FARMAKOTERAPI 1
MODUL 1
ASMA
DISUSUN OLEH :
KELAS/KELOMPOK : M / M1
FAKULTAS FARMASI
2022
II. KASUS
Ny UH seorang dosen (50 tahun, BB 65 kg, TB 158 cm) diantar suaminya ke rumah sakit
untuk melakukan kontrol rutin asma yang sudah dideritanya sejak 20 tahun yang lalu. Saat
kontrol, Ny UH mengeluhkan sesak nafas, mengi, dan batuk berdahak. Biasanya gejala
RR : 27 kali/ menit
HR : 90 kali/ menit
T : 36,30C
Pemeriksaan Laboratorium (12 September 2022) :
Parameter Nilai pemeriksaan
PEF 90 %
FEV1 85 %
FVC 80 %
Sputum : Jernih
Diagnosis : Asma
Rencana Terapi :
R/ Seretide diskus® 50/100 2 hisap sehari
III. Patofisiologi dan etiologi penyakit
Patofisiologi
Penyakit asma merupakan proses inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas yang
akan mempermudah terjadinya obstruksi jalan napas. Kerusakan epitel saluran napas,
gangguan saraf otonom, dan adanya perubahan pada otot polos bronkus juga diduga
berperan pada proses hipereaktivitas saluran napas. Peningkatan reaktivitas saluran nafas
terjadi karena adanya inflamasi kronik yang khas dan melibatkan dinding saluran nafas,
sehingga aliran udara menjadi sangat terbatas tetapi dapat kembali secara spontan atau
setelah pengobatan. Hipereaktivitas tersebut terjadi sebagai respon terhadap berbagai
macam rangsang.
Dikenal dua jalur untuk bisa mencapai keadaan tersebut. Jalur imunologis yang terutama
didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom. Pada jalur yang didominasi oleh IgE,
masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen Presenting Cells),
kemudian hasil olahan alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th ( T penolong )
terutama Th2 . Sel T penolong inilah yang akan memberikan intruksi melalui interleukin
atau sitokin agar sel-sel plasma membentuk IgE, sel-sel radang lain seperti mastosit,
makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan
mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin (PG), leukotrien (LT), platelet activating
factor (PAF), bradikinin, tromboksin (TX), dan lain-lain. Sel-sel ini bekerja dengan
mempengaruhi organ sasaran yang dapat menginduksi kontraksi otot polos saluran
pernapasan sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskular, edema
saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, hipersekresi mukus, keluarnya plasma protein
FPP Praktikum Farmakoterapi I | 2
melalui mikrovaskuler bronkus dan fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan
hipereaktivitas saluran napas. Faktor lainnya yang dapat menginduksi pelepasan mediator
adalah obat-obatan, latihan, udara dingin, dan stress.
Selain merangsang sel inflamasi, terdapat keterlibatan sistem saraf otonom pada jalur non-
alergik dengan hasil akhir berupa inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas. Inhalasi
alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan
mungkin juga epitel saluran napas. Reflek bronkus terjadi karena adanya peregangan
nervus vagus, sedangkan pelepasan mediator inflamasi oleh sel mast dan makrofag akan
membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam
submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Keterlibatan sel mast tidak
ditemukan pada beberapa keadaan seperti pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap,
kabut dan SO2. Reflek saraf memegang peranan pada reaksi asma yang tidak melibatkan
sel mast. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya
neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan calcitonin Gene-Related Peptide
(CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokontriksi, edema
bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.
