Anda di halaman 1dari 36

KERACUNAN ORGANOFOSFAT

1. Pengertian / Definisi

Intoksikasi organofosfat merupakan intoksikasi akibat zat yang

2. Anamnesis

mengandung organofosfat
a. Efek muskarinik (akibat hiperaktivitas parasimpatik) : bradikardi,
miosis (pinpoint pupil), penglihatan kabur, lakrimasi, keringat
berlebihan, hipersalivasi, hipersekresi bronchial, bronkospasme
(wheezing), muntah, diare, kejang perut, inkontinensia urin dan fekal
b. Efek nikotinik (akibat hiperaktivitas simpatik dan disfungsi
neuromuskuler: takikardi, hipertensi, fascikulasi otot, tremor dan
lemah otot. Kematian biasanya disebabkan paralisis otot pernafasan

3. Pemeriksaan Fisik

c. Efek sistem saraf pusat : agitasi, psikosis, konfusi, koma, dan kejang.
Bradikardi, miosis (pinpoint pupil), lakrimasi, keringat berlebihan,

4. Diagnosis

hipersalivasi.
Diagnosis ditegakkan dengan menggunakan 4 kriteria:5
1.
2.
3.
4.

Riwayat paparan insektisida atau pestisida


Gejala dan tanda stimulasi muskarinik dan nikotinik
Kadar cholinesterase plasma dan sel darah merah menurun
Responsif dengan terapi atropin dan pralidoksin

Laboratorium:5
1. Hematologi: leukositosis dengan atau tanpa pergeseran kekiri
akibat peningkatan pelepasan katekolamin
2. Kimia : hipokalemia, hiperglikemia
3. Toksin spesifik : aktivitas kolinesterase plasma menurun <50%
sebelum gejala tampak, 20-50% pada keracunan ringan, 10-20%
pada keracunan sedang, <10% pada keracunan berat.
Pemeriksaan bahan muntah atau darah mengandung organofosfat
Radiologis:
- Pemeriksaan foto dada bila ada indikasi
5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis Banding

- EKG
Keracunan organofosfat
1. Keracunan karbamat
2. Keracunan nikotinik
3. Kondisi klinis atau obat-obatan yang dapat menyebabkan miosis
seperti keracunan opioid, clonidin, sedative-hipnotic (etanol,
benzodiazepin, barbiturat) dan perdarahan pontin.

7. Pemeriksaan Penunjang

8. Terapi

Penanganan keracunan organofosfat memerlukan observasi ketat


1. Stabilisasi
2. Dekontaminasi
Dekontaminasi mata dan kulit (termasuk rambut dan kuku)
Dekontaminasi gastrointestinal
3. Meningkatkan eliminasi
4. Terapi spesifik
Antidotum :
Sulfas Atropin
Dosis : Dewasa : 1-2 mg (4-8ampul)
Anak-anak : 0,002-0,05mg/kgBB IV
Pemberian intermiten dengan interval 30 menit, 60 menit, 2 ja,

dst. Atau dengan infus kontinu 0,02-0,08mg/kgBB/jam


Rata-rata pasien keracnan organofosfat memerlukan 40mg

atropin per hari tetapi dapat juga sampai 1000mg/hari


Dosis sulfas atropin yang berlebih dapat menimbulkan agitasi

dan takikardi
Juka sulfas atropin tidak dapat diberikan secara IV, dapat
diberikan melalui IM, subkutan, endotrakeal (2,5 dosis IV)

atau intraosseus (pada anak)


Diazepam: untuk meningkatkan toleransi atropine. Dosis

dewasa: 5-10mg, anak-anak 0,24-0,4mg/kgBB IV


Oximes Pralidoxin: dosis awal : dewasa 2 gram, anak:
30mg/kgBB IV diikuti infus kontinu 8mg/kgBB/jam selama
minimal 24 jam dan diberikan sampai perbaikan klinis.
Atau alternatif: pemberian intermiten IV atau IM dengan dosis
30g/kgBB 4 jam. Dosis total 10-15gram/hari (kadar plasma
20-40mg/L), efek yang merugikan : takikardi, hipertensi dan

spasme laring.
Obidoxime : dosis awal: dewasa 0,25 gr atau anak: 4mg/kgBB
IV diikuti infus kontinu 0,5mg/kgBB/jam selama minnimal 24
jam dan diberikan sampai perbaikan klinis.
Atau alternatif:
Pemberian intermiten IV atau IM dengna dosis 2mg/kgBB tiap
4 Jam
Efek merugikan: hepatotoksik, malaise, hipertermi.
Pada kasus yang sangat berat, dapat diberikan dosis lebih
tinggi untuk mencapai reaktivitas enzim asetilkolinesterase.
Observasi ketat setelah selesai pemberian oximes karena dapat
terjadi rekurensi manifestasi klinis keracunan yang

memerlukan terapi oximes lagi.


Mungkin dapat terjadi sindrom intermediate, yaitu kelemahan
otot yang rekuren beberapa hari setelah pemaparan. Hal ini
mungkin berhubungan dengan terapi oximes yang tidak
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Kepustakaan

adekuat.
Meletakkan/ menyimpan bahan tersebut di tempat tersendiri
Dubia ad bonam
1. Keracunan Organofosfat. Dalam Panduan Pelayanan Medik.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Editor:
Rani AA, Soegondo S, Nazir AUZ, Wijaya IP, Nafrialdi,
Mansjoer A. 2006. pp 153.
2. Keracunan organofosfat dan karbamat. Dalam : Pedoman
Penatalaksanaan Keracunan Untuk Rumah Sakit. Hasil Kerja
Tim: Sentra Informasi Keracunan (SI Ker) Ditjen POM DEPKES
RI, Direktorat Pelayanan Medik Spesialistik Ditjen Yanmedik,
Sentra Pengobatan Keracunan (SPKer) RSUPN
Ciptomangunkusumo, RSUD Dr. Sutomo, RSUP Dr. Hasan
Sadikin dan RSUP H Adam Malik; 2001, pp187-193
3. Raka Putra T. Penanganan Keracunan Akut. Dalam : Gawat
Darurat di Bidang Penyakit Dalam. Editor: Bakta IM, Suastika
IK. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1998; pp. 195-9
4. Linden CH, Burns MJ. Poisoning and Drug Overdosage. In:
Harrisons Principles of Internal Medicine. Edited by Kasper DL,
Braunwald G. Fauci AS. Hauser SL, Longo DL, Jamesson UL.
McGraw-Hill Company Inc, New York-Toronto. 16th Edition:
2005. Pp 2580-93
5. 5. Ford MM. Insecticides and Pesticides. In: Handbook of
Medical Toxicology. Viccellio P, Ed. USA. 1st edition 1993: pp
303-314

INTOKSIKASI METANOL
1. Pengertian / Definisi

Intoksikasi metanol merupakan intoksikasi akibat minum cairan yang

2. Anamnesis

mengandung metanol
Gangguan penglihatan, akut abdomen, abnormalitas neurologi berupa
konfusi, stupor sampai dengan koma. Pernafasan kussmaul, gangguan

3. Pemeriksaan Fisik
4. Diagnosis
5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis Banding

fungsi jantung dan hipotensi dapat terjadi akibat asidosis


Stupor sampai dengan koma, pernafasan kussmaul, hipotensi
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium
Intoksikasi Metanol
1. Intoksikasi obat : salisilat, ibuprofen, paraldehid, etilen glikol,
isoniasid, arsenik, preparat besi.
2. Tanpa riwayat minum metanol meliputi ketoasidosis diabetik,

7. Pemeriksaan Penunjang

pankreatitis, neprolitiasis, pendarahan subarachnoid, meningitis.


