Anda di halaman 1dari 38

CLINICAL REASONING

SKENARIO 2

NAMA : Melati Nurfazira Shinta


NPM : 118170107
KELOMPOK: 2A
BLOK : 4.1

UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI


FAKULTAS KEDOKTERAN
CIREBON
2020
SKENARIO 2

Seorang laki-laki berusia 55 tahun datang ke Instalasi Gawat Darurat RS dengan


keluhan napas pendek disertai batuk

STEP 1 :

Keluhan utama : napas pendek dan batuk

STEP 2 :

BATUK
NAPAS PENDEK Asma
Abses paru
Kardiomiopati PPOK
Pertusis
Gagal jantung Pneumotoraks
akut
Pneumonia
Gagal jantung
kronis Tuberculosis

STEP 3 :

1. ASMA
 DEFINISI
Definisi asma menurut Global Initiative for Asthma (GINA),
asma adalah gangguan inflamasi kronik pada saluran napas dengan
berbagai sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil dan limfosit
T. Pada individu yang rentan inflamasi, mengakibatkan gejala episode
mengi yang berulang, sesak napas, dada terasa tertekan, dan batuk
khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini berhubungan dengan
obstruksi saluran napas yang luas dan bervariasi dengan sifat sebagian
reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi
ini juga berhubungan dengan hipereaktivitas jalan napas terhadap
berbagai rangsangan.

 PATOFISIOLOGI
Penyakit asma merupakan proses inflamasi dan hipereaktivitas
saluran napas yang akan mempermudah terjadinya obstruksi jalan
napas. Kerusakan epitel saluran napas, gangguan saraf otonom, dan
adanya perubahan pada otot polos bronkus juga diduga berperan pada
proses hipereaktivitas saluran napas. Peningkatan reaktivitas saluran
nafas terjadi karena adanya inflamasi kronik yang khas dan melibatkan
dinding saluran nafas, sehingga aliran udara menjadi sangat terbatas
tetapi dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan.
Hipereaktivitas tersebut terjadi sebagai respon terhadap berbagai
macam rangsang. Dikenal dua jalur untuk bisa mencapai keadaan
tersebut. Jalur imunologis yang terutama didominasi oleh IgE dan jalur
saraf otonom. Pada jalur yang didominasi oleh IgE, masuknya alergen
ke dalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen Presenting Cells),
kemudian hasil olahan alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th
( T penolong ) terutama Th2 . Sel T penolong inilah yang akan
memberikan intruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel-sel
plasma membentuk IgE, sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofag,
sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk
mengeluarkan mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin (PG),
leukotrien (LT), platelet activating factor (PAF), bradikinin,
tromboksin (TX), dan lain-lain. Sel-sel ini bekerja dengan
mempengaruhi organ sasaran yang dapat menginduksi kontraksi otot
polos saluran pernapasan sehingga menyebabkan peningkatan 8
permeabilitas dinding vaskular, edema saluran napas, infiltrasi sel-sel
radang, hipersekresi mukus, keluarnya plasma protein melalui
mikrovaskuler bronkus dan fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan
hipereaktivitas saluran napas. Faktor lainnya yang dapat menginduksi
pelepasan mediator adalah obat-obatan, latihan, udara dingin, dan
stress.

 DIAGNOSIS
Diagnosis asma yang tepat, penting dalam memudahkan penanganan
penyakit asma. Diagnosis asma dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Secara klinis ditemukan gejala berupa sesak episodik, mengi
(wheezing), batuk kronik berulang dan dada terasa sakit/sesak.
Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai keterbatasan arus
udara dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Pemeriksaan
status alergi dilakukan untuk mengidentifikasi adanya penyakit alergi
lain pada pasien maupun
pemeriksaan fisik pasien asma, tergantung dari episode gejala dan
derajat obstruksi saluran napas. Melalui pemeriksaan fisik pasien
asma, tampak adanya perubahan bentuk anatomi thoraks dan
ditemukan perubahan cara bernapas. Pada pemeriksaan inpeksi dapat
ditemukan pasien menggunakan otot napas tambahan di leher, perut,
dan dada, napas cepat hingga sianosis, juga kesulitan bernapas.
Ekspirasi memanjang dan mengi dapat ditemukan saat dilakukan
auskultasi pada pasien asma. Dalam praktek sehari-hari jarang ditemui
kesulitan dalam membuat diagnosis asma, tetapi sering pula dijumpai
pasien non-asma yang mempunyai mengi, sehingga pemeriksaan
penunjang diperlukan dalam menegakkan diagnosis. Pemeriksaan
spirometri merupakan cara yang paling cepat dan sederhana untuk
menegakkan diagnosis asma dengan melihat respon respon pengobatan
menggunakan bronkodilator. Pemeriksaan dilakukan sebelum dan
sesudah pemberian bronkodilator hirup golongan adrenergik beta.

 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Foto thorak
2. Spirometri
3. Uji provokasi bronkus
4. Uji sensitifitas kulit

 TATALAKSANA

Berat Asma Medikasi pengontrol Alternatif / Pilihan lain Alternatif


harian lain
Asma Tidak perlu ---- ----
Intermit
en
Asma Glukokortikosteroid • Teofilin lepas lambat
Persiste inhalasi (200-400 µg • Kromolin ----
n BB/hari atau • Leukotriene
Ringan ekuivalennya) modifiers
Asma Kombinasi inhalasi • Glukokortikosteroi • Ditambah
Persiste glukokortikosteroid (400- d inhalasi (400-800 agonis
n 800 µg BB atau beta- 2
Sedang µg BB/hari atau ekuivalennya) kerja
ekuivalennya) dan ditambah Teofilin lama oral,
agonis beta-2 kerja lepas lambat, atau atau
lama • Glukokortikosteroid • Ditambah
inhalasi (400-800 teofilin
µg BB/hari atau lepas
ekuivalennya) lambat
ditambah agonis
beta-2 kerja lama
oral, atau
• Glukokortikoste
roid inhalasi
dosis tinggi
(>800 µg BB
atau
ekuivalennya)
atau
• Glukokortikosteroi
d inhalasi (400-800
µg BB atau
ekuivalennya)
ditambah
leukotriene
modifiers
Asma Kombinasi inhalasi Prednisolon/
Persisten glukokortikosteroid (> metilprednisolon
Berat 800 µg BB atau oral selang sehari 10
ekuivalennya) dan agonis mg ditambah agonis
beta-2 kerja lama. beta-2 kerja lama
Diambah ≥ 1 di bawah oral, ditambah
ini : teofilin lepas lambat
 Teofilin lepas lambat
 Leukotriene modifiers
 Glukokortikosteroid
oral
Semua tahapan : Bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak
3 bulan, kemudian turunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal
mungkin dengan kondisi asma tetap terkontrol

2. PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis)


 DEFINISI
PPOK adalah penyakit paru kronik yang dapat dicegah dan diobati,
dikarakteristikkan dengan hambatan aliran udara yang persisten,
progresif dan berhubungan dengan peningkatan respons inflamasi
kronis di paru terhadap partikel dan gas berbahaya. Eksaserbasi dan
komorbid berkontribusi terhadap keseluruhan keparahan tiap individu.
Prevalensi PPOK tertinggi terdapat di Nusa Tenggara Timur (10,0%),
diikuti Sulawesi Tengah (8,0%), Sulawesi Barat, dan Sulawesi Selatan
masing-masing 6,7 persen. PPOK lebih tinggi pada laki-laki dibanding
perempuan dan lebih tinggi di perdesaan dibanding perkotaan.
Prevalensi PPOK cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan
pendidikan rendah dan kuintil indeks kepemilikan terbawah

 PENEGEKAN DIAGNOSIS

 Gejala Keterangan
Sesak Progresif (sesak bertambah berat seiring
berjalannya waktu)
Bertambah berat dengan aktivitas
Persisten (menetap sepanjang hari)
Pasien mengeluh, “Perlu usaha untuk
bernapas”
Berat, sukar bernapas, terengah-engah
Batuk kronik Hilang timbul dan mungkin tidak
berdahak
Batuk kronik berdahak Setiap batuk kronik berdahak dapat
mengindikasikan PPOK
Riwayat terpajan faktor risiko Asap
rokok
Debu
Bahan kimia di tempat
kerja Asap dapur
Riwayat keluarga

 PEMERIKSAAN FISIK
1. Inspeksi
a. Sianosis sentral pada membran mukosa mungkin ditemukan
b. Abnormalitas dinding dada yang menunjukkan
hiper inflasi paru termasuk iga yang tampak
horizontal, barrel chest (diameter antero -
posterior dan transversal sebanding) dan abdomen
yang menonjol keluar
c. Hemidiafragma mendatar
d. Laju respirasi istirahat meningkat lebih dari 20
kali/menit dan pola napas lebih dangkal
e. Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup
mencucu), laju ekspirasi lebih lambat
memungkinkan pengosongan paru yang lebih
efisien
f. Penggunaan otot bantu napas adalah indikasi gangguan
pernapasan
g. Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat
denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai
2. Palpasi dan Perkusi
a. Sering tidak ditemukan kelainan pada PPOK
b. Irama jantung di apeks mungkin sulit ditemukan karena
hiperinflasi paru
c. Hiperinflasi menyebabkan hati letak rendah dan mudah di
palpasi
3. Auskultasi
a. Pasien dengan PPOK sering mengalami penurunan
suara napas tapi tidak spesifik untuk PPOK
b. Mengi selama pernapasan biasa menunjukkan
keterbatasan aliran udara. Tetapi mengi yang
hanya terdengar setelah ekspirasi paksa tidak
spesifik untuk PPOK
c. Ronki basah kasar saat inspirasi dapat ditemukan
d. Bunyi jantung terdengar lebih keras di area xiphoideus.
 PEMERIKSAAN PENUNJANG
o Spirometri
o Peak flow meter (arus puncak respirasi)

o Pulse oxymetry

o Analisis gas darah


o Foto toraks
o Pemeriksaan darah rutin (Hb, Ht, leukosit, trombosit)

 Obat-obatan dengan tujuan mengurangi laju


beratnya penyakit dan mempertahankan keadaan
stabil.

 Bronkodilator dalam bentuk oral, kombinasi


golongan β2 agonis (salbutamol) dengan golongan
xantin (aminofilin dan teofilin). Masing-masing
dalam dosis suboptimal, sesuai dengan berat badan
dan beratnya penyakit. Untuk dosis pemeliharaan,
aminofilin/teofilin 100-150 mg kombinasi dengn
salbutamol 1 mg.
 Kortikosteroid digunakan dalam bentuk inhalasi, bila tersedia.
 Ekspektoran dengan obat batuk hitam (OBH)
 Mukolitik (ambroxol) dapat diberikan bila sputum mukoid.
Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut ringan
1. Oksigen (bila tersedia)
2. Bronkodilator
Pada kondisi eksaserbasi, dosis dan atau frekuensi
bronkodilator kerja pendek ditingkatkan dan
dikombinasikan dengan antikolinergik.
Bronkodilator yang disarankan adalah dalam
sediaan inhalasi. Jika tidak tersedia, obat dapat
diberikan secara injeksi, subkutan, intravena atau
perdrip, misalnya:
Adrenalin 0, 3 mg subkutan, digunakan dengan hati-hati
Aminofilin bolus 5 mg/kgBB (dengan
pengenceran) harus perlahan (10 menit) utk
menghindari efek samping.dilanjutkan dengan
perdrip 0,5-0,8 mg/kgBB/jam.
3. Kortikosteroid
diberikan dalam dosis 30 mg/hari diberikan
maksimal selama 2 minggu. Pemberian selama 2
minggu tidak perlu tapering off.
4. Antibiotik yang tersedia di Puskesmas
5. Pada kondisi telah terjadi kor pulmonale, dapat
diberikan diuretik dan perlu berhati-hati dalam
pemberian cairan.