Etiologi
Faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya rinosinusitis kronik antara lain ISPA akibat
virus (Rhinovirus, influenza virus, parainfluenza virus dan Adenovirus), bakteri yang paling
umum menjadi penyebab rinosinusitis akut dan rinosinusitis kronik adalah Streptococcus
alpha hemolyitic, Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumonia, Haemophilus
influenza, dan Moraxella catarrhalis. Jamur Aspergillus dan Candida, polusi udara ( asap
rokok, asap pembakaran), faktor genetik, penyakit alergi terutama rinitis alergi, penyakit
imunologik, asma, polip hidung, sumbatan pada kompleks osteomeatal, infeksi tonsil,
infeksi gigi, kelainan anatomi hidung ( septum deviasi dan hipertrofi konka), diskinesia silia
seperti pada sindroma kartagener dan fibrosis kistik
Nama Pasien : Ny UH
Jenis Kelamin : Perempuan
Ruang : Rumah Sakit
Umur : 50 tahun
BB/TB : 65 kg/158 cm (IMT= 26,04 Kg/m2)
Tanggal MRS : 12 September 2022
Diagnosa : Asma
Alergi : Debu
III. OBYEKTIF
3. 1 Pemeriksaan Fisik (Physical Examination)
TANGGAL 12/09/
22
TD 120/7
3. 2. Kondisi Klinis
Kondisi Klinis
Sesak nafas V
Mengi V
Batuk berdahak V
b. Fungsi Hati
Tanggal Pemeriksaan
Parameter Satuan Nilai Rujukan
Tanggal Pemeriksaan
Parameter Satuan Nilai Rujukan
d. Profil lipid
Tanggal Pemeriksaan
Parameter Satuan Nilai Rujukan
e. lain-lain
Tanggal Pemeriksaan
Parameter Satuan Nilai Rujukan
12/09/2022
Gula Darah Sewaktu (GDS) mg/dL <200
Gula Darah Puasa (GDP) mg/dL 70 – 100
Gula Darah 2 jam PP mg/dL <200
Amilase U/L 30 – 130
4.2 Mekanisme Kerja Masing-Masing Obat (Obat sebelumnya, obat sekarang dan obat yang direkomendasikan)
No Nama Mekanisme (cantumkan pustaka yang diacu) Gambar Pr
2. Bodrex Acetaminophen menghambat sintesis prostaglandin di sistem saraf pusat dan perifer blok generasi impuls
extra® nyeri;menghasilkan anti piresis dari penghambatan pusat pengatur panas hipotalamus.Kafein adalah stimulan
SSP; penggunaan dengan acetaminophen dan dihydrocodeine meningkatkan tingkat analgesia yang diberikan
oleh masing-masing agen. (DIH 17th edition, 2009)
3. Seretide Mekanisme Kerja Kombinasi flutikason (kortikosteroid) dan salmeterol (beta 2-agonist kerja lama) yang dirancang
diskus® untuk memperbaiki paru- paru fungsi dan kontrol atas apa yang dihasilkan oleh salah satu gent ketika digunakan
sendiri. Karena flutikason dan salmeterol bekerja secara lokal di paru-paru, kadar plasma tidak memprediksi efek
terapi. (DIH 17th edition, 2009)
Monitoring (6)
Subyektif, Terapi DRP Rekomendasi
Obyektif (1) (2) (4) (5) Efek samping
Efektivitas
obat
S : Peningkatan Seretide diskus Pilihan obat sudah 1. Menghentikan Tanda klinis: Tanda klinis:
gejala sesak (Salmeterol efektif dan benar penggunaan Dilakukan tiap bulan Salmeterol
nafas, mengi, (LABA) dan salbutamol karena (1-3 bulan) (LABA) dan
batuk berdahak. kolaborasi kandungan Lab : Fluticasone
Fluticasone
O: Salmeterol (LABA) Spirometri (Untuk Propionate
PEF : 90% Propionate (ICS)) dan Fluticasone (kortikosteroid
menilai faal paru)
FEV1 : 85% Propionate PEF : 90% inhalasi/ICS:
FVC : 80% (kortikosteroid FEV1 : 85% Serak atau disfonia
RR : 27 inhalasi/ICS) pada FVC : 80% Sakit kepala
kali/menit Seretide diskus RR : 27 kali/menit Palpitasi (detak
Sputum : jernih menunjukkan Sputum : jernih jantung lebih cepat
efektivitas yang lebih dari kondisi normal
tinggi (GINA, 2022). dengan frekuensi
2. Menggunakan obat dan irama tak
Seretide diskus teratur) Tremor
50/100 kandungan Kram otot
Salmeterol (LABA) kandidiasis mulut
dan Fluticasone dan tenggorokan
Propionate Artralgia (nyeri
(kortikosteroid sendi)
inhalasi/ICS) dinilai Salbutamol:
sudah efektif untuk Terjadi tremor,
terapi. (PDPI, 2019). palpitasi, kejang
otot,takikardi pada
pemakaian dosis
besar.
b. Tepat Obat
Tepat
Obat golongan B-agonis merupakan bronkodilator paling efektif digunakan dalam terapi asma. Salmeterol mempunyai DOA (Duration of
Action) lama yang disebut Long Acting B2-Agonist (LABA) (Sears et al., 2004).
Berdasarkan kondisi terkontrolnya asma yang diderita Ny UH masuk kedalam asma yang terkontrol, karena pada kuisioner control gejala
asma dalam 4 bulan terakhir menunjukkan jawaban tidak untuk semua item yang dinyatakan.
Pada tatalaksana asma menurut GINA penyakit asma Ny UH termasuk kedalam track 1 yang dapat dilihat dari jenis obatnya, yaitu
golongan LABA+ICS, dengan demikian maka terapi tersebut sudah tepat
d. Tepat Dosis
Tepat
Berdasarkan PIO Nas, Seretide diskus 50/100 digunakan 2 x 1 hari
Salbutamol
a. TepatIndikasi Indikasi
Tepat
Pemberian terapi salbutamol tepat untuk pasien penderita asma
b. Tepat obat
Tidak Tepat Obat
Penggunaan terapi salbutamol untuk penderita asma akut lebih direkomendasikan jika dikombinasikan dengan high dose inhaled
gluccorticosteroids (Gina, 2018).