Pengukuran kadar metanol

Pada evaluasi perlu pemeriksaan analisa gas darah serial, pemeriksaan


glukosa darah, elektrolit, pemeriksaan foto dada, funduskopi dan MRI
8. Terapi

kepala.
1. Stabilisasi, meliputi: pembebasan jalan nafas, perbaikan fungsi
jalan nafas (ventilasi dan oksigen) dan perbaikan sistem sirkulasi
darah
2. Dekontaminasi dan eliminasi gastrointestinal
3. Pemberian infus etanol dipertimbangkan pada pasien yang
dicurigai mengonsumsi metanol 20mg/dL
4. Diuresis paksa atau bila tersedia sarana hemodialisis
5. Koreksi asidosis dengan pemberian sodium bikarbonat bila pH

9. Edukasi
10. Prognosis
11. Kepustakaan

darah kurang dari 7,2


6. Pemberian asam folat 50mg IV, setiap 4-6jam selama beberapa hari
7. Hipotensi diberikan cairan IV yang adekuat
Hindari minum minuman yang mengandung methanol
Dubia ad bonam
1. Jeffrey A. Krut, Ira Kurtz, 2008. In : Toxic Alcohol Ingestions:
Clinical Features, Diagnosis and Management. Clin J Am Soc
Nephrol 3 p 200-225
2. Metanol, Wikipedia Ensiklopedia bebas. Avaiable from
http://www. Wikipedia.com
3. England AG, Landry DR, 2001. Intoxicity Alcohols. Emedicime
Journal. Vol. 2. No. 5. Avaiable from
http://www.emedicine.com/emerg/topic19.htm
4. Hildebrand hanoch Victor, Yenny Kandarini, I Wayan Sudhana, I
Gede Raka Widiana, Jodi S. Loekman, Ketut Suwitra, 2010.
Clinical Manifestations of Methanol Intoxication in Sanglah
General Hospital, Denpasar, Bali
5. Kalyani Korabathina, 2009. In: Methanol. Emedicine Medscapes
Continually updated clinical reference. Avaiable from
http://www.emedicine.com
6. Susan B Masters. Alkohol. In: Betram G Katzung in Farmakologi
dasar dan Klinik. Penerjemah dan Editor Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Buku 2 Edisi 8.
Penerbit Salemba Medika, 2002. P58-51
7. Likosky D, 2001. In : Rutchik JS, Talavera, Galves-Jimenes, N, et
al. Editors. Methanol. Emedicine Journal vol 2 no 11. Avaiable
from http://www.emedicine.com
8. Ngoerah GNG. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Edisi ke-1.

Surabaya. Airlangga University Press. 1991. P.360-362.


9. 9. Motoki Fujita, et al. 2003. Methanol Intoxication: Differential
Diagnosis from Anion Gap-increased Acidosis. Advanced
Medical Emergency and Critical Care Center. Yamaguchi
University Hospital, Internal Medicine Vol. 4 p750-754

DIABETES MELITUS TIPE 1

1. Pengertian / Definisi

Diabetes Melitus tipe 1 adalah penyakit yang disebabkan oleh destrksi


sel beta pankreas karena proses autoimun sehingga mengkibatkan
defisiensi insulin dan kondisi hiperglikemia. Defisiensi insulin dapat
mencetuskan keadaan dekompensasi metabolik akut yang disebut
ketoasidosis diabetik (KAD) dan juga mengakibatkan komplikasi

2. Anamnesis

mikrovaskular akibat hiperglikemia kronik


Penurunan berat badan, poliuria, polidipsi, polifagi, dan penglihatan
kabur, jika terjadi ketoasidosis, penderita mengeluh nyeri abdomen,
mual, muntah, mialgia, dan sesak, disertai dengan gangguan
hemodinamik dan pada keadaan berat dapat terjadi gangguan

3. Pemeriksaan Fisik
4. Diagnosis

kesadaran
Diagnosis DMT1 ditegakkan bila kadar gula darah >200mg/dL,
disertai dengan gejala dan tanda diabetes (misalnya KAD). Jika
diagnosis DMT1 dan DMT2 sulit dibedakan dapat dilakukan
pemeriksaan antibodi terhadap GAD65, IA-2B (atau juga disebut islet
cell antibody/ ICA), atau IAA, atau dengan pemeriksaan C-peptida.

5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang

Kadar C-peptida umumnya rendah atau tidak terdeteksi pada DMT1


DM tipe 1
1. Menegakkan diagnosis DM sesuai dengan kriteria diagnosis DM
2. Menentuka DMT1 dengan pemeriksaan antibodi terhadap GAD65,
IA-2B (atau juga disebut islet cell antibody/ ICA), atau IAA
3. Kadar C-peptida
4. Skrining antibodi terhadap tiroid dan pemeriksaan TSH setiap tahun
jika didapatkan antibodi positif atau bila ada goiter
5. Monitoring HbA1c setiap 3 bulan
6. Rasio mikroalbumin-kreatinin setiap tahun
7. Kreatinin serum dan elektrolit

8. Terapi

8. Profil lipid
1. Pemantauan gula darah sendiri (self monitoring blood

9. Edukasi

glucose/SMBG)
2. Diet
3. Terapi insulin
Edukasi yang diberikan kepada penderita diabetes meliputi
pemahaman tentang :
- perjalanan penyakit diabetes

- makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan diabetes


- penyulit dan resikonya
- intervensi farmakologis dan nonfarmakologis
- cara pemantauan glukosa darah mandiri dan pemahaman tentang
hasil pemantauan
- mengatasi sementara keadaan darurat antara lain hipoglikemia
- pentingnya latihan jasmani yang teratur
- pentingnya perawatan diri
10. Prognosis
11. Kepustakaan

- keadaan khusus yang dihadapi seperti hiperglikemia pada kehamilan


Dubia ad bonam
1. American Diabetes Association 2004. Hyperglycemic Crisis in
Diabetes. Clinical Practice Recomendation 2004. Diabetes Care:27:
S94-102
2. Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Dibaetes Melitus Tipe 2
Di Indonesia. 2006. Perkumpulan Endrokinologi Indonesia
(PERKENI)
3. McGill JB, DeRosa, MA. Diabetes Mellitus Tipe 1. In: Henderson,
KE, Baransky TJ, Bickel PE (editors). The Washington Manual
Endrocrinology Subspecialty Consult. St. Louis: Lippincot William
& Wilkins, 2005. P169-79
4. McGill JB, Smiley DD, MA. Diabetes Mellitus Tipe 2. In:
Henderson, KE, Baransky TJ, Bickel PE (editors). The Washington
Manual Endrocrinology Subspecialty Consult. St. Louis: Lippincot
William & Wilkins, 2005. P180-89
5. Raju B. Hypoglycemia. In : Henderson, KE, Baransky TJ, Bickel
PE (editors). The Washington Manual Endrocrinology Subspecialty
Consult. St. Louis: Lippincot William & Wilkins, 2005.

DIABETES MELITUS TIPE 2


1. Pengertian / Definisi

Diabetes melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau


gangguan metabolisme yang ditandai dengan tingginya kadar gula
darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid, dan

2. Anamnesis

protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin.


Poliuri, polidipsi, polifagi dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan. Keluhan lain dapat berupa: badan lemah, kesemutan, gatal,
penglihatan kabur, dan disfungsi ereksi pada pria serta pruritus vulva

3. Pemeriksaan Fisik
4. Diagnosis

pada wanita
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah

5. Diagnosis Kerja

secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena


Kriteria diagnosis DM untuk penderita dewasa tidak hamil (salah satu
dari tersebut di bawah ini) :
1. Gejala klasik DM + glukosa darah sewaktu 200 mg/dL
(11,1mmol/L)
2. Gejala klasik DM + glukosa darah puasa 126 mg/dL (7mmol/L)

6. Diagnosis Banding

3. Kadar glukosa darah 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1mmol/L)


Untuk kasus-kasus hiperglikemia sesudah makan:
a. Penyakit hati kronik
b. GGK
c. Hipertiroid
Untuk kasus-kasus dengan reduksi urin positif:
a. Glukosuria renal

b. Galaktosuria pada kehamilan


c. Obat-obatan : vitamin C dosis tinggi tetapi kesemuanya reduksi urin
7. Pemeriksaan Penunjang

positif tanpa hiperglikemia


- Glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial
- A1C
- Profil lipid dalam keadaan puasa (kolesterol total, kolesterol HDL,
kolesterol LDL, trigliserida)
- kreatinin serum
- Urine: protein (bila perlu mikroalbuminuria), keton, sedimen urin
- Elektrokardiogram

8. Terapi

- Foto roentgen dada


1. Terapi Gizi Medis (TGM)
2. Latihan Jasmani
3. Intervensi farmakologis
a. Obat hipoglikemik oral, 4 golongan :
b. Insulin :
Diberikan pada keadaan:
- penurunan berat badan yang cepat
- hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- ketoasidosis diabetik
- hiperglikemia hiperosmolar (non ketotik)
- asidosis laktat
- gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
- stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut,
stroke)
- kehamilan (diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan TGM)

9. Edukasi

Edukasi yang diberikan kepada penderita diabetes meliputi


pemahaman tentang:
a.
b.
c.
d.
e.

