Anda di halaman 1dari 24

POLA PERTUMBUHAN EKONOMI DAN TINGKAT KETIMPANGAN

PEMBANGUNAN EKONOMI ANTAR KABUPATEN/KOTA


(Analisis Klassen Typology Dan Williamson Index)

Pangeran
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Graha Kirana

Abstract
This study aims to determine the pattern of economic growth between districts / cities and the
level of economic development inter-regency / city in North Sumatra Province. This research
uses Klassen Typology analysis and Williamson Index analysis.
Typology Klassen Analysis Results show that in the period 2010-2012 and the period 2013-
2015, districts / cities that remain in quadrant I are South Tapanuli Regency, North
Labuhanbatu Regency, Pematangsiantar City, Medan City, and Binjai City. Regencies / cities
that remain in quadrant II are Toba Samosir Regency, Labuhanbatu Regency, Simalungun
Regency, Karo Regency, and Batu Bara Regency. Regencies / cities that remain in quadrant
III are Nias Regency, Mandailing Natal Regency, Pakpak Bharat Regency, Padang Lawas
Regency, North Nias Regency, Gunungsitoli City. Regencies / cities that remain in quadrant
IV are Central Tapanuli Regency, North Tapanuli Regency, Dairi Regency, South Nias
Regency, Humbang Hasundutan Regency, and Padangsidimpuan City. Williamson Iindex
analysis shows the average value of IW among regencies / cities in North Sumatra Province
is relatively high at 0.4316. This means that the value of inequality in economic development
between regencies / cities in North Sumatra Province is very high.

Keywords: Economic Growth, Economic Development Inequality, Klassen Typology,


Williamson Index.

Pendahuluan
Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka
panjang. Para teoritikus ilmu ekonomi pembangunan masa kini masih terus menyempurnakan
makna, hakikat dan konsep pertumbuhan ekonomi. Para teoretikus menyatakan bahwa
pertumbuhan ekonomi tidak hanya diukur dengan pertambahan Produk Domestik Bruto
(PDB) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) saja, akan tetapi juga diberi bobot yang
bersifat immaterial seperti kenikmatan, kepuasan dan kebahagiaan dengan rasa aman dan
tentram yang dirasakan oleh masyarakat luas (Lincolin Arsyad, 1999).
Keberhasilan pembangunan suatu daerah bisa dilihat dari laju pertumbuhan
ekonominya. Oleh sebab itu, setiap daerah selalu menetapkan target laju pertumbuhan yang
tinggi didalam perencanaan dan tujuan pembangunan daerahnya. Secara sederhana
pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai perubahan dari Produk Domestik Bruto (PDB) di
tingkat nasional dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di tingkat daerah dari tahun ke
tahun. Suatu ekonomi dikatakan mengalami pertumbuhan yang berkembang apabila tingkat
kegiatan ekonominya lebih tinggi dari pada apa yang dicapai pada masa sebelumnya.
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator dari kesejahteraan masyarakat pada
suatu daerah. Apabila pertumbuhan ekonomi suatu daerah meningkat diharapkan
pertumbuhan tersebut dapat dinikmati merata oleh seluruh masyarakat.
Ketimpangan wilayah merupakan salah satu permasalahan yang pasti timbul dalam
pembangunan. Ketimpangan yang lazim dibicarakan adalah ketimpangan pembangunan
ekonomi. Ketimpangan pembangunan ekonomi secara wajar memang akan terjadi dalam
proses pembangunan ekonomi seiring dengan adanya perbedaan sumber daya alam dan
infrastruktur yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Walaupun pada dasarnya kesenjangan

116 | P a g e
Jurnal Ekohum Volume X Edisi Juli – Desember
pembangunan adalan inherent dengan proses pembangunan itu sendiri (Ardani, 1992) dalam
(Tarmizi, 2011). Ketimpangan pembangunan ekonomi antar kabupaten/kota merupakan aspek
yang umum terjadi, Ada beberapa faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya
ketimpangan pembangunan ekonomi antara wilayah yaitu (1) perbedaan kandungan sumber
daya alam, (2) perbedaan kondisi demografis, (3) kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa,
(4) konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah, dan (5) alokasi dana pembangunan antar wilayah.
Ukuran ketimpangan pembangunan ekonomi antarwilayah atau daerah dapat dianalisis
dengan melalui perhitungan Indeks Williamson. Dasar perhitungannya adalah dengan
menggunakan PDRB per kapita dalam kaitannya dengan jumlah penduduk per daerah. Secara
luas, apabila angka indeks kesenjangan Williamson semakin mendekati nol, maka
menunjukkan kesenjangan yang semakin kecil dna bila angka indeks menunjukkan
kesenjangan semakin mendekati satu, maka menunjukkan kesenjangan yang makin lebar.
Ketimpangan pembangunan ekonomi antar kabupaten/kota dalam suatu provinsi
dilihat dari perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi antarwilayah, yaitu perbedaan antara
daerah maju dan daerah terbelakang. Hal ini dapat dilihat dengan menggunakan Klassen
Typology yaitu dengan mengelompokan daerah-daerah tersebut kedalam beberapa tipe.
Daerah tipe I adalah daerah dengan tingkat pendapatan yang tinggi dengan tingkat laju
pertumbuhan yang tinggi, daerah tipe II adalah daerah dengan tingkat pendapatan yang rendah
tetapi dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi, daerah tipe III adalah daerah dengan tingkat
pendapatan yang tinggi tetapi dengan tingkat pertumbuhan yang rendah, dan daerah tipe IV
adalah daerah dengan tingkat dan laju pertumbuhan pendapatan yang rendah.
Provinsi Sumatera Utara tidak terlepas dari masalah pertumbuhan ekonomi dan
ketimpangan pembangunan ekonomi antar kabupaten/kotanya. Sehingga dalam prakteknya
bagaimana proses pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pembangunan ekonomi yang
terjadi di daerah tersebut dapat dimaksimalkan dan menekan nilai ketimpangan pembangunan
ekonomi tersebut kearah pemerataan pembangunan ekonomi dengan memaksimalkan sektor-
sektor ekonomi yang mempunyai nilai keunggulan kompetitif di setiap daerah untuk
dikembangkan. Provinsi Sumatera Utara dipilih sebagai daerah atau objek penelitian
pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pembangunan ekonomi antar kabupaten/kota adalah
karena ingin mengetahui seberapa besar perbedaan pertumbuhan ekonomi dan tingkat
ketimpangan pembangunan ekonomi yang terjadi di masing-masing kabupaten/kota dan
dampak yang ditimbulkan bagi kesejahteraan masyarakat. Perbedaan pembangunan ekonomi
akan membawa dampak perbedaan tingkat kesejahteraan antar kabupaten/kota yang pada
akhirnya menyebabkan ketimpangan regional antar daerah semakin besar. Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) dan pelaksanaan pembangunan yang tidak merata pada tiap-tiap
kabupaten/kota akan menyebabkan ketimpangan pembangunan ekonomi yang tidak merata,
dimana jika semakin kecil PDRB per kapitanya maka bisa diartikan semakin buruk tingkat
kesejahteraan masyarakatnya. Begitu juga sebaliknya apabila PDRB semakin besar maka bisa
diartikan semakin baik tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Maka untuk mengukur
pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pembangunan ekonomi suatu daerah menggunakan
PDRB per kapita antar kabupaten/kota, karena alat ini merupakan salah satu alat untuk
mengukur tingkat kesejahteraan penduduk di suatu daerah.

Tinjauan Pustaka
Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu gambaran mengenai dampak kebijaksanaan
pemerintah yang dilaksanakan khususnya dalam bidang ekonomi. Pertumbuhan ekonomi
merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macam sektor ekonomi yang
secara tidak langsung menggambarkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Bagi
daerah, indikator ini penting untuk mengetahui keberhasilan pembangunan di masa yang akan

117 | P a g e
Jurnal Ekohum Volume X Edisi Juli – Desember
datang. Pertumbuhan ekonomi merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan, dan
hasil pertumbuhan ekonomi akan dapat pula dinikmati masyarakat sampai dilapisan paling
bawah, baik dengan sendirinya maupun dengan campur tangan pemerintah (Sirojuzilam,
2015).
Pertumbuhan ekonomi diyakini oleh sebagian besar ekonom sebagai indikator yang
paling tepat dalam menggambarkan proses kemajuan pembangunan suatu negara. Hal ini
terkait dengan kemampuannya dalam menggambarkan tercapainya suatu proses peningkatan
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan kapasitas produksi nasional, peningkatan
jumlah konsumsi, dan yang terpenting adalah peningkatan pendapatan. Namun, pada
kenyataannya pertumbuhan ekonomi hanya menggambarkan nilai secara agregat, bukan
secara parsial. Faktanya, proses pertumbuhan ekonomi yang terjadi di dunia pada saat ini
memperlihatkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak selalu dibarengi dengan
pembagian porsi pendapatan yang merata diantara para pelaku ekonomi (Lincolin Arsyad,
2010).
Menurut Sjafrizal (2012), menyatakan bahwa teori pertumbuhan ekonomi wilayah
merupakan bagian penting dalam analisis ekonomi wilayah dan perkotaan. Alasannya jelas,
karena pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu unsur utama dalam pembangunan
ekonomi wilayah dan mempunyai implikasi kebijakan yang cukup luas. Sasaran utama
analisis pertumbuhan ekonomi wilayah ini adalah untuk menjelaskan mengapa suatu daerah
dapat pertumbuh cepat dan ada pula yang tumbuh lambat. Disamping itu, analisis
pertumbuhan ekonomi wilayah ini juga dapat menjelaskan hubungan antar pertumbuhan
ekonomi dan ketimpangan antar daerah dan mengapa hal tersebut terjadi. Menurut Sjafrizal
(2012), menyatakan bahwa teori pertumbuhan ekonomi wilayah merupakan bagian penting
dalam analisis ekonomi wilayah dan perkotaan. Alasannya jelas, karena pertumbuhan
ekonomi merupakan salah satu unsur utama dalam pembangunan ekonomi wilayah dan
mempunyai implikasi kebijakan yang cukup luas. Sasaran utama analisis pertumbuhan
ekonomi wilayah ini adalah untuk menjelaskan mengapa suatu daerah dapat pertumbuh cepat
dan ada pula yang tumbuh lambat. Disamping itu, analisis pertumbuhan ekonomi wilayah ini
juga dapat menjelaskan hubungan antar pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan antar daerah
dan mengapa hal tersebut terjadi.

