TUGAS II
MATERI : PERENCANAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF
Pentingnya Perencanaan Partisipatif
Peran Perencana di Era Desentralisasi
ULLYA VIDRIZA
1520512004
Dosen : Prof. Dr. Ir. Melinda Noer, M.Sc.
PENDAHULUAN
Pembangunan berorientasi pada masyarakat berarti hasil pembangunan yang akan
dicapai akan bermanfaat dan berguna bagi masyarakat setempat, selain itu juga resiko atau
cost yang akan ditimbulkan oleh upaya pembangunan ini akan ditanggung juga oleh
masyarakat setempat. Dengan demikian tidak hanya benefit yang harus diketahui semenjak
program pembangunan ini direncanakan tetapi juga cost-nya.
Berbagai bentuk partisipasi masyarakat di dalam perencanaan program pembangunan
dapat dibentuk atau diciptakan. Hal ini sangat tergantung pada kondisi masyarakat setempat,
baik kondisi sosial, budaya, ekonomi maupun tingkat pendidikannya. Di beberapa daerah
bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan telah terjadi, di mana wadah serta
mekanisme partisipasinya telah terbentuk dengan baik.
PENTINGNYA PERENCANAAN PARTISIPATIF
Perencanaan pasrtisipatif digunakan salah satunya untuk mengantisipasi terjadinya
perpecahan. Karena mengingat benbentuk goegrafis Indonesia yang terdiri dari berbagai
pulau, suku, dan bahasa. Perencanaan merupakan sebuah istilah yangs sangat umum di dunia
pemerintahan. Perencanaan terbagi atas dua jenis yakni perencaan dari atas (top down) dan
perencanaan dari bawah (bottom up). Negara manapun didunia selalu berupaya memajukan
negaranya dan selalu mengontrol perkembangan negaranya. Control tersebut dapat dilakukan
melalui prisip manajemen umum yang disebut dengan POAC (planning, organizing actuating,
controlling).
Perencanaan partisipatif saat ini terdukung dengan adanya otonomi daerah. Salah
satuu upaya pemerintah daerah mewujudkan perencanaan partisipatif adalah dengan
Musrenbang. Musrenbang dilaksanakan mulai dari tingkat kelurahan dan desa sampai dengan
tingkat nasional. Namun demikian masih ada saja beberapa kementrian di pemerintah pusat
yang mempertahankan status quo, dan melaksanakan programnya sendiri tanpa ada
pertimbangan dan partisipasi dari bawah. Contohnya adalah permasalahan saat ini menganai
penanganan ujian nasional yang carut marut.
Perencanaan partisipatif mulai dikenal secara luas sejak munculnya metode partisipatif yang
biasa disebut Participatory Rural Appraisal. Metode ini menekankan adanya peran serta aktif dari
masyarakat dalam merencanakan pembangunan (penyelesaian masalah) mulai dari pengenalan
wilayah, pengidentifkasian masalah sampai pada penentuan skala prioritas.
Perencanaan partisipatif saat ini mulai merambah ke tingkat makro atau lebih pada
pengembangan kebijakan, biasanya kegiatan ini lebih banyak dilakukan oleh Lembaga Non
Pemerintah (NGOs). Selain itu perencanaan partisipatif banyak dilakukan di tingkat mikro seperti
pada tingkat masyarakat maupun di tingkat individu.
Secara garis besar perencanaan partisipatif mengandung makna adanya keikutsertaan
masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan, mulai dari melakukan analisis masalah mereka,
memikirkan bagaimana cara mengatasinya, mndapatkan rasa percaya diri untuk mengatasi masalah,
mengambil keputusan sendiri tentang alternatif pemecahan masalah apa yang ingin mereka atasi.
partisipasi/keikutsertaan/keterlibatan/peran
serta,
sesungguhnya
perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk program tersebut
dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap program tersebut.
3. Alasan ketiga adalah karena timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi
bila masyarakat dilibatkan dalam proses pembangunan.
