1
1.1 Latar Belakang
Proses pembangunan pada dasarnya bukanlah sekedar fenomena ekonomi semata. Selain
mempertimbangkan aspek pertumbuhan dan pemerataan, juga mempertimbangkan aspek
ekonomi terhadap kehidupan sosial semata. Lebih dari itu, dalam proses pembangunan
dilakukan upaya yang bertujuan untuk mengubah struktur perekonomian ke arah yang lebih
baik (Kuncoro,2000). Dalam pembangunan suatu negara tidak terlepas dari pembangunan
daerah secara merata sebagaimana pendapat menurut Lincoln Arsyad (2010) yang
menyebutkan bahwa pembangunan ekonomi daerah merupakan proses dimana pemerintah
daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk pola kemitraan antara
pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan pekerjaan baru
danmerangsang perkembangan kegiatan ekonomi. Namun dalam proses keberlangsungan
pembangunan suatu daerah pastinya terdapat permasalahan pokok yang mengakibatkan
adanya kesenjangan ekonomi antar daerah/wilayah karena kemampuan suatu daerah/wilayah
dalam mendorong proses pembangunan tidaklah sama.
Kuncoro (2002) menyebutkan salah satu kriteria pembagian daerah dalam ketimpangan
wilayah yaitu daerah relatif tertinggal (low growth and low income) yang merupakan daerah
dengan tingkat pertumbuhan dan pendapatan perkapita yang lebih rendah dibanding rata-rata
kabupaten. Disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2014 Pasal 1 Ayat 3
tentang Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal menyebutkan bahwa daerah/wilayah
tertinggal merupakan daerah kabupaten yang wilayah sertamasyarakatnya kurang berkembang
dibandingkan dengan daerah lain dalam skala nasional. Mengatasi permasalahan kesenjangan
tersebut pemerintah mengeluarkan kebijakan otonomi daerah yang diberlakukan sejak tahun
2001 untuk mewujudkan kemandirian daerah dalam membiayai dan melaksanakan
pembangunannya. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juga menjelaskan mengenai
kewenangan pemerintah daerah mencakup kewenangan dalam hal pemerintahan, pengelolaan
sumberdaya nasional wilayahnya dan bertanggung jawab melaksanakan serta memelihara
keselestarian lingkungannya.
Teori basis ekonomi yang dikemukakan oleh Harry W. Richardson menyatakan bahwa
faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung
dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah (Arsyad 1999:116). Sehingga dalam
memacu pertumbuhan suatu wilayah atau negara sangat tergantung dari keunggulan atau daya
2
saing sektor-sektor ekonomi wilayahnya. Rustiadi dkk (2011;179) menyatakan bahwa dalam
suatu daerah, sektor ekonomi dibagi menjadi 2 (dua) sektor yaitu sektor basis dan sektor non
basis dimana perbedaannya terletak pada kelebihan dan kekurangan dalam proses pemenuhan
kebutuhan yang menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah.
Sektor basis yang menjadi penentu utama dalam memicu pertumbuhan perekonomian
suatu wilayah atau negara, juga terdapat keunggulan kompetitif yang dimiliki setiap sektor.
Hal ini dijelaskan dalam teori daya saing yang merupakan salah satu kriteria untuk menentukan
keberhasilan dan pencapaian sebuah tujuan yang lebih baik dalam peningkatan pendapatan dan
pertumbuhan ekonomi (Porter, 1990 dalam Abdullah, 2002). Pendekatan yang sering
digunakan untuk mengukur daya saing salah satu indikatornya yaitu keunggulan kompetitif,
yang merupakan kemampuan suatu daerah untuk memasarkan produknya ke luar daerahnya.