Ketimpangan Pembangunan Ekonomi


Ketimpangan pembangunan ekonomi antarwilayah merupakan fenomena umum yang
terjadi dalam proses pembangunan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini pada awalnya
disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan sumber daya alam dan perbedaan kondisi
demografi yang terdapat pada masing – masing wilayah. Akibat dari perbedaan ini,
kemampuan suatu daearah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mendorong
proses pembangunan juga menjadi berbeda. Karena itu, tidaklah mengherankan bilamana
pada setiap daearah biasanya terdapat daerah wilayah yang relatif maju (developed region)
dann wilayah relatif terbelakang (underdeveloped region) (Sjafrizal, 2012).

Menurut Williamson (1965) Ketimpangan pembangunan antar daerah dengan pusat


dan antar daerah dengan daerah lain adalah merupakan suatu yang wajar, karena adanya
perbedaan dalam sumber daya dan awal pelaksanaan pembangunan antar daerah (Kuncoro,
2004). Ketimpangan yang paling sering dibicarakan adalah ketimpangan ekonomi.
Ketimpangan ekonomi sering digunakan sebagai indikator perbedaan pendapatan per kapita
rata-rata, antar kelompok tingkat pendapatan, antar kelompok lapangan kerja, dan atau antar
wilayah. Ketimpangan pembangunan ekonomi dan penghapusan kemiskinan merupakan
permasalahan dalam pembangunan. Lewat pemahaman yang mendalam akan masalah

118 | P a g e
Jurnal Ekohum Volume X Edisi Juli – Desember
ketimpangan pembangunan ekonomi dan kemiskinan dapat memberikan dasar yang baik
untuk menganalisis masalah pembangunan yang lebih khusus agar permasalahan
pembangunan ini bisa dipecahkan dengan perencanaan pembangunan yang lebih baik
(Lincolin Arsyad, 2004).
Ketimpangan pembangunan ekonomi dapat mengakibatkan konsekuensi sosial dalam
pembangunan itu sendiri. Konsekuensi dari ketimpangan pembangunan ekonomi adalah
rendahnya mobilitas sosial dan dapat menyebabkan kemiskinan (Colclough, 1990) dalam
(Hasan Basri Tarmizi, 2011). Menurut Hipotesa Neo-Klasik pada permulaan proses
pembangunan suatu negara, ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung meningkat.
Proses tersebut akan terjadi sampai ketimpangan tersebut mencapai titik puncak. Kemudian
pada saat proses pembangunan tersebut terus berlanjut, maka secara berangsur-angsur
ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut akan menurun (Sjafrizal, 2008) dalam
(Devi Sitorus, 2012).
Menurut Neo-Klasik, ketimpangan pembangunan wilayah terjadi karena adanya
perbedaan sumber daya, tenaga kerja, dan modal yang dimiliki oleh tiap daerah adalah
berbeda-beda. Hipotesis Neo-Klasik merupakan dasar teoritis terjadinya ketimpangan
pembangunan antar wilayah. Termasuk dalam hal ini adalah hasil studi dari Jeffrey G.
Williamson yang melakukan pengujian terhadap kebenaran Neo-Klasik tersebut. Menurut
Neo-Klasik bahwa ketimpangan wilayah akan berkurang dengan sendirinya. Neo-Klasik
berpendapat bahwa dalam awal pembangunan yang dilaksanakan di negara yang sedang
berkembang justru ketimpangan meningkat, hal ini dikarenakan pada saat proses
pembangunan baru dimulai di negara sedang berkembang, kesempatan dan peluang
pembangunan yang ada umumnya di manfaatkan oleh daerah-daerah yang kondisi
pembangunan sudah lebih baik. Sedangkan daerah-daerah yang masih sangat terbelakang
tidak mampu memanfaatkan peluang karena keterbatasan saran dan prasarana serta
rendahnya kualitas sumber daya manusia. Selain faktor ekonomi, faktor sosial- budaya juga
turut mempangaruhi ketimpangan pembangunan wilayah (Myrdal, 1976) dalam (Harun,
2012).

Penyebab Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antarwilayah


Ketimpangan pembangunan antarwilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam
kegiatan ekonomi suatu daerah. Terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan atau
memicu terjadinya ketimpangan ekonomi antarwilayah tersebut, yaitu sebagai berikut
(Sjafrizal, 2012) :
1. Perbedaan Kandungan Sumber Daya Alam
Penyebab pertama yang mendorong timbulnya ketimpangan ekonomi antarwilayah adalah
adanya perbedaan yang sangat besar dalam kandungan sumber daya alam pada masing-
masing daerah. Perbedaan kandungan sumber daya alam ini jelas akan memengaruhi
kegiatan produksi pada daerah bersangkutan. Daerah dengan kandungan sumber daya
alam cukup banyak akan dapat memproduksi barang dan jasa tertentu dengan biaya relatif
murah
2. Perbedaan Kondisi Demografis
Faktor utama lainnya yang juga dapat mendorong terjadinya ketimpangan ekonomi
antarwilayah adalah bilamana terdapat perbedaan kondisi demografis yang cukup besar
antardaerah. Kondisi demografis yang dimaksudkan disini meliputi perbedaan tingkat
pertumbuhan dan struktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan,
perbedaan kondisi ketenagakerjaan dan perbedaan dalam tingkah laku dan kebiasaan serta
etos kerja yang dimiliki masyarakat daerah bersangkutan.
3. Kurang Lancarnya Mobilitas Barang dan Jasa

119 | P a g e
Jurnal Ekohum Volume X Edisi Juli – Desember
Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa antarwilayah dapat pula mendorong
terjadinya peningkatan ketimpangan ekonomi antarwilayah. Mobilitas barang dan jasa ini
meliputi kegiatan perdagangan antardaerah dan migrasi baik yang disponsori pemerintah
(transmigrasi) atau migrasi spontan. Alasannya adalah karena bila mobilitas tersebut
kurang lancar, maka kelebihan produksi suatu daerah tidak dapat dijual ke daerah lain
yang membutuhkan. Demikian pula halnya dengan migrasi yang kurang lancar
menyebabkan kelebihan tenaga kerja suatu daerah tidak akan dapat dimanfaatkan oleh
daerah lain yang sangat membutuhkannya.
4. Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah
Terjadinya konsentrasi kegiatan ekonomi yang cukup tinggi pada wilayah tertentu jelas
akan memengaruhi ketimpangan ekonomi antarwilayah. Pertumbuhan ekonomi daerah
akan cenderung lebih cepat pada daerah di mana terdapat konsentrasi kegiatan ekonomi
yang cukup besar. Kondisi tersebut selanjutnya akan mendorong proses pembangunan
daerah melalui peningkatan penyediaan lapangan kerja dan tingkat pendapatan
masyarakat.
5. Alokasi Dana Pembangunan Antarwilayah
Tidak dapat disangkal bahwa investasi merupakan salah satu unsur yang sangat
menentukan pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Karena itu, daerah yang mendapatkan
alokasi investasi swasta ke daerahnya akan cenderung mempunyai tingkat pertumbuhan
ekonomi yang lebih cepat. Kondisi ini tentunya akan dapat pula mendorong proses
pembangunan daerah melalui penyediaan lapangan kerja yang lebih banyak dan tingkat
pendapatan per kapita yang lebih tinggi.

Klassen Typology
Model yang paling populer untuk mengindetifikasi daerah tertinggal atau
perkembangan daerah-daerah berdasarkan pertumbuhan ekonominya adalah model Typology
Klassen. Typology Klassen dikenalkan oleh Leo Klassen (1965), Klassen menganggap daerah
(regions) sebagai mikrokosmos yang diskrit (discrete microcosms), yaitu daerah ekonomi
yang dapat dipahami dengan melalui studi tentang besaran-besaran ekonominya. Dengan
menggunakan pendapatan, Klassen mengajukan suatu teknik sederhana yaitu dengan
memperbandingkan tingkat dan laju pertumbuhan pendapatan suatu daerah tertentu dengan
tingkat dan laju pertumbuhan pendapatan nasional, seperti yang ditunjukan pada table 1.

Tabel 1. Tipologi Klassen untuk Pengidentifikasian Daerah Tertinggal

Tingkat pertumbuhan Tingkat pendapatan daerah dibandingkan dengan


pendapatan daerah tingkat pendapatan nasional
dibandingkan dengan
tingkat pertumbuhan Tinggi (>1) Rendah (<1)
pendapatan nasional
Tipe II
Tipe I
Tinggi (>1) Daerah tertinggal dalam
Daerah makmur
proses membangun
Tipe III
Daerah makmur yang Tipe IV
Rendah (<1)
sedang menurun (potensial Daerah tertinggal
untuk tertinggal)

Ada tiga macam daerah yang permasalahannya berbeda yakni kategori II, III, dan IV
seperti tampak pada table tersebut. Daerah tipe II adalah daerah dengan tingkat pendapatan
120 | P a g e
Jurnal Ekohum Volume X Edisi Juli – Desember
yang realtif rendah tetapi dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi, daerah tipe III adalah
daerah dengan tingkat pendapatan tinggi tetapi dengan tingkat pertumbuhan yang rendah, dan
daerah tipe IV adalah daerah dengan tingkat dan laju pertumbuhan pendapatan yang rendah.
Daerah yang terakhir merupakan daerah yang menjadi perhatian utama bagi para perencana
pembangunan daerah (Lincolin Arsyad, 2010). Menurut Klassen, daerah tertinggal seperti itu
karena kondisinya yang tidak menguntungkan, kurang dapat berpartisipasi dalam
pembangunan ekonomi nasional. Daerah-daerah tersebut tidak dapat bersaing dengan daerah-
daerah lainnya paling tidak dalam satu cabang industri. Daerah-daerah tersebut tidak
memiliki potensi sumber daya yang menarik termasuk yang sudah dieksploitasi.

Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh Tryanto Hery Prasetyo Utomo (2012), dengan judul
Analisis Pertumbuhan dan Ketimpangan Pembangunan Ekonomi antar Kabupaten/Kota di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasil penelitiannya adalah secara keseluruhan tingkat
pertumbuhan ekonomi di semua Kabupaten/Kota mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun
selama periode pengamatan, secara rata-rata pertumbuhan ekonominya relatif merata artinya
tidak terpaut jauh antar Kabupaten/Kota Lainnya. Pola Pertumbuhan Ekonomi Di Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta terbagi menjadi 3 kategori yaitu Daerah Cepat Tumbuh Dan
Berkembang, Daerah Berkembang Cepat dan Daerah Relatif Tertinggal. Setiap
Kabupaten/Kota Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memilki Sektor Unggulan sendiri
yang dijadikan konsentrasi untuk terus dikembangkan sebagai penunjang nilai Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) serta pertumbuhan ekonomi daerah tersebut. Di Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta tidak terjadi ketimpangan pembangunan antar daerah yang
artinya pembangunan ekonomi antar Kabupaten/Kota merata.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Astari Khairunnisa (2014), dengan judul
Analisis Disparitas Pembangunan Ekonomi antar Kecamatan di Kota Medan. Hasi
penelitiannya sebagai berikut, Hasil penelitian Klassen Typologi menunjukkan selama
periode 2001-2005 dan periode 2006-2010 terdapat 3 kecamatan yang masuk dalam kuadran
I (cepat maju, cepat tumbuh), 5 kecamatan yang masuk dalam kuadran II (maju tapi tertekan),
2 kecamatan yang masuk dalam kuadran III (berkembang cepat), 4 kecamatan yang masuk
dalam kuadran IV (relative tertinggal) dan 7 kecamatan yang mengalami perubahan pola
pembangunan ekonomi. Analisis Williamson Index menunjukkan nilai IW antar kecamatan
tergolong rendah dengna rata-rata indeks sebesar 0.16994. sehingga diperlukan strategi dna
kebijakan dalam penyelesaian disparities atau ketimpangan yang terjadi di Kota Medan.
Penelitian selanjutnya yang terkait dengan ketimpangan dilakukan oleh Ketut Wahyu
Dyhatmika (2013), dengan judul Analisis Ketimpangan Pembangunan Provinsi Banten Pasca
Pemekaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan pembangunan di
Provinsi Banten cenderung meningkat. Berdasarkan tipologi klassen, Kota Tangerang dan
Cilegon berada pada kelompok daerah maju dan cepat berkembang, Kabupaten Tangerang
pada kelompok daerah berkembang cepat dan daerah lainnya berada pada kategori daerah
tertinggal. Hasil analisis data panel dengan metode FEM, penanaman modal asing (PMA)
berpengaruh positif dan pengeluaran pemerintah (GE) berpengaruh negatif terhadap
ketimpangan, sedangkan variabel tingkat pengangguran (UE) tidak berpengaruh terhadap
ketimpangan pembangunan di Provinsi Banten pasca pemekaran wilayah.
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Ida Ayu Indah Utama dkk (2014), dengan judul
penelitian Analisis Ketimpangan Pembangunan Antara Kabupaten/Kota di Provinsi Bali.
Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa Struktur pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota di
Provinsi Bali terbagi dalam tiga pola yaitu : perekonomian Daerah yang maju dan tumbuh

121 | P a g e
Jurnal Ekohum Volume X Edisi Juli – Desember
cepat, terdiri dari Kabupaten Badung; daerah berkembang cepat tetapi tidak maju, yaitu Kota
Denpasar, Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Buleleng; daerah maju tapi tertekan yaitu
Kabupaten Klungkung; dan daerah tertinggal yaitu Kabupaten Tabanan, Jembrana, Bangli
dan Karangasem. Indeks Williamson di Provinsi Bali berkisar pada nilai 0,68 yang
menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan pembangunan di Provinsi Bali tinggi. Hipotesis
Kuznets tentang hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pembangunan
berbentuk kurva U terbalik tidak berlaku di Provinsi Bali. Oleh karena pertumbuhan
pendapatan per kapita selalu diharapkan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
perubahan struktur ekonomi dari sektor pertanian ke sektor industri dan jasa sulit dihindari,
maka untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan pemerataan maka
dianjurkan kepada pemerintah memberikan subsidi lebih banyak kepada masyarakat secara
langsung berupa “pembayaran transfer”, dan secara tidak langsung melalui subsidi
pendidikan, penciptaan lapangan kerja, subsidi kesehatan, dan sebagainya.
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Caska dan R.M Riadi (2008) dengan judul
penelitian Pertumbuhan dan Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antara Daerah di Provinsi
Riau. Hasil penelitiannya adalah di dalam pertumbuhan ekonomi daerah Provinsi Riau,
daerah yang termasuk daerah yang mengalami cepat maju dan cepat tumbuh (high growth
and high income) hanya 1 (satu) daerah saja yakni Kota Pekanbaru. Daerah atau kabupaten
yang dikategorikan berkembang cepat dalam arti pertumbuhan (high growth but low income)
adalah Kabupaten Pelalawan, Kuantan Singingi, Indragiri Hulu dan Kabupaten Siak. Untuk
daerah atau kabupaten yang maju tapi tertekan (high income but low growth) adalah pada
Kabupaten Indragiri Hilir, Rokan Hulu dan Kabupaten Kampar, sedangkan daerah yang
pembangunan atau pertumbuhan ekonominya relatif tertinggal adalah Kabupaten Rokan
Hilir, Dumai dan Kabupaten Bengkalis.
Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Azwar dkk (2013), dengan judul
penelitian Disparitas Pertumbuhan Ekonomi antarwilayah di Aceh Indonesia. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kondisi potensi untuk konvergensi karena faktor dominan yang
mempengaruhi perbedaan tanpa memasukkan variable efek kumulatif, konsentrasi kegiatan
ekonomi antar wilayah yang memiliki efek positif dan dampak negatif dari Indeks
Pertumbuhan Manusia (IPM). Dengan memasukkan variabel efek kumulatif, ternyata IPM
memiliki efek negatif, sedangkan efek kumulatif dari pertumbuhan antar daerah dan PDB per
kapita memiliki dampak positif. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kesenjangan
ekonomi antar wilayah memiliki potensi untuk konvergensi jika dan hanya jika ada intervensi
kebijakan pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan, kesehatan, dan daya beli
konsumen untuk mengurangi disparitas tersebut. Disarankan agar Pemerintah Aceh dan
Pemerintah Kabupaten/Kota harus mendorong pertumbuhan PDB per tahun, sama dengan
atau di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional dalam rangka meningkatkan
produktivitas kerja sehingga kemakmuran ekonomi juga meningkat (spread effect lebih baik
daripada backwash effect) karena efek kumulatif pertumbuhan berlaku di antar
kabupaten/kota di Aceh.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Achmad Masnawi dkk (2015), dengan judul
penelitian Analisis Pertumbuhan Daerah dan Kesenjangan Pembangunan di Kabupaten
Mamuju Sulawesi Barat. Penelitian ini menjelaskan sektor unggulan konteks Pulau Sulawesi
dan tingkat disparitas pengembangan daerah Kabupaten Mamuju. Alat analisis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui sektor dasar (keunggulan
komparatif) yang digunakan analisis Location Quotient (LQ), analisis saham pergeseran ini
digunakan untuk melihat kompetisi sektor. Analisis Tipologi Klassen digunakan untuk
menentukan pola dan struktur pertumbuhan ekonomi. Analisis indeks Williamson dan indeks
Theil digunakan untuk mengukur kesenjangan pembangunan. Hasil penelitian ini
menunjukkan (1) sektor unggulan di Kabupaten Mamuju konteks Pulau Sulawesi adalah

122 | P a g e
Jurnal Ekohum Volume X Edisi Juli – Desember
sektor jasa karena pertumbuhan ekonomi dan kemajuan cepat. (2) tingkat Disparitas
pembangunan daerah yang terjadi sangat nyata di setiap kabupaten yang disebabkan oleh
ketidakseimbangan di wilayah Kecamatan itu sendiri.
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Carlos R. Azzoni (2001), dengan judul
penelitian Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan Wilayah di Brazil. Penelitian
ini menganalisis evolusi ketimpangan regional di Brazil pada periode 1939-1995.
Berdasarkan data set yang diselenggarakan oleh penulis, indikator per kapita dispersi
pendapatan negara dan antar daerah yang disajikan dan perkembangan dari waktu ke waktu
yang telah dianalisis. Korelasi antara daerah mengalami tingkat awal pendapatan per kapita
dan itu dianggap pertumbuhan, pengujian untuk konvergensi Beta. Kecepatan konvergensi
dihitung dalam dua bentuk yang berbeda yaitu model neoklasik dan koefisien variasi,
kemudian untuk analisis oscillations, ketidaksetaraan dari waktu ke waktu dan hubungan
dengan tingkat pertumbuhan ekonomi nasional. Hipotesis Kuznets, berkaitan dengan
ketimpangan pendapatan daerah dan tingkat perkembangan yang telah diuji. Hasil penelitian
menunjukkan adanya tanda-tanda konvergensi pendapatan daerah di Brasil, tetapi dengan
analisis oscillations penting dalam perkembangan ketidaksetaraan dari waktu ke waktu serta
di seluruh wilayah di dalam negeri. Asosiasi kesenjangan regional dengan pertumbuhan
pendapatan nasional menghasilkan hasil yang menarik, yang menunjukkan garis menjanjikan
untuk penelitian masa depan.

