Anda di halaman 1dari 24

PERENCANAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF

TUGAS II
MATERI : PERENCANAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF
Pentingnya Perencanaan Partisipatif
Peran Perencana di Era Desentralisasi

ULLYA VIDRIZA
1520512004
Dosen : Prof. Dr. Ir. Melinda Noer, M.Sc.

MAGISTER PERENCANAAN PEMBANGUNAN


UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2016

PERENCANAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF

PENDAHULUAN
Pembangunan berorientasi pada masyarakat berarti hasil pembangunan yang akan
dicapai akan bermanfaat dan berguna bagi masyarakat setempat, selain itu juga resiko atau
cost yang akan ditimbulkan oleh upaya pembangunan ini akan ditanggung juga oleh
masyarakat setempat. Dengan demikian tidak hanya benefit yang harus diketahui semenjak
program pembangunan ini direncanakan tetapi juga cost-nya.
Berbagai bentuk partisipasi masyarakat di dalam perencanaan program pembangunan
dapat dibentuk atau diciptakan. Hal ini sangat tergantung pada kondisi masyarakat setempat,
baik kondisi sosial, budaya, ekonomi maupun tingkat pendidikannya. Di beberapa daerah
bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan telah terjadi, di mana wadah serta
mekanisme partisipasinya telah terbentuk dengan baik.
PENTINGNYA PERENCANAAN PARTISIPATIF
Perencanaan pasrtisipatif digunakan salah satunya untuk mengantisipasi terjadinya
perpecahan. Karena mengingat benbentuk goegrafis Indonesia yang terdiri dari berbagai
pulau, suku, dan bahasa. Perencanaan merupakan sebuah istilah yangs sangat umum di dunia
pemerintahan. Perencanaan terbagi atas dua jenis yakni perencaan dari atas (top down) dan
perencanaan dari bawah (bottom up). Negara manapun didunia selalu berupaya memajukan
negaranya dan selalu mengontrol perkembangan negaranya. Control tersebut dapat dilakukan
melalui prisip manajemen umum yang disebut dengan POAC (planning, organizing actuating,
controlling).
Perencanaan partisipatif saat ini terdukung dengan adanya otonomi daerah. Salah
satuu upaya pemerintah daerah mewujudkan perencanaan partisipatif adalah dengan
Musrenbang. Musrenbang dilaksanakan mulai dari tingkat kelurahan dan desa sampai dengan
tingkat nasional. Namun demikian masih ada saja beberapa kementrian di pemerintah pusat
yang mempertahankan status quo, dan melaksanakan programnya sendiri tanpa ada

pertimbangan dan partisipasi dari bawah. Contohnya adalah permasalahan saat ini menganai
penanganan ujian nasional yang carut marut.
Perencanaan partisipatif mulai dikenal secara luas sejak munculnya metode partisipatif yang
biasa disebut Participatory Rural Appraisal. Metode ini menekankan adanya peran serta aktif dari
masyarakat dalam merencanakan pembangunan (penyelesaian masalah) mulai dari pengenalan
wilayah, pengidentifkasian masalah sampai pada penentuan skala prioritas.
Perencanaan partisipatif saat ini mulai merambah ke tingkat makro atau lebih pada
pengembangan kebijakan, biasanya kegiatan ini lebih banyak dilakukan oleh Lembaga Non
Pemerintah (NGOs). Selain itu perencanaan partisipatif banyak dilakukan di tingkat mikro seperti
pada tingkat masyarakat maupun di tingkat individu.
Secara garis besar perencanaan partisipatif mengandung makna adanya keikutsertaan
masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan, mulai dari melakukan analisis masalah mereka,
memikirkan bagaimana cara mengatasinya, mndapatkan rasa percaya diri untuk mengatasi masalah,
mengambil keputusan sendiri tentang alternatif pemecahan masalah apa yang ingin mereka atasi.

Terdapat tiga unsur penting dalam partisipasi :


1. Bahwa

partisipasi/keikutsertaan/keterlibatan/peran

serta,

sesungguhnya

merupakan suatu keterlibatan mental dan perasaan, lebih daripada sematamata


atau hanya keterlibatan secara jasmaniah.
2. Kesediaan memberi sesuatu sumbangan kepada usaha mencapai tujuan kelompok,
ini berarti bahwa terdapat rasa senang, kesukarelaan untuk membantu kelompok.
3. Unsur tanggung jawab. Unsur tersebut merupakan segi yang menonjol dari rasa
menjadi anggota. Diakui sebagai anggota artinya ada rasa sense of
belongingness.
Tiga alasan utama mengapa perencanaan partisipatif dibutuhkan, yaitu (Conyers,
1991, 154-155)
1. Alasan pertama partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh
informasi mengenai kondisi, kebutuhandan sikap masyarakat setempat yang tanpa
kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal.
2. Alasan kedua adalah bahwa masyarakat akan lebih mempercayai kegiatan atau
proram pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan

perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk program tersebut
dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap program tersebut.
3. Alasan ketiga adalah karena timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi
bila masyarakat dilibatkan dalam proses pembangunan.
Alasan lainnya dikemukakan oleh Amartya Sen dimana Ia mengemukana ada 3 alasan
mengapa harus ada demokasi dan Perencanaan Partisipatif (Amartya Sen, 1999)
1. Demokrasi dan partisipasi sangat penting peranannya dalam pengembangan
kemampuan dasar.
2. Instrumental role untuk memastikan bahwa rakyat bisa mengungkapkan dan
mendukung klaim atas hak-hak mereka, di bidang politik maupun ekonomi.
3. Constructive role dalam merumuskan kebutuhan rakyat dalam konteks sosial.
Istilah partisipasi sekarang ini menjadi kata kunci dalam setiap program
pengembangan masyarakat dimana-mana, seolah-olah menjadi lebel baru yang harus
melekat pada setiap rumusan kebijakan dan proposal proyek. Dalam perkembangannya
seringkali diucapkan dan ditulis berulang-ulang tetapi kurang dipraktekkan, sehingga
cenderung kehilangan makna. Partisipasi sepadan dengan arti peranserta, ikutserta,
keterlibatan, atau proses belajar bersama saling memahami, menganalisis, merencanakan dan
melakukan tindakan oleh sejumlah anggota masyarakat.
Istilah Partisipasi menurut Mikkelsen biasanya digunakan di masyarakat dalam
berbagai makna umum, diantaranya: (2005, 53-54)
1. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat dalam suatu proyek
(pembangunan), tetapi tanpa mereka ikut terlibat dalam proses pengambilan
keputusan.
2. Partisipasi adalah proses membuat masyarakat menjadi lebih peka dalam
rangka menerima dan merespons berbagai proyek pembangunan.
3. Partisipasi adalah suatu proses aktif, yang bermakna bahwa orang ataupun
kelompok yang sedang ditanyakan mengambil inisiatif dan mempunyai
otonomi untuk melakukan hal itu.
4. Partisipasi adalah proses menjembatani dialog antara komunitas lokal dan
pihak penyelenggara proyek dalam rangka persiapan, pengimplementasian,
pemantauan dan pengevaluasian staf agar dapat memperoleh informasi tentang
konteks sosial maupun dampak sosial proyek terhadap masyarakat.

5. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat secara sukarela dalam perubahan


yang ditentukan sendiri oleh masyarakat.
6. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam upaya pembangunan
lingkungan, kehidupan dan diri mereka sendiri.
Asngari (2001) menyatakan bahwa, penggalangan partisipasi itu dilandasi adanya
pengertian bersama dan adanya pengertian tersebut adalah karena diantara orang-orang itu
saling berkomunikasi dan berinteraksi sesamanya. Dalam menggalang peran serta semua
pihak itu diperlukan : (1) terciptanya suasana yang bebas atau demokratis, dan (2) terbinanya
kebersamaan.
Selanjutnya Widodo (2008) menyatakan bahwa, partisipasi masyarakat dalam
pembangunan adalah sebagai ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam
kegiatan-kegiatan pembangunan, dan ikut serta memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil
pembangunan.
Gaventa dan Valderama (1999) dalam Arsito (2004), mencatat ada tiga tradisi konsep
partisipasi terutama bila dikaitkan dengan pembangunan masyarakat yang demokratis yaitu:
1) partisipasi politik Political Participation, 2) partisipasi sosial Social Participation dan 3)
partisipasi warga Citizen Participation/Citizenship, ke tiga hal tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Partisipasi Politik, political participation lebih berorientasi pada mempengaruhi dan
mendudukan wakil-wakil rakyat dalam lembaga pemerintahan ketimbang
partisipasi aktif dalam proses-proses kepemerintahan itu sendiri.
2. Partisipasi Sosial, social Participation partisipasi ditempatkan sebagai keterlibatan
masyarakat terutama yang dipandang sebagai beneficiary atau pihak di luar proses
pembangunan dalam konsultasi atau pengambilan keputusan dalam semua tahapan
siklus proyek pembangunan dari evaluasi kebutuhan sampai penilaian, implementasi,
pemantauan dan evaluasi. Partisipasi sosial sebenarnya dilakukan untuk memperkuat
proses pembelajaran dan mobilisasi sosial. Dengan kata lain, tujuan utama dari proses
partisipasi sosial sebenarnya bukanlah pada kebijakan publik itu sendiri tetapi
keterlibatan komunitas dalam dunia kebijakan publik lebih diarahkan sebagai wahana
pembelajaran dan mobilisasi sosial.
3. Partisipasi Warga, citizen participation/citizenship menekankan pada partisipasi
langsung warga dalam pengambilan keputusan pada lembaga dan proses
kepemerintahan. Partisipasi warga telah mengalihkan konsep partisipasi dari sekedar

kepedulian terhadap penerima derma atau kaum tersisih menuju ke suatu


kepedulian dengan berbagai bentuk keikutsertaan warga dalam pembuatan kebijakan
dan pengambilan keputusan di berbagai gelanggang kunci yang mempengaruhi
kehidupan mereka. Maka berbeda dengan partisipasi sosial, partisipasi warga
memang lebih berorientasi pada agenda penentuan kebijakan publik oleh warga
ketimbang menjadikan arena kebijakan publik sebagai wahana pembelajaran.
Bentuk Partisipasi Tiga bentuk partisipasi (Chambers dalam Mikkelsen, 2005, 54):
1. Cosmetic Label Sering digunakan agar proyek yang diusulkan terlihat lebih cantik
sehinga lembaga donor maupun pihak pemerintah akan mau membiayai proyek
tersebut.
2. Coopting Practice Digunakan untuk memobilisasi tenaga-tenaga di tingkat lokal
dan mengurangi pembiayaan pryek.
3. Empowering Process Dimaknai sebagai suatu proses yang memampukan
masyarakat lokal untuk melakukan analisis masalah mereka, memikirkan
bagaimana cara mengatasinya, mndapatkan rasa percaya diri untuk mengatasi
masalah, mengambil keputusan sendiri tentang alternatif pemecahan masalah apa
yang ingin mereka pilih.
Jenis-Jenis Partisipasi
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Pikiran (psychological participation)


Tenaga (physical participation)
Pikiran dan tenaga (psychological dan physical participation)
Keahlian (participation with skill)
Barang (material participation)
Uang (money participation)