Sehingga pendapatan wilayah tersebut selain diperoleh dari wilayahnya juga diperoleh dari
wilayah lainnya (Tarigan, 2002). Dalam mendorong pertumbuhan sektor-sektor tersebut
dibutuhkan perencanaan yang baik sebagaimana dijelaskan oleh Tarigan (2007) yang
menyebutkan dalam perencanaan wilayah harus memiliki kemampuan untuk menganalisis
potensi ekonomi suatu wilayah yang selanjutnya digunakan untuk menentukan sektor-sektor
riil yang memiliki keunggulan yang lebih baik untuk dikembangkan. Salah satu indikator
kesejahteraan suatu wilayah dapat dilihat dari tingkat PDRB suatu wilayah tersebut. Menurut
Tarigan (2007;46), pendapatan wilayah menggambarkan balas jasa bagi faktor-faktor produksi
yang beroperasi di daerah tersebut (tanah, modal, tenaga kerja dan teknologi), yang secara
kasar menggambarkan kemakmuran daerah tersebut.
Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu penyumbang penerimaan pendapatan negara
terbesar yang didukung oleh melimpahnya sumber daya alam yang ada serta sektor-sektor
ekonomi lainnya yang berpengaruh terhadap kemajuan pembangunan di Provinsi Jawa Timur.
Namun hal tersebut masih belum didukung dengan pemerataan pembangunan di setiap
kabupaten Provinsi Jawa Timur. Sehingga Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal tahun
2014 menetapkan bahwa Provinsi Jawa Timur memiliki 4 (empat) kabupaten yang dianggap
tertinggal antara lain yaitu kabupatenBondowoso, kabupaten Situbondo, kabupaten Sampang
dan Kabupaten Bangkalan.
Dari latar belakang di atas, maka dibutuhkan perencanaan untuk dan tata kelola wilayah
Kabupaten Situbondo yang telah direncanakan oleh pemerintah setempat sebagai bagian
3
integral dari (RPJMD) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Derah. Perencanaan dan Tata
Kelola Wilayah Kabupaten Situbondo berdasarkan tingkat operasionalisasinya dalam konteks
bentuk perencanaan menggunakan strategic planning menyangkut strategi Pembangunan
analisis dan evaluasi terhadap tujuan dan sasaran alternatif tertentu, sehingga desain tata kota
yang kemudian dirancangbangun oleh pemerintah setempat menggunakan model feature base-
construction, mengedepankan Pembangunan modern. Salah satu sektor yang akan dibangun di
Kabupaten Situbondo adalah sarana dan prasana lingkungan untuk meningkatkan
perekonomian di setiap wilayah tertinggal yang ada di Provinsi Jawa Timur.
1.2 Rumusan Masalah
4
KONSEP DAN TEORI
Kabupaten Situbondo merupakan salah satu kabupaten di Jawa Timur yang cukup dikenal dengan
sebutan Daerah Wisata Pasir Putih yang terletak di posisi antara 7° 35' – 7° 44' Lintang Selatan
dan 113° 30' – 114° 42' Bujur Timur.
Menurut Muhi (2011) salah satu penyebab daerah pedesaan masih terisolasi atau tertinggal
adalah masih minimnya prasarana dan sarana transportasi yang membuka akses daerah pedesaan
dengan daerah lainnya. Kondisi prasarana dan sarana transportasi yang minim berkontribusi
terhadap keterbelakangan ekonomi daerah pedesaan. Menurut Lubis (2009) keterbatasan prasarana
dan sarana komunikasi, transportasi air bersih, irigasi, kesehatan, pendidikan, dan pelayanan
5
lainnya yang menyebabkan masyarakat di daerah tertinggal tersebut mengalami kesulitan untuk
melakukan aktivitas ekonomi dan sosial. Puspasari dan Koswara (2016) menyatakan lebih lanjut
bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ketertinggalan adalah :
a. Aspek Sosial, faktor kualitas sumber daya manusia terdiri-dari variabel tingkat pendidikan, rasio
ketergantungan penduduk, dan jumlah tenaga kerja.
b. Aspek Ekonomi, faktor kondisi perekonomian masyarakat terdiri dari variabel mata pencaharian
penduduk bukan buruh tani, dan kemiskinan.
c. Aspek Infrastruktur, faktor infrastruktur sosial terdiri-dari variabel tingkat kecukupan sarana
pendidikan, tingkat kecukupan sarana kesehatan, jumlah tenaga kesehatan, dan kondisi
perumahan. Faktor infrastruktur ekonomi terdiri-dari jarak dari pusat desa ke pusat kecamatan,
kondisi jalan baik/buruk, tingkat ketersediaan sarana perdagangan, tingkat ketersediaan prasarana
listrik, dan tingkat ketersediaan prasarana air bersih.