Konseling dan Edukasi


1. Edukasi ditujukan untuk mencegah penyakit
bertambah berat dengan cara menggunakan obat-
obatan yang tersedia dengan tepat, menyesuaikan
keterbatasan aktivitas serta mencegah eksaserbasi.
2. Pengurangan pajanan faktor risiko
3. Berhenti merokok
4. Keseimbangan nutrisi antara protein lemak dan
karbohidrat, dapat diberikan dalam porsi kecil
tetapi sering.
5. Rehabilitasi
a. Latihan bernapas dengan pursed lip breathing
b. Latihan ekspektorasi
c. Latihan otot pernapasan dan ekstremitas
6. Terapi oksigen jangka panjang

3. GAGAL JANTUNG AKUT


 Pengertian
sindrom klinis disfungsi jantung yang berlangsung cepat dan singkat
(dalam beberapa jam dan atau hari )
 Anamnesis
- Sesak nafas: mendadak, pada posisi tidur terlentang, terutama malam
- Rasa lelah dapat terjadi saat aktivitas maupun istirahat
- Batuk-batuk tidak produktif, terutama posisi baring
- Progresivitas perburukan dalam hitungan hari.

 Pemeriksaan Fisik
- Pernafasan cepat, lebih dari 24 x/menit (takipnoe)
- Nadi cepat (takikardi) dan lemah ( >80 x/menit )
- Tekanan vena jugular meningkat
- Ronki basah halus
- Gallop
- Waktu Pengisian kapiler memanjang (> 2 detik)

 Kriteria Diagnosis :
- Sesuai anamnesis
- Sesuai tanda-tanda pada Pemeriksaan Fisik

 Diagnosis Kerja Gagal Jantung Akut meliputi :

- Acute Systolic (congestive) Heart Failure

- Acute on Chronic Systolic (congestive) Heart Failure

- Acute Diastolic (congestive) Heart Failure

- Acute onChronic Diastolic (congestive) Heart Failure

- Acute Combine Systolic (congestive) and Diastolic (congestive)


Heart Failure

- Acute on Chronic Combine Systolic (congestive) and Diastolic


(congestive) Heart Failure

 Diagnosis Banding

-Pneumonia

-Asthma bronchial akut

-PPOK dengan eksaserbasi akut

 Pemeriksaan Penunjang

-EKG

-Rontgen dada PA
- Lab. : Hb, Ht, lekosit, kreatinin, GDs, Na+,K+, CKMB, hs Troponin
T, natriuretic peptide, analisagas darah pada
kondisi yang berat

- Pulseoxymetry

- Echocardiografi (NT pro BNP jika tersedia)

 Terapi Terapi pada fase akut meliputi:

a. Terapi Oksigen

- Berikan O2 nasal 2-4L/menit, disesuaikan dengan hasil


pulseoxymetry. Bila diperlukan, O2 dapat diberikan dengan masker
nonrebreathing atau rebreathing bila tidak membaik dalam waktu 1/2
jam

- Bila saturasi oksigen tetap rendah dengan mask atau ada distress
pernafasan, digunakan CPAP.

- Bila distress pernafasan tidak membaik dan atau tidak toleran dengan
CPAP dilakukan intubasi

b. Obat-obatan

- Furosemid intravena: Bolus 40 mg (bila tidak dalam pengobatan


diuretic sebelumnya), 2,5x dosis sebelumnya (bila sebelumnya sudah
minum diuretik)

- Nitrogliserin infus Dimulai dari 5 microgram/menit, bila tekanan darah


sistolik >110 mmHg, atau ada kecurigaan sindroma koroner akut.

- Morphin Sulfat injeksi, 2 sd4 mg bila masih takipnoe

- Dobutamin mulai 5 mcg/kgBB/menit bila tekanan darah <90 mmHg

- Dopamine mulai dari 5 mcg/kgbb/menit bila TDs <80 mmHg


- Noradrenaline mulai dari 0.02 mcg/kgbb/mnt bila TDs <70 mmHg

- Digoksin IV 0,5 mg bolus bila fibrilasi atrium respon cepat, bias


diulang tiap 4 jam hingga maksimal 1mg

- Captopril mulai dari6.25mg bila fase akut telah teratasi.

 Edukasi

- Edukasi kepatuhan terhadap pengobatan

- Edukasi pembatasan cairan dan garam

- Edukasi pengaturan aktivitas fisik

- Edukasi pengendalian faktor risiko

4. GAGAL JANTUNG KRONIS


 Pengertian

sindrom klinis ditandai gejala dan tanda abnormalitas struktur dan fungsi
jantung, yang menyebabkan kegagalan jantung untuk memenuhi kebutuhan
oksigen metabolism tubuh.

 Anamnesis

- Cepat lelah bila beraktifitas ringan (mandi, jalan >300 m, naik tangga)

- Sesak nafas saat terlentang, malam hari atau saat beraktifitas, tidur lebih
nyaman bila menggunakan bantal yang tinggi ( 2-3 bantal)

- Bengkak pada tungkai bawah dekat mata kaki

- Riwayat menderita penyakit jantung atau dirawatdengan gejala diatas


 Pemeriksaan Fisik

- Sesak nafas, frekuensi nafas >24x/menit saat istirahat

- Frekuensi nadi > 100 x/mnt, nadi kecil dan cepat

- Iktus cordis bergeser ke lateral pada palpasi

- Peningkatan tekanan vena jugularis

- Hepato megali / hepato jugular reflux (+)

- Edema tungkai biasanya dekat mata kaki

- Ascites.

 Kriteria Diagnosis

1. Mayor

- Sesak saat tidur terlentang (Orthopnoe)

- Sesak terutama malam hari (Paroxysmal Nocturnal Dyspnoe)

- Peningkatan Tekanan Vena Jugularis

- Ronki basah halus

- Pembesaran Jantung

- Edema Paru

- Gallop S3

- Waktu sirkulasi memanjang>25 detik

- Refluks hepato jugular

- Penurunan berat badan karena respons dengan pengobatan

2. Minor:
- Edema tungkai bawah (biasanya dekat mata kaki)

- Batuk-batuk malam hari

- Sesak nafas saat aktifitas lebih dari sehari hari

- Pembesaran hati

- Efusi Pleura

- Takikardia

Bila terdapat 1 gejala mayor dan 2 minor atau 3 gejala minor, sudah memenuhi
kriteria diagnostic gagal jantung

 Diagnosis Kerja : Gagal jantung kronik


 Diagnosis Banding :

1. Asma bronchial

2. PPOK

3. Uremia

4. Volume overload

 Pemeriksaan Penunjang

1. EKG

2. Fotopolosdada

3. Lab.: Hb, Leko, Ureum, Creatinin, BNP/NT-pro BNP, GDs, Ht, Na+,
K+

4. Ekokardiografi transtorakal

 Terapi

1. Diuretik: Furosemidoral / IV bila tanda dan gejala kongesti masih ada,


dengan dosis 1 mg/kg BB atau lebih
2. ACE inhibitor (atau ARB bila batuk) bila tidak ada kontra indikasi; dosis
dinaikan bertahap sampai dosis optimal tercapai

3. Beta blocker dosis kecil bila tidak ada kontra indikasi, dosis naik bertahap
Bila dosis sudah optimal tetapi laju nadi masih cepat (>70x/menit), dengan:

-Irama sinus, dapat ditambahkan Ivabradin mulai dosis kecil 2x2,5mg,


maksimal 2 X 5mg.