perjalanan penyakit diabetes


makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan diabetes
penyulit dan resikonya
intervensi farmakologis dan non farmakologis
cara pemantauan glukosa darah mandiri dan pemahaman tentang

hasil pemantauan
f. mengatasi sementara keadaan darurat antara lain hipoglikemia
g. pentingnya latihan jasmani yang teratur
h. pentingnya perawatan diri
i. keadaan khusus yang dihadapi: seperti hiperglikemia pada
10. Prognosis

kehamilan
Dubia ad bonam

11. Kepustakaan

1. American Diabetes Association 2004. Hyperglycemic ciris in


diabetes. Clinical Practice Recommendation 2004. Diabetes Care;
27:S94-102
2. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di
Indonesia 2006, Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
(PERKENI)
3. McGill JB, DeRosa MA. Diabetes Mellitus tipe 1. In: Henderson,
KE, Baranksy TJ, Bickel PE (editors). The Washington Manual
Endocrinology Subspecialty Consult. St Louis: Lippincot William
Wilkins, 2005. P 169-79
4. McGill JB, DeRosa MA. Diabetes Mellitus tipe 2. In: Henderson,
KE, Baranksy TJ, Bickel PE (editors). The Washington Manual
Endocrinology Subspecialty Consult. St Louis: Lippincot William
Wilkins, 2005. P 180-89
5. Raju B. Hypoglicemia. In : Henderson, KE, Baranksy TJ, Bickel
PE (editors). The Washington Manual Endocrinology
Subspecialty Consult. St Louis: Lippincot William Wilkins, 2005.
P 169-79

HIPERTIROIDISME
1. Pengertian / Definisi

Hipertiroidisme adalah hiperfungsi kelenjar tiroid. Gejala-gejala yang

2. Anamnesis

muncul diakibatkan oleh kelebihan ekskresi hormon tiroid


Gejala:
- hiperaktivitas, gelisah (nervousness)
- tidak tahan suhu panas, keringat berlebihan

- lemah
- penurunan berat badan, bersamaan dengan nafsu makan meningkat
- palpitasi
- gangguan pada mata (mata kering, membonjol)
- sesak
- peningkatan frekuensi buang air besar
- oligomenore atau amenore, penurunan libido
Tanda:
- takikardia sinus, fibrilasi atrial
- goiter- multinodular atau difus
- tremor halus, hiperrefleksia
- kulit hangat, basah
- bruit di atas kelenjar tiroid
- graves ophthalmopathy
- rambut rontok
- kelemahan otot
- gagal jantung kongestif (high output)
- eritema palmaris, onikolisis
- paralisis periodik (terutama pada laki-laki asia)
3. Pemeriksaan Fisik
4. Diagnosis

- psikosis
Pemeriksaan kelanjar gondok
Diagnosis hipertiroidisme didasarkan atas hasil pemeriksaan
laboratorium yaitu adanya penurunan TSH dan peningkatan T4 bebas

5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang

atau peningkatan T3 (pada T3 toksikosis)


Hipertiroidisme
Diagnosis banding penyebab hipertiroidisme diatas penting untuk
memilih terapi yang tepat
1. TSH
2. fT4 (free thyroxine) atau T4 bebas
3. T3
4. Antibodi anti tiroid: TSI (thyroid stimulating immunoglobulin), dan
TRAb (TSH receptor antibodies)
Dapat terdeteksi pada graves disease, membantu diagnosis pada

8. Terapi

sebagian besar kasus


Terapi definitif:
1. Ablasi dengan RAI (radioactive iodine)
2. Obat-obat anti tiroid
- golongan thionamide:

3. Thyroidektomi subtotal
Dewasa ini pembedahan dipilih pada keadaan khusus, seperti:
- atas keinginan pasien
- wanita hamil yang tidak respon terhadap obat antitiroid
- goiter yang besar dan simptomatik
- ada dugaan keganasan
Terapi simptomatik:
Penghambat beta adrenergik
Obat ini menghilangkan gejala takikardi dan tremor. Jenis penghambat
beta adrenergic yang dipilih adalah propanolol, atenolol atau
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Kepustakaan

metoprolol
Kontrol dan konsumsi rutin sesuai anjuran
Dubia ad bonam
1. In : Henderson, KE, Baranksy TJ, Bickel PE (editors). The
Washington Manual Endocrinology Subspecialty Consult. St
Louis: Lippincot William Wilkins, 2005. P
2. Subramamniam S, Folt AF. Hypothyroidism. In : Henderson,
KE, Baranksy TJ, Bickel PE (editors). The Washington
Manual Endocrinology Subspecialty Consult. St Louis:
Lippincot William Wilkins, 2005. P 39-46

HEPATITIS VIRUS AKUT


1. Pengertian / Definisi

Hepatitis virus akut adalah keradangan hati yang disebabkan oleh virus

2. Anamnesis

hepatoropik
Secara klasik hepatitis virus akut simptomatik memberi gambaran
klinik mencakup ikterus, demam, anoreksia, nausea, muntah, atralgia
malaise/lesu, dan nyeri abdomen kanan atas. Demam jarang dijumpai
kecuali pada beberapa kasus infeksi akut virus hepatitis A. Beberapa
pasien cenderung mendapat gejala seperti flu ringan (flu-like

3. Pemeriksaan Fisik
4. Diagnosis

symptoms)
Ikterus, hepatomegali
A. Pada stadium preikterik : penyakit infeksi akut lain seperti
apendisitis akut. Penanda serologis penting untuk membedakan dengan
mononukleosis infeksiosa
B. Pada ikterik, diagnosis banding perlu dipikirkan terhadap penyebab
ikterus lain seperti : leptospirosism ikterus obstruktif ekstra hepatik,
toksoplasmosis, hepatitis akut karena obat, alkohol, iskemik mekrosis

5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang

dan malaria
Hepatitis virus akut
Penyebab ikterik yang lainnya
A. Laboratorium rutin: darah, urin, dan feses
B. Tes faal hati : serum transaminase (ALT dan AST), bilirubin total
dan direk, alkalifosfatase)
Penanda serologis untuk menentukan virus penyebab pada fase akut L
IgM anti HAV, IgM anti-HBc dan HbsAg, IgM anti-HCV, IgM antiHDV, IgM anti-HEV. Bila diperlukan dapat diperiksa IgM anti-CMC
dan IgM anti-EBV. Untuk hepatitis C akut perlu pemeriksaan RNAVHC yang mulai positif 2 minggu setelah terpapar, sedangkan anti

8. Terapi

HCV umumnya tidak terdeteksi sebelum 8-12 minggu


Tidak ada terapi spesifik pada hepatitis virus akut, Hindari bahan/obat
hepatotoksik dan alkohol
Istirahat, tirah baring sampai klinik dan laboratorium membaik. Diet:

kalori adekuatm bila nafsu makan membaik: diberikan diet tinggi


protein. Pada tipe fulminant dengan ensefalopati hepatik perlu
perawatan khusus dan intensif. Hepatitis virus akut B fulminan atau
berat dan berkepanjangan dapat diberi antivirus oral. Pasien dengan
infeksi hepatitis C akut dipertimbangkan terapi antivirus dengan
9. Edukasi

interferon
Program pencegahan infeksi hepatitis virus akut adalah sebagai
berikut:
1. Program pencegahan non-imunisasi
a. Pencegahan penuralan infeksi nonparenteral
Pendidikan kesehatan baik kepada petugas kesehatan maupun
masyarakat umum yaitu tentang cara penularan dan cara
pencegahannya.
b. Pencegahan penularan infeksi parenteral
Penyediaan fasilitas untuk sterilisasim cairan antiseptik dan
alat-alat medis sekali pakai (disposable). Seleksi donor sangat
penting untuk mencegah hepatitis pascatransfusi
2. Program pencegahan dengan imunisasi:
a. Imunisasi aktif dengan vaksin: saat ini tersedia vaksin untuk
hepatitis A dan B.
b. Imunisasi pasif:
Imunisasi pasif menggunakan globulin serum imun (IsG)
untuk hepatitis A dan HBIG (Hepatitis B Imun Globulin)
dengan titer anti HBs yang tinggi untuk hepatitis virus B.
c. Dengan HBIG dapat encegah infeksi VHB bila diberikan
sebelum virus masuk ke dalam tubuh atau segera setelah
kontak dengan virus hepatitis B. Untuk mendapatkan
perlindungan yang lama, maka sebaiknya pemberian HBIG
segera dengan vaksinasi hepatitis B
d. Imunisasi pasif-aktif:
Untuk mencegah infeksi VHB vertikal atau perinatal serta
pencegahan infeksi hepatitis B setelah kontak parenteral atau
kontak seksual atau melalui mukosa maka dapat diberikan
gabungan antara HBIG (imunisasi pasif) dan vaksin hepatitis
B.
e. Pemberian HBIG sebaiknya dilakkan paling lambat dalam 24
jam setelah kontak, dengan dosis 0,06 ml HBIG /kgBB secara

