SKENARIO 2
STEP 1 :
STEP 2 :
BATUK
NAPAS PENDEK Asma
Abses paru
Kardiomiopati PPOK
Pertusis
Gagal jantung Pneumotoraks
akut
Pneumonia
Gagal jantung
kronis Tuberculosis
STEP 3 :
1. ASMA
DEFINISI
Definisi asma menurut Global Initiative for Asthma (GINA),
asma adalah gangguan inflamasi kronik pada saluran napas dengan
berbagai sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil dan limfosit
T. Pada individu yang rentan inflamasi, mengakibatkan gejala episode
mengi yang berulang, sesak napas, dada terasa tertekan, dan batuk
khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini berhubungan dengan
obstruksi saluran napas yang luas dan bervariasi dengan sifat sebagian
reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi
ini juga berhubungan dengan hipereaktivitas jalan napas terhadap
berbagai rangsangan.
PATOFISIOLOGI
Penyakit asma merupakan proses inflamasi dan hipereaktivitas
saluran napas yang akan mempermudah terjadinya obstruksi jalan
napas. Kerusakan epitel saluran napas, gangguan saraf otonom, dan
adanya perubahan pada otot polos bronkus juga diduga berperan pada
proses hipereaktivitas saluran napas. Peningkatan reaktivitas saluran
nafas terjadi karena adanya inflamasi kronik yang khas dan melibatkan
dinding saluran nafas, sehingga aliran udara menjadi sangat terbatas
tetapi dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan.
Hipereaktivitas tersebut terjadi sebagai respon terhadap berbagai
macam rangsang. Dikenal dua jalur untuk bisa mencapai keadaan
tersebut. Jalur imunologis yang terutama didominasi oleh IgE dan jalur
saraf otonom. Pada jalur yang didominasi oleh IgE, masuknya alergen
ke dalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen Presenting Cells),
kemudian hasil olahan alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th
( T penolong ) terutama Th2 . Sel T penolong inilah yang akan
memberikan intruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel-sel
plasma membentuk IgE, sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofag,
sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk
mengeluarkan mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin (PG),
leukotrien (LT), platelet activating factor (PAF), bradikinin,
tromboksin (TX), dan lain-lain. Sel-sel ini bekerja dengan
mempengaruhi organ sasaran yang dapat menginduksi kontraksi otot
polos saluran pernapasan sehingga menyebabkan peningkatan 8
permeabilitas dinding vaskular, edema saluran napas, infiltrasi sel-sel
radang, hipersekresi mukus, keluarnya plasma protein melalui
mikrovaskuler bronkus dan fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan
hipereaktivitas saluran napas. Faktor lainnya yang dapat menginduksi
pelepasan mediator adalah obat-obatan, latihan, udara dingin, dan
stress.
DIAGNOSIS
Diagnosis asma yang tepat, penting dalam memudahkan penanganan
penyakit asma. Diagnosis asma dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Secara klinis ditemukan gejala berupa sesak episodik, mengi
(wheezing), batuk kronik berulang dan dada terasa sakit/sesak.
Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai keterbatasan arus
udara dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Pemeriksaan
status alergi dilakukan untuk mengidentifikasi adanya penyakit alergi
lain pada pasien maupun
pemeriksaan fisik pasien asma, tergantung dari episode gejala dan
derajat obstruksi saluran napas. Melalui pemeriksaan fisik pasien
asma, tampak adanya perubahan bentuk anatomi thoraks dan
ditemukan perubahan cara bernapas. Pada pemeriksaan inpeksi dapat
ditemukan pasien menggunakan otot napas tambahan di leher, perut,
dan dada, napas cepat hingga sianosis, juga kesulitan bernapas.
