Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah daerah dan
masyarakat mengelola sumberdaya dan membentuk pembangunan dapat dilihat dari
pertumbuhan ekonomi, pemerataan keadilan, dan keberlanjutan (Rustiadi ., 2011). Pertumbuhan
ekonomi merupakan suatu perubahan tingkat ekonomi yang berlangsung dari tahun ke tahun
(Sukirno, 1994). Ketimpangan antar daerah merupakan salah satu permasalahan dalam
pembangunan daerah (Wilonoyudho, 2009).
Perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antar daerah yang berlebihan dapat menyebabkan
pengaruh yang merugikan terhadap perkembangan daerah secara keseluruhan (Hidayati, 2008).
Suatu daerah akan mengalami percepatan pertumbuhan apabila memiliki sektor ekonomi yang
mampu mengakselerasi pembangunan dan sektor-sektor yang lain (Rustiadi, 2011). Untuk itu
penentuan sektor ekonomi unggulan dalam pembangunan daerah adalah penting dilakukan
sebagai upaya pengalokasian sumberdaya yang tersedia dengan tepat. Pertumbuhan sector
ekonomi unggulan di suatu daerah diyakini akan mendorong pertumbuhan dan perkembangan
sektor-sektor ekonomi lain daerah setempat dan perekonomian daerah sekitar (Restiatun, 2009).
Dalam hal ini daerah pengembangan sector ekonomi unggulan akan meningkatkan
penyerapan tenaga kerja dan sumberdaya daerah sekitar dan bagi daerah pengembangan sektor
ekonomi unggulan sendiri akan meningkatkan ekspor produk dan jasa yang dihasilkan. Namun
demikian, perkembangan suatu daerah yang cepat akan menimbulkan kesenjangan pendapatan
antar daerah bila tidak secara tepat diantisipasi.
Ketidakseimbangan dalam pembangunan ekonomi suatu daerah biasanya terjadi kalau
hanya diserahkan kepada kekuatan-kekuatan mekanisme pasar. Perkembangan ekonomi daerah
yang diserahkan pada kekuatan-kekuatan mekanisme pasar cenderung memperbesar
ketidakmerataan pembangunan antar wilayah. Sebab dalam kenyataan, kegiatan dan
perkembangan ekonomi lebih sering terjadi dan terkonsentrasi pada wilayah-wilayah tertentu
saja. Sebaliknya, pada wilayah lain yang nampak terjadi hanyalah semakin ketertinggalan saja.

Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antarwilayah di Sumatera Barat 1


Pesatnya perkembangan ekonomi suatu wilayah akan kurang menguntungkan untuk
wilayah-wilayah lainnya karena terjadi ketertarikan sumberdaya. Realitanya, tenaga kerja,
modal, perdagangan akan mengalir pada wilayah-wilayah yang berkembang lebih cepat. Sebagai
contoh, tenaga kerja produktif dan profesional akan bermigrasi ke wilayah-wilayah yang
kegiatan ekonominya berkembang cepat. Mengalirnya sumberdaya-sumberdaya pada wilayah
yang ekonominya berkembang pesat memperlambat berkembangnya wilayah-wilayah lain yang
kehilangan sumberdaya seperti tenaga kerja, sumberdaya alam, dan modal.
Salah satu provinsi di Indonesia yang tidak terlepas dari masalah ketimpangan
pembangunan ini adalah Provinsi Sumatera Barat. Provinsi Sumatera Barat merupakan provinsi
yang sedang melakukan pembangunan diberbagai sektor di dalam perekonomiannya saat ini.

1.2 Tujuan

Dalam makalah ini, adapun tujuan yang ingin dicapai penulis yaitu :

1. Menganalisis ketimpangan pembangunan antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera


Barat.
2. Menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi ketimpangan pembangunan
antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat.
3. Memberikan kontribusi kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengatasi
ketimpangan pembangunan antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat.

1.3 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Berisi tentang latar belakang pembahasan makalah, tujuan, dan sistematika penulisan.

BAB II PEMBAHASAN

Berisi tentang pengertian umum terkait ketimpangan pembangunan ekonomi antarwilayah,


Pembahasan kondisi ketimpangan pembangunan ekonomi antarwilayah provinsi Sumatera Barat,
kebijakan terkait ketimpangan pembangunan ekonomi antarwilayah provinsi Sumatera Barat.