6
mengejar ketertinggalan pembangunannya dari daerah lain yang sudah relatif lebih maju
(Anonimous, 2010).
Menurut Syahza dan Suarman (2013), pembangunan pedesaan harus dilakukan dengan
pendekatan yang sesuai dengan sifat dan cirinya. Pembangunan pedesaan harus mengikuti empat
upaya besar, satu sama lain saling berkaitan dan merupakan strategi pokok pembangunan
pedesaan, yaitu: Pertama, memberdayakan ekonomi masyarakat desa. Dalam upaya ini diperlukan
masukan modal dan bimbingan-bimbingan pemanfaatan teknologi dan pemasaran untuk
memampukan dan memandirikan masyarakat desa; Kedua, meningkatkan kualitas sumberdaya
manusia pedesaan agar memiliki dasar yang memadai untuk meningkatkan dan memperkuat
produktivitas dan daya saing; Ketiga, pembangunan prasarana di pedesaan. Untuk daerah pedesaan
prasarana perhubungan merupakan kebutuhan yang mutlak, karena prasarana perhubungan akan
memacu ketertinggalan masyarakat pedesaan; dan keempat, membangun kelembagaan pedesaan
baik yang bersifat formal maupun nonformal. Kelembagaan yang dibutuhkan oleh pedesaan adalah
terciptanya pelayanan yang baik terutama untuk memacu perekonomian pedesaan seperti lembaga
keuangan. Menurut Badri (2016) Pembangunan masyarakat dan pengembangan wilayah pedesaan
melibatkan berbagai faktorfaktor sosial, ekonomi, budaya dan teknologi, yang satu sama lain
saling berinteraksi dalam proses pembangunan.
7
Bantuan pembangunan infrastruktur merupakan bantuan yang paling besar diberikan untuk
daerah tertinggal. Bantuan Pembangunan infrastruktur daerah tertinggal melalui penyediaan
sarana dan prasarana transportasi, informasi dan telekomunikasi, sosial, ekonomi dan energi
diharapkan menjadi stimulan kegiatan utama perekonomian. Percepatan pembangunan
infrastruktur daerah tertinggal sangat diperlukan untuk mengurangi ketimpangan pembangunan
dengan daerah non tertinggal. Bantuan infrastruktur ekonomi seperti pembangunan jaringan jalan,
transportasi, listrik, berkontribusi terhadap output kedaerahan, pendapatan dan pertumbuhan
lapangan kerja, serta meningkatkan kualitas hidup. Pengeluaran di bidang infrastruktur
berpengaruh secara positif terhadap kinerja makro ekonomi karena kenaikan biaya pengeluaran di
bidang infrastruktur mengurangi biaya produksi perusahaan, menstimulasi investasi, produktivitas
dan pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini pemerintah tidak menciptakan lapangan kerja secara
langsung namun membantu menciptakan suasana kondusif dalam investasif (Putra dkk, 2015).
Menurut Soleh (2017) ada beberapa langkah yang perlu dilakukan agar pelaksanaan
pengembangan potensi desa bisa berjalan lancar, efektif dan efisien sesuai dengan potensi yang
ada dan kebutuhan masyarakat. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
a. Melakukan pendataan dan kajian awal terhadap data potensi yang tersedia untuk
menentukan obyek-obyek yang bisa dikembangkan.
b. Melakukan survei lapangan untuk mengumpulkan data-data yang akan dijadikan bahan
dalam memetakan potensi dan masalah serta fasilitasifasilitasi yang akan diimplementasikan.
c. Melakukan pengkajian melalui tabulasi dan analisis terhadap data yang terkumpul
dengan menggunakan metoda analisis yang telah ditetapkan.