Ekspirasi memanjang dan mengi dapat ditemukan saat dilakukan
auskultasi pada pasien asma. Dalam praktek sehari-hari jarang ditemui
kesulitan dalam membuat diagnosis asma, tetapi sering pula dijumpai
pasien non-asma yang mempunyai mengi, sehingga pemeriksaan
penunjang diperlukan dalam menegakkan diagnosis. Pemeriksaan
spirometri merupakan cara yang paling cepat dan sederhana untuk
menegakkan diagnosis asma dengan melihat respon respon pengobatan
menggunakan bronkodilator. Pemeriksaan dilakukan sebelum dan
sesudah pemberian bronkodilator hirup golongan adrenergik beta.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Foto thorak
2. Spirometri
3. Uji provokasi bronkus
4. Uji sensitifitas kulit
TATALAKSANA
PENEGEKAN DIAGNOSIS
Gejala Keterangan
Sesak Progresif (sesak bertambah berat seiring
berjalannya waktu)
Bertambah berat dengan aktivitas
Persisten (menetap sepanjang hari)
Pasien mengeluh, “Perlu usaha untuk
bernapas”
Berat, sukar bernapas, terengah-engah
Batuk kronik Hilang timbul dan mungkin tidak
berdahak
Batuk kronik berdahak Setiap batuk kronik berdahak dapat
mengindikasikan PPOK
Riwayat terpajan faktor risiko Asap
rokok
Debu
Bahan kimia di tempat
kerja Asap dapur
Riwayat keluarga
PEMERIKSAAN FISIK
1. Inspeksi
a. Sianosis sentral pada membran mukosa mungkin ditemukan
b. Abnormalitas dinding dada yang menunjukkan
hiper inflasi paru termasuk iga yang tampak
horizontal, barrel chest (diameter antero -
posterior dan transversal sebanding) dan abdomen
yang menonjol keluar
c. Hemidiafragma mendatar
d. Laju respirasi istirahat meningkat lebih dari 20
kali/menit dan pola napas lebih dangkal
e. Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup
mencucu), laju ekspirasi lebih lambat
memungkinkan pengosongan paru yang lebih
efisien
f. Penggunaan otot bantu napas adalah indikasi gangguan
pernapasan
g. Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat
denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai
2. Palpasi dan Perkusi
a. Sering tidak ditemukan kelainan pada PPOK
b. Irama jantung di apeks mungkin sulit ditemukan karena
hiperinflasi paru
c. Hiperinflasi menyebabkan hati letak rendah dan mudah di
palpasi
3. Auskultasi
a. Pasien dengan PPOK sering mengalami penurunan
suara napas tapi tidak spesifik untuk PPOK
b. Mengi selama pernapasan biasa menunjukkan
keterbatasan aliran udara. Tetapi mengi yang
hanya terdengar setelah ekspirasi paksa tidak
spesifik untuk PPOK
c. Ronki basah kasar saat inspirasi dapat ditemukan
d. Bunyi jantung terdengar lebih keras di area xiphoideus.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
o Spirometri
o Peak flow meter (arus puncak respirasi)
o Pulse oxymetry
Pemeriksaan Fisik
- Pernafasan cepat, lebih dari 24 x/menit (takipnoe)
- Nadi cepat (takikardi) dan lemah ( >80 x/menit )
- Tekanan vena jugular meningkat
- Ronki basah halus
- Gallop
- Waktu Pengisian kapiler memanjang (> 2 detik)
Kriteria Diagnosis :
- Sesuai anamnesis
- Sesuai tanda-tanda pada Pemeriksaan Fisik
Diagnosis Banding
-Pneumonia
Pemeriksaan Penunjang
-EKG
-Rontgen dada PA
- Lab. : Hb, Ht, lekosit, kreatinin, GDs, Na+,K+, CKMB, hs Troponin
T, natriuretic peptide, analisagas darah pada
kondisi yang berat
- Pulseoxymetry
a. Terapi Oksigen
- Bila saturasi oksigen tetap rendah dengan mask atau ada distress
pernafasan, digunakan CPAP.