Kerangka Konseptual
Pertumbuhan ekonomi adalah proses perubahan kondisi perekonomian suatu negara
secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama periode tertentu.
Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan juga sebagai proses kenaikan kapasitas produksi suatu
perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Pertumbuhan
ekonomi dihitung dengan melakukan perbandingan antara tahun sedang berjalan dengan
tahun yang sebelumnya melalui penyajian PDRB.
Ketimpangan pembangunan antar daerah merupakan aspek yang umum terjadi dalam
kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya
perbedaan kandungan sumberdaya alam dan perbedaan kondisi geografi yang terdapat pada
masing – masing daerah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah dalam
mendorong proses pembangunan juga menjadi berbeda. Karena itu, tidaklah mengherankan
bilamana pada setiap daerah biasanya terdapat daerah maju (Development Region) dan daeah
terbelakang (Underdevelopment Region).
Terjadinya ketimpangan antar daerah ini membawa implikasi terhadap tingkat
kesejahteraan masyarakat antar daerah. Karena itu, aspek ketimpangan pembangunan antar
daerah ini juga mempunyai implikasi pula terhadap formulasi kebijakan pembangunan daerah
yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Untuk menghitung pertumbuhan dan ketimpangan
pembangunan ekonomi antar kabupaten/kota maka penelitian ini menggunankan Typologi
Klassen dan Williamson Index. Dari uraian diatas maka konsep kerangka pemikiran tersebut
menjadi dasar dalam penelitian ini dan dapat disusun dalam suatu skema yang dapat dilihat
dalam gambar 1 berikut :

Pembangunan Daerah di
Provinsi Sumatera Utara

Kabupaten Kotamadya
123 | P a g e
Jurnal Ekohum Volume X Edisi Juli – Desember
Pertumbuhan Ekonomi antar kabupaten/kota
di Provinsi Sumatera Utara

Ketimpangan Ekonomi antar kabupaten/kota


di Provinsi Sumatera Utara

Pertumbuhan Ekonomi Ketimpangan Ekonomi

Klasifikasi Daerah Williamson Index


Typology Klassen

Gambar 1. Kerangka Konseptual


.
Metode Penelitian
Berdasarkan dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah disebutkan,
maka penelitian ini disajikan dalam bentuk analisis deskriptif dan kuantitatif. Defenisi
operasional variabel penelitian adalah sebagai berikut:
1. Pertumbuhan ekonomi adalah besarnya laju pertumbuhan PDRB di Provinsi Sumatera
Utara dan Kabupaten/Kota dalam kurun waktu 2010-2015.
2. Ketimpangan pembangunan ekonomi antar Kabupaten/Kota diukur dengan
menggunakan rumus Indeks Williamson dengan kisaran 0-1.
3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per kapita adalah nilai PDRB kabupaten/kota di
Provinsi Sumatera Utara dibagi dengan jumlah penduduk masing-masing kabupaten/kota
di Provinsi Sumatera Utara per tahun atas dasar harga konstan.
Populasi yang dipilih oleh peneliti yaitu di Provinsi Sumatera Utara dan menurut data
Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara adalah 33
kabupaten/kota yaitu yang terdiri dari 25 kabupaten dan 8 kota. Dalam penelitian ini jenis
data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder ini diperoleh dari buku referensi,
jurnal, penelitian terdahulu, internet, dan sumber lainnya yang berhubungan dengan masalah
penelitian. Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Badan Pusat
Statistik (BPS) provinsi Sumatera Utara.
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunankan
analisis deskriptif dan kuantitaif, dimana analisis deskriptif dan kuantitatif ini bertujuan untuk
menghitung hal-hal yang terkait dengan tujuan penelitian, yaitu dalam penelitian ini
menggunakan analisis Klassen Typologi dan perhitungan indeks ketimpangan daerah yaitu
Williamson Index.

Klassen Typologi

124 | P a g e
Jurnal Ekohum Volume X Edisi Juli – Desember
Model yang paling popular untuk mengindentifikasi daerah tertinggal adalah Klassen
Typologi. Klassen Typolgi digunakan untuk membandingkan daerah dengan menggunakan
pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan per kapita daerah sehingga daerah tersebut
dapat dikategorikan dalam empat klasifikasi yaitu daerah I adalah daerah cepat maju dan
cepat tumbuh (hight growth and hight income), daerah II adalah daerah maju tapi tertekan
(high income but low growth), daerah III adalah daerah berkembang cepat (high growth but
low income), dan daerah IV adalah daerah relatif tertinggal (low growth and low income).

Tabel 2. Klasifikasi Klassen Typology

Laju pertumbuhan PDRB Per Kapita (y)


PDRB (r) Y1>y Y1<y
Tipe II
Tipe I
R1>r Daerah tertinggal dalam
Daerah makmur
proses membangun
Tipe III
Daerah makmur yang Tipe IV
R1<r
sedang menurun (potensial Daerah tertinggal
untuk tertinggal)

Williamson Index
Salah satu indikator yang biasa dan dianggap cukup representatif untuk mengukur
tingkat ketimpangan pendapatan antardaerah (regional) adalah indeks ketimpangan daerah
yang dikemukakan Jeffrey G. Williamson (1965). Berikut ini adalah formulasi dari indeks
ketimpangan daerah yang dikemukakan oleh Jeffrey G. Williamson (Arsyad Lincolin, 2010) :

Di mana :
Vw = indeks Williamson
Yi = pendapatan per kapita di tingkat provinsi
Y = pendapatan per kapita nasional
Fi = jumlah penduduk di tingkat provinsi
n = jumlah penduduk nasional

Hal ini berarti bahwa pada dasarnya indeks Williamson merupakan koefisien
persebaran (coefficient of variation) dari rata-rata nilai sebaran dihitung berdasarkan estimasi
dari nilai-nilai PDRB dan penduduk daerah-daerah yang berada pada lingkup wilayah yang
dikaji dan dianalisis. Ada tiga kriteria dalam perhitungan Indeks Williamson ini, yaitu
jika Indeks Williamson menunjukkan:
1. Angka 0,0 sampai 0,2, maka ketidakmerataannya rendah.
2. Angka 0,21 sampai 0,35, maka ketidakmerataannya sedang.
3. Angka > 0,35, maka ketidakmerataannya tinggi.

Hasil Penelitian Dan Pembahasan

Tabel 3. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, Dan Kepadatan Penduduk menurut


Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2015
No. Kabupaten/Kota Luas Wilayah Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk

125 | P a g e
Jurnal Ekohum Volume X Edisi Juli – Desember
Kabupaten 2 2
(km ) (jiwa) (jiwa/km )
1 Nias 1,842,51 136,115 74
2 Mandailing Natal 6,134,00 430,894 70
3 Tapanuli Selatan 6,030,47 275,098 46
4 Tapanuli Tengah 2,188,00 350,017 160
5 Tapanuli Utara 3,791,64 293,399 77
6 Toba Samosir 2,328,89 179,704 77
7 Labuhan Batu 2,156,02 462,191 214
8 Asahan 3,702,21 706,283 191
9 Simalungun 4,369,00 849,405 194
10 Dairi 1,927,80 279,090 145
11 Karo 2,127,00 389,591 183
12 Deli Serdang 2,241,68 2,029,308 905
13 Langkat 6,262,00 1,013,385 162
14 Nias Selatan 1,825,20 308,281 169
15 Humbang Hasundutan 2,335,33 182,991 78
16 Pakpak Bharat 1,218,30 45,516 37
17 Samosir 2,069,05 123,789 60
18 Serdang Bedagai 1,900,22 608,691 320
19 Batubara 922,20 400,803 435
20 Padang Lawas Utara 3,918,05 252,589 64
21 Padang Lawas 3,892,74 258,003 66
22 Labuhan Batu Selatan 3,596,00 313,884 87
23 Labuhan Batu Utara 3,570,98 351,097 98
24 Nias Utara 1,202,78 133,897 111
25 Nias Barat 473,73 84,917 179
Kota
26 Sibolga 41,31 86,519 2,094
27 Tanjung Balai 107,83 167,012 1,549
28 Pematang Siantar 55,66 247,411 4,445
29 Tebing Tinggi 31,00 156,815 5,059
30 Medan 265,00 2,210,624 8,342
31 Binjai 59,19 264,687 4,472
32 Padangsidimpuan 114,66 209,796 1,830
33 Gunungsitoli 280,78 135,995 484
SUMATERA UTARA 72,981,23 13,937,97 191
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut.

Laju Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Sumatera Utara


Pertumbuhan ekonomi adalah proses perubahan kondisi perekonomian suatu negara
secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama periode tertentu.
Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan juga sebagai proses kenaikan kapasitas produksi suatu
perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Adanya
pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi.
Laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera utara mengalami pertumbuhan naik
turun dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 laju pertumbuhan ekonomi meningkat 6,52%,
kemudian pada tahun 2011 laju partumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Utara mengalami

126 | P a g e
Jurnal Ekohum Volume X Edisi Juli – Desember
penurunan menjadi 6,63%, dan naik kembali pada tahun 2012 menjadi 6.45%, pada tahun
2013 laju pertumbuhan Provinsi Sumatera Utara menurun drastis menjadi 6,07%. Laju
pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Utara mengalami penurunan yang drastis pada
tahun 2014-2015 menjadi 5,23% dan 5,10%.
Laju pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Provinsi Sumatera utara berpengaruh
terhadap laju pertumbuhan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara. Pada
tahun 2010 laju pertumbuhan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara yang
tertinggi adalah Kota Medan dengan tingkat laju pertumbuhan ekonomi sebesar 7,16%. Laju
pertumbuhan ekonomi yang terendah antar kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara adalah
Kabupaten Nias Selatan dengan tingkat laju pertumbuhan ekonomi sebesar 4.12%. Laju
pertumbuhan ekonomi pada tahun 2011 antar kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara
yang mengalami pertumbuhan ekonomi tertinggi adalah Kota Medan dengan tingkat laju
pertumbuhan ekonomi sebesar 7,69%, diikuti Kabupaten Padang Lawas Utara dengan tingkat
laju pertumbuhan ekonomi sebesar 6,81%, kemudian Kabupaten Nias Barat dengan tingkat
laju pertumbuhan ekonomi sebesar 6,76%, dan Kabupaten Nias Utara dengan tingkat laju
pertumbuhan ekonomi sebesar 6,68%. Laju pertumbuhan ekonomi antar kabupaten/kota di
Provinsi Sumatera yang terendah adalah Kabupaten Nias Selatan dengan laju pertumbuhan
ekonomi sebesar 4,46%.
Laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2012 antar kabupaten/kota di Provinsi
Sumatera Utara yang tertinggi adalah Kabupaten Tapanuli Selatan dengan tingkat laju
pertumbuhan ekonomi sebesarr 9,09%, Kota Medan dengan tingkat laju pertumbuhan
ekonomi sebesar 7,66%, kemudian Kota Pematangsiantar dengan tingkat laju pertumbuhan
ekonomi sebesar 6,64%, dan Kabupaten Nias Barat dengan tingkat laju pertumbuhan
ekonomi sebesar 6,55%.
Pada tahun 2013 laju pertumbuhan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi
Sumatera Utara yang mengalami tingkat laju pertumbuhan ekonomi tertinggi adalah
Kabupaten Tapanuli Selatan dengan tingkat laju pertumbuhan ekonomi sebesar 17,43%,
kemudian diikuti Kabupaten Deli Serdang dengan tingkat laju pertumbuhan ekonomi sebesar
9,22%, dan Kabupaten Mandailing Natal dengan tingkat laju pertumbuhan ekonomi sebesar
6,37%. Laju pertumbuhan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara yang
mengalami tingkat laju pertumbuhan ekonomi terendah adalah Kabupaten Batubara dengan
tingkat laju pertumbuhan ekonomi sebesar 4,23%.
Pada tahun 2014 laju pertumbuhan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi
Sumatera Utara yang mengalami tingkat laju pertumbuhan ekonomi tertinggi adalah
Kabupaten Deli Serdang dengan tingkat laju pertumbuhan ekonomi sebesar 7,51%, kemudian
diikuti Kabupaten Mandailing Natal dengan tingkat laju pertumbuhan ekonomi sebesar
6,52%, dan Kota Pematangsiantar dengan tingkat laju pertumbuhan ekonomi sebesar 6,34%.
Laju pertumbuhan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara yang
mengalami tingkat laju pertumbuhan ekonomi terendah adalah Kabupaten Batubara dengan
tingkat laju pertumbuhan ekonomi sebesar 4,20%.
Selanjutnya, pada tahun 2015 laju pertumbuhan ekonomi antar kabupaten/kota di
Provinsi Sumatera Utara yang mengalami tingkat laju pertumbuhan ekonomi tertinggi adalah
Kabupaten Mandailing Natal dengan tingkat laju pertumbuhan ekonomi sebesar 6,22%,
kemudian diikuti Kabupaten Padang Lawas Utara dengan tingkat laju pertumbuhan ekonomi
sebesar 5,94%, dan Kabupaten Pakpak Bharat dengan tingkat laju pertumbuhan ekonomi
sebesar 5,93%. Laju pertumbuhan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara
yang mengalami tingkat laju pertumbuhan ekonomi terendah adalah Kabupaten Batubara
dengan tingkat laju pertumbuhan ekonomi sebesar 4,11%.

