1. Pengertian / Definisi
2. Anamnesis
mengandung organofosfat
a. Efek muskarinik (akibat hiperaktivitas parasimpatik) : bradikardi,
miosis (pinpoint pupil), penglihatan kabur, lakrimasi, keringat
berlebihan, hipersalivasi, hipersekresi bronchial, bronkospasme
(wheezing), muntah, diare, kejang perut, inkontinensia urin dan fekal
b. Efek nikotinik (akibat hiperaktivitas simpatik dan disfungsi
neuromuskuler: takikardi, hipertensi, fascikulasi otot, tremor dan
lemah otot. Kematian biasanya disebabkan paralisis otot pernafasan
3. Pemeriksaan Fisik
c. Efek sistem saraf pusat : agitasi, psikosis, konfusi, koma, dan kejang.
Bradikardi, miosis (pinpoint pupil), lakrimasi, keringat berlebihan,
4. Diagnosis
hipersalivasi.
Diagnosis ditegakkan dengan menggunakan 4 kriteria:5
1.
2.
3.
4.
Laboratorium:5
1. Hematologi: leukositosis dengan atau tanpa pergeseran kekiri
akibat peningkatan pelepasan katekolamin
2. Kimia : hipokalemia, hiperglikemia
3. Toksin spesifik : aktivitas kolinesterase plasma menurun <50%
sebelum gejala tampak, 20-50% pada keracunan ringan, 10-20%
pada keracunan sedang, <10% pada keracunan berat.
Pemeriksaan bahan muntah atau darah mengandung organofosfat
Radiologis:
- Pemeriksaan foto dada bila ada indikasi
5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis Banding
- EKG
Keracunan organofosfat
1. Keracunan karbamat
2. Keracunan nikotinik
3. Kondisi klinis atau obat-obatan yang dapat menyebabkan miosis
seperti keracunan opioid, clonidin, sedative-hipnotic (etanol,
benzodiazepin, barbiturat) dan perdarahan pontin.
7. Pemeriksaan Penunjang
8. Terapi
dan takikardi
Juka sulfas atropin tidak dapat diberikan secara IV, dapat
diberikan melalui IM, subkutan, endotrakeal (2,5 dosis IV)
spasme laring.
Obidoxime : dosis awal: dewasa 0,25 gr atau anak: 4mg/kgBB
IV diikuti infus kontinu 0,5mg/kgBB/jam selama minnimal 24
jam dan diberikan sampai perbaikan klinis.
Atau alternatif:
Pemberian intermiten IV atau IM dengna dosis 2mg/kgBB tiap
4 Jam
Efek merugikan: hepatotoksik, malaise, hipertermi.
Pada kasus yang sangat berat, dapat diberikan dosis lebih
tinggi untuk mencapai reaktivitas enzim asetilkolinesterase.
Observasi ketat setelah selesai pemberian oximes karena dapat
terjadi rekurensi manifestasi klinis keracunan yang
adekuat.
Meletakkan/ menyimpan bahan tersebut di tempat tersendiri
Dubia ad bonam
1. Keracunan Organofosfat. Dalam Panduan Pelayanan Medik.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Editor:
Rani AA, Soegondo S, Nazir AUZ, Wijaya IP, Nafrialdi,
Mansjoer A. 2006. pp 153.
2. Keracunan organofosfat dan karbamat. Dalam : Pedoman
Penatalaksanaan Keracunan Untuk Rumah Sakit. Hasil Kerja
Tim: Sentra Informasi Keracunan (SI Ker) Ditjen POM DEPKES
RI, Direktorat Pelayanan Medik Spesialistik Ditjen Yanmedik,
Sentra Pengobatan Keracunan (SPKer) RSUPN
Ciptomangunkusumo, RSUD Dr. Sutomo, RSUP Dr. Hasan
Sadikin dan RSUP H Adam Malik; 2001, pp187-193
3. Raka Putra T. Penanganan Keracunan Akut. Dalam : Gawat
Darurat di Bidang Penyakit Dalam. Editor: Bakta IM, Suastika
IK. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1998; pp. 195-9
4. Linden CH, Burns MJ. Poisoning and Drug Overdosage. In:
Harrisons Principles of Internal Medicine. Edited by Kasper DL,
Braunwald G. Fauci AS. Hauser SL, Longo DL, Jamesson UL.
