Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH FARMASI PRAKTIS

MONITORING EFEK SAMPING OBAT

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. RA. Oetari, SU, MM, M.Sc., Apt.

Kelas C
Anggota Kelompok 1:
1. Rosita Puspa N. (1920384288)
2. Rosmalinda Utami (1920384289)
3. Silvia Nur Anggraini (1920384290)
4. Siti Aminah (1920384291)
5. Siti Fatmah (1920384292)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Efek Samping Obat/ESO (Adverse Drug Reactions/ADR) adalah respon terhadap suatu obat yang
merugikan dan tidak diinginkan dan yang terjadi pada dosis yang biasanya digunakan pada manusia untuk
pencegahan, diagnosis, atau terapi penyakit atau untuk modifikasi fungsi fisiologik. Respon efek samping
obat antara individu satu dengan yang lainnya bisa bervariasi, hal ini terkait perbedaan imunitas maupun
patofisiologis tubuh setiap individu. Keragaman respon yang ditimbulkan dapat berupa prevalensi maupun
tingkat keparahan efek samping yang timbul. Hal tersebut menjadi suatu persoalan yang kompleks yang
harus ditangani oleh tenaga kefarmasian. Oleh karena itu, diperlukan suatu monitoring efek samping obat
(MESO) untuk meminimalisir kerugian yang ditimbulkan akibat efek samping obat.

Monitoring efek samping obat bertujuan untuk :

a. Untuk mengenali suatu obat dengan baik dan untuk mengenali respon orang terhadap obat.
b. Membantu meningkatkan pengetahuan tentang obat, manusia atau penyakit dari waktu ke waktu.
c. Menerima info terkini tentang efek samping obat.
d. Menemukan efek samping obat (ESO) sedini mungkin terutama yang berat, tidak dikenal dan
frekuensinya jarang.
e. Menentukan frekuensi dan insidensi efek samping obat yang sudah dikenal dan yang baru saja ditemukan.
f. Mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan/mempengaruhi angka kejadian dan hebatnya
efek samping obat.
g. Meminimalkan resiko kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki.
h. Mencegah terulangnya kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki.

Salah satu efek samping obat yang memerlukan monitoring adalah efek samping batuk kering pada
penggunaan obat hipertensi kaptopril, karena angka kejadian efek samping tersebut masih cukup tinggi (Al-
Youzbaki dan Mahmood, 2006). Beberapa studi melaporkan angka kejadian efek samping batuk kering pada
penggunaan kaptopril lebih sering terjadi pada wanita lansia. Sedangkan pada penelitian lain menyebutkan
bahwa tidak ada perbedaan terhadap tingkat kejadian efek samping batuk kering baik pada usia dan jenis
kelamin tertentu. Selain itu terdapat pula studi yang melaporkan tingkat kejadian efek samping batuk kering
lebih dominan pada ras tertentu (Salami dan Katibi, 2005).
Berdasarkan laporan-laporan tersebut, maka disusunnya makalah ini bertujuan untuk mereview
penelitian terkait monitoring efek samping batuk kering pada penggunaan kaptopril.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana patofisiologi batuk?
2. Bagaimana farmakologi kaptopril?
3. Bagaimana kaptopril bisa menimbukan efek samping batuk kering?
4. Bagaimana review jurnal terkait monitoring efek samping batuk kering?
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Patofisiologi Batuk
Mekanisme batuk pada dasarnya terdiri dari 3 fase, yaitu fase inspirasi, fase kompresi dan ekskresi.
Batuk bermula dari inhalasi sejumlah udara, kemudian glotis akan menutup dan tekanan di dalam paru
akan meningkat yang selanjutnya diikuti dengan pembukaan glotis secara tiba-tiba dan ekspirasi sejumlah
udara dalam kecepatan tertentu (Farsan, 1978; Crofton, 1989; Hadiarto dan Tjandra, 1985).
Fase inspirasi dimulai dengan inspirasi singkat dan cepat dari sejumlah besar udara, pada saat ini glotis
secara refleks sudah terbuka. Setelah udara di inspirasi, maka mulailah fase kompresi. Glotis akan
tertutup selama 0,2 detik. Pada masa ini, tekanan di paru dan abdomen akan meningkat sampai 50 – 100
mmHg. Kemudian, secara aktif glotis akan terbuka dan berlangsunglah fase ekspirasi. Udara akan keluar
dan menggetarkan jaringan saluran napas serta udara yang ada sehingga menimbulkan suara batuk
(Murray dan Nadel, 1988; McCool dan Leith, 1987; Brewis, 1983; Farsan, 1978).
Bila berdasarkan tanda klinisnya, batuk dibedakan menjadi batuk kering dan batuk berdahak. Batuk
kering merupakan batuk yang tidak dimaksudkan untuk membersihkan saluran nafas, biasanya karena
rangsangan dari luar. Sedangkan batuk berdahak merupakan batuk yang timbul karena mekanisme
pengeluaran mukus atau benda asing di saluran nafas (Ikawati, 2009).

