Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

BLOK 19 MODUL 3
OBAT-OBAT EMERGENSI

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 6

Krisna Dahrian NIM.1310015034


Fajar Dwi Primantoro P. NIM.1310015075
Shafira Tamara NIM.1310015002
Irma Yunita NIM.1310015046
Azkiah Mandarini Fakih NIM.1310015085
Naftania Dwi Indriani NIM.1310015049
Almira Fahrinda NIM.1310015004
Indah Permata Sari NIM.1310015011
Izzaty Firdawati NIM.1310015056

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2016
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pertolongan pertama merupakan pertolongan secara cepat dan bersifat sementara
waktu yang diberikan pada seorang yang menderita luka atau terserang penyakit mendadak.
Salah satu unsur terpenting dalam kasus kegawatdaruratan adalah persiapan obat-obatan
emergensi. Pertolongan pasien gawat darurat tidak dapat dipisahkan dari penyediaan/logistik
peralatan dan obat-obatan darurat.
Beberapa jenis obat yang termasuk dalam obat-obatan emergensi adalah yang
memiliki efek analgesik, antipiretik, antikonvulsan dan masih banyak lainnya. Dalam laporan
ini akan dibahas kasus gawat-darurat mengenai status asmatikus serta obat-obatan yang
sekiranya dapat digunakan dalam kasus tersebut.

1.2. Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan laporan ini adalah :
1. Membahas persoalan yang terdapat dalam kasus yang diberikan pembimbing
praktikum farmakologi
2. Mengetahui obat-obat yang emergensi yang dapat diberikan berdasarkan kasus.
3. Sebagai syarat untuk mengikuti praktikum farmakologi Blok 19 Modul 3

1.3. Manfaat Penulisan


Memahami berbagai jenis obat-obatan emergensi yang dapat digunakan dalam kasus
kegawat-daruratan medik serta mekanismenya sesuai kasus yang diberikan.
BAB II
ISI

Skenario Kasus 4

Seorang penderita berumur 23 tahun datang ke UGD RSU A Wahab Sjahranie dengan
keluhan sesak napas lima jam yang lalu. Penderita sudah memakan barotec inhaler 2 kali dan
diulang dua kali dalam lima jam terakhir dan sudah minum napacin 2 tablet tetapi tidak ada
perubahan. Setelah diperiksa oleh dokter UGD diketahui menderita status asthmaticus.
a. Tulislah jenis-jenis obat yang dapat digunakan untuk penatalaksanaan status
asthmaticus, bentuk sediaan obat dan dosis obat pada anak dan dewasa,
farmakodinamik, dan farmakokinetiknya!
b. Tulislah penatalaksanaan untuk status asthmaticus (dosis dan cara pemberian) untuk
penderita diatas!
c. Edukasi apa yang harus diberikan pada penderita?

Jawaban:

A. Jenis-jenis obat yang dapat digunakan untuk penatalaksanaan status asthmaticus,


bentuk sediaan obat dan dosis obat pada anak dan dewasa, farmakodinamik, dan
farmakokinetiknya

Status asmatikus selalu berbahaya bagi kehidupan. Di samping penanganan secara fisik
(misalnya pembuangan sekret secara mekanik) perlu dilakukan pengobatan yang intensif dan
tepat dengan beberapa obat yaitu :
1. Infus singkat iv 240-480 mg teofilin,
2. Glukokortikoid iv misalnya 250-500 mg prednisolon-hemisuksinat,
3. Kalau perlu ditambahkan beta2-simpatomimetika sk atau iv,
4. Oksigen (2-4 L/menit) tiap sonde hidung,
5. Ekspektoransia, misalnya bromheksin 8 mg iv