127 | P a g e
Jurnal Ekohum Volume X Edisi Juli – Desember
Tabel 4. Laju Pertumbuhan Ekonomi Menurut Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera
Utara Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2010-2015 (Persen)

Kabupaten/Kota
No. 2010 2011 2012 2013 2014 2015 Rata-rata
Kabupaten
1 Nias 6.75 6.81 6.27 6.35 5.47 5.43 6.18
2 Mandailing Natal 6.41 6.40 6.27 6.37 6.52 6.22 6.37
3 Tapanuli Selatan 5.06 5.27 9.09 17.43 4.43 5.02 7.72
4 Tapanuli Tengah 5.13 6.27 5.11 5.18 5.04 5.08 5.30
5 Tapanuli Utara 5.56 5.54 4.90 5.27 5.11 4.81 5.20
6 Toba Samosir 5.50 5.26 5.08 4.85 4.23 4.55 4.91
7 Labuhanbatu 5.15 5.72 6.09 5.98 5.22 5.04 5.53
8 Asahan 4.97 5.37 5.51 5.71 5.89 5.57 5.50
9 Simalungun 5.12 5.81 6.06 5.25 5.33 5.24 5.47
10 Dairi 5.02 5.28 5.03 5.05 5.03 5.04 5.08
11 Karo 6.03 6.57 5.09 4.95 5.09 5.01 5.46
12 Deli Serdang 5.98 6.01 4.99 9.22 7.51 5.25 6.49
13 Langkat 5.74 5.84 6.45 5.61 5.12 5.03 5.63
14 Nias Selatan 4.12 4.46 5.18 4.65 4.32 4.46 4.53
15 Humbang Hasundutan 5.45 5.94 5.59 5.72 5.32 5.24 5.54
16 Pakpak Bharat 6.77 5.98 6.01 5.91 5.92 5.93 6.09
17 Samosir 5.59 5.96 6.05 6.10 5.95 5.77 5.90
18 Serdang Bedagai 6.14 5.98 6.09 5.80 5.12 5.05 5.70
19 Batubara 4.65 5.11 5.72 4.23 4.20 4.11 4.67
20 Padang Lawas Utara 6.74 6.81 6.38 6.15 6.08 5.94 6.35
21 Padang Lawas 5.56 6.39 6.21 6.14 5.97 5.74 6.00
22 Labuhanbatu Selatan 5.61 6.13 6.33 6.05 5.32 5.13 5.76
23 Labuhanbatu Utara 5.68 6.21 6.36 6.27 5.39 5.18 5.85
24 Nias Utara 6.73 6.68 6.21 6.34 5.56 5.49 6.17
25 Nias Barat 6.30 6.76 6.55 5.17 5.12 4.87 5.80
Kota
26 Sibolga 6.04 5.09 5.75 5.96 5.89 5.65 5.73
27 Tanjungbalai 4.76 4.86 6.22 5.94 5.78 5.58 5.52
28 Pematangsiantar 5.85 6.02 6.64 5.75 6.34 5.24 5.97
29 Tebing Tinggi 6.04 6.67 5.75 6.01 5.45 4.86 5.80
30 Medan 7.16 7.69 7.66 5.36 6.08 5.74 6.62
31 Binjai 6.07 6.56 6.06 6.07 5.83 5.40 6.00
32 Padangsidimpuan 5.81 5.88 5.90 5.80 5.17 5.04 5.60
33 Gunungsitoli 6.73 6.46 6.18 6.22 6.10 5.39 6.18
Sumatera Utara 6.52 6.63 6.45 6.07 5.23 5.10 6.00
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara.

Tingkat Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antar Kabupaten/Kota Di Provinsi


Sumatera Utara
Dari hasil perhitungan terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi antar
kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara dengan menggunakan alat analisis Indeks
128 | P a g e
Jurnal Ekohum Volume X Edisi Juli – Desember
Williamson (Vw) dengan tiga (3) kriteria perhitungan indeks Williamson yaitu angka 0.0
sampai 0.2 maka ketimpangannya rendah, angka 0.21 sampai 0.35 maka ketimpangan
sedang, dan angka > 0.35 maka ketimpangannya tinggi.
Tahun 2010-2015 nilai rata-rata ketimpangan pembangunan ekonomi antar
kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara berkisar pada nilai 0.0031 sampai dengan 0.3196.
Rata-rata Indeks ketimpangan pembangunan ekonomi antar kabupaten/kota pada tahun 2010-
2015 yang terendah adalah Kota Pematangsiantar dengan nilai indeks Williamson sebesar
0.0031 dan yang tertinggi adalah Kota Medan dengan nilai indeks Williamson sebesar
0.3196. Rata-rata nilai indeks Williamson di Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2010-2015
sebesar 0.4316, bahwa Provinsi Sumatera Utara memiliki ketimpangan pembangunan
ekonomi yang tinggi. Dari hasil perhitungan rata-rata nilai indeks Williamson antar
kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara, maka dapat dikatakan Kota Pematangsiantar
merupakan kota dengan tingkat ketimpangan pembanguan ekonominya yang rendah,
sedangkan Kota medan tingkat ketimpangan pembangunan ekonominya adalah sedang.

Tabel 5. Hasil Perhitungan Nilai Rata-Rata Indeks Williamson Antar Kabupaten/Kota


Di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2015

Kabupaten/Kota Rata-Rata IW
No. Kriteria Nilai Indeks Williamson
Kabupaten 2010-2015
1 Nias 0.0536 Rendah
2 Mandailing Natal 0.0806 Rendah
3 Tapanuli Selatan 0.0232 Rendah
4 Tapanuli Tengah 0.0795 Rendah
5 Tapanuli Utara 0.0643 Rendah
6 Toba Samosir 0.0193 Rendah
7 Labuhanbatu 0.0471 Rendah
8 Asahan 0.0188 Rendah
9 Simalungun 0.0506 Rendah
10 Dairi 0.0454 Rendah
11 Karo 0.0052 Rendah
12 Deli Serdang 0.0372 Rendah
13 Langkat 0.0610 Rendah
14 Nias Selatan 0.0772 Rendah
15 Humbang Hasundutan 0.0451 Rendah
16 Pakpak Bharat 0.0303 Rendah
17 Samosir 0.0246 Rendah
18 Serdang Bedagai 0.0377 Rendah
19 Batu Bara 0.1131 Rendah
20 Padang Lawas Utara 0.0423 Rendah
21 Padang Lawas 0.0473 Rendah
22 Labuhanbatu Selatan 0.0608 Rendah
23 Labuhanbatu Utara 0.0305 Rendah
24 Nias Utara 0.0547 Rendah
25 Nias Barat 0.0501 Rendah
Kota