Alasan lainnya dikemukakan oleh Amartya Sen dimana Ia mengemukana ada 3 alasan
mengapa harus ada demokasi dan Perencanaan Partisipatif (Amartya Sen, 1999)
1. Demokrasi dan partisipasi sangat penting peranannya dalam pengembangan
kemampuan dasar.
2. Instrumental role untuk memastikan bahwa rakyat bisa mengungkapkan dan
mendukung klaim atas hak-hak mereka, di bidang politik maupun ekonomi.
3. Constructive role dalam merumuskan kebutuhan rakyat dalam konteks sosial.
Istilah partisipasi sekarang ini menjadi kata kunci dalam setiap program
pengembangan masyarakat dimana-mana, seolah-olah menjadi lebel baru yang harus
melekat pada setiap rumusan kebijakan dan proposal proyek. Dalam perkembangannya
seringkali diucapkan dan ditulis berulang-ulang tetapi kurang dipraktekkan, sehingga
cenderung kehilangan makna. Partisipasi sepadan dengan arti peranserta, ikutserta,
keterlibatan, atau proses belajar bersama saling memahami, menganalisis, merencanakan dan
melakukan tindakan oleh sejumlah anggota masyarakat.
Istilah Partisipasi menurut Mikkelsen biasanya digunakan di masyarakat dalam
berbagai makna umum, diantaranya: (2005, 53-54)
1. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat dalam suatu proyek
(pembangunan), tetapi tanpa mereka ikut terlibat dalam proses pengambilan
keputusan.
2. Partisipasi adalah proses membuat masyarakat menjadi lebih peka dalam
rangka menerima dan merespons berbagai proyek pembangunan.
3. Partisipasi adalah suatu proses aktif, yang bermakna bahwa orang ataupun
kelompok yang sedang ditanyakan mengambil inisiatif dan mempunyai
otonomi untuk melakukan hal itu.
4. Partisipasi adalah proses menjembatani dialog antara komunitas lokal dan
pihak penyelenggara proyek dalam rangka persiapan, pengimplementasian,
pemantauan dan pengevaluasian staf agar dapat memperoleh informasi tentang
konteks sosial maupun dampak sosial proyek terhadap masyarakat.
tidak disadari akan menggangu kesatuan teritorial negara, memperkuat gejala penyempitan
wawasan kebangsaan, dan memperkuat penyalahgunaan kekuasaan di tingkat bawah.
Di negara kita, persoalan yang muncul secara tidak diduga akibat kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah adalah terkait dengan:
1. Respon berlebihan terhadap batasan dan lingkup kewenangan tugas yang
diserahkan ke daerah otonom tanpa diimbangi dengan kapasitas yang memadai,
2. Dampak negatif dari luasnya kekuasaan DPRD dalam pengawasan, pemilihan dan
pengangkatan kepala daerah, pengesahan anggaran dan belanja daerah,
pemerintahan. Peranan ini dapat efektif bila pejabat atau pemimpin politis
mendelegasikan kekuasaan pada perencana.
2. Penggerak (Mobilizer), dalam pengertian perencana menjadi pihak yang
memberikan inspirasi, dorongan, maupun pewacanaan dan himbauan pada
masyarakat dalam konteks-konteks tertentu yang terkait dengan kepentingan
implementasi maupun penyusunan rencana.
3. Perantara (moderator), dimana perencana berperan sebagai perantara antara pihakpihak yang terlibat (stakeholders) untuk mulai menggulirkan proses perencanaan
dan pelaksanaannya. Kemampuan teknis perencana perlu diiringi kemampuan
politis dan berkomunikasi.
4. Enterpreneur, peranan ini diperlukan untuk menggalang dana bagi pelaksanaan
rencana yang telah disusun. Selain dana perencana perlu pula menggalang
dukungan politis dan administratif.
5. Advokasi, dalam pengertian perencana berperan untuk menyuarakan kepentingan
kelompok-kelompok tertentu yang diwakilinya, penghuni suatu lingkungan,
kelompok miskin, organisasi-organisasi, lembaga konsumen atau perusahaan.