intramuskuler. Segera setelah itu diberikan vaksin hepatitis B


sesuai dengan protokol. Bila mungkin pemberian HBIG
10. Prognosis
11. Kepustakaan

diulang sebulan kemudian


Bervariasi
1. Kurstak E. Viral Hepatitis. Current Status and Issues. New York:
Springer Verlag/Wien. 1993
2. Sherlock S and Dooley J. Viral Hepatitis. Diseases of the Liver
and Biliary System. 11th Edition. Oxford: Blackwell
Publication,2002.
3. Zekry A, McHutchinson JG. The Hepatitis Viruses. In: Schiff ER.
Sorrell MF, Maddrey WC. Eds. Schiffs Diseases of the Liver.
10th ed. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins, 2007.
4. Perillo RP. Acute Viral Hepatitis, Viral Hepatitis. In: Gitnick G.,
Labrecqye DR, Moody FG. Disease of the Liver and Billiary
Tract. St Louis, Missouri: Mosby Year Book, Inc., 1992: 277-288
5. Koff RS. Acute Viral Hepatitis. In: Friedman LS, Keeffe EB.
Handbook of liver disease. Second edition. Philadelphia:
Churchill Livingstone, Elsevier, 2004: 29-44
6. Ghany MG, Strader DB, Thomas DL, Seeff LB. Diagnosis,
Management, and Treatment of Hepatitis C: An Update. AASLD
Practice Guidelines. Hepatology, 2009; 49: 1335-74
7. Lok ASF, McMahoon BJ. Chronic Hepatitis B: Updae 2009.
AASLD Practice Guideline Update Hepatology 2009; 50:1-33

HEPATITIS KRONIK
1. Pengertian / Definisi

Hepatitis kronik adala penyakit hati dengan gambaran histologis


bercorak inflamasi persisten, nekrosis dan fibrosis dalam berbagai

2. Anamnesis

tingkat, yang berlangsung lebih dari 6 bulan


Pada permulaan, keluhan ringan dan tidak khas, kadang-kadang hanya
lekas lelah, perut sebah, kembung, anoreksia ringan. Sedangkan gejalagejala seperti asites, perdarahan varises esofagus terdapat pada fase
lanjut

3. Pemeriksaan Fisik

Pada permulaan fisik tidka menunjukkan gejala yang khas kecuali


yang dari permulaan menderita hepatitis yang belum sembuh. Terdapat
ikterus yang ringan, hepatomegali dengan konsistensi kenyal, normal
atau keras, lien tidak teraba. Gejala peningkatan tekanan portal: edema,
asites, perdarahan esofagus terdapat pada fase lanjut.
Pada penderita hepatitis kronik perlu dilakukan biopsi untuk
pemeriksaan histopatologis guna menentukan tipenya, berat-ringannya

4. Diagnosis
5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang

serta akan menentukan perjalanan penyakitnya


Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang
Hepatitis kronik
1. Lab rutin : DL, UL, FL
2. Tes faal hati: bilirubin total dan direk, transaminase (AST dan
ALT), gamma-GT, alkalifosfatase, protein elektroforesis,
cholinesterase
3. Penanda virus : Hepatitis B: HbsAg, HbeAg, dan anti Hbe, DNAHBV; Hepatitis C: Anti-VHC dan RNA-VHC kwantitatif dan
genotip VHC.
4. Faal hemostasis
5. Laboratorium spesifik sesuai etiologi misalnya ANA (anti-nuclear
antibody), SMA (Smooth Muscle Antibody) untuk hepatitis kronik

8. Terapi

lupoid (autoimun), dll.


6. USG hati, peritoneoskopi dengan biopsi
7. Biopsi hati untuk pemeriksaan histopatologi
Istirahat teragantung keadaan penderita. Diet, tidak ada yang khusus,
tinggi kalori, tinggi protein, simptomatis, menghidanri obat-obatan
yang hepattoksik
Hepatitis kronik B, indikasi terapi antiviral:
Pasien dengan hepatitis B kronis
HbeAg (+) dan kadar ALT > 2x batas atas normal, DNA VHB

(+) > 20.000 IU/ml (> 105kopi/ml)


HbeAg (-)ALT > 2x batas atas normal, DNA VHB (+) > 2.000

IU/ml (> 104kopi/ml)


Sebelum terapi dimulai dapat diobservasi selama 3 bulan

untuk melihat kemungkinan adanya serokonversi spontan.


b. Pilihan terapi: interferon konvensional aatau interferon pegylated
atau nukeosid analog. Pada kasus dekompensasi hati maka pilihannya
adalah nukleosid analog

Hepatitis kronik C, indikasi terapi antiviral:


a. Histologi biopsi hati: sedang-berat, RNA-VHC positif
b. Pilihan terapi: kombinasi interferon pegylated dan ribavirin
c. Antiviral tidak diberikan pada sirosis dekompensata.
Hepatitis kronik autoimun, indikasi terapi:
a. Hepatitis yang berat (AST>10x batas atas normal atau AST>5x
batas atas normal dengan serum globulin 2x normal; bridging
nekrosis atau multilobular nekrosis pada biopsi hati
b. Prednison 60mh/hari kemudian diturunkan bertahap dalam 1
bulan untuk mencapai dosis pemeliharaan 20mg/hari. Alternatif
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Kepustakaan

lain kombinasi prednison 30mg/hari dengan azatioprin 50mg/hari.


Aktivitas fisik terkendali, kontrol teratur
Dubia ad malam
1. Dienstag JL, Isselbacher KJ. Chronic Hepatitis. In: Kasper DL,
Braunwald E, Fauci AS, et al. Eds. Harrisons Principles of
Internal Medicine. 16th ed. New York: McGraw Hill, 2005: 184455
2. Sherlock S and Dooley J. Viral Hepatitis. Disease of the Liver and
Biliary System. 11th Edition. Oxford: Blackwell Publication,
2002.
3. S Manns MP, Bahr MJ, Bantel H. Autoimun Hepatitis. In: Schiff
ER., Sorrell MF, Maddrey WC, Eds. Schiffs Disease of the Liver
10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins, 2007:
865-74
4. Schiff ER. Viral Hepatitis. In: Schiff ER., Sorrell MF, Maddrey
WC, Eds. Schiffs Disease of the Liver 10th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins, 2007: 707-83
5. Dove LM, Wright TL. Chronic Viral Hepatitis. In: Friedman LS,
Keeffe EB. Handbook of liver disease. Second edition,
Philadelphia: Churcill Livingstone, Elsevier, 2004: 29-44
6. Ghany MG, Strader DB, Thomas DL, Seeff LN. Diagnosis,
Management, and Treatment of Hepatitis C: An Update AASLD
Practice guidelines. Hepatology, 2009:49:1335-74
7. Lok ASF, McMahon BJ. Chronic Hepatitis B: Update 2009.
AASLD Practice Guideline Update Hepatology, 2009: 50: 1-33
8. Liaw YF, Leung N, Kao J-H, et al. For the Chronic Hepatitis B
Guideline Working Party of the Asian-Pacific Association for The
Study of The Liver. Asian Pacific Consensus Statement on the

management of chronic hepatitis B: a 2008 update. Hepatol Int


2008; 2:263- 283
9. Dove LM, Wright TL. Chronic Viral Hepatitis. In: Friedman LS,
Keeffe EB. Handbook of Liver Disease. Second Edition.
Philadelphia: Churchill Livingstone, Elsevier 2004: 45 -58
10. Czaja AJ. Autoimmune Hepatitis. In : Friedman LS, Keeffe EB.
Handbook of Liver disease. Second Edition. Philadelphia:
Churchill Livingstone, Elsevier 2004: 59-83

KANKER HATI
1. Pengertian / Definisi
2. Anamnesis

Kanker hati primer adalah tumor maligna dari hepatosit


Lemah, nyeri perut kanan atas, anoreksia, perut terasa penuh, berat
badan menurun, perut membesar, kaki bengkak, demam, mata kuning,