8
Analisis Permasalahan
9
mayoritas masyarakatnya memiliki mata pencaharian sebagai petani sehingga sangat mendukung
produksi hasil pertanian untuk memenuhi kebutuhan daerah lokal bahkan dapat mengekspor ke
luar daerah serta memiliki kekuatan bersaing dengan hasil pertanian wilayah-wilayah lainnya. Hal
tersebut menunjukkan bahwa sektor pertanian menjadi sektor yang mendominasi terhadap
pertumbuhan PDRB di setiap wilayah tertinggal Provinsi Jawa Timur, sehingga dibutuhkan
kebijakan ekonomi wilayah yang mendukung dalam meningkatkan kebutuhan sektor tersebut
seperti kebijakan dalam hal distribusi hasil pertanian, perluasan lahan pertanian, perbaikan sarana
prasarana yang menunjang sektor pertanian dan juga peningkatan kualitas SDM dari para petani
melaui kelompok tani. Namun, dari hasil tersebut juga menunjukkan bahwa implikasi dari
ketertinggalan di setiap wilayah tertinggal karena masih banyaknya sektor-sektor ekonomi yang
masih belum berkembang di setiap wilayah tertinggal, sehingga dibutuhkan juga prioritas
pembangunan terhadap instrumen-instrumen dalam menunjang sektor yang belum berkembang
agar nantinya seluruh sektor mampu meningkat dan bersaing dengan sektor lainnya seperti
mengembangkan perekonomian lokal melalui pemanfaatan sumber daya lokal dan pemberdayaan
masyarakat melalui peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan pendidikan dan kesehatan,
penciptaan lapangan kerja dan kemampuan memanfaatkan dan mengelola pasar.
Sejalan dengan pengembangan ekonomi Indonesia yang bertumpu kepada ekonomi kerakyatan,
maka pemerintah kabupaten/kota melakukan pembangunan ekonomi harus berbasis kerakyatan.
Pembangunan ekonomi terutama di pedesaan dalam rangka mengangkat marwah, derajat, harkat,
martabat masyarakat pedesaan sebagai upaya mewujudkan program pengetasan kemiskinan,
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia pedesaan dan pembangunan infrastruktur sebagai
penunjang mobilitas barang dan penduduk desa-kota. Dalam upaya memacu pembangunan dari
sisi aspek ekonomi dan sosial di daerah tertinggal, maka program pembangunan pedesaan harus
memprioritaskan ketiga aspek tersebut.
10
nilai kemanusiaannya sehingga dalam kehidupannya kurang bermarwah. Khusus untuk daerah
tertinggal pemilikan aset produktif seperti lahan sangat tidak adil, hal ini menyebabkan terjadi
ketimpangan pendapatan bagi masyarakat pedesaan. Dari hasil pengamatan terlihat penguasaan
asset produktif (lahan) di pedesaan lebih banyak dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar dan
orang kota. Dampak dari semuanya ini terhadap mekanisme pasar yang dipengaruhi secara
signifikan oleh aspek permodalan dan kebijakan yang kurang berpihak kepada masyarakat miskin.
Masyarakat lebih banyak berhadapan dengan pasar yang bersifat monopsoni.