-Irama atrialfibrilasi

-respons ventrikel cepat serta fraksi ejeksi rendah, tetapi fungsi ginjal baik,
berikan digoxin dosis rumat 0,25mg pagi.

4. Mineralocorticoid Receptor Blocker (Aldosterone Antagonist) dosis kecil


bila tidak ada kontra indikasi.

 Edukasi :

1. Edukasi kepatuhan minum obat

2. Edukasi kepatuhan diet rendah garam, rehabilitasi jantung,

3. Edukasi cara mengatasi bila terjadi perburukan sesak nafas

4. Edukasi timbang berat badan dan lingkar perut, ukur jumlah cairan
masuk dan keluar agar seimbang

5. Edukasi control tekanan darah, nadi dan pemeriksaan fisik ke


Puskesmas terdekat.

5. PENEUMOTORAKS
 DEFINISI

Pneumotoraks adalah kondisi dimana terdapat udara bebas


dalam rongga pleura. Insiden pneumotoraks sulit diketahui
karena episodenya banyak yang tidak diketahui. Umumnya
pria lebih banyak dari wanita.

Terdapat 2 jenis pneumotoraks, yaitu:


1. Pneumotoraks spontan primer adalah pneumotoraks yang
terjadi tanpa riwayat penyakit paru sebelumnya ataupun
trauma, dan dapat terjadi pada individu yang sehat.
Terutama lebih sering pada laki, tinggi dan kurus, dan
perokok.
2. Pneumotoraks spontan sekunder adalah pneumotoraks
yang terjadi pada penderita yang memiliki riwayat
penyakit paru sebelumnya seperti PPOK, TB paru dan
lain-lain.

 PATOFISIOLOGI
Keseimbangan antara kecenderungan jaringan paru untuk kolaps dan
kecenderungan dinding dada secara alamiah untuk mengembang
menghasilkan tekanan negatif dalam rongga pleura. Apabila terdapat
udara pada rongga pleura maka paru akan kolaps. Pada pneumotoraks
simpel, tekanan intrapleura menyamai tekanan atmosfir sehingga
jaringan paru yang kolaps dapat mencapai 30%. Pada kondisi yang
lebih berat (tension pneumotoraks), kebocoran yang terus terjadi akan
menyebabkan peningkatan tekanan positif pada rongga pleura yang
lebih jauh dapat menyebabkan kompresi paru, pendorongan struktur
mediastinum ke kontra lateral, penurunan venous return, dan
penurunan cardiac output.

 MANIFESTASI KLINIS
Awitan biasanya tiba-tiba dan berat ringannya gejala bergantung pada
luasnya jaringan paru yang mengalami kolaps serta penyakit dasar
yang telah ada sebelumnya.

1. Hiperkapnia
2. Hipotensi
3. Takikardi
4. Perubahan status mental
Pemeriksaan fisik paru :
a. Inspeksi paru, tampak sisi yang sakit lebih menonjol
dan tertinggal pada pernapasan
b. Palpasi paru, suara fremitus menurun di sisi yang sakit
c. Perkusi paru, ditemukan suara hipersonor dan
pergeseran mediastinum ke arah yang sehat
d. Auskultasi paru, didapatkan suara napas yang melemah dan jauh

 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto toraks, didapatkan garis penguncupan paru yang
sangat halus (pleural line), dan gambaran avaskuler di sisi
yang sakit. Bila disertai darah atau cairan lainnya, akan
tampak garis mendatar yang merupakan batas udara dan
cairan (air fluid level).
Pulse oxymetry. Pemeriksaan ini tidak untuk menegakkan
diagnosis, namun untuk menilai apakah telah terjadi gagal
napas.
 TATALAKSANA

1. Oksigen
2. Jika ada tanda kegagalan sirkulasi, dilakukan pemasangan
IV line dengan cairan kristaloid
3. Rujuk

Konseling dan Edukasi


Menjelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai:
1. Bahaya dan komplikasi pneumotoraks
2. Pertolongan kegawatdaruratan pada pneumotoraks
3. Perlunya rujukan segera ke RS

6. PNEUMONIA
a) Definisi
Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan parenkim
paru distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius
dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan
pertukaran gas setempat. Pnemunonia dibedakan menjadi dua yaitu
pneumonia komuniti dan pneumonia nosokomial. Pneumonia komunitas
adalah pneumonia yang terjadi akibat infeksi di luar rumah sakit, sedangkan
pneumonia nosokomial adalah pneumonia yang terjadi lebih dari 48 jam atau
lebih setelah dirawat di rumah sakit. Pneumonia dapat diklasifikasikan dalam
berbagai cara, klasifikasi paling sering ialah menggunakan klasifikasi
berdasarkan tempat didapatkannya pneumonia (pneumonia komunitas dan
pneumonia nosokomial), tetapi pneumonia juga dapat diklasifikasikan
berdasarkan area paru yang terinfeksi (lobar pneumonia, multilobar
pneumonia, bronchial pneumonia, dan intertisial pneumonia) atau agen
kausatif. Pneumonia juga sering diklasifikasikan berdasarkan kondisi yang
mendasari pasien, seperti pneumonia rekurens (pneumonia yang terjadi
berulang kali, berdasarkan penyakit paru kronik), pneumonia aspirasi
(alkoholik, usia tua), dan pneumonia pada gangguan imun (pneumonia pada
pasien tranplantasi organ, onkologi, dan AIDS).

b) Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti
bakteri, virus, jamur, dan protozoa. Pneumoni komunitas yang diderita oleh
masyarakat luar negeri banyak disebabkan gram positif, sedangkan
pneumonia rumah sakit banyak disebabkan gram negatif. Dari laporan
beberapa kota di Indonesia ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita
komunitas adalah bakteri gram negatif.

