas (term of odds) dari
variabel CBR dengan meng-antilog-kan
koefisien terlebih dulu. Antilog dari koefisien
CBR diperoleh nilai 8,317E+189. Hal ini
berarti Variabel rasio cadangan likuiditas bank
dan total asset dapat menyebabkan kemungkinan terjadi krisis sebanyak 8,317E+189 kali
dari pada kemungkinan tidak terjadi krisis.

58

b. Variabel pertumbuhan simpanan (PBD) dalam


hasil estimasi dengan regresi logit mempunyai
koefisien 0,6384. Hal ini berarti apabila
variabel-variabel lain dianggap konstan maka
penurunan pertumbuhan simpanan sebesar 1
persen akan menyebabkan peningkatan secara rata-rata pada estimasi logit probabilitas
terjadinya krisis perbankan sebesar 0,63.
Ukuran probabilitas (term of odds) dari
variabel PBD diketahui dari antilog koefisien
PBD sebesar 4,35. Hal ini berarti variabel
pertumbuhan simpanan dapat menyebabkan
kemungkinan terjadi krisis sebanyak 4,35 kali
dari pada kemungkinan tidak terjadi krisis.
c. Variabel pertumbuhan kredit domestik (PDK)
dalam hasil estimasi dengan regresi logit
mempunyai koefisien 0,6038. Hal ini berarti
apabila variabel-variabel lain dianggap konstan maka penurunan pertumbuhan kredit
domestik sebesar 1 persen akan menyebabkan peningkatan secara rata-rata pada
estimasi logit probabilitas terjadinya krisis
perbankan sebesar 0,603. Ukuran probabilitas
(term of odds) dari variabel PDK diketahui dari
antilog koefisien PDK sebesar 4,02. Hal ini
berarti variabel pertumbuhan kredit domestik
dapat menyebabkan kemungkinan terjadi
krisis sebanyak 4,02 kali dari pada kemungkinan tidak terjadi krisis.
d. Variabel pertumbuhan nilai tukar Rupiah
terhadap US Dolar (PKurs) dalam hasil
estimasi dengan regresi logit mempunyai
koefisien 0,256. Hal ini berarti apabila
variabel-variabel lain dianggap konstan maka
kenaikan pertumbuhan nilai tukar Rupiah
terhadap US Dolar sebesar 1 persen akan
menyebabkan peningkatan secara rata-rata
pada estimasi logit probabilitas terjadinya
krisis perbankan sebesar 0,25. Ukuran
probabilitas (term of odds) dari variabel PBD
diketahui dari antilog koefisien PBD sebesar
1,804. Hal ini berarti variabel pertumbuhan
nilai tukar Rupiah terhadap US Dolar dapat
menyebabkan kemungkinan terjadi krisis
sebanyak 1,804 kali dari pada kemungkinan
tidak terjadi krisis.
e. Variabel multiplier M2 dalam hasil estimasi
dengan regresi logit mempunyai koefisien

Diteksi Dini Krisis Perbankan Indonesia: . . . (Oktavilia: 50 - 62)

4,29. Hal ini berarti apabila variabel-variabel


lain dianggap konstan maka peningkatan
multiplier M2 sebesar 1 persen akan
menyebabkan peningkatan secara rata-rata
pada estimasi logit probabilitas terjadinya
krisis perbankan sebesar 0,63. Ukuran
probabilitas (term of odds) dari variabel
multiplier M2 diketahui dari antilog koefisien
PBD sebesar 19542,67. Hal ini berarti
variabel multiplier M2 dapat menyebabkan
kemungkinan terjadi krisis sebanyak 19542,67
kali dari pada kemungkinan tidak terjadi krisis.
Dalam model empiris dengan menggunakan
series bulanan, variabel pertumbuhan ekonomi dan
rasio kredit domestik dan PDB tidak dapat
diakomodasi karena ketidaktersediaan data PDB
dalam series bulanan. Sehingga dalam penelitian ini
untuk melihat bagaimana pengaruh variabel
pertumbuhan ekonomi dan variabel rasio domestik
kredit terhadap PDB terhadap probabilitas terjadinya
krisis perbankan digunakan estimasi dengan series
kuartalan. Dari hasil estimasi dengan series
kuartalan diperoleh hasil sebagai berikut:
KRISIS = 1@LOGIT ((50.462 CBR + 73129.851 EMB
(1,0334)
(1,0578)
0.881 INFLASI 0.944 M2_CD + 6.239 M2M
(1,5255)
(1,13977)
(1,4941)
0.358 PBD + 0.028 PKURS + 0.607 PDK
(1,1039)
(0,2448)
(1,3163)
+ 0.713 PGDP 3.643 SBK_SBD
(0,3653)
(0,5048)
+3.99 DK_GDP 48.039))
(1,3138)
(1,253)

Keterangan: Angka di dalam kurung adalah z-statistik


LR statistic (11 df)
: 22.36254
Probability(LR stat)
: 0.021710
2
McFadden R-squared (R McF) : 0.589884
Dari hasil estimasi dengan data kuartalan dengan
model regresi logit tersebut, maka dapat diinterpretasikan sebagai berikut (Gujarati, 2003):
1. Hubungan parsial masing-masing variabel
dengan menggunakan z-statistik terangkum
dalam tabel 5 sebagai berikut.

Tabel 5. Probabilitas z-Statistik Model Logit dengan


Series Kuartalan
Variabel Bebas

Probabilitas z-statistik

Keterangan

CBR
0.3014
***
INFLASI
0.2901
***
PBD
0.1271
***
PDK
0.2544
***
PKURS
0.1351
***
SBK_SBD
0.2696
***
SBD
0.8066
***
EMB
0.1881
***
M2_CD
0.7148
***
M2M
0.6136
***
C
0.1889
***
Sumber: Hasil Estimasi,
Keterangan: *) Signifikan pada =5% **) signifikan pada
=10% ***) Tidak Signifikan

Pada tabel 5 tersebut nampak bahwa seluruh


variabel tidak signifikan berpengaruh terhadap
probabilitas terjadinya krisis perbankan baik pada
5%. Atau pun pada pada 10%
2. Nilai McFadden R2 dari hasil estimasi adalah
0,5898, hal ini berarti bahwa variabel bebas
dalam model empiris mampu menerangkan
perubahan probabilitas terjadinya krisis sebesar
58,98 persen dan selebihnya atau 40,02 persen
diterangkan oleh variabel lain di luar model
empiris.
3. Nilai LR statistik adalah 39,88 (df = 11) dan nilai
2 pada df = 11 adalah 26,7569. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa secara
bersama-sama variabel bebas pada model
empiris berpengaruh signifikan terhadap
probabilitas terjadinya krisis perbankan.
4. Dikarenakan secara parsial tidak terdapat
variabel bebas yang signifikan berpengaruh
maka, nilai koefisien estimasi tidak dapat
diinterpretasikan lebih lanjut.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan

Dengan menggunakan model ekonometrika


logit dengan series data bulanan diperoleh hasil
terdapat 5 variabel bebas yang signifikan

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

59

mempengaruhi probabilitas terjadinya krisis


perbankan di Indonesia pada 5%, yaitu: cash bank
ratio, pertumbuhan simpanan, pertumbuhan kredit
domestik, pertumbuhan kurs dan multiplier M2.
Terdapat satu variabel yang signifikan berpengaruh
pada 10% yaitu variabel rasio M2 dan cadangan
devisa.
Dalam estimasi logit dengan series bulanan
tersebut McFadden R2 adalah 0,6234, hal ini berarti
bahwa variabel bebas dalam model empiris mampu
menerangkan perubahan probabilitas terjadinya
krisis sebesar 62,34 persen dan selebihnya atau
37,66 persen diterangkan oleh variabel lain di luar
model empiris.
Untuk mengakomodasi variabel pertumbuhan
ekonomi dan rasio kredit domestik dan PDB
digunakan estimasi logit dengan series kuartalan.
Dari hasil estimasi diperoleh Nilai McFadden R2
sebesar 0,5898, hal ini berarti bahwa variabel bebas
dalam model empiris mampu menerangkan
perubahan probabilitas terjadinya krisis sebesar
58,98 persen dan selebihnya atau 40,02 persen
diterangkan oleh variabel lain di luar model empiris.
Namun demikian secara parsial tidak ada variabel
bebas yang signifikan berpengaruh terhadap
probabilitas terjadinya krisis perbankan di Indonesia.
Saran

Dalam penyusunan sistem deteksi dini krisis


perbankan
sangat
diperlukan
pendekatanpendekatan lainnya sebagai alat cek silang (cross
check) sehingga antisipasi terhadap krisis benarbenar dapat dilakukan dengan lebih komprehensif.
Selain itu, berbagai indikator utama (leading
indicators) siklus bisnis (business cycle) juga perlu
dikembangkan untuk melihat tren perkembangan
ekonomi ke depan.
Perlu disusun suatu early warning system
terhadap kondisi ekonomi makro Indonesia dengan
pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi
internal dan eksternal untuk menghindari krisis
perekonoian yang lebih luas. Selain itu peningkatan
transparancy, akurasi serta timely data ekonomi
makro dan keuangan di Indonesia dapat
ditingkatkan.

60

DAFTAR PUSTAKA

Bank Indonesia, beberapa edisi, Laporan Tahunan,


Jakarta.
_____, beberapa edisi,
Indonesia, Jakarta.

Direktori

Perbankan

_____, beberapa edisi, Statistik Ekonomi Keuangan


Indonesia, Jakarta.
_____, beberapa edisi, Statistik Ekonomi Moneter
Indonesia, Jakarta.
_____, beberapa edisi, Booklet Perbankan Indonesia,
Jakarta.
_____, 2003, Kajian Stabilitas Keuangan No. 2
Desember 2003, Jakarta.
Bussiere Matthieu and Fratzscher Marcel, 2002,
Toward A New Early Warning System of
Financial Crises, European Central Bank
Working Paper Series No. 145 May 2002.
Carson S. Carol and Ingves Stefan, 2001, Financial
Soundness Indicators: Policy Paper, IMF
Working Paper Juni 2001.
Demirguc-Kunt, Asli., dan Enrica, Detragachie.,
1998, The Determinant of Banking Crises in
Developing and Developed Countries, IMF Staff
paper Vol 45, No. 1 Maret 1998.
Diebold, X Francis and Rudebusch, D Glenn, 1989,
Scoring the Leading Indicators, Journal of
Bussiness Vol 62, No. 3.
Edison H., 2000, Do Indicator of Financial Crises
Work? An Evaluating of Early Warning System,
International Finance Discussion Paper No 675,
Board of Governrs of the Federal Reserve
system, July 2000.
Endy Dwi Tjahyono, 1998, Fundamental Ekonomi,
Contagion Effect dan Krisis Asia, Buletin
Ekonomi Moneter dan Perbankan Volume 1
Nomor 2 September 1998.
Enoch, Charles, Baldwin, Barbara, and Frecaut,
Oliver, 2001, Indonesia: Anatomy of Banking
Crisis Two Years of Living Dangerously, 199799, IMF Working Paper May 2001.
Enoch, Charles, Marrie. G Anne and Hardy Daniel,
2002, Banking Crises and Bank Resolution:
Experiences in Some Transition Economies,
IMF Working Paper March 2002.

Diteksi Dini Krisis Perbankan Indonesia: . . . (Oktavilia: 50 - 62)

Fischer, Stanley, 1997, Central Banking: The


Challenges Ahead Financial System Soundness,
Financial & Development Journal March 1997.
Flood Robert P. And Marion Nancy, 2001, A Model
of The Joint Distribution of Banking and
Exchange-Rate Crises, IMF Working Paper,
Desember 2001.
Frydl Edward.J and Quintyn Marc, 2000, The
Benefits and Costs of Intervening in Banking
Crises, IMF Working Paper August 2000.
Gerbach Hans and Wenzelburger Jan, 2003, The
Workout of Banking Crises: A Macroeconomic
Prespective, Working Paper, University of
Heidelberg.
George F. Kaufman, Preventing Banking Crises in
the Future: Lessons from past mistakes, The
Independent Review, v.II, n.1. Summer 1997,
p.55.
Gujarati D, 2003, Basic Econometric, Mc Graw Hill
International Edition
Hagen von Jrgen and Ho Tai-kuang, 2003, Money
Market Pressure and the Determinants of
Banking Crises, Center for European Integration
Studies Journal April 2003, University of Bonn
Hair, Jr., Joseph F, Rolph E. Anderson, Ronald L.
Tatman, and William C. Black, 1995, Multivariate
Data Analysis with Reading, Fifth Edition, New
York: Mac millan Publishing Company, 1995
Hardy. C. Daniel and Pazarbasioglu Ceyla, 1998,
Leading Indicators of Banking Crises: Was Asia
Different?, IMF Working Paper June 1998
Hawkins, John and Klau Marc, 2002, Early Warning
Indicators for Emerging Economies, Paper
Prepared for Irving Fisher Committee conference
on challenges to central bank statistical
Activities, 20-22 august 2002, Basel.
Insukindro, 1993, Ekonomi Uang dan Bank: Teori
dan Pengalaman di Indonesia, BPFE Yogyakarta.
Jovanovska, Natasha, 2002, Basic Principles of
Early Warning System, Bulletin / Ministry of
Finance 1/2002.
Kamins S, Babson O, 1999, The Contribution of
Domestic and external to Latin American
Devaluation Crises: An Early Warning System
Approach, International Finance Discussion

Papers No 645, Board of Governrs of the


Federal Reserve system, September 1999.
Kaminsky G., Lizondo S., Reinhart C., 1998,
"Leading Indicators of Currency Crises", IMF
Staff Papers, Vol. 45, No1, March 1998.
Kaminsky G., 1998, "Currency and Banking Crises:
The Early Warnings of Distress", International
Finance Discussion Papers, No. 629, October
1998.
Kaminsky G, Reinhart C, 1999, The Twin Crises:
The Cuses of Banking and Balance of Payment
Problems, The American Economic Review Vol
89 No 3, June 1999.
Komulainen, Toumas, 1999, Currency Crises
Theories Some Explanations for the Russian
Case, BOFIT Discussion Papers 1/1999.
Krugman, Paul, 1979, A Model of Balance-ofPayments Crises, Journal of Money, Credit, and
Banking Vol. 11, No. 3 August.
Krugman, Paul, 1996, Are Currency Crises Self
Fulfilling?, NBER Macroeconomics Annual 1996.
Krugman, Paul and Obstfeld, M, 1997, International
economics: Theory and Policy, Addison
Wesley.
Kwik Kian Gie, 1998, Gonjang-Ganjing Ekonomi
Indonesia-Badai belum Akan Segera Berlalu.
PT.Gramedia Jakarta, 1998
Lukman Dendawijaya, 2004, Lima Tahun
Penyehatan Perbankan Nasional 1998-2003,
Ghalia Indonesia, Jakarta.
Mankiw, N, Gregory, 2003, Macroeconomics, Worth
Publisher, New York.
Muliaman D. Hadad, Wimboh Santoso, dan
Bambang Arianto, 2003, Indikator Awal Krisis
Perbankan, Kajian Stabilitas Keuangan No. 2
Desember 2003, Bank Indonesia, Jakarta.
Muliaman D Hadad ,Wimboh Santoso dan Ita Rulina,
2003, Indikator Kepailitan di Indonesia: An
Additional Early Warning Tools Pada Stabilitas
Sistem Keuangan, Kajian Stabilitas Keuangan
No. 2 Desember 2003, Bank Indonesia, Jakarta.
Obstfeld, M, 1998, The Global Capital Market:
Benefactor or Menace? NBER Working Paper
6559.