129 | P a g e
Jurnal Ekohum Volume X Edisi Juli – Desember
26 Sibolga 0.0035 Rendah
27 Tanjungbalai 0.0098 Rendah
28 Pematangsiantar 0.0031 Rendah
29 Tebing Tinggi 0.0288 Rendah
30 Medan 0.3196 Sedang
31 Binjai 0.0248 Rendah
32 Padangsidimpuan 0.0580 Rendah
33 Gunungsitoli 0.0328 Rendah
Sumatera Utara 0.4316 Tinggi
Sumber : Data diolah.
Pada table di atas, hasil dari perhitungan nilai indeks Williamson antar kabupaten/kota
di Provinsi Sumatera Utara dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pada tahun 2010 nilai indeks Williamson di Provinsi Sumatera Utara sebesar 0.4716,
ketimpangan pembangunan ekonomi yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara termasuk dalam
salah satu kriteria indeks Williamson yaitu > 0.35, maka 0.4716 > 0.35 bahwa ketimpangan
pembangunan ekonomi yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara adalah tinggi. Nilai indeks
Williamson tertinggi antar kabupaten/kota adalah Kota Medan sebesar 0.3515, kemudian
ketimpangan pembangunan ekonomi yang terendah adalah Kota Tanjungbalai sebesar
0.0008.
Tahun 2011 nilai indeks Williamson Povinsi Sumatera Utara mengalami penurunan
dari tahun 2010 sebesar 0.4716 ke tahun 2011 sebesar 0.4486, tetapi dengan kriteria indeks
Williamson yang sama yaitu ketimpangan yang tinggi. Ketimpangan pembangunan ekonomi
yang tertinggi antar kabupaten/kota adalah Kota Medan sebesar 0.3593. Dan ketimpangan
pembangunan ekonomi yang rendah berada di Kabupaten Samosir dengan nilai indeks
Williamson sebesar 0.0029.
Pada Tahun 2012 nilai indeks Williamson Provinsi Sumatera Utara sebesar 0.4185,
merupakan ketimpangan pembangunan ekonomi yang tinggi dalam kriteria indeks
Williamson yaitu 0.4185 > 0.35. Pada tahun 2012 nilai indeks Williamson Kota medan
menurun dari tahun 2011 sebesar 0.3593 ke 0.2987 sehingga ketimpangan pembangunan
ekonomi Kota Medan pada tahun 2012 adalah sedang, kemudian ketimpangan antar
kabupaten/kota yang terendah adalah Kota Pematangsiantar dengan nilai indeks Williamson
sebesar 0.0003.
Pada tahun 2013 ketimpangan pembangunan ekonomi yang terjadi di Provinsi
Sumatera Utara mengalami penurunan dari tahun 2012 sebesar 0.4185 ke tahun 2013 sebesar
0.4137. Dalam kriteria indeks Williamson 0.4137 merupakan ketimpangan pembangunan
ekonomi yang tinggi yaitu 0.4137 > 0.35. Ketimpangan pembangunan ekonomi antar
kabupateb/kota yang sedang adalah Kota Medan sebesar 0.2953. Dan ketimpangan
pembangunan ekonomi antar kabupaten/kota yang terendah adalah Kota Pematangsiantar
dengan nilai indeks Williamson sebesar 0.0003.
Tahun 2014 nilai indeks Williamson Provinsi Sumatera Utara sebesar 0.4172,
ketimpangan pembangunan ekonomi yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara termasuk dalam
salah satu kriteria indeks Williamson yaitu > 0.35, maka 0.4172> 0.35 ketimpangan
pembangunan ekonomi yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara adalah tinggi. Ketimpangan
pembangunan ekonomi antar kabupateb/kota yang sedang adalah Kota Medan sebesar
0.3032. Dan ketimpangan pembangunan ekonomi antar kabupaten/kota yang terendah adalah
Kota Pematangsiantar dengan nilai indeks Williamson sebesar 0.0022.
Pada tahun 2015 ketimpangan pembangunan ekonomi yang terjadi di Provinsi
Sumatera Utara mengalami kenaikan dari tahun 2014 sebesar 0.4172 ke tahun 2015 sebesar
0.4201. Dalam kriteria indeks Williamson 0.4201 merupakan ketimpangan pembangunan

130 | P a g e
Jurnal Ekohum Volume X Edisi Juli – Desember
ekonomi yang tinggi yaitu 0.4201 > 0.35. Ketimpangan pembangunan ekonomi antar
kabupateb/kota yang sedang adalah Kota Medan sebesar 0.3094. Dan ketimpangan
pembangunan ekonomi antar kabupaten/kota yang terendah adalah Kota Pematangsiantar
dengan nilai indeks
Williamson sebesar 0.0028.

Tabel 5. Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antar Kabupaten/Kota Di Provinsi


Sumatera Utara Tahun 2010-2015 Menurut Indeks Williamson

Kabupaten/Kota
No. 2010 2011 2012 2013 2014 2015 Rata-Rata
Kabupaten
1 Nias 0.0577 0.0574 0.0527 0.0521 0.0513 0.0506 0.0536
2 Mandailing Natal 0.0793 0.0797 0.0826 0.0821 0.0807 0.0794 0.0806
3 Tapanuli Selatan 0.0368 0.0373 0.0262 0.0130 0.0132 0.0126 0.0232
4 Tapanuli Tengah 0.0894 0.0906 0.0719 0.0736 0.0754 0.0764 0.0795
5 Tapanuli Utara 0.0536 0.0544 0.0698 0.0700 0.0692 0.0690 0.0643
6 Toba Samosir 0.0135 0.0124 0.0222 0.0226 0.0228 0.0226 0.0193
7 Labuhanbatu 0.0246 0.0279 0.0598 0.0581 0.0570 0.0555 0.0471
8 Asahan 0.0260 0.0284 0.0159 0.0159 0.0140 0.0124 0.0188
9 Simalungun 0.0633 0.0640 0.0453 0.0455 0.0436 0.0420 0.0506
10 Dairi 0.0240 0.0249 0.0564 0.0567 0.0555 0.0547 0.0454
11 Karo 0.0087 0.0066 0.0009 0.0037 0.0050 0.0060 0.0052
12 Deli Serdang 0.0409 0.0479 0.0394 0.0332 0.0294 0.0326 0.0372
13 Langkat 0.0497 0.0510 0.0672 0.0669 0.0661 0.0651 0.0610
14 Nias Selatan 0.0025 0.0812 0.0943 0.0948 0.0951 0.0953 0.0772
15 Humbang Hasundutan 0.0410 0.0416 0.0466 0.0475 0.0471 0.0469 0.0451
16 Pakpak Bharat 0.0309 0.0315 0.0293 0.0297 0.0301 0.0303 0.0303
17 Samosir 0.0028 0.0029 0.0367 0.0362 0.0349 0.0340 0.0246
18 Serdang Bedagai 0.0340 0.0339 0.0418 0.0406 0.0386 0.0371 0.0377
19 Batu Bara 0.1973 0.0604 0.1104 0.1058 0.1036 0.1014 0.1131
20 Padang Lawas Utara 0.0811 0.0815 0.0217 0.0228 0.0233 0.0235 0.0423
21 Padang Lawas 0.0832 0.0846 0.0274 0.0287 0.0296 0.0304 0.0473
22 Labuhanbatu Selatan 0.0177 0.0142 0.0855 0.0836 0.0827 0.0811 0.0608
23 Labuhanbatu Utara 0.0080 0.0070 0.0409 0.0417 0.0424 0.0429 0.0305
24 Nias Utara 0.0571 0.0571 0.0542 0.0538 0.0533 0.0529 0.0547
25 Nias Barat 0.0523 0.0522 0.0494 0.0492 0.0488 0.0485 0.0501
Kota
26 Sibolga 0.0031 0.0037 0.0021 0.0028 0.0040 0.0051 0.0035
27 Tanjungbalai 0.0008 0.0033 0.0138 0.0141 0.0136 0.0134 0.0098
28 Pematangsiantar 0.0062 0.0069 0.0003 0.0003 0.0022 0.0028 0.0031
29 Tebing Tinggi 0.0126 0.0131 0.0366 0.0367 0.0367 0.0369 0.0288
30 Medan 0.3515 0.3593 0.2987 0.2953 0.3032 0.3094 0.3196
31 Binjai 0.0136 0.0146 0.0305 0.0305 0.0300 0.0297 0.0248
32 Padangsidimpuan 0.0563 0.0573 0.0579 0.0590 0.0585 0.0589 0.0580
33 Gunungsitoli 0.0242 0.0246 0.0372 0.0372 0.0368 0.0367 0.0328
Sumatera Utara 0.4716 0.4486 0.4185 0.4137 0.4172 0.4201 0.4316
Sumber : BPS Sumut, data diolah.

131 | P a g e
Jurnal Ekohum Volume X Edisi Juli – Desember
Perkembangan Pola Pertumbuhan Ekonomi Antar Kabupaten/Kota Di Provinsi
Sumatera Utara
Setiap pertumbuhan ekonomi yang terjadi antar kabupaten/kota di Provinsi Sumatera
Utara berbeda-beda. Maka perlu diketahui pola pertumbuhan ekonomi yang terjadi antar
kabupaten/kota. Analisis yang digunakan untuk menghitung dan menentukan pola
pertumbuhan ekonomi antar kabupaten/kota adalah Analisis Klassen Typologi.
Analisis Klassen Typologi digunakan untuk menentukan bagaimana pola
pertumbuhan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara dan diklarifikasikan
ke dalam empat (4) kuadran. Untuk menentukan tiap-tiap kuadran dilakukan perhitungan
menggunakan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi sebagai sumbu Y (vertikal) dan rata-rata
PDRB per kapita sebagai sumbu X (horizontal). Pola pertumbuhan ekonomi antar
kabupaten/kota dibagi dalam dua (2) periode, yaitu periode tahun 2010-2012 dan tahun 2013-
2015.

Tabel 5. Nilai Klassen Typologi Antar Kabupaten/Kota

Rata-rata PDRB Rata-rata Laju


Kabupaten/Kota perkapita (X) Pertumbuhan Ekonomi (Y)
No. Kabupaten 2010-2012 2013-2015 2010-2012 2013-2015
1 Nias 7.097.332 15.074.807.24 6.61 5.75
2 Mandailing Natal 8.392.030 16.506.920.52 6.36 6.37
3 Tapanuli Selatan 12.235.786 27.685.542.51 6.47 8.96
4 Tapanuli Tengah 9.516.015 15.937.273.75 5.50 5.10
5 Tapanuli Utara 8.830.498 15.963.274.12 5.33 5.06
6 Toba Samosir 14.468.773 24.425.389.05 5.28 4.54
7 Labuhanbatu 17.776.567 40.046.904.37 5.65 5.41
8 Asahan 14.170.511 28.587.744.01 5.28 5.72
9 Simalungun 12.305.616 25.124.763.32 5.66 5.27
10 Dairi 10.848.994 18.581.113.91 5.11 5.04
11 Karo 15.812.357 29.581.704.61 5.90 5.02
12 Deli Serdang 13.843.344 27.932.862.25 5.66 7.33
13 Langkat 12.115.646 23.038.319.84 6.01 5.25
14 Nias Selatan 6.312.987 11.014.429.10 4.59 4.48
15 Humbang Hasundutan 9.549.726 17.958.563.89 5.66 5.43
16 Pakpak Bharat 7.201.459 14.360.865.59 6.25 5.92
17 Samosir 11.814.819 19.235.133.67 5.87 5.94
18 Serdang Bedagai 12.757.919 24.884.089.97 6.07 5.32
19 Batu Bara 28.756.874 49.094.788.76 5.16 4.18
20 Padang Lawas Utara 10.172.701 25.194.627.99 6.64 6.06
21 Padang Lawas 9.674.743 23.806.821.76 6.05 5.95
22 Labuhanbatu Selatan 21.692.811 47.354.130.73 6.02 5.50
23 Labuhanbatu Utara 18.263.073 38.605.250.97 6.08 5.61
24 Nias Utara 6.849.257 13.929.627.02 6.54 5.80
25 Nias Barat 5.643.076 11.501.778.22 6.54 5.05
Kota
26 Sibolga 15.549.461 32.019.950.07 5.63 5.83
27 Tanjungbalai 14.275.801 26.667.395.00 5.28 5.77
28 Pematangsiantar 15.286.509 30.900.583.35 6.17 5.78

132 | P a g e
Jurnal Ekohum Volume X Edisi Juli – Desember
29 Tebing Tinggi 11.582.808 19.904.599.47 6.15 5.44
30 Medan 28.047.770 53.632.673.70 7.50 5.73
31 Binjai 12.863.380 23.833.082.08 6.23 5.77
32 Padangsidimpuan 8.245.295 15.912.811.56 5.86 5.34
33 Gunungsitoli 10.503.194 19.085.668.30 6.46 5.90
Sumatera Utara 15.574.147 30.484.563.92 6.53 5.47
Sumber : BPS Sumut, data diolah.