B. Farmakologi Kaptopril
Kaptopril merupakan obat hipertensi golongan ACE inhibitor. Obat ini bekerja dengan cara mencegah
tubuh membuat hormon angiotensin II, hormon ini menyebabkan penyempitan pembuluh darah, sehingga
meyebabkan kenaikan tekanan darah. ACE inhibitor membiarkan pembuluh darah melebar dan
menyebabkan darah banyak mengalir ke jantung, sehingga menurunkan tekanan darah.

C. Mekanisme Kaptopril Menimbulkan Batuk Kering


Mekanisme aksi kaptopril dapat menyebabkan batuk kering belum diketahui secara pasti, namun
beberapa studi menyebutkan efek tersebut timbul akibat dari bradikinin (Salami dan Katibi, 2005).
Bradikinin bekerja sebagai vasodilator kuat dan menstimulus sintesis prostaglandin E2 pada endotel
vaskuler lokal, yaitu pada saluran napas atau paru-paru. Selain itu, bradikinin dapat menginduksi saraf
sensori pada saluran nafas. Peningkatan bradikinin meningkatkan efek penurunan tekanan darah, tetapi
juga menimbulkan efek batuk kering (Salami dan Katibi, 2005; Dicpinigaitis, 2006; Ya Feng Li dkk,
2012).
BAB III

REVIEW JURNAL

(MONITORING EFEK SAMPING BATUK KERING PADA PASIEN YANG MENDAPATKAN OBAT
KAPTOPRIL DI RSU UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA PERIODE MARET-MEI 2014)

Penelitian menggunakan metode survei deskriptif analitik dan pengambilan data secara prospektif.
Penelitian dilaksanakan di Instalasi Farmasi RSU UKI, Jakarta. Pengambilan data dilakukan pada periode
bulan Maret-Mei 2014.
Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien rawat jalan yang mendapatkan terapi obat
antihipertensi kaptopril di RSU UKI pada periode pengambilan sampel, yaitu 4 Maret-15 April 2014.
Kriteria inklusi pada penelitian ini, yaitu: Pasien rawat jalan mendapatkan terapi obat antihipertensi
kaptopril (maksimal 3 bulan pemakaian obat).
Kriteria eksklusi sampel adalah:

1. Pasien dengan kondisi penyakit yang dapat menyebabkan batuk,


2. Pasien yang merokok

3. Pasien yang memiliki riwayat alergi yang dapat menyebabkan batuk

Pengambilan data dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder berupa resep pasien dan data
primer dari wawancara pasien. Data yang diperoleh dari resep pasien dan hasil wawancara pasien akan
digunakan untuk menganalisis kausalitas ROTD batuk kering dengan menggunakan algoritma naranjo.
ROTD dikatakan “pasti”, jika dari hasil penilaian didapatkan skor 9, ROTD dikatakan “lebih mungkin”
jika didapatkan skor 5-8, ROTD dikatakan “mungkin” jika memiliki skor 1-4, dan ROTD dikatakan
“meragukan” jika didapatkan skor 0. Skor yang dapat diterima sebagai ROTD batuk kering, yaitu skor
minimal 5-8. Skor < 0 dan skor 1-4 dikategorikan sebagai non ROTD. Jumlah pasien yang mendapatkan
obat antihipertensi kaptopril pada periode 4 Maret-15 April 2014 sebanyak 128 pasien. Peneliti
mendapatkan sebanyak 49 pasien yang menggunakan obat kaptopril dengan maksimal lama penggunaan
obat 3 bulan. peneliti dapatkan untuk pengamatan efek samping batuk kering, yaitu sebanyak 31 pasien.
Data rinci mengenai karakteristik pasien dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1
Kategori Jumlah (n) Persentase
Usia
1. Bukan Lansia (di bawah 60 tahun) 15 48,4%