Peranan lain yang penting juga bagi para perencana adalah membantu dalam
proses pengambilan keputusan dan pengembangan kebijakan. Walaupun dalam hal
ini perencana bukan pemegang peran utama namun memegang peranan kunci
sebagai fasilitator.
Semua peranan ini merupakan peranan-peranan yang memang seharusnya dijalankan
oleh para perencana. Akan tetapi, proporsi dari pelaksanaan peran inilah yang selalu
bervariasi dalam berbagai konteks ruang dan waktu, dalam dimensi pergerakan sosio-kultural
masyarakat yang selalu dinamis. Dan untuk saat ini, dimana iklim partisipatif mulai
berhembus dengan kuat, pendekatan positivisme yang diambil para perencana seperti yang
selama ini dijalankan pada masa orde baru menjadi tidak relevan lagi.
Masyarakat mulai menyadari peran mereka, atau setidaknya mereka mulai sadar
bahwa hal-hal yang digariskan oleh seorang perencana pada sebuah produk rencana akan
mempengaruhi kehidupan mereka di masa depan. Meskipun begitu, transisi ini tidak selalu
berjalan dengan mulus. Kontrol masyarakat atas penyusunan sebuah rencana masih sangat
kurang, sejalan dengan minimnya informasi akan proses penyusunan rencana tersebut.
Ditambah lagi, ternyata faktor internal perencana juga seakan menjadi duri dalam daging.
Perencana berperan aktif dalam proses kolaboratif tersebut untuk mencapai keadaan
yang stabil. Perencana sebagai Katalisator perubahan. Perencana mempunyai peran yang
sangat penting dalam proses pemberdayaan masyarakat, sehingga tidak lagi terlelap oleh
slogan demokratisasi dan partisipasi semu.
Perencana mempunyai peran sangat besar sebagai katalisator perubahan dan
menunjukkan arah yang benar dalam proses transformasi. Kemampuan perencana sebagai
katalisator akan meredam konflik dan memberikan pencerahan pada masyarakat. Perencana
harus mampu menghubungkan keinginan masyarakat dengan keinginan pemerintah untuk
mencari legitimasi, tanpa dirinya sendiri larut terlalu jauh dalam proses tersebut. Involve but
not disolve adalah kata yang tepat untuk menunjukkan peran perencana sebagai katalisator
perubahan.
Dari pembagian dua peran besar tersebut, dapat kita sarikan bahwa inti peranan
perencana dalam era perencanaan partisipatif ini adalah mengupayakan pemberdayaan dan
pembelajaran masyarakat untuk membawa perubahan sosio kultural ke arah yang kondusif
untuk melaksanakan suatu perencanaan yang partisipatif. Pengertian kondisi sosio kultural
yang kondusif dalam hal ini tidak lain adalah kondisi dimana masyarakat dengan
kesadarannya sendiri mampu berinisiatif untuk terlibat aktif dalam proses perencanaan yang
memang dirinya menjadi stakeholders didalamnya.
Peranan perencana ini tak pelak membutuhkan kemampuan lebih dari pihak
perencana dalam hal politik, birokrasi, dan keahlian komunikasi. Peran sebagai manager
mengharuskan perencana mempunyai kemampuan tidak hanya teknis birokratis, tetapi
kemampuan komunikasi yang prima untuk meyakinkan orang yang berhubungan dengan
dirinya (Forester, 1987).
DAFTAR PUSTAKA
ULLYA VIDRIZA
1520512004
Dosen : Prof. Dr. Ir. Melinda Noer, M.Sc.
PENDAHULUAN
Masalah pembangunan merupakan masalah yang kompleks. Kompleksitas itu
misalnya dari sisi manajemen berarti perlu dilakukan perencanaan, pelaksanaan, monitoring
dan evaluasi. Dari sisi bidang yang yang harus dibangun juga memiliki aspek kehidupan yang
sangat luas. Aspek kehidupan itu mencakup kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya
serta pertahanan dan keamanan.