Penyebab paling sering pneumonia yang didapat dari masyarakat dan


nosokomial:

a. Yang didapat di masyarakat: Streeptococcus pneumonia, Mycoplasma


pneumonia, Hemophilus influenza, Legionella pneumophila, chlamydia
pneumonia, anaerob oral, adenovirus, influenza tipe A dan B.

b. Yang didapat di rumah sakit: basil usus gram negative (E. coli, Klebsiella
pneumonia), Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, anaerob oral.

c) Manifestasi Klinis
Gejala khas dari pneumonia adalah demam, menggigil, berkeringat,
batuk (baik non produktif atau produktif atau menghasilkan sputum
berlendir, purulen, atau bercak darah), sakit dada karena pleuritis dan
sesak.
Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi atau penarikan dinding dada
bagian bawah saat pernafas, takipneu, kenaikan atau penurunan taktil
fremitus, perkusi redup sampai pekak menggambarkan konsolidasi atau
terdapat cairan pleura, ronki, suara pernafasan bronkial, pleural friction
rub.
d) Penegakan Diagnosis
Pneumonia kominiti didasarkan kepada riwayat penyakit yang lengkap,
pemeriksaan fisik yang teliti dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti
pneumonia komunitas ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrat
baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah
ini:
a. Batuk-batuk bertambah
b. Perubahan karakteristik dahak/purulen
c. Suhu tubuh > 38C (aksila) /riwayat demam
d. Pemeriksaan fisis: ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas
bronkial dan ronki
e. Leukosit > 10.000 atau < 4500
Pemeriksaan Penunjang
 Radiologi
Pemeriksaan menggunakan foto thoraks (PA/lateral) merupakan
pemeriksaan penunjang utama (gold standard) untuk menegakkan
diagnosis pneumonia. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat
sampai konsoludasi dengan air bronchogram, penyebaran bronkogenik
dan intertisial serta gambaran kavitas.

 Laboratorium
Peningkatan jumlah leukosit berkisar antara 10.000 - 40.000 /ul,
Leukosit polimorfonuklear dengan banyak bentuk. Meskipun dapat
pula ditemukanleukopenia. Hitung jenis menunjukkan shift to the left,
dan LED meningkat.
 Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi diantaranya biakan sputum dan kultur darah
untuk mengetahui adanya S. pneumonia dengan pemeriksaan
koagulasi antigen polisakarida pneumokokkus.
 Analisa Gas Darah
Ditemukan hipoksemia sedang atau berat. Pada beberapa kasus,
tekanan parsial karbondioksida (PCO2) menurun dan pada stadium
lanjut menunjukkan asidosis respiratorik.
e) Tatalaksana
Pada prinsipnya penatalaksaan utama pneumonia adalah memberikan
antibiotik tertentu terhadap kuman tertentu infeksi pneumonia. Pemberian
antibitotik bertujuan untuk memberikan terapi kausal terhadap kuman
penyebab infeksi, akan tetapi sebelum antibiotika definitif diberikan antibiotik
empiris dan terapi suportif perlu diberikan untuk menjaga kondisi pasien.
Tindakan suportif meliputi oksigen untuk mempertahankan PaO2 > 8 kPa
(SaO2 > 92%) dan resusitasi cairan intravena untuk memastikan stabilitas
hemodinamik. Bantuan ventilasi: ventilasi non invasif (misalnya tekanan jalan
napas positif kontinu (continous positive airway pressure), atau ventilasi
mekanis mungkin diperlukan pada gagal napas. Bila demam atau nyeri
pleuritik dapat diberikan antipiretik analgesik serta dapat diberika mukolitik
atau ekspektoran untuk mengurangi dahak.
Pilihan Antibiotika dalam memilih antibiotika yang tepat harus
dipertimbangkan faktor sensitivitas bakteri terhadap antibiotika, keadaan
tubuh pasien, dan faktor biaya pengobatan. Pada infeksi pneumonia (CAP dan
HAP) seringkali harus segera diberikan antibiotika sementara sebelum
diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologik. Memilih antibiotika yang
didasarkan pada luas spektrum kerjanya tidak dibenarkan karena hasil terapi
tidak lebih unggul daripada hasil terapi dengan antibiotika berspektrum
sempit, sedangkan superinfeksi lebih sering terjadi dengan antibiotika
berspektrum luas.
7. ABSES PARU
a) Definisi

Abses Paru adalah infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan paru
yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah (pus/ nekrotik
debris) dalam parenkim paru pada satu lobus atau lebih yang disebabkan oleh
infeksi mikroba.

b) Etiologi

Abses paru dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme yaitu :

1. Kelompok bakteri anaerob merupakan etiologi terbanyak abses paru (mencapai


89%) terutama pada orang immunocompetent dan biasanya diakibatkan oleh
pneumonia aspirasi

- Bacteriodes melaninogenus

- Bacteriodes fragilis

- Peptostreptococcus species

- Bacillus intermedius

- Prevotella melaninogenica

- Microaerophilic streptococcus

- Clostridium perfringens

- Clostridium barati

2. Kelompok bakteri aerob, predominan pada orang dengan immunocompromised.


Gram positif : Sekunder oleh sebab selain aspirasi

- Staphulococcus aureus

- Staphulococcus microaerophilic

- Staphulococcus pyogenes

- Staphulococcus pneumonia

- Staphulococcus viridans

- Staphulococcus milleri

Gram negatif : biasanya merupakan sebab nasokomial

- Klebsiella pneumonia

- Pseudomonas aeruginosa

- Escherichia coli

- Haemophilus Influenza

- Actinomyces Species

- Nacardia Species

- Gram negatif bacilli

c) Penegakan Diagnosis

1. Anamnesis

Anamnesis pasien abses paru didapatkan batuk yang mengeluarkan banyak sputum
mengandung jaringan paru yang mengalami ganggren. Sputum biasanya berbau amis
dan berwarna anchovy (putrid abcesses) yang disebabkan bakteri anaerob. Selain itu
bisa didapatkan keluhan nyeri dada dan batuk darah ringan sampai dengan masif.