McGraw-Hill Company Inc, New York-Toronto. 16th Edition:
2005. Pp 2580-93
5. 5. Ford MM. Insecticides and Pesticides. In: Handbook of
Medical Toxicology. Viccellio P, Ed. USA. 1st edition 1993: pp
303-314
INTOKSIKASI METANOL
1. Pengertian / Definisi
2. Anamnesis
mengandung metanol
Gangguan penglihatan, akut abdomen, abnormalitas neurologi berupa
konfusi, stupor sampai dengan koma. Pernafasan kussmaul, gangguan
3. Pemeriksaan Fisik
4. Diagnosis
5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang
kepala.
1. Stabilisasi, meliputi: pembebasan jalan nafas, perbaikan fungsi
jalan nafas (ventilasi dan oksigen) dan perbaikan sistem sirkulasi
darah
2. Dekontaminasi dan eliminasi gastrointestinal
3. Pemberian infus etanol dipertimbangkan pada pasien yang
dicurigai mengonsumsi metanol 20mg/dL
4. Diuresis paksa atau bila tersedia sarana hemodialisis
5. Koreksi asidosis dengan pemberian sodium bikarbonat bila pH
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Kepustakaan
1. Pengertian / Definisi
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan Fisik
4. Diagnosis
kesadaran
Diagnosis DMT1 ditegakkan bila kadar gula darah >200mg/dL,
disertai dengan gejala dan tanda diabetes (misalnya KAD). Jika
diagnosis DMT1 dan DMT2 sulit dibedakan dapat dilakukan
pemeriksaan antibodi terhadap GAD65, IA-2B (atau juga disebut islet
cell antibody/ ICA), atau IAA, atau dengan pemeriksaan C-peptida.
5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang
8. Terapi
8. Profil lipid
1. Pemantauan gula darah sendiri (self monitoring blood
9. Edukasi
glucose/SMBG)
2. Diet
3. Terapi insulin
Edukasi yang diberikan kepada penderita diabetes meliputi
pemahaman tentang :
- perjalanan penyakit diabetes
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan Fisik
4. Diagnosis
pada wanita
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah
5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis Banding
8. Terapi
9. Edukasi
hasil pemantauan
f. mengatasi sementara keadaan darurat antara lain hipoglikemia
g. pentingnya latihan jasmani yang teratur
h. pentingnya perawatan diri
i. keadaan khusus yang dihadapi: seperti hiperglikemia pada
10. Prognosis
kehamilan
Dubia ad bonam
11. Kepustakaan
HIPERTIROIDISME
1. Pengertian / Definisi
2. Anamnesis
- lemah
- penurunan berat badan, bersamaan dengan nafsu makan meningkat
- palpitasi
- gangguan pada mata (mata kering, membonjol)
- sesak
- peningkatan frekuensi buang air besar
- oligomenore atau amenore, penurunan libido
Tanda:
- takikardia sinus, fibrilasi atrial
- goiter- multinodular atau difus
- tremor halus, hiperrefleksia
- kulit hangat, basah
- bruit di atas kelenjar tiroid
- graves ophthalmopathy
- rambut rontok
- kelemahan otot
- gagal jantung kongestif (high output)
- eritema palmaris, onikolisis
- paralisis periodik (terutama pada laki-laki asia)
3. Pemeriksaan Fisik
4. Diagnosis
- psikosis
Pemeriksaan kelanjar gondok
Diagnosis hipertiroidisme didasarkan atas hasil pemeriksaan
laboratorium yaitu adanya penurunan TSH dan peningkatan T4 bebas
5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang
8. Terapi
3. Thyroidektomi subtotal