PERAN PERENCANA DI ERA DESENTRALISASI

Desentralisasi politik dan administrasi telah memberikan peluang lebar kepada


masyarakat desa dalam kebijakan pembangunan. Berbagai macam inovasi kebijakan telah
dilakukan untuk mencari format terbaik dalam melembagakan partisipasi masyarakat.
Desentralisasi politik dan administrasi telah memberikan peluang lebar kepada masyarakat
desa dalam kebijakan pembangunan. Berbagai macam inovasi kebijakan telah dilakukan
untuk mencari format terbaik dalam melembagakan partisipasi masyarakat.
Desentralisasi adalah mengalihkan administrasi yang terkonsentrasi pada satu pusat
kekuasaan dan menurunkan kekuasaan tersebut ke pada pemerintah daerah. Desentralisasi
mempunyai sisi positif, yaitu secara ekonomi dapat memperbaiki efisiensi dalam penyediaan
permintaan pelayanan barang dan jasa publik, mengurangi biaya dan efektif dalam
penggunaan sumberdaya manusia; secara politik dapat meningkatkan akuntabilitas,
ketrampilan politik, dan integrasi nasional, mendekatkan kepada masyarakat, menciptakan
pelayanan yang lebih dekat dengan klien, merupakan arena untuk dapat melatih proses
partisipasi masyarakat, dan mengembangkan kepemimpinan elit politik. Di negara maju
reaksi terhadap kebijakan desentralisasi terutama diakibatkan oleh munculnya persoalan inefisiensi dan dis-ekonomi akibat fragmentasi politik yang berpengaruh terhadap: (Wiranto,
2004)

Makin tidak terkendalinya pengelolaan daerah perkotaan,


Kegagalan dalam manajemen pelayanan pendidikan dan kesehatan,
Disparitas pelayanan umum antara pusat kota dan pinggiran,
Meningkatnya anti-profesionalisme pada organisasi pemerintah daerah,
Penurunan kualitas administrasi pemerintah daerah, dll-nya.
Disamping itu kebijakan desentralisasi mengandung risiko separatisme, yang jika

tidak disadari akan menggangu kesatuan teritorial negara, memperkuat gejala penyempitan
wawasan kebangsaan, dan memperkuat penyalahgunaan kekuasaan di tingkat bawah.
Di negara kita, persoalan yang muncul secara tidak diduga akibat kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah adalah terkait dengan:
1. Respon berlebihan terhadap batasan dan lingkup kewenangan tugas yang
diserahkan ke daerah otonom tanpa diimbangi dengan kapasitas yang memadai,
2. Dampak negatif dari luasnya kekuasaan DPRD dalam pengawasan, pemilihan dan
pengangkatan kepala daerah, pengesahan anggaran dan belanja daerah,

3. Tidak adanya hirarki antara pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota


yang menimbulkan ketidakharmonisan hubungan kerja vertikal,
4. Ketidakjelasan pemahaman terhadap transparansi dan akuntabilitas, serta
partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan publik sehingga
timbul gerakan masa yang bekelebihan,
5. Penyempitan wawasan kebangsaan dan pembatasan proses asimilasi budaya dan
interaksi sosial sehingga timbul arogansi kedaerahan.
Dampak yang ditimbulkan terhadap kegiatan perencanaan adalah:
1. Wewenang daerah dalam kegiatan perencanaan yang penuh, sehingga proses
pengambilan keputusan terjadi ditingkat lokal, hubungan horisontal-internal
menjadi kuat dibandingkan hubungan vertikal-eksternal,
2. Peran lembaga perwakilan semakin besar dibandingkan dengan eksekutif,
rasionalistas perencanaan melemah dibandingkan rasionalitas konstituen, metoda
dan proses perencanaan berubah dari teknikal ke politikal dengan partisipasi
penuh dari berbagai pihak berkepentingan melalui forum-forum, dan
3. Sumber pembiayaan dari pihak pemerintah propinsi dan pusat berkurang,
sehingga kekuasaan alokasi sumberdaya berada di tingkat lokal.
Peran perencana di era desentralisasi
Dalam keadaan masyarakat yang seperti ini, sangat sulit untuk merumuskan
bagaimana perencana harus berperan. Akan tetapi satu hal yang nampaknya sudah semakin
populer adalah bahwa situasi sudah berubah. Perencana tidak bisa lagi menempatkan dirinya
sebagai kaum pakar yang seolah-olah mengetahui segalanya dan berhak untuk menentukan
nasib masyarakat berdasarkan pengetahuannya itu, sekarang kaum pakar tidak lagi
mendapat tempat sebagai sentral dari penentuan sesuatu berdasarkan keahlian mereka semata,
tanpa mau menerima berbagai perspektif dari lingkungan yang lebih luas.
Selama ini peran perencana berkembang, sesuai dengan logika perencanaan yang
mendasarinya dan dalam konteks apa perencana itu bergerak. Beberapa peranan dari
perencana itu antara lain: (Winarso, 2002)
1. Perencana Teknis Administrasi, merupakan peranan tradisional perencana dalam
konteks kepemerintahan, yaitu sebagai pakar teknis melayani kepentingan

pemerintahan. Peranan ini dapat efektif bila pejabat atau pemimpin politis
mendelegasikan kekuasaan pada perencana.
2. Penggerak (Mobilizer), dalam pengertian perencana menjadi pihak yang
memberikan inspirasi, dorongan, maupun pewacanaan dan himbauan pada
masyarakat dalam konteks-konteks tertentu yang terkait dengan kepentingan
implementasi maupun penyusunan rencana.
3. Perantara (moderator), dimana perencana berperan sebagai perantara antara pihakpihak yang terlibat (stakeholders) untuk mulai menggulirkan proses perencanaan
dan pelaksanaannya. Kemampuan teknis perencana perlu diiringi kemampuan
politis dan berkomunikasi.
4. Enterpreneur, peranan ini diperlukan untuk menggalang dana bagi pelaksanaan
rencana yang telah disusun. Selain dana perencana perlu pula menggalang
dukungan politis dan administratif.
5. Advokasi, dalam pengertian perencana berperan untuk menyuarakan kepentingan
kelompok-kelompok tertentu yang diwakilinya, penghuni suatu lingkungan,
kelompok miskin, organisasi-organisasi, lembaga konsumen atau perusahaan.
Peranan lain yang penting juga bagi para perencana adalah membantu dalam
proses pengambilan keputusan dan pengembangan kebijakan. Walaupun dalam hal
ini perencana bukan pemegang peran utama namun memegang peranan kunci
sebagai fasilitator.
Semua peranan ini merupakan peranan-peranan yang memang seharusnya dijalankan
oleh para perencana. Akan tetapi, proporsi dari pelaksanaan peran inilah yang selalu
bervariasi dalam berbagai konteks ruang dan waktu, dalam dimensi pergerakan sosio-kultural
masyarakat yang selalu dinamis. Dan untuk saat ini, dimana iklim partisipatif mulai
berhembus dengan kuat, pendekatan positivisme yang diambil para perencana seperti yang
selama ini dijalankan pada masa orde baru menjadi tidak relevan lagi.
Masyarakat mulai menyadari peran mereka, atau setidaknya mereka mulai sadar
bahwa hal-hal yang digariskan oleh seorang perencana pada sebuah produk rencana akan
mempengaruhi kehidupan mereka di masa depan. Meskipun begitu, transisi ini tidak selalu
berjalan dengan mulus. Kontrol masyarakat atas penyusunan sebuah rencana masih sangat
kurang, sejalan dengan minimnya informasi akan proses penyusunan rencana tersebut.
Ditambah lagi, ternyata faktor internal perencana juga seakan menjadi duri dalam daging.