3. Pemeriksaan Fisik

hematemesis melena dan nyeri tulang


Asites dapat dijumpai, teraba massa seperti berbenjol-benjol di perut
kanan atas (hepatomegali), ikterus, splenomegali dan oleh karena
sering berasal dari sirosis hati, maka gejala hipertensi portal dan
kegagalan faal hati dapat dijumpai. Yang bukan berasal dari sirosis
hepatis maka pada pemeriksaan fisik tidak dijumpai tanda hipertensi

4. Diagnosis

portal dan kegagalan faal hati


Diagnosis sitohistologi (terutama lesi <2cm)
Diagnosis radiologis pada pasien sirosis (lesi hipervaskular>2cm fase
arteri pada 2 modalitas imaging berbeda_
Diagnosis radiologi/ biomarker pada pasien sirosis (lesi hipervaskular
>2cm fase arteri pada 1 modalitas imajing ditambah serum

5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang

alfafetoprotein > 400mg/ml)


Kanker hati
Abses hati
Tumor hati lain
Laboratorium rutin : DL, UL, FL
Tes faal hati: bilirubin total, direk, transaminase, alkalifosfatase,
gamma-GT, HbsAg, HbsAb, HbcAb, anti-HCV, alfa-fetoprotein,
PT, aPTT, faal koagulasi lain, peeriksaan biokimia darah lengkap,

8. Terapi

X-foto thorak
Pemeriksaan imaging: ultrasonografi hati, CT scan abdomen, MRI

hati, sidik hati


Bila massa positif, maka untuk memperkirakan kemungkinan

reseksi :arteriografi hepatik


Biopsi hati: memastikan diagnosis
a. Pembedahan:
1. Reseksi
2. Transplantasi
b. Terapi loko-regional:
1. Injeksi etanol perkutan (PEI)
2. Ablasi radiofrequensi (RFA)
3. TransArterial Chemo Embolisation (TACE)
4. TransArterial Radio Emolisation
5. Internal radiation (I131, Y90)
c. Terapi sistemik
1. Terapi molekuler target
2. Terapi simtomatik
Terapi sesuai stadium penyakit:
1. Terapi stadium O (very early stage) dan A (early stage)
(curative treatments): pilihan : reseksi, transplantasi hati, RFA,
atau PEI, sesuai degan kondisi klinik yang menyertai
2. Terapi Stadium B (intermediate stage): TACE,
3. Terapi Stadium C (advanced stage) : sorafenib. Terapi stadium

9. Edukasi
10. Prognosis
11. Kepustakaan

B dan C tergolong paliatif.


4. Terapi Stadium D (terminal stage) : simptomatik
Aktivitas terkendali, kontrol teratur
Dubia ad malam
1. Di Bisceglie AM. Hepatic Tumors. In : Friedman LS, Keeffe
EB. Handbook of Liver Disease. Second Edition.
Philadelphiia: Chirchill Livingstone, Elsevier, 2004: 339 348
2. Cabrera R, Nelson DR. The Management of Hepatocellular
Carcinoma. Aliment Pharmacol Ther 2010, 31: 461 476
3. Bruix J., Sherman M., AASLD Practice Guideline
Management of Hepatocellular Carcinoma: An Update.
Hepatology. 2011; 53: 1021-22
4. Sherlock S. Hepatic Tumours. Disease of the Liver and Biliary
System. 8th Edition. Oxford: Blackwell Scientific Publication,
1989: 584 617.
5. Bolondi L, Cheng AL, DI Biceglie AM. Handbook of

hepatocellular carcinoma. London : Evolving Medicine Ltd,


2009.
6. Bruix J., Sherman M., Llovet JM, et al. Clinical Management
of Hepatocellular Carcinoma of the Barcelona-2000 EASL
Conference. European Association for the Study of the Liver. J
Hepatol 2001; 35 (3): 1 30.
7. Bruix J, Branco FS, Ayuso C,. Hepatocellular Carcinoma. In:
Schiff ER, Sorrell MF, Maddrey WC. Eds. Schiffs Disease of
the Liver. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins 2007:
1253-77
8. World Gastroenterology Organisation Global Guideline.
Hepatocellular Carcinoma (HCC) : a global perspective, 2009

PERDARAHAN SALURAN MAKANAN


1. Pengertian / Definisi
2. Anamnesis

Perdarahan saluran makanan adalah perdarahan yang terjadi pada


mulut, esofagus, lambung, usus halus, kolon sampai anus
1. Harus dipastikan muntah darah atau bukan
2. Apakah disertai berak darah
3. Sejak kapan dan berapa perkiraan jumlah perdarahan
4. Riwayat penyakit sebelumnya: seperti panas badan, sakit kuning,
ambient, disentri
5. Nyeri uluhati yang berkaitan dengan makanan
6. Riwayat minum alkohol, jamu, dan obat tertentu

7. Riwayat muntah-muntah berlebihan yang tidak ada hubungannya

3. Pemeriksaan Fisik

dengan makanan
8. Kejang perut
1. Pertama yang harus dinilai adalah status hemodinamik
Bila syok harus segera ditanggulangi tanpa melakukan formalitas
pemeriksaan fisik yang sempurna, lakukan evaluasi perkiraan

4. Diagnosis
5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang

perdarahan
2. Kemudian dicari tanda-tanda penyakit yang mendasarinya :
- Stigmata penyakit hati kronis/ sirosis hati
- Tanda demam tifoid
- Tanda demam berdarah
- Tanda penyakit hematologi
- Tanda ulkus peptikum
- Tanda akut abdomen
3. Lakukan pemeriksaan colok dubur
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang
Perdarahan saluran makanan
Perdarahan saluran makanan karena sebab yang lain
1. Laboratorium rutin : darah lengkap, faal hemostasis, dan tes
golongan darah. Periksa faal hati, faal ginjal dan gula darah
2. Elektrokardiografi : terutama pada usia tua, atau dilakukan
pembedahan
3. Radiologi : foto polos abdoen bila perlu foto setengah duduk,

8. Terapi

ultrasonografi
4. Endoskopi : esofagogastroduodenoskopi
A. Tatalaksana perdarahan major
1. Resusitasi aktif:
a. Perdarahan <750cc : cairan kristaloid (iv line)
b. Perdarahan 750 1500 cc:
resusitasi dengan
- cairan kristaloid tetesan cepat
- persiapan transfusi
c. Perdarahan 1500 2000cc:
resusitasi dengan
- cairan kristaloid/koloid (tetesan cepat)
- transfusi darah
- pemantauan vena sentral
d. Perdarahan > 2000cc:
- Resusitasi dengan cairan kristaloid 1 liter dalam 1jam
- Bila tetap syok berikan kolid tetesan cepat dan
-

transfusi darah
Pemantauan vena sentral
Oksigen masker 5L/menit

2. Kumbah lambung
3. Inhibitor pompa proton dosis tinggi

4. Obat lain yang masih ada tempatnya adalah : Antasid, sukralfat


5. Terapi endoskopi
6. Pembedahan
B. Tatalaksana Perdarahan Minor:
1. Kumbah lambung dengan air es
2. Inhibitor pompa proton
3. Obat lain yang masih ada tempatnya : antasid, sukralfat
4. Endoskopi dilakukan secara elektif
C. Tatalaksana Perdarahan Varises:
1. Penilaian awal
Evaluasi:
-

Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik (tanda vital)


Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap dan faal hemostasis,

tes fungsi hati


Tentukan kriteria Child-Pug untuk menilai prognosis
Dilakukan pemasangan IV line
Dilakukan pemasangan pipa nasogastrik ( untuk kumbah

lambung dengan air es, setiap 2,4,6 jam)


Dilakukan lavement setiap 12 jam

2. Resusitasi
3. Penentuan status hemodinamik
a. Pada hemodinamik yang stabil, tanpa perdarahan aktif
diberikan terapi empirik, seperti vitamin K, obat anti sekresi,
antasid dan sukralfat. Jika perdarahan berhenti, dilakukan
evaluasi elektif (esofagoduodenoskopi), untuk selanjutnya
mendapat terapi definitif
b. Pada hemodinamik tidak stabil dengan perdarahan aktif:
dilakukan resuisitasi dengan kristaloid, koloid, transfusi darah
dan koreksi faktor koagulasi.
- Jika perdarahan masih berlangsung (tensi 90/60mmHg,
nadi >100x/menit, Hb 9g/dL, dan Till tes positif), maka
dilakukan pemberian obat vasoaktif (octreotid atau
-

somatostatin).
Jika perdarahan terus berlangsung, makan dilakukan

endoskopi gastrointestinal bagian atas emergensi / secara


-

dini untuk dilakukan ligasi atau skeroterap.