2. Lansia (60 tahun ke atas) 16 51,6%


Jenis Kelamin
1. Laki-laki 17 54,8%

2. Perempuan 14 45,2%

Suku
1. Suku di Sumatera 12 38,7%

2. Suku di Jawa 11 35,5%

3. Campuran 8 25,8%

Penyakit Penyerta Hipertensi


1. Compelling Indication 15 48,4%

a. Diabetes 5

b. Penyakit Ginjal Kronik 7


1
c. Nefropati Diabetik
2
d. Stroke 51,6%
16
2. Penyakit lain (Tanpa
Compelling Indication)
9
a. Hipertensi (tanpa disertai
penyakit lain)
2
b. Hiperlipidemia
1
c. Hiperlipidemia dan Asam Urat
2
d. Aterosklerosis
1
e. Epilepsi
1
f. Parkinson dan Asam Urat

Berdasarkan hasil didapatkan bahwa kejadian efek samping batuk kering pada pasien yang
menggunakan kaptopril berjumlah 7 pasien (22,6%). Sebanyak 2 pasien mengalami batuk kering bukan
karena efek samping obat kaptopril dan sebanyak 4 pasien yang mengalami batuk yang tidak diduga
berhubungan dengan obat karena pasien mengalami batuk berdahak. Berdasarkan analisis algoritma Naranjo,
1 dari 7 kejadian efek samping batuk kering dikategorikan pasti (definite) dan 6 kejadian efek samping batuk
kering dikategorikan besar kemungkinan (probable). Sebanyak 2 kejadian batuk kering dikategorikan
mungkin (possible), seperti terlihat pada Tabel 3.

Prevalensi efek samping batuk kering pada pasien yang mendapatkan kaptopril di RSU UKI
periode Maret-Mei 2014, yaitu sebesar 22,6%. Besarnya prevalensi efek samping batuk kering tersebut
sesuai dengan Evidence Based Clinical Practice oleh Zamora dan Parodi (2011), yaitu sebesar 5% hingga
40%. Sebanyak 5 pasien (71,4%) tidak melanjutkan menggunakan obat kaptopril setelah terjadinya efek
samping batuk kering dan terdapat 2 pasien (28,6%) selama masa follow up yang tetap menggunakan obat
kaptopril walaupun terjadi efek samping batuk kering. Empat dari 5 pasien yang tidak melanjutkan
pengobatan dengan kaptopril karena efek samping batuk kering, pengobatan diganti menjadi obat
antihipertensi ARB. Satu pasien lainnya yang mengalami efek samping batuk kering dan tidak
melanjutkan menggunakan obat kaptopril, pengobatan diganti menjadi obat antihipertensi amlodipin.Hal
ini sesuai dengan penelitian Amir, Khan, & Tahir (2005) dan Dicpinigaitis (2006), sebagian besar pasien
yang mengalami efek samping batuk kering, terapi diganti menjadi obat antihipertensi ARB.
Berdasarkan hasil analisis proporsi dan analisis dari hasil uji statistik hubungan usia, jenis
kelamin, dan suku pasien dengan efek samping batuk kering, dapat dilihat pada Tabel 4 dan dapat
disimpulkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara usia, jenis kelamin, suku pasien dengan efek
samping batuk kering. Hasil penelitian mengenai hubungan suku dengan efek samping batuk kering sesuai
dengan hasil penelitian Ya Feng Li et al. (2012), yaitu tidak terdapat hubungan antara suku dengan
polimorfisme gen ACEI/D yang berpengaruh pada efek samping batuk kering. Oleh karena itu, hasil
penelitian tersebut menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara suku dengan efek samping
batuk kering.
Berdasarkan hasil analisis proporsi dan analisis dari hasil uji statistik hubungan lama penggunaan
obat dan merek obat kaptopril dengan efek samping batuk kering dapat dilihat pada Tabel 5, dapat
disimpulkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara lama penggunaan obat dan merek obat
kaptopril dengan efek samping batuk kering.