Paradigma perencanaan top-down dengan metoda positivisme yang telah bertahun-tahun


berurat-berakar dalam mind-set dunia perencana tidak semudah itu untuk didekonstruksi.
Dalam abstraksi makalah Demistifikasi Peran planner dan Pembangunanisme,
Sapei (2001) menyatakan bahwa kekuatan politis dan kapasitas kepakaran seringkali
menjadi juru tafsir utama dalam memaknai partisipasi. Tidak jarang keduanya hanya
menafsirkan partisipasi sebagai pemenuh kebutuhan pengisian berita acara proyek-proyek
yang memang dipesan harus dengan cara-cara partisipatif.
Apabila memang seperti ini yang terjadi, maka participatory planning hanya
menjadi sebuah hiasan untuk melegitimasi produk-produk rencana dengan label
partisipatif, dengan melupakan esensi dari konsepnya sendiri, yaitu untuk memperbaiki
hubungan kekuasaan (politik) masyarakat, terutama golongan marjinal, terhadap elit
penguasa.
Lebih jauh Sapei (2001) menjelaskan dalam makalahnya tersebut bahwa kelompok
pakar seringkali menunjukkan keengganan untuk bisa bekerja sama dengan masyarakat,
karena pola pikir bahwa perencana adalah seorang pakar yang paling mengetahui segala
persoalan menjadi mind-set yang paling sulit untuk dicairkan. Artinya, hambatan untuk
melaksanakan suatu proses perencanaan yang partisipatif justru juga datang dari kalangan
perencana sendiri.
Dalam proses dekonstruksi mind-set tersebut, sebenarnya yang perlu untuk ditegaskan
kembali adalah perlunya para perencana untuk merumuskan kembali peranan dan posisi
politis mereka dalam konteks perencanaan yang partisipatif ini. Winarso (2002) dalam
makalahnya Perencanaan Dalam Era Transformasi, mencoba merumuskan peranan
perencana tersebut dan membaginya kedalam dua peranan besar, yaitu perencana sebagai
manager perubahan dan perencana sebagai katalisator perubahan.
Perencana sebagai manager perubahan, dalam pengertian bahwa perencana berperan
penting dalam mengendalikan perubahan-perubahan yang terjadi dalam konteks keadaan
ekonomi dan politik Indonesia (secara umum) yang belum stabil. Dalam keadaan seerti itu,
kemampuan managerial sangat penting bagi seorang perencana.

Perencana berperan aktif dalam proses kolaboratif tersebut untuk mencapai keadaan
yang stabil. Perencana sebagai Katalisator perubahan. Perencana mempunyai peran yang
sangat penting dalam proses pemberdayaan masyarakat, sehingga tidak lagi terlelap oleh
slogan demokratisasi dan partisipasi semu.
Perencana mempunyai peran sangat besar sebagai katalisator perubahan dan
menunjukkan arah yang benar dalam proses transformasi. Kemampuan perencana sebagai
katalisator akan meredam konflik dan memberikan pencerahan pada masyarakat. Perencana
harus mampu menghubungkan keinginan masyarakat dengan keinginan pemerintah untuk
mencari legitimasi, tanpa dirinya sendiri larut terlalu jauh dalam proses tersebut. Involve but
not disolve adalah kata yang tepat untuk menunjukkan peran perencana sebagai katalisator
perubahan.
Dari pembagian dua peran besar tersebut, dapat kita sarikan bahwa inti peranan
perencana dalam era perencanaan partisipatif ini adalah mengupayakan pemberdayaan dan
pembelajaran masyarakat untuk membawa perubahan sosio kultural ke arah yang kondusif
untuk melaksanakan suatu perencanaan yang partisipatif. Pengertian kondisi sosio kultural
yang kondusif dalam hal ini tidak lain adalah kondisi dimana masyarakat dengan
kesadarannya sendiri mampu berinisiatif untuk terlibat aktif dalam proses perencanaan yang
memang dirinya menjadi stakeholders didalamnya.
Peranan perencana ini tak pelak membutuhkan kemampuan lebih dari pihak
perencana dalam hal politik, birokrasi, dan keahlian komunikasi. Peran sebagai manager
mengharuskan perencana mempunyai kemampuan tidak hanya teknis birokratis, tetapi
kemampuan komunikasi yang prima untuk meyakinkan orang yang berhubungan dengan
dirinya (Forester, 1987).

