PENDAHULUAN
Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah daerah dan
masyarakat mengelola sumberdaya dan membentuk pembangunan dapat dilihat dari
pertumbuhan ekonomi, pemerataan keadilan, dan keberlanjutan (Rustiadi ., 2011). Pertumbuhan
ekonomi merupakan suatu perubahan tingkat ekonomi yang berlangsung dari tahun ke tahun
(Sukirno, 1994). Ketimpangan antar daerah merupakan salah satu permasalahan dalam
pembangunan daerah (Wilonoyudho, 2009).
Perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antar daerah yang berlebihan dapat menyebabkan
pengaruh yang merugikan terhadap perkembangan daerah secara keseluruhan (Hidayati, 2008).
Suatu daerah akan mengalami percepatan pertumbuhan apabila memiliki sektor ekonomi yang
mampu mengakselerasi pembangunan dan sektor-sektor yang lain (Rustiadi, 2011). Untuk itu
penentuan sektor ekonomi unggulan dalam pembangunan daerah adalah penting dilakukan
sebagai upaya pengalokasian sumberdaya yang tersedia dengan tepat. Pertumbuhan sector
ekonomi unggulan di suatu daerah diyakini akan mendorong pertumbuhan dan perkembangan
sektor-sektor ekonomi lain daerah setempat dan perekonomian daerah sekitar (Restiatun, 2009).
Dalam hal ini daerah pengembangan sector ekonomi unggulan akan meningkatkan
penyerapan tenaga kerja dan sumberdaya daerah sekitar dan bagi daerah pengembangan sektor
ekonomi unggulan sendiri akan meningkatkan ekspor produk dan jasa yang dihasilkan. Namun
demikian, perkembangan suatu daerah yang cepat akan menimbulkan kesenjangan pendapatan
antar daerah bila tidak secara tepat diantisipasi.
Ketidakseimbangan dalam pembangunan ekonomi suatu daerah biasanya terjadi kalau
hanya diserahkan kepada kekuatan-kekuatan mekanisme pasar. Perkembangan ekonomi daerah
yang diserahkan pada kekuatan-kekuatan mekanisme pasar cenderung memperbesar
ketidakmerataan pembangunan antar wilayah. Sebab dalam kenyataan, kegiatan dan
perkembangan ekonomi lebih sering terjadi dan terkonsentrasi pada wilayah-wilayah tertentu
saja. Sebaliknya, pada wilayah lain yang nampak terjadi hanyalah semakin ketertinggalan saja.
1.2 Tujuan
Dalam makalah ini, adapun tujuan yang ingin dicapai penulis yaitu :
BAB I PENDAHULUAN
Berisi tentang latar belakang pembahasan makalah, tujuan, dan sistematika penulisan.
BAB II PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
Metode penelitian yang dipakai adalah penelitian kepustakaan (Library Research) dengan
menggunakan data sekunder (time series) selama kurun waktu 1990 - 2008 yang meliputi :
PDRB, jumlah penduduk di seluruh Indonesia. Pengukuran ketimpangan pendapatan antar
wilayah di Indonesia ini dilakukan dengan menggunakan Williamson Indeks dengan formula
sebagai berikut :
Dimana :
Wi = Nilai / indeks ketimpangan wilayah / provinsi
Yi = Pendapatan perkapita masing-masing provinsi
Y = Total pendapatan perkapita kawasan indonesia
Fi = Jumlah penduduk masing-masing provinsi
N = Jumlah penduduk Indonesia
Tingkat kesenjangan ekonomi antarkota dan kabupaten di Provinsi Sumatera Barat yang
ditunjukan dengan nilai indeks wiliamson dari tahun 2009-2013 berkisar antara 0,32-0,33 dan
berada dibawah rata-rata nasional. Ketimpangan pembangunan yang terjadi di Sumatera Barat
tergolong pada kelompok ketimpangan rendah (Gambar 22). Penyebab kesenjangan ekonomi dan
sosial di Provinsi Sumatera Barat antara lain jarak kualitas pelayanan kesehatan, pendidikan,
serta pemberdayaan ekonomi yang terbatas. Perbedaan struktur perekonomian dan tidak
meratanya jangkauan infrastruktur menyebabkan timbulnya kesenjangan di daerah ini.