Dewasa ini pembedahan dipilih pada keadaan khusus, seperti:
- atas keinginan pasien
- wanita hamil yang tidak respon terhadap obat antitiroid
- goiter yang besar dan simptomatik
- ada dugaan keganasan
Terapi simptomatik:
Penghambat beta adrenergik
Obat ini menghilangkan gejala takikardi dan tremor. Jenis penghambat
beta adrenergic yang dipilih adalah propanolol, atenolol atau
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Kepustakaan
metoprolol
Kontrol dan konsumsi rutin sesuai anjuran
Dubia ad bonam
1. In : Henderson, KE, Baranksy TJ, Bickel PE (editors). The
Washington Manual Endocrinology Subspecialty Consult. St
Louis: Lippincot William Wilkins, 2005. P
2. Subramamniam S, Folt AF. Hypothyroidism. In : Henderson,
KE, Baranksy TJ, Bickel PE (editors). The Washington
Manual Endocrinology Subspecialty Consult. St Louis:
Lippincot William Wilkins, 2005. P 39-46
Hepatitis virus akut adalah keradangan hati yang disebabkan oleh virus
2. Anamnesis
hepatoropik
Secara klasik hepatitis virus akut simptomatik memberi gambaran
klinik mencakup ikterus, demam, anoreksia, nausea, muntah, atralgia
malaise/lesu, dan nyeri abdomen kanan atas. Demam jarang dijumpai
kecuali pada beberapa kasus infeksi akut virus hepatitis A. Beberapa
pasien cenderung mendapat gejala seperti flu ringan (flu-like
3. Pemeriksaan Fisik
4. Diagnosis
symptoms)
Ikterus, hepatomegali
A. Pada stadium preikterik : penyakit infeksi akut lain seperti
apendisitis akut. Penanda serologis penting untuk membedakan dengan
mononukleosis infeksiosa
B. Pada ikterik, diagnosis banding perlu dipikirkan terhadap penyebab
ikterus lain seperti : leptospirosism ikterus obstruktif ekstra hepatik,
toksoplasmosis, hepatitis akut karena obat, alkohol, iskemik mekrosis
5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang
dan malaria
Hepatitis virus akut
Penyebab ikterik yang lainnya
A. Laboratorium rutin: darah, urin, dan feses
B. Tes faal hati : serum transaminase (ALT dan AST), bilirubin total
dan direk, alkalifosfatase)
Penanda serologis untuk menentukan virus penyebab pada fase akut L
IgM anti HAV, IgM anti-HBc dan HbsAg, IgM anti-HCV, IgM antiHDV, IgM anti-HEV. Bila diperlukan dapat diperiksa IgM anti-CMC
dan IgM anti-EBV. Untuk hepatitis C akut perlu pemeriksaan RNAVHC yang mulai positif 2 minggu setelah terpapar, sedangkan anti
8. Terapi
interferon
Program pencegahan infeksi hepatitis virus akut adalah sebagai
berikut:
1. Program pencegahan non-imunisasi
a. Pencegahan penuralan infeksi nonparenteral
Pendidikan kesehatan baik kepada petugas kesehatan maupun
masyarakat umum yaitu tentang cara penularan dan cara
pencegahannya.
b. Pencegahan penularan infeksi parenteral
Penyediaan fasilitas untuk sterilisasim cairan antiseptik dan
alat-alat medis sekali pakai (disposable). Seleksi donor sangat
penting untuk mencegah hepatitis pascatransfusi
2. Program pencegahan dengan imunisasi:
a. Imunisasi aktif dengan vaksin: saat ini tersedia vaksin untuk
hepatitis A dan B.
b. Imunisasi pasif:
Imunisasi pasif menggunakan globulin serum imun (IsG)
untuk hepatitis A dan HBIG (Hepatitis B Imun Globulin)
dengan titer anti HBs yang tinggi untuk hepatitis virus B.