- Bila distress pernafasan tidak membaik dan atau tidak toleran dengan
CPAP dilakukan intubasi
b. Obat-obatan
Edukasi
sindrom klinis ditandai gejala dan tanda abnormalitas struktur dan fungsi
jantung, yang menyebabkan kegagalan jantung untuk memenuhi kebutuhan
oksigen metabolism tubuh.
Anamnesis
- Cepat lelah bila beraktifitas ringan (mandi, jalan >300 m, naik tangga)
- Sesak nafas saat terlentang, malam hari atau saat beraktifitas, tidur lebih
nyaman bila menggunakan bantal yang tinggi ( 2-3 bantal)
- Ascites.
Kriteria Diagnosis
1. Mayor
- Pembesaran Jantung
- Edema Paru
- Gallop S3
2. Minor:
- Edema tungkai bawah (biasanya dekat mata kaki)
- Pembesaran hati
- Efusi Pleura
- Takikardia
Bila terdapat 1 gejala mayor dan 2 minor atau 3 gejala minor, sudah memenuhi
kriteria diagnostic gagal jantung
1. Asma bronchial
2. PPOK
3. Uremia
4. Volume overload
Pemeriksaan Penunjang
1. EKG
2. Fotopolosdada
3. Lab.: Hb, Leko, Ureum, Creatinin, BNP/NT-pro BNP, GDs, Ht, Na+,
K+
4. Ekokardiografi transtorakal
Terapi
3. Beta blocker dosis kecil bila tidak ada kontra indikasi, dosis naik bertahap
Bila dosis sudah optimal tetapi laju nadi masih cepat (>70x/menit), dengan:
-Irama atrialfibrilasi
-respons ventrikel cepat serta fraksi ejeksi rendah, tetapi fungsi ginjal baik,
berikan digoxin dosis rumat 0,25mg pagi.
Edukasi :
4. Edukasi timbang berat badan dan lingkar perut, ukur jumlah cairan
masuk dan keluar agar seimbang
5. PENEUMOTORAKS
DEFINISI
PATOFISIOLOGI
Keseimbangan antara kecenderungan jaringan paru untuk kolaps dan
kecenderungan dinding dada secara alamiah untuk mengembang
menghasilkan tekanan negatif dalam rongga pleura. Apabila terdapat
udara pada rongga pleura maka paru akan kolaps. Pada pneumotoraks
simpel, tekanan intrapleura menyamai tekanan atmosfir sehingga
jaringan paru yang kolaps dapat mencapai 30%. Pada kondisi yang
lebih berat (tension pneumotoraks), kebocoran yang terus terjadi akan
menyebabkan peningkatan tekanan positif pada rongga pleura yang
lebih jauh dapat menyebabkan kompresi paru, pendorongan struktur
mediastinum ke kontra lateral, penurunan venous return, dan
penurunan cardiac output.
MANIFESTASI KLINIS
Awitan biasanya tiba-tiba dan berat ringannya gejala bergantung pada
luasnya jaringan paru yang mengalami kolaps serta penyakit dasar
yang telah ada sebelumnya.
1. Hiperkapnia
2. Hipotensi
3. Takikardi
4. Perubahan status mental
Pemeriksaan fisik paru :
a. Inspeksi paru, tampak sisi yang sakit lebih menonjol
dan tertinggal pada pernapasan
b. Palpasi paru, suara fremitus menurun di sisi yang sakit
c. Perkusi paru, ditemukan suara hipersonor dan
pergeseran mediastinum ke arah yang sehat
d. Auskultasi paru, didapatkan suara napas yang melemah dan jauh
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto toraks, didapatkan garis penguncupan paru yang
sangat halus (pleural line), dan gambaran avaskuler di sisi
yang sakit. Bila disertai darah atau cairan lainnya, akan
tampak garis mendatar yang merupakan batas udara dan
cairan (air fluid level).