BAB III PENUTUP

Berisi tentang kesimpulan dari pembahasan makalah ini.

Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antarwilayah di Sumatera Barat 2


BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Umum

2.1.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi Regional


Pertumbuhan ekonomi regional adalah pertambahan masyarakat yang terjadi di wilayah
tersebut, yaitu kenaikan seluruh yang terjadi di wilayah tersebut. Hal ini juga sekaligus
menggambarkan balas jasa bagi faktor-faktor produksi yang beroperasi didaerah tersebut yang
berarti kemakmuran suatu wilayah selain ditentukan oleh besarnya nilai tambah yang tercipta di
wilayah tersebut juga oleh seberapa besar terjadi transfer-payment yaitu bagian pendapatan yang
mengalir ke luar wilayah atau mendapat aliran dana dari luar wilayah.
Faktor yang menjadi perhatian utama dalam teori pertumbuhan ekonomi regional adalah
(a) Keuntungan Lokasi, (b) Aglomerasi Migrasi dan (c) Arus lalu lintas modal antar wilayah.

2.1.2. Teori Ekonomi Keynesian


Model permintaan makro regional merupakan turunan langsung teori ekonomi makro
Keynes jangka pendek yang diaplikasikan pada tingkat perekonomian regional dengan
penekanan analisis pada sisi permintaan agregat. Termasuk ke dalam kelompok model
permintaan makro regional antara lain adalah teori atau model basis ekonomi (the economic base
model) dan model penggandaan regional Keynesian (Keynesian Regional Multiplier).

1. Model Basis Ekonomi


Model basis ekonomi membedakan aktivitas perekonomian regional menjadi sector basis
(basic sector) dan sektor non-basis (non-basic sector). Sektor basis adalah sektor yang
kinerjanya terutama bergantung pada pengaruh kondisi ekonomi eksternal terhadap
perekonomian lokal, sementara sektor non-basis adalah sektor yang kinerjanya terutama
bergantung pada kondisi ekonomi internal regional itu sendiri (McCann 2001). Suatu industry
dikatakan sebagai industri basis ekspor (export-base) apabila sebagian besar outputnya
dipasarkan di luar regional tersebut, yaitu pada tingkat nasional atau pasar global. Pada sisi lain,
aktivitas ekonomi yang melayani konsumen lokal seperti perdagangan eceran, tempat rekreasi,

Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antarwilayah di Sumatera Barat 3


jasa-jasa legal, real estate, pendidikan, dan kesehatan, dikelompokkan sebagai sektor non-basis
atau sektor jasa.
Model basis ekspor dapat memberikan penjelasan dan pemahaman proses pertumbuhan
ekonomi regional secara sederhana, namun model ini tidak mempertimbangkan kemungkinan
kendala yang muncul bagi keberlanjutan aktivitas industri basis dalam jangka panjang karena
keberadaan diseconomies of agglomeration (McCann 2001). Hal ini sejalan dengan pemikiran
Tibout (1956) yang mengemukakan keraguannya terhadap model basis ekonomi. Skala
disekonomi dapat terjadi sebagai akibat semakin langkanya sumberdaya, peningkatan sewa
tanah, dan upah tenaga kerja. Lebih jauh Tibout mengemukakan keraguannya terhadap peran
sektor basis sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi regional karena kemungkinan sebagian
besar pendapatan ekspor digunakan untuk impor barangbarang mewah, reinvestasi ke ke wilayah
bersangkutan yang relatif rendah atau keterbatasan prasarana yang diperlukan. Perkembangan
sektor basis dapat juga dibatasi oleh kemajuan teknologi yang merubah komposisi penggunaan
input sehingga membatasi pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut (Glasson 1974).