11
Solusi Kebijakan Pembangunan Daerah Tertinggal di Kabupaten Situbondo
Pembinaan terhadap kelembagaan ekonomi masyarakat di daerah tertinggal, seperti koperasi,
usaha kecil dan menengah serta usaha mikro lainnya, harus dikembangkan guna terwujudnya
struktur perekonomian yang kuat dengan didukung oleh ekonomi rakyat yang tangguh. Untuk
mendukung mengembangkan perekonomian daerah yang berbasis kerakyatan, dibutuhkan
dukungan kebijakan dalam bentuk:
1) memberikan kepada masyarakat untuk berperan aktif dalam proses pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat, serta perubahan struktur masyarakat dengan pengembangan
perencanaan pembangunan yang komprehensif/partisipatif, demokratis, aspiratif dan transparan;
2) melakukan restrukturisasi dan redistribusi kepemilikan asset produktif kepada masyarakat
pedesaan dengan memakai standar skala ekonomi keluarga sejahtera (3 ha/KK);
3) melakukan optimalisasi peran dan fungsi seluruh perusahaan agribisnis dan forestry (dengan
Peraturan Daerah) sebagai investor di pedesaan untuk melakukan reinvestasi melalui kemitraan
pola perusahaan patungan bersama pemerintah dan masyarakat pedesaan dalam membangun
sistem perekonomian pedesaan;
4) mengembangkan usaha kecil, menengah, koperasi dan usaha mikro lainnya dengan cara
peningkatan dan pengembangan keterkaitan dan kemitraan usaha yang saling menguntungkan dan
saling membutuhkan:
6) meningkatkan upaya pembangunan infrastruktur terutama perhubungan darat, laut dan udara
untuk meningkatkan aksesibilitas dan kelancaran lalu lintas orang dan barang;
7) mendorong upaya peningkatan nilai tambah (value added) sebagai produk pertanian yang
dihasilkan oleh petani di pedesaan melalui sistem agribisnis dan agroindustri yang menekankan
pada upaya pengembangan berbagai industri turunan;
12
8) memberdayakan lembaga dan organisasi ekonomi masyarakat di pedesaan sebagai wadah
pengembangan kegiatan usaha produktif dan memberdayakan masyarakat miskin serta mendorong
berkembangnya lembaga-lembaga keuangan mikro dalam rangka mendekatkan masyarakat pada
akses permodalan guna mengembangkan ekonomi kerakyatan.
Kesimpulan
13
teknologi; (e) lemahnya organisasi dan manajemen usaha tani; (f) kurangnya kuantitas dan
kualitas sumberdaya manusia untuk sektor agribisnis.
5. Dalam pemasaran produk pertanian di pedesaan, petani menghadapi berbagai kendala,
khususnya bagi petani berskala kecil. Masalah utama yang menyebabkan harga dapat
dipermainkan oleh mafia pemasaran adalah melalui titik lemah produk pertanian, antara
lain: (a) kesinambungan produksi; (b) kurang memadainya pasar; (c) panjangnya saluran
pemasaran; (d) rendahnya kemampuan tawar-menawar; (e) berfluktuasinya harga; (f)
kurang tersedianya informasi pasar; (g) kurang jelasnya jaringan pemasaran; (h) rendahnya
kualitas produksi; dan (i) rendahnya kualitas sumberdaya manusia.
14
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Pitter. 2002. Daya Saing Wilayah : Konsep dan Pengukuran di Indonesia. Pusat
Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia. Yogyakarta.
Arsyad, Lincoln. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. BPFE.
Yogyakarta.
Arsyad, Lincoln. 2010. Ekonomi Pembangunan, EdisiKelima. UPP STIE YKPN. Yogyakarta.
Kuncoro, Mudrajad. 2000. Ekonomi Pembangunan, Teori Masalah dan Kebijakan. UPP AMP
YKPN. Jakarta.
Kuncoro, Mudrajad. 2002. Analisis Spasial dan Regional : Studi Aglomerasi dan Klister Industri
Indonesia. UPP-AMP YKPN. Jakarta.
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2014 Ayat 1 Pasal 3 tentang Percepatan Pembangunan
Daerah Tertinggal. 14 Oktober 2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
264).
Rustiadi, dkk. 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Soepono, Prasetyo. 1993. Analisis Shift Share Perkembangan dan Penerapan. Jurnal Ekonomi dan
Bisnis Indonesia. Vol VIII. Nomor Halaman 43-54.
Surakhmad, W. 2001. Pengantar Penelitian Ilmiah : Dasar, Metode, dan Teknik. Penerbit Tarsito.
Bandung.
15