Dari table di atas, dapat dilihat rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera
Utara periode tahun 2010-2012 sebesar 6.53 dan rata-rata PDRB per kapita sebesar 15.574.
Pada periode tahun 2013-2015 rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Utara
mengalami kenaikan sebesar 30.484 dan rata-rata PDRB per kapita mengalami penurunan
sebesar 5.47. Rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dan rata-rata PDRB per kapita sebagai
sumbu ‘Y’ dan ‘X’ pada kuadran Klassen Typologi yang akan menunjukkan pola
pertumbuhan ekonomi antar kabupaten/kota yang dibagi menjadi 4 kuadran. Berikut hasil
dari Klassen Typologi tiap periode antar kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.

III I

IV II

Gambar 2. Pola Pertumbuhan Ekonomi Antar Kabupaten/Kota


Di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2012

Keterangan :
Kabupaten :
1 : Nias 13 : Langkat 25 : Nias Barat
2 : Mandailing Natal 14 : Nias Selatan Kota :

133 | P a g e
Jurnal Ekohum Volume X Edisi Juli – Desember
3 : Tapanuli Selatan 15 : Humbang Hasundutan 26 : Sibolga
4 : Tapanuli Tengah 16 : Pakpak Bharat 27 : Tanjungbalai
5 : Tapanuli Utara 17 : Samosir 28 : Pematangsiantar
6 : Toba Samosir 18 : Serdang Bedagai 29 : Tebing Tinggi
7 : Labuhanbatu 19 : Batu Bara 30 : Medan
8 : Asahan 20 : Padang Lawas Utara 31 : Binjai
9 : Simalungun 21 : Padang Lawas 32 : Padangsidimpuan
10 : Dairi 22 : Labuhanbatu Selatan 33 : Gunungsitoli
11 : Karo 23 : Labuhanbatu Utara
12 : Deli Serdang 24 : Nias Utara

Pada gambar di atas, dapat dilihat hasil dari pola pertumbuhan ekonomi antar
kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara periode tahun 2010-2012 dapat dibagi kedalam 4
klarifikasi dalam kuadran analisis Klassen Typologi. Kabupaten/kota yang termasuk kedalam
kuadran I adalah Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten
Labuhanbatu Selatan, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Kota Pematangsiantar, Kota Medan,
dan Kota Binjai. Kabupaten/kota yang termasuk dalam kuadran II adalah Kabupaten Toba
Samosir, Kabupaten Labuhanbatu, Kabupaten Asahan, Kabupaten Simalungun, Kabupaten
Karo, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Langkat, Kabupaten Batu Bara, Kota Sibolga,
Kota Tanjungbalai. Kabupaten/kota yang termasuk dalam kuadran III adalah Kabupaten Nias,
Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Padang Lawas Utara,
Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten Nias Utara, Kabupaten Nias Barat, Kota Tebing Tinggi,
Kota Gunungsitoli. Kabupaten/kota yang termasuk dalam kuadran IV adalah Kabupaten
Tapanuli Tengah, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Dairi, Kabupaten Nias Selatan,
Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Samosir, Kota Padangsidimpuan.

Tabel 6. Kuadran Klassen Typologi Antar Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Utara


Periode Tahun 2010-2012
DAERAH III
(Daerah Makmur Yang Sedang DAERAH I
Menurun) (Daerah Makmur)

Kab. Nias, Kab. Mandailing Natal, Kab. Kab. Tapanuli Selatan, Kab. Serdang Bedagai,
Pakpak Bharat, Kab. Padang Lawas Utara, Kab. Labuhanbatu Selatan, Kab. Labuhanbatu
Kab. Padang Lawas, Kab. Nias Utara, Kab. Utara, Kota Pematangsiantar, Kota Medan,
Nias Barat, Kota Tebing Tinggi, Kota Kota Binjai.
Gunungsitoli.

DAERAH IV
(Daerah Tertinggal)
DAERAH II
(Daerah Tertinggal Dalam Proses III
Pembangunan)
Kab. Tapanuli Tengah, Kab. Tapanuli Utara,
Kab. Dairi, Kab. Nias Selatan, Kab. Humbang Kab. Toba Samosir, Kab. Labuhanbatu, Kab.
Hasundutan, Kab. Samosir, Kota Asahan, Kab. Simalungun, Kab. Karo, Kab.
Deli Serdang, Kab. Langkat, Kab. Batu Bara,
Padangsidimpuan.
Kota Sibolga, Kota Tanjungbalai.
IV

134 | P a g e
Jurnal Ekohum Volume X Edisi Juli – Desember
Gambar 3. Pola Pertumbuhan Ekonomi Antar Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera
Utara Tahun 2013-2015

Keterangan :
Kabupaten :
1 : Nias 13 : Langkat 25 : Nias Barat
2 : Mandailing Natal 14 : Nias Selatan Kota :
3 : Tapanuli Selatan 15 : Humbang Hasundutan 26 : Sibolga
4 : Tapanuli Tengah 16 : Pakpak Bharat 27 : Tanjungbalai
5 : Tapanuli Utara 17 : Samosir 28 : Pematangsiantar
6 : Toba Samosir 18 : Serdang Bedagai 29 : Tebing Tinggi
7 : Labuhanbatu 19 : Batu Bara 30 : Medan
8 : Asahan 20 : Padang Lawas Utara 31 : Binjai
9 : Simalungun 21 : Padang Lawas 32 : Padangsidimpuan
10 : Dairi 22 : Labuhanbatu Selatan 33 : Gunungsitoli
11 : Karo 23 : Labuhanbatu Utara
12 : Deli Serdang 24 : Nias Utara

Pada gambar di atas dapat dilihat hasil dari pola pertumbuhan ekonomi antar
kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara periode tahun 2013-2015 dapat dibagi kedalam 4
klarifikasi dalam kuadran analisis Klassen Typologi. Kabupaten/kota yang termasuk dalam
kuadran I adalah Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Asahan, Kabupaten Deli Serdang,
Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Kota Sibolga, Kota
Tanjungbalai, Kota Pematangsiantar, Kota Medan, Kota Binjai. Kabupaten/kota yang
termasuk dalam kuadran II adalah Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Labuhanbatu,
Kabupaten Simalungun, Kabupaten Karo, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Batu Bara.
Kabupaten/kota yang termasuk dalam kuadran III adalah Kabupaten Nias, Kabupaten
Mandailing Natal, Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Samosir, Kabupaten Padang Lawas,
Kabupaten Nias Utara, Kota Gunungsitoli. Kabupaten/kota yang termasuk dalam kuadran IV
adalah Kabupaten Tapanuli Tengah, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Dairi, Kabupaten
Langkat, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Nias Barat,
Kota Tebing Tinggi, Kota Padangsidimpuan.

Tabel 7. Kuadran Klassen Typologi Antar Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Utara


Periode Tahun 2013-2015
DAERAH III DAERAH I
(Daerah Makmur Yang Sedang (Daerah Makmur)
Menurun)
Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten
Kabupaten Nias, Kabupaten Mandailing Asahan, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten
Natal, Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Labuhanbatu
Samosir, Kabupaten Padang Lawas, Utara, Kota Sibolga, Kota Tanjungbalai, Kota
Kabupaten Nias Utara, Kota Gunungsitoli. Pematangsiantar, Kota Medan, Kota Binjai.
DAERAH II
DAERAH IV
(Daerah Tertinggal Dalam Proses
(Daerah Tertinggal)
Pembangunan)
Kabupaten Tapanuli Tengah, Kabupaten
Tapanuli Utara, Kabupaten Dairi, Kabupaten Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten
Langkat, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Labuhanbatu, Kabupaten Simalungun,
Humbang Hasundutan, Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Karo, Kabupaten Serdang Bedagai,
Kabupaten Batu Bara, Kabupaten Labuhanbatu
Kota Tebing Tinggi, Kota Padangsidimpuan.
Selatan.