Pertumbuha Dana
Indeks Investasi Tenaga Kerja
Tahun n Perimbangan
Williamson (juta rupiah) (orang)
Ekonomi (juta rupiah)
2006 0.40 6.14 5.388.134 1.717.289 310.059,97
2007 0.39 6.34 5.604.646 1.808.275 536.517,12
2008 0.38 6.88 5.824.273 1.889.406 603.373,00
2009 0.38 4.28 6.131.890 1.956.378 742.743,87
2010 0.38 5.93 6.435.873 1.998.922 786.622,94
2011 0.41 6.22 7.161.096 2.041.454 769.696,97
2012 0.41 6.39 7.935.708 2.070.725 931.882,62
2013 0.41 6.21 8.504.682 2.037.642 1.143.895,85
2014 0.41 7.63 9.141.055 2.005.625 1.928.371,22
2015 0.41 5.86 9.473.812 2.058.492 2.182.912,12
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS)
2.3. Kebijakan Pemerintah Untuk Mengatasi Ketimpangan Pembangunan
Antarwilayah
Kebijakan dan upaya untuk menanggulangi ketimpangan pembangunan daerah sangat
ditentukan oleh faktor yang menentukan terjadinya ketimpangan tersebut Kebijakan yang
dimaksudkan disini adalah merupakan upaya pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang dapat
dilakukan dalam rangka penanggulangan ketimpangan pembangunan antar daerah dalam suatu
negara atau wilayah (syafrijal, 2012) :
Untuk mengurangi kepentingan pembangun antar wilayah, kebijakan dan upaya lain yang
dapat dilakukan adalah mendorong pelaksanaan transmigrasi dan migrasi spontan. Transmigrasi
adalah pemindahan penduduk ke daerah kurang berkembang dengan menggunakan fasilitas dan
dukungan pemerintah. Sedangkan migrasi spontan adalah perpindahan penduduk yang dilakukan
secara sukarela menggunakan biaya sendiri. Melalui proses transmigrasi dan migrasi spontan ini,
kekurangan tenaga kerja yang dialami oleh daerah terbelakang akan dapat pula diatasi sehingga
prosees pembangunan daerah bersangutan akan dapat pula digerakan.
Kebijakan lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi ketimpangan pembangunan antar
wilayah adalah melalui pengembangan pusat pertumbuhan (Growth Poles) secara tersebar.
Kebijakan ini diperkirakan akan dapat mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah
karena pusat pertumbuhan tersebut menganut konsep konsentrasi dan desentralisasi secara
sekaligus. Aspek konsentrasi diperluka agar penyebaran kegiatan pembangunan tersebut dapat
dilakukan dengan masih terus mempertahankan tingkat efesiensi usaha yang sangat diperlukan
untuk mengembangkan usaha tersebut. Sedangkan aspek desentralisasi diperlukan agar
penyebaran kegiatan pembangunan antar daerah dapat dilakukan sehingga ketimpangan
pembangunan antar wilayah akan dapat dikurangi. Penerapan konsep pusat pertumbuhan ini
untuk mendorong proses pembangunan daerah dan sekaligus untuk dapat mengurangi
ketimpangan pembangunan antar wilayah dapat dilakukan melalui pembangunan pusat-pusat
pertumbuhan pada kota-kota skala kecil dan menengah.
Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan juga dapat digunakan untuk
mengurangi tingkat ketimpangan pembangunan antar wilayah. Hal ini jelas, karena dengan
dilaksanakannya otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan, maka aktifitas pembangunan
daerah, termasuk daerah terbelakang akan dapat lebih digerakan karena ada wewenang yang
berada pada pemerintah daerah dan masyarakat setempat. Dengan adanya kewenangan tersebut,
maka berbagai inisiatif dan aspirasi masyarakat untuk menggali potensi daerah akan dapat lebih
digerakan. Bila hal ini dapat dilakukan, maka proses pembangunan daerah secara keseluruhan
akan dapat lebih ditingkatkan dan secara bersamaan ketimpangan pembangunan antar daerah
akan dapat pula dikurangi. Pemerintah indonsia telah melakukan otonomi daerah dan
desentralisasi pembangunan mulai tahun 2001 yang lalu. Melalui kebijakan ini, pemerintah
daerah diberikan kewenangan yang lebih besar dalam mengelola kegiatan pembangunan
didaerahnya masing-masing (desentralisasi pembangunan).
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Badan Pusat Statistik. (2002-2013). Sumatera Barat Dalam Angka. Jakarta : BPS.
Delis, Arman. 1995. Analisis Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Pajak di Indonesia 1968-
1993. Tesis. Program Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta
Hidayati, R.A. (2008). Analisis ketimpangan ekonomi antar kecamatan di Kabupaten Gresik. ,
Jurnal Logos, 83-97.
Mccann, P, 2001. Urban and Regional Economic. Oxford University Press, New York.
Rustiadi, E., Saefulhakim., & Panuju, D.R. (2011). Perencanaan dan Pengembangan Wilayah.
Jakarta:Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Sjafrizal. (2012). Ekonomi Wilayah dan Perkotaan. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Sukirno, S. (1994). Pengantar makroekonomi. (Edisi kedua). Jakarta: PT. Grafindo.
Wilonoyudho, S. (2009). Kesenjangan dalam pembangunan kewilayahan. Forum Geografi, 167-
180.