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

61

Sundarajan, V. And Tomas J.T. Balino (Eds.), 1991,


Banking Crises: Cases and Isues, IMF Working
Paper, Washington.

Syahril Sabirin, 2003, Perjuangan Keluar dari Krisis:


Percikan Pemikiran Dr. Syahril Sabirin, BPFE,
Yogyakarta.

Syahril Sabirin, 2000, Upaya Pemulihan Ekonomi


Melalui Strategi Kebijakan Moneter Perbankan
Dan Independensi Bank Indonesia. Makalah
pada Seminar Nasional 5 Februari 2000:
Strategi Pemulihan Ekonomi Era Pemerintahan
Baru. Surabaya : KAGAMA Jatim dan
Perkumpulan Peningkatan Usaha Kecil (PUPUK).

Yap, Josef T, 1998, Developping an Early Warning


System for BOP and Finansial Crises: The Case
of the Philipines, Discussion Paper Series No.
98-40, Phillipines Institute for Development
Studies, November 1998.

62

Diteksi Dini Krisis Perbankan Indonesia: . . . (Oktavilia: 50 - 62)

KETERKAITAN DESENTRALISASI FISKAL SEBAGAI POLITICAL PROSESS


DENGAN TINGKAT KEMISKINAN DI INDONESIA
Lesta Karolina Sebayang
Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semang
Email:lestaksb@yahoo.com

ABSTRACT

This research aims to calculate fiscal capacity and estimate fiscal capacity, and poverty. Variable
used in this research are fiscal capacities, Gross Regional Domestic Product (GRDP), and poverty
variable. Data used in this research is secondary sources from 25 Provinces in Indonesia with year time
period 1999 - 2003. This research limits its research object only 25 Provinces in Indonesia. In general,
this paper concludes that Gross Regional Domestic Product (GRDP) and fiscal capacity have an effect
on significant statistically to poverty, its meaning that fiscal capacity in 25 the provinces can express
ability to improve economic growth. Government policy in APBD as political process influence fiscal
capacities, economic growth, and poverty in Indonesia. Recomendation from this research are local
goverment must concern about fiscal capacity end Regional Domestic Product (GRDP) end goverment
try to increase responsibility so all of country can improve their wealth.
Keywords: Fiscal capacity, Gross Regional Domestic Product (GRDP), poverty, fiscal policy
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang

Sejak Januari 2001 bangsa dan negara


Indonesia memulai babak baru penyelenggaraan
pemerintahan, dimana Otonomi Daerah dilaksanakan
di seluruh Dati II (kota dan kabupaten) yang jumlahnya mencapai 336. Hampir seluruh kewenangan
pemerintah pusat diserahkan pada daerah, kecuali
lima bidang; Politik Luar Negeri, Pertahanan
Keamanan, Peradilan, Moneter, dan Fiskal.
Diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia yang
dijamin oleh Undang-undang No. 32 Tahun 2004
memberi nuansa baru pada perekonomian daerah.
Banyak daerah di Indonesia mengeluhkan kurangnya
kemampuan fiskal guna membiayai kebutuhan fiskal
daerah.
Kebutuhan fiskal yang dimiliki oleh daerah juga
berhubungan dengan pembangunan sosial di
masing-masing daerah. Pembangunan sosial merupakan aspek yang penting setidaknya karena tiga
alasan. Pertama, aspek sosial adalah ukuran yang
jelas sebagai hasil pembangunan ekonomi.
Peningkatan dalam indikator-indikator ekonomi tidak
banyak artinya jika tidak ada peningkatan indikatorindikator sosial. Kedua, ada keterkaitan (nexus)
antara dua rangkaian ini. Pendapatan yang tinggi

menghasilkan kapasitas untuk tingkay kehidupan


yang lebih baik. Sebaliknya standar kesejahteraan
yang lebih besar akan menghasilkan produktivitas
dan efisien yang lebih tinggi. Ketiga, kemajuan sosial
berperan dalam kohesi dan kerukunan masyarakat.
Upaya pertumbuhan ekonomi regional akan
memunculkan sisi lain yang harus dihadapi oleh
pemerintah daerah. Sisi tersebut adalaha permasalahan-permasalahan lain akan muncul. Permasalahan tersebut muncul sebagai akibat adanya
ketimpangan pendapatan antara daerah-daerah yang
dapat menimbulkan ketimpangan sosial antara
daerah-daerah di Indonesia salh satunya adalah
kemiskinan.
Perlu digarisbawahi desentralisasi fiskal bahwa
undang-undang tersebut tidak mengatur mengenai
pembagian tugas penyediaan barang publik dan
pelayanan masyarakat. Oleh karena itu dibutuhkan
proses politik melalui kebijakan fiskal yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah baik jangka pendek
maupun jangka panjang. Kedua periode ini akan
akan mempengaruhi utilitas maksimum yang diperoleh masyarakat melalui sektor publik.

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

63

2. Perumusan Masalah

LANDASAN TEORI

Secara umum diyakini bahwa desentralisasi


fiskal akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pendapat ini dilandasi oleh pandangan yang menyatakan kebutuhan masyarakat daerah terhadap
pendidikan dan barang publik pada umumnya akan
terpenuhi dengan lebih baik dibandingkan bila
langsung diatur oleh pemerintah pusat.

1. Desentralisasi Fiskal

Namun kecenderungan kearah tersebut tidak


nampak karena hingga saat ini sebagian besar
Pemerintahan Daerah (Pemda dan DPRD) Kota dan
Kabupaten di Indonesia merespon desentralisasi
fiskal dengan menggenjot kenaikan PAD melalui
pajak dan retribusi tanpa diimbangi peningkatan
efektifitas pengeluaran APBD. Langkah kebijakan
semacam ini dapat berpengaruh buruk di tingkat
daerah serta kesejahteraan masyarakatnya. Bagi
sebagian besar propinsi, masalah diatas merupakan
agenda pokok yang perlu segera ditangani, salah
satunya adalah jumlah penduduk miskin mengalami
peningkatan selama krisis ekonomi.
3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:


1. Mengidentifikasi kapasitas fiskal daerah dengan
adanya desentralisasi fiskal sebagai political
process.
2. Mengukur hubungan antara kapasitas fiskal yang
dimilik daerah dengan tingkat kemiskinan.
METODE PENELITIAN

a. Kapasitas Fiskal
Kapasitas fiskal diukur dengan rasio PAD terhadap Belanja Rutin di masing-masing propinsi.
Atau:
Kapasitas Fiskal =

PAD
Belanja Rutin

b. Analisis Model Regresi


Mengukur hubungan kapasitas fiskal sebagai
variabel dependen dengan variabel-variabel independennya. Dengan menggunakan data panel.

64

Istilah desentralisasi fiskal memberikan pengertian adanya pemisahan yang semakin tegas dan
jelas dalam urusan keuangan antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah. Pemisahan
dimaksud bisa tercermin pada kedua sisi anggaran;
penerimaan dan pengeluaran. Di sisi penerimaan,
daerah akan memiliki kewenangan yang lebih besar
dalam tax policy.
Menurut Undang-Undang no.32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintah oleh Pemerintah
kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi daerah
adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Dalam konteks kegiatan ini, pengertian
kewenangan daerah propinsi dan kabupaten/kota
mengacu pada UU No 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah.
Pasal 1 ayat 2 Undang-undang No 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah menyatakan
bahwa: Urusan wajib yang menjadi kewenangan
pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan
dalam skala provinsi yang meliputi: (a)Perencanaan
dan pengendalian pembangunan; (b) Perencanaan,
pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; (c)
Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat; (d) Penyediaan sarana dan prasarana
umum; (e) Penanganan bidang kesehatan; (f)
Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber
daya manusia potensial; (g) Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; (h)Pelayanan bidang
ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; (i)Fasilitasi
pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; (j) Pengendalian lingkungan hidup; (k) Pelayanan pertanahan
termasuk lintas kabupaten/kota; (l) Pelayanan
kependudukan, dan catatan sipil; (m) Pelayanan
administrasi umum pemerintahan; (n) Pelayanan
administrasi penanaman modal termasuk lintas
kabupaten/kota; (o) Penyelenggaraan pelayanan
dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh

Keterkaitan Desentralisasi Fiskal . . . (Sebayang: 63 - 69)

kabupaten/kota; (p) Urusan wajib lainnya yang


diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

barang dan jasa-jasa sebagai cara untuk mencegah pasar persaingan dari pencapaian efisiensi

Faktor yang harus diperhatikan dalam desentralisasi fiskal adalah sebagai berikut:

3. Distribusi pendapatan, skema keuangan alternatif


yang mempengaruhi distribusi pendapatan melalui penurunan pendapatan yang dikeluarkan
seseorang untuk mengkonsumsi barang dan jasa
swasta dengan mempengaruhi harga dan jumlah
barang-barang dan jasa-jasa di pasar. Kenyataannya, banyak warga negara mengajurkan penggunaan metode khusus keuangan pemerintah yang
tepat untuk tujuan re-distribusi pendapatan.

1. Kapasitas Fiskal (PAD, PDRB)


2. Kebutuhan Fiskal (Pengeluaran Rutin/Pembangunan dan Penyediaan barang publik)
2. Kebijakan Fiskal dan Kapasitas Fiskal

Kebijakan disuatu daerah bisa mempunyai


konsekuensi jangka pendek dan jangka panjang.
Suatu kebijakan publik mestinya lebih banyak
diarahkan pada upaya pencapaian utilitas tertinggi
dari masyarakat. Pada pelaksanaannya banyak
sekali yang menjadi hambatan antara lain anggaran
yang terbatas. Penerimaan suatu daerah malah
seringkali tidak dapat menutup pos pengeluaran
sekalipun belanja rutin.
Kegiatan pemerintah meliputi realokasi
penggunaan sumber-sumber dari pihak swasta pada
pemerintah. Metode keuangan yang digunakan
mempengaruhi variabel ekonomi dan politik adalah
sebagai berikut:
1. Keseimbangan politik, jumlah keseimbangan
barang-barang dan jasa-jasa yang disediakan
pemerintah tergantung pada distibusi pajak per
unit dari barang-barang dan jasa-jasa, karena
pembagian pajak warga negara mempengaruhi
pilihan mereka.
2. Keseimbangan pasar keseluruhan dan efisiensi
dimana sumber daya seperti tenaga kerja swasta.
Metode ini dapat menganggu harga barang-

4. Kesulitan ini bertambah ketika pemerintah daerah


berhadapan dengan perubahan kebijakan. Tidak
dapat dipungkiri kemudian kekuatan kompromi
politik kemudian menentukan arah kebijakan.
Salah satu imbas yang dirasakan daerah adalah
adanya
perubahan
perundang-undangan.
Aschauer (2000), persoalan kebijakan fiskal
pemerintah mencakup how much you have,
how you pay for it dan how you use it.
3. Kemiskinan

Kemiskinan dapat menimbulkan tindakan kejahatan dan gangguan sosial lainnya. Adanya sistem
baru memberikan harapan kerja dan mengurangi
welfare trap. Sistem tersebut berupa dana bantuan
yang diberikan oleh pemerintah (Hyman; 239).
Program pemerintah dalam memberikan
bantuan pada orang miskin merupakan hal penting.
Penerima bantuan dari pemerintah baik dalam
bentuk bantuan tunai atau bentuk bantuan lainnya
harus memenuhi syarat yang telah ditentukan. Jadi,

Cina, 1999
Indonesia, 2002
Filipina, 1999
Thailand, 2002
Negara-negara OECD, 1990-an
Negara-negara Transisi, 1990-an
Negara-negara berkembang, 1990-an
0

10

20

30

40

50

60

Porsi pengeluaran daerah dalam total pengeluaran


Sumber: Depkeu dan IMF

Gambar 1. Indonesia yang Terdesentralisasi


JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

65

sebelum mendapatkan bantuan penerima harus


melalui tes. Tes tersebut mengenai status pendapatan dan tingkat aset yang dimiliki penerima
bantuan. Program pemerintah untuk membantu
kaum miskin dapat berupa transfer tunai secara
langsung, perlengkapan berupa kebutuhan dasar
seperti kesehatan, subsidi untuk tempat tinggal dan
makan dan program-program lainnya.
4. Keseimbangan Lindahl