DAFTAR PUSTAKA

Adi, Isbandi Rukminto. (2008). Intervensi Komunitas: Pengembangan Masyarakat sebagai


Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Cet 1. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada.
Aristo, D.A. (2004). Rejuvinasi Peran Perencana dalam menghadapi Era Perencanaan
Partisipatif. Universitas Brawijaya. Malang.
Amartya Sen, Development as Freedom ( New York: Alfred A Knopf 1999). Cambridge, MA
Harvard University Press.
Asngari, Pang S, 2001, Peranan Agen Pembaruan/Penyuluh Dalam Usaha
Memberdayakan (Empowerment) Sumberdaya Manusia Pengelola Agribisnis,
Conyers, Diana. (1991). Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga : Suatu Pengantar. Ed 2.
(Penerjemah: Susetiawan). Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Friedmann, John (1987), Planning in The Public Domain : From Knowledge to Action,
Princeton University Press, Princeton-New Jersey.
Mikkelsen, Britha. (2005) Methods for Development Work and Research: A New Guide for
Practitioners. 2nd Ed. California: Sage Publication
Sapei, ST, Demistifikasi Peran Planner Dalam Pembangunanisme, Makalah yang
disampaikan pada Seminar Nasional Pemikiran Perencanaan Dalam Era
Transformasi, Departemen Teknik Planologi ITB, Bandung, 8-9 November 2001.
Widodo, Slamet. (2008). Partisipasi, Pemberdayaan dan Pembangunan.
Wiranto, Tatag. (2004). Perencanaan Dalam Era Desentralisasi. Perencanaan Pembangunan
Edisi 02 Tahun IX Maret 2004.
Winarso, Haryo, Perencanaan Dalam Era Transformasi, Makalah yang disampaikan pada
Seminar Nasional Pemikiran Perencanaan Dalam Era Transformasi, Departemen
Teknik Planologi ITB, Bandung, 8-9 November 2001.

PERENCANAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF


TUGAS III
MATERI : PERENCANAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF
Konsep Pemberdayaan
Kepemerintahan yang Baik

ULLYA VIDRIZA
1520512004
Dosen : Prof. Dr. Ir. Melinda Noer, M.Sc.

MAGISTER PERENCANAAN PEMBANGUNAN


UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2016

PERENCANAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF

PENDAHULUAN
Masalah pembangunan merupakan masalah yang kompleks. Kompleksitas itu
misalnya dari sisi manajemen berarti perlu dilakukan perencanaan, pelaksanaan, monitoring
dan evaluasi. Dari sisi bidang yang yang harus dibangun juga memiliki aspek kehidupan yang
sangat luas. Aspek kehidupan itu mencakup kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya
serta pertahanan dan keamanan.
Dalam manajemen pemerintahan yang otoriter yang sentralistis, dalam realitas
masyarakat lebih diposisikan sebagai obyek pembangunan. Ketika kini pemerintahan yang
demokratis yang hendak dikembangkan, maka ada perubahan posisi masyarakat yang semula
lebih diposisikan sebagai obyek pembangunan menjadi subyek pembangunan.
Memposisikan masyarakat sebagai subyek dalam pembangunan agar bersifat efektif
perlu dicarikan berbagai alternatif strategi pemberdayaan masyarakat. Pilihan strategi yang
tepat diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat. Makalah ini
lebih memfokuskan pada paparan tawaran berbagai strategi pemberdayaan masyarakat.
KONSEP PEMBERDAYAAN
Pemberdayaan berasal dari kata daya yang mendapat awalan ber- yang menjadi kata
berdaya artinya memiliki atau mempunyai daya. Daya artinya kekuatan, erdaya artinya
memiliki kekuatan. Pemberdayaan artinya membuat sesuatu menjadi berdaya atau
mempunyai daya atau mempunyai kekuatan. Pemberdayaan dalam bahasa Indonesia
merupakan terjemahan dari empowerment dalam bahasa inggris.
Pemberdayaan sebagai terjemahan dari empowerment menurut Merrian Webster
dalam Oxford English Dicteonary mengandung dua pengertian :
a.

To give ability or enable to, yang diterjemagkan sebagai member

kecakapan/kemampuan atau memungkinkan.


b. To give power of authority to, yang berarti member kekuasaan.

Dalam konteks pembangunan istilah pemberdayaan pada dasarnya bukanlah istilah


baru melainkan sudah sering dilontarkan semenjak adanya kesadaran bahwa factor manusia
memegang peran penting dalam pembangunan.
Pemberdayaan yang diadaptasikan dari istilah empowerment berkembang di Eropa
mulai abad pertengahan, terus berkembang hingga diakhir 70-an, 80-an, dan awal 90-an.
Konsep pemberdayaan tersebut kemudian mempengaruhi teori-teori yang berkembang
belakangan.
Berkenaan dengan pemaknaan konsep pemberdayaan masyarakat, Ife (1995)
menyatakan bahwa : Empowerment is a process of helping disadvantaged groups and
individual to compete more effectively with other interests, by helping them to learn and use
in lobbying, using the media, engaging in political action, understanding how to work the
system, and so on (Ife, 1995).
Definisi tersebut di atas mengartikan konsep pemberdayaan (empowerment) sebagai
upaya memberikan otonomi, wewenang, dan kepercayaan kepada setiap individu dalam suatu
organisasi, serta mendorong mereka untuk kreatif agar dapat menyelesaikan tugasnya sebaik
mungkin. Sedangkan konsep pemberdayaan menurut Friedman (1992) dalam hal ini
pembangunan alternatif menekankan keutamaan politik melalui otonomi pengambilan
keputusan untuk melindungi kepentingan rakyat yang berlandaskan pada sumberdaya pribadi,
langsung melalui partisipasi, demokrasi dan pembelajaran sosial melalui pengamatan
langsung.
Teori Pemberdayaan
1. Teori Ketergantungan Kekuasaan (power-dependency)
Power merupakan kunci konsep untuk memahami proses pemberdayaan. Pemikiran
modern tentang kekuasaan dimulai dalam tulisan-tulisan dari Nicollo Machiavelli (The
Prince , awal abad ke-16) dan Thomas Hobbes ( Leviathan abad, pertengahan-17). Tujuan
dari kekuasaan adalah untuk mencegah kelompok dari

berpartisipasi dalam proses

pengambilan keputusan dan juga untuk memperoleh persetujuan pasif kelompok ini untuk
situasi ini. Power merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari interaksi sosial. Kekuasaan
adalah fitur yang tidak terpisahkan dari kehidupan sosial. Hal ini selalu menjadi bagian dari