Jika disertai perdarahan ulkus dilakukan endoskopi terapi,
apanila sumber pendarahan sulit ditentukan maka

dilakkan terapi radiologi intervensi.


Jika tidak ada sarana endoskopi akan dilakukan
pemasangan SB tube/ balon tamponade. Pemasangan SB
tube juga dilakukan pada perdarahan masif sebagai
temporary bridge sampai tindakan definitif dapat

dilakukan (maksimum dalam waktu 24 jam).


Jika perdarahan terus berlangsung, maka indikasi

melakukan pembedahan urgent.


Jika perdarahan dapat diatasi dengan obat vaso-aktif maka
dilakukan evaluasi endoskopi elektif untuk menentukan
apakah perdarahan varises esofagus atau perdarahan

varises lambung
c. Pada perdarahan varises esofagus:
Dilakukan terapi ligasi endoskopi atau skleroterapi. Jika gagal
maka dilakukan TIPSS (Transjugular Intrahepatic Porto
Systemic Shunt) atau pembedahan
d. Pada perdarahan varises lambung
Tentukan klasifikasinya, apakah termasuk varises
gastroesofagial (GOV tipe 1 atau GOV tipe II) atau termasuk
varises lammbung terisolasi (IGV tipe I atau IGV tipe II).
Pada GOV terapinya dengan ligasi varises. Pada IGV tipe II
(varises fundus) dengan perdarahan aktif, hanya ekfektif
dengan injeksi N-butyl cyanoacrylate (histoacryl glue). Atau
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Kepustakaan

dapat dipertimbangkan melakukan TIPSS


Hindari faktor pencetus, kontrol teratur
Dubia ad bonam
1. Thuluvath PJ. Management of acute variceal bleeding. In:
Advanced therapy in gastroenterology and liver disease. 5th
edition. BC Decker Inc, London : 2005,p. 119
2. Lau JYW and Chung SCS. Hematemesis and Melena. In: Clinical
Gastroenterlogy and Hepatology. First Edition. Mosby, Spain,
2005,p.121
3. Kovacs TOG and Jensen DM. Acute Lower gastrointestinal
bleeding. In: Clinical gastroenterology and hepatology. First

Edition. Mosby, Spain. 2005.p.127


4. Rockey DC. Gastrointestinal bleeding. In: Sleisenger and
Fordtrans gastrointestinal and liver disease. Pathophysiology/
Diagnosis/ Management. 7th Edition. Sounders. 2002. P211
5. Elta GH. Approach to the patient with gross gastrointestinal
bleeding. In: Textbook of gastroenterology. 5th edition. USA.
2003, p698
6. Khan YI and Gunaratman NT. Acute nonvariceal bleeding. In:
Clinical gastrointestinal endoscopy. First edition. Sounders. China
2005, p.145
7. Sarin SK and Sharma BC. Portal Hypertensive bleeding. In:
Clinical gastrointestinal endoscopy. First edition. Sounders.
China. 2005, p.165
8. Savides TJ. Lower gastrointestinal bleeding. In: Clinical
gastrointestinal endoscopy. First edition. Sounders. China 2005,
p.185
9. Intabha R and Jensen DM. Acute Upper Gastrointestinal
Bleeding. In: Current diagnosis and treatment in gastroenterology.
2nd Edition. McGraw Hill. Singapore.2003,p.53
10. Savides TJ and Jensen DM. Acute lower gastrointestinal bleeding.
In: Current diagnosis and treatment in gastroenterology. 2nd
edition. McGraw Hill. Singapore 2003. P.70
11. Long RG and Scott BB. Gastrointestinal bleeding acute and
chronic. In : Specialist training in gastroenterology and liver
disease First edition. Elsevier. 2005, p.159
12. Bosh J, Damino G, Juan C, Pagan G. Portal Hypertension and
nonsurgical management. In: Schiffs disease of the liver, 10th
edition. Lippincott and Wilkins. Philadelphia, 2007 p.419
13. Grace ND and Tilson RS. Pharmacologic therapy for the
management of esophageal varices. In: Portal Hypertension.
Humana Press, New Jersey. 2005. P199
14. Fox C and Lamabard M. Haematemesis and Melena. In: Crash
course gastroneterology. 2nd edition. Mosby, Toronto. 2004. P.37
15. Pongprasobchai S, Nimitvilai S, Chasawat J, Manatsathit S.
Upper gastrointestinal bleeding etiology score for predicting
variceal and non-variceal bleeding. World J Gastroenterol 2009;
15: 1099-1104
16. Holster IL & Kuipers EJ. Update on the Endoscopic Management

of Peptic Ulcer Bleeding. Curr Gastroenterol Rep, 2011; 13: 525531


17. Srygley FD, Gerardo CJ, Tran T, Fisher DA. Does This Patient
Have a Severe Upper Gastrointestinal Bleed? JAMA. 2012: 307:
1072-1079
18. Greenspoon J, Barkun A. Recent recommendations on the
management of patient with nonvariceal upper gastrointestinal
bleeding. Pol Arch Med. 2010; 120: 341 346
19. Holster IL, Kuipers EJ. Management of acute nonvariceal upper
gastrointestinal bleeding: Current policies and future perspectives.
World Gastroenterol 2012;18 : 1202 1207
20. Trawick EP, Yachimski PS. Management of nonvariceal upper
gastrointestinal tract hemorrhage: Controversies and areas of
uncertainty. World J Gastroenterol 2012, 21; 18: 1159 1165
21. Barkun AN, Bardou M, Kuipers EJ, Sung J, Hunt RH, Martel M,
and Sinclair P. International Consensus Recommendations on the
Management of Patients With Nonvariceal Upper Gastrointestinal
Bleeding. Ann Intern Med. 2010; 152: 101-113
22. Hayes SM, Murray S, Dupuis M, Dawes M. Barriers to the
implementation of practice guidelines in managing patients with
nonvariceal upper gastrointestinal bleeding: A qualitative
approach. Can J Gastroenterol 2010; 24: 289-296
23. Khaderi S, Barnes D. Preventing a first episode of esophageal
variceal hemorrhage. Clev Clin J Med. 2008, 75: 235-243
24. Bittencourti PL, Fariaz AQ, Strauss E, De Mattos AA. Variceal
Bleeding: Consensus meeting report from the Brazilian Society of
Hepatology. Arq Gastroenterol. 2010, 47: 202-216

ENSEFALOPATI HEPATIK
1. Pengertian / Definisi

Suatu sindrim neuropsikiatrik yang ditandai oleh perubahan kesadaran,


penurunan fungsi intelektual dan kelainan neurologis yang dapat
dijumpai pada kegagalan sel-sel hati akut, kegagalan faal hati
fulminant atau pada penyakit hati menahun, ensefalopati portosistemik, dengan atau tanpa sirkulasi kolateral yang spontan atau pasca

2. Anamnesis

bedah
A. Gejala neuropsikiatrik
1. Tingkat/ derajat kesadaran:
- Fase awal hipersomnia, selanjutnya irama tidur
-

berubah menjadi terbalik.


Tanda dini lain : berkurangnya gerakan spontan, sering

melamun, apatis, respon lambat dan pendek


Perubahan lebih lanjut berupa respon yang terbatas
hanya terhadap rangsang kuat dan selanjutnya berakhir

dengan koma
2. Kepribadian:
Perubahan kepribadian pada ensefalopati porto-sistemik
bervariasi. Perhatian terhadap orang dan sekitar berkurang,
bersikap seperti anak-anak. Perubahan kepribadian antara
euforia dan depresi. Psikosis jarang merupakan manifestasi
awal
3. Fungsi intelektual
Bervariasi dari ringan sampai berat. Penderita tidak dapat
membedakan benda dengan bentuk, ukuran serta fungsi serupa
4. Bicara
Bicara lambat dan tidak jelas, suara lemah dan monoton
B. Gejala neuromuskuler
1. Fase dini (awal): sering dijumpai astereksis (flapping tremor),
hiperefleksi, klonus
2. Perubahan lebih lanjut: sering menyeringai, timbul refleks
menggenggam dan mengisap, serta gangguan penglihatan.
3. Stadium akhir: astereksis menghilang, refleks tendon
melemah, refleks kornea dan pupil melemah sampai
3. Pemeriksaan Fisik
4. Diagnosis
5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang

menghilang
Bervariasi
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang
Ensefalopati hepatik
Ensefalopati karena sebab yang lain
1. Ammoniak : peningkatan kadar ammoniak tidak sebanding
dengan derajat ensefalopati. Pemeriksaan ammoniak darah tidak
selalu diperlukan dalam menegakkan diagnosis EH
2. Tes faal hati:
Pada kegagalan faal hati fulminan terjadi disfungsi hati yang
berat. Tes faal hati sesuai dengan derajat kelainan parenkim hati