Lindahl mengemukakan analisis yang didasarkan dengan kurva indiferens dengan anggaran tetap
yang terbatas (fixed budget constraints). Teori
pengeluaran pemerintah yang dikemukakan oleh
Lindahl adalah teori yang sangat berguna untuk
membahas penyediaan barang publik yang optimum
dan secara bersamaan juga membahas mengenai
alokasi pembiayaan barang publik antar anggota
masyarakat.
Kelemahan teori Lindahl adalah karena teori ini
hanya membahas mengenai barang publik tanpa
membahas mengenai penyediaan barang swasta
yang dihasilkan oleh sektor swasta.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Kapasitas Fiskal

Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia


memberi wacana baru bagi upaya daerah untuk
mengembangkan wilayahnya. Salah satu variabel
yang diharapkan untuk mendorong kemajuan
perekonomian daerah adalah dana alokasi umum.
Pertimbangan atau alasan perlunya dilakukan
transfer dana dari pemerintah pusat ke daerah antara
lain adalah untuk mengatasi persoalan ketimpangan
fiskal vertikal dan untuk mengatasi ketimpangan
horisontal antar-daerah.
Adanya perbedaan potensi (fiscal capacity)
yang dimiliki antar-daerah di Indonesia, sudah bisa
menjadi alasan untuk terjadinya kecemburuan dan
ketimpangan pertumbuhan antar-daerah. Apalagi jika
kebutuhan (fiscal needs) lebih besar daripada
potensi yang dimiliki masing-masing daerah tersebut.
Hal ini akan mengakibatkan terjadinya kesenjangan
fiskal (fiscal gap). Jika dideskripsikan lebih rinci,
masalah in-equality penting karena menyebabkan

66

beberapa hal: Pertama, ketimpangan pendapatan


menyebabkan in-efisiensi ekonomi. Kedua, disparitas
pendapatan yang ekstrem melemahkan stabilitas
sosial dan solidaritas. Ketiga, ketimpangan menyebabkan alokasi aset yang tidak efisien. Keempat,
tidak tercapainya standar penyediaan minimum
antar-daerah.
Tabel 1 menunjukkan kapasitas fiskal daerah
yang beragam di 26 propinsi di Indonesia. Hanya ada
2 daerah yang relatif konsisten memiliki kapasitas
fiskal lebih besar dari 100 yakni Jawa Timur dan Bali.
Selama periode 1999-2002 rata-rata pencapaian
kapasitas fiskal kedua daerah ini masing-masing
157,37 dan 132,93 persen. Artinya kedua daerah ini
memiliki sumber surplus untuk mendanai belanja
rutin. Dengan kata lain, Jawa Timur dan Bali sudah
mampu membiayai belanja rutin dari PAD.
Tabel 1. Kapasitas Fiskal Daerah di Indonesia, 19992002
Tahun
1999 2000 2001 2002
1 N. Aceh Darussalam 33.99 36.71 18.17 18.98
2 Sumatera Utara
92.76 116.17 67.34 71.48
3 Sumatera Barat
56.28 75.80 54.43 59.42
4 Riau
60.14 60.45 75.15 61.29
5 Jambi
54.58 69.05 50.21 38.69
6 Sumatera Selatan
60.52 51.93 53.51 47.07
7 Bengkulu
32.96 33.26 22.36 17.73
8 Lampung
56.11 67.28 63.17 46.81
9 DKI Jakarta
68.84 111.15 78.17 88.73
10 Jawa Barat
70.58 91.82 78.81 80.64
11 Jawa Tengah
59.33 87.34 73.90 69.24
12 DI Jogjakarta
55.65 78.19 51.74 47.17
13 Jawa Timur
129.80 203.13 188.67 107.88
14 Kalimantan Barat
56.20 55.21 44.71 43.14
15 Kalimantan Tengah
21.06 28.01 21.73 23.62
16 Kalimantan Selatan
38.76 49.06 46.33 47.31
17 Kalimantan Timur
23.20 35.12 24.71 30.33
18 Sulawesi Utara
30.73 51.49 33.12 29.23
19 Sulawesi Tengah
51.08 44.64 32.35 25.79
20 Sulawesi Selatan
56.70 79.97 61.44 57.12
21 Sulawesi Tenggara
27.45 26.27 22.17 25.93
22 Bali
156.85 181.10 107.33 86.43
23 Nusa Tenggara Barat 59.94 43.42 30.46 37.16
24 Nusa Tenggara Timur 33.00 32.59 27.40 18.90
25 Maluku
28.29 30.74 9.67 8.02
26 Papua
12.23 9.78 11.52 7.47
Sumber: Statistik Keuangan Daerah Propinsi, 1999-2002,
diolah
No.

Propinsi

Keterkaitan Desentralisasi Fiskal . . . (Sebayang: 63 - 69)

Pada tabel 1 di atas juga mengindikasikan


adanya kesenjangan kapasitas fiskal yang cukup
parah antar daerah. Di Sumatera misalnya, hanya
Sumatera Utara yang memiliki kapasitas fiskal lebih
dari 80 persen. Di lain pihak, kapasitas fiskal di Jawa
relatif lebih merata (kecuali Jogjakarta). Bandingkan
dengan pencapaian kapasitas fiskal di Kalimantan,
Sulawesi, Maluku, dan Papua. Bahkan di daerah
yang terkenal memiliki sumber daya alam melimpah
(seperti; Riau dan Kalimantan Timur), pencapaian
kapasitas fiskal tergolong rendah. Kondisi ini mengindikasikan bahwa daerah-daerah di Indonesia
banyak bergantung pada faktor pemberian alam.
Selain itu, eksplorasi sumber daya alam di daerah justru banyak menyumbang pada penerimaan
pungutan pusat sehingga tidak memberi implikasi
langsung pada PAD. Fiscal gap yang terjadi di
daerah-daerah akan mempengaruhi kesempatan
untuk mengembangkan dan meningkatkan fasilitas
daerah atau fasilitas publik.
2. Hubungan Kapasitas fiskal dan Kemiskinan

a. Regresi Data Panel


Data Panel adalah merupakan kombinasi dari
data runtut waktu dan silang tempat yaitu memiliki
observasi dari analisis unit pada titik waktu tertentu.
Keunggulan data panel antara lain; pertama,
memunculkan heterogenitas secara eksplisit ke
dalam perhitungan dengan memasukkan variabelvariabel spesifik. Kedua, menyajikan data yang
informatif, bervariasi, kolinearitas antar variabel lebih
rendah, menambah jumlah derajat kebebasan, dan
lebih efisien. Ketiga, dengan masuknya observasi
silang tempat, data panel dianjurkan untuk studi
perubahan dinamis. Keempat, lebih mampu mendeteksi dan mengukur efek dibandingkan dengan data
silang tempat dan silang waktu murni. Kelima,
menghasilkan model perilaku yang lebih kompleks.
Keenam, meminimumkan bias pada data ketika
dilakukan agregasi.
Regresi data panel berbeda dengan regresi
runtut waktu (time series) dan regresi silang tempat
(cross section). Model persamaannya ditunjukkan
berikut:

poor = 0 + 1kap _ fiskal1t + 2PDRB2 t + ui

Variabel-variabel yang digunakan adalah sebagai


berikut:
1. Kapasitas fiskal (kap_fiskal) diukur dengan rasio
PAD terhadap Belanja Rutin di masing-masing
propinsi --- sebagai proyeksi kemampuan fiskal
daerah
2. Kemiskinan (poor) sebagai variabel independen
yang menunjukkan kondisi sosial.
3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)--- sebagai pangsa pasar daerah dan variabel kontrol
kebijakan fiskal.
Dengan menggunakan metode Generalized Least
Square (GLS) dan model fixed effect maka diperoleh
hasil estimasi sebagai berikut:

poor = 4,21kap _ fiskal1t 0,000164PDRB2t + ui


t-stat
(-3,79)
(-5,24)
R2 = 0,96
dw-stat = 1,8
Interpretasi model
1. Pada model fixed effect, intersep terletak pada
masing-masing provinsi.
2. Berdasarkan uji t-statistik kapasitas fiskal
bertanda negatif dan secara statistik signifikan
terhadap kemiskinan. Berarti ketika kapasitas
fiskal meningkat maka akan menurunkan tingkat
kemiskinan. Perbedaan kapasitas fiskal masingmasing daerah juga kan mempengaruhi pengalokasian atau skal prioritas juga akan bervariasi.
3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
bertanda negatif dan secara signifikan terhadap
kemiskinan berarti ada stimulus fiskal terhadap
kemiskinan.
4. R2 menunjukkan variasi proporsi kontribusi variabel kapasitas fiskal dan PDRB terhadap kemiskinan sebesar 96,3%.
b. Pengujian Asumsi Klasik
1. Multikolinearitas
Multikolinearitas diartikan sebagai adanya
hubungan yang pasti (exact) di antara beberapa atau
semua variabel bebasnya dalam suatu model
regresi. Pada kasus munculnya multikolinearitas, R2

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

67

sangat tinggi namun tidak ada koefisien regresi yang


signifikan secara statistik.
Dari model yang diestimasi dengan bobot
menunjukkan R2 yang tinggi yakni 0,96 namun hanya
satu koefisien yang tidak signifikan. Artinya, multikolinearitas dalam model ini bisa diabaikan
2. Heterokedastisitas
Pada umumnya model OLS masih terdapat
informasi yang tidak seimbang sehingga peluang
munculnya masalah heteroskedastisitas lebih besar.
Gujarati (2003:395) menyarankan estimasi dengan
menggunakan Generalized Least Square (GLS) yang
mempunyai kapasitas secara eksplisit menghasilkan
estimator yang BLUE.
3. Autokorelasi
Istilah autokorelasi diartikan sebagai adanya
korelasi antar anggota series dari observasi baik
pada time series maupun cross-section. Autokorelasi
sebagai masalah klasik seringkali terjadi karena;
masalah inersia dalam variabel ekonomi, bias
spesifikasi, fenomena Cobweb (ada pola musiman),
penggunaan time-lag, manipulasi data, transformasi
data yang tidak tepat, dan non-stasionaritas.
Salah satu teknik untuk mendeteksi ada atau
tidaknya autokorelasi adalah dengan memperhatikan
nilai Durbin-Watson statistik (d-statistik) dan
membandingkannya dengan nilai d- tabel. Berdasarkan nilai dw-statitik sebesar 1,86 (dL = 1,613; du =
1,736) menunjukkan bahwa model persamaan bebas
autokorelasi positif dan negatif .
Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan
1. Kesimpulan

Berdasarkan bahasan di atas dapat ditarik


beberapa kesimpulan sebagai berikut:
a. Kapasitas fiskal masing-masing daerah berpengaruh pada tingkat kemiskinan. Berarti ketika
kapasitas fiskal meningkat maka akan menurunkan tingkat kemiskinan. Perbedaan kapasitas
fiskal masing-masing daerah juga kan mempengaruhi pengalokasian atau skal prioritas juga
akan bervariasi.

68

b. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) berpengaruh terhadap kemiskinan berarti ada stimulus
fiskal terhadap kemiskinan
2. Implikasi Kebijakan

Beberapa implikasi kebijakan yang dapat


dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Pemerintah daerah harus mampu meningkatkan
kapasitas fiskal dan PDRB sebagai solusi untuk
menurunkan tingkat kemiskinan.
b. Adanya pelimpahan kewenangkan ke daerah
berarti pemerintah harus mampu meningkatkan
tanggung jawab terhadap tingkat kesejahteraan di
daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Ehtisham, Bert Hofman (Maret 2000).
Decentralization-Opportunities and Risks, IMF and
World Bank Resident Mission.
Bank Indonesia (2003) Laporan Perekonomian Indonesia
2003, ISSN 0522-2572.
Bambang Brodjonegoro, Otonomi Daerah dan Kondisi
Fiskal Indonesia, www. KPPOD.go.id.
Frida, Asnita (2003), Penanaman Modal Asing Langsung
dan Efisiensi Kebijakan Fiskal Daerah di Indonesia
1998-2005, Tesis, tidak untuk dipublikasikan.
Gujarati, Damodar N. (2003) Basic Econometrics, Fourth
Edition, Mc Graw Hill.
Isdijoso, Brahmantio, Wibowo, Tri (2004) Analisis Kebijakan Fiskal Pada Era Otonomi Daerah:Studi Kasus
Sektor Pendidikan di Kota Surakarta, Departemen
Keuangan Republik Indonesia, Jakarta.
Hyman, David N. (1996) Public Finance A Contemporary
Apllication of Theory to Policy, Fifth Edition, The
Dryden Press.
Kuncoro, M., (1995) Desentralisasi Fiskal di Indonesia:
Dilema Otonomi dan Ketergantungan, Prisma 4: 3-17.
Mckay, Andrew, (2002) Assesing The Impact of Fiscal
Policy on Poverty, Discussion Paper, 2002/43, World
Institute for Development Economics Research.
Mardiasmo, (2002) Otonomi dan Manajemen Keuangan
Daerah, Penerbit Andi Yogyakarta.
PSEK-UGM (2003) Penyusunan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pemerintah, Laporan Akhir, Kota
Surabaya.

Keterkaitan Desentralisasi Fiskal . . . (Sebayang: 63 - 69)

Silver, C., Iwan J.A., and Larry S (2001) ntergovermental


Transfers and Decentralisation in Indonesia, Bulletin
of Indonesian Economic Studies 37(3): 345-361.
Subiyantoro, Heru (2004), Kebijakan Fiskal: Pemikiran,
Konsep, dan Implementasi, Badan Analisa Fiskal,
Jakarta: Departemen Keuangan.

Zandvakili, S., and Jeffrey A. Mills (2001) The


Distributional Implications of Tax and Transfer
Program in US, The Quarterly Review of Economics
and Finance 4: 167-181.