2. Model Penggandaan Regional Keynesian


Model penggandaan Keynesian pada tingkat perekonomian regional merupakan
penyesuaian model makro jangka pendek Keynes pada tingkat perekonomian agregat nasional.
Menurut model ini investasi pihak swasta pada tingkat regional merupakan fungsi dari
pendapatan regional, bukan tingkat bunga seperti pada permintaan agregat nasional. Alasannya
adalah kepercayaan pelaku bisnis lokal dan keinginan lembaga perbankan untuk menyediakan
pinjaman bagi kegiatan bisnis lokal sangat bergantung pada kondisi perekonomian lokal yang
dicerminkan oleh tingkat pendapatannya. Hal ini disebabkan arus pengeluaran pemerintah
diarahkan dan dialokasikan lebih besar ke wilayah yang tingkat pendapatannya rendah dan
tingkat penganggurannya lebih tinggi, agar dapat mendorong aktivitas perekonomiannya. Selain
itu, wilayah-wilayah miskin biasanya juga menjadi penerima subsidi pemerintah yang lebih besar
dalam kebijakan pendanaan regional. Kebijakan ini erat kaitannya dengan fungsi pengeluaran
pemerintah sebagai penyeimbang parsial dalam mengatasi masalah disparitas pendapatan antar
wilayah (McCann, 2001).
Salah satu yang menjadi fokus perhatian model Keynesian adalah peran komponen
pengeluaran pemerintah dalam permintaan agregat. Pada tingkat regional pengeluaran

Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antarwilayah di Sumatera Barat 4


pemerintah sesungguhnya dapat dipisahkan atas pengeluaran investasi pemerintah dan
pengeluaran pemerintah untuk transfer kesejahteraan. Pertumbuhan perekonomian dan
pertambahan penduduk suatu wilayah meningkatkan kebutuhan dana untuk menyediakan dan
memilihara infrastruktur publik lokal seperti jalan, sekolah dan rumah sakit. Sebagai akibatnya
nilai absolut tingkat pengeluaran pemerintah dan tingkat investasi yang dibutuhkan dalam
wilayah tersebut menjadi lebih besar. Jadi efek ini tidak lain merupakan efek skala investasi
infrastruktur publik dalam merespon pertumbuhan penduduk lokal. Koefisien g yang negatif
mempresentasikan kecendrungan marginal pengeluaran pemerintah apabila pendapatan regional
meningkat pada tingkat jumlah penduduk tertentu. Koefisien ini mencerminkan peran
penyeimbang atau transfer kesejahteraan antar wilayah dari pengeluaran pemerintah. Semakin
tinggi pendapatan suatu wilayah semakin kecil transfer dana pemerintah ke wilayah tersebut.
Bila dibandingkan dengan model basis ekonomi, model penggandaan regional Keynesian
memberikan penjelasan yang jauh lebih lengkap karena tidak hanya mempertimbangkan efek
ekspor tetapi juga efek komponen pengeluaran agregat regional lainnya. Selain itu model ini juga
memberikan penjelasan yang lebih konkrit mengenai peran peningkatan investasi infrastruktur
publik terhadap pendapatan regional melalui suatu proses penggandaan. Dengan demikian,
model ini dapat digunakan untuk tujuan analisis dampak ekonomi dari sisi permintaan agregat
pada tingkat ekonomi makro regional.

2.1.3. Teori Ekonomi Neo-Klasik


Teori pertumbuhan neo klasik dikembangkan oleh Robert M.Solow(1970) dari Amerika
Serikat dan T.W.Swan (1956) dari Australia. Model Sollow-Swan menggunakan unsur
pertumbuhan penduduk, akumulasi capital, kemajuan teknologi, dan besarnya output yang saling
berinteraksi. Selain itu model ini menggunakan fungsi produksi yang memungkinkan adanya
subtitusi antara Kapital (K) dan Tenaga kerja (L). Dengan demikian, syarat-syarat adanya
pertumbuhan yang mantap dalam model Solow-Swan kurang restriktif disebabkan kemungkinan
subtitusi antara modal dan tenaga kerja. Hal ini berarti adanya fleksibilitas dalam rasio modal-
output dan rasio modal-tenaga kerja. Teori Solow-Swan melihat bahwa dalam banyak hal
mekanisme pasar dapat menciptakan keseimbangan sehingga pemerintah tidak perlu terlalu
banyak mencampuri pasar. Campur tangan pemerintah hanya sebatas kebijakan fiscal dan
kebijakan moneter.

Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antarwilayah di Sumatera Barat 5


Tingkat pertumbuhan berasal dari tiga suber yaitu, akumulasi modal,bertambahnya
penawaran tenaga kerja dan peningkatan teknologi. Peningkatan teknologi ini terlihat dari
peningkatan skill atau kemajuan teknik sehingga produktivitas perkapita meningkat. Teori
neoklasik menganjurkan agar kondisi selalu diarahkan utnuk menuju pasar persaingan sempurna.
Dalam keadaan pasar persaingan sempurna, perekonomian bias tumbuh maksimal, kebijakan
yang perlu ditempuh adalah meniadakan hambatan dalam perdagangan termasuk perpindahan
orang, barang dan modal. Harus dijamin kelancaran arus barang, modal, tenaga kerja dan
perlunya penyebarluasan informasi pasar.
Model Neo Klassik mengatakan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pertumbuhan
suatu negara dengan perbedaan kemakmuran daerah (regional disparity) pada negara yang
bersangkutan. Pada saat proses pembangunan baru dimulai (NSB) tingkat perbedaan
kemakmuran antar wilayah cenderung menjadi tinggi ( Divergence ) sedangkan bila proses
proses pembangunan telah berjalan dalam waktu lama ( Negara maju ) maka perbedaan tingkat
kemakmuran antar wilayah cenderung menurun.

2.1.4. Disparitas Antar Wilayah


Ketidakseimbangan dalam perkembangan ekonomi antar wilayah juga dikarenakan
masing-masing daerah mempunyai tingkat aktivitas ekonomi yang berbeda. Tidak semua daerah
mempunyai daya tarik yang mendorong investor menanamkan modalnya dan terdapatnya daerah
yang relative langka sumber alamnya. Sehingga distribusi pendapatan antar daerah tidaklah
merata. Menurut pandangan Williamson (1965) dalam Delis (2008) pertumbuhan tidak selalu
terjadi secara merata pada semua wilayah. Pada tahap awal, proses pembangunan cenderung
terkosentrasi dan terpolarisasi pada area pusat suatu negara.
Penyebarannya ke wilayah pinggiran dan sektor-sektor yang relatif lemah hanya terjadi
secara subsequen. Konsekuensi dari keberadaan dua bentuk kecepatan pembangunan yang
berbeda tersebut adalah meluasnya jurang antara wilayah pada fase awal pembangunan ekonomi
di suatu negara, namun kemudian berkurang ketika pendapatan nasional mencapai tingkat
tertentu. Meluasnya ketimpangan antara wilayah kuat dan lemah dalam fase awal pembangunan
bersumber dari keberadaan efek crowding-out antar wilayah kuat dan wilayah lemah dalam
bentuk (1) emigrasi tenaga kerja skill dari wilayah yang relatif lemah ke wilayah yang lebih kuat;
(2) arus masuk kapital ke wilayah kaya karena permintaan yang lebih tinggi, ketersediaan

Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antarwilayah di Sumatera Barat 6


infrastruktur yang lebih baik, ketersediaan pelayanan publik dan potensi pasar, kondisi
lingkungan yang lebih baik bagi perusahaan; (3) alokasi investasi publik lebih besar ke wilayah
kuat dalam merespon permintaan potensial dan aktual; (4) keterbatasan perdagangan sumberdaya
antar wilayah sehingga pada tahap awal, perkembangan yang terjadi wilayah kaya tidak
menghasilkan efek sepenuhnya terhadap wilayah miskin.
Sepanjang waktu, proses tersebut semakin memperburuk disparitas regional pada suatu
negara hingga mekanisme kerja mulai beroperasi dalam arah berlawanan, misalnya melalui: (1)
penciptaan pekerjaan baru pada wilayah kurang berkembang yang menurunkan atau
menghentikan emigrasi ke wilayah lebih kaya; (2) menurunnya daya tarik wilayah lebih maju
karena kejenuhan pasar dan kepadatan fisik yang selanjutnya meningkatkan sewa tanah dan
menurunkan tingkat profit rata-rata; (3) pertumbuhan investasi publik pad wilayah lemah yang
mempunyai efek ganda yaitu lahirnya sistem produksi lokal yang memerlukan lebih banyak
investasi dalam kapital sosial dan tumbuhnya investasi privat pada wilayah lemah; dan (4)
munculnya efek penuh pengaruh wilayah kuat ke wilayah lemah.

2.1.5. Penyebab Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah


Ada beberapa factor yang mementukan ketimpangan antar wilayah, antar lain yaitu
(syafrijal, 2012):

a. Perbedaan Kandungan Sumberdaya Alam


Penyebab pertama yang mendorong timbulnya ketimpangan pembangunan antar wilayah
adalah adanya perbedaan yang sangat besar dalam kandungan sumberdaya alam pada masing-
masing daerah. Perbedaan kandungan sumberdaya alam ini jelas akan mempengaruhi kegiatan
produksi pada daerah bersangkutan. Daerah dengan kandungan sumberdaya alam cukup tinggi
akan dapat memproduksi barang-barang tertentu dengan biaya relative murah dibandingkan
dengan daerah lain yang mempunyai kandungan sumberdaya alam lebih rendah. Kondisi ini
mendorong pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan menjadi lebih cepat. Sedangkan daerah
lain yang mempunyai kandungan sumberdaya alam lebih kecil hanya akan dapat memproduksi
barang-barang dengan biaya produksi lebih tinggi sehingga daya saingnya menjadi lemah.

Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antarwilayah di Sumatera Barat 7


b. Perbedaan Kondisi Demografis
Faktor lainnya yang juga mendorong terjadinya ketimpangan pembangunan antar wilayah
adalah bilamana terdapat perbedaan kondisi demografis yang cukup besar antar daerah. Kondisi
demografis yang dimaksud adalah perbedaan tingkat pertumbuhan dan stuktur kependudukan,
perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, perbedaan kondisi ketenagakerjaan dan perbedaan
dalam tingkah laku dan kebiasaan serta etos kerja yang dimiliki masyarakat daerah bersangkutan.
Kondisi demografis ini akan dapat mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar wilayah
karena hal ini akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja masyarakat pada daerah
bersangkutan. Daerah dengan kondisi demografis yang baik akan cenderung mempunyai
produktivitas kerja yang lebih tinggi sehingga hal ini akan mendorong peningkatan investasi
yang selanjutnya akan meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi
daerah bersangkutan. Sebaliknya, bila pada suatu daerah tertentu kondisi demografisnya kurang
baik maka hal ini akan menyebabkan relative rendahnya produktivitas kerja masyarakat setempat
yang menimbulkan kondisi yang kurang menarik bagi penanaman modal sehingga pertumbuhan
ekonomi daerah bersangkutan akan menjadi lebih rendah.

c. Kurang Lancarnya Mobilitas Barang dan Jasa


Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa dapat pula mendorong terjadinya
peningkatan ketimpangan pembangunan atar wilayah. Mobilitas barang dan jasa ini meliputi
kegiatan perdagangan antar daerah dan migrasi baik yang disponsori pemerintah (transmigrasi)
atau migrasi spontan. Alasannya adalah karena bila mobilitas tersebut kurang lancar maka
kelebihan produksi suatu daerah tidak dapat dijual kedaerah lain yang membutuhkan. Demikian
pula halnya migrasi yang kurang lancar menyebabkan kelebihan tenaga kerja suatu daerah tidak
dapat dimanfaatkan oleh daerah lain yang sangat membutuhkannya. Akibatnya, ketimpangan
pembangunan antar wilayah akan cenderung tinggi karena kelebihan suatu daerah tidak dapat
dimanfaatkan oleh daerah lain yang membutuhkannya,sehingga daerah terbelakang sulit
mendorong proses pembangunannya.

Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antarwilayah di Sumatera Barat 8


d. Kosentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah
Terjadinya kosentrasi kegiatan ekonomi yang cukup tinggi pada wilayah tertentu jelas
akan mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar wilayah. Pertumbuhan ekonomi daerah
akan cenderung lebih cepat pada daerah dimana terdapat konsentrasi kegiatan ekonomi yang
cukup besar. Kosentrasi kegiatan ekonomi dapat disebabkan oleh beberapa hal.Pertama, karena
adanya sumberdaya alam yang lebih banyak pada daerah tertentu. Kedua, meratanya fastilitas
transportasi, baik darat, laut dan udara, juga ikut mempengaruhi kosentrasi kegiatan ekonomi
antar daerah. Ketiga, kondisi demografis (kependudukan) juga ikut mempengaruhi karena
kegiatan ekonomi akan cenderung terkosentrasi dimana sumberdaya manusia tersedia dengan
kualitas yang lebih baik.

e. Alokasi Dana Pembangunan Antar Wilayah


Alokasi investasi pemerintah ke daerah lebih banyak ditentukan oleh sistem
pemerintahan daerah yang dianut. Bila sistem pemerintahan daerah yang dianut bersifat
sentralistik, maka alokasi dana pemerintah akan cenderung lebih banyak dialokasikan pada
pemerintah pusat, sehingga ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung tinggi.
Akan tetapi jika sebaliknya dimana sistem pemerintahan yang dianut adalah otonomi atau
federal, maka dana pemerintah akan lebih banyak dialokasikan kedaerah sehingga ketimpangan
pendapatan akan cenderung rendah. Alokasi dana pemerintah yang anatara lain akan memberikan
dampak pada ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah alokasi dana untuk sektor
pendidikan, kesehatan, jalan, irigasi dan dan listrik. Semua sektor ini akan memberikan dampak
pada peningkatan pada peningkatan produktivitas tenaga kerja, pendapatan perkapita, dan pada
akhirnya dapat meningkatkan pergerakan ekonomi didaerah tersebut.