Karena adanya bahaya depresi pernapasan, sedativa atau trankuilansia hanya diberikan
pada pasien yang ketakutan dan tak tenang asalkan kadar karbondioksida dalam darah tidak
tinggi (hiperkapnia).
Preparat-preparat teofilin:
a. Aminofilin
Dewasa: dosis pembebanan 6 mg/kg ; PO : 200-300 mg, setiap 6-8 jam IV untuk
serangan asma akut. Untuk pemakaian IV, obat harus diencerkan.
Preparat oralnya adalah tablet atau eliksir.
Anak: 7,6 mg/kg PO dosis muatan, kemudian 5,1 mg/kg (6bln-9thn) atau 3,8 mg/kg (9-
16thn) setiap 4 jam untuk tiga dosis, kemudian pertahankan pada dosis yang sama setiap 6
jam. Rentang: 12 mg/kg per hari PO

b. Teofilin (Theo Dur, Quibron, Sio-Phyilin, Elixophylin)


Dewasa: PO : 100-200 mg, setiap 6-12 jam, atau 1-3 mg/kg, setiap 8 jam, dosis individual
Anak: PO : 50-100 mg, setiap 6-12 jam.
Obat tersedia dalam bentuk tablet, tablet timed-release, cairan, eliksir, suspensi, dan dalam
kombinasi dengan obat-obat lain. Pantau kadar teofilin serum.

c. Okstrifilim (Choledyl)
Dewasa: PO : 200 mg, q.i.d. atau setiap 6 jam.
Anak: (6-12 th) : 4 mg/kg, setiap 6 jam

d. Difilin (Dylin, Dilor, Lufyllin)


Dewasa: sampai 15 mg/kg PO 1.i.d atau 250-500 mg disuntikkan IM secara perlahan
Anak (1-9 thn): 6,2 mg/kg POsetiap 6 jam
Anak (1-16 thn): 4,7 mg/kg PO setiap 6 jam

Simpatomimetik: Bronkodilator adrenergik


a. Epinefrin (Adrenalin, Primatene Mist, Bronkaid Mist)
Dewasa: 0,1-0,3 ml SK setiap 20 menit selama 4 jam sesuai kebutuhan, juga dapat
diberikan dengan inhalasi aerosol atau nebulizer.
Anak: 0,01-0,3 ml/m2 SK setiap 20 menit selama 4 jam sesuai kebutuhan.
b. Isoproterenol (Isuprel)
Dewasa: 0,01-0,02 mg IV selama anesthesia; 1:200 cairan dengan 15 inhalasi dalam untuk
asma bronkial akut.
Anak: 0,25 ml atau 1:200 cairan untuk setiap 10-15 menit nebulisasi.
c. Efedrin (generik)
Dewasa: 25-50 mg IM, SK, atau IV
Anak: 25-100 mh/m2 IM atau SK dibagi dalam empat sampai enam dosis.

d. Albuterol
Dewasa: 2-4 mg PO t.i.d-q.i.d atau dua kali inhalasi setiap 4-6 jam atau dua kali inhalasi 15
menit sebelum melakukan olahraga
Anak (>12thn-dosis dewasa: 6 12thn 2mg t.i.d.-q.i.d. tablet oral: 6-14thn) 0,1 mg/kg PO
t.i.d. sirup oral
Anak (2-12thn): Inhalasi: 1,25-2,5 mg.

FARMAKODINAMIK OBAT

a. Xantin
Xantin meningkatkan kadar cAMP merangsang saraf pusat dan pernafasan, mendilatasi
pembuluh pulmolar dan koronaria, dan menyebabkan diuresis. Karena efeknya terhadap
respirasi dan pembuluh pulmolar, maka xantin dipakai untuk mengobati asma.
Xantin memiliki efek langsung pada otot polos di saluran pernapasan baik pada bronkus
maupun pembuluh darah. Teori mengatakan xantin bekerja dengan cara mempengaruhi
langsng pergerakan kalsium dalam sel, dengan mensimulasi dua prostaglandin, sehingga
menyebabkan relaksasi otot polos. Efek relaksasi ini meningkatkan kapasitas vital yang
telah mengalami kerusakan akibat adanya bronkospasme atau terperangkapnya udara.
Selain itu, xantin juga menghambat pelepasan zat anfilaksis kerja labat (SRSA) dan
histamin, yang mengurangi pembengkakan dan penyempitan bronkus akibat kerja dari
kedua zat kimia ini.