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Al-Youzbaki & Mahmood (2006), yaitu
kejadian efek samping batuk kering karena penggunaan obat kaptopril tidak terdapat hubungan yang
bermakna dengan lama penggunaan obat kaptopril. Onset terjadinya efek samping batuk kering pada
penelitian ini adalah 4 hari sampai 1,5 bulan (90 hari) dari dimulainya pengobatan menggunakan kaptopril
BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

1. Batuk bermula dari inhalasi sejumlah udara, kemudian glotis akan menutup dan tekanan di dalam paru
akan meningkat yang selanjutnya diikuti dengan pembukaan glotis secara tiba-tiba dan ekspirasi sejumlah
udara dalam kecepatan tertentu.
2. Kaptopril merupakan obat hipertensi golongan ACE inhibitor. Obat ini bekerja dengan cara mencegah
tubuh membuat hormon angiotensin II.
3. Mekanisme aksi kaptopril dapat menyebabkan batuk kering belum diketahui secara pasti, namun
beberapa studi menyebutkan efek tersebut timbul akibat dari bradikinin.
4. Prevalensi efek samping batuk kering pada pasien yang mendapatkan kaptopril di RSU UKI periode
penelitian Maret-Mei 2014, yaitu sebesar 22,6%.
5. Efek samping batuk yang terjadi pada subyek penelitian dideskripsikan sebagai batuk kering (non
produktif) dan batuk memburuk di malam hari. Onset terjadinya batuk kering pada penelitian ini adalah
4 hari sampai 90 hari dari dimulainya pengobatan menggunakan obat kaptopril.

6. Prevalensi efek samping batuk kering pada pasien yang mendapatkan kaptopril di RSU UKI periode
penelitian Maret-Mei 2014, yaitu sebesar 22,6%.
7. Efek samping batuk yang terjadi pada subyek penelitian dideskripsikan sebagai batuk kering (non
produktif) dan batuk memburuk di malam hari. Onset terjadinya batuk kering pada penelitian ini adalah
4 hari sampai 90 hari dari dimulainya pengobatan menggunakan obat kaptopril.
8. Tidak terdapat hubungan bermakna antara usia, jenis kelamin, suku, lama penggunaan obat dan merek
obat kaptopril dengan kejadian efek samping batuk kering
DAFTAR PUSTAKA

Al-Youzbaki, W.B., & Mahmood, I.H.(2006). Prevalence of Captopril Induced Cough in Mosul
Hypertensive. Journal of Iraqi Medical Community, 2, 225-227.

Amir, M., Khan, B.,& Tahir, M. (2005). Incidence of Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor Induced
Cough. Journal of Classified Medical Specialist Combined Military Hospital Rawalpindi.

Brewis RAL. Lecture notes in respiratory diseases. Oxford: Blackwell Scient Publ 1983: 32 – 7.

Crofton J, Douglas A. Respiratory disease. Oxford: Blackwell Scient Publ 1989: 101 – 2.

Dicpinigaitis, P.V. (2006). Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor induced Cough: ACCP Evidence
Based Clinical Practice Guidelines. Journal of American College of Chest Physicians, 129, 169-173.

Farsan S. A concise handbook of respiratory disease. Virginia Reston Publ Co 1978:4–5.

Fishman AP. Pulmonary disease and disorders. New York: McGraw Hill Book Co 1988: 324 – 40.

Hadiarto Mangunnegoro, Tjandra Yoga Aditama. Patofisiologi batuk. Dalam Batuk kronik. Jakarta, FKUI
1985: 1 – 6.

McCool FD, Leith DE. Padaophysiology of cough. Clinical Chest Medicine 1987; 8: 189 – 96.

Murray IF, Nadel JA. Respiratory medicine. Philadelphia: WB Saunders Co, 1988: 397 – 400.

Salami, A. K., dan Katibi I.A, 2005, Angiotensin Converting Enzyme – Inhibitor Associated Cough.
Journal of Annals African Medicine, 4, 118-121.

Sania, Retnosari Andrajati dan Romauli Tobing, 2014. Monitoring Efek Samping Batuk Kering Pada
Pasien Yang Mendapatkan Obat Kaptopril Di Rsu Universitas Kristen Indonesia Periode Maret-Mei 2014.
Universitas Indonesia.

Ya-Feng Li et al. (2012). Angiotensin-Converting Enzyme (ACE) gene Insertion/Deletion polymorphism


and ACE Inhibitor-related cough: A meta-analysis. Journal of Plos One, 7

Zamora, S.G., & Parodi, R. (2011). Cough and Angioedema in Patients Receiving Angiotensi-Converting
Enzyme Inhibitors. Are They Always Attributable to Medication?. Argent Cardiol, 79, 157-163.

Anda mungkin juga menyukai