c. Dengan HBIG dapat encegah infeksi VHB bila diberikan
sebelum virus masuk ke dalam tubuh atau segera setelah
kontak dengan virus hepatitis B. Untuk mendapatkan
perlindungan yang lama, maka sebaiknya pemberian HBIG
segera dengan vaksinasi hepatitis B
d. Imunisasi pasif-aktif:
Untuk mencegah infeksi VHB vertikal atau perinatal serta
pencegahan infeksi hepatitis B setelah kontak parenteral atau
kontak seksual atau melalui mukosa maka dapat diberikan
gabungan antara HBIG (imunisasi pasif) dan vaksin hepatitis
B.
e. Pemberian HBIG sebaiknya dilakkan paling lambat dalam 24
jam setelah kontak, dengan dosis 0,06 ml HBIG /kgBB secara
HEPATITIS KRONIK
1. Pengertian / Definisi
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan Fisik
4. Diagnosis
5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang
8. Terapi
KANKER HATI
1. Pengertian / Definisi
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan Fisik
4. Diagnosis
5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang
8. Terapi
X-foto thorak
Pemeriksaan imaging: ultrasonografi hati, CT scan abdomen, MRI
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Kepustakaan
3. Pemeriksaan Fisik
dengan makanan
8. Kejang perut
1. Pertama yang harus dinilai adalah status hemodinamik
Bila syok harus segera ditanggulangi tanpa melakukan formalitas
pemeriksaan fisik yang sempurna, lakukan evaluasi perkiraan
4. Diagnosis
5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang
perdarahan
2. Kemudian dicari tanda-tanda penyakit yang mendasarinya :
- Stigmata penyakit hati kronis/ sirosis hati
- Tanda demam tifoid
- Tanda demam berdarah
- Tanda penyakit hematologi
- Tanda ulkus peptikum
- Tanda akut abdomen
3. Lakukan pemeriksaan colok dubur
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang
Perdarahan saluran makanan
Perdarahan saluran makanan karena sebab yang lain
1. Laboratorium rutin : darah lengkap, faal hemostasis, dan tes
golongan darah. Periksa faal hati, faal ginjal dan gula darah
2. Elektrokardiografi : terutama pada usia tua, atau dilakukan
pembedahan
3. Radiologi : foto polos abdoen bila perlu foto setengah duduk,
8. Terapi
ultrasonografi
4. Endoskopi : esofagogastroduodenoskopi
A. Tatalaksana perdarahan major
1. Resusitasi aktif:
a. Perdarahan <750cc : cairan kristaloid (iv line)
b. Perdarahan 750 1500 cc:
resusitasi dengan
- cairan kristaloid tetesan cepat
- persiapan transfusi
c. Perdarahan 1500 2000cc:
resusitasi dengan
- cairan kristaloid/koloid (tetesan cepat)
- transfusi darah
- pemantauan vena sentral
d. Perdarahan > 2000cc:
- Resusitasi dengan cairan kristaloid 1 liter dalam 1jam
- Bila tetap syok berikan kolid tetesan cepat dan
-
transfusi darah
Pemantauan vena sentral
Oksigen masker 5L/menit
2. Kumbah lambung
3. Inhibitor pompa proton dosis tinggi
2. Resusitasi
3. Penentuan status hemodinamik
a. Pada hemodinamik yang stabil, tanpa perdarahan aktif
diberikan terapi empirik, seperti vitamin K, obat anti sekresi,
antasid dan sukralfat. Jika perdarahan berhenti, dilakukan
evaluasi elektif (esofagoduodenoskopi), untuk selanjutnya
mendapat terapi definitif
b. Pada hemodinamik tidak stabil dengan perdarahan aktif:
dilakukan resuisitasi dengan kristaloid, koloid, transfusi darah
dan koreksi faktor koagulasi.
- Jika perdarahan masih berlangsung (tensi 90/60mmHg,
nadi >100x/menit, Hb 9g/dL, dan Till tes positif), maka
dilakukan pemberian obat vasoaktif (octreotid atau
-
somatostatin).