Dalam manajemen pemerintahan yang otoriter yang sentralistis, dalam realitas
masyarakat lebih diposisikan sebagai obyek pembangunan. Ketika kini pemerintahan yang
demokratis yang hendak dikembangkan, maka ada perubahan posisi masyarakat yang semula
lebih diposisikan sebagai obyek pembangunan menjadi subyek pembangunan.
Memposisikan masyarakat sebagai subyek dalam pembangunan agar bersifat efektif
perlu dicarikan berbagai alternatif strategi pemberdayaan masyarakat. Pilihan strategi yang
tepat diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat. Makalah ini
lebih memfokuskan pada paparan tawaran berbagai strategi pemberdayaan masyarakat.
KONSEP PEMBERDAYAAN
Pemberdayaan berasal dari kata daya yang mendapat awalan ber- yang menjadi kata
berdaya artinya memiliki atau mempunyai daya. Daya artinya kekuatan, erdaya artinya
memiliki kekuatan. Pemberdayaan artinya membuat sesuatu menjadi berdaya atau
mempunyai daya atau mempunyai kekuatan. Pemberdayaan dalam bahasa Indonesia
merupakan terjemahan dari empowerment dalam bahasa inggris.
Pemberdayaan sebagai terjemahan dari empowerment menurut Merrian Webster
dalam Oxford English Dicteonary mengandung dua pengertian :
a.
pengambilan keputusan dan juga untuk memperoleh persetujuan pasif kelompok ini untuk
situasi ini. Power merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari interaksi sosial. Kekuasaan
adalah fitur yang tidak terpisahkan dari kehidupan sosial. Hal ini selalu menjadi bagian dari
hubungan, dan tanda-tanda yang dapat dilihat bahkan pada tingkat interaksi mikro (Sadan,
1997).
2. Teori Sistem (The Social System)
Talcott Parsons (1991) melahirkan teori fungsional tentang perubahan. Seperti para
pendahulunya, Parsons juga menganalogikan perubahan sosial pada masyarakat seperti
halnya pertumbuhan pada mahkluk hidup. Komponen utama pemikiran Parsons adalah
adanya proses diferensiasi. Parsons berasumsi bahwa setiap masyarakat tersusun dari
sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan makna
fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika masyarakat berubah, umumnya
masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi
permasalahan hidupnya. Dapat dikatakan Parsons termasuk dalam golongan yang
memandang optimis sebuah proses perubahan.
3. Teori Ekologi (Kelangsungan Organisasi)
Menurut Lubis dan Husaini (1987) bahwa teori organisasi adalah sekumpulan ilmu
pengetahuan yang membicarakan mekanisma kerjasama dua orang atau lebih secara
sistematis untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Teori organisasi merupakan sebuah
teori untuk mempelajari kerjasama pada setiap individu. Hakekat kelompok dalam individu
untuk mencapai tujuan beserta cara-cara yang ditempuh dengan menggunakan teori yang
dapat menerangkan tingkah laku, terutama motivasi individu dalam proses kerjasama. Pada
teori ekologi, membahas tentang organisasi sebagai wadah untuk sekumpulan masyarakat
dengan tujuan yang sama agar tertatur, jelas, dan kuat. Orientasi organisasi mengacu pada
sekumpulan orang/massa yang harus dimiliki kelompok untuk dapat memiliki power/daya.
Kelompok yang memiliki organisasi dengan kuat dan berkelanjutan maka kelompok ini
dikatakan berdaya.
4. Teori Konflik
Pandangan teori konflik mengacu pada dua aspek, yang pertama tentang
ekonomi/uang yaitu berkaitan dengan modal sebagai sarana untuk kelompok dapat dikatakan
berdaya dan mandiri. Aspek kedua menyangkut tentang organisasi, apbila kelompok dapat
memanajemen konflik dengan baik, maka keutuhan dan kekuatan organisasi/ kelompok orang
akan terus kuat dan lestari sehingga mereka akan memiliki daya dari sisi finansial dan sisi
keanggotaan massa (Chalid, 2005).