2.1.6. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipakai adalah penelitian kepustakaan (Library Research) dengan
menggunakan data sekunder (time series) selama kurun waktu 1990 - 2008 yang meliputi :
PDRB, jumlah penduduk di seluruh Indonesia. Pengukuran ketimpangan pendapatan antar
wilayah di Indonesia ini dilakukan dengan menggunakan Williamson Indeks dengan formula
sebagai berikut :

Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antarwilayah di Sumatera Barat 9


Wi=
Fi
(YiY )2 ( n )
Y

Dimana :
Wi = Nilai / indeks ketimpangan wilayah / provinsi
Yi = Pendapatan perkapita masing-masing provinsi
Y = Total pendapatan perkapita kawasan indonesia
Fi = Jumlah penduduk masing-masing provinsi
N = Jumlah penduduk Indonesia

Besarnya Vw adalah 0 < Vw < 1


Vw = 0, berarti pembangunan wilayah sangat merata
Vw = 1, berarti pembangunan wilayah sangat tidak merata (kesenjangan sempurna)
Vw~0, berarti pembangunan wilayah semakin mendekati merata
Vw~1, berarti pembangunan wilayah semakin mendekati tidak merata.

Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antarwilayah di Sumatera Barat 10


2.2. Kondisi Kesenjangan Pembangunan Antarwilayah Sumatera Barat

Tingkat kesenjangan ekonomi antarkota dan kabupaten di Provinsi Sumatera Barat yang
ditunjukan dengan nilai indeks wiliamson dari tahun 2009-2013 berkisar antara 0,32-0,33 dan
berada dibawah rata-rata nasional. Ketimpangan pembangunan yang terjadi di Sumatera Barat
tergolong pada kelompok ketimpangan rendah (Gambar 22). Penyebab kesenjangan ekonomi dan
sosial di Provinsi Sumatera Barat antara lain jarak kualitas pelayanan kesehatan, pendidikan,
serta pemberdayaan ekonomi yang terbatas. Perbedaan struktur perekonomian dan tidak
meratanya jangkauan infrastruktur menyebabkan timbulnya kesenjangan di daerah ini.

Gambar 1 : Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antarwilayah


di Indonesia dan Provinsi Sumatera Barat 2009-2013 ( Indeks Williamson)

Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS)


Kesenjangan ekonomi antarkota dan kabupaten di Provinsi Sumatera Barat cukup tinggi,
terlihat dari besarnya gap antara kabupaten atau kota dengan PDRB perkapita tertinggi dan
PDRB perkapita terendah (Tabel 7). Pendapatan perkapita di Provinsi Sumatera Barat relatif
lebih tinggi daripada pendapatan perkapita kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Barat.
PDRB perkapita tertinggi terdapat di Kota Padang, Kota Sawah Lunto, dan Kota Pariaman, dan

Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antarwilayah di Sumatera Barat 11


PDRB perkapita terrendah Kabupaten Solok Selatan dan Kabupaten Pasaman. Tingginya
pendapatan perkapita di Kota Padang dikarenakan Kota Padang sebagai ibukota Provinsi
Sumatera Barat didukung oleh infrastruktur yang lengkap dan memadai sehingga mendukung
perekonomian daerah. Pertumbuhan ekonomi di kota lebih besar variasinya dibandingkan
pertumbuhan ekonomi di kabupaten. Konsentrasi kegiatan ekonomi juga terpusat di kota
dibandingkan di perdesaan yang juga didukung oleh alokasi dana pembangunan yang dominan di
kota. Sementara itu di kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa akibat terbatasnya fasilitas
transportasi dan komunikasi di perdesaan merupakan penyebab rendahnya pendapatan perkapita.