Pulse oxymetry. Pemeriksaan ini tidak untuk menegakkan
diagnosis, namun untuk menilai apakah telah terjadi gagal
napas.
TATALAKSANA
1. Oksigen
2. Jika ada tanda kegagalan sirkulasi, dilakukan pemasangan
IV line dengan cairan kristaloid
3. Rujuk
6. PNEUMONIA
a) Definisi
Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan parenkim
paru distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius
dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan
pertukaran gas setempat. Pnemunonia dibedakan menjadi dua yaitu
pneumonia komuniti dan pneumonia nosokomial. Pneumonia komunitas
adalah pneumonia yang terjadi akibat infeksi di luar rumah sakit, sedangkan
pneumonia nosokomial adalah pneumonia yang terjadi lebih dari 48 jam atau
lebih setelah dirawat di rumah sakit. Pneumonia dapat diklasifikasikan dalam
berbagai cara, klasifikasi paling sering ialah menggunakan klasifikasi
berdasarkan tempat didapatkannya pneumonia (pneumonia komunitas dan
pneumonia nosokomial), tetapi pneumonia juga dapat diklasifikasikan
berdasarkan area paru yang terinfeksi (lobar pneumonia, multilobar
pneumonia, bronchial pneumonia, dan intertisial pneumonia) atau agen
kausatif. Pneumonia juga sering diklasifikasikan berdasarkan kondisi yang
mendasari pasien, seperti pneumonia rekurens (pneumonia yang terjadi
berulang kali, berdasarkan penyakit paru kronik), pneumonia aspirasi
(alkoholik, usia tua), dan pneumonia pada gangguan imun (pneumonia pada
pasien tranplantasi organ, onkologi, dan AIDS).
b) Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti
bakteri, virus, jamur, dan protozoa. Pneumoni komunitas yang diderita oleh
masyarakat luar negeri banyak disebabkan gram positif, sedangkan
pneumonia rumah sakit banyak disebabkan gram negatif. Dari laporan
beberapa kota di Indonesia ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita
komunitas adalah bakteri gram negatif.
b. Yang didapat di rumah sakit: basil usus gram negative (E. coli, Klebsiella
pneumonia), Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, anaerob oral.
c) Manifestasi Klinis
Gejala khas dari pneumonia adalah demam, menggigil, berkeringat,
batuk (baik non produktif atau produktif atau menghasilkan sputum
berlendir, purulen, atau bercak darah), sakit dada karena pleuritis dan
sesak.
Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi atau penarikan dinding dada
bagian bawah saat pernafas, takipneu, kenaikan atau penurunan taktil
fremitus, perkusi redup sampai pekak menggambarkan konsolidasi atau
terdapat cairan pleura, ronki, suara pernafasan bronkial, pleural friction
rub.
d) Penegakan Diagnosis
Pneumonia kominiti didasarkan kepada riwayat penyakit yang lengkap,
pemeriksaan fisik yang teliti dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti
pneumonia komunitas ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrat
baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah
ini:
a. Batuk-batuk bertambah
b. Perubahan karakteristik dahak/purulen
c. Suhu tubuh > 38C (aksila) /riwayat demam
d. Pemeriksaan fisis: ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas
bronkial dan ronki
e. Leukosit > 10.000 atau < 4500
Pemeriksaan Penunjang
Radiologi
Pemeriksaan menggunakan foto thoraks (PA/lateral) merupakan
pemeriksaan penunjang utama (gold standard) untuk menegakkan
diagnosis pneumonia. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat
sampai konsoludasi dengan air bronchogram, penyebaran bronkogenik
dan intertisial serta gambaran kavitas.
Laboratorium
Peningkatan jumlah leukosit berkisar antara 10.000 - 40.000 /ul,
Leukosit polimorfonuklear dengan banyak bentuk. Meskipun dapat
pula ditemukanleukopenia. Hitung jenis menunjukkan shift to the left,
dan LED meningkat.
Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi diantaranya biakan sputum dan kultur darah
untuk mengetahui adanya S. pneumonia dengan pemeriksaan
koagulasi antigen polisakarida pneumokokkus.
Analisa Gas Darah
Ditemukan hipoksemia sedang atau berat. Pada beberapa kasus,
tekanan parsial karbondioksida (PCO2) menurun dan pada stadium
lanjut menunjukkan asidosis respiratorik.
e) Tatalaksana
Pada prinsipnya penatalaksaan utama pneumonia adalah memberikan
antibiotik tertentu terhadap kuman tertentu infeksi pneumonia. Pemberian
antibitotik bertujuan untuk memberikan terapi kausal terhadap kuman
penyebab infeksi, akan tetapi sebelum antibiotika definitif diberikan antibiotik
empiris dan terapi suportif perlu diberikan untuk menjaga kondisi pasien.
Tindakan suportif meliputi oksigen untuk mempertahankan PaO2 > 8 kPa
(SaO2 > 92%) dan resusitasi cairan intravena untuk memastikan stabilitas
hemodinamik. Bantuan ventilasi: ventilasi non invasif (misalnya tekanan jalan
napas positif kontinu (continous positive airway pressure), atau ventilasi
mekanis mungkin diperlukan pada gagal napas. Bila demam atau nyeri
pleuritik dapat diberikan antipiretik analgesik serta dapat diberika mukolitik
atau ekspektoran untuk mengurangi dahak.
Pilihan Antibiotika dalam memilih antibiotika yang tepat harus
dipertimbangkan faktor sensitivitas bakteri terhadap antibiotika, keadaan
tubuh pasien, dan faktor biaya pengobatan. Pada infeksi pneumonia (CAP dan
HAP) seringkali harus segera diberikan antibiotika sementara sebelum
diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologik. Memilih antibiotika yang
didasarkan pada luas spektrum kerjanya tidak dibenarkan karena hasil terapi
tidak lebih unggul daripada hasil terapi dengan antibiotika berspektrum
sempit, sedangkan superinfeksi lebih sering terjadi dengan antibiotika
berspektrum luas.
7. ABSES PARU
a) Definisi
Abses Paru adalah infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan paru
yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah (pus/ nekrotik
debris) dalam parenkim paru pada satu lobus atau lebih yang disebabkan oleh
infeksi mikroba.
b) Etiologi
- Bacteriodes melaninogenus
- Bacteriodes fragilis
- Peptostreptococcus species
- Bacillus intermedius
- Prevotella melaninogenica
- Microaerophilic streptococcus
- Clostridium perfringens
- Clostridium barati
- Staphulococcus aureus
- Staphulococcus microaerophilic
- Staphulococcus pyogenes
- Staphulococcus pneumonia
- Staphulococcus viridans
- Staphulococcus milleri
- Klebsiella pneumonia
- Pseudomonas aeruginosa
- Escherichia coli
- Haemophilus Influenza
- Actinomyces Species
- Nacardia Species
c) Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis pasien abses paru didapatkan batuk yang mengeluarkan banyak sputum
mengandung jaringan paru yang mengalami ganggren. Sputum biasanya berbau amis
dan berwarna anchovy (putrid abcesses) yang disebabkan bakteri anaerob. Selain itu
bisa didapatkan keluhan nyeri dada dan batuk darah ringan sampai dengan masif.
2. Pemeriksaan Fisik
Demam sampai dengan 40oC. Pada paru ditemukan kelainan nyeri tekan lokan pada
dada, pada lesi yang disertai konsolidasi bisa dijumpai penurunan suara napas,
perkusi redup, suara napas bronkial dan ronki. Bila abses luas dan letaknya dekat
dengan dinding dada kadang terdengar suara amforik.
3. Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium
- Bronkoskopi
- Radiologi
d) Komplikasi
Komplikasi lokal meliputi penyebaran infeksi melalui aspirasi lewat bronkus atau
penyebaran langsung melalui jaringan sekitarnya. Abses paru yang drainasenya
kurang baik, bisa mengalami ruptur kesegmen lain dengan kecenderungan
penyebaran infeksi Staphylococcus, sedang yang ruptur ke rongga pleura menjadi
piotoraks (empiema) dan fibrosis pleura. Komplikasi sering lainnya berupa abses
otak, hemoptisis masif, ruptur pleura viseralis sehingga terjadi piopneumotoraks,
fistula bronkopleura dan fistula pleurokutaneus.
Abses paru yang resisten (kronik), yaitu yang resisten dengan pengobatan selama
6minggu, akan menyebabkan kerusakan paru yang permanen dan mungkin akan.
menyisakan suatu bronkiektasis, kor pulmonal dan amiloidosis. Abses paru kronik
bisa meyebabkan anemia, malnutrist, kaheksia gangguan .cairan dan elektrolit serta
gagal jantung terutama pada manula.
e) Pencegahan
Perhatian khusus ditujukan kepada kebersihan mulut. Kebersihan mulut yang jelek
dan penyakit-penyakit periodontal bisa menyebabkan kolonisasi bakteri patogen
orofaring yang akan menyebabkan infeksi saluran napas sampai dengan abses paru.
Setiap infeksi paru akut harus segera diobati sebaik mungkin terutama bila
sebelumnya diduga ada faktor yang memudahkan terjadinya aspirasi seperti pasien
manula yang dirawat di rumah, batuk yang disertai muntah, adanya benda asing,
kesadaran yang menurun dan pasien yang memakai ventilasi mekanik. Malahan untuk
pasien dengan kesanggupan yang berkurang dalam melindungi saluran napas dari
aspirasi masif (batuk, reflek muntah) dipertimbangkan untuk pemakaian intubasi dini.
Menghindari pemakaian anestesi umum pada tonsilektomi, pencabutan abses gigi dan
operasi sinus para nasal akan menurunkan insiden abses paru.
f) Penatalaksanaan
1. Medika Mentosa
Pilihan pertama antibiotik adalah golongan Penicillin pada saat ini dijumpai
peningkatan abses paru yang disebabkan oleh kuman anaerobs. Kombinasi antibiotik
anatara golongan penicillin G dengan clindamycin atau dengan metronidazole, atau
clindamycin dan cefoxitin.
2. Drainase
Drainase postural dan fisiotherapi dada 2-5 kali seminggu selama 15 menit
diperlukan untuk mempercepat proses resolusi abses paru
3. Bedah
8. KARDIOMIOPATI
Definisi
Kardiomiopati adalah kelainan struktur dan fungsi otot jantung tanpa disertai
penyakit jantung koroner, hipertensi. penyakit katup, atau penyakit jantung
kongenital yang mampu menyebabkan kelainan tersebut. Secara umum,
kardiomiopati dapat diklasifikasikan menjadi kardiomiopati dilatasi. hipertrofi. dan
restriktif Sistem klasifikasi terbaru menambahkan kardiomiopati ventrikel kanan
aricmogenik.
A. Kardiomiopati Dilatasi
a. etiologi
b. patofisiologi
c. Manifestasi Klinis.
Pasien kardiomiopati dilatasi dapat menunjukkan gejala gagal jantung kiri, yang
pada tahap lebih lanjut dapat disertai gejala gagal jantung kanan. Pembesaran ruangan
jantung dan peningkatan kebutuhan oksigen miokardium, dapat menimbulkan nyeri
dada. Pemeriksaan fisis dapat menunjukkan tanda-tanda gagal jantung kongestif.
Beberapa temuan yang biasa didapatkan adalah gallop dan murmur pansistolik pada
daerah apeks akibat regurgitasi katup mitral
d. Pemeriksaan Penunjang.