Jika perdarahan terus berlangsung, makan dilakukan
varises lambung
c. Pada perdarahan varises esofagus:
Dilakukan terapi ligasi endoskopi atau skleroterapi. Jika gagal
maka dilakukan TIPSS (Transjugular Intrahepatic Porto
Systemic Shunt) atau pembedahan
d. Pada perdarahan varises lambung
Tentukan klasifikasinya, apakah termasuk varises
gastroesofagial (GOV tipe 1 atau GOV tipe II) atau termasuk
varises lammbung terisolasi (IGV tipe I atau IGV tipe II).
Pada GOV terapinya dengan ligasi varises. Pada IGV tipe II
(varises fundus) dengan perdarahan aktif, hanya ekfektif
dengan injeksi N-butyl cyanoacrylate (histoacryl glue). Atau
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Kepustakaan
ENSEFALOPATI HEPATIK
1. Pengertian / Definisi
2. Anamnesis
bedah
A. Gejala neuropsikiatrik
1. Tingkat/ derajat kesadaran:
- Fase awal hipersomnia, selanjutnya irama tidur
-
dengan koma
2. Kepribadian:
Perubahan kepribadian pada ensefalopati porto-sistemik
bervariasi. Perhatian terhadap orang dan sekitar berkurang,
bersikap seperti anak-anak. Perubahan kepribadian antara
euforia dan depresi. Psikosis jarang merupakan manifestasi
awal
3. Fungsi intelektual
Bervariasi dari ringan sampai berat. Penderita tidak dapat
membedakan benda dengan bentuk, ukuran serta fungsi serupa
4. Bicara
Bicara lambat dan tidak jelas, suara lemah dan monoton
B. Gejala neuromuskuler
1. Fase dini (awal): sering dijumpai astereksis (flapping tremor),
hiperefleksi, klonus
2. Perubahan lebih lanjut: sering menyeringai, timbul refleks
menggenggam dan mengisap, serta gangguan penglihatan.
3. Stadium akhir: astereksis menghilang, refleks tendon
melemah, refleks kornea dan pupil melemah sampai
3. Pemeriksaan Fisik
4. Diagnosis
5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang
menghilang
Bervariasi
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang
Ensefalopati hepatik
Ensefalopati karena sebab yang lain
1. Ammoniak : peningkatan kadar ammoniak tidak sebanding
dengan derajat ensefalopati. Pemeriksaan ammoniak darah tidak
selalu diperlukan dalam menegakkan diagnosis EH
2. Tes faal hati:
Pada kegagalan faal hati fulminan terjadi disfungsi hati yang
berat. Tes faal hati sesuai dengan derajat kelainan parenkim hati
3. Elektroensefalografi (EEG)
Bersifat sensitif tetapi tidak spesifik. Aktivitas elektrik otak
melambat, mungkin dijumpai adanya voltase tinggi dan kadangkadang ada gelombang lambat (slow wave)
4. Pemeriksaan laboratorium lain
Biasanya dikerjakan untuk mencari adanya komplikasi,
memisahkan diagnosis banding serta melihat gangguan
metabolisme lain : pemeriksaan darah lengkap, PT, pTT,
elektrolit, ureum, kreatinin, glukosa darah, serum amilase,
8. Terapi
sampai sedang
Kendalikan faktor resiko, kontrol teratur
Dubia ad bonam
1. Bajaj JS. Review Article: The Modern Management of Hepatic
Encephalopaty. Aliment Pharmacol Ther 2010; 31:537-47
2. Kuntz E, Kuntz HD. Hepatic Encephalopathy. Hepatology
Textbook and Atlas. 3rd Edition. Wurzburg: Springer