2. Pemeriksaan Fisik
Demam sampai dengan 40oC. Pada paru ditemukan kelainan nyeri tekan lokan pada
dada, pada lesi yang disertai konsolidasi bisa dijumpai penurunan suara napas,
perkusi redup, suara napas bronkial dan ronki. Bila abses luas dan letaknya dekat
dengan dinding dada kadang terdengar suara amforik.

3. Pemeriksaan Penunjang

- Laboratorium

- Bronkoskopi

- Aspirasi Jarum Perkutan

- Radiologi

d) Komplikasi

Komplikasi lokal meliputi penyebaran infeksi melalui aspirasi lewat bronkus atau
penyebaran langsung melalui jaringan sekitarnya. Abses paru yang drainasenya
kurang baik, bisa mengalami ruptur kesegmen lain dengan kecenderungan
penyebaran infeksi Staphylococcus, sedang yang ruptur ke rongga pleura menjadi
piotoraks (empiema) dan fibrosis pleura. Komplikasi sering lainnya berupa abses
otak, hemoptisis masif, ruptur pleura viseralis sehingga terjadi piopneumotoraks,
fistula bronkopleura dan fistula pleurokutaneus.

Abses paru yang resisten (kronik), yaitu yang resisten dengan pengobatan selama
6minggu, akan menyebabkan kerusakan paru yang permanen dan mungkin akan.
menyisakan suatu bronkiektasis, kor pulmonal dan amiloidosis. Abses paru kronik
bisa meyebabkan anemia, malnutrist, kaheksia gangguan .cairan dan elektrolit serta
gagal jantung terutama pada manula.

e) Pencegahan

Perhatian khusus ditujukan kepada kebersihan mulut. Kebersihan mulut yang jelek
dan penyakit-penyakit periodontal bisa menyebabkan kolonisasi bakteri patogen
orofaring yang akan menyebabkan infeksi saluran napas sampai dengan abses paru.
Setiap infeksi paru akut harus segera diobati sebaik mungkin terutama bila
sebelumnya diduga ada faktor yang memudahkan terjadinya aspirasi seperti pasien
manula yang dirawat di rumah, batuk yang disertai muntah, adanya benda asing,
kesadaran yang menurun dan pasien yang memakai ventilasi mekanik. Malahan untuk
pasien dengan kesanggupan yang berkurang dalam melindungi saluran napas dari
aspirasi masif (batuk, reflek muntah) dipertimbangkan untuk pemakaian intubasi dini.
Menghindari pemakaian anestesi umum pada tonsilektomi, pencabutan abses gigi dan
operasi sinus para nasal akan menurunkan insiden abses paru.

f) Penatalaksanaan

Penatalaksaan abses paru harus berdarasarkan pemeriksaan mikrobiologi dan dara


penyakit dasar penderita serta kondisi yang mempengaruhi berat ringannya infeksi
paru. Ada beberapa modalitas terapi yang diberikan pada abses paru :

1. Medika Mentosa

Pilihan pertama antibiotik adalah golongan Penicillin pada saat ini dijumpai
peningkatan abses paru yang disebabkan oleh kuman anaerobs. Kombinasi antibiotik
anatara golongan penicillin G dengan clindamycin atau dengan metronidazole, atau
clindamycin dan cefoxitin.

Alternatif lain kombinasiimpenem dengan B Lactamase inhibitase, pada


penderita dengan pneumonia nasokromial yang berkembang menjadi abses paru.

2. Drainase

Drainase postural dan fisiotherapi dada 2-5 kali seminggu selama 15 menit
diperlukan untuk mempercepat proses resolusi abses paru

3. Bedah

Reseksi segmen paru yang nekrosis diperlukan bila:

- Respon yang rendah terhadap terapi antibiotika


- Abses yang besar sehingga mengganggu proses ventilasi perfusi

- Infeksi paru yang berulang

- Adanya gangguan drainase karena obstruksi

8. KARDIOMIOPATI

 Definisi

Kardiomiopati adalah kelainan struktur dan fungsi otot jantung tanpa disertai
penyakit jantung koroner, hipertensi. penyakit katup, atau penyakit jantung
kongenital yang mampu menyebabkan kelainan tersebut. Secara umum,
kardiomiopati dapat diklasifikasikan menjadi kardiomiopati dilatasi. hipertrofi. dan
restriktif Sistem klasifikasi terbaru menambahkan kardiomiopati ventrikel kanan
aricmogenik.

A. Kardiomiopati Dilatasi

a. etiologi

Pembesaran ruang jantung disertai gagal jantung kongestif yang disebabkan


oleh menurunnya fungsi sistolik dan peningkatan volume akhir sistolik dan diastolik.
Etiologi pasti masih belum diketahui hingga saat ini. infeksi virus. penggunaan
alkohol berlebih, penyakit metabolik, dan kelainan genetik diduga menjadi faktor
risiko.

b. patofisiologi
c. Manifestasi Klinis.

Pasien kardiomiopati dilatasi dapat menunjukkan gejala gagal jantung kiri, yang
pada tahap lebih lanjut dapat disertai gejala gagal jantung kanan. Pembesaran ruangan
jantung dan peningkatan kebutuhan oksigen miokardium, dapat menimbulkan nyeri
dada. Pemeriksaan fisis dapat menunjukkan tanda-tanda gagal jantung kongestif.
Beberapa temuan yang biasa didapatkan adalah gallop dan murmur pansistolik pada
daerah apeks akibat regurgitasi katup mitral
d. Pemeriksaan Penunjang.

Pemeriksaan awal yang dapat dilakukan adaJah EKG. Hasil EKG dapat
menunjukkan adanya hipertrofi ventrikel kiri serta kelainan gelombang ST dan T.
Pemeriksaan foto toraks dapat menunjukkan pembesaran jantung dan kongesti paru.
Ekokardiografi biasanya dilakukan untuk menilai pembesaran dan disfungsi pada
ventrikel kiri, serta kelainan pergerakan katup mitral saat fase diastolik.

e. Tata Laksana.