Pemeriksaan awal yang dapat dilakukan adaJah EKG. Hasil EKG dapat
menunjukkan adanya hipertrofi ventrikel kiri serta kelainan gelombang ST dan T.
Pemeriksaan foto toraks dapat menunjukkan pembesaran jantung dan kongesti paru.
Ekokardiografi biasanya dilakukan untuk menilai pembesaran dan disfungsi pada
ventrikel kiri, serta kelainan pergerakan katup mitral saat fase diastolik.
e. Tata Laksana.
Kardiomiopati dilatasi tidak memiliki tata laksana yang spesifik. Jika etiologi
telah diketahui. maka tangani sesuai etiologi. Jika bersifat idiopatik, maka tata
laksana sebagai gagal jantung kongestif. Jika memungkinkan dapat dilakukan
transplantasi jantung sebagai alternatif terbaik. Pasien dengan kardiomiopati dilatasi
memiliki persentase harapan hidup di atas 60% dan 30% daJam 5 dan 10 tahun.
B. Kardiomiopati Hipertrofi
a. etiologi
Hipertrofi otot jantung tanpa adanya stres hemodinamik signifikan yang dapat
menyebabkan kondisi tersebut. Septum interventrikel mengalami hipertrofi secara
berlebihan dan menghambat aJiran darah yang keluar dari ventrikel kiri. Sebagian
besar kasus diturunkan secara autosom dominan. Kelainan ini dikenal sebagai salah
satu penyebab utama terjadinya henti jantung mendadak sehingga ancaman bahaya
pada penderita kelainan ini perlu diwaspadai.
b. Manifestasi Klinis.
Kardiomiopati hipertrofi dapat ditemui pada berbagai usia, mulai dari baJita
hingga usia tua. Gejala tersering adalah sesak napas. meskipun sebagian besar kasus
tidak menunjukkan gejala. Sesak napas disebabkan ventrikel yang noncompliant atau
kaku. sehingga meningkatkan tekanan diastolik akhir ventrikel kiri Qeft ventricle
end-diastolic pressure - L VEDP) dan mengganggu relaksasi ventrikel. Keluhan
lainnya dapat berupa angina pektoris tanpa disertai aterotrombosis arteri koroner yang
bermakna, sinkop. palpitasi, atau bahkan kematian mendadak. Sebagian pasien pada
tahap lanjut menunjukkan gejala gagal jantung kongestif.
c. faktor resiko
d. Pemeriksaan Fisik
e. Pemeriksaan Penunjang.
EKG sangat berguna dalam diagnosis kardiomiopati hipertrofi, karena EKG
yang normal dapat mengeksklusi penyakit ini. Hasil EKG yang paling sering ditemui
adalah hipertrofi ventrikel kiri (pada 80% kasus) , pembesaran atrium kiri, LBBB,
deviasi aksis ke kiri, gelombang Q abnormal, ataupoor R-wave progression.
Diagnosis pasti dapat ditegakkan menggunakan ekokardiografi jika ditemukan
adanya hipertrofi ventrikel kiri, terutama jika terdapat distribusi yang asimetris, dan
tidak disertai penyebab yang dapat menyebabkan kardiomiopati pada ruang jantung
lainnya.
f. Tata Laksana.
Agen CCB dapat mengurangi kebutuhan oksigen otot jantung dan obstruksi
LVOT, serta meningkatkan volume dan relaksasi isovolume ventrikel kiri. Dosis
terapi perlu dititrasi untuk mengurangi gejala. Hindari penggunaan terapi vasodilator
dan diuretik dosis tinggi. Jika keluhan tidak membaik paska terapi farmakologi dapat
dipertimbangkan tindakan myektomi septum, ablasi alkohol, atau transplantasi
jantung. Pada pasien tanpa manifestasi klinis obstruksi, tata laksana sebagai gagal
jantung.