135 | P a g e
Jurnal Ekohum Volume X Edisi Juli – Desember
Dari kedua periode tahun 2010-2012 dan tahun 2013-2015 pada kuadran Klassen
Typologi, dapat dilihat bahwa dalam kurun waktu 6 tahun telah terjadi perubahan pola
pertumbuhan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara. Dilihat dari pola
pertumbuhan ekonomi selama 6 tahun ada beberapa kabutapen/kota yang mengalami
kenaikan dan penurunan pertumbuhan ekonomi selamat tahun 2010-2015.
Pada periode tahun 2010-2012 yang berada di kuadran I adalah Kabupaten Tapanuli
Selatan, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Labuhanbatu Selatan, Kabupaten
Labuhanbatu Utara, Kota Pematangsiantar, Kota Medan, dan Kota Binjai. Pada periode tahun
2013-2015 yang berada di kuadran I adalah Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Asahan,
Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Labuhanbatu Utara,
Kota Sibolga, Kota Tanjungbalai, Kota Pematangsiantar, Kota Medan, Kota Binjai. Namun,
yang mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi adalah Kabupaten Serdang Bedagai dan
Kabupaten Labuhanbatu Selatan, periode tahun 2010-2012 Kabupaten Serdang Bedagai dan
Kabupaten Labuhanbatu Selatan berada pada kuadran I, kemudian bergeser diperiode tahun
2013-2015 pada kuadran II.
Kuadran II pada periode tahun 2010-2012 adalah Kabupaten Toba Samosir,
Kabupaten Labuhanbatu, Kabupaten Asahan, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Karo,
Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Langkat, Kabupaten Batu Bara, Kota Sibolga, Kota
Tanjungbalai. Pada periode tahun 2013-2015 adalah Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten
Labuhanbatu, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Karo, Kabupaten Serdang Bedagai,
Kabupaten Batu Bara. Pada kuadran II tahun 2010-2012 dan periode tahun 2013-2015 pola
pertumbuhan ekonomi mengalami naik turun. Pada periode tahun 2010-2012 pola
pertumbuhan ekonomi Kabupaten Asahan, Kabupaten Deli Serdang dan Kota Sibolga
mengalami kenaikan dari kuadran II bergeser ke kuadran I pada periode tahun 2013-2015.
Sedangkan yang mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi adalah Kabupaten Langkat dari
kuadran II bergeser ke kuadran IV pada periode tahun 2013-2015.
Kuadran III pada periode tahun 2010-2012 adalah Kabupaten Nias, Kabupaten
Mandailing Natal, Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten
Padang Lawas, Kabupaten Nias Utara, Kabupaten Nias Barat, Kota Tebing Tinggi, Kota
Gunungsitoli. Pada periode tahun 2013-2015 adalah Kabupaten Nias, Kabupaten Mandailing
Natal, Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Samosir, Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten
Nias Utara,
Kota Gunungsitoli. Pada kuadran III periode tahun 2010-2012 mengalami pergeseran
pertumbuhan ekonomi yang naik turun. Pola pertumbuhan ekonomi periode tahun 2010-2012
yang mengalami pergeseran pertumbuhan ekonomi adalah Kabupaten Nias Barat dan Kota
Tebing Tinggi bergeser dari kuadran III ke kuadran IV periode tahun 2013-2015. Sedangkan
yang mengalami kenaikan pertumbuhan ekonomi adalah Kabupatan Padang Lawas Utara dari
kuadran III bergeser ke kuadran I pada periode tahun 2013-2015.
Kuadran IV pada periode tahun 2010-2012 adalah Kabupaten Tapanuli Tengah,
Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Dairi, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Humbang
Hasundutan, Kabupaten Samosir, Kota Padangsidimpuan. Perideo tahun 2013-2015 adalah
Kabupaten Tapanuli Tengah, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Dairi, Kabupaten
Langkat, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Nias Barat,
Kota Tebing Tinggi, Kota Padangsidimpuan. Pada periode tahun 2010-2012 pertumbuhan
ekonomi yang mengalami kenaikan adalah Kabupaten Samosir dari kuadran IV bergeser ke
kuadran III pada periode tahun 2013-2015.

Kesimpulan
1. Hasil analisis Indeks Williamson menunjukkan bahwa kabupaten/kota yang memiliki nilai
rata-rata IW yang rendah pada tahun 2010-2015 adalah Kota Pematangsiantar dengan nilai

136 | P a g e
Jurnal Ekohum Volume X Edisi Juli – Desember
rata-rata IW sebesar 0.0031, kemudian diikuti oleh Kota Sibolga dengan nilai rata-rata IW
sebesar 0.0035. Sedangkan, kabupaten/kota yang memiliki nilai rata-rata IW yang sedang
pada tahun 2010-2015 adalah Kota Medan dengan nilai rata-rata IW sebesar 0.3196. Rata-
rata nilai IW antar kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara tergolong tinggi sebesar
0.4316. Artinya nilai ketimpangan pembangunan ekonomi antar kabupaten/kota di
Provinsi Sumatera Utara sangat tinggi.
2. Hasil Analisis Klassen Typologi menunjukkan bahwa pada periode tahun 2010-2012 dan
periode tahun 2013-2015, kabupaten/kota yang tetap berada dalam kuadran I adalah
Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Kota Pematangsiantar, Kota
Medan, dan Kota Binjai. Kabupaten/kota yang tetap berada dalam kuadran II adalah
Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Labuhanbatu, Kabupaten Simalungun, Kabupaten
Karo, dan Kabupaten Batu Bara. Kabupaten/kota yang tetap berada dalam kuadran III
adalah Kabupaten Nias, Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Pakpak Bharat,
Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten Nias Utara, Kota Gunungsitoli. Kabupaten/kota
yang tetap berada dalam kuadran IV adalah Kabupaten Tapanuli Tengah, Kabupaten
Tapanuli Utara, Kabupaten Dairi, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Humbang
Hasundutan, dan Kota Padangsidimpuan.

Saran
1. Untuk mengurangi tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi antar kabupaten/kota di
Provinsi Sumatera Utara pemerintah daerah sebaiknya memperhatikan pelaksanaan
pembangunan ekonomi di tiap kabupateb/kota agar pembangunan dapat terlaksana secarah
menyeluruh dan mengamati secara cermat tiap pembangunan ekonomi sehingga
pemerataan pembangunan dapat tercapai dan mengambil tindakan segera mungkin untuk
menyelesaikan masalah ketimpangan pembangunan ekonomi antar kabupaten/kota dan
ketimpangan pembangunan ekonomi dapat diminimalisirkan sehingga tiap kabupaten/kota
dapat merasakan peningkatan di masing-masing daerah.
2. Untuk meningkatkan laju pertumbuhan dan PDRB per kapita, Provinsi Sumatera Utara,
pemerintah harus memperhatikan secara terkontrol terhadap kabupaten/kota yang
memiliki kenaikan PDRB per kapita dan laju pertumbuhan ekonomi sebagai penggerak
pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Utara dan tanpa mengabaikan kabupaten/kota
yang mengalami penurunan PDRB per kapita dan laju pertumbuhan ekonomi dengan
memberdayakan kegiatan ekonomi masyarakat karena, kabupaten/kota tersebut masih
memiliki peluang dan potensi terhadap kemajuan perekonomian Provinsi Sumatera Utara.
3. Penelitian ini masih memiliki keterbatasan dalam menganalisis pertumbuhan ekonomi dan
ketimpangan pembangunan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara
tahun 2010-2015. Maka peneliti menyarankan agar peneliti-peneliti selanjutnya dapat
meneliti topik yang sama dan tahun terbaru untuk melihat dan membandingkan apakah
pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pembangunan ekonomi antar kabupaten/kota di
Provinsi Sumatera Utara ditahun berikutnya akan meningkat atau menurun.

Daftar Pustaka

Arsyad, Lincolin, 1999. Ekonomi Pembangunan, STIE YKPN Yogyakarta.


Arsyad, Lincolin, 2010. Ekonomi Pembangunan, STIM YKPN Yogyakarta.
Arsyad, Lincolin, 2004. Ekonomi Pembangunan, Bagian Penerbitan STIE YKPN,
Yogyakarta.
Azzoni, Carlos R, 2001. Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan Wilayah di
Brazil, Volume 13, hal 133-152.

137 | P a g e
Jurnal Ekohum Volume X Edisi Juli – Desember
Azwar, dkk, 2013. Disparitas Pertumbuhan Ekonomi antarwilayah di Aceh Indonesia, Aceh
International Journal Of Social Sciences, Volume 2 Nomor 1, hal 21-31.
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Utara, 2012. Sumatera Utara Dalam
Angka 2013, BPS Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Utara.
_____, 2013. Sumatera Utara Dalam Angka 2014, BPS Provinsi Sumatera Utara, Sumatera
Utara.
_____, 2014. Sumatera Utara Dalam Angka 2015, BPS Provinsi Sumatera Utara, Sumatera
Utara.
_____, 2015. Sumatera Utara Dalam Angka 2016, BPS Provinsi Sumatera Utara, Sumatera
Utara.
Caska, dan R.M Riadi, 2008. Pertumbuhan dan Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antara
Daerah di Provinsi Riau, Jurnal Industri Dan Perkotaan, Volume 12 Nomor 21, hal
1629-1642.
Dyhatmika, Ketut Wahyu, 2013. Analisis Ketimpangan Pembangunan Provinsi Banten Pasca
Pemekaran, Skripsi, Fakultas Ekonomika Dan Bisnis Universitas Diponegoro,
Semarang.
Harun, Lukman dan Ghozali Maski, 2012. Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah
Daerah dan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Ketimpangan Pembangunan Wilayah
(Studi pada Kabupaten dan Kota di Jawa Timur). Jurnal FEB Universitas
Brawijaya.
Khairunnisa, Astari, 2014. Analisis Disparitas Pembangunan Ekonomi antar Kecamatan di
Kota Medan, Skripsi, Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Sumatera Utara,
Medan.
Kuncoro, Mudrajad, 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan,
Strategi, dan Peluang, Erlangga, Jakarta.
Masnawi, Achmad, 2015. Analisis Pertumbuhan Daerah dan Kesenjangan Pembangunan di
Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat, International Journal Of Management Research
and Business Strategy, Volume 4 Nomor 3, hal 141-149.
Sjafrizal, 2012. Ekonomi Wilayah dan Perkotaan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Sirojuzilam, 2015. Pembangunan Ekonomi Regional, Medan: USU Press.
Sitorus, Devi, 2012. Analisis Pertumbuhan dan Ketimpangan Antar Kabupaten/Kota di
Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2001-2009. Skripsi, Universitas Diponegoro,
Semarang.
Sukirno, Sadono. 1985. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar
Kebijakan, Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Bima Grafika.
Sukirno, Sadono, 2006. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar Kebijakan,
Kencana, Jakarta.
Tarmizi, Hasan Basri, 2011. Analisis Pembangunan Ekonomi Terhadap Ketimpangan
Pembangunan Antar Sektor Wilayah Kota Medan. Disertasi, Universitas Sumatera
Utara, Medan.
Todaro, Michael P, 1995. Ekonomi Untuk Negara-Negara Berkembang: Suatu Pengantar
Tentang Prinsip-Prinsip, Masalah dan Kebijakan Pembangunan. Edisi Ketiga.
Jakarta: Bumi Aksara.
Todaro, Michael P, 1995. Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga. Edisi Keempat.
Erlangga, Jakarta.
Utama, Ida Ayu Indah dkk, 2014. Analisis Ketimpangan Pembangunan Antara
Kabupaten/Kota di Provinsi Bali, Jurnal Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas
Udayana, Bali. Hal 68-80.

138 | P a g e
Jurnal Ekohum Volume X Edisi Juli – Desember
Utomo, Tryanto Hery Prasetyo, 2012. Analisis Pertumbuhan dan Ketimpangan
Pembangunan Ekonomi antar Kabupaten/Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Skripsi, Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Muhammadiyah, Malang.

139 | P a g e
Jurnal Ekohum Volume X Edisi Juli – Desember

Anda mungkin juga menyukai