Kardiomiopati dilatasi tidak memiliki tata laksana yang spesifik. Jika etiologi
telah diketahui. maka tangani sesuai etiologi. Jika bersifat idiopatik, maka tata
laksana sebagai gagal jantung kongestif. Jika memungkinkan dapat dilakukan
transplantasi jantung sebagai alternatif terbaik. Pasien dengan kardiomiopati dilatasi
memiliki persentase harapan hidup di atas 60% dan 30% daJam 5 dan 10 tahun.

B. Kardiomiopati Hipertrofi

a. etiologi

Hipertrofi otot jantung tanpa adanya stres hemodinamik signifikan yang dapat
menyebabkan kondisi tersebut. Septum interventrikel mengalami hipertrofi secara
berlebihan dan menghambat aJiran darah yang keluar dari ventrikel kiri. Sebagian
besar kasus diturunkan secara autosom dominan. Kelainan ini dikenal sebagai salah
satu penyebab utama terjadinya henti jantung mendadak sehingga ancaman bahaya
pada penderita kelainan ini perlu diwaspadai.

b. Manifestasi Klinis.

Kardiomiopati hipertrofi dapat ditemui pada berbagai usia, mulai dari baJita
hingga usia tua. Gejala tersering adalah sesak napas. meskipun sebagian besar kasus
tidak menunjukkan gejala. Sesak napas disebabkan ventrikel yang noncompliant atau
kaku. sehingga meningkatkan tekanan diastolik akhir ventrikel kiri Qeft ventricle
end-diastolic pressure - L VEDP) dan mengganggu relaksasi ventrikel. Keluhan
lainnya dapat berupa angina pektoris tanpa disertai aterotrombosis arteri koroner yang
bermakna, sinkop. palpitasi, atau bahkan kematian mendadak. Sebagian pasien pada
tahap lanjut menunjukkan gejala gagal jantung kongestif.

c. faktor resiko

 Henti jantung (fibrilasi ventrikel)


 Takikardi ventrikel mendadak
 Riwayat keluarga serupa
 Pingsan (dua kali atau lebih dalam setahun terakhir)
 Respons tekanan darah yang abnormal
 Hipertofi ventrikel kiri masif (penebalan lebih > 30 mm pada ekokardiografi)
 Adanya obstruksi mikrovaskular yang terdeteksi dengan
 MRJ atau pencitraan nuklir

d. Pemeriksaan Fisik

Temuan fisis klasik pada kardiomiopati hipertrofi disebabkan oleh perbedaan


tekanan antar ruang jantung akibat obstruksi jalur keluar ventrikel kiri Qeft ventricle
outflow tract - LVOT). Pada palpasi prekordial, terdapat tanda klasik 'triple ripple',
yaitu gerakan presistolik dan sistolik ganda. Pada auskultasi, SI normal a tau lebih
kencang, sementara S2 mengalami split jika terdapat hipertrofi ventrikel kiri, left
bundle-branch block, a tau obstruksi L VOT yang berat serta bunyi S4. Murmur pada
kardiomiopati hipertrofi adalah murmur sistolik kresendo-dekresendo yang terdengar
nyaring, terutama pada linea sternalis sinistra dan pada apeks jantung. Murmur
berkurang pada keadaan yang dapat menurunkan volume ventrikel kiri, seperti
jongkok, mengangkat kaki, atau menggenggam. Sementara itu, gerakan yang
meningkatkan volume ventrikel kiri, seperti manuver Valsava, berdiri, atau inhalasi
nitrit amil, akan memperjelas bunyi murmur. Sekitar sepertiga kasus menunjukkan
manifestasi klinis tersebut saat istirahat, sepertiga lainnya pada saat aktifitas dan
sisanya tidak menunjukkan manifestasi klinis obstruktif.

e. Pemeriksaan Penunjang.
EKG sangat berguna dalam diagnosis kardiomiopati hipertrofi, karena EKG
yang normal dapat mengeksklusi penyakit ini. Hasil EKG yang paling sering ditemui
adalah hipertrofi ventrikel kiri (pada 80% kasus) , pembesaran atrium kiri, LBBB,
deviasi aksis ke kiri, gelombang Q abnormal, ataupoor R-wave progression.
Diagnosis pasti dapat ditegakkan menggunakan ekokardiografi jika ditemukan
adanya hipertrofi ventrikel kiri, terutama jika terdapat distribusi yang asimetris, dan
tidak disertai penyebab yang dapat menyebabkan kardiomiopati pada ruang jantung
lainnya.

f. Tata Laksana.

Seluruh pasien kardiomiopati hipertrofi sebaiknya dievaluasi setiap tahun,


terutama untuk menilaikemungkinan terjadinya kematian mendadak. Pasien
disarankan untuk tidak melakukan latihan isometrik, seperti mengangkat beban yang
dapat meningkatkan hipertrofi. Pada pasien dengan manifestasi klinis obstruktif dapat
diberikan terapi farmakologi, berupa penyekat beta atau CCB nondihidropiridin.
Pemberian penyekat beta bertujuan untuk menurunkan denyut jantung dan
memperpanjang waktu pengisian diastolik, relaksasi ventrikel, dan mengurangi
konsumsi oksigen.

Agen CCB dapat mengurangi kebutuhan oksigen otot jantung dan obstruksi
LVOT, serta meningkatkan volume dan relaksasi isovolume ventrikel kiri. Dosis
terapi perlu dititrasi untuk mengurangi gejala. Hindari penggunaan terapi vasodilator
dan diuretik dosis tinggi. Jika keluhan tidak membaik paska terapi farmakologi dapat
dipertimbangkan tindakan myektomi septum, ablasi alkohol, atau transplantasi
jantung. Pada pasien tanpa manifestasi klinis obstruksi, tata laksana sebagai gagal
jantung.

C. Kardiomiopati Restriktif

a. etiologi

Perubahan komposisi ototjantung sehingga menjadi lebih kaku atau


noncompliant. Hal tersebut menyebabkan pengisian ventrikel kiri terganggu, curah
jantung berkurang, dan tekanan pengisian ventrikel kiri meningkat. Etiologinya dapat
disebabkan oleh penyakit yang menginftltrasi otot jantung, seperti amiloidosis,
hemokromatosis, sarkoidosis, dan sebagainya.

b. Manifestasi Klinis.