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

69

PENGEMBANGAN PRODUKSI KERAJINAN SEBAGAI UPAYA


MENDUKUNG PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN
Siti Maisaroh
Fakultas Ekonomi Universitas PGRI Yogyakarta
e-mail: maisaroh_siti@yahoo.com

ABSTRACT

The research is aimed at finding the dominan factors do develop the small-scale industry as an effort
to the poor program to empower the society. By using the methodology participation action researh
(PAR) involving the active participation of the society, Especially to the small craftsment to clarify the
problems and how find the solution. The collecting is done by using the method of simple random
sampling against 100 respondents sample of the small-scale industrial housholds. The result of the
survey shows that skill factor and the marketing factor belong to the core variable. Which each of them
has the higest elasticity against the product to the amount of 0.4147 or 41,47% and 0.2517 or 25,17%.
Accordingly, the recomendation to develop the small-scale industry as reflected on the increasing
product, it is hoped to give priority to the skill factor and marketing factor then to the capital factor or
other factor.
Keywords: skill, marketing and capital factor to develop the small craftsment solution.

masyarakat agar mampu ke luar dari lingkaran


kemiskinan serta lebih berkembang secara mandiri.

PENDAHULUAN
Latar Belakang Penelitian

Tujuan akhir program pembangunan adalah


peningkatan kesejahteraan masyarakat, yang antara
lain terefleksi pada peningkatan pendapatan masyarakat dan ketersediaan kebutuhan dasar bagi masyarakat. Dalam rangka meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat tersebut, Pemerintah
telah menetapkan sasaran-sasaran indikator ekonomi makro yang menjadi arah strategi pelaksanaan
kebijakan dalam tahun 2008 sebagaimana tertuang
dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2008,
yaitu: (i) percepatan pertumbuhan ekonomi; (ii) penciptaan lapangan pekerjaan; dan (iii) penanggulangan kemiskinan.
Penetapan program pengentasan kemiskinan
diupayakan sejalan dengan komitmen pemerintah
untuk merealisasikan program millennium development goals (MDGs). Karena itu, pelaksanaan
program tersebut dilakukan agar berbagai kebijakan
dan program pemerintah yang lain secara langsung
dapat menyentuh lapisan bawah. Artinya, pelaksanaan program tersebut tidak hanya diarahkan
untuk meningkatkan pendapatan melalui berbagai
kesempatan berusaha saja, melainkan juga untuk
memberikan akses yang lebih luas bagi seluruh
70

Secara teoritis, semakin banyak program penanggulangan kemiskinan akan menjadikan jumlah
orang miskin dapat ditekan seminimal mungkin.
Sistem pemerintah desentralisasi dan otonomi
daerah, semestinya juga memungkinkan pelayanan
kepada masyarakat miskin semakin cepat dan sesuai
dengan kebutuhan masyarakat. Tetapi sayangnya,
dari sejumlah hasil penelitian tentang berbagai
program pengentasan kemiskinan termasuk bantuan
langsung tunai (BLT), ternyata hasilnya sama saja
dengan kondisi sebelum digulirkannya program
pengentasan kemiskinan. Padahal, dananya sudah
habis untuk program tersebut, tetapi jumlah orang
miskin masih tetap saja tinggi. Karena itu, upaya
program pengentasan kemiskinan harus dapat dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat setempat
sesuai dengan kondisi daerah yang bersangkutan,
misalkan melalui salah satu model pendekatan
gerakan pembangunan ekonomi rumah tangga.
Industri kecil kerajinan pada hakekatnya adalah
pembangunan suatu sistem yang mempunyai daya
hidup dan mampu berkembang secara mandiri serta
mengakar pada struktur ekonomi dan struktur
masyarakat. Pada saat ini, berbagai upaya peningkatan produktivitas dan akses usaha mikro, kecil, dan

Pengembangan Produksi Kerajinan . . . (Maisaroh: 70 - 82)

menengah (UMKM) termasuk industri kecil kerajinan


(IKK) semakin penting peranannya dalam mendukung program pengentasan kemiskinan dan
pengangguran di Indonesia. Karena, harapan besar
bahwa pertumbuhan yang pesat dari sektor industri
modern akan dapat sebagai sumber pendapatan
serta mampu menyelesaikan masalah kemiskinan
dan pengangguran secara tuntas ternyata masih
berada pada rentang perjalanan yang panjang dan
melelahkan.
Pentingnya pengembangan IKK itu secara asasi
tidak terlepas dari data empiris ataupun berbagai
aspek nalariah yang melatarbelakanginya. Secara
empiris, ketika terjadi krisis ekonomi sejak Juli 1997
hingga kini keberadaan ekonomi rakyat khususnya
jenis UMKM dan IKK telah banyak membantu
mengatasi masalah pengangguran termasuk yang
terkena PHK. Dalam GBHN 1999-2004 dan RPJM
2005-2009 telah memberikan petunjuk bahwa
ekonomi rakyat termasuk IKK rumah tangga dan
koperasi serta usaha kecil lainnya, perlu lebih dibina
menjadi usaha yang semakin efisien dan mampu
berkembang mandiri untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, membuka lapangan kerja dan
berusaha, serta makin mampu meningkatkan peranannya dalam menyediakan barang dan jasa dalam
berbagai komponen baik untuk keperluan pasar
dalam negeri maupun luar negeri.

buffer untuk pengentasan kemiskinan dan


pengangguran. Sayangnya, berbagai penelitian
sebelumnya menjelaskan bahwa keberadaan usaha
jenis ini selain fungsi dan perannya sangat penting,
tetapi keberadaanya masih banyak menghadapi
masalah dan hambatan baik secara internal maupun
eksternal. Berbagai masalah dan hambatan tersebut
berdampak pada hasil produksi menjadi tetap
rendah. Padahal, rendahnya tingkat produksi berdampak pada rendahnya pendapatan dan keuntungan, yang pada akhirnya bermuara pada tetap
rendahnya kesejahteraan masyarakat. Karena itu,
upaya pengembangan terhadap usaha ini adalah
semakin mutlak untuk dilakukan. Problematikanya
adalah; masalah apa saja yang harus ditingkatkan
untuk pengembangan produksi dalam usaha ini?
Bagaimana model pengembangan produksi dan
strategi yang harus dilakukan dalam usaha tersebut
agar keberadaanya mampu mendukung program
pengentasan kemiskinan?
Tujuan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang dan pokok


penelitian di atas, serta berdasarkan data potensi
daerah dalam penelitian ini tulisan ini secara umum
bertujuan untuk mengkaji dan sekaligus menganalisis
tentang berbagai hal sebagai berikut.
1) Faktor yang paling dominan dapat meningkatan
kapasitas produksi sebagai upaya pengentasan
kemiskinan.

Pokok Masalah Penelitian

Program pengentasan kemiskinan akan dapat


berhasil lebih baik jika dapat dilakukan melalui salah
satu upaya pemberdayaan dan pengembangan
ekonomi rakyat yang sesuai dengan kondisi serta
karakteristik daerah setempat. Dalam hal ini, tujuan
program dan masalah kemiskinan yang dihadapi oleh
si miskin di daerah setempat harus sinkron. Artinya,
keterlibatan mayarakat miskin setempat melalui
kreativitas manajerial (perencanaan, pelaksanaan,
pengembangan/pengendalian hingga evaluasi serta
monitoring) merupakan keharusan.
Salah satu bentuk program aktualisasi ekonomi
rakyat yang sesuai untuk progam pengentasan
kemiskinan adalah jenis UMKM termasuk IKK. Jenis
usaha ini merupakan perwujudan konkret ekonomi
rakyat yang mampu bertumpu pada kekuatan sendiri,
terdesentralisasi, beragam, serta mampu menjadi

2) Model dan strategi yang mungkin dan harus


dilakukan sebagai upaya untuk mendukung
program kebijakan pengentasan kemiskinan.
Artikel ini dihrapkan secara teoritis berorienasi
untuk pengembangan model dasar dan strategi
pengembangan usaha. Sedangkan, secara empiris
praktis dapat sebagai informasi khsusnya bagi para
perajin dan pemerintah dalam kaitanya melakukan
kebijakan penanggulangan kemiskinan yang sederhana melalui model pengembangan usaha produktif,
sederhana dan dapat dilakukan oleh masyarakat.

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

71

dan semakin melebarnya perbedaan antarpelaku


ekonomi (pengusaha besar dengan usaha UMKM).

LANDASAN TEORI
Penelitian Sebelumnya

Sebenarnya faktor apa yang menyebabkan


kemiskinan di Indonensia masih tetap tinggi? Fadjri
(2002:31) mengatakan bahwa kondisi ini disebabkan
karena pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak
berkualitas kemudian disusul dengan keguncangan
krisis ekonomi yang sangat besar pada tahun 1997.
Sedangkan, hasil penelitian Tarumingkeng dan Coto
(dalam Yustika, 2005: 34) dengan menggunakan
analisis model Rostow, ditekankan bahwa pada
pergeseran aggregate supply yang disebabkan oleh
meningkatnya produksi, khususnya produksi per
efektif tenaga kerja (y). Di mana faktor y sangat
tergantung kepada kapital per efektif tenaga kerja.
Secara matematis, model tersebut dapat ditulis Y =
(k), sedangkan k dipengruhi oleh investasi dan
jumlah penduduk.
Berbagai hasil penelitian (Sumodiningrat, 2003;
Krisnamurti, 2003; Brata, 2003; Prasetyo, 2008)
menjelaskan bahwa peran dan fungsi keberadaan
ekonomi rakyat termasuk UMKM dan IKK sangat
penting, karena mampu mengurangi masalah
kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan distribusi pendapatan serta arus urbanisasi berlebih.
Dengan begitu, setiap upaya penanggulangan
kemiskinan dan pemberdayan ekonomi rakyat (tidak
dapat tidak) harus dikaitkan dengan kegiatan
ekonomi yang dapat dikerjakan oleh sebagian besar
rakyat Indonesia. Selain itu, hasil penelitian Ismail
(2003:5) dalam Yustika (2005:46) menyebutkan
bahwa proses pembangunan ekonomi di Indonesia
sebenarnya berjalan seperti banyak negara berkembang lainnya, yakni meyikapi persoalan kemiskinan
dengan ekonomi rakyat (UKM), dan melihat sebagai
keadaan sementra yang secara otomatis menghilang
melalui proses trickle down effect.
Selanjutnya, model dasar ini disebut sebagai
model pendekatan generasi pertama yang mampu
meningkatkan berbagai indikator sosial secara
signifikan. Namun, harus diakui pula bahwa pendekatan ini telah menimbulkan berbagai persoalan
seperti; berkurangnya sikap kemandirian dan
lemahnya modal sosial yang dimiliki masyarakat,
serta tidak dapat diselesaikannya akar masalah
penyebab kemiskinan (ketimpangan distribusi pendapatan dan akses terhadap sumber daya ekonomi),
72

Belajar dari kelemahan pendekatan pada


generasi pertama, pendekatan pembangunan generasi kedua mulai menggunakan keuangan mikro
sebagai metode utamanya. Kontribusi dari pendekatan generasi kedua ini yakni melalui; (1)
diversifikasi pelaku utama pembangunan; (2) pembiayaan pembangunan yang menggunakan sumbersumber keuangan dari masyarakat sendiri ; (3)
pendekatan pembangunan yang memiliki potensi
untuk berlanjut (sustainable). Selanjutnya, lembaga
keuangan mikro ini menurut hasil penelitian
Budiantoro, (2003:1) berfungsi memberikan dukungan modal bagi pengembangan produksi pengusaha
mikro untuk meningkatkan usahanya.
Berdasarkan penelitian dasar sebelumnya,
industri kecil kerajinan bambu (IKK) secara umum
memiliki ciri-ciri sebagi berikut.
1) Berbentuk industri rumah tangga dengan tenaga
kerja sebagian besar kurang dari 10 orang, dan
sebagian besar jumlah tenaga kerjanya merupakan tenaga kerja keluarga sendiri yang tidak
dibayar.
2) Teknologi produksi yang digunakan masih
bersifat tradisional dan sangat sederhana serta
banyak menggunakan tangan.
3) Bahan baku dasar produksi umumnya hanya
didapat dari daerah pedesaan sendiri dan
sekitarnya.
4) Pemasaran hasil produksi masih banyak yang
hanya berorientasi lokal saja, tanpa promosi dan
sebagian besar juga berupa pesanan.
5) Pada awalnya IKK ini merupakan kerja
sampingan, selain bertani dan berladang secara
turun temurun.
Dengan demikian, keberadaan IKK di daerah
sampel ini lebih tepat dapat digolongkan ke dalam
industri kecil rumah tangga (IKRT), karena selain
batasan di atas, proses kerjanya dikerjakan secara
rajin, teliti dan rutin serta banyak menggunakan
tangan dan peralatan yang tradisional dan tenaga
kerjanya sebagian besar hanya tenaga kerja
keluarga (ayah, ibu,anak dan menantu) tanpa upah.
Selain itu, tempat usahanya kebanyakan hanya
dilakukan di dalam rumahnya sendiri. Namun begitu,

Pengembangan Produksi Kerajinan . . . (Maisaroh: 70 - 82)

misi utamanya yang terus berkembang secara rutin


adalah tetap diupayakan untuk dapat menambah
produksi dan pendapatan keluarga. Dalam
perkembangannya sampai sekarang, keberadaan
usaha IKK ini telah banyak yang telah dijadikan
sebagai mata pencaharian pokok mereka.
Keberadaan UMKM termasuk IKK sebagai
usaha yang produktif telah mendominasi lebih dari
99% dalam struktur perekonomian Indonesia,
(Anoraga, 2002; Tambunan, 2002; Kuncoro, 2003;
Prasetyo, 2008). Berbagai pihak telah mengakui
pentingnya peranan dan fungsi UMKM ini dalam
perekonomian nasional, terutama dalam aspekaspek seperti, peningkatan kesempatan kerja,
pemerataan pendapatan, pembangunan ekonomi
pedesaan dan peningkatan ekspor nonmigas serta
termmasuk mampu mengurangi kemiskinan,
(Anoraga, 2002; Tambunan, 2002; Prasetyo, 2008).
Namun, di sisi lain, sektor UMKM ini dianggap masih
banyak menghadapi masalah termasuk masalah
produksi, permodalan, pemasaran dan manajemen
administrasi, sehingga bank dan lembaga keuangan
sendiri kurang tertarik untuk membiayai sektor ini.
Berbagai permasalah pokok yang lebih mendasar
tentu masih banyak jika kita masih mau dan mampu
menggalihnya secara lebih teliti dan sabar.
Permasalahan mendasar dalam bidang menajemen bagi pengusaha kecil pada berbagai sektor
usaha secara umum adalah kekurangmampuan
pengusaha menentukan pola manajemen yang
sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangan
usaha (Anoraga, 2002). Hal ini penting, karena setiap
periode tahap perkembangan usaha akan menuntut
tingkat pengelolaan usaha yang berbeda. Pada awal
perkembangan usaha dan skala usaha produksi
masih relatif kecil, gaya manajemen keluarga yang
sederhana juga masih mendominasi, sehingga
mengarah kepemusatan pengelolaan hanya pada
seseorang (one man show) sebagai kepala keluarga
mungkin masih akan tetap relevan.
Sejalan dengan perkembangan dan lingkungan
usaha (baik intern maupun ekstern), maka gaya
manajemen konvensional tidak dapat dipaksakan
begitu saja, karena pemaksaan hal tersebut justru
akan dapat menjadi pangkal munculnya berbagai
masalah baru. Dengan demikian, pengusaha kecil
dituntut harus selalu dinamis dalam menerapan
manajemen sesuai dengan perkembangan usaha