b. Simpatomimetik
- Beta-2 Agonis (Albuterol, Isoproterenol)
Zat-zat ini bekerja selektif terhadap reseptor beta-2 adrenergik
(bronchospasmolysis) dan praktis tidak terhadap reseptor beta-1 (stimulasi jantung).
Stimulasi reseptor 2 yang banyak terdapat di trachea dan bronchi menyebabkan aktivasi
dari adenilsiklase. Enzim ini memperkuat pengubahan adenosintrifosfat (ATP) yang kaya
energi menjadi cyclic-adenosine-monophosphape (cAMP) dengan pembebasan energi
yang digunakan proses-proses dalam sel. Meningkatnya kadar (cAMP) didalam sel
menghasilkan beberapa efek melalui enzim fosfokinase seperti bronchodilatasi dan
penghambatan pelepasan mediator oleh mast cells.

- Epinefrin
Epinefrin merupakan bronkodilator kerja cepat yang efektif bila disuntikkan
subkutan (0,4 mL larutan 1:1000) atau dalam bentuk mikroaerosol dari tabung yang
bertekanan (320 mcg/puff). Bronkodilatasi maksimal dicapai dalam 15 menit setelah
inhalasi dan berlangsung selama 60-90 menit. Karena epinefrin merangsang reseptor-
reseptor dan 1 sama kuatnya dengan reseptor 2, takikardia, aritmia, dan perburukan
angina pektoris merupakan efek-efek simpang yang mengganggu. Efek kardiovaskular
epinefrin berguna untuk mengobati vasodilatasi akut dan syok serta bronkospasme pada
anafilaksis, tetapi penggunaannya pada asma telah digantikan oleh agen-agen yang lebih
selektif terhadap 2.

- Efedrin
Efedrin digunakan di Cina selama >2000 tahun sebelum diperkenalkan ke dalam
kedokteran Barat pada tahun 1924. Dibandingkan dengan epinefrin, efedrin memiliki
durasi kerja dan aktivitas yang lebih lama pada pemberian per oral, efek-efek sentral yang
lebih menonjol, dan potensi yang jauh lebih lemah. Karena perkembangan obat-obat
agonis yang lebih selektif terhadap 2 dan lebih fektif, efedrin sekarang jarang digunakan
dalam pengobatan asma.

c. Antikolinergik
Di dalam sel sel otot polos terdapat keseimbangan antara sistem adrenergik dan
sistem kolinergis. Bila karena sesuatu sebab reseptor beta-2 dari sistem adrenergik akan
berkuasa dengan akibat bronchokonstriksi. Antikolinergika memblock reseptor muskarin
dari saraf saraf kolinergik di otot polos bronchi, hingga aktivitas saraf adrenergic menjadi
dominan dengan efek bronchodilatasi. Penggunaannya untuk terapi pemeliharaan HRB
,tetapi juga berguna untuk meniadakan serangan asma akut (melalui inhalasi efek pesat).

d. Kortikosteroid
Kortikosteroid berkhasiat meniadakan efek mediator, seperti peradangan dan gatal
gatal. Daya antiradang ini berdasarkan blockade enzim fosfolipase A2, sehingga
pembentukan mediator peradangan prostaglandin dan leukotrien dari asam arachidonat
tidak terjadi. Kortikosteroid menghambat mekanisme kegiatan allergen yang melalui IgE
dapat menyebabkan degranulasi mast cells, juga meningkatkan kepekaan reseptor beta 2
hingga efek beta mimetika diperkuat.