Pasien datang dengan gejala-gejala dan tanda gagal jantung kanan ataupun kiri.
Pemeriksaan EKG menunjukkan adanya kelainan gelombang T dan ST yang
nonspesifik, serta voltase gelombang QRS yang rendah. Pada foto toraks, dapat
terlihat pembesaran jantung dan adanya hipertensi vena pulmonal. Melalui
ekokardiografi, dapat dilihat penebalan ventrikel kanan dan kiri. Ruangan ventrikel
normal, sementara ukuran atrium bertambah.

c. Tata Laksana.

Kardiomiopati restriktif sulit untuk diterapi dan tata laksana yang diberikan
sesuai dengan penyakit yang mendasari. Obat simtomatik diberikan sesuai dengan
kondisi gagal jantung, seperti diuretik untuk mengurangi kongesti. Jika pasien
mengalami gangguan irama jantung, berikan obat antiaritmia.

9. TUBERCULOSIS

a) Etiologi

Disebabkan oleh mycobacterium tubercula, mycobacterium bovis, mycobacterium


avium. Tetapi lebih sering disebabkan oleh mycobacterium tubercula.

b) Patofisiologi

Melibatkan inhalasi mycobacterium tubercula, suatu basil tahan asam. Setelah


inhalasi, ada beberapa kemungkinan perkembangan penyakit yang akan terjadi, yaitu
pembersihan langsung dari tuberculosis, infeksi laten, atau infeksi infeksi aktif.
c) Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan BTA
2. Foto rontgen
3. Ct scan
4. Tes kulit mantouk atau tuberculin skin test
5. Tes darah IGRA
d) Pemeriksaan Fisik

1. Pembesaran kelenjar limfe leher, aksial, inguinal.


2. Pengukuran berat badan
e) Gejala Klinik

1. Gejala respiratorik

Batuk lebih dari 2 minggu, batuk darah, sesak nafas, nyeri dada.

2. Gejala sistemik
- Demam
- Malaise
- Keringat malam
- Anoreksia
- Bb menurun
f) Tatalaksana

1. Rifampisin
2. Isoniazid
3. Pirazinamid
4. Etambutol
5. Streptomisin
10. PERTUSIS
a. Etiologi
pertussis merupakan bakteri Gram negatif, berbentuk basil pleomorfik. Rata-
rata masa inkubasi sekitar 6 hari.
b. Patogenesis dan Patofisiologi
Bakteri pertusis memiliki sejumlah antigen permukaan yang dapat menempel
pada silia epitel saluran pernapasan. Interaksi tersebut menimbulkan penurunan daya
tahan, tetapi daya kemotaksis berkurang. Pada pemeriksaan darah perifer, seringkali
ditemui adanya limfositosis.
Proses akan berlanjut hingga merusak jaringan lokal di saluran pernapasan.
Bakteri juga dapat menghasilkan toksin yang akan menimbulkan gejala sistemik.

c.Tanda dan Gejala


 Masa inkubasi 5-10 hari (dapat memanjang hingga 21 hari dengan rata-rata 7
hari).
 Stadium kataralis (prodromal, preparoksismal) 1-2 minggu. Gejala umum
infeksi saluran napas atas, injeksi dan peningkatan sekret nasal, dapat disertai
demam ringan. Penyakit ini sangat infeksius pada fase-fase awal.
 Stadium paroksismal (spasmodik) 1-6 minggu. Batuk keras terus menerus
yang diawali dengan inspirasi panjang (whoop), batuk pada fase ekspirasi, dan
diakhiri dengan muntah. Disebut juga sebagai whopping cough syndrome.
Pola batuk terjadi pada ekspirasi karena sulitnya membuang mukus dan sekret
tebal yang menempel pada epitel saluran napas.
Pada bayi kecil, gejala klasik pertusis sering tidak khas dan sering ditemukan
pertama kali dalam kondisi apnea. Komplikasi ke sistem saraf akibat hipoksia
juga Jebih sering terjadi pada bayi.
 Stadium penyembuhan (beberapa minggu hingga bulan). Batuk akan
menghilang secara bertahap. Dengan demikian, total Jama sakit antara 6-10
minggu.

d. Diagnosis
Ditegakkan dengan temuan gejala klinis yang khas, seperti batuk rejan, dan
dibuktikan dengan identifikasi bakteri penyebab melalui:
 Biakan sekret nasofaring (pada stadium kataralis dan awal stadium
paroksismal), atau
 uji immunofluorescent, atau pemerik.saan polymerase chain reaction (PCR),
 atau enzyme immunoassay IgG dan IgM.

Sebagai pendukung, pada pemeriksaan hematologi rutin, ditemukan leukositosis


dengan limfositosis. Sementara itu, pemeriksaan radiologi bermanfaat untuk
mendeteksi komplikasi paru atau infeksi sekunder, bukan untuk diagnosis pertusis.
Diagnosis Banding
 lnfeksi virus RSV (respiratory syncytial virus), parainfluenza, Klebsiella sp,
atau C. pneumonia (pada bayi).
 Infeksi M. pneumonia yang menyebabkan bronkitis kronis (pada anak besar
atau remaja).

Tata Laksana
 Medikamentosa:
- Eritromisin 40-50 mg/KgBB/hari per oral, terbagi menjadi 4 dosis
(maksimal 2 gram), diberikan selama 14 hari. Apabila diberikan
pada stadium kataralis dapat memperpendek periode penularan.
- Alternatif: trimetoprim-sulfametoksasol (TMPSMZ) 6-8
mg/KgBB/hari PO, terbagi menjadi 2 dosis (maksimal 1 gram).
 Suportif: hindari faktor yang menimbulkan serangan batuk, pemberian cairan,
oksigen, dan nutrisi secara adekuat.
 Untuk bayi usia <6 bulan, dianjurkan untuk pengobatan rawat inap karena
dapat timbul komplikasi serius seperti apnea, sianosis, atau kejang.

Komplikasi
 Kejang (1 ,4-3,0%):
 Pneumonia (9,5-2 1,7% );
 Ensefalopati (0,2-0,8%);
 Mortalitas (bayi kecil 1,3%; usia 2-1 1 bulan 0,20,3%).

DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.

2. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Panduan Praktik Klinis


(PPK) dan Clinical Pathway (CP) Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah; 2016.

3. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer. 2nd ed. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia; 2014.

Anda mungkin juga menyukai