hubungan, dan tanda-tanda yang dapat dilihat bahkan pada tingkat interaksi mikro (Sadan,
1997).
2. Teori Sistem (The Social System)
Talcott Parsons (1991) melahirkan teori fungsional tentang perubahan. Seperti para
pendahulunya, Parsons juga menganalogikan perubahan sosial pada masyarakat seperti
halnya pertumbuhan pada mahkluk hidup. Komponen utama pemikiran Parsons adalah
adanya proses diferensiasi. Parsons berasumsi bahwa setiap masyarakat tersusun dari
sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan makna
fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika masyarakat berubah, umumnya
masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi
permasalahan hidupnya. Dapat dikatakan Parsons termasuk dalam golongan yang
memandang optimis sebuah proses perubahan.
3. Teori Ekologi (Kelangsungan Organisasi)
Menurut Lubis dan Husaini (1987) bahwa teori organisasi adalah sekumpulan ilmu
pengetahuan yang membicarakan mekanisma kerjasama dua orang atau lebih secara
sistematis untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Teori organisasi merupakan sebuah
teori untuk mempelajari kerjasama pada setiap individu. Hakekat kelompok dalam individu
untuk mencapai tujuan beserta cara-cara yang ditempuh dengan menggunakan teori yang
dapat menerangkan tingkah laku, terutama motivasi individu dalam proses kerjasama. Pada
teori ekologi, membahas tentang organisasi sebagai wadah untuk sekumpulan masyarakat
dengan tujuan yang sama agar tertatur, jelas, dan kuat. Orientasi organisasi mengacu pada
sekumpulan orang/massa yang harus dimiliki kelompok untuk dapat memiliki power/daya.
Kelompok yang memiliki organisasi dengan kuat dan berkelanjutan maka kelompok ini
dikatakan berdaya.
4. Teori Konflik
Pandangan teori konflik mengacu pada dua aspek, yang pertama tentang
ekonomi/uang yaitu berkaitan dengan modal sebagai sarana untuk kelompok dapat dikatakan
berdaya dan mandiri. Aspek kedua menyangkut tentang organisasi, apbila kelompok dapat
memanajemen konflik dengan baik, maka keutuhan dan kekuatan organisasi/ kelompok orang

akan terus kuat dan lestari sehingga mereka akan memiliki daya dari sisi finansial dan sisi
keanggotaan massa (Chalid, 2005).
5. Teori Mobilisasi Sumberdaya
Jasper, (2010) menyatakan gerakan sosial terdiri dari individu-individu dan interaksi
di antara anggota suatu masyarakat. Pendekatan pilihan rasional (rational choice) menyadari
akan hal ini, tetapi versi mereka memperhitungkan individu sebagai yang abstrak untuk
menjadi realistis. Pragmatisme, feminisme, dan yang terkait dengan berbagai tradisi yang
mendorong lahirnya studi tentang aksi-aksi individu (individual action) dan aksiaksi kolektif
(collective action) sejak tahun 1960-an, yakni penelitian tentang perlawanan (social
resistence), gerakan sosial (social movement) dan tindakan kolektif (collective behavior)
berkembang di bawah inspirasi dari teori-teori besar tersebut.
Jika dilihat dari proses operasionalisasinya, maka ide pemberdayaan memiliki dua
kecenderungan, antara lain :
1. Kecenderungan primer, yaitu kecenderungan proses yang memberikan atau
mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan (power) kepada
masyarakat atau individu menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi pula
dengan upaya membangun asset material guna mendukung pembangunan
kemandirian mereka melalui organisasi.
2. Kecenderungan sekunder, yaitu kecenderungan yang menekankan pada proses
memberikan stimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai
kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan
hidupnya melalui proses dialog. Dua kecenderungan tersebut memberikan (pada
titik ekstrem) seolah berseberangan, namun seringkali untuk mewujudkan
kecenderungan primer harus melalui kecenderungan sekunder terlebih dahulu
(Sumodiningrat, Gunawan, 1999).
Pemberdayaan sebagai proses mengembangkan, memandirikan, menswadayakan,
memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan
penekan di segala bidang dan sektor kehidupan (Sutoro Eko, 2002).
Konsep pemberdayaan (masyarakat desa) dapat dipahami juga dengan dua cara
pandang. Pertama, pemberdayaan dimaknai dalam konteks menempatkan posisi berdiri
masyarakat. Posisi masyarakat bukanlah obyek penerima manfaat (beneficiaries) yang

tergantung pada pemberian dari pihak luar seperti pemerintah, melainkan dalam posisi
sebagai subyek (agen atau partisipan yang bertindak) yang berbuat secara mandiri. Berbuat
secara mandiri bukan berarti lepas dari tanggungjawab negara.
Pemberian layanan publik (kesehatan, pendidikan, perumahan, transportasi dan
seterusnya) kepada masyarakat tentu merupakan tugas (kewajiban) negara secara given.
Masyarakat yang mandiri sebagai partisipan berarti terbukanya ruang dan kapasitas
mengembangkan potensi-kreasi, mengontrol lingkungan dan sumberdayanya sendiri,
menyelesaikan masalah secara mandiri, dan ikut menentukan proses politik di ranah negara.
Masyarakat ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan dan pemerintahan (Sutoro Eko,
2002).
Permendagri RI Nomor 7 Tahhun 2007 tentang Kader Pemberdayaan Masyarakat,
dinyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah suatu strategi yang digunakan dalam
pembangunan masyarakat sebagai upaya untuk mewujudkan kemampuan dan kemandirian
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Pasal 1 , ayat (8) ). Inti pengertian
pemberdayaan masyarakat merupakan strategi untuk mewujudkan kemampuan dan
kemandirian masyarakat.
Tujuan Dan Strategi Cara Pemberdayaan Masyarakat
Tujuan pemberdayaan masyarakat adalah memampukan dan memandirikan
masyarakat terutama dari kemiskinan dan keterbelakangan/kesenjangan/ketidakberdayaan.
Kemiskinan dapat dilihat dari indikator pemenuhan kebutuhan dasar yang belum
mencukupi/layak. Kebutuhan dasar itu, mencakup pangan, pakaian, papan, kesehatan,
pendidikan, dan transportasi. Sedangkan keterbelakangan, misalnya produktivitas yang
rendah, sumberdaya manusia yang lemah, terbatasnya akses pada tanah padahal
ketergantungan pada sektor pertanian masih sangat kuat, melemahnya pasar-pasar
lokal/tradisional karena dipergunakan untuk memasok kebutuhan perdagangan internasional.
Dengan perkataan lain masalah keterbelakangan menyangkut struktural (kebijakan) dan
kultural (Sunyoto Usman, 2004).
Bagaimana strategi atau kegiatan yang dapat diupayakan untuk mencapai tujuan
pemberdayaan masyarakat ?. Ada beberapa strategi yang dapat menjadi pertimbangan untuk
dipilih dan kemudian diterapkan dalam pemberdayaan masyarakat.