3. Elektroensefalografi (EEG)
Bersifat sensitif tetapi tidak spesifik. Aktivitas elektrik otak
melambat, mungkin dijumpai adanya voltase tinggi dan kadangkadang ada gelombang lambat (slow wave)
4. Pemeriksaan laboratorium lain
Biasanya dikerjakan untuk mencari adanya komplikasi,
memisahkan diagnosis banding serta melihat gangguan
metabolisme lain : pemeriksaan darah lengkap, PT, pTT,
elektrolit, ureum, kreatinin, glukosa darah, serum amilase,
8. Terapi

kalsium, fosfor, magnesium, dan urinalisis


UMUM
Secara umum penanganan EH pada kegagalan faal hati
fulminan dan ensefalopati porto-sistemik adalah sama. Standar
pengobatan adalah mencari, menghindari dan mengatasi faktor
pencetus, memberi vitamin dan kalori yang cukup. Penatalaksanaan
pasien EH di Rumah sakit terutama tertuju pada upaya suportif,
mengatasi faktor pencetus dan terapi laktulosa dna atau firaximin.
Untuk pasien rawat jalan, disamping mencegah kekamuhan, laktulosa
dan rifaximin terbukti bermanfaat. Pertahankan keseimbangan cairan,
elektrolit, serta kebutuhan energi.
Terdapat beberapa opsi terapi untuk EH yaitu: mengurangi
produksi amonia, meningkatkan fiksasi dan atau ekskresi ammonia,
direc neurological action dan modifikasi kolateral porto-sistemik.
KHUSUS
1. Penanggulangan faktor pencetus
2. Nutrisi: minimal 1600 kalopri per hari (25-35 kcal/kgBB dan
200g karbohidrat untuk mencegah katabolisme protein, lewat
jalur oral, parenteral, atau intra gaster.
3. Mengurangi produksi amonia dan jumlah substansi nitrogen:
a. Mengurangi diet protein : pada kegagalan hati berat diberi diit
bebas protein, untuk selanjutnya dinaikkan 10-20gram setiap
2-5 hari bila keadaan klinik membaik.
b. Diit protein khusus: pilih protein nabati. Untuk mengoreksi
gangguan keseimbangan asam amino rantai cabang dan asam
amino aromatik, diberi cairan yang kaya akan asam amino
rantai cabang
c. Lavement: membersihkan saluran cerna merupakan langkah

esensial. Diusahakan defekasi 2-3 sehari


d. Mengubah flora kolon:
i. Antibiotika : neomisin 3-6gram dalam 24 ja, metronidazol
2x250mg selama 7 hari atau aminoglikosida lain. Pilihan
lain: paramomisin 4 x500mg atau rifaximin 3x200mg.hari
ii. Laktulosa : 4x 15-30ml
4. L-ornithine-L-aspartate (LOLA) menurunkan kadar amonia darah
dengan menyediakan substrat untuk perubahan metabolik
intraseluler dari ammonia menjadi urea dan glutamin. Dari hasil
uji klinis menunjukkan LOLA menurunkan kadar ammonia dan
memberikan keuntungan pada pasien EH kronis derajat ringan
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Kepustakaan

sampai sedang
Kendalikan faktor resiko, kontrol teratur
Dubia ad bonam
1. Bajaj JS. Review Article: The Modern Management of Hepatic
Encephalopaty. Aliment Pharmacol Ther 2010; 31:537-47
2. Kuntz E, Kuntz HD. Hepatic Encephalopathy. Hepatology
Textbook and Atlas. 3rd Edition. Wurzburg: Springer
Medizinverlag. 2008: 272-89
3. Greenberger NJ. Portal Systemic Encephalopathy & Hepatic
Encephalopathy. In: Greenberger NJ, Blumberg RS, Burakoff R,
Eds. Current Diagnosis and treatment gastroenterlology,
hepatologym endoscopy. New York: McGrawHill,2009: 473-6
4. Mullen KD. Review of the final report of the 1998 Working Party
on definition, nomenclature and diagnosis of hepatic
encephalopathy Alimen Pharmacol Ther 2006; 25 (Suppl.1): 11 -16
5. Bass NM. Review article: the current pharmacological therapies for
hepatic encephalopathy. Aliment Pharmacol Ther 2006; 25
(Suppl.1): 23-31
6. Cordoba J., Blei AT. Hepatic Encephalopathy. In: Schiff ER.,
Sorrell MF, Maddrey WC. Eds. Schiffs Diseases of tthe Liver.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. 2007 : 569-99

GASTRITIS
1. Pengertian / Definisi

Gasritis adalah peradangan mukosa lambung, dibedakan menjadi

2. Anamnesis

gastritis akut dan gastritis kronik


Gastritis Akut:

3. Pemeriksaan Fisik
4. Diagnosis

1. Mual dan muntah


2. Nyeri epigastrium
3. Hematemesis, melena (pada kasus yang berat)
Gastritis kronik
1. Kebanyakan keluhannya minimal (rasa tidak nyaman saat makan)
2. Rasa nyeri di perut bagian atas dalam jangka lama (dispepsia)
3. Anemia pernisiosa
4. Mirip dengan gejala gastritis akut yang berlangsung lama
Nyeri tekan epigastrium, gejala komplikasi (anemia, perdarahan)
Diagnosis ditegakkan berdasarkan klinis (seperti riwayat minum
NSAID, peminum alkohol yang berat), pada pemeriksaan fisik
dijumpai nyeri epigastrium (walaupun tidak khas). Untuk kasus yang

5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis Banding

berat, gambaran endoskopi dijumpai erosi superfisial.


Gastritis
1. Klinis Dispepsia
2. Endoskopi (EGD): mukosa lambung hiperemis, edema

3. Anemia perniciosa dan antibodi sel parietal positif (pada gastritis


7. Pemeriksaan Penunjang

8. Terapi

9. Edukasi
10. Prognosis
11. Kepustakaan

autoimun
1. Endoskopi (esofagogastroduodenoskopi) pada kasus yang berat :
tampak berbagai erosi sampai perdarahan (karena erosi akut)
2. Antibodi sel parietal
1. Terapi penyebab dan terapi simtomatik
2. Pada perdarahan gastrointestinal : diberikan inhibitor pompa
proton (omeprazol)
3. Pengobatan terhadap penyebab (eradikasi H pylori)
4. Pengobatan terhadap komplikasi
5. Vitamin B12 (pada anemia perniciosa)
Hindari faktor pencetus
Dubia ad bonam
1. Weisten WM. Chronic Gastritis. In: Advanced therapy in
gastroenterology and liver disease. 5th Edition. BC Decker Inc,
London: 2005,p. 178
2. Genta RM, Gastritis. In: Clinical gastroenterology and and
hepatology. First Edition. Mosby, Spain. 2005.p.223
3. Liee EL and Feldman M. Gastritis and other gastropathies. In:
Sleisenger and Fordtrans gastrointestinal and liver disease.
Pathophysiology/ Diagnosis/ Management. 7th edition Sounders.
2002.p.810
4. Genta RM. Gastritis and gastropathy. In: Textbook of
gastroenterology. 5th edition. USA. 2003, p.1394
5. Graham DY, Lu H, and Yamaoka Y. African, Asian or Indian
enigma, the East Asian Helicobacter pylori: facts or medical
myths. J Dig Dis. 2009; 10:77-84
6. Agreus L, Kuipers EJ, Kupcinskas L, Malfertheiner P. Rationale
in diagnosis and screening of atrophic gastritis with stomachspesific plasma biomarkers. Scandinavian Journal of
Gastroenterology. 2012; 47: 136-147
7. Malfertheiner P, Megraud F. OMorain CA, Atherton J, Axon
ATR, Franco Bazzoli F, Gensini GF, Gisbert JP, Graham DY,
Rokkas T, El-Omar EM, Kuipers EJ, Management of
Helicobacter pylori infection the Maastricht IV/ Florence
Consensus Report European. The Helicobacter Study Group
(EHSG). Gut 2012; 61:646 664
8. Chey WD, Wong BCY. American College of Gastroenterology
Guideline on the Management of Helicobacter pylori Infection.