(produksi). Tuntutan menggunakan manajemen


konvensional baru dapat dilakukan jika para pelaku
pengusaha kecil (perajin bambu) memiliki
kemampuan dan ketrampilan (managerial skill) yang
memadahi pula, (Prasetyo, 2002; 2008).
Pada dasarnya UMKM termasuk IKK mempunyai banyak fungsi: misalkan fungsi sosial yakni;
selain dapat mengurangi kemiskinan juga dapat
memperluas lapangan pekerjaan dan kesempatan
berusaha serta meningkatkan pendapatan. Fungsi
ekonomi yakni; mampu memanfaatkan sumber daya
alam dan meningkatkan pendapatan daerah atau
negara serta menghemat devisa. Fungsi budaya;
dapat meningkatkan ketrampilan masyarakat serta
mencerdaskan rakyat dalam melestarikan budaya
bangsa. Fungsi ketahanan nasional yakni dapat
meningkatkan keuletan dan ketangguhan, memupuk
kepribadian dan kemampuan serta menumbuhkan
kepercayaan diri sendiri dan kepribadian.
Anehnya selain banyak fungsi dan manfaatnya,
keberadaan UMKM juga masih mengandung
berbagai masalah mendasar yang perlu segera dikaji
dan diatasi. Selain masalah mendasar di bidang
manajemen, pengusaha kecil (termasuk IKK) juga
menghadapi masalah; pemasaran, sumber daya
manusia, permodalan, kemitraan serta masalahmasalah sosial, ekonomi, politik dan budaya lainnya,
(Anoraga,2002; Tambunan, 2002; Kuncoro, 2003;
Prasetyo, 2008).
Masalah pemasaran oleh banyak pengusaha
sering dianggap sebagai aspek yang paling penting.
Menurut Prasetyo, (2008) bahwa kemampuan
produksi tanpa diimbangi kemampuan pemasaran
produk yang baik adalah suatu kehancuran.
Dengan kata lain, adanya faktor pemasaran yang
baik permasalahan yang lain seperti modal usaha
dan tenaga kerja juga akan semakin baik. Dengan
pemasaran yang baik modal usaha dapat bertambah
dengan sendirinya, tanpa pinjam dari pihak lain. Oleh
karena itu, masalah pemasaran hasil produksi sering
dianggap sebagai masalah yang paling utama
diantara masalah-masalah lainnya.
Masalah permodalan pada dasarnya merupakan masalah utama tetapi pada usaha kecil sering
dianggap bukan yang paling pertama, karena modal
usaha kecil juga sedikit. Masalah sering dijumpai dan
dirasakan kekurangan modal pada dasarnya

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

73

merupakan masalah derevatif dari akibat masih


sempitnya jangkauan pemasaran serta masih
lemahnya sumber daya manusia yang terampil
dalam usaha itu. Sempitnya pemasaran berakibat
pada perputaran modal juga menjadi seret, dan
masih lemahnya SDM berakibat pada produk
menjadi tidak efisien. Selain itu, adanya sumber daya
manusia yang lemah dan tak mampu membuat
administrasi yang baik berdampak kepada penambahan modal menjadi sulit dicari. Karena kelemahan
SDM pada dasarnya juga merupakan kelemahan
manajerial pengusaha.
Lingkaran Kemiskinan (Vicious Circle)

Sejak terbentuknya badan koordinasi penanggulangan kemisinan (BKPK) pada tahun 2001 hingga
saat ini, ada empat peran yang harus disangga oleh
lembaga ini yakni; sebagai koordinator, katalisator,
mediator dan fasilitator. Sebagai koordinator, badan
ini bertugas mengoordinasi perumusan standarstandar dasar mengenai konsep kemiskinan yang
digunakan oleh sebagian instansi di pusat dan
daerah. Sebagai katalisator, badan ini berupaya
memecahkan kendala utama dalam pelaksanaan
kebijakan program pengentasan kemiskinan. Sebagai mediator, badan ini diharapkan menjadi wahana
untuk menampung beragam aspirasi. Sebagai

fasilitator, badan ini mampu menjadi penghubung


antara para donor dengan pelaku utama (SMERU,
dalam Yustika, 2005: 29).
Pendekatan kelembagaan tersebut secara
teoritis dapat diartikan bagaimana semangat solidaritas sosial dapat ditumbuhkembangkan pada
golongan masyarakat menengah ke atas agar
mereka mau membantu golongan masyarakat bawah
atau miskin. Tolak ukur dari perubahan kelembagaan
ini diharapkan ada perubahan yang dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat miskin.
Secara teori, masalah-masalah industri merupakan bagian dari suatu sistem yang berkaitan
dengan masyarakat yang lebih luas. Karena itu,
menggambarkan masalah kegiatan industri tidak
boleh hanya ditinjau dari timbal baliknya yang penting saja, akan tetapi perlu diperhatikan hubunganhubungannya di luar batas-batas sistem itu. Chistian
Lempelius (1979) dalam bukunya berjudul Industri
Kecil dan Kerajinan Rakyat menyebutkan bahwa
masalah-masalah yang menyangkut IKK baik secara
langsung maupun tidak langsung harus didekati dari
segi manajemen karyawan dan lingkungan. Ia
mengambarkan lingkaran tak berujung (Vicious
Circle) dari keterbelakangan usaha IKK sebagai
berikut.

Peralatan sederhana, pendidikan


dan mutu bahan baku rendah

9
Tidak banyak
investasi baru.

Cara berproduksi masih


tradisional

1
Modal tak cukup dan tak
ada jaminan

Hasil produksi
sederhana/kecil
Keuntungan yang diperoleh
hanya sedikit atau
pendapatannya rendah.

Gambar 1. Lingkaran Kemiskinan dari Usaha Industri Kecil dan Kerajinan

74

Pengembangan Produksi Kerajinan . . . (Maisaroh: 70 - 82)

2
3

1. Pasaran sempit, daya beli rendah


2. Persaingan dari perusahaan padat modal/
modern
3. Ketergantungan pada pedagang besar setempat
4. Kemungkinan untuk mendapatkan kridit tidak
memadai
5. Sedikitnya penawaran alat-alat produksi yang
sesuai dengan situasi usahanya.
6. Tempat kedudukannya di daerah pedesaan
7. Kemungkinan pendidikan tidak mencukupi
8. Kurangnya usaha penyuluhan dan pembinaan
yang berpedoman pada masalah
9. Situasi budaya setempat.
Peran dan fungsi IKK seperti yang diungkapkan
di atas sangat baik namun, untuk mendorong
pengembangan IKK agar lebih maju secara mandiri
dan tangguh bukanlah pekerjaan yang mudah.
Apalagi karakteristik seperti yang dijelaskan di atas
sangat berbeda-beda. Adanya berbagai keterbatasan
seperti; lemahnya manajerial, pemasaran yang
masih banyak bersifat lokal (lokal market oriented),
keterbatasan modal usaha, terbatasanya teknologi,
rendahnya tingkat pendidikan tenaga kerja, merupakan kendala yang utama dalam pengembangan
sektor IKK ini.
Dalam era globalisasi dunia yang semakin
maju, tantangan utama ke depan bagi pengembangan IKK tidak hanya sebatas untuk memenuhi
pasar lokal. Namun, dapat dikembangkan lebih lanjut
untuk memasarkan hasilnya ke pasar global
(ekspor). Problem ini perlu dikaji dan digali lebih
lanjut melalui berbagai penelitian dan pengembangan (research and development) secara lebih
komperhensif, terpadu dan berkesinambungan.
Dengan semangat demokrasi yang saat ini sedang
berkembang, perencanaan pembangunan dari
bawah (battom up) barangkali akan lebih utama
dilakukan untuk mendorong pengembangan IKK ini.
Rencana pembangunan dari tingkat dusun, kelurahan/desa, kecamatan dan selanjutnya ke tingkat
kabupaten dan propinsi adalah lebih baik untuk
diperioritaskan karena lebih menyangkut kepentingan
rakyat banyak secara lebih riil, misalkan pembangunan infrastruktur pasar, listrik, jembatan, dan
jalan sebagai saran dan prasarana transpotasi

ekonomi pedesaan-kota di daerah pedesaan yang


masih sangat kurang adalah mutlak untuk segera
dilakukan. Artinya, ide dasar model pemberdayaan
ekonomi rakyat secara battom up nampak lebih
mengenai sasaran dalam upaya pengentasan kemiskinan tanpa mengesampingkan peran dari pendekatan kelembagaan di atas.
Apabila kendala dan kelemahan utama yang
dihadapi oleh IKK tidak segera ditangani secara
serius dan terpadu (kelembagaan dan battom up),
dikuatirkan berbagai peran dan fungsi IKK yang
sangat baik di atas tersebut tidak akan dapat tercapai
seperti apa yang diharapkan bersama. Oleh karena
itu, pemerintah dan lembaga terkait seperti;
pendidikan termasuk para peneliti, perlu bekerja
sama secara berkesinambungan dalam membangun
keberadaan sektor IKK ini agar ke depan mampu
tumbuh dan berkembang seperti yang diharapkan.
METODE PENELITIAN

Penelitian ini mengambil obyek kasus pada


desa miskin yang memiliki usaha indutri kecil
kerajinan bambu dan kayu di kecamatan Dlingo
kabupaten Bantul. Obyek penelitian daerah yang
dijadikan sebagai sampel di khususkan pada rumah
tangga keluarga di daerah tertinggal yang khusus
memiliki usaha kerajinan tersebut. Penarikan respendoen sebagai sampel dilakukan dengan metode
simple random sapling, sehingga setiap keluarga
perajin yang ada di wilayah daerah tersebut memiliki
kesempatan yang sama sebagai responden. Jumlah
responden sebagai sampel ditentukan dengan rumus
toleransi % = Z. p.q/n (Sosrodiharjo, 1995; Sugiarto,
2001). Di mana % adalah standar deviasi populasi,
Z adalah derajat kepercayaan, p adalah proporsi dari
pemasaran lokal, dan q adalah proporsi dari
pemasaran non lokal serta n adalah jumlah sampel.
Mengingat penelitian ini di daerah pedesaan
yang tradisional di mana sepenuhnya belum memasuki ekonomi uang dan pasar secara bebas, maka
toleransi penyimpangan yang diinginkan ditetapkan
sebesar 10%, interval keyakinan 90% dan pengambilan proporsi untuk sampel terbesar adalah fiftyfifty. Dengan memanfaatkan rumus toleransi T2 akan
diperoleh besarnya sampel penelitian sebagai
berikut: T2 = Z.p.q./n. Dalam hal ini, nilai Z = 1,960
dibulatkan menjadi 2 berarti n = 22.p.q/T2 n =

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

75

4.50.50/100 n = 100. Dengan pengambilan sampel


sebesar 100 rumah tangga perajin dianggap telah
mewakili seluruh populasi perajin yang ada (respresentatif).
Setelah dilakukan koding, editing dan tabulating
serta verifikasi terhadap data, selanjutnya data akan
diolah dan dianalisis serta dikaji lebih lanjut sebelum
disajikan. Dalam upanyanya mencapai penyajian
atau laporan yang baik, maka sejalan dengan
permasalahan, tujuan dan hipotesis serta skala data
yang diperoleh, data penelitian ini akan dianalisis
baik secara verbal kualitatif maupun kuantitatif. Untuk
menjawab persoalan penelitian yang secara kualitatif, akan digunakan teknik SWOTE Analysis maupun teknik tabulasi silang dan penjelasan verbal
lainnya.
Sesuai dengan skala data yang diperoleh,
teknik analisis data yang bersifat kuantitatif akan
digunakan model regresi-korelasi berganda (Gujarati,
2003). Adapun model dasar teknik analisis regresi
berganda yang dimaksud dapat dirumuskan sebagai
berikut.
Q = 0 + 1 X1 + 2 X2 + 3 X3 + 4 X4 +
5 X5 + 1.