Medizinverlag. 2008: 272-89
3. Greenberger NJ. Portal Systemic Encephalopathy & Hepatic
Encephalopathy. In: Greenberger NJ, Blumberg RS, Burakoff R,
Eds. Current Diagnosis and treatment gastroenterlology,
hepatologym endoscopy. New York: McGrawHill,2009: 473-6
4. Mullen KD. Review of the final report of the 1998 Working Party
on definition, nomenclature and diagnosis of hepatic
encephalopathy Alimen Pharmacol Ther 2006; 25 (Suppl.1): 11 -16
5. Bass NM. Review article: the current pharmacological therapies for
hepatic encephalopathy. Aliment Pharmacol Ther 2006; 25
(Suppl.1): 23-31
6. Cordoba J., Blei AT. Hepatic Encephalopathy. In: Schiff ER.,
Sorrell MF, Maddrey WC. Eds. Schiffs Diseases of tthe Liver.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. 2007 : 569-99
GASTRITIS
1. Pengertian / Definisi
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan Fisik
4. Diagnosis
5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis Banding
8. Terapi
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Kepustakaan
autoimun
1. Endoskopi (esofagogastroduodenoskopi) pada kasus yang berat :
tampak berbagai erosi sampai perdarahan (karena erosi akut)
2. Antibodi sel parietal
1. Terapi penyebab dan terapi simtomatik
2. Pada perdarahan gastrointestinal : diberikan inhibitor pompa
proton (omeprazol)
3. Pengobatan terhadap penyebab (eradikasi H pylori)
4. Pengobatan terhadap komplikasi
5. Vitamin B12 (pada anemia perniciosa)
Hindari faktor pencetus
Dubia ad bonam
1. Weisten WM. Chronic Gastritis. In: Advanced therapy in
gastroenterology and liver disease. 5th Edition. BC Decker Inc,
London: 2005,p. 178
2. Genta RM, Gastritis. In: Clinical gastroenterology and and
hepatology. First Edition. Mosby, Spain. 2005.p.223
3. Liee EL and Feldman M. Gastritis and other gastropathies. In:
Sleisenger and Fordtrans gastrointestinal and liver disease.
Pathophysiology/ Diagnosis/ Management. 7th edition Sounders.
2002.p.810
4. Genta RM. Gastritis and gastropathy. In: Textbook of
gastroenterology. 5th edition. USA. 2003, p.1394
5. Graham DY, Lu H, and Yamaoka Y. African, Asian or Indian
enigma, the East Asian Helicobacter pylori: facts or medical
myths. J Dig Dis. 2009; 10:77-84
6. Agreus L, Kuipers EJ, Kupcinskas L, Malfertheiner P. Rationale
in diagnosis and screening of atrophic gastritis with stomachspesific plasma biomarkers. Scandinavian Journal of
Gastroenterology. 2012; 47: 136-147
7. Malfertheiner P, Megraud F. OMorain CA, Atherton J, Axon
ATR, Franco Bazzoli F, Gensini GF, Gisbert JP, Graham DY,
Rokkas T, El-Omar EM, Kuipers EJ, Management of
Helicobacter pylori infection the Maastricht IV/ Florence
Consensus Report European. The Helicobacter Study Group
(EHSG). Gut 2012; 61:646 664
8. Chey WD, Wong BCY. American College of Gastroenterology
Guideline on the Management of Helicobacter pylori Infection.
SIROSIS HEPATIS
1. Pengertian / Definisi
2. Anamnesis
noduler hepatosit
Non-spesifik sesuai derajat kerusakan hati.