Am J Gastroenterol 2007; 102: 1808 1825

SIROSIS HEPATIS
1. Pengertian / Definisi

Adalah suatu penyakit hati menahun berupa kerusakan parenkim difus


yang ditandai oleh perubahan sirkulasi mikro, anatomi pembuluh
darah besar dan seluruh sistem arsitektur hati yang disebabkan oleh
fibrosis difus, penumpukan jaringan ikat kolagen, serta regenerasi

2. Anamnesis

noduler hepatosit
Non-spesifik sesuai derajat kerusakan hati.

Perut membesar, kaki bengkakm badan lemah, nafsu makan


berkurang, mudah kenyang, badan mengurus, rasa tidak enak di
epigastrium, kembung, mual, kelemahan otot, sakit perut kanan atas,
3. Pemeriksaan Fisik
4. Diagnosis
5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang

berak hitam atau muntah darah


Tanda-tanda penyakit hati kronik / Liver stigmata
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang
Sirosis hepatis
1. Laboratorium rutin : urin (urobilin, bilirubin, dan ekskresi natrium
menurun <3mEq/l), feses (pemeriksaan benzidin), darah (anemia,
tanda hipersplenisme, faal hemostatik)
2. Tes biokimia: serum transaminase, bilirubin, alkali fosfatase,
elektroforesis protein, hipoprothrombinemia, hipokolesterolemia,
waktu protrombin memanjang, BSP, kholinesterase dan asam
empedu
3. Sero-imunologik: hipoalbumin, hiperglobulin terutama
gammaglobulin, IgG meningkat
4. Petanda serologis : VHB, VHC, VHD
5. Pemeriksaan penunjang lain : endoskopi dan X-foto dengan barium
pada saluran makan bagian atas, ultrasonografi, sidik hati,
tomografi, analisis asites dan laparoskopi / peritoneoskopi.
6. Diagnosis pasti : diagnosis morfologi (patologi anatomi) dengan

8. Terapi

biopsi
Pengobatan non-spesifik dan suportif:
1. Eliminasi bahan toksik: alkohol, obat hepatotoksik
2. Diit cukup kalori, vitamin, dan protein, rendah garam
3. Istirahat yang cukup
4. Batasi asupan cairan bila edema dan asites menonjol
5. Koreksi anemia, hipoproteinemia serta atasi infeksi
6. Untuk edema dan asites diberi diuretik spironolakton atau
amilorid, ila belum berhasil dapat dikombinasi dengan
furosemid atau asam etakrinat
7. Berdasarkan derajat asites:
a. Asites derajat 1/ ringan (hanya terdeteksi dengan
USG): belum perlu terapi
b. Asites derajat 2/ sedang (distensi perut simetri dan
moderat) : cukup terapi diit rendah garam dan diuretik
c. Asites derajat 3 / berat atau gross ascites (distensi perut
berat/tegang) : paracentesis volume besar diikuti diit
rendah garam dan diuretik (kecuali asites refrakter)
8. Terapi komplikasi dan terapi spesifik sesuai etiologinya bila

diketahui penyebabnya
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Kepustakaan

Dubia ad bonam
1. Chung RT, Podolsky DK. Cirrhosis and its complications. In:
Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, et al. Eds Harrisons
principles of Internal Medicine. 16th New York: McGraw Hill,
2005: 1858-68
2. Sherlock S and Dooley J. Diseases of the Liver and Biliary
System. 11th Edition. Oxford: Blackwell Publication, 2002.
3. Choudhury J and Sanyal AJ. Cirrhosis and Its Complications. In:
Reddy KR, Faust T., Eds. The Clinicians guide to liver disease.
New Jersey: SLACK incorporated, 2006: 32 53.
4. Cheney CP, Goldberg EM, Chopra S. Cirrhosis and portal
hypertension : an Overview. In: Friedman LS, Keeffe EB.
Handbook of Liver disease. Second edition. Philadelphia:
Churchill Livingstone, Elsevier, 2004: 125-137
5. European Association for the Study of the Liver. EASL clinical
practice guidelines on the management of ascites, spontaneous
bacterial peritonitis, and hepatorenal syndrome in cirrhosis. J
Hepatol 2010, 53: 397 417.
6. Kuntz E, Kuntz HD. Hepatology Textbook and Atlas. Wurzburg:
Springer Medizin Verlag Heidelberg. 2008: 414-15.

ULKUS PEPTIKUM
1. Pengertian / Definisi

Ulkus peptikum merupakan penyakit saluran cerna bagian atas


ditandai oleh kerusakan atau hilangnya jaringan yang berbatas tegas
dari mukosa, submukosa dan lapisan otot yang langsung berhubungan

2. Anamnesis

dengan asam lambung dan pepsin


Keluhan utama adalah nyeri epigastrium, dengan tanda khas:
1. Kronik (bulanan/tahunan)
2. Periodik (remisi dan eksaserbasi)
3. Iramanya ritmik (seperti: lapar-nyeri-makan-nyeri hilang)
4. Kualitasnya (menetap / kontinyu)
Pada keadaan yang berat, pola tersebut berubah, nyeri dapat lebih lama
dan lebih berat, kadang-kadang dirasakan pada tengah malam. Sering

3. Pemeriksaan Fisik

dijumpai gejala dan komplikasinya


Umumnya minimal
Nyeri tekan tidak khas pada epigastrium

4. Diagnosis
5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis Banding

Gejala komplikasi
Anamnesis, penunjang, endoskopi
Ulkus peptikum
Kolesistitis akut
Pankreatitis akut
Abses hati

7. Pemeriksaan Penunjang

8. Terapi

Infark jantung akut


Endoskopi esofagogastroduodenoskopi dan biopsi
Foto saluran cerna dengan kontras
Pertanda infeksi H pylori : serologi H pylori, tes nafas urea, stool
antigen
1. Diet lunak yang tidak merangsang pengeluaran asam lambung
diberikan dalam porsi kecil dengan beberapa kali sajian.
2. Makanan / obat yang dihindari: alkohol, kopi, coklat, merokok,
obat golongan xanthin, OAINS, kortikosteroid, salisilat, makanan
tinggi serat, makanan tinggi lemak, bumbu pedas
3. Medikamentosa: antasid, antikolinergik, reseptor H2 antagonis
(cimetidin, ranitidin, famotidin), pengatur motilitas (sukralfat,
setraksat, teprenon, bismuth), inhibitor pompa proton dan

antibiotika (untuk eradikasi H pylori), antioksidan (rebamipid)


4. Terapi endoskopik : injeksi adrenalin intragastrik, elektrokoagulasi,

9. Edukasi
10. Prognosis
11. Kepustakaan

hemoclip
5. Terapi terhadap penyulit: seperti pembedahan
Hindari faktor pencetus
Bervariasi
1. Fox C and Lambard M. Stomach. In: Crash Course
gastroenterology. 2nd edition. Mosby, Toronto. 2004. P73
2. Long RG and Scott BB. Upper gastrointestinal disease. In:
Specialist training in gastroenterology and liver disease. First
edition. Elsevier. 2005. P.14
3. Chey WD, and Scheiman JM. Peptic Ulcer disease. In: Current
diagnosis and treatment in gastroenterology. 2nd edition.
McGraw Hill. Singapore 2003. P232
4. Valle JD, Chey WD and Scheiman JM. Acid Peptic Disorders. In:
Textbook of gastroenterology. 5th edition, USA.2003,p.1321.
5. Spechler ST. Peptic Ulcer Disease and Its Complication. In:
Sleisenger and Fordtrans Gastrointestinal and Liver Disease.
Pathophysiology/ Diagnosis/ Management. 7th edition. Sounders.
2002,p 747
6. Pesegna JR. Peptic ulcer disease. In: Advanced therapy in
gastroenterology and liver disease. 5th edition. BC Decker Inc,
London: 2005,p.147
7. Hawkey CJ and Atherton JC. Pectic Ulcer. In: Clinical
Gastroenterology and Hepatology. First Edition. Mosby, Spain,
2005,p.207
8. Goldie L. Peters GL. Jennifer L. Rosselli J, Kerr JL. Overview of
Peptic Ulcer Disease. Pharm D, 2011
9. Newton EB, Versland MR, Sepe TE. Giant duodenal ulcers.
Protocol for Diagnosis and Treatment of Peptic Ulcer in Adults.
W J G, 2008:28; 14: 4995 4999

Anda mungkin juga menyukai