1. Menciptakan

iklim,

memperkuat

daya,

dan

melindungi.

Dalam

upaya

memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu ; pertama,


menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat
berkembang (enabling). Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap
manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan.
2. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Dalam
rangka pemberdayaan ini, upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf
pendidikan, dan derajat kesehatan, serta akses ke dalam sumber-sumber kemajuan
ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar. Masukan
berupa pemberdayaan ini menyangkut pembangunan prasarana dan sarana dasar
fisik, seperti irigasi, jalan, listrik, maupun sosial seperti sekolah dan fasilitas
pelayanan kesehatan, yang dapat dijangkau oleh masyarakat pada lapisan paling
bawah, serta ketersediaan lembagalembaga pendanaan, pelatihan, dan pemasaran
di perdesaan, dimana terkonsentrasi penduduk yang keberdayaannya amat kurang.
Untuk itu, perlu ada program khusus bagi masyarakat yang kurang berdaya,
karena program-program umum yang berlaku tidak selalu dapat menyentuh
lapisan masyarakat ini. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu
anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai
budaya

modern,

seperti

kerja

keras,

hemat,

keterbukaan,

dan

kebertanggungjawaban adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini.


Demikian pula pembaharuan institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya ke
dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya. Yang
terpenting disini adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan
keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya. Oleh karena itu,
pemberdayaan

masyarakat

amat

erat

kaitannya

dengan

pemantapan,

pembudayaan, pengamalan demokrasi.


3. Memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan,
harus

dicegah

yang

lemah

menjadi

bertambah

lemah,

oleh

karena

kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan


dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep
pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi
dari interaksi, karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan
melunglaikan yang lemah.
KEPEMERINTAHAN YANG BAIK (GOOD GOVERNANCE)

Pendahuluan
Dalam pengertiannya bahwa Pemerintah adalah merupakan salah satu unsur dari tiga
unsur berdirinya sebuah negara disamping rakyat dan wilayah. Selanjutnya unsur pemerintah
merupakan sebuah kekuasaan (power) untuk menjalankan pemerintahan dengan melayani
kepentingan rakyat serta bertugas/berhak menjalankan roda pemerintahan dengan peraturan
perundangan serta peraturan lainnya untuk mengatur rakyat dengan tujuan tercapainya
kesejahteraan rakyat itu sendiri. Kekuasaan yang diberikan tersebut merupakan tugas untuk
mengatur dan pelaksanaan ketertiban dan keamanan dalam masyarakat serta melakukan
pungutan pajak dan retribusi serta mengatur jalannya perekonomian dalam sebuah Negara.

Dipihak lain rakyat selama ini diartikan sebagai orang yang diperintah mempunyai
hak dan kewajiban tertentu sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh pemerintah dan
legislatif. Disini tampak perbedaan antara pemerintah disuatu sisi dan rakyat disisi lainnya.
Dalam pengertian tersebut pemerintah mempunyai kedudukan lebih dominant dibanding
rakyatnya sendiri.
Pengertian istilah Good adalah Pertama; merupakan nilai-nilai yang sesuai keinginan
rakyat atau nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam mencapai tujuan
nasional : kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial. Kedua; aspek-aspek
fungsional dari pemerintah yang efektif dalam pelaksanakaan tugas untuk mencapai tujuan.
Mustopadidjaja (2000) berpandangan bahwa kridibilitas manajemen Pemerintahan
pada negara-negara Demokratis Konstritusional dimasa mendatang akan lebih banyak
ditentukan oleh kompetensinya dalam pengelolaan kebijakan publik. Peran pemerintah
melalui kebijakan-kebijakan publiknya sangat penting dalam memfasilitasi terjadinya
mekanisme pasar yang benar sehingga penyimpangan penyimpangan terjadi di dalam pasar
dapat dihindari. Oleh karena itu, upaya-upaya perwujudan kearah Good Governance dapat
dimulai dengan membangun landasan demokratisasi penyelenggaraan Negara dan bersamaan
dengan itu dilakukan upaya pembenahan terhadap penyelenggaraan pemerintahan.
Tjokroamidjojo, MA (2000: 34), yang mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:
Governance artinya: memerintah menguasai mengurus mengelola. Jadi mengandung
banyak arti. Dalam kaitan ini pada Pidato Presiden tanggal 16 Agustus 2000, istilah
governance , diterjemahkan sebagai pengelolaan. Memang demikianlah dalam ilmu

pengetahuan sosial, suatu istilah bisa mengandung arti bermacam-macam, dan terkadang
digunakan silih berganti, tergantung persoalan, kaitan dan kepentingan penggunaannya serta
dalam situasi/kondisi yang dipandang sesuai saat itu.
OECD dan World Bank mensinonimkan Good Governance dengan penyelenggaraan
manajemen yang solid dan bertanggung jawab, sejalan dengan demokrasi dan pasar yang
efisien, penghindaran salah alokasi investasi, menghindarkan korupsi/KKN baik secara
politik maupun administrasi, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaaan legal and
plotical framework bagi tumbuhnya wiraswasta.