8. Terapi
biopsi
Pengobatan non-spesifik dan suportif:
1. Eliminasi bahan toksik: alkohol, obat hepatotoksik
2. Diit cukup kalori, vitamin, dan protein, rendah garam
3. Istirahat yang cukup
4. Batasi asupan cairan bila edema dan asites menonjol
5. Koreksi anemia, hipoproteinemia serta atasi infeksi
6. Untuk edema dan asites diberi diuretik spironolakton atau
amilorid, ila belum berhasil dapat dikombinasi dengan
furosemid atau asam etakrinat
7. Berdasarkan derajat asites:
a. Asites derajat 1/ ringan (hanya terdeteksi dengan
USG): belum perlu terapi
b. Asites derajat 2/ sedang (distensi perut simetri dan
moderat) : cukup terapi diit rendah garam dan diuretik
c. Asites derajat 3 / berat atau gross ascites (distensi perut
berat/tegang) : paracentesis volume besar diikuti diit
rendah garam dan diuretik (kecuali asites refrakter)
8. Terapi komplikasi dan terapi spesifik sesuai etiologinya bila
diketahui penyebabnya
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Kepustakaan
Dubia ad bonam
1. Chung RT, Podolsky DK. Cirrhosis and its complications. In:
Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, et al. Eds Harrisons
principles of Internal Medicine. 16th New York: McGraw Hill,
2005: 1858-68
2. Sherlock S and Dooley J. Diseases of the Liver and Biliary
System. 11th Edition. Oxford: Blackwell Publication, 2002.
3. Choudhury J and Sanyal AJ. Cirrhosis and Its Complications. In:
Reddy KR, Faust T., Eds. The Clinicians guide to liver disease.
New Jersey: SLACK incorporated, 2006: 32 53.
4. Cheney CP, Goldberg EM, Chopra S. Cirrhosis and portal
hypertension : an Overview. In: Friedman LS, Keeffe EB.
Handbook of Liver disease. Second edition. Philadelphia:
Churchill Livingstone, Elsevier, 2004: 125-137
5. European Association for the Study of the Liver. EASL clinical
practice guidelines on the management of ascites, spontaneous
bacterial peritonitis, and hepatorenal syndrome in cirrhosis. J
Hepatol 2010, 53: 397 417.
6. Kuntz E, Kuntz HD. Hepatology Textbook and Atlas. Wurzburg:
Springer Medizin Verlag Heidelberg. 2008: 414-15.
ULKUS PEPTIKUM
1. Pengertian / Definisi
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan Fisik
4. Diagnosis
5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis Banding
Gejala komplikasi
Anamnesis, penunjang, endoskopi
Ulkus peptikum
Kolesistitis akut
Pankreatitis akut
Abses hati
7. Pemeriksaan Penunjang
8. Terapi
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Kepustakaan
hemoclip
5. Terapi terhadap penyulit: seperti pembedahan
Hindari faktor pencetus
Bervariasi
1. Fox C and Lambard M. Stomach. In: Crash Course
gastroenterology. 2nd edition. Mosby, Toronto. 2004. P73
2. Long RG and Scott BB. Upper gastrointestinal disease. In:
Specialist training in gastroenterology and liver disease. First
edition. Elsevier. 2005. P.14
3. Chey WD, and Scheiman JM. Peptic Ulcer disease. In: Current
diagnosis and treatment in gastroenterology. 2nd edition.
McGraw Hill. Singapore 2003. P232
4. Valle JD, Chey WD and Scheiman JM. Acid Peptic Disorders. In:
Textbook of gastroenterology. 5th edition, USA.2003,p.1321.
5. Spechler ST. Peptic Ulcer Disease and Its Complication. In:
Sleisenger and Fordtrans Gastrointestinal and Liver Disease.
Pathophysiology/ Diagnosis/ Management. 7th edition. Sounders.
2002,p 747
6. Pesegna JR. Peptic ulcer disease. In: Advanced therapy in
gastroenterology and liver disease. 5th edition. BC Decker Inc,
London: 2005,p.147
7. Hawkey CJ and Atherton JC. Pectic Ulcer. In: Clinical
Gastroenterology and Hepatology. First Edition. Mosby, Spain,
2005,p.207
8. Goldie L. Peters GL. Jennifer L. Rosselli J, Kerr JL. Overview of
Peptic Ulcer Disease. Pharm D, 2011
9. Newton EB, Versland MR, Sepe TE. Giant duodenal ulcers.
Protocol for Diagnosis and Treatment of Peptic Ulcer in Adults.
W J G, 2008:28; 14: 4995 4999