5. Teori Mobilisasi Sumberdaya
Jasper, (2010) menyatakan gerakan sosial terdiri dari individu-individu dan interaksi
di antara anggota suatu masyarakat. Pendekatan pilihan rasional (rational choice) menyadari
akan hal ini, tetapi versi mereka memperhitungkan individu sebagai yang abstrak untuk
menjadi realistis. Pragmatisme, feminisme, dan yang terkait dengan berbagai tradisi yang
mendorong lahirnya studi tentang aksi-aksi individu (individual action) dan aksiaksi kolektif
(collective action) sejak tahun 1960-an, yakni penelitian tentang perlawanan (social
resistence), gerakan sosial (social movement) dan tindakan kolektif (collective behavior)
berkembang di bawah inspirasi dari teori-teori besar tersebut.
Jika dilihat dari proses operasionalisasinya, maka ide pemberdayaan memiliki dua
kecenderungan, antara lain :
1. Kecenderungan primer, yaitu kecenderungan proses yang memberikan atau
mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan (power) kepada
masyarakat atau individu menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi pula
dengan upaya membangun asset material guna mendukung pembangunan
kemandirian mereka melalui organisasi.
2. Kecenderungan sekunder, yaitu kecenderungan yang menekankan pada proses
memberikan stimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai
kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan
hidupnya melalui proses dialog. Dua kecenderungan tersebut memberikan (pada
titik ekstrem) seolah berseberangan, namun seringkali untuk mewujudkan
kecenderungan primer harus melalui kecenderungan sekunder terlebih dahulu
(Sumodiningrat, Gunawan, 1999).
Pemberdayaan sebagai proses mengembangkan, memandirikan, menswadayakan,
memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan
penekan di segala bidang dan sektor kehidupan (Sutoro Eko, 2002).
Konsep pemberdayaan (masyarakat desa) dapat dipahami juga dengan dua cara
pandang. Pertama, pemberdayaan dimaknai dalam konteks menempatkan posisi berdiri
masyarakat. Posisi masyarakat bukanlah obyek penerima manfaat (beneficiaries) yang
tergantung pada pemberian dari pihak luar seperti pemerintah, melainkan dalam posisi
sebagai subyek (agen atau partisipan yang bertindak) yang berbuat secara mandiri. Berbuat
secara mandiri bukan berarti lepas dari tanggungjawab negara.
Pemberian layanan publik (kesehatan, pendidikan, perumahan, transportasi dan
seterusnya) kepada masyarakat tentu merupakan tugas (kewajiban) negara secara given.
Masyarakat yang mandiri sebagai partisipan berarti terbukanya ruang dan kapasitas
mengembangkan potensi-kreasi, mengontrol lingkungan dan sumberdayanya sendiri,
menyelesaikan masalah secara mandiri, dan ikut menentukan proses politik di ranah negara.
Masyarakat ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan dan pemerintahan (Sutoro Eko,
2002).
Permendagri RI Nomor 7 Tahhun 2007 tentang Kader Pemberdayaan Masyarakat,
dinyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah suatu strategi yang digunakan dalam
pembangunan masyarakat sebagai upaya untuk mewujudkan kemampuan dan kemandirian
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Pasal 1 , ayat (8) ). Inti pengertian
pemberdayaan masyarakat merupakan strategi untuk mewujudkan kemampuan dan
kemandirian masyarakat.
Tujuan Dan Strategi Cara Pemberdayaan Masyarakat
Tujuan pemberdayaan masyarakat adalah memampukan dan memandirikan
masyarakat terutama dari kemiskinan dan keterbelakangan/kesenjangan/ketidakberdayaan.
Kemiskinan dapat dilihat dari indikator pemenuhan kebutuhan dasar yang belum
mencukupi/layak. Kebutuhan dasar itu, mencakup pangan, pakaian, papan, kesehatan,
pendidikan, dan transportasi. Sedangkan keterbelakangan, misalnya produktivitas yang
rendah, sumberdaya manusia yang lemah, terbatasnya akses pada tanah padahal
ketergantungan pada sektor pertanian masih sangat kuat, melemahnya pasar-pasar
lokal/tradisional karena dipergunakan untuk memasok kebutuhan perdagangan internasional.