Menurut UNDP tentang definisi Good Governance adalah sebagai hubungan yang
sinergis dan konstruktif diantara Negara, sektor swasta dan masyarakat, dalam prinsipprinsip; partisipasi, supremasi hukum, transparansi, cepat tanggap, membangun konsesus,
kesetaraan, efektif dan efisien, bertanggungjawab serta visi stratejik.
Menurut AKIP (LAN & BPKP, 2000) bahwa proses penyelenggaraan kekuasaan
Negara dalam menyediakan Public Good and Sevices di sebut Governance (pemerintah atau
kepemerintahan), sedang praktek terbaiknya disebut Good Governance (kepemerintahan yang
baik). Dituntut dalam pelaksanaan yaitu; Koordinasi (aligment) yang baik dan Integrasi,
Profesionalisme serta Etos Kerja dan Moral yang tinggi. Mewujudkan pemerintah yang baik
diperlukan komitmen dari semua pihak (pemerintah dan masyarakat). SedangkanWujud
Kepemerintahan Yang Baik (Good Governance) adalah Penyelenggaraan Negara yang solid
dan bertanggung jawab dan efektif dan efisien dengan mensinergikan interaksi yang
konstruktif diantara domein domein Negara.
Beberapa hal dalam memahami konsep Good Governance yang dipandang penting
diantaranya adalah bahwa arti Good dalam kata Good Governance mengadung dua
pengertian.
Pertama : Adanya nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat dan
nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam mencapai (1) tujuan
(nasional); (2) kemandirian; (3) pembangunan berkelanjutan; (4) keadilan sosial.
Kedua : Aspek-aspek yang berkenaan dengan fungsi- fungsi/tugas dari pemerintahan
yang tepat dalam pelaksanaan pencapaian tujuan-tujuan tersebut di atas.

Prinsip-prinsip pemerintahan yang baik menurut UNDP (United Nations Development


Program), mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Partisipasi, yaitu keikutsertaan masyarakat dalam proses pembuatan keputusan,
kebebasan berserikat dan berpendapat, serta kebebasan untuk berpartisipasi secara
konstruktif.
b. Aturan hukum, yaitu hukum harus adil, tanpa pandang bulu, ditegakkan dan dipatuhi
secara utuh, terutama aturan hukum tentang hak asasi manusia.
c. Transparan, yaitu adanya kebebasan aliran informasi dalam berbagai proses
kelembagaan sehingga mudah diakses oleh mereka yang membutuhkan.
d. Daya tanggap, yaitu proses yang dilakukan di setiap institusi harus diarahkan pada
upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan.
e. Berorientasi konsensus, yaitu bertindak sebagai mediator bagi berbagai kepentingan
yang berbeda untuk mencapai kesepakatan.
f. Berkeadilan, yaitu memberikan kesempatan yang sama terhadap laki-laki maupun
perempuan dalam upaya meningkatkan dan memelihara kualitas hidupnya.
g. Efektivitas dan efisiensi, yaitu segala proses dan kelembagaan diarahkan untuk
menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui
pemanfaatan yang sebaik-baiknya terhadap sumber yang ada.
h. Akuntabilitas, yaitu para pengambil keputusan harus bertanggung jawab kepada
publik sesuai dengan jenis keputusan, baik internal maupun eksternal.
i. Bervisi strategis, yaitu para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas
dan jangka panjang dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan manusia
dengan memahami aspek-aspek historis, kultural, dan kompleksitas sosial yang
mendasari perspektif mereka.
j. Saling keterkaitan, yaitu adanya kebijaksanaan yang saling memperkuat dan terkait
serta tidak bisa berdiri sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Chalid, Pheni. 2005. Otonomi Daerah Masalah, Pemberdayaan dan Konflik. Penebar
Swadaya. Cetakan pertama. Jakarta.
Friedman, John, 1992. Empowerment The Politics of Alternative Development. Blackwell
Publishers, Cambridge, USA.
Ife, J.W., 1995. Community Development: Creating Community Alternatives-vision,
Analysiis and Practice. Melbourne : Longman.
Jasper, James, M. 2010. Social Movement Theory Today: Toward a Theory of Action?.
Sociology Compas 4/11 (2010). New York: Graduate Center of the City University of
New York.
LAN-BPKP, 2000, Akuntabilitas dan Good Governance, Jakarta.
Lubis, Hari & Huseini, Martani. 1987. Teori Organisasi; Suatu Pendekatan Makro. Pusat
Antar Ilmu-ilmu Sosial UI: Jakarta.
Mustopadidjaja, AR, dan Desi Fernanda, (2000), Manajemen Pembangunan Nasional:
Kebijakan, Perencanaan, Pelaksanaan dan Pengawasan, makalah disampaikan pada
Suskomsos TNI-TA 1999/2000, SESKO TNI, LAN-RI, bandung, 28 Februari 2000.
Pearsons, Talcot. 1991. The Social System. Routledge is an imprint of Taylor & Francis, an
informa company.
Sadan, Elisheva. 1997. Empowerment and Community Planning: Theory and Practice of
People-Focused Social Solutions. Tel Aviv: Hakibbutz Hameuchad Publishers.in
Hebrew. [e-book].
Sumodiningrat, G. (1999). Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial Jakarta:
Gramedia.
Sunyoto Usman,2004, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.

Sutoro Eko, 2002, Pemberdayaan Masyarakat Desa, Materi Diklat Pemberdayaan Masyarakat
Desa, yang diselenggarakan Badan Diklat Provinsi Kaltim, Samarinda, Desember
2002.

Tjokroamidjojo, Bintoro, Good Governance, Paradigma Baru Manajemen Pembangunan,


Jakarta, Universitas Indonesia, Press, 2000
UNDP, 1997, Governance for Sustainable Development A Policy Document, New York:
UNDP. -------------------, 1999, UNDP and Governance: Experiences and Lesson
Learned, Lesson Learned Series No. 1, New York: UNDP Management Development
and Governance Division, Downloaded internet document file.

Anda mungkin juga menyukai