FARMAKOKINETIK OBAT
1. Xantin
Xantin diabsorpsi dengan cepat dalam saluran cerna (GI) dan mencapai kadar
puncaknya dalam 2 jam. Obat ini didistribusikan secara luas dan dimetabolisme dalam
hati. Ekskresi terjadi melalui urine. Xantin dapat menembus plasenta dan masuk ke ASI.
Obat ini telah dikaitkan dengan kondisi janin yang abnormal dan kesulitan bernapas saat
lahir pada penelitian yang menggunakan binatang. Walaupun belum terdapat penelitian
yang jelas pada kehamilan manusia, penggnaan obat ini harus dibatasi hanya jika
manfaatnya pada ibu lebih besar daripada risiko pada janin. Karena xantin masuk ke ASI
dan dapat mempengaruhi bayi, pasien yang menggunakan obat ini selama menyusui perlu
menggunakan metode lain untuk memberi makan bayinya.
Teofilin biasanya diabsorbsi dengan baik setelah diberikan secara oral, tetapi
absorbs dapat bervariasi sesuai bentuk dosis. Teofilin juga diabsorpsi baik dalam bentuk
cairan yang diminum dan tablet polos yang tidak disalut gula. Bentuk dosis yang dilepas
perlahan-lahan akan diabsorpsi dengan lambat. Makanan dan antasida dapat menurunkan
tingkat absorpsi tetapi bukan jumlahnya; cairan dalam jumlah besar dan makan berprotein
tinggi dapat meningkatkan absopsi. Teofilin dapat diberikan secara intravena. Obat-obat
teofilin dimetabolisasi oleh enzim hati dan 90% dikeluarkan melalu ginjal. Merokok
meningkatkan metabolisasi teofilin, shingga mengurangi waktu paruhnya. Waktu paruh
menjadi lebih pendek pada perokok dan anak-anak. Dengan waktu paruh yang pendek,
teofilin segera dikeluarkan oleh ginjal dan dosis obat mungkin perlu ditingkatkn untuk
memperthankan kadar terapeutik dalam serum.

2. Simpatomimetik
Jenis-jenis obat simpatomimetik didistribusikan secara cepat setelah injeksi; dan
dimetabolisme dalam hati menjadi metabolit yang akan diekskresikan melalui urine.
Waktu paruh obat ini relative pendek, kurang dari 1 jam. Wanita hamil dan menyusui boleh
menggunakan obat ini hanya apabila manfaat obat ini pada ibu lebih besar daripada resiko
potensial pada janin karena obat ini dapat menembus plasenta dan masuk ke ASI. Obat
yang diinhalasi diabsorbsi dengan cepat ke dalam jaringan paru. Setiap obat yang
diabsorpsi akan dimetabolisme dalam hati dan diekskresikan melalui urin.
a. Epinefrin
Epinefrin dapat diberikan melalui rute parenteral, inhalasi atau topical. Persentase
obat yang berikatan dengan protein dan waktu paruhnya tidak diketahui. Epinefrin
dimetabolisme oleh hati dan dieksresikan melalui urine.

b. Efedrin
Efedrin diserap melalui oral, intravena, intramuscular atau subkutan. Efedrin
didistribusikan secara luas dan dapat masuk ke dalam ASI. Dimetabolisme melalui
hati dan eliminasi efedrin dan metabolitnya melalui urin.
c. Metaprotereneol (alupent)
Metaproterenol diabsorpsi baik pada saluran gastrointestinal. Peresentase ikatan
dengan protein dan waktu paruhnya tidak diketahui. Dimetabolisme dihati dam
dikeluarkan melalui urin.

PENATALAKSANAAN UNTUK PENDERITA TERSEBUT:


1. Perawatan
a. Pemberian oksigen
b. Rehidrasi: Berikan D 5%
c. Obat-obatan
- B2 Agonis
- Kortikosteroid
1. Prednisolon 30-60 mg/hari
2. Hidrokortison 200mg i.v (4mg/kgBB) tiap 6 jam dalam 24 jam, jika respon
baik dalam 24-48 jam, steroid di ganti oral
- Aminofilin (bronkodilator) secara suntikan 5-6 mg/kgBB
EDUKASI

Pengetahuan yang baik akan menurunkan angka kesakitan dan kematian. Tujuan dari
seluruh edukasi adalah membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan
mengontrol asma. Edukasi terkait dengan cara dan waktu penggunaan obat, menghindari
pencetus, mengenali efek samping obat dan kegunaan kontrol teratur pada pengobatan asma.
Bentuk pemberian edukasi dapat berupa komunikasi saat berobat, ceramah, latihan, diskusi,
sharing, leaflet, dan lain-lain (PDPI, 2003).

Anda mungkin juga menyukai