Dengan perkataan lain masalah keterbelakangan menyangkut struktural (kebijakan) dan
kultural (Sunyoto Usman, 2004).
Bagaimana strategi atau kegiatan yang dapat diupayakan untuk mencapai tujuan
pemberdayaan masyarakat ?. Ada beberapa strategi yang dapat menjadi pertimbangan untuk
dipilih dan kemudian diterapkan dalam pemberdayaan masyarakat.
1. Menciptakan
iklim,
memperkuat
daya,
dan
melindungi.
Dalam
upaya
modern,
seperti
kerja
keras,
hemat,
keterbukaan,
dan
masyarakat
amat
erat
kaitannya
dengan
pemantapan,
dicegah
yang
lemah
menjadi
bertambah
lemah,
oleh
karena
Pendahuluan
Dalam pengertiannya bahwa Pemerintah adalah merupakan salah satu unsur dari tiga
unsur berdirinya sebuah negara disamping rakyat dan wilayah. Selanjutnya unsur pemerintah
merupakan sebuah kekuasaan (power) untuk menjalankan pemerintahan dengan melayani
kepentingan rakyat serta bertugas/berhak menjalankan roda pemerintahan dengan peraturan
perundangan serta peraturan lainnya untuk mengatur rakyat dengan tujuan tercapainya
kesejahteraan rakyat itu sendiri. Kekuasaan yang diberikan tersebut merupakan tugas untuk
mengatur dan pelaksanaan ketertiban dan keamanan dalam masyarakat serta melakukan
pungutan pajak dan retribusi serta mengatur jalannya perekonomian dalam sebuah Negara.
Dipihak lain rakyat selama ini diartikan sebagai orang yang diperintah mempunyai
hak dan kewajiban tertentu sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh pemerintah dan
legislatif. Disini tampak perbedaan antara pemerintah disuatu sisi dan rakyat disisi lainnya.
Dalam pengertian tersebut pemerintah mempunyai kedudukan lebih dominant dibanding
rakyatnya sendiri.
Pengertian istilah Good adalah Pertama; merupakan nilai-nilai yang sesuai keinginan
rakyat atau nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam mencapai tujuan
nasional : kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial. Kedua; aspek-aspek
fungsional dari pemerintah yang efektif dalam pelaksanakaan tugas untuk mencapai tujuan.
Mustopadidjaja (2000) berpandangan bahwa kridibilitas manajemen Pemerintahan
pada negara-negara Demokratis Konstritusional dimasa mendatang akan lebih banyak
ditentukan oleh kompetensinya dalam pengelolaan kebijakan publik. Peran pemerintah
melalui kebijakan-kebijakan publiknya sangat penting dalam memfasilitasi terjadinya
mekanisme pasar yang benar sehingga penyimpangan penyimpangan terjadi di dalam pasar
dapat dihindari. Oleh karena itu, upaya-upaya perwujudan kearah Good Governance dapat
dimulai dengan membangun landasan demokratisasi penyelenggaraan Negara dan bersamaan
dengan itu dilakukan upaya pembenahan terhadap penyelenggaraan pemerintahan.
Tjokroamidjojo, MA (2000: 34), yang mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:
Governance artinya: memerintah menguasai mengurus mengelola. Jadi mengandung
banyak arti. Dalam kaitan ini pada Pidato Presiden tanggal 16 Agustus 2000, istilah
governance , diterjemahkan sebagai pengelolaan. Memang demikianlah dalam ilmu
pengetahuan sosial, suatu istilah bisa mengandung arti bermacam-macam, dan terkadang
digunakan silih berganti, tergantung persoalan, kaitan dan kepentingan penggunaannya serta
dalam situasi/kondisi yang dipandang sesuai saat itu.