Setelah dilakukan terhadap uji asumsi klasik serta


untuk menghindari adanya pelanggaran terhadap
asumsi kalsik, maka model regresi yang digunakan
sebagai alat analisis selanjutnya tersebut di atas
dirubah menjadi:
Ln Q = 0 + 1 Ln X1 + 2 Ln X2 + 3 Ln X3 +
4 Ln X4 + 5 Ln X5 + 2.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada mulanya usaha industri kecil kerajinan


(IKK) di daerah sampel ini sifatnya hanya usaha
sambilan saja. Namun demikian, usaha ini lama
kelamaan dapat dijadikan mata pencaharian pokok
mereka selain bertani. Berdasarkan data potensi
desa inti yang ada di kecamatan Dlingo (2002), Desa
Muntuk adalah merupakan salah satu desa tertinggal
(miskin) dari enam desa yang ada di kecamatan
Dlingo yakni; Muntuk, Dlingo, Temuwuh, Mangunan,
Jatimulyo dan Terong. Dari ketiga desa miskin yakni;
Muntuk, Jatimulyo dan Temuwuh, hanya Desa
Muntuk yang banyak memiliki usaha kerajinan
76

bambu. Sedangkan, dua desa lain yakni; Desa


Mangunan dan Desa Terong memiliki usaha kerajinan kayu tetapi tidak tergolong desa tertinggal.
Sementara untuk Desa Dlingo, Temuwuh dan
Jatimulyo tidak memiliki usaha kerajinan, baik kayu
maupun bambu.
Usaha industri kecil kerajinan (IKK) di daerah
sampel merupakan usaha yang secara turun
temurun dari nenek moyang mereka. Pada saat ini
usaha IKK ini telah berkembang cukup baik dan telah
dijadikan sebagai salah satu matapencaharian pokok
warga selain bertani. Berdasarkan eksistensi dan
dinamisasi perkembangan IKK tersebut, maka
secara struktur usaha IKK di daerah ini dapat di
kelompokan ke dalam industri lokal dan dan industri
sentra.
Jenis produk yang utama diproduksi pada IKK
bambu adalah dapat digolongkan menjadi dua
kelompok yakni; jenis produk hiasan dan produk
kelengkapan dapur-rumah tangga. Jenis produk yang
paling sering diproduksi adalah kemarang (bakul),
gorong-gorong (tempat pakaian kotor) dan barangbarang souvenir lainnya yang mempunyai estetika.
Selain itu, jenis produknya ada yang berupa: tempat
pensil, tempat koran, tempat tisu, kap lampu, tenong,
tampah, tambir, irig dan sebagainya. Sedangkan,
pada IKK kayu yang paling banyak di produksi
adalah; pintu, kusen, menja, kursi, dan lainnya.
Diferensiasi produk ini merupakan hasil pembinaan
dan perkembangan dari dinas perindustrian dan
depnaker setempat. Secara universal, IKK bambu
dan kayu ini tumbuh atas dorongan naluri ekonomi
manusia untuk memiliki barang-barang dan jasa
yang dibutuhkan. Keberadaan IKK ini semula hanya
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, kini telah
berkembang menjadi IKK dalam arti luas secara
ekonomi.
Argumentasi mendasar dapat digolongkannya
ke dalam industri lokal pada sebagian dusun di
wilayah daerah tersebut karena hasil produksi pada
dusun tersebut pola pemasarannya masih menggantungkan diri kepada pasar lokal setempat seperti
pasar Imogiri, pasar Bantul dan pasar Bringharjo.
Selain itu, secara skala usaha produksi, kelompok
industri lokal ini umumnya sangat kecil, dan masih
berpola subsisten. Dalam pada itu, target pemasaran
dari jenis produk ini masih sangat terbatas, sehingga
alat transpotasinya masih sangat sederhana dan

Pengembangan Produksi Kerajinan . . . (Maisaroh: 70 - 82)

tidak jarang mereka menggunakan alat pikul sendiri


atau grobak untuk di bawa ke pasar.
Pada kelompok industri sentra yang terpusat di
Tangkil dan Karangasem, jenis produknya lebih
beraneka ragam dan dinamis, serta daerah jangkauan pemasarannya lebih luas, dan peranan
pedagang perantaran di sini mulai nampak. Dalam
perkembangannya, ada beberapa produk yang
dibuat untuk memenuhi permintaan pasar di luar
daerah seperti ke Jakarta, Bandung, Semarang,
Solo, Surabaya, Bali dan sebagainya. Perkembangan produknya lebih dinamis, sehingga kelompok
ini cenderung lebih dapat beradaptasi dengan
teknologi yang cukup canggih dalam berproduksinya.
Dilihat dari segi penyerapan tenga kerjanya,
kelompok industri sentra ini cenderung lebih banyak
menyerap tenaga kerja dan mampu berkembang
mandiri, produknya lebih fisibel, sehinga mereka
sedikit lebih sejahtera dan lebih mampu bangkit dari
kemiskinan.
Mengapa masyarakat daerah penelitian ini lebih
memilih usaha kerajinan bambu dan kayu sebagai
mata pencaharianya?. Pada dasarnya ada banyak
hal yang mendorongnya, namun sebagian besar atau
63% karena alasan tidak adanya pilihan kerja baik
lainnya, selebihnya 21,67% karena sesuai dengan
keahlian dan tingkat pendidikan yang mereka miliki,
serta 15,33% karena sudah warisan dari nenek
moyang. Semuanya ini saling mendorog dan bahu
membahu di dalam kehidupan mereka untuk memilih
usaha IKK sebagai alternatif yang terbaik.
Jika dicermati lebih dalam lagi, nampaknya
hasil produksi IKK ini telah mengalami peningkatan
yang berarti, karena permintaan pasar terhadap
produk tersebut juga meningkat. Peningkatan yang
terbaik dan mencapai puncaknya ketika di tahun
1995, sedangkan pada saat ini (setelah terjadinya
gempa bumi Yogja-Jateng 27 Mei 2006) nampaknya
cenderung menurun. Kondisi penurunan ini karena
dipengaruhi oleh krisis bahan baku yang kini semakin
mahal sedangkan kenaikan dari hasil produksi lebih
kecil dari kenaikan bahan baku. Padahal untuk
menaikan harga produk dapat dikuatirkan justru
produk menjad tidak laku dan dapat berdampak

kepada kematian usaha ini. Ketika kondisi daya beli


masyarakat sedang menurun seperti sekarang ini,
maka kondisi ini berdampak semakin menurunnya
pendapatan dan keuntungan perajin.
Selain itu, turunnya pendapatan riil perajin ini
juga disebabkan karena produk kerajinan hanya
sebagai barang sekunder (bukan produk primer),
sehingga sedikit saja naiknya harga produk akan
berakibat barang menjadi kurang diminati pembeli.
Padahal, jika harganya tidak dinaikan, mereka dapat
rugi karena naiknya harga bahan baku seperti
bambu, kayu, tali, warna, paku dan transpotasi yang
sudah naik lebih dahulu dan dengan kenaikan yang
lebih tinggi. Akibat selanjutnya, secara riil dapat
dilihat jika kondisi ekonomi itu berlangsung lama,
maka lambat laun akan semakin memperburuk
kondisi IKK di desa miskin yang saat ini masih
sedang mengalami kesulitan.
Sesuai dengan metode penelitian yang mengikutkan rakyat miskin (perajin kecil) terlibat dalam
mengumpulkan data, maka upaya untuk memberdayakan masyarakat ini lebih mengacu kepada
pendekatan model empowerment dari Schumacher.
Versi Schumacher menekankan tidak perlu menghilangkan ketimpangan struktural yang ada di dalam
masyarakat, karena yang paling tepat memberikan
kail daripada ikan. Karena, jika struktur masyarakat
desa miskin dirubah terlebih dahulu, justru akan
menambah masalah baru yang lebih rumit dan dapat
mempersulit upaya pemberdayaan masyarakat. Oleh
karena itu, lebih tepat memberikan kail dan kesempatan untuk mengail kepada perajin.
Untuk melihat kemampuan dan potensi serta
kelemahan dalam usaha IKK di desa miskin agar
lebih mudah diberdayakan digunakan alat bantu
SWOT (Strength Weaknesses Opportunities and
Threats). Analisis penggunaan SWOT (kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman) ini dititikbertkan
kepada seluruh kondisi dan potensi yang ada di desa
miskin dan khususnya terhadap keberadaan IKK
bambu dan kayu yang dijadikan sebagai sampel
dalam penelitian ini. Kemudian, agar mudah dibaca
maka analisis selengkapnya dapat dilihat pada tabel1 di bawah ini.

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

77

Tabel 1. Analisis Kekuatan dan Kelemahan Keberadaan IKK di Daerah Penelitian


Faktor-2

Kekuatan

Kelemahan

1. Sumber Daya:
a. Manusia

Motivasi tetap berusaha yang kuat paling


tidak untuk tetap dapat mempertahankan
usahanya di saat krisis ekonomi seperti saat
ini merupakan modal utama.

b. Ekonomi

Sumplai tenaga kerja yang berlimpah


Mengandalkan sumber-sumber keuangan
informal yang mudah diperoleh.

Mengisi segmen pasar bawah yang tinggi


permintaan karena segmen pasar atas telah
dipegang/dikuasai pedagang.
c. Informasi

Interaksi yang terjadi antar dan inter

Dana IDT dan pinjaman dari pihak informal


yang masuk baru sedikit dapat membantu
kelancaran usaha kerajinan

b. Pemasaran

usaha masih terbatas.

Proses belajar dari pengalaman


(keberhasilan/ kegagalan) orang lain masih
sangat minim.

nilai tambah yang diperoleh masih kecil


karena hanya memegang segmentasi pasar
bawah saja, (residual demand).

Pengelolaan uang untuk konsumsi & produksi


belum dipisahkan (one managemen)

Distribusi informasi kepada para perajin dan

kelompok-kelompok usaha yang ada (simpanpinjam, arisan, PKK, pokmas) merupakan


ajang informasi yang efektif.
2. Program
Intervens:
a. Permodalan

Kemampuan melihat peluang pengembangan

Peluang membuka pasar masih besar dan


dapat berkolaborasi

Pengelompokan (aglomerasi) di dalam batas-

usaha produktif lainya masih sangat terbatas


pada kelompoknya masing-masing (baru
secara kuantitatif)

Perbedaan kebutuhan modal menyebabkan


upaya pengembangannya juga berbeda.

Kendala administrasi akuntansi uang


Posisi tawar-menawar hasil kerajinan masih
rendah dan cenderung menyudutkan perajin
kecil sebagai produsen (terkoptasi), serta
kuantitas produk masih dalam jumlah
terbatas.

batas tertentu masih memberikan keuntungan


melalui penekanan ongkos produksi,
Meningkatnya persaingan hanya melalui
meningkatkan akses sumberdaya
berkelanjutan
proses meniru model dan corak, sehingga
akumulasi produk menjadi terbatas.
c. Pelatihan

Dapat bermanfaat untuk meningkatkan jumlah Ketidakberlajutannya program, dan


produksi para perajin bambu.
pelatihan yang lama perlu persiapan
besar & matang.

3. Kinerja:
a. Padat karya

Mampu mengatasi masalah kesempatan kerja Cenderung eksploitatif terhadap tenaga kerja
/ penganguran dan kemiskinan

untuk mengejar pendapatannya.

b. Nilai Tambah Efisien menggunakan bahan baku, sehingga


menekan ongkos
c. Kelenturan
dan Strategi
usaha

Daya tahan hidupnya tetap tinggi terutama


dalam situasi krisis ekonomi, serta dapat
berkolaborsi bisnis untuk meningkatkan profit.

Proses akumulasi sulit terjadi karena nilai


tambah yang diperoleh masih kecil

Spesialisasi dan akumulasi masih terbatas


pada produksi untuk memenuhi pesanan
pedang lokal, dan jumlah produk kurang
fisibel.

Sumber: Data primer, 2006.

Lebih lanjut, hasil penelitian menunjukkan


bahwa nilai sub faktor sisi kekuatan internal nampak
lebih besar daripada nilai sub sisi faktor eksternal.
Dalam faktor internal tersebut nampak bahwa nilai
skor tertinggi yang menjadi kekuatan usaha IKK ini
78

adalah faktor marketing dan produksi yang masingmasing memiliki nilai sub skor 1.55 dan 0.80.
Sedangkan, nilai faktor internal dari sub faktor sisi
kelemahan adalah sub faktor financial dan marketing,
yang memiliki skor 0.80 dan 0.75. Artinya, strategi

Pengembangan Produksi Kerajinan . . . (Maisaroh: 70 - 82)

pemberdayaan dari faktor internal yang paling


pertama dan utama harus diupayakan terlebih dahulu
adalah meningkatkan dan mengembangkan kapasitas produksi dan marketing, baru diikuti faktor
lainnya.
Logika rasionalnya adalah, sekalipun faktor
financial melalui modal usaha ditambah besar,
sehingga proses produksi lancar dan produk melimpah tetapi, jika pemasarannya kurang baik dan
produk tidak dapat terjual, akibatnya industri kecil
tersebut akan bangkrut dan bisa jadi mati karena rugi
terus-menerus. Dengan asumsi IKK tersebut tetap
ramah lingkungan, dan jika dengan semakin baiknya

peluang pemasaran hasil produksi, maka industri


tersebut akan terus tumbuh dan berkembang semakin maju dan mandiri di masa yang akan datang.
Dengan semakin maju dan berkembangnya usaha
IKK ini secara lebih mandiri dan tangguh, serta
pelaksanaannya sederhana dan dapat dilakukan
sendiri oleh masyarakat setempat, maka diharapkan
usaha IKK ini ke depan akan lebih mampu untuk ikut
mengentaskan masalah kemiskinan secara mandiri
dan berkelanjutan. Inilah harapan yang diinginkan
dalam bentuk model dasar (proto-type) sebagai
upaya untuk pengentasan kemiskinan dalam artikel
ini.