Tabel 1 : Perkembangan Nilai PDRB Perkapita ADHB dengan Migas Kabupaten/Kota


di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2008-2013 (000/jiwa)

Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS)

Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antarwilayah di Sumatera Barat 12


Tabel 2 menunjukkan perkembangan indeks Williamson di Sumatera Barat dari tahun
2006-2015 serta faktor-faktor yang diduga mempengaruhinya. Berdasarkan Tabel tersebut dapat
dilihat bahwa dari tahun 2006 tahun 2010, ketimpangan pembangunan di Sumatera Barat
berdasarkan indeks Williamson tersebut turun akan tetapi meningkat dari tahun 2011 tahun
2015.

Tabel 2 : Perkembangan Indeks Williamson, Pertumbuhan Ekonomi, Investasi dan


Dana Perimbangan di Sumatera Barat dari Tahun 2006 2015

Pertumbuha Dana
Indeks Investasi Tenaga Kerja
Tahun n Perimbangan
Williamson (juta rupiah) (orang)
Ekonomi (juta rupiah)
2006 0.40 6.14 5.388.134 1.717.289 310.059,97
2007 0.39 6.34 5.604.646 1.808.275 536.517,12
2008 0.38 6.88 5.824.273 1.889.406 603.373,00
2009 0.38 4.28 6.131.890 1.956.378 742.743,87
2010 0.38 5.93 6.435.873 1.998.922 786.622,94
2011 0.41 6.22 7.161.096 2.041.454 769.696,97
2012 0.41 6.39 7.935.708 2.070.725 931.882,62
2013 0.41 6.21 8.504.682 2.037.642 1.143.895,85
2014 0.41 7.63 9.141.055 2.005.625 1.928.371,22
2015 0.41 5.86 9.473.812 2.058.492 2.182.912,12
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS)
2.3. Kebijakan Pemerintah Untuk Mengatasi Ketimpangan Pembangunan
Antarwilayah
Kebijakan dan upaya untuk menanggulangi ketimpangan pembangunan daerah sangat
ditentukan oleh faktor yang menentukan terjadinya ketimpangan tersebut Kebijakan yang
dimaksudkan disini adalah merupakan upaya pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang dapat
dilakukan dalam rangka penanggulangan ketimpangan pembangunan antar daerah dalam suatu
negara atau wilayah (syafrijal, 2012) :

1) Penyebaran Pembangunan Prasarana Perhubungan


Sebagaimana ttelah dibahas terdahulu bahwa salah satu penyebab terjadinya ketimpangan
pembangunan antar wilayah adalah karena adanya perbedaan kandungan sumberdaya alam yang
cukup besar antar daerah. Sementara itu, ketidak lancaran proses perdagangan dan mobilitas
faktor produksi antar daerah juga turut mendorong terjadinya ketimpangan wilayah tersebut.

Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antarwilayah di Sumatera Barat 13


Karena itu, kebijakan dan upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi ketimpangan tersebut
adalah dengan mempelancar mobilitas barang dan faktor produksi antar daerah. Upaya utuk
mendorong kelancaran mobilitas barangdan faktor produksi antar daerah dapat dilakukan melalui
penyebaran pembangunan prasarana dan sarana perhubungan keseluruh pelosok daerah.
Prasarana perhubungan yang dimaksudkan disini adalah fasilitas jalan, terminal dan pelabuhan
laut guna mendorong proses perdagangan antar daerah.

2) Mendorong Transmigrasi dan Migrasi Spontan

Untuk mengurangi kepentingan pembangun antar wilayah, kebijakan dan upaya lain yang
dapat dilakukan adalah mendorong pelaksanaan transmigrasi dan migrasi spontan. Transmigrasi
adalah pemindahan penduduk ke daerah kurang berkembang dengan menggunakan fasilitas dan
dukungan pemerintah. Sedangkan migrasi spontan adalah perpindahan penduduk yang dilakukan
secara sukarela menggunakan biaya sendiri. Melalui proses transmigrasi dan migrasi spontan ini,
kekurangan tenaga kerja yang dialami oleh daerah terbelakang akan dapat pula diatasi sehingga
prosees pembangunan daerah bersangutan akan dapat pula digerakan.