OECD dan World Bank mensinonimkan Good Governance dengan penyelenggaraan
manajemen yang solid dan bertanggung jawab, sejalan dengan demokrasi dan pasar yang
efisien, penghindaran salah alokasi investasi, menghindarkan korupsi/KKN baik secara
politik maupun administrasi, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaaan legal and
plotical framework bagi tumbuhnya wiraswasta.
Menurut UNDP tentang definisi Good Governance adalah sebagai hubungan yang
sinergis dan konstruktif diantara Negara, sektor swasta dan masyarakat, dalam prinsipprinsip; partisipasi, supremasi hukum, transparansi, cepat tanggap, membangun konsesus,
kesetaraan, efektif dan efisien, bertanggungjawab serta visi stratejik.
Menurut AKIP (LAN & BPKP, 2000) bahwa proses penyelenggaraan kekuasaan
Negara dalam menyediakan Public Good and Sevices di sebut Governance (pemerintah atau
kepemerintahan), sedang praktek terbaiknya disebut Good Governance (kepemerintahan yang
baik). Dituntut dalam pelaksanaan yaitu; Koordinasi (aligment) yang baik dan Integrasi,
Profesionalisme serta Etos Kerja dan Moral yang tinggi. Mewujudkan pemerintah yang baik
diperlukan komitmen dari semua pihak (pemerintah dan masyarakat). SedangkanWujud
Kepemerintahan Yang Baik (Good Governance) adalah Penyelenggaraan Negara yang solid
dan bertanggung jawab dan efektif dan efisien dengan mensinergikan interaksi yang
konstruktif diantara domein domein Negara.
Beberapa hal dalam memahami konsep Good Governance yang dipandang penting
diantaranya adalah bahwa arti Good dalam kata Good Governance mengadung dua
pengertian.
Pertama : Adanya nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat dan
nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam mencapai (1) tujuan
(nasional); (2) kemandirian; (3) pembangunan berkelanjutan; (4) keadilan sosial.
Kedua : Aspek-aspek yang berkenaan dengan fungsi- fungsi/tugas dari pemerintahan
yang tepat dalam pelaksanaan pencapaian tujuan-tujuan tersebut di atas.
DAFTAR PUSTAKA
Chalid, Pheni. 2005. Otonomi Daerah Masalah, Pemberdayaan dan Konflik. Penebar
Swadaya. Cetakan pertama. Jakarta.
Friedman, John, 1992. Empowerment The Politics of Alternative Development. Blackwell
Publishers, Cambridge, USA.
Ife, J.W., 1995. Community Development: Creating Community Alternatives-vision,
Analysiis and Practice. Melbourne : Longman.
Jasper, James, M. 2010. Social Movement Theory Today: Toward a Theory of Action?.
Sociology Compas 4/11 (2010). New York: Graduate Center of the City University of
New York.
LAN-BPKP, 2000, Akuntabilitas dan Good Governance, Jakarta.
Lubis, Hari & Huseini, Martani. 1987. Teori Organisasi; Suatu Pendekatan Makro. Pusat
Antar Ilmu-ilmu Sosial UI: Jakarta.
Mustopadidjaja, AR, dan Desi Fernanda, (2000), Manajemen Pembangunan Nasional:
Kebijakan, Perencanaan, Pelaksanaan dan Pengawasan, makalah disampaikan pada
Suskomsos TNI-TA 1999/2000, SESKO TNI, LAN-RI, bandung, 28 Februari 2000.
Pearsons, Talcot. 1991. The Social System. Routledge is an imprint of Taylor & Francis, an
informa company.
Sadan, Elisheva. 1997. Empowerment and Community Planning: Theory and Practice of
People-Focused Social Solutions. Tel Aviv: Hakibbutz Hameuchad Publishers.in
Hebrew. [e-book].
Sumodiningrat, G. (1999). Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial Jakarta:
Gramedia.
Sunyoto Usman,2004, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Sutoro Eko, 2002, Pemberdayaan Masyarakat Desa, Materi Diklat Pemberdayaan Masyarakat
Desa, yang diselenggarakan Badan Diklat Provinsi Kaltim, Samarinda, Desember
2002.