Tabel 2. Hasil Analisis SWOT Kuantitatif


Keterangan

Weighted

Ranting

Sub Score

Total Score

A. Faktor Eksternal:
Opportunitie:
a. Ekonomi
b. Teknologi
c. Sosial-budaya
d. Politik
Treaths:
a.
b.
c.
d.

Ekonomi
Teknologi
Sosial-budaya
Politik

Total Eksternal

2.45 :

0.50 :
0.20

1.20

0.10

0.60

0.15

0.50

0.05

0.15

0.50 :

1.80 :

0.15

0.75

0.05

0.15

0.15

0.30

0.15

0.60

1.00

4.30

B. Faktor Internal:
Strength:
a. Marketing
b. Financial
c. SDM
d. Produksi
Weakness:
a. Marketing
b. Financial
c. SDM
d. Produksi

Total Faktor Internal

3.15 :

0.50 :
0.25

1.50

0.05

0.35

0.10

0.50

0.10

0.80

0.50 :

1.95 :

0.15

0.75

0.20

0.80

0.05

0.10

0.10

0.30

1.00

5.10

Sumber: Data primer (diolah)


JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

79

Selanjutnya, jika kondisi di atas saling dikaitkan


satu sama lain dalam pola hubungan sebab akibat,
maka munculah wajah ketidakberdayaan dan kemiskinan yang terjadi di daerah penelitian. Ketidakberdayaan ini dapat berbentuk rendahnya pendapatan
atau keuntungan perajin, sehingga tidak nampak
adanya keterlibatan kelompok miskin dalam suatu
proses penyelenggaraan sistem ekonomi daerah
maupun nasional, atau rendahnya partisipasi dalam
proses pembangunan berkelanjutan. Kondisi kausalitas ini, jika ditelusuri akar penyebabnya adalah
karena masih sangat kecilnya distribusi Jumlah Uang
Beredar (JUB) di dalam masyarakat pedesaan itu
sendiri dibanding daerah lain yang lebih maju.
Dengan demikian, salah satu upaya yang perlu
dilakukan untuk mengatasinya adalah dengan cara
empowerment (memberikan kekuatan dan meningkatkan kemampuan SDM masyarakat para perajin
dan petani miskin yang ada pada daerah itu sendiri
agar dapat berswadaya mandiri).
Tindakanya secara nyata dapat dilakukan
dengan cara pemberian bantuan modal kerja, dan
kerja sama atau kolaborasi produk dan pemasaran
(aliansi strategis yang saling menguntungkan dengan
industri kecil sejenis, menengah atau besar). Selain
itu, bantuan teknologi yang disertai dengan bimbingan terhadap SDM masih sangat diperlukan,
karena mengingat tingkat pendidikan sebagian besar
perajin masih rendah. Persoalanya, bantuan faktor
internal apa yang harus diberikan agar bantuan
tersebut dapat bermanfaat? Secara kausalitas
nampaknya adalah berbentuk penambahan distribusi
JUB yang dapat berupa bantuan modal kerja dalam
bentuk pinjaman modal uang (kredit) lunak dan
peningkatan manajerial SDM perajin sebagai langkah
awal pengembangan dalam usahanya.

Ln Q =

+ 1 Ln X1 +

Berdasarkan analisis SWOT, faktor internal


dalam IKK ini sangat urgen untuk lebih diperhatikan
dan diberdayakan terlebih dahulu baru didukung
strategi pemberdayaan dari faktor ekstenal seperti;
kebijakan pemerintah, sosial, dan politik. Hasil
penelitian menunjukkan faktor total internal dari
kekuatan dan kelemhan (strength and weakness)
lebih tinggi yakni sebesar skor 5.10 daripada
pengaruh faktor eksternal yakni peluang dan
ancaman (opportunity and treaths) yang hanya
mencapai nilai skor sebesar 4.25. Artinya, strategi
usaha dengan cara memupuk kekuatan usaha yang
disertai dengan berupaya mengurangi kelemahan
dan keterbatasanya adalah lebih urgen dan tepat
daripada upaya strategi yang lain.
Secara teori maupun empiris banyak faktor
yang mempengaruhi produksi IKK. Dalam kaitannya
dengan penelitian ini, beberapa faktor yang dominan
mempengaruhi pengembangan produksi IKKB
adalah; besar kecilnya tenaga kerja (X1), tingkat
keahlian pengusaha (X2), besarnya modal usaha
yang digunakan (X3), tingkat manajemen usaha (X4)
dan faktor pemasaran hasil produksi (X5).
Berdasarkan model analisis terpilih yang
digariskan dalam metode penelitian di depan yakni
model regresi berganda double log linear dengan
bentuk model persamaan: Ln Q = 0 + 1 Ln X1 + 2
Ln X2 + 3 Ln X3 + 4 Ln X4 + 5 Ln X5 + 2. Dengan
demikian beberapa faktor yang dianggap banyak
mempengaruhi peningkatan produksi IKKB di daerah
penelitian dapat diketahui sebagai berikut (lihat
gambar 2).
Hasil penelitian di bawah menunjukkan bahwa
dengan asumsi ceteris paribus, besarnya pengaruh
faktor yang paling dominan mempengaruhi
pengembangan tingkat produksi kerajinan adalah

2 Ln X2 +

3 Ln X3 +

4 Ln X4 + 5 Ln X5 + 2.

LnQ = -5.1470 + 0.0465LnX1 + 0.4147LnX2 + 0.2292LnX3 + 0.1390LnX4 + 0.2517LnX5


Std. Error
T-Statistik
R Squared
F-Statistik

=
=
= 0.9741
= 745.751

(0.0160)
(0.0423)
2.911
9.799
2
R Adjusted = 0.9754
D.W., Test = 1.8511

(0.0547)
(0.0295)
4.189
4.713
R Multiple = 0.9876
Responden = 100

Gambar 2. Hasil Penelitian

80

Pengembangan Produksi Kerajinan . . . (Maisaroh: 70 - 82)

(0.0436)
5.772

disubangkan dari faktor tingkat keahlian (Skill) yakni


secara signifikan menyumbang sebesar 41,47% dan
urutan terbesar kedua disumbangkan dari faktor
pemasaran yang secara signifikan sebesar 25,17%.
Sumbangan terbesar besar ketiga baru diberikan dari
faktor modal usaha yakni sebesar 22,92 persen.
Artinya bahwa dalam usaha ini modal sekalipun
bukan merupakan faktor dominan pertama masih
tetap sebagai faktor penyumbang yang cukup
dominan setelah sumbangan dari kedua faktor dasar
utama yakni; faktor skill dan faktor pemasaran.
Selain itu, hasil penelitian ini sejalan dengan model
SWOT di atas, bahwa faktor utama dan pertama
yang harus dikembangkan terlebih dahulu agar
tingkat produksi dapat meningkat adalah faktor
pemasaran.
Jika faktor pemasaran meningkat, maka
keberadaan IKK di daerah miskin ini akan mampu
berkembang mandiri seperti yang diharapkan.
Artinya keberdaan usaha ini dapat sebagai salah
satu strategi alternatif yang produktif, sederhana, dan
mampu dilakukan sendiri oleh warga miskin untuk
mengentaskan dirinya dari masalah kemiskinan dan
pengangguran. Namun demikian, secara simultan
tidaklah mudah untuk dapat meningkatkan masalah
pemasaran dari hasil produksi ini, karena masih
mendapatkan tantangan dari faktor-faktor lain.
Hasil penelitian tingkat korelasi parsial antara
tingkat produksi (Q) dengan faktor independen (X)
yakni; masing-masing dengan faktor tenaga kerja
(X1) sebesar 81,34 persen, faktor skill (X2) 95,53
persen, faktor modal usaha (X3) 90,96 persen, faktor
manajemen usaha (X4) 89,60 persen, dan dengan
faktor pemasaran (X5) sebesar 95,27 persen.
Dengan demikian, besarnya tingkat hubungan antara
faktor-faktor tersebut secara parsial dapat dikatakan
sangat erat sekali, sehingga naik turunya tingkat
produksi untuk pengentasan kemiskinan secara
parsial maupun simultan sangat tergantung pada
kondisi masing-masing faktor tersebut.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas


dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1) Alasan mendasar yang melatarbelakangi tetap


dapat berlangsungnya usaha kerajinan di daerah
sampel adalah selain sebagai usaha warisan
nenek moyang mereka, juga secara ekonomi
keberadaan usaha ini telah banyak memberikan
keuntungan yang sangat berarti dalam peneningkatan pendapatan mereka selain bertani. Hasil
penelitian menegaskan bahwa usaha ini telah
lama menjadi matapencaharian pokok utama di
desa penelitian ini selain bertani karena bagi
mereka sudah tidak ada alternatif pekerjan yang
lebih baik lainnya serta sesuai dengan tingkat
pendidikan dan ketrampilan yang mereka miliki.
2) Faktor-faktor yang dominan berpengaruh terhadap peningkatan produksi IKK adalah faktor tenaga kerja, tingkat keahlian (skill), modal usaha,
manajemen usaha dan faktor pemasaran. Faktor
yang paling dominan pertama terhadap
peningkatan produksi kerajinan adalah faktor
tingkat keahlian atau skill dan pemasaran. Faktor
modal usaha dalam IKK ini sekalipun bukan
sebagai faktor dominan yang pertama, tetapi
faktor modal merupakan faktor dominan yang
utama untuk dapat mempengaruhi perkembangan tingkat produksi kerajinan selain faktor
keahlian (skiil) dan faktor pemsaran.
3) Keberadaan IKK di desa sampel penelitian ini
sangat bermanfaat sekali bagi masayarakat,
terutama dalam membantu program pengentasan
kemiskinan di wilayah tersebut. Hasil penelitian
menegaskan bahwa ada kenaikan tingkat
kesejahteraan yang signifikan pada kelompok
masyarakat setelah menekuni usaha IKK ini
sebagai mata pencaharian pokok mereka selain
bertani. Kenaikan tingkat kesejahteraan ini
nampak lebih riil dan berarti lagi jika dilihat pada
kelompok perajin yang semula dari sebagai
pedagang dan petani buruh.
4) Hasil penelitian merekomendasikan masih perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut yang sifatnya
lebih luas dan lebih komprehensif, terutama
terhadap beberapa hambatan pokok dan
sekaligus peluang dalam upaya meningkatkan
produksi, pendapatan dan keuntungan bagi para
perajin ekonomi lemah atau miskin di pedesaan
atau daerah lain, sehingga keberadaan UMKM
termasuk IKK lainnya dapat meningkatkan
kesejahteraan diri dan masyarakat sekitarnya.

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

81

Saran

Bantuan modal usaha untuk pengembangan


produksi pada berbagai usaha IKK yang kecil ini
masih perlu dan mutlak diberikan, tetapi bantuan
cara memasarkan hasil produksi lebih mutlak
diberikan. Bantuan dalam bidang pemasaran dapat
diberikan melalui keikutsertaan mereka dalam
berbagai iven pameran untuk mengenalkan produk
kepada para buyer asing atau pembeli dari luar
daerah secara langsung. Jika bantuan diberikan
melalui bantuan modal usaha (kredit) yang diberikan,
maka bantuan kredit sebaiknya yang lebih bersifat
lunak dan tetap berprinsip berikan kailnya daripada
umpan.
DAFTAR PUSTAKA

Anoraga, dan Djoko, 2002, Koperasi, Kewirausahan


dan Usaha Kecil, Jakarta: Rineka Cipta.
Beattie Bruce R., and Taylor C.R., 1996, The
Economics of Production, Montana State
University, John Wiley & Sons, Inc.
Berg, Gerry C., 2003, Markets, Competition, and
Industrial Analysis; Modern Views in A New
Economy, Journal in download, http://www.
aercafrica.org.
Brata, GA, 2003, Distribusi Spasial UKM di Masa
Krisis Ekonomi, Jurnal Ekonomi Rakyat, Tahun
II, No. 8. November
Budiantoro, Setyo, 2003, RUU Lembaga Keuangan
Mikro: Jangan Jauhkan Lembaga Keuangan
dari Masyarakat, Jurnal Ekonomi Rakyat,
Tahun II, No. 8, November.
Fadjri, Papan Ahmad, 2002, Pemikiran Dasar
Pengentasan Kemiskinan dalam Era Otonomi
Daerah, Warta Demografi, No. 1

82

Gujarati, Darmodar, 2003, Basic Econometric,


Fourth Edition, Mc Graw-Hill, Inc.
Jaya, Wihana K., 2001, Ekonomi Industri; Konsep
Dasar, Strukur, Perilaku dan Kinerja Pasar, Edisi
2, Yogyakarta: BPFE
Krisnamurti, Bayu, 2003, Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah: Ekonomi Rakyat dengan Cara
Berekonomi Sendiri, Bogor: Pusat Studi
Pembangunan, IPB.
Kuncoro, M., 2003, Usaha Kecil di Indonesia, Jurnal
Ekonomi & Kewirausahaan, Vol II, No. 1 Jan,
Bandung: ISEI
Pardede, F.R., 2000, Analisis Kebijakan Pengembangan Industri Kecil dalam Setiana, 2003,
Free Download, http:www.paramartha.org.
Prasetyo, P. Eko, 2008, Peran Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah dalam Mendukung Program
Penanggulangan Kemiskinan, Jurnal Akmenika,
FE-UPY, Vol. 1.
Sosrodiharjo, Soedjito, 1995 Penyusunan Disain
Penelitian, Makalah Penataran Metodologi
Penelitian, Yogyakarta: Kopertis V.
Sumodiningrat, G., 2002, Menanggulangi Kemiskinan Dengan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat,
Makalah Sarasehan, 5-6 Juli 2002, di UST,
Yogyakarta.
Sumodiningrat, Gunawan, 2003, Peranan Lembaga
Keuangan Mirko dalam Menanggulangi Kemiskinan Terkait Dengan Otonomi Daerah, Jurnal
Ekonomi Rakyat, Tahun II, No. 1, Maret.
Tambunan, Tulus, 2002, Usaha Kecil dan Menengah
di Indonesia; Beberapa Isu Penting, Jakarta:
Salemba Empat.