3) Pengembangan Pusat Pertumbuhan

Kebijakan lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi ketimpangan pembangunan antar
wilayah adalah melalui pengembangan pusat pertumbuhan (Growth Poles) secara tersebar.
Kebijakan ini diperkirakan akan dapat mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah
karena pusat pertumbuhan tersebut menganut konsep konsentrasi dan desentralisasi secara
sekaligus. Aspek konsentrasi diperluka agar penyebaran kegiatan pembangunan tersebut dapat
dilakukan dengan masih terus mempertahankan tingkat efesiensi usaha yang sangat diperlukan
untuk mengembangkan usaha tersebut. Sedangkan aspek desentralisasi diperlukan agar
penyebaran kegiatan pembangunan antar daerah dapat dilakukan sehingga ketimpangan
pembangunan antar wilayah akan dapat dikurangi. Penerapan konsep pusat pertumbuhan ini
untuk mendorong proses pembangunan daerah dan sekaligus untuk dapat mengurangi
ketimpangan pembangunan antar wilayah dapat dilakukan melalui pembangunan pusat-pusat
pertumbuhan pada kota-kota skala kecil dan menengah.

Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antarwilayah di Sumatera Barat 14


4) Pelaksanaan Otonomi Daerah

Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan juga dapat digunakan untuk
mengurangi tingkat ketimpangan pembangunan antar wilayah. Hal ini jelas, karena dengan
dilaksanakannya otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan, maka aktifitas pembangunan
daerah, termasuk daerah terbelakang akan dapat lebih digerakan karena ada wewenang yang
berada pada pemerintah daerah dan masyarakat setempat. Dengan adanya kewenangan tersebut,
maka berbagai inisiatif dan aspirasi masyarakat untuk menggali potensi daerah akan dapat lebih
digerakan. Bila hal ini dapat dilakukan, maka proses pembangunan daerah secara keseluruhan
akan dapat lebih ditingkatkan dan secara bersamaan ketimpangan pembangunan antar daerah
akan dapat pula dikurangi. Pemerintah indonsia telah melakukan otonomi daerah dan
desentralisasi pembangunan mulai tahun 2001 yang lalu. Melalui kebijakan ini, pemerintah
daerah diberikan kewenangan yang lebih besar dalam mengelola kegiatan pembangunan
didaerahnya masing-masing (desentralisasi pembangunan).

Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antarwilayah di Sumatera Barat 15


BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis deskriptif dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan


perhitungan indeks Williamson, maka selama periode 2005 2015 ketimpangan pendapatan
antar wilayah di Provinsi Sumatera Barat mengalami peningkatan. Artinya selama periode
tersebut kesenjangan antar wilayah di Provinsi Sumatera Barat semakin meningkat.
Dalam pembaasan kali ini dapat di simpulkan bahwa Ketimpangan Pembangunan Antar
Daerah itu adalah perbedaan pembangunan antar suatu daerah dengan daerah lainnya bai secara
partikal maupun secara horizontal yang menyebabkan disparatis atau ketidak pemerataan
pembangunan. itu di sebabkan oleh beberapa factor antara lain Perbedaan Kandungan Sumber
Daya Alam, Perbedaan Kondisi Demografis, Kurang Lancarnya Mobilitas Barang dan Jasa,
Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Daerah, dan Alokasi Dana Pembangunan Antar Daerah. Adapun
solusi untuk permasalaan tersebut adalah dengan cara pemerintah harus melakukan Penyebaran
Pembangunan Prasarana Perhubungan, Mendorong Transmigrasi dan Migrasi Spontan,
Pengembangan Pusat Pertumbuhan, dan Pelaksanaan Otonomi Daerah.

Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antarwilayah di Sumatera Barat 16


DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. (2002-2013). Sumatera Barat Dalam Angka. Jakarta : BPS.
Delis, Arman. 1995. Analisis Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Pajak di Indonesia 1968-
1993. Tesis. Program Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta
Hidayati, R.A. (2008). Analisis ketimpangan ekonomi antar kecamatan di Kabupaten Gresik. ,
Jurnal Logos, 83-97.
Mccann, P, 2001. Urban and Regional Economic. Oxford University Press, New York.
Rustiadi, E., Saefulhakim., & Panuju, D.R. (2011). Perencanaan dan Pengembangan Wilayah.
Jakarta:Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Sjafrizal. (2012). Ekonomi Wilayah dan Perkotaan. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Sukirno, S. (1994). Pengantar makroekonomi. (Edisi kedua). Jakarta: PT. Grafindo.
Wilonoyudho, S. (2009). Kesenjangan dalam pembangunan kewilayahan. Forum Geografi, 167-
180.

Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antarwilayah di Sumatera Barat 17

Anda mungkin juga menyukai