d. Tepat Dosis
Tepat, untuk dewasa 2mg/4mg (Drug Pharmacology, 2019)
Problem Medik 2:
PUSING
b. Tepat Obat
Tepat
Paracetamol adalah salah satu pilihan terapi yang dapat digunakan untuk mengatasi nyeri yang dapat diberikan kepada pasien (BNF,
2017).
c. Tepat Pasien
Tepat
Paracetamol dikontraindikasikan untuk pasien yang mengalami reaksi hipersensitivitas (DIH 17 th edition, 2009). sehingga pasien tidak
dikontraindikasikan terhadap pemakaian paracetamol
d. Tepat Dosis
Dosis yang direkomendasikan pada pasien adalah 325-650 mg setiap 4-6 jam sehingga dosis yang diterima pasien telah tepat.
Ibuprofen
a. Tepat Indikasi
b. Tepat Obat
Tidak tepat obat
Terdapat interaksi pengobatan antara ibuprofen dengan salmeterol, yaitu berupa penurunan kadar serum kalium, sehingga
merekomendasikan untuk menghentikan penggunaan ibuprofen, hal tersebut dikarenakan ibuprofen masuk kedalam golongan NSAID
non selektif yang tidak dianjurkan umtuk penderita asma, karena memiliki efek samping memicu alergi dan menghambat produksi
prostaglandin yang berfungsi mengatur proses peradangan di dalam tubuh.
Medscape : https://reference.medscape.com/drug-interactionchecker
c. Tepat Pasien
Tepat
Ibuprofen dikontraindikasikan untuk pasien yang mengalami reaksi hipersensitivitas. (DIH 17th edition, 2009).
d. Tepat Dosis
Tepat
Dosis yang direkomendasikan untuk pasien adalah 200-400 mg setiap 4-6 jam sehingga dosis yang diterima pada pasien sudah tepat.
(DIH 17th edition, 2009).
b. Tepat Obat
Tidak tepat obat
Medscape : https://reference.medscape.com/drug-interactionchecker )
c. Tepat Pasien
d. Tepat Dosis
Tidak tepat dosis
Dosis yang direkomendasikan pada pasien adalah 300 mg/hari (DIH 17th edition, 2009). sedangkan dosis maksimal yang diterima pasien
adalah 50 mg x3
1. Mengedukasi pasien cara penggunaan obat Seretide diskus 50/100 2 hisap sehari
2. Mengedukasi pasien cara penggunaan obat paracetamol saat merasakan gejala (pusing)
3. Cukup istirahat
5. Menggunakan masker apabila keluar rumah apalagi apabila berada dalam lingkungan
berdebu
6. Rajin berolahraga
Pada penderita asma dengan kasus asma intermitten dengan pasien asma terkontrol
dengan rekomendasi yang telah kami diskusikan bahwa penggunaan obat yang sudah
direkomendasikan dokter yaitu seretide diskus 50/100 sudah tepat dan diperbolehkan
kepada pasien dengan rekomendasikan memberhentikan penggunaan salbutamol
karena penggunaan seretide diskus sudah jauh lebih efektif.
Sedangkan untuk meredakan pusing yang dialami oleh pasien asma tersebut
penggunaan bodrex extra kurang tepat karena dapat menyebabkan kontraindikasi oleh
obat asma, hal ini dikarenakan ada ibuprofen golongan NSAID yang kontraindikasi
dengan obat asma.
Dalam ppt dijelaskan pada efek samping obat salbutamol adalah jika digunakan dalam
dosis besar kadang ditemukan tremor, paliptasi, kejang otot, takikardi, sakit kepala, dan
ketegangan. Bagaimana cara menangani efek samping dari obat salbutamol dalam
dosis besar dan rekomendasi apa yang harus diberikan jika dilakukan terapi non
farmakologi?
Jawab :
Pada pemberian salbutamol secara inhalasi jauh lebih sedikit menimbulkan efek
samping daripada oral. Dianjurkan pemberian inhalasi, kecuali pada penderita yang
tidak dapat/ mungkin menggunakan terapi inhalasi.
Apakah perlu ada pemantauan khusus dalam penggunaan seretide diskus? bagaiamana
cara penggunaan seredite diskus?
Jawab :
Pasien masuk kedalam kategori asma apa? dan apakah penggunaan inhaler
hanya diperuntukkan untuk pasien asma saja?
Jawab :
Dalam kasus tersebut pasien termasuk dalam kategori asma terkontrol hal tersebut
dilihat dari level of asthma symptom control and future risk yang mana terjawab "tidak"
pada 4 pertanyaan, kemudian dilihat dari penatalaksanaan astma pasien masuk ke
dalam track 1 dengan kombinasi obat LABA+ICS.
Menurut literatur yang saya baca, penggunaan inhaler tidak hanya untuk penyakit asma
saja namun juga bisa digunakan pada penderita penyakit PPOK