Pengembangan Produksi Kerajinan . . . (Maisaroh: 70 - 82)

INDEK

Banking crisis (krisis perbankan): 50, 51, 53, 55, 58,


59, 60

Log-linear model (model log-linier): 41, 42, 45, 46,


47, 48

Brain drain (migrasi intelektual): 29, 30


capital factor (faktor modal): 22, 70, 81

Macro economic indicator (indikator ekonomi makro):


3, 24, 50, 70

Economic base (basis ekonomi): 1, 3, 33

Marketing factor (faktor pemasaran): 70, 73, 81

Economic growth (Pertumbuhan ekonomi): 1, 2, 3, 9,


10, 12, 13, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25,
26, 28, 29, 30, 32, 33, 36, 50, 59, 60, 63, 72

Policy Strategic: 9

Empirical model (model empiris): 41, 48, 58, 59, 60

EWS-logit model: 50, 55, 56, 57, 58, 59

Private invesment (investasi swasta): 32, 33, 36, 37,


38, 39, 40

Fiscal capacity (kapasitas fiskal): 63, 64, 65, 66, 67,


68

Quality of growth (kualitas pertumbuhan): 18, 23, 31,


20, 26, 28, 29, 30, 31

Fiscal policy (kebijakan fiskal): 40, 63, 65, 67, 68, 69

Rate of interest (suku bunga): 32, 33, 34, 36, 38, 39,
40, 42, 43, 53, 55, 56

Government expenditure and inflation (inflasi dan


pengeluaran pemerintah): 32, 33, 39, 40

Poverty (kemiskinan): 63, 64, 65, 67, 68, 70, 71, 72,
73, 74, 75, 77, 78, 79, 80, 81, 82

Skill (keahlian): 70, 73, 77, 80, 81

Gross Regional Domestic Product (GRDP) (Produk


Domestik Regional Bruto (PDRB)): 1, 2, 3,
4, 9, 13, 14, 63, 65, 67, 68

small craftsment (industri kecil kerajinan): 70, 72, 76

Human capital (modal manusia): 18, 19, 20, 21, 22,


23, 24, 26, 28, 30, 31

Virtuous circle (proses menuju kebaikan/kemajuan):


18, 22, 23

Linear model (model linier): 41, 42, 44, 45, 46, 47

Vicious circle (lingkaran setan): 22, 23

Technology (teknologi):
Traffic jam (kemacetan lalu lintas): 9, 12, 14

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

UCAPAT TERIMA KASIH


Pada kesempatan nomer terbitan perdana ini, Redaksi Jejak Mengucapkan Terima Kasih kepada berbagai
pihak terutama kepada para mitra bestari yang telah membantu mengoreksi naskah ini sebelum diterbitkan
yakni:
1. Prof. Dr. Mudrajat Kuncoro, M.Soc.
(Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada Yogyakarta)
2. Prof. Dr. Tulus Haryono, MS.
(Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta)
3. Dr. R. Maryatmo, MA.
(Fakultas Ekonomi Universitas Atmajaya Yogyakarta)
4. Dr. Trenggonowati, MM.
(Fakultas Ekonomi Universitas Sultan Agung, Semarang)
5. Dr. Azwardi, M.Si.
(Fakultas Ekonomi Universitas Palembang)

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

PEDOMAN RINGKAS
PENULISAN ARTIKEL JEJAK JEP FE UNNES

A. Ketentuan Umum:

1. Artikel lebih diutamakan hasil penelitian, dan kajian empiris atau hasil pemikiran konseptual dan kajian
teoritis dalam bidang ekonomi yang belum pernah dimuat dan tidak sedang dikirim ke terbitan/jurnal lain.
2. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia yang baku atau bahasa Inggris yang baik. Diketik 1 spasi untuk
abstrak serta 1,5 spasi untuk isi dengan font Arial 11 dan menggunakan ukuran kertas UNESCO A4, 210 x
297 mm sebanyak 15-20 halaman.
3. Artikel dikirim sebanyak satu eksemplar dan disertai soft copy dalam bentuk CD, atau disket atau USB
serta dilengkapi dengan riwayat hidup, alamat lembaga/instansi, dan e-mail atau nomor telpon.
4. Penilaian, penerimaan atau penolakan artikel oleh tim redaksi JEJAK berdasarkan pada Panduan
Akreditasi Berkala Ilmiah 2006 oleh LIPI dan DP2M serta taat pada pedoman atau kaidah selingkung
JEJAK. Hasil kemungkinan tentang penilaian artikel dapat berupa:
a. Diterima tanpa perbaikan
b. Diterima dengan sedikit perbaikan oleh redaksi
c. Diterima dengan perbaikan dari penulis
d. Ditolak karena kurang/tidak memenuhi syarat
5. Hasil tulisan sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.
B. Ketentuan Khusus:
1. Sistematika Artikel

a.

Sistematika penulisan di JEJAK harus lengkap dan bersistem baik yang mengikuti kaedah-kaedah
selingkung dan ciri berkala ilmiah sebagai berikut:
1). Sistematika artikel hasil penelitian: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); abstrak (maksimum
200 kata berisi tujuan, metode dan hasil penelitian); kata kunci; pendahuluan yang berisi latar
belakang penelitian, pokok masalah serta tujuan penelitian; landasan teori yang berisi penelitian
sebelumnya dan landasan teori yang digunakan; metode penelitian; hasil dan pembahasan;
simpulan dan saran; serta daftar pustaka.
2). Sistematika artikel hasil pemikiran konseptual: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); abstrak
(maksimum 200 kata); kata kunci; pendahuluan berisi latar belakang dan ruang lingkup tulisan;
pembahasan berisi bahasan utama yang dapat dibagi ke dalam sub-bagian; penutup; serta daftar
pustaka.

b. Penulis artikel pada JEJAK JEP FE UNNES dituntut untuk menggunakan bahasa analisis secara tajam, jelas,
lengkap, kritis, argumentatif dan informatif serta komplementer yang dilengkapi seperti; gambar, foto, tabel,
grafik, model dan sebagainya untuk mendukung pemaparan analisis deskriptif dan sintesisnya.
c.

Gaya selingkung berkala sistem pengacuan pustaka harus baku dan ditulis secara konsisten diurutkan
menurut alfabetis (nama, tahun, urut abjad) mengikuti sistem Harvard.
1) Untuk buku ditulis dengan urutan: Nama pengarang, Tahun, Judul Buku, Edisi, Kota penerbit: Nama
penerbit.
JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

2) Untuk jurnal/majalah/terbitan berkala ditulis dengan urutan: Nama penulis, Tahun, Judul tulisan, Nama
jurnal/majalah, Vol., No., Hal., Kota penerbit: Nama penerbit.
3) Untuk tulisan/karangan yang merupakan bagian dari buku ditulis dengan urutan: Nama pengarang,
Tahun, Judul tulisan/karangan, dalam (atau in) nama Editor (Ed), Judul buku, Hal. (pp.), Kota
penerbit, Nama penerbit.
4) Untuk rujukan dari internet, tanggal akses atau tanggal down load harus dicantumkan.
5) Untuk rujukan dari koran ditulis dengan urutan: Nama penulis, (anonim, jika tidak ada pengarangnya),
Tahun, bulan, tanggal, Judul tulisan, Nama koran, Nomor halaman, (kolom).
2. Isi dan Aspirasi Wawasan

a.

Aspirasi wawasan penulisan artikel di JEJAK minimal berwawasan nasional atau regional serta lebih
diharapkan mampu berwawasan internasional, sehingga sumbangan berkala artikel dalam JEJAK untuk
kemajuan IPTEK adalah sangat tinggi. Artinya, sekalipun kajian isi artikel sifatnya tetap sangat spesifik dari
suatu disiplin ilmu JEJAK, tetapi jangkauan wawasan artikel yang ditulis dengan bahasa baku yang baik
dan lebih bersifat keuniversalan akan lebih dipentingkan dibandingkan dengan kenasionalan apalagi
kelokalan.

b.

Sumbangan berkala pada IPTEK yang dimaksud diukur dari derajat keorisinalan dan makna kontribusi
ilmiah temuan/gagasan/hasil pemikiran dalam tulisan yang dimuatnya harus tetap sesuai dengan bidang
disiplin Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan JEJAK.

c. Bobot isi kemutakhiran bahan yang diacu dan ketajaman analisis serta sinteksis yang dilakukan secara kritis
serta peranannya dapat berfungsi sebagai pemacu kegiatan penelitian berikutnya sangat diutamakan.
Karena itu, penarikan kesimpulan yang mampu mencetuskan teori baru atau metode/model ilmiah baru
yang dituangkan secara mapan dan lebih bermakna ilmiah akan lebih diutamakan daripada kesimpulan
dangkal dan saran bahwa penelitiannya perlu dilanjutkan.
3. Format Artikel
JUDUL
Judul artikel harus ditulis spesifik dan efektif, tidak boleh disingkat dan tidak lebih dari 14 kata dalam tulisan
berbahasa Indonesia, atau 10 kata bahasa Inggris, sehingga sekali dibaca dapat ditangkap maksudnya secara
komprehnsif. Keefektifan judul harus bersifat baku dan lugas.
Nama Penulis
Nama penulis artikel ditulis baku dan lengkap tanpa gelar akademis, dan di bawah nama penulis disertai alamat
lembaga dan alamat e-mail.
ABSTRAK
Abstrak ditulis secara gamblang, utuh dan lengkap mengambarkan esensi keseluruhan tulisan, dan abstrak
bukan ringkasan. Isi abstrak maksimal 200 kata yang meliputi tujuan penelitian atau penulisan artikel, metode
yang digunakan, hasil atau kesimpulan. Jika artikel ditulis dalam bahasa Indonesia, maka abstrak harus ditulis
dalam bahasa Inggris. Tetapi, jika artikel ditulis dalam bahasa inggris, maka abstrak tetap dalam bahasa inggris
saja.

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

Kata Kunci
Di bawah abstrak disertai kata kunci. Kata kunci ini harus dipilih secara cermat, sehingga mencerminkan
konsep yang dikandung artikel terkait, dan merupakan kelengkapan artikel ilmiah untuk membantu
keteraksesan artikel yang bersangkutan.
PENDAHULUAN
Tidak hanya berisi latar belakang masalah pentingnya penelitian tersebut dilakukan, tetapi juga berisi pokok
masalah, serta tujuan penelitian dan sintesa dari artikel yang ditulis oleh penulis.
LANDASAN TEORI
Berisi penelitian sebelumnya yang mendukung penguatan pentingnya penelitian atau artikel tersebut perlu
dilakukan dan landasan teori yang benar-benar digunakan dalam artikel tersebut, serta hipotesis penelitian jika
ada.
METODE PENELITIAN
Menguraikan desain riset atau tata cara penelitian secara rinci (metode, jenis data, sumber data, teknik
pengumpulan data, dan model analisis data serta cara penafsiran atau cara interprestasi hasil penelitian)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berisi hasil penelitian yang sewajarnya dan dianggap paling menonjol yang disusun secara sistematis, informatif
dan kritis serta ditulis dalam bentuk bahasa yang baku (baik dan benar). Hasil pengolahan data yang disajikan
harus selektif dan mampu menggunakan fasilitas penjelas secara informatif dan kritis sehingga tidak
memberikan informasi yang berulang. Ingat semua penulis artikel Jejak dituntut untuk menggunakan bahasa
analisis secara tajam, jelas, lengkap, kritis, argumentatif dan informatif serta komplementer sementara; gambar,
foto, tabel, grafik, model dan sebagainya bukanlah hasil pokok tetapi, hanya untuk mendukung pemaparan
analisis deskriptif dan sintesisnya yang kritis dan argumentatif. Pembahasan hasil merupakan analisis atau
argumentasi kritis mengenai relevansi hasil dengan teori dan fakta empiris, manfaat serta kemungkinan
pengembangan yang lebih bermakna ilmiah dan univesal. Artinya, kepioniran isi artikel ditentukan oleh
kemutakhiran state-of-the-art IPTEK yang dikandung, kecanggihan sudut pandang dan ketepatan pendekatan
yang digunakan serta kebaruan temuan bagi pengembangan ilmu.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan harus dapat dirumuskan dengan tajam, tegas, cermat, singkat dan jelas serta berdasarkan fakta
temuan empiris dalam penelitian atau hasil pemikiran kritis yang mampu memacu penelitian berikutnya. Saran
atau rekomendasi jika ada harus tegas, dan jelas serta bersifat operasional dan tetap harus terkait dengan
hasil penelitian ilmiah yang ditemukan.
DAFTAR PUSTAKA
Berisi daftar bacaan yang aktual dan hanya berisi sumber acuan yang digunakan saja serta harus mengikuti
sistematika seperti yang telah dijelaskan di atas. Daftar rujukan bacaan diharapkan 85% dari referensi buku
atau jurnal-jurnal ilmiah terbaru maksimal terbitan 10 tahun terakhir. Semakin tinggi pustaka primer yang diacu
akan semakin baik dan makin bermutu artikel tersebut, tetapi semakin sering penulis mengacu pada diri sendiri
(self citation) akan dapat mengurangi prioritas penilaian berkala dan penolakan dimuatnya artikel.

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

DESAIN SISTEM PENGELOLAAN ATIKEL JEJAK


DI JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI UNNES
ISSN 1979-715X
PENULIS
ARTIKEL

PENYUNTING
PELAKSANA

PENYUNTING
AHLI

PERCETAKAN/
DISTRIBUSI

Penyampaian
Naskah

Naskah
Diterima

Pemeriksaan
Isi/Materi

Cetak
Jurnal

Pemeriksaan
Teknis

Naskah

Distribusi
Jurnal
Tidak

Laik

Ya
Tidak

Editing/
Sunting

Laik
Ya

Desain/Setting
Pracetak

Master
Jurnal

Ketentuan Umum:

6. Artikel dikirim sebanyak satu eksemplar dan disertai soft copy dalam bentuk CD, atau disket atau USB
serta dilengkapi dengan riwayat hidup, alamat lembaga/instansi, dan e-mail atau nomor telpon.
Pengiriman artikel juga dapat melalui email: jejak_fe@staff.unnes.ac.id atau jejak_feunnes.yahoo.com
7. Penilaian, penerimaan atau penolakan artikel oleh tim redaksi JEJAK berdasarkan pada Panduan
Akreditasi Berkala Ilmiah 2006 oleh LIPI dan DP2M serta taat pada pedoman atau kaidah selingkung
JEJAK. Hasil kemungkinan tentang penilaian artikel dapat berupa:
a). Diterima tanpa perbaikan
b). Diterima dengan sedikit perbaikan oleh redaksi
c). Diterima dengan perbaikan dari penulis
d). Ditolak karena kurang/tidak memenuhi syarat
8. Hasil tulisan sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis dan redaksi tidak berkewajiban mengembalikan
artikel yang ditolak.

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

Anda mungkin juga menyukai