C. Kardiomiopati Restriktif
a. etiologi
b. Manifestasi Klinis.
Pasien datang dengan gejala-gejala dan tanda gagal jantung kanan ataupun kiri.
Pemeriksaan EKG menunjukkan adanya kelainan gelombang T dan ST yang
nonspesifik, serta voltase gelombang QRS yang rendah. Pada foto toraks, dapat
terlihat pembesaran jantung dan adanya hipertensi vena pulmonal. Melalui
ekokardiografi, dapat dilihat penebalan ventrikel kanan dan kiri. Ruangan ventrikel
normal, sementara ukuran atrium bertambah.
c. Tata Laksana.
Kardiomiopati restriktif sulit untuk diterapi dan tata laksana yang diberikan
sesuai dengan penyakit yang mendasari. Obat simtomatik diberikan sesuai dengan
kondisi gagal jantung, seperti diuretik untuk mengurangi kongesti. Jika pasien
mengalami gangguan irama jantung, berikan obat antiaritmia.
9. TUBERCULOSIS
a) Etiologi
b) Patofisiologi
1. Pemeriksaan BTA
2. Foto rontgen
3. Ct scan
4. Tes kulit mantouk atau tuberculin skin test
5. Tes darah IGRA
d) Pemeriksaan Fisik
1. Gejala respiratorik
Batuk lebih dari 2 minggu, batuk darah, sesak nafas, nyeri dada.
2. Gejala sistemik
- Demam
- Malaise
- Keringat malam
- Anoreksia
- Bb menurun
f) Tatalaksana
1. Rifampisin
2. Isoniazid
3. Pirazinamid
4. Etambutol
5. Streptomisin
10. PERTUSIS
a. Etiologi
pertussis merupakan bakteri Gram negatif, berbentuk basil pleomorfik. Rata-
rata masa inkubasi sekitar 6 hari.
b. Patogenesis dan Patofisiologi
Bakteri pertusis memiliki sejumlah antigen permukaan yang dapat menempel
pada silia epitel saluran pernapasan. Interaksi tersebut menimbulkan penurunan daya
tahan, tetapi daya kemotaksis berkurang. Pada pemeriksaan darah perifer, seringkali
ditemui adanya limfositosis.
Proses akan berlanjut hingga merusak jaringan lokal di saluran pernapasan.
Bakteri juga dapat menghasilkan toksin yang akan menimbulkan gejala sistemik.
d. Diagnosis
Ditegakkan dengan temuan gejala klinis yang khas, seperti batuk rejan, dan
dibuktikan dengan identifikasi bakteri penyebab melalui:
Biakan sekret nasofaring (pada stadium kataralis dan awal stadium
paroksismal), atau
uji immunofluorescent, atau pemerik.saan polymerase chain reaction (PCR),
atau enzyme immunoassay IgG dan IgM.
Tata Laksana
Medikamentosa:
- Eritromisin 40-50 mg/KgBB/hari per oral, terbagi menjadi 4 dosis
(maksimal 2 gram), diberikan selama 14 hari. Apabila diberikan
pada stadium kataralis dapat memperpendek periode penularan.
- Alternatif: trimetoprim-sulfametoksasol (TMPSMZ) 6-8
mg/KgBB/hari PO, terbagi menjadi 2 dosis (maksimal 1 gram).
Suportif: hindari faktor yang menimbulkan serangan batuk, pemberian cairan,
oksigen, dan nutrisi secara adekuat.
Untuk bayi usia <6 bulan, dianjurkan untuk pengobatan rawat inap karena
dapat timbul komplikasi serius seperti apnea, sianosis, atau kejang.
Komplikasi
Kejang (1 ,4-3,0%):
Pneumonia (9,5-2 1,7% );
Ensefalopati (0,2-0,8%);
Mortalitas (bayi kecil 1,3%; usia 2-1 1 bulan 0,20,3%).
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
3. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer. 2nd ed. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia; 2014.